Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 9


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Gentarlah hati Resi Harimurti. Dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi akan tetapi juga watak yang licik dan tidak bertanggung jawab. Begitu melihat bahwa keadaan tidak menguntungkan dan kalau dia lanjutkan perkelahian itu, keselamatannya terancam bahaya maut, maka diapun segera memutar-mutar cambuknya dengan cepat sehingga Ki Jembros sendiri terpaksa harus mundur untuk menghindarkan bahaya cambukan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Resi Harimurti untuk meloncat jauh ke belakang dan diapun menghilang diantara pasukan pemberontak dan terus melarikan diri meninggalkan medan pertempuran.

   Ki Jembros mengejar, namun kehilangan jejak. Dengan hati gemas iapun mengamuk diantara para pemberontak. Sepak terjangnya menggiriskan dan banyak anak buah pemberontak bergelimpangan terkena terjangan kaki tangannya. Ketika melihat betapa Pragalbo dan Padasgunung masih juga belum mampu merobohkan kedua orang lawannya, Ki Jembros lalu terjun ke dalam perkelahian antara mereka. Tendangan kakinya yang dahsyat menyambar ke arah Ki Kalakatung.

   Jagoan Blitar yang berkepala botak ini sedang repot mengadap Pragalbo, maka ketika Ki Jembros terjun dan mengayun kakinya, ia menjadi gugup. Apa lagi ia melihat betapa Resi Harimurti, orang yang diandalkannya, tadi telah meiarikan diri, tidak kuat melawan Ki Jembros. Dengan gugupnya, dia menggerakkan ruyung yang terbuat dari galih asem hitam dan diberi nama Gada Rujakpolo itu menyambut, dengan maksud menghantam remuk tulang kaki Ki Jembros.

   "Brakkkk.......!"

   Memang ada yang patah, akan tetapi bukan tulang kaki Ki Jembros melainkan ruyung galih asem itu. Dan pada saat itu, Pragalbo sudah menghunjamkan kerisnya. Ki Kalakatung sedang kaget sekali karena selain ruyungnya patah, juga telapak tangannya yang tadi memegang ruyung terasa nyeri seolah-olah kulitnya terbeset. Ia melepaskan ruyungnya dan pada saat itulah, keris di tangan Pragalbo menusuk, dan ia tidak sempat lagi mengelak.

   "Ceppp.....", Jagoan berpunuk itu menjerit mendekap dadanya dan tubuhnya terjengkang ketika Pragalbo mencabut kerisnya dan menendang ke arah lututnya.

   Melihat ini, Raden Galinggangjati menjadi panik. Seperti juga Ki Kalakatung, tadi ia sudah merasa bingung melihat larinya Resi Harimurti dan kacaunya pasukan pemberontak. Kini, melihat robohnya Ki Kalakatung, tentu saja ia menjadi ketakutan. Iblis Gunung Gajahmungkur ini cepat mendesak Padasgunung dengan pedangnya yang bentuknya melengkung, bergagang emas dan mengeluarkan sinar kehijauan.

   Padasgunung cepat meloncat ke belakang sambil memutar suling hitamnya, akan tetapi ia menjadi marah ketika melihat betapa tiba-tiba lawannya memutar tubuh dan menyelinap diantara para anak buah yang sedang bertempur.

   "Pengecut, hendak lari ke mana kau?"

   Bentaknya dan iapun meloncat ke depan, cepat sekali dan sulingnya terayun ke arah tengkuk Raden Galinggangjati. Orang ini mendengar bunyi mengaung dan cepat ia menundukkan kepala sambil miringkan tubuh.

   "Takkk!"

   Suling itu luput mengenai kepala bagian belakang, akan tetapi meleset menghantam pundak kanan Iblis Gunung Gajahmungkur itu. Raden Galinggangjati mengeluh, akan tetapi ia segera menghilang diantara banyak orang yang bertempur.

   Padasgunung menjadi marah dan kecewa. Ia telah berhasil melukai lawan, akan tetapi hatinya belum puas kalau belum dapat merobohkannya, maka cepat ia mengejar. Namun, tidak mudah mengejar lawan yang meJarikan diri di antara ratusan orang yang sedang bertempur itu. Ia mengamuk dan merobohkan banyak anak buah pemberontak yang menjadi semakin kocar kacir karena pada saat itu, Ki Jembros dan Pragalbo juga sedang menaamuk.

   Setelah terjadi pertempuran yang tidak seimbang, akhirnya sebagian dari pasukan pemberontak itu lari cerai berai meninggalkan banyak kawan yang tewas atau terluka berat. Laskar rakyat yang dipimpin oleh Padasgunung dan Pragalbo melakukan pengejaran. Akan tetapi karena sisa pasukan pemberontak itu lari cerai berai ke segaia jurusan, maka sukarlah melakukan pengejaran terarah.

   Ketika melakukan pengejaran ini, dibantu pula oleh Ki Jembros, pasukan rakyat ini bertemu dengan pasukan besar yang tadinya membuat Padasgunung dan Pragalbo terkejut. Pasukan itu rapi, jumlahlah tidak kurang dari seribu orang, dipimpin oleh orang-orang gagah berkuda dan nampak pasukan itu kuat bukan main. Akan tetapi ketika melihat umbul-umbul, bendera dan tanda-tanda pasukan lainnya, Ki Jembros tertawa.

   "Itu adalah pasukan Singosari!"

   Katanya dan diapun melangkah paling depan menyambut pasukan besar itu.

   Pasukan itu dipimpin beberapa orang senopati, dikepalai oleh Senopati Ronggolawe yang muda dan gagah.perkasa. Tadinya para senopati itu terkejut melihat laskar rakyat itu. Mereka mengira bahwa itu adalah pasukan gerombolan pemberontak, maka para senopati telah memberi aba-aba kepada pasukan mereka agar siap siaga, apa lagi melihat betapa laskar itu seperti berlari-lari, dikejar atau mengejar sesuatu. Akan tetapi setelah mereka melihat seorang kakek tinggi besar gagah perkasa dan berpakaian serba hitam melangkah lebar di depan, Senopati Ronggolawe dan para senopati lainnya segera mengenalnya.

   "Paman Jembros.......!"

   Ronggolawe berseru sambil meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri kakek itu.

   Ki Jembros tertawa.

   "Ha-ha-ha, sungguh membesarkan hati melihat para senopati yang gagah perkasa memimpin pasukan Singosari. Tentu andika sekalian sedang menuju ke perbatasan untuk menumpas pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah, bukan?"

   "Benar sekali dugaan paman, akan tetapi, laskar manakah ini? Dan dari manakah mereka paman?"

   Tanya Senopati Ronggolawe.

   Ki Jembros tersenyum lebar dan mengacungkan ibu jari tangan kanannya.

   "Ini laskar bebat, anakmas senopati. Laskar rakyat yang dikumpulkan dan dilatih oleh Padasgunung dan Pragalbo yang gagah perkasa, dalam usaha mereka menentang pemberontak dan membantu pemerintah Singosari. Baru saja tadi laskar ini memukul hancur pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Resi Harimurti, Ki Kalakatung dan Raden Galinggangjati. Sisanya lari cerai berai dan kami tadi berusaha melakukan pengejaran. Sayang bahwa Resi Harimurti dan Raden Galinggangjati berhasil melarikan diri"

   Para senopati memuji dan berkenan menerima Padasgunung dan Pragalbo.

   "Kalian adalah satria-satria yang patut dibuat contoh"

   Kata Senopati Ronggolawe.

   "Sekarang, gabungkanlah sisa laskar rakyat yang gagah perkasa ini, mengikuti pasukan kami dan membantu kami menyerbu ke induk pasukan pemberontak"

   "Anakmas Senopati Ronggolawe, apakah kau sudah mengetahui di mana adanya induk pasukan pemberontak Mahesa Rangkah itu?"

   Tanya Ki Jembros.

   Senopati Ronggolawe mengangguk.

   "Paman Jembros, kami sudah mendengar banyak tentang Mahesa Rangkah dari para penyelidik kami. Tentu saja sarang merekalah yang sekarang ini merupakan sarang sementara saja semenjak mereka keluar dari daerah Kediri, karena mereka bermaksud untuk menyeberang dan maju ke arah kota raja Singosari. Pasukan mereka terpencar-pencar, oleh karena itu, kamipun sudah mengirim pasukan yang terpencar untuk menghadang mereka di segala penjuru"

   Laskar rakyat itu dengan gembira, di bawah pimpinan Padasgunung dan Pragalbo, kini bergabung dengan pasukan pemerintah Singosari, berbaris dengan gagah dan penuh semangat di belakang pasukan Singosari itu.

   Ki Jembros dan kedua orang satria itupun diterima oieh para senopati sebagai rekan mereka dan kepada mereka bertiga diberi tiga ekor kuda yang pilihan. Pasukan itupun melanjutkan perjalanan menuju ke sarang Mahesa Rangkah yang sudah diketahui, yaitu di Bukir Lejar.

   Siasat yang diambil oleh para senopati di Singosari memang hebat. Para senopati itu maklum bahwa biarpun pemberontakan Mahesa Rangkah mendapat dukungan moril dara Kediri, namun pihak Kerajaan Kediri ataui Daha itu tidak berani secara langsung membantu. Ini membatasi kekuatan Mahesa Rangkah yang tidak berapa. Oleh karena itu, untuk menghemat tenaga, karena. sebagian dari pasukan dibutuhkan untuk menjaga keselamatan Kota Raja, Senopati Ronggolawe lalu memimpin tiga ribu orang pasukan saja. Yang duaribu orang dipecah-pecah menjadi beberapa kelompok, dipimpin masing-masing seorang senopati dan kelompok pasukan kecil yang hanya terdiri dari seratus sampai duaratus orang ini ditugaskan untuk melakukan penghadangan terhadap pasukan pemberontak yang juga dipecah-pecah menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mengacaukan suasana dan menyerang dari dusun-dusun terpencil.

   Adapun pasukan induk, yang terdiri dari seribu orang, dipimpin sendiri oleh Ronggolawe, menuju ke sarang pemberontak di Bukit Lejar. Dia tidak tergesa-gesa, bahkan berlambat untuk memberi kesempatan kelompok kesatuan kecil yang disebar itu untuk menghalau gerombolan pemberontak agar mereka berkumpul kembali di Bukit Lejar, barulah pasukan induk Singosari akan menyerbu.

   Dengan adanya siasat ini, di mana-mana terjadi pertempuran kecil dari pasukan kedua pihak yang jumlahnya antara seratus sampai dua ratus orang itu.

   Keuntungan para senopati yang memimpin pasukan-pasukan kecil itu adalah karena di sepanjang perjalanan, mereka mendapat dukungan rakyat yang rata-rata membenci para pemberontak. Setiap kali terjadi pemberontakan dan perang, tentu rakyat di dusun-dusun yang menjadi korban. Para pemberontak itu biasanya amat ganas dan jahat, bakan hanya merampok penduduk dusun, juga membunuh, memperkosa dan melakukam segala macam perbuatan yang sewenang-wenang. Oleh karena itu, ketika mengetahui bahwa, pemerintah Singosari mengirim pasukan untuk menumpas pemberontak, para penghuni dusun-dusun menjadi gembira dan mereka dengan suka rela membantu apa saja yang dapat mereka lakukan. Bahkan, seperti yang telah diusahakan oleh Padasgunung dan Pragalbo, ketika, para satria yang menentang pemberontak menghimpun para penghuni dusun, banyak pemuda dusun yang dengan suka rela masuk menjadi anggota laskar rakyat sehinsga dengan demikian, kekuatan pihak Kerajaan Singosari semakin besar.

   Tidaklah mengherankan kalau pasukan Singosari yang memperoleh dukungan rakyat, di mana-mana selalu memperoleh kemenangan dan kelompok pasukan kecil-kecil para pemberontak itu, dapat dipukul mundur dan mereka itu segera kembali ke Bukit Lejar untuk melapor kepada induk pasukan.

   Mahesa Rangkah sendiri, yang merupakan pucuk pimpinan, setelah membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok kecil, segera memimpin sisa pasukannya yang terdiri dari tiga ratus orang tentara pilihan, untuk melakukan penyeberangan ke timur menuju ke kota raja Singosari. Menurut

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   siasat yang telah direncanakannya dan diperintahkan kepada semua pembantunya yang menjadi pimpinan setiap kelompok pasukan kecil, kalau pasukan-pasukan mereka berhasil, mereka harus berkumpul di hutan jati yang berada di sebelah barat kota raja Singosari, di mana mereka akan menyusun kekuatan dan melakukan penyerbuan ke kota raja Singosari. Sebaliknya, andaikata pasukan-pasukan itu menemui kegagalan, maka kalau mereka mundur, mereka semua akan kembali ke Bukit Lejar untuk menyusun kembali kekuatan mereka.

   Terjadi perubahan besar pada diri Nurseta sejak dia naik ke puncak Gunung Kelud. Ketika ia naik ke puncak itu, ia masih berwajah gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar, apa lagi ketika ia memperoleh keterangan bahwa di dekat puncak, ia akan dapat menemukan ayahnya, Ki Baka yang telah bertahun-tahun tidak dijumpainya. Dan ternyata iapun benar-benar telah berhasil bertemu dengan ayahnya itu. Akan tetapi, sungguh di luar dugaanya, bahwa pertemuan itu akan menimbulkan guncangan yang amat bebat pada batinnya. Sungguh, berita yang didengarnya dari Ki Baka, merupakan berita yang mengguncang batin dan membuat ia bingung dan kecewa, juga berduka. Betapapun kuat, batinnya, mendengar bahwa Ki Baka bukanlah ayah kandungnya, kemudian mendengar bahwa ayah kandungnya, seorang pangeran di Kediri yang kini telah meneninggal dunia pula, lalu ditambah lagi dengan keinginan Ki Baka untuk menjodohkan dia dengan Pertiwi, gadis dusun yang baik hati itu, sungguh mengguncang batinnya.

   Kini. ketika ia berpisah dengan Ki Baka dan menuruni Gunung Kelud, tubuhnya terasa lemas, semangatnya mengendur, sepasang matanya sayu dan mukanya agak pucat.

   Namun, Nurseta bukanlah seorang pemuda yang mudah putus asa. Biarpun dia mengalami himpitan batin yang amat hebat, namun dia dapat menenangkan batinnya dan tanpa mengeluh, ia hanya menyerahkan segala keadaan dirinya kepada Hyang Widhi. Sesungguhnyalah, tidak ada kekuatan di dunia ini yang lebih besar dan berkuasa dari pada kekuatan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

   Nurseta tidak kehilangan kewaspadaan dan kesadarannya. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja ia terpukul batinnya dan perasaannya nyeri, penuh kecewa dan duka karena menemukan dirinya sendiri sebagai seorang yatim piatu, tiada ayah dan ibu, bahkan tidak dapat mengetahui riwayatnya karena sudah tidak ada lagi orang yang dapat ditanyainya. Pangeran Panji Hardoko yang katanya adalah ayah kandungnya itu, telah meninggal dunia, dan orang yang diserahi dirinya, yaitu Ki Baya, juga telah tiada. Dia adalah seorang yatim piatu yang tidak mengenal riwayat diri sendiri, tidak tahu mengapa ia oleh ayah kandungnya diserahkan kepada Ki Baya, dan siapa pula ibu kandungnya. Bahkan diapun tidak atau belum yakin bahwa yang bernama Pangeran Panji Hardoko itu benar-benar ayah kandungnya. Akan tetapi, dalam. keadaan seperti itu, dia mengembalikan dan menyerahkan kesemuanya kepada Tuhan dan hatinyapun menjadi tenang. Kehendak Hyang Widhipun terjadilah. Dengan pikiran ini,. Nurseta menuruni Gunung Kelud untuk memulai dengan tugasnya, yaitu membantu Kerajaan Singosari untuk menentang pemberontakan yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah.

   Dia tahu ke mana harus pergi. Ke perbatasan antara Kediri dan Singosari, tentu saja. Bukankah di sana Mahesa Rangkah akan memulai pemberontakannya seperti yang pernah ia dengar? Dan di sepanjang perjalanan menuju ke perbatasan itu, iapun mulai mendengar akan adanya pertempuran-pertempuran kecil yang terjadi antara pasukan pemberontak dan pasukan Kerajaan Singosari. Iapun mempercepat perjalanannya dan hatinya lega mendengar dari para penghuni dusun betapa pasukan-pasukan pemberontak dapat dipukul mundur oleh pasukan Kerajaan Singosari yang didukung oleh para penduduk dusun yang mem-bentuk laskar-laskar rakyat.

   Pada suatu pagi, tibalah dia di luar sebuah pedusunan, tak jauh dari Bukit Lejar. Dari jauh saja dia sudah mendengar suara sorak sorai dan hiruk pikuk, suara pertempuran?. Mendengar ini, Nurseta mempercepat langkahnya, bahkan kini dia berlari menuju ke arah suara itu yang datang dari luar dusun, karena dia dapat menduga bahwa itu tentulah suara pasukan pemberontak yang sedang mengganas, atau sedang bertempur melawan pasukan pemerintah Singosari. Ia harus berhati-hati dan yakin lebih dahulu siapa yang sedang bertempur itu. Maka iapun naik ke sebuah bukit kecil dan dari puncak bukit ini dia melihat ke arah padang rumput di luar dusun. Dari tempat tinggi ini, ia dapat melihat dengaa jelas. Tak salah dugaannya. Terjadi pertempuran yang amat hebat. Debu mengepul dari suara berdentingnya senjata berbaur dengam teriakan-teriakan kemenangan jerit-jerit kesakitan. Dari tempat dia mengintai, Nurseta dapat membedakan dengan mudah antara dui kekuatan yang saling bertempur. Orang-orang yang mengenakan pakaian seragam itu tentulah pasukan Singosari, dan lawan mereka, orang-orang yang pakaiannya campur aduk, yang cara berkelahinya kasar dan ganas, agaknya tentulah para pemberontak, Dari atas, sukair mengenal wajah mereka, akan tetapi dengan perhitungan kasar, Nurseta dapat melihat betapa jumlah kedua pihak sebanding, hanya dari tempat tinggi itu diapun dapat melihat bahwa pihak tentara kerajaan agaknya terdesak hebat. Melihat ini, Nurseta lalu berlari turun dan mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke medan pertempuran.

   Setelah dia tiba di sempat itu, makin jelas nampak olehnya betapa pasukan kerajaan memang terdesak hebat. Jumlah mereka memang seimbang, akan tetapi sepak terjang para anggota pemberontak itu memang dahsyat dan ganas sekali. Jelas bahwa para pemberontak ini merupakan pasukan pilihan dan agaknya para perajurit kerajaan kewalaban menghadapi amukan para pemberontak yang ganas itu. Apa lagi karena para pemberontak itu dipimpm oleh seorang yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan dadanya yang telanjang memperlihatkan lingkaran otot-otot yang amat kuat. Dengan sepasang mata lebar melotot, orang ini mengamuk dan siapapun yang dekat dengannya pasti roboh oleh tendangan kedua kakinya, tamparan tangan dan bacokan golok besar di kanannya.

   Kakek ini sungguh gagah perkasa dan selalu serangannya mengandung tenaga besar sekali. Setiap orang perajurit Kerajaan Singosari yang kena ditendang atau ditampar, terlempar jauh dan terbanting untuk tidak dapat bangun kembali karena tewas seketika.

   Dua orang senopati Kerajaan Singosari yang memimpin pasukan itu adalah dua orang senopati yang sudah terkenal, yaitu Senopati Pamandana dan Senopati Banyak Kapuk. Mereka berdua memimpin hampir empat ratus orang karena keduanya yang memimpin masing-masing dua ratus orang itu bertemu di jalan dan mereka lalu bergabung untuk menghadang pasukan yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah sendiri yang jumlahnya tiga ratus orang lebih. Dan terjadilah pertempuran yang amat seru itu.

   Akan tetapi, dua orang senopati itu sungguh kewalahan menghadapi kehebatan sepak terjang Mahesa Rangkah. Mereka merasa amat sukar mendekati kepala pemberontak yang sakti dan bertenaga besar itu. Golok besar di tangan Mahesa Rangkah itupun berat dan bergerak dengan amat cepatnya, menandakan bahwa raksasa pemberontak itu memang memiliki tenaga gajah. Banyak perajurit berusaha mengeroyok untuk membantu dan menyelamatkan dua orang pimpinan mereka, akan tetapi para perajurit itu bagaikan sekawanan nyamuk menerjang apa lilin saja. Tamparan dan tendangan Mahesa Rangkah membuat mereka berpelantingan, mayat para perajurit sudah berserakan di sekeliling pemimpin pemberontak itu.

   "Babo babo, majulah semua, akan kutumpas habis orang-orang Singosari"

   Teriak Mahesa Rangkah yang makin lama semakin buas seperti harimau mencium darah.

   "Plak ! Plak"

   Dua kali tamparan tangan kiri dan kaki kanannya ditangkis orang dan ketika dengan terkejut karena merasa betapa kaki dan tangannya tergetar hebat oleh tangkisan itu. Mahesa mengangkat muka memandang, ia melihat bahwa penangkisnya hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih sedikit, berwajah tampan halus, berpakaian sederhana dan sama sekali tidak berwibawa. Bahkan kumis tipisnya membuat pemuda itu kelihatan sebagai seorang pemuda tanggung yang lemah dan pantasnya dijadikan pemuda penghibur.

   "Bojleng-bojleng iblis laknat! Siapakah kau ini? Apakah seorang Senopati Singosari yang baru? Sayang bagusmu, orang muda, jangan kau lanjutkan. Lebih baik kau mengabdi kepadaku, pemuda tampan"

   Wajah Nurseta berubah merah. Sialan, pikirnya. Ia dianggap sebagai pemuda yang suka dijadikan kekasih oleh para datuk sesat. Pernah ia mendengar bahwa para datuk sesat banyak yang suka memelihara pemuda-pemuda tampan sebagai gadis-gadis cantik yang mungkin sudah membosankan bagi para datuk itu. Tadi, sebelum ia menerjang maju, ia bertanya kepada seorang perajurit Singosari yang terluka, siapakah pemimpin pasukan pemberontak itu dan siapa pula dua orang Senopati Singosari. Setelah mendapat keterangan, barulah ia menerjang maju dan berhasil menyelamatkan dua orang perajurit dari tamparan dan tendangan Mahesa Rangkah. Mengetahui bahwa raksasa itu bukan lain adalah Mahesa Rangkah sang pemimpin pemberontak, giranglah hati Nurseta. Ia memperoleh kesempatan untuk berbakti kepada Singosari, sesuai yang dipesankan Ki Baka, dan juga gurunya.

   "Hemm, Mahesa Rangkah. Sumbarmu seolah-olah kau akan dapat menaklukkan kahyanga. Dengarlah baik-baik. Namaku adalah Nurseta dan biarpun aku bukan seorang senopati maupun perajurit Singosari, akan tetapi aku adalah seorang laki-laki sejati yang semenjak kecil hidup di daerah Singosari, minum air dan makan tumbuh-tumbuhan dari bumi Singosari. Oleh karena itu, mendengar bahwa tanah air Singosari hendak diperkosa seorang pemberontak keji bersama anak buahnya, aku tidak mungkin dapat berpeluk tangan saja"

   Ia berhenti sebentar lalu "Mahesa Rangkah. Sebaiknya kau lekas berlutut dan menyerah, agar dapat kami tawan dan menghadap Sribaginda Raia di Singosari. Dengan demikian, dosamu akan menjadi lebih ringan"

   "Babo-babo, keparat!"

   Mahesa Rangkah membelalakkan kedua matanya yang menjadi bundar sebesar jengkol tua, mukanya yang hitam itu menjadi semakin hitam karena agaknya muka itu dialiri lebih banyak darah dari pada biasanya, mulutnya menyeringai seperti mengeluarkan busa.

   "Kau ini bocah masih ingusan berani sekali menantang Mahesa Rangkah? Apakah kau bosan hidup?"

   Tiba-tiba saja, tanpa peringatan lebih dahulu, Mahesa Rangkah menubruk ke depan, goloknya terayun cepat sekali. Golok itu beratnya paling sedikit ada tiga puluh kati, tebal dan berat dan tajam, akan tetapi dalam tangan Mahesa Rangkah, golok tebal itu seperti sebatang rumput saja ringannya dan gerakannya mengayun golok menyambar leher Nurseta, sungguh mengerikan.

   Agaknya bagi penglihatan perajurit-perajurit Singosari yang berada di sekitar lingkaran pertempuran Nurseta, mengira bahwa leher pemuda itu tidak mungkin dapat diselamatkan lagi dan mereka sudah membayangkan dengan hati yang ngeri, betapa kepala pemuda yang tampan itu akan terlempar lepas dari tubuhnya, dan leher itu akan terbabat dan darah akan memancar dari leher Nurseta.

   .

   ''Syuuuuttt.......!"

   Golok itu terbang lewat di atas kepala Nurseta. Dengan mudah saja tadi Nurseta menekuk kedua lututnya sehingga kepalanya merendah dan golok itu lewat di atas kepala, angin gerakan golok itu memotong gumpalan rambut di kepala Nurseta yang berkibar. Sambil merendahkan diri dengan menekuk kedua lututnya, Nurseta tidak membiarkan kedua tangannya menganggur begitu saja. Dengan jari tangan terbuka, dia menusuk ke arah perut gendut raksasa itu, dan tangan kirinya, juga dengan jari terbuka, mendorong ke atas sehingga telapak tangan bagian bawah yang mencuat itu menendaag ke atas, ke arah dagu lawan.

   "Ehhh.....Ohhh......."

   Teriak Mahesa Rangkah dan cepat ia meloncat ke belakang, nyaris dagunya tercium telapak tangan dan ia terkejut sekali. Salahnya sendiri karena tadi ia terlampau memandang rendah pemuda itu. Menurut perhitungannya sekali tabas tentu akan putus lehernya. Untung Mahesa Rangkah memang memiliki tingkat kepandaian tinggi sehingga serangan balasan Nurseta yang demikian cepat dan tak terduga itu masih dapat dielakkannya dengan meloncat surut ke bekakang.

   Dengan penasaran kini Mahesa Rangkah menyerang lagi tidak berani main-main, karena maklum bahwa pemuda ini ternyata tidak boleh disamakan dengan dua orang Senopati yang memimpin pasukan Singosari itu. Ia memutar goloknya sehingga lenyaplah bentuk golok itu, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. Juga tubuhnya menyelinap ke sana-kemari, kadang-kadang nampak kadang-kadang lenyap dalam gulungan sinar golok. Dari dari dalam gulungan sinar golok ini seringkali mencuat sinar tajam yang meluncur ke arah Nurseta.

   Menghadapi serangan yang hebat ini, Nurseta juga bersikap hati-hati sekali. Dia menggerakkan tubuh dengan mantap, mengerahkan Aji Sari Patala dalam tubuhnya dan menghadapi ilmu golok lawan dengan aji kesaktian Bajradenta, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan sebatang suling. Benda ini penting baginya dalam menghadapi gulungan sinar golok yang berbahaya itu, karena alat musik tiup ini dapat dia pergunakan untuk menangkis kalau perlu. Dan ternyata dengan Aji Bajradenta, dia tidak hanya dapat menghindarkan serangan lawan, bahkan mampu membalas dengan tak kalah dahsyatnya.

   Melihat munculnya seorang pemuda yang mengaku bernama Nurseta dan ternyata amat sakti sehingga mampu menandingi Mahesa Rangkah, dua orang senopati Singosari itu menjadi lega dan girang sekali. Mereka lalu memimpin pasukannya untuk menghadapi pasukan pemberontak yang rata-rata memiliki kepandaian berkelahi yang kuat itu.

   Dengan perlawanan dua orang senopati ini, sedangkan Mahesa Rangkah tidak mampu membantu anak buahnya, karena menghadapi Nurseta saja ia sibuk setengah mati. Maka perlahan-lahan pihak pemberontak terdesak mundur dan banyak diantara anak buah mereka yang roboh oleh amukan Senopati Pamandana dan Senopati Banyak Kapuk.

   Melihat keadaan anak buahnya, pasukan inti yang diandalkan itu mengalami tekanan dan mendekati kekalahan, Mahesa Rangkah meniadi semakin panik dan dia menjadi nekat. Sambil mengeluarkan pekik menggetarkan, ia menubruk ke depan, goloknya membabat leher Nurseta, tangan kirinya mencengkeram ke arah dada, disusul tendangan kakinya yang mengarah selangkangan. Dihujani serangan berbahaya yang masing-masing merupakan serangan maut itu, Nurseta bersikap tenang sekali. Dia maklum akan kehebatan lawan yang amat berbahaya itu, maka diam-diam dia Ialu mengerahkan Aji Jagad Pralaya, yaitu aji pukuian yang dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura. Nurseta meloncat ke belakang, cukup jauh dari jangkauan golok lawan, dan pada saat lawan mengejarnya dengan tendangan yang amat kuat, iapun menyambut tendangan kaki kanan itu dengan tangkisan lengan kiri, kemudian, pada saat yang sama, tangan kanannya membuat gerakan mendorong dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan, disertai suara melengking tinggi. Itulah Aji Jagad Pralaya yang ampuhnya tiada kepalang.

   "Hyaaattt.......!"

   Mahesa Rangkah terkejut ketika tendangannya bertemu dengan lengan yang keras bagaikan sebatang linggis besi, dan ia lebih terkejut lagi menghadapi hantaman tangan kanan pemuda itu yang dibarengi pekik melengking yang mendatangkan angin dahsyat. Terpaksa iapun melepaskan goloknya dan kedua tangannya terbuka, mendorong ke depan untuk menyambut, karena untuk menghindar sudah tiada kesempatan lagi.

   "Desss..........!!"

   Bagaikan sehelai layang-layang putus talinya, tubuh yang tinggi besar itu terdorong dan terhuyung ke belakang. Untung bagi Mahesa Rangkah, bahwa ia memihki banyak pengawal pribadi yang sejak tadi siap membantunya. Melihat Mahesa Rangkah terhuyung, belasan orang Ialu melindunginya dan raksasa inipun lenyap diantara ratusan orang yang sedang bertempur.

   Para perajurit Singosari bersorak gembira melihat Mahesa Rangkah mundur, dan kemenangan Nurseta ini menambah semangat mereka. Juga kedua orang senopati Singosari kagum dan girang bukan main. Mereka berdua menghampiri Nurseta, dan Senopati Pamandana berkata dengan penuh kagum.

   "Raden, kau sungguh hebat, mampu mengalahkan Mahesa Rangkah. Terima kasih atas bantuanmu, Raden Nurseta"

   Diam-diam Nurseta merasakan sesuatu yang aneh, akan tetapi tidak janggal mendengar dirinya disebut Raden oleh seorang Senopati Kerajaan Singosari. Padahal ia hanyalah seorang pemuda miskin yang besar dalam kehidupan yang sederhana. di dusun-dusun dan pertapaan. Namun kenyataannya, ia adalah seorang putere pangeran, maka sebutan itupun diterimanya sebagai suatu hal yang sudah sewajarnya.

   "Sudahlah, paman. Yang penting sekarang adalah mengejar dan menangkap Mahesa Rangkah sampai dapat, hidup ataupun mati karena ialah pemimpin pemberontakan ini, dan sekali ia dapat tertangkap, maka pemberontakan ini tentu akan berakhir"

   Dua orang senopati itu membenarkan dan merekapun kemudian mengamuk, merobohkan setiap orang pemberontak yang melawan, namun mereka tidak berhasil menemukan Mahesa Rangkah. Adapun para anggota pemberontak, ketika melihat bahwa pemimpin mereka kalah, menjadi panik.

   Sementara itu, Mahesa Rangkah bersembunyi diantara anak buahnya, diam diam ia mengumpulkan tenaga saktinya untuk memulihkan keadaannya. Ia teiah menderita luka dalam karena guncangan hebat akibat benturan tenaga sakti tadi. Ia muntah darah, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, nyawanya masih dapat diselamatkan, hanya saja ia merasa bahwa untuk maju lagi melawan pemuda yang bernama Nurseta itu, ia tidak akan mampu menang, bahkan akan membahayakan nyawanya.

   Nurseta maklum bahwa Mahesa Rangkah tentu belum pergi dari dalam medan pertempuran, maka iapun menyelinap pergi, Ialu melakukan pencarian secara diam-diam. Dan tak lama kemudian, usahanya berhasil ketika ia melihat bekas lawannya itu. Akan tetapi, kini keadaan Mahesa Rangkah telah pulih kembali. Raksasa ini sedang duduk bersila dan seorang kakek berdiri di belakangnya, menekan beberapa kali ke arah kedua pundak dan tengkuk.

   Nurseta mengintai dari jauh dan mendekati perlahan-lahan sambil menyusup diantara orang-orang yang sedang bertempur.

   Untuk yang terakhir kalinya, kakek itu menampar ke arah punggung Mahesa Rangkah, lalu berkata "Sembuhlah kau, Mahesa Rangkah. Dan lawanlah lagi musuhmu itu, jangan khawatir, aku akan membantumu dari belakang"

   Mahesa Rangkah bangkit dengan wajah gembira, lalu berkata.

   "Terima kasih, Guru. Setelah. Guru datang, saya yakin dapat mengalahkan pemuda bernama Nurseta itu"

   Nurseta mengamati kakek itu. Seorang kakek yang tubuhnya sedang dan biarpun kelihatan usianya sudah tua sekali, mungkin sekitar lebih dari tujuh puluh tahun, namun tubuh itu masih nampak tegak dan sehat. Wajahnya terhias kumis dan jenggot yang kelabu, pakaiannya serba hitam, pakaian petani. Wajah itu penuh semangat, sepasang matanya mencorong seperti mata harimau di dalam gelap, atau mata iblis.

   Mendengar Mahesa Rangkah menyebut guru kepada kakek itu. Nurseta maklum, bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki kesaktian tinggi dan akan merupakan lawan yang amat tangguh. Namun, ia tidak merasa gentar. Ia sedang berjuang mempertahankan tanah air dan bangsa, pikirnya. Teringat akan petuah petuah gurunya dan juga bapaknya, Ki Baka. Bagi seorang satria utama, seorang pendekar dan pahlawan pembela nusa bangsa, setiap jengkal tanah akan dipertahankan dengan taruhan sepercik darah. Sejengkal tanah sepercik darah, itulah semboyan seorang laki-laki sejati.

   Dan untuk perjuangan ini, tidak dikenal perasaan jerih atau takut, terhadap lawan yang bagaimana tangguh sekalipun. Ingatan ini mengobarkan semangatnya dan Nurseta meloncat keluar menghampiri mereka.

   "Mahesa Rangkah, hendak lari ke manakak kau? Sudah aku katakan, menyerahlah saja, karena semua pemberontakanmu yang keji ini akan sia-sia belaka"

   Bentaknva.

   Melihat lawannya, Mahesa Rangkah yang telah diobati dan disembuhkan oleh gurunya yang muncul secara tiba-tiba, menjadi marah. Kini besarlah hatinya. Ki Buyut Pranamaya gurunya telah berada di situ dan ia percaya bahwa dengan bantuan gurunya, ia akan mampu mengalahkan pemuda itu. Tidak ada manusia di dunia ini yang akan mampu mengalahkan kesaktian gurunya. Demikian kepercayaan Mahesa Rangkah dan karena ada gurunya ini pula maka ia berani melakukan pemberontakan untuk membalas dendam kepada Singosari atas kematian mendiang ayahnya, Linggapati yang juga pemberontak.

   Mahesa Rangkah meloncat ke depan Nurseta sambil tertawa bergelak.

   "Ha-ha ha-ha bocah ingusan. Aku tadi hanya beristirahat sebentar saja untuk menghapus keringatku. Sekarang kau ingin menyerahkan nyawa. Nah, bersiaplah untuk mampus!"

   Raksasa itu membentak dan tubuhnya sudah menubruk maju. Kali ini tangan kanannya memegang sebatang keris karena dalam perkelahiannya melawan Nurseta tadi, ia telah kehilangan golok besarnya. Golok besar dan berat saja dapat dimainkan dengan amat cepatnya oleh tangan MahesK Rangkah, apalagi sebatang keris yang ringan.

   Keris itu bagaikan terbang saja menghunjam ke arah dada Nurseta. Pemuda ini miringkan tubuhnya, tangan kirinya mengikuti gerakan lengan lawan menolak ke arah siku kanan lawan yang memegang keris, sedangkan tangan kanannya sendiri yang memegang suling, telah bergerak untuk menotok ke arah lambung. Biarpun hanya sebatang suling, namun karena digerakkan oleh tangan pemuda itu yang mengandung tenaga dalam yang tinggi, maka suling itu keras bagaikan baja.

   Mahesa Rangkah juga maklum akan hal ini, maka dia meloncat ke belakang sambil mengelebatkan kerisnya menangkis sinar hitam suling yang meluncur ke arah lambungnya, dengan gerakan dari atas ke bawah.

   "Cringg........"

   Kembali Mahesa Rangkah merasa lengan kanannya kesemutan dan tergetar hebat. Pada saat itu, Nurseta telah mendesak. Tangan kirinya menampar ke arah kepala lawan. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada hawa aneh menyambarnya dari samping, dan hawa ini menahan tamparannya.

   Nurseta terkejut dan meloncat ke samping, sambil menoleh, ia melihat kakek itu membuat gerakan dengan tangannya dan iapun maklum bahwa kakek itu telah membantu muridnya dengan ilmu yang aneh, mungkin ilmu hitam yang dapat menyerangnya dari jarak jauh. Dugaannya ternyata benar. Sekarang kakek itu kembali membuat gerakan aneh dengan tangannya, tiba-tiba ia melihat kakek itu telah berubah bentuk menjadi seperti seekor ular naga bertanduk satu.

   Nurseta tidak pernah mempelajari ilmu hitam atau ilmu sihir, walaupun dia sudah banyak mendengar akan ilmu-ilmu hitam dari gurunya, beruntunglah ia, bahwa gurunya juga mengajarkan cara menghadapi dan menangggulangi kekuasaan ilmu hitam. Maka iapun bersikap tenang saja. Pada detik itu, Mahesa Rangkah sudah menerjang lagi dari arah samping. Kerisnya menusuk ke arah lehernya.

   Nurseta mengelak dengan bergulingan, dan dalam kesempatan itu, kedua tangannya menepuk tanah dan menggunakan telapak tangan kiri yang terkena tanah itu untuk mengusap mukanya.

   Ketika Nurseta meloncat bangun dan memandang ke arah kakek itu, kakek itu kelihatan biasa saja, sama sekali tidak tampak seperti ular naga seperti tadi. Hal ini berarti bahwa kekuasaan ilmu hitam tadi telah dapat ia pecahkan, dan ia tidak lagi terpengaruh ilmu sihir itu.

   "Bocah, lihat baik-baik siapa aku"

   Tiba-tiba terdengar suara kakek itu parau menggetar dan mengandung penuh kekuatan sihir. Namun, kakek itu tidak tahu bahwa Nurseta telah dapat memecahkan kekuasaan ilmu sihirnya, dan pemuda itu tersenyum

   "Kau adalah seorang kakek tua yang suka main-main dengan ilmu hitam, dan kau adalah guru Mahesa Rangkah sang pemberontak. Sebagai seorang guru, sepatutnya kau melarang muridmu melakukan hal-hal yang buruk dan sesat"

   Sadarlah Ki Buyut Pranamaya bahwa pemuda itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya. Diam-diam ia merasa terkejut dan heran, juga penasaran sekali. Mungkinkah seorang pemuda yang masih hijau begini mampu menolak kekuasaan ilmu hitamnya?

   "Mahesa Rangkah, minggirlah. Biar aku yang akan membasmi anak setan ini. Engkau lebih baik memimpin pasukanmu untuk menumpas pasukan Singosari"

   Katanya, nada uaranya tidak tenang atau sabar lagi karena hatinya mulai terasa panas.

   Mahesa Rangkah cepat menyingkir karena iapun meiihat betapa anak buahnya mulai kacau. Ketika ia menerjang ke dalam medan pertempuran dan anak buahnya meiihat betapa pemimpin mereka kini menjadi segar bugar dan gagah kembali, mereka bersorak dan dengan penuh semangat mereka kembali melakukan perlawanan sehingga pertempuran berkobar lagi dengan lebih sengit.

   Sementara itu, kini Ki Buyut Pranamaya berhadapan langsung dengan Nurseta. Sejenak keduanya saling pandang seperti dua ekor jago aduan dilepas di medan laga. Mereka saling pandang untuk menilai dan menimbang kekuatan lawan. Meiihat betapa sinar mata pemuda itu tajam namun lembut, diam-diam kakek itu terkejut juga. Seorang bocah yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan, pikirnya. Menghadapi seorang lawan sakti saja, ia tidak akan merasa gentar. Akan tetapi untuk menghadapi seorang lawan yang sinar matanya begitu lembut, penuh damai dan suci, pertanda bahwa batin lawannya itu masih murni, diam-diam ia merasa khawatir. Pantas tidak dapat dikuasainya dengan sihir, pikirnya.

   Seorang yang mempunyai batin bersih seperti pemuda ini, tentu memiliki dasar tenaga sakti yang luar biasa kuatnya.

   "Hohhh......."

   Tiba-tiba orang tua itu membentak. Kedua lengannya dibentang lebar. Karena tubuhnya mengenakan jubah lebar di luar pakaian petani yang serba hitam, maka ia tampak seperti seekor burung gagak yang hendak terbang. Tiba-tiba saja, kedua tangannya bergerak dan tangan kirinya sudah mengirim pukulan jarak jauh dengan dorongan ke depan, mengarah dada Nurseta.

   "Wuuut........!"

   Angin pukulan keras sekali menyambar.

   Nurseta mengenal pukulan ampuh, maka iapun menggeser kaki ke samping dan membuat gerakan seperti menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya. Dua kekuatan sakti bertemu di udara. Kembali kakek itu terkagum-kagum. Ternyata pemuda itu mampu mengimbangi kekuatan tenaga saktinya dalam pukulan jarak jauh.

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tadi dia hanya menguji saja dan melihat bahwa dengan ilmu sihir dan pukulan mengandalkan tenaga sakti jarak jauh ia tidak akan mampu menundukkan pemuda ini, kakek itu lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan kini menyerang dengan gerakan aneh. Serangannya kali ini langsung. Lengan kanannya yang panjang meluncur ke arah kepala Nurseta untuk mencengkeram ke arah ubun-ubun, sedangkan tangan kirinya menyelonong ke bawah untuk mencengkeram ke arah selakangan.

   Sungguh merupakan serangan yang keji dan juga amat berbahaya karena kedua tangan itu seperti cakar maut.

   Menghadapi serangan ini, Nurseta juga bertindak dengan cepat. Lengan kirinya diangkat untuk menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun itu, sedangkan suling hitam di tangan kanannya meluncur, menyambut tangan kiri lawan yang mencengkeram ke arah bawah pusarnya, dengan tusukan ke arah pergelangan tangan.

   Kalau dilanjutkan cengkeraman itu,. sebelum mengenai sasaran, tentu lebih dulu pergelangan tangan itu akan tertusuk suling. Andaikata kakek itu kebal dan tidak dapat terluka sekalipun, tetapi otot itu akan tertusuk keras yang akan membuat tangan itu seketika menjadi lumpuh.

   Ki Buyut Pranamaya tidak mau membiarkan pergelangan tangan kirinya tertusuk, maka ia cepat menarik kembali tangannya, dengan mengerahkan tenaga pada lengan kanan yang ditangkis lawan. Ia tidak dapat mencegah lagi, lengan kanan kakek itu bertemu dengan lengan kiri Kurseta yang menangkisnya.

   "Dukkk!!"

   Pertemuan dua tenaga sakti yang kuat melalui lengan itu membuat keduanya tergetar hebat, bahkan Nurseta sampai terpental ke belakang, namun tidak sampai roboh karena ia telah mampu menguasai dirinya.

   Sebaliknya, kakek itupun terdorong dan terhuyung Wajahnya menjadi agak kemerahan, tanda bahwa ia merasa terkejut dan penasaran. Ia adalah seorang datuk yang selama ini merasa paling sakti, tak pernah menemui lawan. Tetapi melawan seorang pemuda ingusan saja, ia sampai terhuyung.

   Untung bahwa mereka bertanding di antara orang-orang yang sedang bertempur sehingga tidak ada yang menonton dengan penuh perhatian. Kalau sampai pertandingan itu disaksikan banyak orang dan mengetahui ia terhuyung dalam adu tenaga pertama, tentu ia akan merasa malu bukan main. Rasa penasaran mengundang kemarahannya, bagaikan api disiram minyak, berkobarlah kemarahannya dan hal ini dapat dilihat melalui sinar matanya yang seolah-olah berkilat ketika dia memandang Nurseta.

   Tanpa mengeluarkan suara, kakek itu sudah menerjang lagi ke depan dan kali ini, ia sama sekali tidak mau coba-coba lagi, dan begitu menyerang, ia sudah mengerahkan semua tenaganya dan serangan itu merupakan pukulan dan cengkeraman yang bertubi-tubi ke arah bagian tubuh paling lemah dari Nurseta. Namun, pemuda ini telah siap siaga. Maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh, iapun segera mengerahkan tenaga sakti Sari Patala (Inti Bumi) sehingga tubuhnya menjadi kokok kuat dan, kebal. Kedua lengannya berisi penuh Aji Bajradenta. Dengan kecepatan gerakan tubuhnya, ia mengelak dan menangkis, bahkan membalas dengan tamparan-tamparan Bajradenta, dan sekali-kali diseling dengan tendangan.

   Terjadilah perkelahian yang amat seru dengan angin yang kuat menyambar-nyambar di sekeliling mereka, membuat debu dan daun kering beterbangan seperti diterjang angin badai.

   Orang-orang yang bertempurpun menjauh, karena baru tersambar angin pukulan saja, mereka ada yang terhuyung dan bahkan terguling

   Tidak percuma Nurseta menjadi murid Panembahan Sidik Danasura. Biarpun ilmu silat yang dimainkannya itu dipelajarinya dari Ki Baka, namun oleh gemblengan Panembahan Sidik Danasura, ilmu-ilmu itu menjadi matang dan jauh lebih ampuh dibandingkan dengan permainan Ki Baka sendiri. Semua gerakan pemuda itu berisi tenaga sakti, gerakan-gerakannya mantap dan penuh ketenangan yang timbul dari kepercayaan kepada diri sendiri.

   Sebagai seorang ahli silat yang pandai, Ki Buyut Pranamaya tentu saja terkejut bukan main. Pemuda ini bukan saja mampu menghindarkan semua serangannya, bahkan mampu membalas dengan hebat, mampu menandinginya dalam suatu perkelahian yang seimbang. Dan dia mengenal gerakan pukulan pemuda ini.

   "Takkk ! Dessss.......I"

   Kembali keduanya terdorong mundur oleh adu tenaga yang tak dapat dihindarkan lagi. Wajah kakek itu berkeringat dan matanya mencorong. Sedangkan wajah Nurseta masih tenang saja ketika mereka maju lagi dan saling memandang dengan tajam.

   "Hemm, gerakan-gerakanmu seperti gerakan Ki Baka"

   Kata kakek itu.

   "Apamukah Ki Baka itu?"

   Nurseta mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik "Ki Baka adalah ayahku, juga guruku"

   Jawaban ini membuat kakek itu tertegun dan matanya terbelalak. Hanya murid Ki Baka? Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Ki Baka sendiri sama sekali bukan tandingannya, Akan tetapi mengapa puteranya dan juga muridnya begini saktinya?

   Dia menjadi semakin penasaran dan sebagai tanggapan atas keterangan pemuda itu, dia kini menyerang dengan ilmunya yang dahsyat, yaitu ilmu tendangan Bukan tendangan biasa, karena kedua kakinya itu seperti kitiran angin berputar saja layaknya, kanan kiri menendang silih berganti dan susul menyusul, merupakan serangkaian tendangan yang dahsyat dan kuat. Sambil mengirim serangkaian tendangan yang dahsyat itu, mulut kakek iiu mengeiuarkan suara yang amat berwibawa.

   "Robohlah. Kau tak akan kuat menghadapi ilmu tendanganku Aji Cakrabairawa. Robohlah kau, Nurseta!"

   Nurseta merasa betapa ada kekuatan dahsyat dalam suara itu, seolah-olah memaksanya untuk jatuh. Ia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga dalamnya karena maklum bahwa ilmu sihir yang terkandung dalam suara itu bahkan lebih berbahaya dari pada tendangan itu sendiri. Ia hanya dapat mengelak ke sana-sini menghadapi tendangan itu, dan sekali-kali menangkis. Akan tetapi, kekuatan kaki memang lebih besar dari pada kekuatan lengan, maka setiap kali menangkis, ia merasa betapa tubuhnya terguncang keras.

   Kini Nurseta Terdesak dan ia harus waspadas mengikuti gerakan kaki yang seperti kitaran angin itu. Dan tiba-tiba dia meiihat sesuatu yang membuat jantungnya berdebar keras, dan matanya terbelalak, ketika ia memperhatikan bahwa kedua kaki telanjang itu masing-masing hanya mempunyai empat buah jari, tidak mempunyai ibu jari.

   "Bayunirada......!"

   Nurseta membentak, teringat akan cerita Ki Baka tentang Wiku Bayunirada yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala, juga telah melukai Ki Baka dengan pukulan yang disebut Aji Margaparastra.

   Kakek itu terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Bayunirada itu, sehingga rangkaian tendangan kakinya menjadi agak kacau. Nurseta memandang penuh perhatian walaupum dia masih terus mengelak dan menghindarkan diri dari tendangan yang tak kunjung henti itu.

   "Kau Wiku Bayunirada yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala, dan telah melukai ayahku"

   Kembali Nurseta membentak dan karena kini dia berhadapan dengan orang yang memang dicarinya, ia melanjutkan.

   "Kakek jahat, kembalikan tombak pusaka itu"

   Kakek itu menghentikan tenndangan-tendangannya dan tertawa bergelak. Sehingga Nurseta merasa heran.

   Menurut keterangan Ki Baka, Wiku Bayunirada mengenakan pakaian dan ikat kepala serba putih, mukanya pucat keriputan seperti muka mayat dan kalau bicara atau ketawa bibirnya tidak bergerak. Akan tetapi mengapa kakek ini, yang memakai nama Ki Buyut Pranamaya memiliki wajah yang sama sekali berbeda? Akan tetapi, dia menduga bahwa tentu kakek yang sakti dan pandai ilmu sihir ini pandai pula melakukan penyamaran.

   "Ha-ha-ha, tombak pusaka itu kini milikku dan tak seorangpun boleh merampasnya dariku, kecuali kalau tubuh ini sudah menjadi mayat"

   Berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebuah tombak bergagang pendek dari balik jubahnya. Nampak sinar putih seperti perak berkilat dan tentu saja 'Nurseta mengenal tombak pusaka itu. Akan tetapi, kini kakek itu mempergunakan tombak pusaka yang mempunyai kekuatan menolak bala itu, dipergunakan untuk menyerang dengan dahsyatnya.

   Tombak pusaka suci yang merupakan pelindung manusia itu kini disalahgunakan, dipergunakan untuk menyerang dan berusaha membunuh manusia.

   "Kakek iblis laknat !"

   Nurseta berseru dan cepat ia melempar tubuhnya ke samping, kemudian dari bawah ia melontarkan pukulan Bajradenta dengan penuh kekuatan.

   "Heiiiitt.......!"

   Kakek itu berteriak sambil mengelak, kemudian dia berseru "Terimalah Aji Margaparastra ini!"

   Dan kakek itupun mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka ke arah dada Nurseta.

   Hebat bukan main pukulan ini, dan Nurseta membayangkan keadaan Ki Baka yang menjadi manusia cacat dan tidak berdaya selama bertahun-tahun karena pukulan keji ini. Ia menjadi nekat, mengerahkan Aji Jagad Pralaya yang dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura, dari bawah dia memukul ke atas, menyambut pukulan lawan.

   "Dessss...........!!"

   Dua aji pukulan yang ampuh dan sakti bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang. Ternyata aji pukulannya yang amat sakti itu masih kalah terhadap aji Jagad Pralaya. Akan tetapi karena ia memang sakti, apa lagi karena di tangannya terdapat tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang memiliki khasiat penolak bala, kakek itu bangkit kembali. dan tidak mengalami luka Bahkan kini ia sudah menerjang lagi. tangan kirinya diisi aji pukulan Margaparastra, sedangkan tangan kanannya mengayun tombak pusaka itu, menyerang Nurseta dengan penuh kemarahan.

   Nurseta terpaksa mempergunakan lagi kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini.

   Kalau dibuat ukuran, maka tentu saja kakek itu menang pengalaman, dan juga lebih kaya akan ilmu-ilmu yang aneh dan ampuh sehingga dapat dikatakan bahwa dia masih setingkat lebih tinggi dari pada Nurseta yang masih muda. Akan tetapi, ilmu yang dipelajari oleh Nurseta lebin bersih dan karenanya memiliki dasar lebih kuat. Apa lagi, tubuhnya yang masih murni itu lebih kuat dan memiliki daya tahan lebih besar ketimbang lawan, sehingga biarpun tingkatnya masih kalah, namun Nurseta masih dapat menandingi lawannya dan sampai sebegitu lamany belum juga roboh atau terluka.

   Akan tetapi, setelah kini kakek itu mengamuk dengan tombak pusaka Tejanirmala di tangan, diam-diam Nurseta menjadi gentar juga. Hawa dari tombak pusaka itu memang ampuh sekali, terasa dingin menyusup tulang dan seperti hendak memadamkan semua nafsu berkelahinya.

   "Wuuuuuttt....... singgg.......!"

   Ujung tormbak pusaka itu nyaris mengenai pundak Nurseta yang cepat melempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.

   Kakek itu tertawa bergelak dan terus mengejar, bertubi-tubi mengirim serangan dengan tusukan tombak pusaka diseling tamparan tangan kiri dengan Aji Margaparastra.

   Nurseta bergulingan, mengelak untuk menyelamatkan nyawanya. Ketika dia meiihat kesempatan baik, tiba tiba dia meloncat bangun, menangkis tangan kin kakek itu dan mengelak dari sambaran tombak, lalu kakinya menendang.

   "Plakkk!"

   Tendangannya menyerempet paha Ki Buyut Pranamaya yang pernah mempergunakan nama Wiku Bayunirada itu.

   Kakek itu terkejut dan mengeluarkan sumpah serapah saking marahnya. Akan tetapi, tendangan itu membuat tubuhnya terhuyung dan pada saat itu, nampak bayangan hijau berkelebat. Sebuah pukulan kilat mengenai siku kanan kakek itu yang seketika merasa lengan kanannya lumpuh. Sebelum dia sempat mencegahnya, tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah berpindah tangan.

   "Keparat.......!"

   Ki Buyut Pranamaya terkejut dan marah sekali, bagaikan seekor singa yang terluka dia membalik ke kanan dan melihat bahwa yang merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala tadi hanyalah seorang gadis berpakaian serba hijau, usianya paling banyak duapuluh tahun, berkulit kuning langsat, wajahnya manis, dengan sepasang mata seperti bintang yang tajam, akan tetapi juga mengandung sinar dingin yang mengerikan, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah dan begitu bibir itu bergerak, nampak lesung pipit di pipi kiri, sedangkan pipi kanannya terhias tahi lalat kecil. Seorang gadis telah merampas tombak pusakanya. Hampir tak dapat dipercaya.

   "Perempuan iblis, kembalikan tombakku"

   Bentaknya dan tanpa memperdulikan bahwa yang merampas pusaka itu adalah seorang wanita muda, kakek ini langsung saja mengirim pukulan Aji Margaparastra yang amat ampuh itu.

   "Wulan, awas......!"

   Nurseta berseru keras. melihat kakek itu menubruk ke depan dengan pukulan ampuh itu. Nursetapun cepat menyambar dari samping untuk menangkis.

   "Desss........!"

   Biarpun Nurseta sudah berhasil menangkis, tetap saja hawa pukulan itu menyambar ke arah gadis berpakaian serba hijau itu. Namun, gadis itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan tubuhnya meliuk ke kiri sehingga hawa pukulan ampuh itu luput, Kemudian, sekali berkelebat, gadis itu lenyap di antara orang-orang yang sedang bertempur sambil membawa tombak pusaka yang disembunyikan di balik bajunya dan diselipkan di ikat pinggangnya.

   "Perempuan setan, jangan lari. Kembalikan pusakaku"

   Bentak Ki Buyut Pranamaya yang cepat loncat mengejar.

   Nurseta hendak mengejar pula, akan tetapi ia teringat akan keadaan pasukan kerajaan. Kalau ia pergi, tentu kedua orang senopati Singosari itu tidak akan mampu menandingi Mahesa Rangkah dan mungkin mereka akan celaka, dan pasukan pemerintah akan kalah. Oleh karena itu, ia teringat akan tugas utamanya lebih dahulu. Tombak pusaka itu telah dirampas oleh gadis berpakaian hijau yang dia yakin adalah Wulansari, yang kini telah menjadi seorang gadis yang demikian sakti sehingga mampu merampas pusaka itu dari tangan seorang kakek iblis seperti Ki Buyut Pranamaya. Yang penting ia harus membantu pasukan pemerintah agar pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah dapat dikalahkan.

   Benar saja, ketika itu, dua orang senopati Singosari telah payah menghadapi amukan Mahesa Rangkah, Melihat situasi yang demikian ini, gerombolan pemberontak berbesar hati dan merekapun mendesak pasukan Singosari yang kini berbalik semakin mundur.

   Nurseta menerjang ke dalam pertempuran, dan dengan pukulan Bajradenta, dia menyerang Mahesa Rangkah. Raksasa ini terkejut bukan main meiihat munculnya pemuda ini. Tadi dia sudah merasa yakin bahwa gurunya tentu akan menewaskan pemuda ini. Akan tetapi mengapa kini pemuda ini tiba-tiba muncul? Apakah gurunya.......? Ah, tidak mungkin ! Ia mengelak dengan loncatan ke belakang, sambil menoleh ke arah dimana tadi gurunya bertanding melawan Nurseta. Dan ia tidak meiihat adanya Ki Buyut Pranamaya di sana.

   "Guru.........!"

   Teriaknya dan iapun meloncat, lenyap di antara anak buahnya. Nurseta bersama dua orang senopati Singosari mengejar, namun banyak anggota pemberontak menghadang sehingga mereka bertiga mengamuk dan merobohkan banyak musuh.

   Meiihat betapa pemimpin mereka kembali melarikan diri, dan tiga orang jagoan dari pasukan Singosari itu mengamuk, para anak buah pemberontak menjadi jeri. Tanpa adanya pimpinan, apa lagi melihat betapa Mahesa Rangkah dan bahkan Ki Buyut Pranamaya sudah meninggalkan gelanggang, merekapun menjadi panik dan akhirnya mereka juga melarikan diri, dikejar oleh pasukan yang dipimpin oleh Senopati Pamandama dan Senopati Banyak Kapuk, dibantu oleh Nurseta.

   Setelah meiihat Mahesa Rangkah dan pasukannya mundur dan melarikan diri, dikejar pasukan Singosari, Nurseta lalu meloncat dan berlari cepat melakukan pengejaran ke arah larinya Wulansari yang dikejar oleh Ki Buyut Pranamaya tadi. Dia mengkhawatirkan gadis itu, juga khawatir kalau-kalau tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala akan terampas lagi oleh kakek sakti itu. Dengan pengerahan ilmunya berlari cepat, tubuh Nurseta berkelebatan seperti terbang saja, menuju ke selatan.

   Kita telah dibuat penasaran o!eh munculnya gadis berpakaian hijau yang telah tiga kali muncul secara tiba-tiba dan penuh rahasia. Pertama kali ia muncul dalam sungai yaitu ketika Nurseta berperahu dihadang para bajak sungai di Kali Campur. Ia membunuhi para bajak yang telah menggulingkan perahu Nurseta dan yang membunuh petani yang berperahu dengan Nurseta di Kali Campur. Kemudian, gadis berpakaian hijau itu pergi tanpa pamit, tidak memberi kesempatan kepada Nurseta untuk bicara dengannya. Pada hal Nurseta merasa yakin bahwa gadis berpakaian hijau adalah Wulansari.

   Kemunculannya yang ke dua adalah ketika Nurseta dikeroyok penghuni dusun karena dia mencegah mereka itu membunuh Jumirah, isteri Ki Lembu Petak. Dalam keributan itu, gadis itu muncul dan membunuh Jumirah, kemudian pergi pula tanpa pamit. Dan kemunculannya sekarang ini adalah yang ke tiga, kemunculan yang membuat Nurseta menjadi semakin bingung karena gadis baju hijau yang diyakininya adalah Wulansari itu telah membantunya menghadapi Ki Buyut Pranamaya yang amat sakti, bahkan gadis itu berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan melarikan pusaka itu.

   

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini