Sepasang Garuda Putih 12
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai bersinar mengusir kabut pagi, muncullah Brajamusti bersama belasan orang pembantunya yang menjadi pasukan pengawalnya dan di belakangnya datang berbondong-bondong anak buahnya yang semua sudah membawa golok telanjang. Sikap mereka itu menantang dan bengis sekali. Ki Haryosakti menyambut musuh, diiringkan Saroji dan Sarmini bersama pasukan pengawal yang belasan orang banyaknya. Akan tetapi pemuda dan gadis ini tidak berani sernbarangan maju karena mereka berdua sudah mengenal kesaktian Brajamusti yang memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga tombak dan keris mereka tidak mampu melukainya. Ki Haryosakti yang sudah mendengar keterangan dua orang anaknya tentang kesaktian Brajamusti juga melarang mereka maju. Dia sendiri yang akan menghadapi Ki Bajramusti yang tangguh itu.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya Ki Brajamusti ternyata memiliki kegagahan dan memenuhi tantanganku. Apakah andika telah siap untuk menghadapi kekalahan?"
Ki Haryosakti berkata mengejek untuk menjatuhkan nyali lawan. Ki Brajamusti tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, masih untung semalam aku menitipkan nyawamu kepadamu, Haryosakti. Akan tetapi pagi ini aku akan mengambilnya dan semua orang-orangmu harus tunduk kepadaku atau akan kubasmi semua!"
"Babo-babo! Jangan omong besar. Sekarang tentukan bagaimana pertandingan diadakan. Kita berdua satu lawan satu, ataukah main keroyokan? Kami sudah siap!"
"Jangan seperti anak kecil, Haryosakti. Kita berdua adalah orang-orang tua yang memegang teguh janji. Kita bertanding satu lawan satu dan siapa yang kalah harus menaati kehendak yang menang. Bagaimana, setujukah engkau dengan peraturan ini?"
"Bagus, itulah yang kukehendaki. Mari kita mulai!"
Jawab Ki Haryosakti yang sudah membawa senjata pusakanya, yaitu tombak pusaka yang ampuh. Dia melintangkan tombak di depan dada dan sikapnya menantang, kuda-kudanya teguh. Melihat ini, Ki brajamusti mengeluarkan suara tawa bergelak, kemudian dia memutar golok besarnya ke atas kepala sambil berseru,
"Akupun sudah siap, mari kita mulai!"
Ki Haryosakti tidak sungkan lagi, berteriak lantang,
"Lihat tombakku!"
Tombaknya sudah menyambar ke depan dengan tusukan kilat ke arah perut lawan. Brajamusti menggerakkan goloknya menangkis serangan tombak yang amat berbahaya itu. Kini tentu saja dia tidak berani mengandalkan kekebalan tubuhnya. Tombak itu sebatang tombak pusaka dan kini digerakkan oleh seorang yang memiliki tenaga sakti kuat. Goloknya menangkis dari samping.
"Trangg...!!"
Bunga api berpijar ketika dua senjata bertemu dan keduanya merasa betapa telapak tangan mereka panas ketika senjata mereka saling bertemu. Haryosakti menyusulkan serangan bertubi dengan tombaknya. Brajamusti memutar-mutar goloknya dan beberapa kali tombak itu tertangkis golok. Ketika mendapat kesempatan, Brajamusti membalas serangan lawan, goloknya menyambar dengan serangan maut. Namun, Ki Haryosakti cukup gesit untuk mengelak dan ketika golok itu terus menerjang dengan ganasnya, diapun menangkis dengan tombaknya dan kembali dua senjata bertemu dengan kuatnya.
Serang-menyerang terjadi dan kedua orang itu masing-masing merasa terkejut karena ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang. Mereka mengeluarkan semua ilmu mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk mendapatkan kemenangan. Gerakan kedua orang itu demikian cepatnya sehingga bentuk golok dan tombak lenyap, berubah menjadi dua gulung sinar yang saling mendesak dan saling menekan. Satu jam lebih mereka bertanding dan belum tampak ada yang akan menang atau kalah. Entah sudah berapa puluh kali senjata mereka saling bertemu. Akan tetapi diam-diam Haryosakti terkejut. Dia merasa betapa kedua tangannya lelah sekali karena benturan-benturan antara kedua senjata itu. Ternyata tenaga lawan luar biasa kuatnya. Karena maklum bahwa akhirnya dia akan kalah kalau pertandingan dengan senjata itu dilanjutkan, tiba-tiba dia melompat ke belakang dan berseru nyaring,
"Tahan senjata!"
Brajamusti menghentikan gerakannya dan tertawa.
"Ha-haha, belum lecet kulitmu engkau mengajak berhenti. Apakah engkau hendak mengaku kalah, Haryosakti?"
"Siapa yang kalah? Aku tidak kalah. Akan tetapi karena dalam pertandingan adu senjata kita sama kuat, bagaimana kalau sekarang diganti dengan pertandingan tangan kosong? Kita mengadu tebalnya kulit dan kerasnya tulang, tidak lagi mengandalkan senjata melainkan mengandalkan kadigdayaan. Beranikah engkau?"
Brajamusti kembali tertawa. Dia sendiri sudah merasa bingung tadi karena sekian lamanya tidak mampu mendesak lawan. Kini lawannya mengusulkan untuk bertanding tanpa senjata, maka tentu saja dia merasa senang sekali. Dia memiliki tubuh yang kebal dan tenaga yang besar.
"Bagus, siapa takut padamu? Mari kita lanjutkan dengan tangan kosong!"
Dia lalu menyerahkan goloknya kepada seorang pengawal. Haryosakti juga menyerahkan tombaknya kepada Saroji dan kedua orang ketua jagoan ini kini saling berhadapan lagi dengan tangan kosong. Diam-diam keduanya mengerahkan tenaga sakti disalurkan ke dalam ke dua lengan, dan Haryosakti berteriak,
"Lihat pukulan!"
Dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, tangan kanannya menampar ke arah dagu lawan sedangkan tangan kirinya sudah siap menyusulkan serangan kalau tamparannya tidak berhasil.
"Hemm...!"
Brajamusti mengelak dengan menarik mukanya ke belakang hingga tamparan itu luput dan ketika tangan kiri Haryosakti menyusulkan tonjokan ke arah dadanya, tangan kanannya membuat gerakan berputar dan dia sudah menangkis pukulan ke arah dadanya itu.
"Dukk...!"
Kedua lengan bertemu dan keduanya mundur selangkah. Kini Brajamusti membalas serangan lawan dengan tendangan kakinya yang mencuat dengan cepat sekali ke arah perut Haryosakti, akan tetapi ketua Jambuko Cemeng inipun sudah dapat mengelak. Serang menyerang kembali terjadi di antara keduanya. Mereka mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh mereka dalam usahanya untuk merobohkan lawan.
Saroji dan Sarmini menonton dengan alis berkerut. Mereka berdua maklum bahwa pihak lawan sungguh amat tangguh dan mereka tadi sudah melihat keringat membasahi leher ayah mereka ketika berhenti sebentar. Mereka berdua tidak dapat membantu ayah mereka karena hal itu akan dianggap curang. Maka dengan jantung berdebar tegang mereka hanya dapat menonton. Kekhawatiran dua orang muda itu ternyata terbukti tidak lama kemudian. Setelah pertandingan berlangsung lima puluh jurus lebih, mulai tampaklah betapa Ki Haryosakti terdesak mundur. Sudah beberapa kali dia terkena tamparan dan pukulan lawan yang membuat dia terhuyung. Dan beberapa kali pukulannya juga bersarang kepada tubuh lawan, akan tetapi ternyata tubuh itu kebal, membuat pukulannya mental kembali seperti mengenai benda dari karet saja.
"Robohlah!"
Tiba-tiba Bajramusti berseru dan sebuah tendangan kakinya mengenai perut lawan. Ki Haryosakti tidak dapat menghindar. Perutnya tertendang dan dia-pun roboh terjengkang! Bajramusti bertolak pinggang sambil menertawakan lawannya. Para pembantunya ikut pula tertawa dan anak buahnya yang berada di belakang bersorak melihat kemenangan ketua mereka. Sebaliknya, di pihak Jambuko Cemeng orang-orangnya hanya berdiam saja dengan hati tegang.
"Ha-ha, Ki Haryosakti. Engkau sudah kalah! Akuilah kekalahanmu dan mulai sekarang kalian semua harus menaati perintahku!"
(Lanjut ke Jilid 11)
Sepasang Garuda Putih (seri ke 05 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
Tiba-tiba Saroji dengan tombak ayahnya di tangan melompat maju.
"Ayah sudah kalah akan tetapi aku belum! Aku yang akan melawanmu, Bajramusti!"
Melihat majunya pemuda itu, Bajramusti tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, ayahnya sudah kalah kini maju anaknya. Heh, orang muda, engkau bukan tandinganku, apakah engkau sudah bosan hidup?"
Melihat puteranya maju, Ki Haryosakti juga berseru,
"Saroji, mundur kau !"
Dia tahu bahwa kalau puteranya maju, sama halnya dengan membunuh diri. Pada saat itu terdengar seruan suara wanita,
"Ki Bajraniusti, akulah lawanmu!"
Ki Haryosakti dan kedua orang anaknya terkejut mendengar suara Retno Wilis, dan kini mereka melihat Retno Wilis muncul bersama Bagus Seto! Retno Wilis sudah melompat ke depan dan berkata kepada Saroji,
"Lebih baik andika mundur, biar aku yang menghadapi raksasa brewok ini!"
Saroji ragu-ragu, tidak tega membiarkan Retno Wilis melawan ketua Bala Cucut itu, akan tetapi sekali lagi Haryosakti menghardik kepada puteranya untuk mundur. Saroji lalu mundur dan menonton bersama adik dan ayahnya dengan hati tegang dan juga heran. Bagaimana Retno Wilis akan mampu menghadapi raksasa yang amat sakti itu. Bagus Seto juga memandang sambil tersenyum dan pemuda ini menonton di satu pinggiran, tidak mendekati keluarga Haryosakti. Sementara itu, ketika Brajamusti melihat majunya seorang gadis yang cantik jelita, dia tertawa bergelak sambil menengadahkan kepalanya.
"Hoa-ha-ha-ha! Jambuko Cemeng sudah kehabisan jago dan mengajukan seorang perawan cantik untuk melawan aku. Wong ayu, jangan andika yang maju sayang kecantikanmu, sayang kulitmu yang halus kalau sampai lecet. Lebih baik andika ikut bersamaku dan kujadikan selir, ha ha-ha!"
"Brajamusti, tidak perlu bermulut besar. Kalau andika dapat mengalahkan aku, barulah andika berhak untuk bermulut besar! Atau barangkali andika takut melawan aku?"
"Takut? Ha-ha, takut? Aku takut kalau sampai membunuh atau melukaimu, cah ayu."
"Kalau begitu, bersiaplah andika!"
"Ha-ha-ha, aku sudah siap, ha-ha-ha!"
"Lihat seranganku! Haiiiittt...!"
Retno Wilis menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah dada raksasa itu. Brajamusti hendak memamerkan kekebalannya maka diapun membiarkan saja dadanya terbuka untuk dihantam. Jari-jari tangan Retno Wilis yang kecil mungil itu bertemu dengan dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Akan tetapi ia mempergunakan aji Wisolangking.
"Wuuuttt... dess...!!"
"Aduh... mati aku...!!"
Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan roboh terguling-guling. Brajamusti merasa dadanya seperti pecah. Untung dia tadi mengerahkan ilmu kekebalannya sehingga dia tidak mati terpukul. Dia melompat bangun, menggosok-gosok dadanya dengan telapak tangan kiri sambil memandang kepada Retno Wilis dengan mata mencorong penuh kemarahan.
Sementara itu, Ki Haryosakti dan kedua orang anaknya, juga para anggauta Jambuko Cemeng, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga! Baru sekarang mereka mengetahui bahwa gadis itu memiliki kesaktian yang hebat sehingga sekali pukul saja dapat membuat raksasa itu roboh terguling-guling! Terutama sekali Ki Haryosakti. Wajahnya berubah pucat lalu kemerahan. Dan dia sudah hendak memperisteri gadis itu! Sekarang baru dia merasa bahwa dia dipermainkan! Ki Bajramusti kini marah bukan main. Dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, dia lalu menyerang, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri hendak menerkam tubuh gadis itu. Akan tetapi tubrukannya luput dan tiba-tiba saja gadis itu lenyap. Kemudian dari belakang dia mendengar ada angin menyambar. Cepat dia merendahkan diri untuk mengelak.
Ternyata gadis itu sudah berada di belakangnya. Demikian cepatnya gerakan gadis itu seolah-olah pandai menghilang saja. Dia menjadi semakin marah dan dengan mengeluarkan gerengan-gerengan seperti seekor harimau marah, dia melanjutkan gerakannya, menyerang secara bertubi-tubi, mencakar, menampar, menghantam bahkan kakinya yang panjang besar itu beberapa kali menendang. Namun, dia seperti menyerang angin saja. Semua serangannya tidak mengenai sasaran. Retno Wilis telah mempergunakan ilmu silat Pancaroba yang membuat tubuhnya bergerak seperti seekor burung walet, menyambar-nyambar menghindar kesana-sini dan berputaran. Bajramusti ikut pula berputaran sampai kepalanya menjadi pening dan beberapa kali dia terhuyung! Ketika mendapat kesempatan, Retno Wilis kembali menampar dan tamparannya mengenai leher Bajramusti.
"Wuuuttt... plak...!"
Biarpun yang menampar hanya tangan yang kecil mungil, akan tetapi Bajramusti merasa seperti disambar petir. Hanya kekebalannya yang luar biasa saja yang masih melindunginya. Tubuhnya berputaran, kepalanya pening dan akhirnya diapun roboh untuk yang kedua kalinya.
Akan tetapi dia memang kebal dan kuat. Dari keadaan roboh itu dia melompat dan kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap pinggang yang ramping itu. Dia mengeluarkan suara tawa girang dan dengan sepenuh tenaga dia hendak mengangkat tubuh yang pinggangnya sudah dilingkari jari-jarinya yang panjang dan besar itu. Akan tetapi Retno Wilis yang tadi lengah sehingga pinggangnya dapat disambar, mengerahkan Aji Argoselo yang membuat tubuhnya seberat batu gunung. Bajramusti mengerahkan tenaga untuk mengangkat, namun tubuh itu tidak bergeming sedikitpun juga. Dia merasa terkejut dan penasaran, lalu mengerahkan lagi tenaga sampai mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, namun tetap saja sia-sia. Dan Retno Wilis yang marah karena pinggangnya dipegang orang, lalu menggerakkan kakinya menendang, mengenai perut yang gendut itu.
"Wuuuttt... ngekkk...!"
Pegangan Bajramusti terlepas dan tubuhnya terlempar dan terjengkang ke belakang, terbanting keras. Kini agak lambat dia merangkak bangun karena kepalanya terasa pening. Dan setelah dia bangkit, dia sudah merampas golok yang dibawa pembantunya. Sikapnya amat menyeramkan. Rambutnya awut-awutan, mukanya menjadi merah sekali, matanya melotot dan mengeluarkan busa. Dia mengangkat goloknya tinggi di atas kepala.
Ki Haryosakti dan dua orang anaknya yang tadinya terkagum-kagum melihat Retno Wilis berulang kali merobohkan Bajramusti, kini memandang dengan hati khawatir sekali. Akan tetapi Retno Wilis tetap bersikap tenang, ia meloloskan pedang Sapudenta dan menanti serangan lawan dengan pedang di tangan. Ketika Bajramusti melihat gadis itu sudah memegang sebatang pedang yang baginya amat kecil tidak berarti, dia lalu menggereng seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya sudah menerjang maju, goloknya menyambar-nyambar bagaikan cakar maut ke arah Retno Wilis. Akan tetapi gadis ini dengan mudahnya mengelak ke sana sini, kemudian ketika golok itu dengan cepat menyambar ke arah kepalanya, iapun menggerakkan pedang Sapudenta untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Singgg... trakkk...!!"
Golok itu putus menjadi dua potong! Ki Haryosakti sampai bersorak melihat kehebatan gadis itu. Sebaliknya Ki Bajramusti terkejut bukan main. Dia melemparkan gagang golok ke arah Retno Wihs. Gadis ini menangkis dengan pedangnya dan sisa golok itu meluncur ke bawah dan menancap ke atas tanah. Tiba-tiba Ki Bajramusti mengangkat kedua tangan ke atas, mulutnya berkemak kemik membaca mantra dan tiba-tiba saja ada asap hitam bergulung-gulung keluar dari kedua tangannya dan asap itu menyerbu ke arah Retno Wilis. Gadis ini menyimpan pedangnya dan menggunakan kedua tangannya untuk memukul dengan Aji Wisolangking. Akan tetapi asap itu hanya membuyar dan tetap menyerbu ke arahnya.
"Diajeng, mundurlah!"
Seru Bagus Seto dan Retno Wilis menaati perintah kakaknya. Tubuhnya mencelat ke arah Bagus Seto dan sudah berdiri di samping kakaknya. Bagus Seto melompat ke depan menghadapi Ki Bajramusti yang menggunakan sihir itu. Ketika gulungan asap itu menyelubunginya, Bagus Seto mengambil setangkai bunga cempaka putih dan mengangkatnya ke atas. Seketika asap hitam itu membalik dan bergulung-gulung seperti melarikan diri kembali ke arah kedua tangan Ki Bajramusti! Kakek ini terkejut bukan main dan memandang kepada Bagus Seto dengan mata mencorong.
"Siapakah andika?"
Bentaknya marah.
"Namaku Bagus Seto dan karena andika menggunakan ilmu hitam, akulah yang mewakili adikku menghadapimu,"
Kata Bagus Seto dengan lembut.
"Lebih baik andika pergi saja dari sini dan bawa semua anak buahmu, Ki Bajramusti. Tempatmu di lautan, bukan di daratan yang menjadi wilayah Jambuko Cemeng."
Ki Bajramusti merasa penasaran bukan main. Tadi dalam pertandingan tangan kosong maupun dengan senjata dia telah dikalahkan seorang gadis muda! Dan sekarang dia mengandalkan ilmu sihirnya, dia bertemu dengan seorang pemuda yang dapat menandinginya. Dia masih merasa penasaran dan ingin mengeluarkan ilmunya yang terakhir dan yang diandalkannya.
"Bagus Seto, lihat baik-baik siapa yang kau lawan. Aku adalah Rajanya segala harimau!"
Setelah berkata demikian, Ki Bajramusti melompat jungkir balik tiga kali dan berubahlah dia menjadi seekor harimau yang amat besar, harimau jadi-jadian itu besarnya hampir seperti seekor lembu!
Sambil mengeluarkan suara gerengan, harimau itu membuka mulutnya dan mengancam Bagus Seto. Semua orang yang melihat ini menjadi miris hatinya, kecuali tentu saja Retno Wilis. Gadis ini hanya tersenyum karena maklum bahwa dalam menghadapi ilmu sihir, tidak ada orang yang lebih tangguh dari pada kakaknya. Dengan gerengan yang menggetarkan seluruh perkampungan itu, harimau jadi-jadian itu kini menubruk ke arah Bagus Seto yang kelihatan diam saja, tidak mengelak maupun menangkis. Semua orang melihat betapa harimau besar itu menerkam Bagus Seto. Sarmini sampai menjerit saking ngerinya melihat pemuda yang dikagumi itu diterkam harimau besar. Juga semua orang memandang kaget dan cemas. Akan tetapi ketika harimau itu menerkam dan berusaha menggigit dan merobek-robek tubuh itu, ternyata bahwa yang diterkamnya tadi adalah sebuah batu yang keras!
Dan semua orang melihat Bagus Seto sudah berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada, tak jauh dari situ. Harimau jadi-jadian agaknya baru sadar bahwa yang diterkamnya adalah batu setelah taring dan cakarnya menyerang benda keras. Dia menggereng dan memutar tubuh, melihat Bagus Seto yang sudah berdiri di belakangnya. Kembali dia menerjang, menubruk dan menerkam dibarengi auman yang menggetarkan hati. Kembali dia telah menerkam Bagus Seto seperti tadi, akan tetapi setelah yang diterkamnya roboh di atas tanah dan dicakarnya, pemuda itu berubah menjadi batu. Setelah mempermainkan harimau jadi-jadian itu beberapa kali, Bagus Seto lalu mengeluarkan setangkai bunga cempaka putih dan begitu harimau itu untuk sekian kalinya menubruk, dia memukulkan bunga cempaka pulih itu ke kepala harimau.
"Dar...!"
Terdengar ledakan dan harimau itupun lenyap, berubah menjadi Ki Bajramusti yang mendekam di atas tanah sambil mengeluh.
"Aduh, tobaaatt...!"
Dia memegangi kepalanya yang rasanya seperti remuk.
"Benarkah andika telah bertobat, Ki Bajramusti?"
Tanya Bagus Seto dengan lembut.
"Aku sudah menerima kalah, denmas. Aku sudah bertobat dan hendak menaati semua perintah andika. Aduhaduhhh...!"
Bagus Seto lalu berkata,
"Kalau begitu berjanjilah bahwa engkau tidak akan mengganggu penduduk pantai, menghentikan perbuatanmu yang jahat dan engkau berjanjilah untuk membantu Panjalu jika saatnya tiba."
"Baik, denmas... aku berjanji..."
Bagus Seto menyentuh kepalanya dengan bunga cempaka putih sambil berkata,
"Kalau begitu, sembuhlah dan pergilah membawa anak buahmu kembali ke lautan."
Terkena sentuhan bunga itu, seketika Ki Bajramusti sembuh dan dia segera bangkit berdiri. Akan tetapi sekarang dia telah kehilangan kegarangannya. Dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis yang berdiri di samping kakaknya dengan sikap hormat.
"Aduh, paduka berdua telah mengalahkan aku. Sebetulnya siapakah paduka berdua dan mengapa pula menyuruh aku kelak membantu Panjalu?"
Tanyanya dengan suara tetap kasar akan tetapi dengan sikap menghormat. Memang seorang seperti dia mana dapat berbicara halus?
"Namaku Bagus Seto dan ini adikku Retno Wilis. Kami adalah putera Kanjeng Patih Tejolaksono di Panjalu."
"Ah, maafkan aku yang telah berani melawan paduka. Baiklah, aku akan menaati segala perintah paduka. Hayo kawan-kawan, kita kembali ke lautan!"
Dia lalu memutar tubuhnya dan diiringkan semua anak buahnya meninggalkan tempat itu. Ki Haryosakti juga membubarkan semua anak buahnya. Ketika tinggal dia sendiri bersama Saroji dan Sarmini, sambil membungkuk hormat kepada kedua orang muda itu dia berkata,
"Mari silakan, anakmas berdua, kita bicara di dalam."
Bagus Seto saling pandang dengan Retno Wilis dan mereka tanpa berkata apa-apa ikut masuk ke ruangan dalam rumah gedung itu. Setelah tiba di dalam, Ki Haryosakti lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Bagus Seto dan Retno Wilis.
"Mata saya seperti telah buta dan tidak melihat bahwa paduka berdua adalah orang-orang yang sakti mandraguna. Saya mohon ampun atas semua perbuatan saya terhadap denajeng."
Bagus Seto cepat membangunkan ketua Jambuko Cemeng itu dan berkata,
"Sudahlah, paman, adalah baik sekali kalau paman sudah menyadari kesalahan dan tidak akan berbuat lagi. Silakan berdiri."
Ki Haryosakti bangkit berdiri dan mempersilakan kedua orang muda itu untuk duduk. Saroji dan Sarmini juga duduk dan mereka memandang kepada kedua orang muda itu dengan takjub.
"Saya telah berbuat salah besar. Saya sungguh tidak tahu diri, akan tetapi sekarangpun saya masih mengharapkan agar paduka berdua suka menerima permohonan saya."
Bagus Seto tersenyum.
"Permintaan apakah itu, paman? Kalau memang permintaan itu pantas dan kami berdua dapat melakukannya, tentu kami tidak akan keberatan untuk memenuhinya."
"Ah, sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih, denmas. Akan tetapi harap paduka berdua sudi memaafkan kalau apa yang hendak saya kemukakan itu dianggap lancang."
"Katakan sajalah, paman, jangan sungkan-sungkan. Memang sebaiknya kalau ada penguneg-uneg di hati dikeluarkan dari pada disimpan menjadi dendam."
"Karena sekarang ini paduka berdua berada di sini dan saya memperoleh kesempatan yang amat baik, kapan lagi saya kemukakan niat saya ini kalau tidak sekarang karena mungkin saya tidak akan dapat bertemu dengan paduka berdua lagi."
"Paman Haryosakti, kenapa bicara berputar-putar? Katakanlah apa yang kau kehendaki!"
Kata Retno Wilis yang merasa tidak sabar lagi mendengar kata-kata yang melingkar lingkar itu. Mendapat bentakan dari Retno Wilis, ketua Jambuko Cemeng yang biasanya bersikap gagah itu menjadi pucat wajahnya. Kemudian dia memberanikan diri berkata,
"Niat saya inipun untuk menebus dosa saya terhadap denajeng... kalau paduka berdua sudi menerimanya, saya... saya ingin sekali menjodohkan anak saya Saroji dengan denajeng Retno Wilis, dan saya ingin menyerahkan anak saya Sarmini menjadi jodoh denmas Bagus Seto. Nah, legalah hati saya sudah mengeluarkan isi hati saya ini dan terserah kepada paduka berdua."
Kakak beradik itu saling pandang, seperti juga Saroji dan Sarmini saling pandang. Akan tetapi kalau Sarmini memandang kakaknya lalu tersipu malu dan Saroji juga menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, Retno Wilis memandang kepada kakaknya dengan alis berkerut dan muka berubah merah. Melihat sinar mata adiknya yang marah itu, Bagus Seto menggelengkan kepalanya kepada adiknya sehingga Retno Wilis terpaksa menelan lagi ucapan bernada keras yang hendak dilontarkan dari mulutnya. Bagus Seto tersenyum memandang pada Ki Haryosakti lalu berkata dengan suara lembut,
"Permintaan paman untuk menjodohkan kami berdua dengan putera puteri paman adalah permintaan yang pantas. Akan tetapi terus terang saja kami tidak dapat memenuhi permintaan itu, paman. Bukan sekali-kali kami menolak karena tidak suka.
Putera dan puteri paman adalah dua orang pemuda dan gadis yang elok dan juga gagah. Akan tetapi kami terpaksa menolak karena pada saat ini kami berdua sama sekali belum mempunyai pikiran untuk berjodoh. Kami masih ingin hidup sendiri dan melanjutkan perantauan kami. Karena itu harap paman maafkan dan kami percaya bahwa adimas Saroji dan diajeng Sarmini dapat mengerti alasan kami dan tidak menjadi kecil hati dan merasa ditolak."
Biarpun merupakan penolakan, namun kalau dikeluarkan dengan kata-kata halus dan sopan seperti itu, bagaimana Ki Haryosakti dan kedua anaknya dapat merasa tersinggung dan tidak senang hati? Mereka memang merasa kecewa, akan tetapi dapat memaklumi alasan kedua orang muda sakti itu. Pada hari itu juga, Bagus Seto dan Retno Wilis berpamit kepada Ki Haryosakti. Bagus Seto berkata,
"Paman Haryosakti, kami berdua mohon pamit hendak melanjutkan perantauan kami. Hanya ada satu harapan dari kami, mudah-mudahan saja paman akan dapat memenuhi harapan kami itu."
"Apakah itu, denmas? Katakan, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi harapan itu."
"Nanti kalau sudah tiba waktunya Panjalu dan Jenggala menggerakkan pasukan untuk menundukkan kembali daerah-daerah yang bergolak, maukah paman membawa anggauta Jambuko Cemeng membantu Panjalu?"
"Ah, tentu saja, denmas. Harap jangan khawatir. Biarpun bagaimana juga, kami bukan pemberontak dan masih mengakui kekuasaan Jenggala dan Panjalu. Kalau kelak tiba saatnya, tentu kami akan membantu dengan senang hati."
"Terima kasih, paman."
Setelah berpamit kepada Saroji dan Sarmini, kedua kakak beradik itu lalu meninggalkan perkampungan Jambuko Cemeng, diantar oleh keluarga pimpinan Jambuko Cemeng itu sampai keluar perkampungan. Saroji dan Sarmini berdiri bagaikan patung memandang dua bayangan yang semakin jauh itu dan merasa seolah-olah semangat mereka ikut terbawa pergi. Diam-diam Saroji jatuh cinta kepada Retno Wilis dan Sarmini juga kagum sekali kepada Bagus Seto. Akan tetapi mereka merasa seperti pungguk merindukan bulan. Cinta asmara memang menjadi sumber kesedihan kalau hanya bertepuk tangan sebelah. Dan perasaan itu diderita Saroji dan Sarmini. Mereka merasa betapa hidup ini menjadi sunyi dengan perginya orang yang mereka cinta, dan hati terasa perih sekali mengingat bahwa cinta mereka tidak dibalas.
Ki Haryosakti juga menyadari akan semua kesalahannya dan semenjak peristiwa itu wataknya berubah, tidak selalu hendak memaksakan kehendaknya seperti yang sudah-sudah. Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Wasi Shiwamurti ketika menerima laporan dari Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda telah bertemu dan bertanding dan dikalahkan oleh Bagus Seto dan Retno Wilis. Ketika itu, Wasi Shiwamurti berada di Blambangan karena dia dianggap sebagai tamu agung oleh Adipati Blambangan, yaitu Adipati Menak Sampar. Blambangan dijadikan pusat penyebaran agama Shiwa-Durgo-Kolo yang dipimpin oleh Wasi Shiwamurti. Dia menjadi marah sekali ketika mendengar betapa penyebaran agama itu terhalang oleh Bagus Seto dan Retno Wilis.
"Bodoh!"
Dia memaki kedua orang muridnya itu.
"Bodoh sekali kalian! Dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis muda! Membikin malu saja kepadaku! Kalau kalian kalah dalam hal kadigdayaan, apakah kalian tidak dapat mengalahkannya dengan ilmu sihir? Apa gunanya aku mengajarkan segala macam ilmu sihir kepada kalian kalau tidak dapat mengalahkan dua orang muda?"
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'"Maafkan kami, Kanjeng Rama,"
Kata Ki Shiwananda kepada ayah angkatnya yang marah itu.
"Kami sudah mempergunakan sihir, akan tetapi semua ilmu sihir kami dipunahkan oleh pemuda yang bernama Bagus Seto itu. Ilmu kedua orang kakak beradik itu memang luar biasa hebatnya."
"Hal itu tidaklah aneh sekali, karena mereka adalah anak-anak dari Endang Patibroto,"
Kata pula Ni Dewi Durgomala kepada Wasi Shiwamurti yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya.
"Apa? Anak-anak Endang Patibroto?"
Bentak Wasi Shiwamurti.
"Kalau begitu mereka adalah musuh-musuh kita yang harus dibasmi!"
Selagi Wasi Shiwamurti marah-marah, datanglah Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat Blambangan dan bersama dia datang pula Wasi Surengpati penasihat dari kadipaten Nusabarung. Sang Wasi Shiwamurti menerima kedatangan dua orang rekannya ini dan alangkah marahnya ketika dia mendengar pula dari mereka bahwa dua orang rekannya itu telah bertemu dengan Endang Patibroto, bertanding dan mereka kalah!
"Babo-babo, Endang Patibroto keparat! Kembali engkau yang menghalangi pekerjaan kami, bersama kedua orang anakmu. Aku tidak akan kembali ke Cola sebelum dapat membunuh engkau dan anak-anakmu!"
Wasi Shiwamurti memukulkan tongkat naganya ke atas lantai dan pecahlah lantai itu.
"Di mana mereka sekarang? Di mana wanita jahanam itu dan anak-anaknya?"
Tanya Wasi Shiwamurti.
"Endang Patibroto datang ke Nusabarung untuk mencari kedua orang anaknya,"
Kata Wasi Surengpati.
"Dan kedua orang muda itu agaknya pergi ke timur dan kalau tidak salah perhitungan kami, sekarang mereka tentu sudah berada di daerah Blambangan,"
Kata Ni Dewi Durgomala.
"Bagus! Biarkan mereka semua masuk ke Blambangan sehingga mudah kita mencarinya. Aku sendiri yang akan turun tangan membasmi mereka!"
Kata Wasi Shiwamurti yang marah bukan main.
"Sebaiknya kalau kita melapor kepada Kanjeng Adipati agar diadakan persiapan untuk mencari mereka di daerah Blambangan. Siapa yang melihat mereka diwajibkan memberi laporan secepatnya, dengan cara demikian kita akan mudah menemukan mereka,"
Kata Wasi Karangwolo. Semua rekannya setuju dan mereka berlima lalu pergi menghadap Adipati Menak Sampar. Adipati Menak Sampar menerima kedatangan lima orang tokoh yang dihormatinya itu.
"Paman Wasi Karangwolo sudah pulang?"
Tanyanya kepada penasihatnya itu.
"Bagaimana kabarnya dengan usaha andika menyebar agama, dan agaknya ada keperluan penting sekali maka andika menghadap, didampingi oleh Wasi Surengpati, Wasi Shiwamurti, Ki Shiwananda dan Ni Dewi Durgomala."
"Sesungguhnya ada peristiwa penting yang telah terjadi, Kanjeng Adipati. Agaknya daerah Blambangan telah kemasukan telik-sandi (mata-mata) yang amat berbahaya, yaitu Endang Patibroto dan kedua orang anaknya yang bernama Bagus Seto dan Retno Wilis."
"Ahhhh...!"
Wajah sang adipati berubah pucat mendengar nama itu. Endang Patibroto dan Retno Wilis adalah nama-nama yang amat terkenal di Blambangan sebagai nama dua orang wanita yang memiliki kesaktian hebat dan amat berbahaya.
"Benarkah? Bagaimana andika dapat mengetahuinya?"
Tanyanya.
"Saya sendiri dan adi Wasi Surengpati sudah bertemu dan bertanding dengan Endang Patibroto, sedangkan anakmas Shiwananda dan Ni Dewi Durgomala sudah bertemu dengan Bagus Seto dan Retno Wilis dan juga sudah bertanding dengan mereka."
Orang-orang yang bersangkutan itu lalu menceritakan pengalaman mereka secara terperinci, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Adipati Menak Sampar.
"Karena itulah maka kami datang melapor kepada paduka, Kanjeng Adipati, agar dapat diambil langkah-langkah yang perlu untuk dapat menemukan tiga orang itu,"
Kata Wasi Karangwolo. Adipati Menak Sampar mengangguk-angguk lalu memberi tanda memanggil seorang pengawal. Setelah pengawal menghadap, dia lalu memerintahkan,
"Kamu pergilah dan panggil Senopati Rajahbeling dan Senopati Kurdolangit untuk sekarang juga datang menghadap ke sini!"
Tak lama kemudian dua orang senopati Blambangan itu muncul dan menghadap Sang Adipati sambil menyembah. Senopati Rajahbeling adalah seorang senopati yang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan tampak gagah sekali. Dia adalah ayah dari Kalinggo, pemuda Blambangan yang pernah mengikuti sayembara tanding di Nusabarung. Adapun yang kedua bernama Senopati Kurdolangit, orangnya tinggi kurus akan tetapi dia seorang yang digdaya dan amat terkenal di Blambangan.
"Kedua kakang senopati! Andika berdua terkejut kami panggil?"
"Benar, Kanjeng Adipati. Ini bukan waktunya bersidang, maka kami tentu saja heran mendapat panggilan ini,"
Jawab Senopati Rajahbeling.
"Ketahuilah, kakang senopati. Ternyata di daerah kita Blambangan ini telah kemasukan tiga orang telik sandi yang berbahaya. Bahkan mereka pernah mengacau di Nusabarung dan kini mereka menuju ke Blambangan. Tahukah kalian siapa mereka?"
Dua orang senopati itu saling pandang dan menggelengkan kepala.
"Kami tidak dapat menduganya, gusti."
"Ketahuilah bahwa telik sandi itu adalah Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto."
Dua orang senopati itu sudah mendengar nama Endang Patibroto dan Retno Wilis, bahkan sudah tahu bahwa mereka itu adalah dua orang wanita yang sakti dari Panjalu.
"Di mana mereka, Kanjeng Adipati? Kami akan mengerahkan perajurit untuk menangkap mereka."
"Inilah persoalannya. Kami belum tahu mereka kini berada di mana. Karena itu kutugaskan kalian untuk menyebar perajurit dan mata-mata. Kalau ada yang melihatnya agar cepat memberi kabar kepada Paman Wasi Karangwolo sekalian para Paman Wasi yang berada di sini agar mereka dapat ditangkap. Mereka itu sakti dan pandai menyamar, maka setiap ada orang asing memasuki wilayah Blambangan, harus diperiksa dengan cermat."
Dua orang senopati itu menyatakan kesanggupannya, kemudian memberi hormat kemudian mengundurkan diri. Adipati Menak Sampar masih bercakap-cakap dengan para pimpinan agama Shiwa-Durgo-Kala itu, membicarakan persiapan dan rencana mereka untuk penyebaran agama dan kemudian untuk memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala. Masuknya Endang Patibroto dan Retno Wilis merupakan bahan pembicaraan mereka yang penting dan Wasi Shiwamurti sendiri mengatakan bahwa dia akan turun tangan sendiri terhadap kedua orang wanita sakti itu.
"Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi, dan kiranya hanya saya yang akan dapat mengatasi mereka,"
Kata Wasi Shiwamurti dan hal ini dibenarkan oleh yang lain, yang telah merasakan kehebatan ilmu kepandaian dua orang wanita itu.
"Jangan dilupakan pemuda yang bernama Bagus Seto itu, kakang Wasi,"
Kata Wasi Karangwolo.
"Biarpun kami belum mengetahui benar tingkat kadigdayaannya, namun dalam hal menghadapi ilmu sihir dia tangguh bukan main."
Wasi Surengpati membenarkan pendapat Wasi Karangwolo ini dengan mengangguk-angguk.
"Heh-heh-heh, jangan khawatir. Selama ini ilmu sihirku tidak pernah gagal terhadap siapapun juga. Pendeknya, kalau sudah diketahui dimana adanya Endang Patibroto, Retno Wilis, dan Bagus Seto, beritahulah kepadaku dan aku akan menangkap mereka bertiga."
Ucapan Wasi Shiwamurti ini bukan sekedar bualan belaka. Wasi yang satu ini adalah saudara seperguruan dari mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang memiliki kesaktian tinggi. Bahkan setelah mendengar betapa dua orang kakak seperguruannya ini tewas, dia memperdalam ilmunya sehingga kini ilmu kesaktiannya sudah melebihi kesaktian kedua orang kakak seperguruannya itu. Terutama sekali dalam hal ilmu sihir, dia jauh melebihi kedua orang wasi yang telah tewas itu.
Mulai hari itu, ratusan orang perajurit disebar dan di mana-mana diadakan penjagaan. Bahkan sampai jauh ke luar kota kadipaten Blambangan para perajurit itu mencari Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto, memeriksa semua orang asing yang kebetulan lewat di situ. Bagus Seto dan Retno Wilis yang sedang mengadakan perjalanan dan tiba di perbatasan daerah Blambangan segera mendengar cerita para penduduk dusun bahwa pasukan Blambangan sedang mengadakan pencarian terhadap telik sandi dari Panjalu dan banyak orang yang dicurigai sebagai pendatang baru dari luar daerah Blambangan ditangkapi.
"Ah, mereka tentu sedang mencari kita, kakangmas Bagus Seto. Tentu Adipati Blambangan telah mendengar tentang diri kita dari Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati ketika kita berada di kadipaten Nusabarung."
"Kukira bukan hanya kedua orang wasi itu saja, diajeng. Akan tetapi Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda telah melapor pula ke sana. Agaknya, pusat penyebaran agama baru itu berasal dari Blambangan."
"Kalau begitu bagaimana baiknya, kakang. Agaknya akan sukar untuk melakukan perjalanan ke dalam daerah Blambangan dan menyelidiki keadaan di sana."
"Akan lebih mudah mereka ketahui kalau kita mengadakan perjalanan berdua. Sebaiknya kita berpencar saja dan masuk ke Blambangan. Kita saling bertemu di Blambangan. Bagaimana pendapatmu?"
"Begitu juga baik dan aku akan menyamar sebagai seorang pemuda."
"Akan tetapi engkau harus dapat menahan diri, jangan menimbulkan ke ributan, Retno. Pertahankan perasaanmu agar tidak mudah terpancing untuk berkelahi karena hal itu akan mudah mengenal kita."
"Sebaiknya kalau di luar pakaian kita yang putih, kita memakai pakaian lain yang berwarna sehingga tidak menarik perhatian. Dan jangan memakai nama Joko Wilis karena nama itu sudah dikenal baik oleh mereka."
"Lalu aku harus memakai nama apa, kakang?"
"Kita menggunakan nama sederhana saja dan menyamar sebagai pemuda dusun. Aku akan memakai nama Joko Slamet dan engkau memakai nama Joko Waras."
Retno Wilis tersenyum.
"Wah, nama yang mudah sekali diingat. Baiklah, kakang Slamet, mulai sekarang aku memakai nama Joko Waras."
Setelah membeli beberapa potong pakaian dari penduduk dusun, Retno Wilis berdandan sebagai seorang pemuda dusun. Juga Bagus Seto mengenakan pakaian biasa berwarna biru untuk menutupi pakaiannya yang serba putih. Setelah selesai berdandan, Retno Wilis berdiri di depan kakaknya dan bertanya,
"Bagaimana pendapatmu, kakang? sudah pantaskah aku menjadi Joko Waras?"
Bagus Seto memandang wajah adiknya dan tersenyum.
"Engkau pandai sekali menyamar. Aku sendiri tentu akan pangling kalau tidak kau beritahu lebih dulu. Ingat, jangan mencari ke ributan, adikku, dan kita saling bertemu di Blambangan."
"Akan tetapi, Blambangan itu besar. Di mana kita akan bertemu, kakang?"
"Pada hari Respati sore, datang saja ke alun-alun kadipaten dan aku akan berada di bawah pohon waringin yang berada di sana."
Setelah mengingatkan kepada adiknya agar waspada dan sabar, tidak membiarkan diri terpancing ke dalam perkelahian, Bagus Seto lalu berpisah dari Retno Wilis, mengambil jalan masing-masing memasuki daerah Blambangan.
Sebagai seorang pemuda remaja dusun yang lincah, tidak ada orang yang mencurigai Joko Waras. Di mana-mana dia diterima dengan baik sebagai seorang perjaka yang ramah dan juga pandai membawa diri. Jika malam tiba dia bermalam di rumah penduduk yang hanya hidup berdua dengan isterinya sehingga dia mendapat tempat tidur tersendiri. Kalau siang Joko Waras melakukan perjalanan menuju ke kadipaten Blambangan dan di sepanjang perjalanan dia mencari keterangan tentang keadaan kadipaten Blambangan. Dalam perjalanannya ini, Joko Waras melihat bahwa di dusun-dusun yang dilewatinya, banyak dibangun candi-candi kecil yang baru, di mana hanya terdapat arca Shiwa-Durgo-Kala.
Kalau teringat akan perbuatan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda, rasanya ingin ia menghancurkan candi-candi itu. Akan tetapi ia teringat akan pesan kakaknya bahwa ia tidak boleh mencari ke ributan. Pula, apa salahnya candi-candi itu? Itu hanya tempat pemujaan, dan orang boleh memuja dewa mana saja asalkan dalam pemujaan itu tidak mengganggu orang lain. Iapun beberapa kali melihat serombongan perajurit Blambangan menghadang dan memeriksa orang-orang yang berlalu lalang, menanyai mereka, ada pula yang menggeledah kalau-kalau mereka menyimpan senjata. Ia sendiri yang bersikap wajar seperti seorang pemuda dusun yang masih muda, lolos dari kecurigaan. Pernah pula dia ditanyai mereka seperti seorang pesakitan,
"Siapa namamu?"
"Namaku Joko Waras. Ketika masih bayi sakit-sakitan maka lalu namaku diubah menjadi Joko Waras dan sejak itu aku waras terus, tidak pernah sakit,"
Katanya dengan suara lemah akan tetapi nadanya kasar seperti biasa sikap dan kata-kata seorang dusun yang tidak terpelajar.
"Apa pekerjaanmu?"
"Penggembala kerbau atau sapi. Aku sudah berpengalaman sejak kecil menggembala kerbau atau sapi. Kalau andika membutuhkan penggembala yang baik, aku bersedia...
"
"Sudah, sana! Jangan banyak cerewet!"
Hardik seorang penanya dan Joko Waras bergegas pergi sambil menyeringai. Akan tetapi pada suatu pagi ketika dia tiba di suatu dusun yang sudah masuk perbatasan Blambangan, dusun yang cukup ramai, dia melihat banyak sekali orang berkumpul dan mereka itu sedang diperiksa oleh serombongan perajurit Blambangan yang dipimpin seorang senopati yang bertubuh tinggi kurus dengan pandang mata yang tajam bersinar-sinar. Di antara banyak orang yang dihentikan perjalanan mereka itu terdapat tiga orang wanita muda yang cantik manis. Melihat tiga orang wanita itu, senopati yang tinggi kurus segera berkata,
"Biarkan aku yang memeriksa mereka. Siapa tahu di antara mereka terdapat orang yang kita cari."
Senopati itu adalah Kurdolangit, senopati Blambangan berusia lima puluh tahun yang terkenal sakti, akan tetapi juga terkenal mata keranjang. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, akan tetapi sepasang matanya menunjukkan kecerdikan dan kepandaiannya.
Senopati Kurdolangit lalu duduk di atas bangku dan menggapai tiga orang gadis itu. Setelah menanyakan nama mereka, tempat tinggal mereka, dia lalu menggeledah tubuh tiga orang gadis itu, menggerayangi dengan jari-jari tangannya secara kasar dan kurang ajar sekali. Tentu saja tiga orang gadis dusun itu merintih dan menjerit kecil ketika diperlakukan seperti itu. Tiga orang laki-laki setengah tua, ayah dari para gadis itu, melangkah maju mendekat dan mohon kepada Senopati Kurdolangit untuk melepaskan tiga orang puteri mereka. Mendengar permohonan ini, Kurdolangit menjadi marah. Dia bangkit berdiri dan tiga kali tubuhnya bergerak, tiga orang laki-laki itu telah ditamparnya dan mereka terpelanting dan terbanting keras. Pipi mereka menjadi bengkak oleh tamparan tadi.
"Jangan mencampuri urusanku, atau kalian akan kuhukum mati! Aku sedang menjalankan tugas dan siapapun yang kucurigai akan kugeledah. Tak seorangpun boleh mencegahnya!"
Dan kembali tangannya dengan nakal menggerayangi tubuh tiga orang gadis itu yang menggeliat-geliat sambil merintih. Tiba-tiba seorang laki-laki keluar dari rombongan orang dusun itu. Joko Waras melihat laki-laki itu masih muda, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun,
Pakaiannya sederhana akan tetapi wajahnya tampan dan terutama sekali matanya demikian terang dan mengandung wibawa. Pemuda tampan itu bukan lain adalah Jayawijaya, pemuda dari pegunungan Tengger itu. Seperti kita ketahui, pemuda ini telah berpisah dari Endang Patibroto setelah dia ditolong oleh wanita sakti itu. Pada pagi hari itu, perjalanannya sampai di tempat itu. Diapun mendengar bahwa di banyak tempat diadakan pencegatan dan pemeriksaan oleh pasukan Blambangan dan kadang pemeriksaan itu dilakukan dengan sewenang-wenang. Kini Jayawijaya melihat dengan mata kepala sendiri perlakuan yang kurang ajar dari Kurdolangit terhadap tiga orang gadis itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan segera menghampiri senopati Kurdolangit yang tinggi kurus bermuka seperti tengkorak itu.
"Begitukah cara memeriksa wanita? Sungguh tidak sopan dan kurang ajar sekali, tidak patut dilakukan seorang senopati, pantasnya dilakukan seorang anggauta perampok jahat!"
Jayawijaya berkata demikian sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka senopati itu. Kurdolangit terbelalak dan mukanya berubah merah. Dia dimaki seorang pemuda di depan umum! Dia menghentikan pemeriksaannya, mendorong tiga orang gadis itu ke luar dari tempat pemeriksaan, lalu bangkit berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada Jayawijaya dengan mata melotot.
"Kau bilang apa?"
Agaknya Jayawijaya tidak tahu bahwa senopati itu marah sekali. Dia berkata dengan tegas.
"Aku bilang bahwa engkau melakukan pemeriksaan terhadap wanita secara kurang ajar dan tidak sopan sama sekali. Tidak tahu malu!"
"Jahanam, apakah engkau bosan hidup?"
Bentak Kurdolangit dengan muka berubah kemerahan seperti udang direbus. Joko Waras melihat betapa senopati itu marah sekali dan dia ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pemuda tampan itu kelihatan pemberani bukan main dan tentu pemuda itu mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan maka dia berani menegur seorang senopati seperti itu. Kurdolangit yang sudah tidak dapat menahan rasa malunya dimaki orang di depan umum, sudah menerjang maju dan kedua tangannya yang kurus panjang itu menyambar ke arah kepala Jayawijaya. Pemuda ini agaknya tidak tahu bahwa dia diserang, dia berdiri tenang-tenang saja dan memandang senopati itu dengan matanya yang mencorong penuh wibawa dan kelembutan.
Kedua tangan itu menyambar ke arah kepala dengan tenaga yang dahsyat. Akan tetapi, tiba-tiba kedua tangan itu seperti bertemu dengan tenaga yang tidak tampak dan tubuh Kurdolangit terpelanting roboh! Joko Waras terbelalak! Pemuda itu ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Kalau tadinya dia sudah bersiap untuk membantu agar pemuda yang pemberani itu tidak sampai celaka, kini diapun hanya menonton saja dengan terheran-heran. Pemuda itu seolah tidak pernah merobohkan orang dan berdiri dengan sikap masih tenang saja. Kurdolangit yang merasa betapa pukulan kedua tangannya tadi seperti bertemu dengan tenaga dahsyat yang membuatnya terpelanting, menjadi semakin malu dan marah. Dia melompat bangkit kembali dan sudah mencabut sebatang kerisnya yang panjang dan dahsyat.
"Bocah kurang ajar! Engkau minta mati!"
Bentak Kurdolangit dan kini dia menggerakkan kerisnya dengan tangan kanan, menusuk ke arah dada Jayawijaya dengan keris yang besar panjang itu.
Joko Waras kini memandang penuh perhatian kepada pemuda yang diserang itu. Dia melihat betapa pemuda itu tidak membuat gerakan menangkis atau menghindar, melainkan mengangkat kedua tangannya ke atas seperti orang hendak menyembah dan terjadilah keanehan yang kedua kalinya. Keris seperti bertemu dengan tangkisan kuat sekali dan membalik, melukai lengan kanan Kurdolangit sendiri, Senopati ini terhuyung mundur dan memegangi lengannya yang berdarah. Kurdolangit masih penasaran walaupun lengan kanannya sudah mengucurkan darah terkena kerisnya sendiri. Dia bangkit lagi dan menubruk dengan kerisnya, kini serangannya dilakukan dengan tenaga sepenuhnya sambil menggereng seperti seekor harimau terluka!
Joko Waras mengamati lagi dengan penuh kewaspadaan. ia melihat pemuda itu hanya membuat gerakan seperti mendorong ke depan dan tubuh senopati itu terpelanting seperti layang-layang putus talinya, terbanting jatuh dan bergulingan sampai jauh! Kini tanpa malu-malu Ki Kurdolangit lalu memberi aba-aba kepada anak-buahnya yang belasan orang banyaknya untuk melakukan pengeroyokan kepada Jayawijaya. Melihat ini, Joko Waras menjadi marah dan dia-pun melompat dan tubuhnya berkelebatan ke sana ke mari, membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga belasan orang anak buah Ki Kurdolangit itu jatuh bangun dan akhirnya tidak ada yang berani melawan lagi. Joko Waras yang merasa kagum dan heran kepada Jayawijaya segera memegang tangan pemuda itu dan menariknya, berkata,
"hayo kita cepat lari dari sini!"
Jayawijaya tadi melihat betapa pemuda dusun berpakaian sederhana, bertubuh ramping kecil namun tampan sekali itu mengamuk dan merobohkan para perajurit. Dia membiarkan dirinya ditarik dan ikut lari bersama Joko Waras. Joko Waras ingin menguji ilmu kepandaian Jayawijaya dan berlari mempergunakan aji kesaktiannya sehingga kedua telapak kakinya seolah tidak menyentuh bumi. Akan tetapi, Jayawijaya tertinggal jauh dan ketika tangannya digandeng pemuda itu terseret-seret! Joko Waras menjadi semakin heran. Pemuda ini tidak mahir ilmu meringankan tubuh dan tidak memiliki aji berlari kencang. Dia lalu berlari biasa lagi sehingga Jayawijaya dapat mengimbanginya. Setelah melalui beberapa dusun, dengan terengah-engah Jayawijaya bertanya,
"Ki sanak, kenapa kita berlari terus? Sampai kapankah kita harus berlari seperti ini?"
Joko Waras tersenyum dan berhenti berlari. Mereka, tiba di luar sebuah dusun dan saat itu sudah menjelang senja,
"Kita harus melarikan diri dari pasukan tadi, ki sanak,"
Katanya.
"Kenapa harus lari? Kita tidak bersalah,"
Bantah Jayawijaya.
"Hemm, mungkin kita menganggap diri kita tidak bersalah. akan tetapi senopati itu dan anak buahnya tidak akan menganggap demikian. Kita tentu dianggap melawan dan memberontak."
Mereka berjalan memasuki dusun itu. Di tepi dusun itu terdapat sebuah warung nasi yang ramai dikunjungi orang. Belasan orang pengunjung itu semua laki-laki dan kebanyakan masih muda. Dari cara mereka bercakap-cakap sambil tertawa menunjukkan bahwa mereka sedang bergembira. Joko Waras mengajak temannya untuk duduk di bangku paling ujung. Sekarang mengertilah Joko Waras mengapa para pengunjung itu semua laki-laki muda dan suasananya Nampak gembira. Kiranya penjaga warung nasi yang melayani mereka itu adalah seorang perawan dusun yang cantik manis. Biarpun dandanannya sederhana sekali namun gadis itu memang manis sekali dan memiliki daya tarik yang amat kuat.
"Ki sanak, siapakah nama andika?"
Tanya Joko Waras berbisik. Jayawijaya menengok dan memandang Joko Waras sambil tersenyum. Mereka telah lari bersama dan tiba di tempat itu, memasuki warung itu bersama namun belum saling mengenal nama!
"Namaku Jayawijaya, dan siapa nama andika?"
"Aku Joko Waras dari dusun Selogiri di Gunung Kidul. Dan andika?"
"Aku dari Gunung Tengger."
Pada saat kedua orang muda itu saling bercakap dengan berbisik, kini pelayan warung yang manis itu menunjukkan perhatiannya kepada mereka. Melihat dua orang muda yang demikian tampan, Saritem, demikian nama pemilik atau pelayan warung nasi itu, merasa kagum dan senang. Sikap kedua orang muda yang bicara dengan bisik-bisik dan sopan itu saja menunjukkan bahwa mereka bukanlah dua orang muda dusun sembarangan.
"Ki sanak, andika berdua ingin makan dan minum apakah?"
Tanya Saritem kepada mereka sambil memandang wajah Joko Waras dengan penuh perhatian. Ketampanan pemuda ini sungguh menggerakkan hatinya.
"Oh, aku minta sepiring nasi sayur lodeh dan minum teh manis,"
Kata Jayawijaya.
"Aku juga sama dengan permintaan kakang Jaya,"
Kata Joko Waras sambil memandang kepada pelayan itu yang tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan indah.
"Kakang, yang jualan nasi ayu, ya?"
Kata Joko Waras. Saritem tersipu dan kedua pipinya berubah kemerahan, lalu ia menyibukkan diri melayani mereka seolah tidak mendengar pujian itu. Padahal, jantungnya berdebar keras dan ia sendiri merasa heran. Sudah setiap hari ia mendengar pujian yang keluar dari mulut pria, akan tetapi mengapa pujian perjaka tampan ganteng ini membuatnya tersipu malu?
"Hushh, adi Waras, jangan keras-keras memuji orang. Lihat, ia tersipu malu,"
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tegur Jayawijaya lirih. Retno Wilis memang seorang gadis yang lincah dan nakal. Sebagai Joko Waras, dia sengaja mengerlingkan matanya dan melirik tajam kepada Saritem, disertai senyum manis menawan dan ketika Saritem menjulurkan tangan menyerahkan piring nasi lodeh, dengan sengaja Joko Waras menerima piring itu dan menyentuhkan tangannya kepada tangan yang lunak lembut dan hangat itu. Saritem tidak marah, malah tersenyum dan tersipu menarik tangannya dengan lembut. Joko Waras tersenyum lebar dan ia melihat betapa Jayawijaya yang melihat perbuatannya itu mengerutkan alisnya.
Seorang pemuda yang alim, pikirnya. Akan tetapi ia merasa seperti menghadapi teka-teki besar terhadap Jayawijaya. Sudah terbukti betapa pemuda itu dapat menghindarkan semua serangan yang berbahaya dari senopati yang mata keranjang itu. Akan tetapi ketika diajaknya berlari, pemuda itu sama sekali tidak mampu berlari kencang. Dan juga ketika menarik tangan pemuda itu, tenaganya biasa-biasa saja seperti tenaga orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi. Pemuda macam apakah ini, yang tampaknya tidak memiliki ilmu kepandaian akan tetapi yang berani menentang kejahatan yang dilakukan belasan orang pasukan pemerintah yang dipimpin oleh seorang senopati yang digdaya? Dan sekarang, dalam menghadapi Saritem, Jayawijaya memperlihatkan sikap seorang pemuda yang alim dan tidak suka menggoda wanita cantik!
Selagi mereka berdua makan nasi sayur lodeh yang hangat dan gurih itu, perhatian Joko Waras tidak pernah terlepas dari keadaan sekelilingnya. Belasan orang laki-laki muda berada di warung itu, duduk berserakan di bangku-bangku di dalam dan luar warung. Sebagian besar telah selesai makan dan kini bercakap-cakap gembira sambil kadang mengerling ke arah Saritem. Tapi ada seorang pemuda yang tidak sedang makan dan yang duduk di sebelah dalam warung itu amat memperhatikan mereka berdua. Joko Waras, memperhatikan pemuda ini. Dia seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Tampangnya ganteng dan tubuhnya juga tegap kokoh seperti Raden Gatutkaca. Kumis tipisnya menambah kejantanannya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam dan berwibawa.
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo