Sepasang Garuda Putih 16
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
Sambil berkata demikian, Wasi Karangwolo mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi pemuda itu. Endang Patibroto terkejut melihat ini, khawatir kalau-kalau pemuda itu akan tersihir. Betapapun juga, ia tidak berani menggunakan kekuatan sihirnya untuk menolong, karena dalam pertandingan yang diadakan satu lawan satu itu tentu saja tidak boleh ada yang turun tangan menolong. Maka ia hanya menonton dengan hati tegang, demikian pula Retno Wilis.
Bagus Seto yang melihat ini, hanya memandang dengan sinar matanya yang lembut namun tajam mencorong itu. Jarot telah menerima gemblengan dari Bhagawan Dewondaru dan sudah dibekali ke kuatan batin yang hebat. Namun menghadapi kekuatan sihir Wasi Karangwolo, pertahanan batinnya kurang kuat dan hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut karena perintah itu demikian berpengaruh dan mengandung wibawa yang amat kuat, hampir tidak dapat dia menahannya. Akan tetapi tiba-tiba pengaruh itu lenyap dan dorongan untuk berlutut lenyap pula. Dia tersenyum, tidak tahu bahwa diam-diam kekuatan pandang mata Bagus Seto yang membantunya. Dia hanya mengira bahwa lawannya itu tidak kuat mempengaruhinya!
"Sudahlah, Wasi Karangwolo, tidak ada gunanya bermain-main dengan kata-kata. Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!"
Kata Jarot sambil memegang kerisnya menempel di pinggang kanan dan tangan kirinya melintang di depan dada dengan jari-jari tangan terbuka.
Melihat betapa kekuatan sihirnya tidak mampu memaksa pemuda yang menjadi lawannya itu berlutut, Wasi Karangwolo maklum bahwa dia tidak akan menang menggunakan sihir. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas dan menerjang ke depan, menusukkan kerisnya ke arah dada Jarot. Pemuda itu mengelak dengan cepat sambil melangkah mundur. Akan tetapi dengan ganasnya Wasi Karangwolo sudah-menyerangkan kerisnya lagi, sekali ini menusuk ke arah perut. Karena serangan itu di lakukan dari dekat dan cepat datangnya, Jarot tidak keburu mengelak dan diapun menggerakkan kerisnya untuk menangkis.
"Trik-trikk...!!"
Dua kali keris bertemu dan Wasi Karangwolo merasa betapa tangannya yang memegang keris tergetar. Akan tetapi Jarot juga merasakan getaran hebat pada lengannya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Diapun cepat membalas dengan tusukan kerisnya ke arah lambung lawan, namun Wasi Karangwolo juga dapat mengelak dengan cepatnya. Terjadilah perkelahian yang seru, saling tusuk dan saling elak, kadang-kadang saling beradu keris.
"Mampus kau !"
Terdengar sang wasi membentak dan dia menubruk lagi ke depan sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawannya.
"Wuuuuutttt...!"
Tusukan itu luput karena Jarot mengelak ke belakang.
"Wirrr...!!"
Kaki Wasi Karangwolo menyambar dengan sebuah tendangan kilat. Tak mengira bahwa lawannya akan mengirim tendangan yang dahsyat itu, Jarot hanya dapat menggunakan tangan kirinya untuk menangkis.
"Dukkk...!"
Lengan kiri Jarot bertemu dengan kaki wasi Karangwolo. Tendangan itu demikian kuatnya sehingga membuat tubuh Jarot terhuyung. Kesempatan ini dipergunakan sang wasi untuk mendesak dan mengejar dengan tusukan-tusukan kerisnya. Jarot yang terdesak hebat itu tiba-tiba melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik tiga kali, barulah dia terhindar dari desakan dan kini sudah siap lagi menghadapi lawan! Gerakannya ini bagus sekali, membuat Retno Wilis mengangguk-angguk.
Pemuda itu memang cukup tangkas, akan tetapi ia tetap khawatir karena Wasi Karangwolo memang benar-benar digdaya. Kembali mereka bertanding. Jarot membalas pula dengan tusukan-tusukan, diselingi dengan tamparan tangan kirinya dan tendangan kakinya. Namun semua serangannya dapat dihindarkan oleh lawan dengan elakan maupun tangkisan, bahkan sang wasi membalas dengan tidak kalah hebat dan gencarnya, membuat Jarot kadang terdesak dan mundur. Sebetulnya dari Bhagawan Dewondaru Jarot sudah menerima gemblengan yang hebat, mempelajari aji-aji kesaktian yang ampuh. Akan tetapi dia masih muda dan masih kurang pengalaman, jarang mempergunakan kesaktiannya untuk bertanding. Oleh karena itu, kini menghadapi seorang tokoh wasi yang berilmu tinggi dan banyak sekali pengalamannya, tentu saja dia mulai terdesak.
Ketika dia mundur-mundur terdesak dan keris lawan berkelebatan seperti tangan maut mencari mangsa, Jarot menarik tubuh atas ke belakang. Setelah keris meluncur lewat, tubuh atasnya condong lagi ke depan dan dia melancarkan pukulan yang dahsyat ke arah dada lawannya. Akan tetapi agaknya ini yang dinanti-nanti oleh Wasi Karangwolo. Tadi sudah-beberapa kali mereka mengadu tenaga lewat keris mereka dan sang wasi maklum bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih menang sedikit. Maka dia mengharapkan untuk dapat mengadu tenaga sakti melalui pukulan tangan kiri. Ketika melihat Darot memukulnya dengan telapak tangan dan jarijarinya terbuka, diapun cepat menyambut dengan telapak tangan kirinya pula sam bil menggeser kaki sehingga kedua tangan kiri itu dengan tepat bertemu di udara.
"Dessss"
Hebat bukan main pertemuan kedua tangan yang didorong oleh tenaga sakti itu. Wasi Karangwolo sudah mengerahkan seluruh tenaganya, maka ketika benturan dahsyat terjadi, tubuh Jarot melayang ke belakang seperti daun kering tertiup angin dan dia jatuh terpelanting! Biarpun dia tidak terluka parah, namun dia menjadi pucat dan napasnya agak terengah. Endang Patibroto sudah meloncat dan menyambar pundaknya, membantunya bangkit berdiri.
"Engkau tidak apa-apa, anakmas Jarot?"
Tanya wanita perkasa itu. Jarot menggeleng kepalanya dan menghela napas.
"Tidak apa-apa, kanjeng bibi. Maafkan bahwa saya telah kalah."
"Ha-ha-ha-ha, jagomu yang kedua sudah mengaku kalah, Retno Wilis.'? Kedudukan kita sekarang menjadi dua satu untuk kemenangan pihak kami!"
Wasi Shiwamurti tertawa dan mengejek. Endang Patibroto menjadi marah sekali dan ia sudah melompat ke depan Wasi Shiwamurti sambil membusungkan dadanya
"Akulah jago ke tiga dari pihak kami, wasi siluman. Hayo siapa yang berani melawan aku!"
Bentak Endang Patibroto, sikapnya amat gagah perkasa, menimbulkan rasa gentar di hati musuh. Terutama sekali Wasi Karangwolo yang tadi menangkan pertandingan melawan Jarot, dia merasa jerih karena dia pernah bertanding dengan wanita perkasa ini dan harus diakuinya bahwa dia tidak mampu menandingi Endang Patibroto.
Di pihak Blambangan, Ni Dewi Durgomala membuat perhitungan yang cerdik. Ia sudah pernah bertanding melawan Retno Wilis dan harus diakuinya bahwa ia tidak mampu mengalahkan dara perkasa itu. Juga ia tahu Bahwa Bagus Seto adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian hebat sekali. Jelas ia tidak akan mampu mengalahkan Retno Wilis ataupun Bagus Seto. Maka kini melihat Endang Patibroto maju, ia memilih wanita itu sebagai lawannya. Biarlah Retno Wilis dan Bagus Seto nanti dihadapi oleh Ki Shiwananda dan Wasi Shiwamurti! Dengan ringan ia meloncat ke depan menghadapi Endang Patibroto sambil mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang kebutan. Tampaknya saja hanya kebutan, namun benda itu merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya. Setiap ujung bulu kebutan itu mengandung racun yang berbahaya sekali dan Ni Dewi Durgomala dapat memainkan kebutan itu dengan dahsyatnya.
"Endang Patibroto, akulah lawanmu, sudah lama aku mendengar akan namamu, hendak kulihat apakah itu hanya nama kosong belaka! Aku adalah Ni Dewi Durgomala dari Negeri Cola."
Endang Patibroto tersenyum mengejek dan menatap wajah Ni Dewi Durgomala dengan sinar mata tajam menusuk.
"Hemm, andika tentu perempuan yang menganggap diri nya penitisan Sang Batari Durgo! Akan tetapi sayang, yang kau warisi sama sekali bukan kekuasaan dan kebaikannya, melainkan sifat sifat buruknya sehingga engkau menjadi seorang yang keji dan jahat. Karena itu, sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi seorang manusia iblis macam andika ini!"
Wajah Ni Dewi Durgomala menjadi merah, lalu pucat, dan merah kembali, matanya melotot sampai seperti akan meloncat keluar dari rongga matanya ketika ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Endang Patibroto.
"Keparat engkau Endang Patibroto! Berani engkau menghinaku seperti itu! Aku bersumpah untuk membunuhmu, memenggal kepalamu, mencabik-cabik dada mu dan mengeluarkan jantungmu!"
Kebutan itu diputar-putarnya di atas kepalanya sehingga terdengar bunyi bersuitan.
"Tahan dulu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan dan Jayawijaya berlari ke arah Endang Patibroto, tangannya membawa sebatang kayu yang panjangnya satu meter dan besarnya seibu-jari kaki.
"Kanjeng Bibi Endang Patibroto, ini namanya tidak adil sama sekali! Lawanmu memegang senjata sedangkan bibi tidak membawa senjata apapun. Kalau kanjeng bibi tidak membawa senjata, maka pergunakanlah sepotong kayu ini untuk senjata!"
Setelah berkata demikian dia mengulurkan tangannya menyerahkan sebatang kayu itu kepada Endang Patibroto. Endang Patibroto tersenyum dan menerima sepotong kayu itu.
"Terima kasih, anak-mas Jayawijaya dan berdirilah engkau menjauh di sana."
Jayawijaya kembali ke tempat dia berdiri semula. Endang Patibroto menggerak-gerakkan sepotong kayu itu dan terasa enak di tangannya. Sebagai seorang sakti, benda apapun kalau berada di tangannya dapat menjadi senjata dan memegang sepotong kayu itu ia merasa seperti memegang sebatang pedang! Biarpun ia tidak gentar menghadapi kebutan Ni Dewi Durgomala dengan tangan kosong saja, akan tetapi menghadapi senjata beracun memang lebih baik kalau ia menggunakan sepotong kayu itu.
"Durgomala, mari kerahkan seluruh tenagamu dan keluarkan semua ilmumu! Aku sudah siap untuk menandingi dan menghajarmu!"
Kata Endang Patibroto sambil memalangkan sepotong kayu itu di depan dadanya. Ni Dewi Durgomala yang sudah marah sekali itu berteriak,
"Endang Patibroto, engkau mampus di tanganku!"
Dan secepat kilat iapun menggerakkan kebutannya melakukan serangan yang dahsyat.
Kebutan itu berputaran di atas kepala, lalu menukik dan menyambar ke arah kepala Endang Patibroto, didahului angin pukulan yang menderu. Namun, sikap dan gerakan Endang Patibroto tenang dan mantap sekali. Ia mengelak dengan melangkahkan kaki kanan ke kanan dan menggeser kedudukannya sehingga kebutan itu hanya mengenai tempat kosong saja. Namun dengan menggerakkan pergelangan tangannya, Ni Dewi Durgomala telah dapat membuat kebutannya itu menyambar balik dan kini berubah menjadi kaku seperti baja dan kebutan yang sudah menjadi kaku itu menusuk ke arah dada Endang Patibroto seperti sebatang pedang! Endang tidak menjadi terkejut melihat betapa bulu-bulu kebutan yang lemas itu kini berubah menjadi kaku seperti kawat baja dan dengan masih tenang namun tangkas ia menggerakkan tongkat kayunya untuk menangkis tusukan itu.
"Trakk...!"
Kebutan yang menjadi kaku itu terpental ketika bertemu tongkat dan Ni Dewi Durgomala merasa betapa tangannya yang memegang gagang kebutan menjadi tergetar hebat. Diam-diam ia terkejut setengah mati. Kiranya wanita yang kondang saktinya ini benar-benar memiliki tenaga sakti yang amat kuat! Ni Dewi Durgomala menjadi penasaran sekali dan ia mengeluarkan suara melengking panjang, lalu kebutannya bergerak cepat, berubah menjadi sinar bergulung-gulung ketika ia menyerang secara bertubi-tubi.
Namun, Endang Patibroto berkelebatan cepat dan kadang ia lenyap dari pandang mata lawannya. Ni Dewi Durgomala menjadi terkejut sekali. Itulah Aji Bayu Tantra dari Endang Patibroto yang membuat tubuhnya menjadi ringan sekali dan gerakannya cepat seperti kilat. Biarpun Ni Dewi Durgomala mengejar dan menyerang bayangan yang berkelebatan itu, namun kebutannya tidak pernah dapat menyentuh tubuh Endang Patibroto! Karena penasaran, Ni Dewi Durgomala menambah serangan kebutannya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya. Tangan kiri ne nek ini berbahaya sekali karena setiap kuku jarinya mengandung racun yang amat berbahaya. Ia bukan hanya memukul dan menampar, akan tetapi juga mencengkeram.
"Yaaaaaaattttttt... ..!"
Ni Durgomala berkali-kali mengeluarkan teriakan melengking.
"Haiiiiiitttt...!"
Endang Patibroto juga berteriak-teriak melengking dan tiba-tiba mulut wanita perkasa ini mengeluarkan pekik yang dahsyat sekali dan tiba-tiba mendengar pekik ini, tubuh Ni Dewi Durgomala menjadi gemetar dan jantungnya terguncang.
Itulah pekik yang disebut Aji Sardulo Bairawa yang memiliki pengaruh seperti auman seekor harimau yang dapat membuat calon korbannya menjadi lemas. Dalam keadaan seperti itu, tangan kiri Endang Patibroto menyambar ke arah kepala lawan dan pukulan tangan kosong itu adalah aji yang teramat arnpuh, yaitu Aji Pethit Naga! Angin yang kencang menyambar panas ke muka Ni Dewi Durgomala. Wanita ini maklum bahwa pukulan itu amat ampuh maka ia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas tanah! Ketika Endang Patibroto mengejarnya untuk menyusulkan serangan, Ni Dewi Durgomala melompat bangun dan mengelebatkan kebutannya untuk memukul ke arah muka lawan.
"Hemm...!"
Endang Patibroto menggerakkan tongkat kayunya untuk menangkis.
"Plakk!"
Bulu-bulu itu membelit tongkat seperti seekor ular! Endang Patibroto mencoba untuk menarik tongkatnya, namun tertahan oleh libatan kebutan yang melilit amat kuatnya. Dengan marah Endang Patibroto mencuatkan kaki kirinya menendang ke arah tangan kanan lawan yang memegang kebutan. Melihat tendangan kilat ini, Ni Dewi Durgomala terpaksa melepaskan lilitan kebutannya. Begitu terbebas dari lilitan, Endang Patibroto mengamuk. Tongkat kayunya menyambar-nyambar dengan ganasnya dan biarpun Ni Dewi Durgomala berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tongkat kayu itu beberapa kali mengenai tubuhnya dengan bertubi-tubi.
"Plak! Plak! Plak!"
Tongkat itu melecut ke berbagai penjuru dan selalu mengenai tubuh Ni Dewi Durgomala. Robek-robeklah baju nenek itu dan biarpun tongkat itu tidak mendatangkan luka parah, namun kulit tumbuhnya menjadi matang biru dan berbilur-bilur, nyeri dan pedih! Ia mundur-mundur terus dan dikejar oleh Endang Patibroto yang agaknya ingin memukuli lawan sampai mati! Terpaksa Ni Dewi Durgomala lari melompat ke belakang Wasi Shiwamurti dan pendeta ini menggerakkan tongkatnya yang berkepala naga untuk menangkis sambaran tongkat kayu di tangan Endang Patibroto.
"Takkk!"
Tongkat di tangan Endang Patibroto terpental. Akan Tetapi wanita perkasa itu tidak takut dan ia menghadapi Wasi Shiwamurti dengan penuh tantangan.
"Andika hendak membelanya? Majulah sekalian!"
Bentak Endang Patibroto. Akan tetapi Retno Wilis sudah melompat dan menyentuh lengan ibunya.
"Kanjeng Ibu, persilakan mundur. Ibu sudah menang dalam pertandingan tadi!"
Katanya. Baru sadarlah Endang Patibroto bahwa ia bertanding untuk mencari kemenangan di pihak puterinya, bukan untuk berkelahi mati-matian. Ia lalu mundur.
"Nah, Wasi Shiwamurti. Kini pihakku menang dalam pertandingan ke tiga!"
Kata Retno Wilis dengan girang.
"Hemm, keadaan kita baru dua lawan dua, Retno Wilis. Kami masih belum kalah dan masih ada dua pertandingan lagi. Ki Shiwananda, majulah sebagai jago ke empat!"
Katanya kepada Ki Shiwananda yang bertubuh tinggi besar dan tampak gagah dan kuat sekali. Ki Shiwananda lalu melangkah lebar ke depan. Tangan kanannya meraih ke belakang punggung dan dia sudah melolos senjatanya yang hebat, yaitu sebuah ruyung besar bergigi. Dahsyat dan mengerikan tampaknya senjata ini, kuat keras dan berat. Hanya orang yang bertenaga gajah saja mampu memainkan ruyung seberat itu. Retno Wilis mendekati Bagus Seto dan ia berkata,
"Kakang Bagus Seto, yang ini akan kuhadapi. Engkau menghadapi jago mereka yang terakhir yang tentu adalah Wasi Shiwamurti sendiri."
Bagus Seto mengangguk.
"Berhati-hatilah, Retno. Lawanmu ini bertenaga gajah. Akan tetapi engkau dapat mengatasinya kalau mempergunakan kecepatan gerakanmu,"
Kata Bagus Seto dengan tenang. Kemudian dia memandang ke arah Jayawijaya dan merasa heran mengapa pemuda itu tenang-tenang dan diam-diam saja, tidak mengajukan diri untuk menjadi jago. Endang Patibroto berkata kepada puterinya,
"Retno Wilis, engkau harus dapat mengalahkan raksasa itu. Jangan beri ampun, hajar saja dan kalau perlu binasakan dia!"
Retno Wilis tersenyum kepada ibunya. Dulu ia bahkan lebih ganas dan galak dari pada ibunya. Akan tetapi setelah melakukan perjalanan bersama Bagus Seto, ia sudah banyak berubah. Tidak haus darah seperti dulu lagi. Apa lagi setelah ia bertemu dan berkenalan dengan Jayawijaya. Dengan sikap tenang ia lalu menghadapi Ki Shiwananda yang memegang ruyung dan yang memandang dengan sepasang matanya yang besar.
"Ki Shiwananda, akulah yang menjadi lawanmu!"
Kata Retno Wilis. Ki Shiwananda adalah seorang laki-laki yang terlalu mengandalkan kekuatan sendiri dan memandang rendah orang lain. Juga dia seorang mata keranjang dan entah sudah berapa ratus atau ribu wanita yang menjadi permainannya ketika para wanita itu terjatuh ke dalam cengkeramannya melalui sihir. Akan tetapi selama hidupnya, belum pernah dia mendapatkan seorang wanita seperti Retno Wilis yang selain cantik jelita juga gagah perkasa dan sakti mandraguna. Dia mengamati Retno Wilis dari kepala sampai ke kaki, lalu berkata dengan suaranya yang berat dan besar.
"Hemm, Retno Wilis. Lebih baik kalau kita berdamai saja. Eman-eman ayumu kalau engkau bertanding denganku dan sampai terluka atau lecet-lecet kulitmu yang halus dan putih mulus tanpa cacat itu. Lebih baik engkau menjadi isteriku dari pada menjadi musuhku!"
Retno Wilis tersenyum. Tidak terpancing kemarahannya karena ia maklum bahwa ucapan itu bukan hanya dikeluarkan karena Ki Shiwananda seorang yang mata keranjang, akan tetapi juga merupakan siasat sebelum bertanding untuk membuatnya marah. Kemarahan dapat mengurangi kewaspadaan dan inilah yang dikehendaki Ki Shiwananda. Maka ia tidak menjadi marah bahkan tersenyum dan begitu tangannya meraih ke belakang, ia sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan. Itulah pedang pusaka Sapudenta!
"Ki Shiwananda, tidak perlu banyak membuka mulutmu yang lebar dan berbau bangkai itu. Mari tandingi aku kalau engkau memang memiliki kepandaian!"
Tantang Retno Wilis.
"Keparat, tidak dapat dieman! Kalau begitu aku akan membunuhmu! Tubuhmu akan kulumatkan dengan ruyung ini. Haiiiiittt...!"
Raksasa itu menerjang, ruyungnya menyambar dahsyat sampai mengeluarkan bunyi mengaung saking kerasnya. Retno Wilis mengelak, bergerak seperti seekor burung srikatan sehingga sambaran ruyung hanya mengenai angin belaka. Sambil mengelak ke kiri, Retno Wilis menggerakkan pedangnya, menusuk ke arah perut yang gendut itu. Namun, Ki Shiwananda juga cukup tangkas. Dia sudah memutar ruyungnya dan kini senjata itu menangkis pedang yang menusuk perutnya.
"Trangggg...!"
Bunga api berpijar ketika ruyung bertemu pedang, dan Retno Wilis merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar hebat. Ia harus mengakui kebenaran peringatan kakaknya tadi bahwa lawannya ini memiliki tenaga gajah! Pada saat itu, ruyung kembali menyambar ke arah kepala Retno Wilis. Ruyung yang mengerikan itu kalau mengenai kepala, tentu akan melumatkan kepala itu. Akan tetapi kembali senjata itu hanya mengenai tempat kosong karena Retno Wilis sudah mengelak dan merendahkan diri sehingga ruyung lewat di atas kepalanya. Menggunakan kecepatan gerakannya, dengan tubuh agak merendah Retno Wilis sudah menyerang ke arah kedua kaki lawan dengan pedangnya.
Dibabat pedang secara bertubi-tubi ke arah kedua kakinya itu membuat Ki Shiwananda menjadi kerepotan. Dia meloncat-loncat ke belakang, kemudian setelah ia memutar ruyungnya melindungi kedua kakinya, barulah desakan Retno Wilis dapat dihentikan. Pertandingan berlangsung seru dan mati-matian. Karena Ki Shiwananda mengandalkan kebesaran tenaganya dan Retno Wilis mengandalkan kecepatannya, maka pertandingan berjalan seru sekali, lebih menegangkan daripada pertandingan-pertandingan sebelumnya. Ki Shiwananda mengeluarkan semua ilmu dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, tidak pernah ruyungnya dapat menyentuh tubuh lawan, bahkan sebaliknya pedang Retno Wilis yang bergerak sangat cepat itu kadang-kadang membuatnya kewalahan untuk mengelak dan menangkis.
"Terimalah Aji Kaladahana!"
Tiba-tiba Ki Shiwananda memekik dan tubuhnya merendah dengan kedua lutut ditekuk, dan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan, mulutnya ternganga mengeluarkan hawa.
Dari tangan yang didorongkan itu keluar uap dan telapak tangannya berubah kemerahan seperti mengandung api. Uap yang menyambar ke arah Retno Wilis itu membawa hawa yang panas sekali. Maklum bahwa lawan menggunakan ilmu pukulan jarak jauh mengandalkan tenaga sakti, Retno Wilis tidak kehilangan akal. Iapun merendahkan tubuhnya dan mendorongkan tangan kirinya, untuk menyambut serangan lawan. Itulah Aji Wisolangking. Gelombang hawa yang dingin menyambar ke depan dan ketika dua tenaga sakti itu bertumbuk di udara, keduanya terdorong mundur sampai dua langkah! Akan tetapi gerakan Retno Wilis memang cepat sekali. Begitu ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, tubuhnya sudah melesat ke depan dan pedangnya menyambar-nyambar dengan amat ganasnya! Ki Shiwananda terkejut.
Bukan saja ajinya Kaladahana dapat dipunahkan lawan, akan tetapi terutama sekali serangan dara itu membuatnya repot. Dia berusaha untuk menangkis dan mengadu senjata karena dia menang kuat dalam adu tenaga kasar. Akan tetapi Retno Wilis tidak memberi kesempatan dia mengadu tenaga. Pedang itu mengelak setiap kali ditangkis dan sudah menusuk lagi atau membacok dengan cepatnya. Didesak demikian, Ki Shiwananda terpaksa mempertahankan diri sambil mundur terus.
Tiba-tiba Ki Shiwananda menjadi nekat dan agaknya dia hendak mengadu nyawa, membiarkan diri terancam asal dia dapat berbalik mengancam lawan. Dia memutar ruyungnya dan menerjang ke depan. Dia membiarkan dirinya terbuka terhadap pedang lawan, akan tetapi kalau pedang lawan mengenai tubuhnya, ruyungnya berbareng juga akan mengenai tubuh lawan.
Menghadapi serangan nekat ini tentu saja Retno Wilis terkejut dan ia tidak sudi mengorbankan diri untuk sama-sama terluka. Ia mengelak dan ketika lawan terus mendesak dengan sambaran ruyungnya, ia menjatuhkan diri ke belakang, berjungkir balik di atas tanah dan ketika tangan kirinya menyentuh tanah, diam-diam ia mengambil segenggarn tanah dengan tangan kirinya. Ketika ia berdiri lagi dan melihat lawan masih terus maju menerjang, tiba-tiba ia mengeluarkan pekik melengking dan tangan kirinya bergerak menyambitkan tanah yang digenggamnya ke arah dada Ki Shiwananda. Jarak di antara mereka dekat sekali dan sambitan itu dilakukan tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka oleh Ki Shiwananda. Ketika ada sinar hitam menyambar ke arah dadanya, dia tidak sempat mengelak dan terpaksa dia mengerahkan aji kekebalannya untuk melindungi dada itu.
"Prattt...!!"
Dada itu kena disambar tanah berpasir yang disambitkan dengan Aji Pancaroba, semacam aji melempar pasir biasa menjadi pasir sakti yang berbahaya. Karena dada itu telah dilindungi aji kekebalan, maka pasir itu tidak dapat menembus kulit. Akan tetapi tetap saja terasa nyeri pada kulit dada dan membuat Ki Shiwananda terhuyung ke belakang. Saat itu, sinar pedang Sapudenta menyambar ke arah lehernya. Ki Shiwananda menggerakkan ruyungnya menangkis.
"Tranggg... bukkk!"
Pedang tertangkis akan tetapi pada saat itu Retno Wilis sudah menendang dan mengenai perut Ki Shiwananda, membuat tubuh raksasa itu terjengkang dan terbanting keras. Untuk menyelamatkan dirinya, Ki Shiwananda menggulingkan tubuhnya ke arah Wasi Shiwamurti. Akan tetapi Retno Wilis yang sudah merasa memperoleh kemenangan tidak melakukan pengejaran, melainkan memandang kepada Wasi Shiwamurti dengan senyum mengejek.
"Wasi Shiwamurti, jagomu yang ke empat sudah keok! Kedudukan kita kini menjadi tiga lawan dua untuk kemenangan pihakku. Sebaiknya kalian minggat dari sini dan jangan ganggu kami lagi karena kalau engkau berani menghadapi pertandingan terakhir, engkau tentu akan kalah pula."
Wajah Wasi Shiwamurti menjadi merah.
"Masih ada sebuah pertandingan lagi, yang ke lima dan aku sendiri yang akan maju! Hayo ajukanlah jagomu, Retno Wilis! Jagomu pasti akan kalah olehku dan kedudukan kita akan menjadi tiga sama dan seri sehingga kalian semua akan tetap menjadi tawanan kami untuk dihadapkan kepada Sang Adipati Blambangan sebagai telik sandi dan pengacau."
"Hei, Wasi Shiwamurti, dengarkanlah omonganku ini!"
Terdengar suara nyaring dan semua orang menoleh dan memandang kepada Jayawijaya yang mengeluarkan suara itu.
"Sadarlah bahwa engkau sebagai seorang wasi, seorang pendeta yang bijaksana, sedang melakukan hal yang sama sekali menyimpang dari kebenaran!"
"Jayawijaya, engkau ini orang lemah tidak tahu apa-apa bicara tentang kebenaran. Ketahuilah bahwa semua yang kami lakukan ini adalah benar belaka!"
"Kebenaran menurut pendapatmu sendiri! Akan tetapi ada kebenaran umum, kebenaran yang dapat ditelusuri dan dipertimbangkan akal sehat, Wasi Shiwamurti. Ada dua hal yang membuat engkau ingin menahan dan menangkap diajeng Retno Wilis dan pihaknya, yaitu pertama karena mereka engkau tuduh sebagai telik sandi dan kedua karena mereka pengacau. Tuduhan pertama itu, kalau benar bahwa mereka telik sandi, mengapa mereka melakukan itu? Bukan lain karena Blambangan bersikap memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala, sehingga sepantasnyalah kalau diajeng Retno Wilis sebagai kawula Panjalu yang setia menyelidiki keadaan Blambangan yang rremberontak. Kedua, tuduhan bahwa ia mengacau itupun ada sebabnya, yaitu karena engkau dan kawan-kawanmu menyebarluaskan agama baru yang menyimpang dari kesusilaan. Karena itu, mawas dirilah engkau, Wasi Shiwamurti sebelum terlambat karena bagaimanapun juga, yang salah akhirnya akan kalah dan yang benar akan menang."
"Orang muda cerewet! Diam engkau atau aku akan merobek mulutmu! Hayo maju kalau engkau berani, bertanding melawanku, bukan hanya bicara seperti seorang nenek bawel!"
Bagus Seto melangkah maju menghadapi Wasi Shiwamurti.
"Paman Wasi Shiwamurti! Sepatutnya andika berterima kasih karena ada orang yang mau mengingatkanmu. Akan tetapi andika malah marah-marah, ini sesungguhnya bukan sikap seorang pendeta dan pertapa. Kalau andika menghendaki kekerasan dan menantang tanding, nah, akulah yang akan menandingi-mu!"
Dengan sepasang matanya yang mencorong Wasi Shiwamurti mengamati pemuda berpakaian putih itu dengan penuh perhatian. Seorang pemuda yang usianya sekitar tiga puluh tahun, wajahnya lembut dan matanya juga bersinar lembut, gerak-geriknya tenang namun dibalik semua ketenangan itu dia dapat merasakan tenaga yang amat dahsyat bersembunyi. Dia tahu bahwa pemuda ini tentu seorang yang memiliki kesaktian tinggi, dan diapun sudah mendengar laporan mengenai pemuda ini. Maka, diam-diam dia lalu mengerahkan segenap tenaga batinnya dan menyilangkan kedua lengannya di depan dada, mulutnya kemak-kemik dan matanya terpejam mempersatukan segala daya alam pikirannya. Kemudian dia membuka mata, memandang ke arah kedua mata Bagus Seto dan terdengar suaranya yang bergema seperti bukan suara manusia lagi.
"Bagus Seto, lihat, nagaku akan memangsamu!"
Dia mengembangkan kedua lengannya dan terdengar halilintar pada saat tengah hari terang benderang itu.
Dia melontarkan tongkat kepala naganya ke udara dan... tongkat itu lenyap berubah menjadi seekor naga hitam yang besar badannya sama dengan pohon kelapa! Moncongnya terbuka lebar, matanya berapi-api menyeramkan sekali sehingga semua orang yang melihatnya menjadi terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, walaupun naga itu menghadapinya dan moncongnya ternganga siap menelannya dan sepasang kaki depan dengan kuku-kuku melengkung runcing siap menerkamnya, Bagus Seto tetap tenang saja. Dari rambut kepalanya dia mengambil sesuatu dan ternyata setangkai bunga cempaka putih sudah berada di tangannya. Dengan mata mencorong menatap naga jadi-jadian itu dia menyambitkan bunga cempaka putih itu ke arah naga.
"Segala sesuatu harus kembali ke asalnya!"
Katanya dan bunga itu berubah menjadi sinar putih seperti kilat yang menyambar ke arah naga. Terdengar suara menggelegar dan naga hitam itu mengeluarkan asap dan jatuh ke atas tanah, begitu menyentuh tanah berubah menjadi tongkat kembali. Bunga cempaka putih itu melayang turun kembali ke tangan Bagus Seto.
Wasi Shiwamurti dengan muka merah karena marah menyambar tongkat kepala naganya lagi, lalu mengetuk-ngetukkan ujung tongkat itu ke atas tanah. Makin lama ketukan itu semakin kuat dan dari bawah tongkat itu mengepul debu tebal berikut pasir dan kerikil menerjang ke arah Bagus Seto! Serangan ini dahsyat sekali sehingga menegangkan hati Retno Wilis. Namun Bagus Seto tetap tenang. Dia menanggalkan kain putih yang menjadi pengikat rambutnya dan menggunakan kain yang cukup lebar itu untuk mengebut ke depan. Sungguh aneh! Biarpun yang dikebut-kebutkan itu hanya sehelai kain putih, akan tetapi ketika debu tebal berikut pasir dan kerikil itu terkena kebutan itu, terpental kembali, bahkan menyerang balik ke arah Wasi Shiwamurti. Sang wasi menjadi marah dan memutar tongkatnya. Semua pasir dan kerikil runtuh ke atas tanah.
"Paman Wasi Shiwamurti, andika hendak mengadu ilmu ataukah hendak main-main? Segala macam permainan untuk menakut-nakuti anak kecil ini tidak perlu andika keluarkan!"
Kata Bagus Seto, bukan mengejek melainkan dengan suara bersungguh-sungguh. Wajah sang wasi menjadi pucat, lalu merah kembali dan untuk menutup malunya dia berkata dengan congkak.
"Babo-babo, Bagus Seto! Aku sudah siap dengan senjata tongkat wasiatku, sekarang keluarkanlah senjatamu. Pilihlah senjata yang paling keras dan ampuh untuk diadu dengan tongkat kepala nagaku!"
Mempersilakan lawan memilih senjata adalah sikap yang gagah dan ini diperlihatkan Wasi Shiwamurti untuk menutupi rasa malunya karena dua kali serangan ilmu sihirnya dapat digagalkan lawan. Akan tetapi sekali inipun dia kecelik karena Bagus Seto tersenyum dan berkata dengan sikap tenang dan lembut.
"Paman Wasi Shiwamurti, sejak tadi aku sudah memegang senjataku. Inilah senjataku!"
Dia memperlihatkan kain pengikat rambut di tangan kanan kanan dan bunga cempaka putih di tangan kiri. Wajah Wasi Shiwamurti menjadi merah sekali sampai ke lehernya. Diam-diam dia merasa terkejut dan juga penasaran. Terkejut karena dia maklum bahwa kalau orang berani bersenjatakan benda-benda lemah seperti kain dan bunga cempaka, orang itu pasti memiliki kesaktian tinggi, dan dia merasa penasaran karena dengan memegang senjata remeh macam itu, pemuda itu seolah memandang rendah kepadanya! Akan tetapi kemarahan lebih menguasai hatinya dan dia segera memutar tongkatnya sehingga tongkat itu melintang di depan dadanya.
"Bagus! Sambutlah keampuhan tongkat kepala nagaku!"
Dan dia sudah menyerang dengan dahsyat sekali. Retno Wilis sendiri sampai mengerutkan alisnya karena darisam baran angin serangan itu saja maklumlah dara perkasa ini betapa sakti orang itu dan betapa dahsyat dan berbahaya tongkatnya. Namun Bagus Seto bergerak sedemikian ringannya seolah tubuhnya berubah menjadi asap dan sambaran tongkat yang bertubi-tubi itu tidak pernah dapat mengenai tubuhnya. Ketika Retno Wilis sedang memandang dengan mata tidak pernah berkedip dan dengan hati tegang, tiba-tiba terdengar orang bicara di dekatnya.
"Diajeng Retno Wilis, kakakmu ini sungguh seorang yang sakti mandraguna. Juga seorang yang bijaksana. Aku kagum sekali kepadanya."
Senang hati Retno Wilis mendengar pujian itu dan merasa bangga, walaupun kekhawatiran masih menyelinap di hatinya karena ia maklum benar bahwa sekali ini kakaknya menghadapi seorang lawan yang teramat sakti.
"Akan tetapi lawannya juga seorang yang sakti mandraguna, kakang. Aku khawatir...
"
"Ingat, diajeng. Kita harus pasrah kepada kekuasaan Hyang Widhi. Aku yakin, karena kakangmas Bagus Seto berada di pihak benar, maka dia tidak akan terancam bahaya. Soal kalah menang bukan yang terpenting, akan tetapi yang lebih baik dia selalu berada daiam lindungan kekuasaan Sang Hyang Widhi."
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah mengapa, setelah mendengar suara dan kata-kata Jayawijaya ini, hati Retno Wilis menjadi tenteram dan timbul pula keyakinan dalam hatinya bahwa kakaknya akan terlindung kekuasaan Hyang Widhi seperti yang dikatakan Jayawijaya.
Sementara itu, pertarungan antara Wasi Shiwamurti dan Bagus Seto masih berlangsung dengan serunya. Tampak sekali perbedaan dalam sepak terjang kedua orang sakti mandraguna itu. Kalau tongkat kepala naga di tangan Wasi Shiwamurti menyambar-nyambar ganas dan merupakan tangan maut yang haus darah, setiap serangannya dimaksudkan untuk membunuh, sebaliknya Bagus Seto hanya berusaha menghindarkan diri dan kalau sewaktu-waktu kain pengikat rambutnya membalas serangan, maka serangan itu hanya untuk menotok jalan darah dan untuk melumpuhkan saja, tidak ada niat untuk membunuh.
(Lanjut ke Jilid 15)
Sepasang Garuda Putih (seri ke 05 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
Akan tetapi sikap mengalah dari Bagus Seto ini merugikan dirinya sendiri dan dengan sendirinya gerakan tongkat Wasi Shiwamurti menjadi semakin ganas sehingga Bagus Seto terdesak hebat. Tiba-tiba Shiwa-murti mengeluarkan suara gerengan panjang. Suara itu mengandung getaran yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung mereka yang menonton dan mereka cepat-cepat mengerahkan tenaga batin untuk menahan jantung mereka dari guncangan yang .akan mendatangkan luka dalam. Akan tetapi, bersamaan dengan getaran hebat itu, gerakan tongkat sang wasi menjadi semakin hebat pula. Ujung tongkatnya tergetar-getar menjadi banyak dan ujung tongkat itu menyerang secara bertubi-tubi ke arah tubuh Bagus Seto.
Menghadapi serangan dahsyat dan ganas ini, tiba-tiba tubuh Bagus Seto mumbul ke atas. Tongkat itu mengejarnya pada saat tubuh pemuda itu masih berada di atas, akan tetapi sungguh hebat. Tubuh itu dapat mengelak seolah burung yang sedang terbang saja, atau tubuh itu seolah telah menjadi asap atau uap. Inilah aji kesaktian yang disebut Mego Gemulung, yang membuat tubuh Bagus Seto laksana awan mendung yang berarak di angkasa, serangan tongkat yang bertubi-tubi tidak pernah dapat menyentuhnya. Dengan sedikit elakan saja semua serangan itu luput dan kadang-kadang ujung tongkat dikebut kain pengikat rambut sehingga menyeleweng tusukannya. Tubuh Bagus seto bergerak-gerak di udara seperti seekor kupu-kupu!
Pada saat itu terdengar suara gemuruh dan dari jauh tampak datang ratusan orang perajurit Blambangan. Hal ini memang telah diatur sebelumnya oleh Wasi Shiwamurti. Setelah tadi melihat bahwa pihaknya kalah tiga dua melawan pihak Retno Wilis, sebelum dia sendiri maju sebagai jago terakhir, dia telah membisiki Senopati Kurdolangit untuk mendatangkan bala bantuan pasukan untuk mengepung dan menangkap enam orang itu. Melihat datangnya demikian banyak perajurit dan melihat pula betapa belasan orang perajurit yang berada di situ mulai mengepung mereka, pihak Retno Wilis menjadi terkejut sekali. juga Bagus Seto melihat ini maka dia melayang turun. Ketika tongkat kepala naga menyambar ke arahnya, dia menangkis dengan kain pengikat kepala yang melibat tongkat itu sehingga tongkat itu tidak mampu digerakkan lagi.
Bagus Seto menyimpan bunga cempaka dan pada saat itu, Wasi Shiwamurti menghantamnya dengan tangan kiri yang terbuka. Pukulan ini dahsyat sekali mengandung hawa sakti yang amat kuat. Melihat ini, Bagus Seto juga mendorongkan telapak tangan kirinya menyambut.
"Blarrrr...!"
Dua tenaga sakti yang amat dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Wasi Shiwamurti terhuyung ke belakang dan tongkatnya terlepas dari libatan kain pengikat kepala yang dipegang Bagus Seto. Pada saat itu, Endang Patibroto yang melihat datangnya pasukan, segera berteriak kepada putera puterinya.
"Bagus! Retno! Cepat lari...! Mereka curang, mendatangkan pasukan. Lari!"
Retno Wilis menyambar pergelangan tangan kiri Jayawijaya dan mengajaknya lari dari tempat itu. Harjadenta dan Jarot juga melihat bahaya, maka merekapun melompat dan merobohkan perajurit yang berani menghalangi mereka, lalu melarikan diri. Endang Patibroto menggerakkan kaki tangannya dan empat orang perajurit pengepung berpelantingan dan tidak ada lagi yang berani menghalangi wanita ini lari. Demikian pula Retno Wilis. Biarpun sebelah tangannya ia menarik tangan Jayawijaya, namun dengan kaki dan tangan kirinya ia merobohkan dua orang perajurit lalu berlari cepat sambil menarik Jayawijaya. Bagus Seto sendiri juga melompat dan lari paling belakang untuk melindungi yang lari di depannya. Pasukan itu telah datang dan dua orang senopati, Rajah Beling dan Kurdolangit, segera mengerahkan mereka untuk melakukan pengejaran.
Akan tetapi Wasi Shiwamurti dan para pembantunya tidak melakukan pengejaran. Sebetulnya para pembantu itu melihat Wasi Shiwamurti tidak melakukan pengejaran, merekapun tidak berani mengejar karena mereka merasa jerih terhadap Endang Patibroto, Retno Wilis, dan terutama Bagus Seto. Wasi Shiwamurti sendiri tidak melakukan pengejaran karena merasa malu kalau harus ikut mengeroyok. Diapun maklum dari pertemuan tenaganya dengan tenaga Bagus Seto tadi bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda luar biasa itu. Enam orang itu melarikan diri dengan cepat sekali sehingga pengejaran pasukan Blambangan itu menjadi sia-sia. Mereka tertinggal jauh. Setelah tiba di luar batas Blambangan, baru mereka berhenti berlari. Endang Patibroto lalu berkata kepada kedua orang putera putrinya.
"Bagus Seto dan engkau Retno Wilis, aku sudah mendengar bahwa kalian sudah melakukan penyelidikan ke Nusabarung dan sekarang juga berada di daerah Blambangan. Kita semua sudah tahu belaka bahwa Blambangan dan Nusabarung telah mengadakan persiapan untuk memberontak terhadap Jenggala. Selain itu juga mereka mendatangkan pendeta-pendeta dari Cola yang menyebarkan agama sesat kepada rakyat jelata dengan paksaan. Semua ini sudah cukup untuk dijadikan laporan kepada Sang Prabu di Panjalu. Oleh karena itu, mari kita pulang ke Panjalu melapor kepada ayah kalian."
"Kanjeng Ibu, saya menduga bahwa setelah mendengar laporan ini, Panjalu dan Jenggala tentu akan mengirim pasukan untuk menundukkan Nusabarung dan Blambangan. Akan terjadi perang dan kalau sudah begitu, saya tidak suka terlibat dalam perang."
"Aku juga tidak suka ikut berperang,"
Kata Retno Wilis dan pernyataan puterinya ini mengherankan hati Endang Patibroto. Biasanya, puterinya ini adalah seorang yang suka berperang dan merobohkan sebanyak mungkin musuh. Sekarang ia menyatakan tidak suka ikut berperang. Ia tahu bahwa tentu puterinya sedikit banyak telah terpengaruh kakaknya yang biarpun amat sakti namun tidak suka akan kekerasan.
"Urusan perang adalah urusan ayah kalian. Kalian tidak perlu mencampuri. Akan tetapi keadaan di Nusabarung dan Blambangan harus dilaporkan karena kalau dibiarkan saja, dapat membahayakan Panjalu dan Jenggala. Marilah kita pulang dan melaporkan kepada ayah kalian agar ayah kalian dapat melapor kepada Sang Prabu dan dapat diambil tindakan terhadap Nusabarung dan Blambangan sebelum terlambat,"
Kata Endang Patibroto. Retno Wilis menoleh dan memandang kepada Bagus Seto seolah hendak minta keputusan dari kakaknya itu. Bagus Seto mengangguk dan berkata kepada adiknya,
"Diajeng, sudah semestinya kalau kita menuruti kata-kata kanjeng ibu dan kembali ke Panjalu menghadap kanjeng romo."
"Kalau begitu, marilah kita segera pergi sebelum mereka mengejar sampai di sini Anakmas Jayawijaya, anakmas Harjadenta, dan anakmas Jarot, kami bertiga hendak kembali ke Panjalu. Andika bertiga hendak ke mana?"
"Saya akan pulang ke kadipaten Pasisiran, melapor kepada kanjeng romo agar mengadakan persiapan dan kalau tiba saatnya kami akan membantu gerakan pasukan Panjalu dan Jenggala,"
Kata jarot.
"Setelah Nusabarung dan Blambangan dapat ditundukkan, barulah saya akan pergi ke Panjalu dan mengunjungi keluarga kanjeng bibi."
"Baik sekali anakmas Jarot. Bantuan dari Pasisiran tentu akan sangat berguna bagi kami. Dan Andika, anakmas Harjadenta?"
Harjadenta memandang kepada Retno Wilis.
"Sayapun ingin sekali berkunjung ke Panjalu menyambung persahabatan saya dengan kakangmas Bagus Seto dan diajeng Retno Wilis, akan tetapi tentu saja saya akan menunggu sampai akhirnya perang terhadap Nusabarung dan Blambangan yang memberontak. Sekarang saya akan pulang dulu ke Gunung Raung menghadap Eyang Empu Gandawijaya."
"Baiklah, kami tunggu kunjunganmu kelak, anakmas Harjadenta. Dan bagaimana dengan andika, anakmas Jayawijaya?"
Jayawijaya memandang kepada Retno Wilis. Rasanya berat untuk berpisah dari gadis itu, akan tetapi dia tersenyum dan memberi hormat kepada Endang Patibroto dan berkata,
"Kanjeng Bibi Endang Patibroto, saya telah mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan kanjeng bibi sekeluarga. Sekarang saya akan kembali ke Pegunungan Tengger menceritakan pengalaman saya kepada kanjeng room dan setelah keadaan damai saya akan mengajak kanjeng romo untuk berkunjung kepada kanjeng bibi sekeluarga."
"Jangan lupa aku selalu menunggu kunjunganmu, kakang Jaya,"
Kata Retno tanpa malu-malu karena ucapannya ini sedikit banyak membuka rahasia hatinya terhadap pemuda itu. Jarot mengerutkan alisnya dan memandang kepada Jayawijaya, akan tetapi Harjadenta menundukkan mukanya. Pemuda ini pernah menyatakan cintanya kepada Retno Wilis namun ditolak dengan halus oleh gadis itu dan diapun tahu diri, tidak berani lagi mengharapkan dara perkasa itu untuk menjadi jodohnya.
"Mari kita berpencar dan pergi dari sini sekarang juga, jangan sampai keburu mereka yang mengejar kita sampai di sini!"
Kata Endang Patibroto dan setelah saling memberi salam perpisahan, mereka semua meninggalkan tempat itu, mengambil jalan masing-masing. Ki Patih Tejolaksono, Patih Anom dari Panjalu, menyambut kembalinya isteri, putera dan puterinya dengan gembira.
Apa lagi melihat perubahan pada sikap Retno Wilis, dia menjadi gembira sekali. Kalau dulu Retno Wilis bersikap dingin, kini ia berubah menjadi seorang puteri yang hangat dan ramah, penuh hormat kepada ayah bundanya. Sifat keliarannya menghilang dan Ki Patih Tejolaksono mengerti bahwa ini berkat bimbingan Bagus Seto, puteranya yang luar biasa itu. Menghadapi puteranya sendiri ini, Ki Patih Tejolaksono merasa seolah menghadapi seorang yang tingkatannya lebih tinggi sehingga menimbulkan rasa hormat dan kagum dalam hatinya. Dengan penuh perhatian Ki Patih Tejolaksono mendengarkan Endang Patibroto dan Retno Wilis yang menceritakan pengalaman mereka. Dia mengerutkan alisnya ketika mendengar akan keadaan di Nusabarung dan Blambangan, apalagi tentang cara cara para tokoh dari Cola menyebarkan agama sesat itu.
"Hemm, berita ini penting sekali! Perlu segera kulaporkan kepada Sang Prabu. Memang telah diketahui bahwa Nusabarung dan Blambangan tampaknya menyusun kekuatan dan hendak memberontak, akan tetapi baru sekarang aku tahu bahwa mereka itu bersekutu dan ada usaha melemahkan Panjalu dan Jenggala. Sekarang juga aku harus menghadap Sang Prabu untuk memberi laporan tentang hasil perjalanan dan penyelidikan kalian,"
Hari itu juga Ki Patih Tejolaksono pergi menghadap dan diterima oleh Sang Prabu Sri Jayawarshe Digdaya Shastraprabu. Persidangan itu lengkap dihadiri para pembantu Sang Prabu, di antaranya Senopati Sepuh Suryoyudo dan yang lain-lain. Dengan suara yang tenang dan lancar, Ki Patih Tejolaksono melaporkan apa yang didengarnya dari isteri dan anak-anaknya, tentang hasil penyelidikan mereka. Laporan tentang persiapan perang yang dilakukan kadipaten Nusabarung dan Blambangan tidak mengejutkan karena semua orang sudah mendengar akan hal itu. Akan tetapi keterangan bahwa Nusabarung dan Blambangan didukung oleh Bali-dwipa, dan bahwa ada usaha dari kedua kadipaten itu untuk menimbulkan pertentangan di antara rakyat Jenggala dengan menyebar agama baru yang sesat, mengejutkan Sang Prabu dan para hulabalangnya.
"Kanjeng Gusti, dengan seijin paduka, perkenankan hamba sekarang juga memimpin pasukan untuk menundukkan Nusabarung dan Blambangan, juga membasmi para penyebar agama sesat itu!"
Terdengar Ki Patih Suryoyudo dengan suara lantang. Patih yang usianya sudah tujuh puluhan tahun ini memang masih gagah dan penuh semangat. Sang Prabu menoleh kepadanya dan berkata dengan lembut.
"Paman Patih Suryoyudo, kami tidak ragu akan kemampuan andika. Akan tetapi andika sudah tua dan sebaiknya menemani kami di istana dan menjaga ketenteraman dalam kotaraja. Mengenai penalukan Nusabarung dan Blambangan, juga pembasmian para penyebar agama sesat itu, kami serahkan kepada Ki Patih Tejolaksono."
"Sendiko dawuh paduka, Kanjeng Gusti,"
Kata Ki Patih Suryoyudo dengan patuh. Dia patuh dan tidak kecewa karena diapun maklum bahwa patih anom itu memiliki kesaktian yang bahkan melebihi kesaktiannya sendiri dan diapun tidak ragu bahwa kalau Ki patih Tejolaksono yang maju memimpin pasukan, Nusabarung dan Blambangan pasti akan dapat ditundukkan.
"Hamba siap melaksanakan perintah paduka, Kanjeng Gusti,"
Kata Ki Patih Tejolaksono sambil menghaturkan sembah.
"Kakang Patih Tejolaksono, buatlah persiapan dengan membawa pasukan secukupnya, kemudian berangkatlah segera ke Nusabarung dan Blambangan. Bujuk kedua adipati itu untuk menakluk dan datang menghadap. Kalau mereka menolak, beri hajaran kepada mereka, taklukkan mereka dengan kekuatan. Jangan lupa, cari biangkeladi penyebaran agama sesat itu dan basmi mereka."
"Sendiko dawuh paduka, Kanjeng Gusti. Hamba mohon doa restu."
"Kami bekali puja pangestu yang berlimpah, Kakang Patih."
"Terima kasih, Gusti."
Persidangan dibubarkan dan Ki Patih Tejolaksono segera pulang ke gedungnya untuk memberitahu kedua isterinya, Endang Patibroto dan Ayu Candra, dan kedua orang anaknya. Keluarga ini lalu berkumpul untuk membicarakan tugas yang oleh Sang Prabu diberikan kepada Ki Patih Tejolaksono. Setelah dia menceritakan hasil laporannya kepada Sang Prabu dan tentang tugas yang harus dipikulnya, Endang Patibroto lalu berkata,
"Aku akan menemanimu kakangmas. Aku akan membantumu menalukkan kedua kadipaten itu dan menghadapi para wasi penyebar agama sesat itu."
Ucapan Endang Patibroto itu diucapkan penuh semangat. Ayu Candra yang lemah lembut itupun berkata halus,
"Akupun ingin ikut membantumu dan diajeng Endang Patibroto, kakang mas."
"Jangan kalian berdua pergi semua, lalu siapa yang akan berjaga di kepatihan ini?"
Kata Ki Patih Tejolaksono.
"Diajeng Ayu Chandra, lebih baik andika berjaga di rumah saja. Biarlah diajeng Endang Patibroto ikut, sekalian menjadi petunjuk jalan karena ia sudah menyelidiki ke Nusabarung dan Blambangan."
"Apa yang dikatakan kakangmas itu betul, mbakayu. Engkau menjaga rumah karena keamanan di kepatihan juga amat penting. Biarlah aku yang pergi membantu suami kita, juga Retno Wilis dan Bagus Seto membantu ayah mereka."
"Kanjeng ibu, saya tidak ingin melibatkan diri dalam perang,"
Kata Bagus Seto dengan lembut.
"Sayapun tidak mau ikut berperang di mana saya harus membunuh banyak orang,"
Kata pula Retno Wilis.
"Kalian berdua tidak perlu ikut berperang. Akan tetapi para wasi dari Cola itu amat sakti. Kalau kalian berdua tidak membantu, ayah kalian dan aku tentu akan kewalahan menghadapi mereka,"
Kata Endang Pa tibroto.
"Bagus Seto dan Retno Wilis,"
Kata Ki Patih Tejolaksono dengan tenang.
"Kalian tentu ingat bahwa kehidupan ini baru ada manfaatnya kalau kita melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam kehidupan ini. Hidup berarti melaksanakan kewajiban-kewajiban itu. Kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu, kewajiban sebagai seorang suami atau-isteri, sebagai anak, sebagai sahabat, sebagai bawahan, sebagai atasan, sebagai kawula. Mempertahankan negara termasuk kewajiban suci dari seorang kawula. Lalu apa artinya menjadi kawula Negara kalau tidak mau membela negara? Membunuh orang berdasarkan kebencian dan permusuhan pribadi memang tidak baik dan tidak benar, anak-anakku. Akan tetapi membunuh musuh dalam perang merupakan tugas kewajiban seorang kawula yang membela negaranya, bebas dari pada rasa benci perorangan. Nah, sebagai kawula Panjalu, kalian juga berkewajiban untuk membela negara."
"Sudahlah,"
Endang Patibroto berkata.
"Kalau kedua orang anak kita ini tidak mau terlibat perang, terserah kepada mereka. Akan tetapi mereka harus membantu dalam menghadapi para wasi penyebar agama sesat itu, kecuali kalau mereka rela melihat rakyat dipaksa memeluk agama sesat dan kalau mereka tega melihat ayah ibunya menghadapi para wasi yang sakti mandraguna itu tanpa membantu."
"Kakang, kita harus membantu ayah menghadapi mereka!"
Retno Wilis berkata sambil memegang tangan Bagus Seto dan mengguncangnya. Bagus Seto tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah dan kita lihat saja. Kalau memang amat diperlukan, kita turun tangan membantu."
Ki Patih Tejolaksono dan Endang Patibroto merasa girang sekali. Hati suami isteri ini menjadi besar melihat kedua orang anak mereka yang boleh diandalkan itu mau ikut. Ayu Chandra yang tadi merasa tidak enak melihat Bagus Seto tidak mau ikut, kini lega juga hatinya mendengar kesanggupan Bagus Seto.
"Aku merasa ikut girang kalau engkau mau ikut, anakku. Semoga Sang Hyang Widhi memberi kekuatan kepadamu untuk menanggulangi semua rintangan yang dihadapi ayah dan ibumu."
Demikianlah, Ki Patih Tejolaksono membuat persiapan, memilih pasukan istimewa dan keesokan harinya, berangkatlah pasukan itu dipimpin Ki Tejolaksono yang diiringkan isterinya Endang Patibroto dan kedua orang anaknya, Bagus Seto dan Retno Wilis. Mereka bertiga menunggang kuda dan di sepanjang jalan mereka dielu-elukan rakyat jelata yang memandang kagum kepada empat orang itu yang tampak gagah perkasa. Ki Patih Tejolaksono yang berusia lirna- puluh dua tahun menunggang kuda pancal panggung yang berkaki putih, masih tampak muda dan gagah perkasa. Di pinggangnya terselip sebatang keris pusaka pemberian Sang Prabu. Di sisinya, Endang Patibroto menunggang seekor kuda hitam, sudah berusia lima puluh tahun akan tetapi masih tampak cantik dan anggun, dengan sebatang keris terselip di pinggangnya, gagah perkasa seperti Woro Srikandi.
Pasangan yang sudah amat dikenal rakyat ini mendatangkan rasa kagum di hati penonton yang mengelu-elukan mereka. Di Belakang pasangan ini, juga menunggang seekor kuda coklat, tampak Bagus Seto yang berpakaian serba putih, lemah lembut dengan sinar matanya yang penuh kesabaran, gerak geriknya halus, seperti Raden Arjuna yang tidak tampak gagah perkasa melainkan lembut namun di balik kelembutan itu terkandung kekuatan yang maha dahsyat yang membuat orang memandang dengan hati tunduk. Di sampingnya, duduk di atas seekor kuda berbulu putih adalah Retno Wilis yang menjadi pusat perhatian penonton. Seorang gadis yang juga berpakaian serba putih dari sutera, cantik jelita dan gagah perkasa, dengan sebatang pedang di punggungnya, bertubuh sempurna dengan lekuk lengkung yang menggairahkan.
Sinom yang melingkar-lingkar di dahinya bergerak-gerak tertiup angin, alisnya yang hitam melengkung dan matanya seperti bintang kejora. Mulutnya tersenyum dan lesung pipit di sebelah kiri mulutnya menambah kemanisannya. Hati para pria muda yang memandang menjadi terpesona oleh kecantikan dan keanggunan yang amat menawan itu. Sepasang orang muda yang berpakaian serba putih itu benar-benar membuat hati mereka yang menonton berdebar penuh kebanggaan dan kekaguman. Bangga karena mereka adalah putera puteri Ki Patih Tejolaksono yang telah lama menjadi kebanggaan mereka. Lima losin barisan pengawal menunggang kuda di depan, diikuti oleh Sang Patih dan isteri serta dua orang puteranya dan di belakang mereka berbaris pasukan berkuda, lalu diikuti pasukan pejalan kaki. Jumlah mereka tidak kurang dari selaksa orang.
Sesuai dengan perintah Sang Prabu di Panjalu, Ki Patih Tejolaksono membawa pasukannya singgah di Kerajaan Jenggala. Pasukan berhenti di luar kadipaten, dan Ki Patih Tejolaksono, diikuti Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto memasuki kadipaten menghadap Sri Samarotsoha Karnake shana Dharmawangsa Kirtisinga Jayantaka Tungga Dewa, Raja di Jenggala yang dahulu nya bernama Pangeran Sigit dan pernah menjadi teman seperjuangan Ki Patih Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bahkan Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri Raja Jenggala adalah saudara kandung Endang Patibroto.
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo