Sepasang Garuda Putih 6
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Ho-ho-ha-ha! Kukira seorang yang gagah perkasa, kiranya hanya seorang pemuda remaja yang masih berbau pupuk! Heh, Harjadenta bocah kemarin sore! Engkau berhadapan dengan Suropekik, warok yang paling gemblengan dari Ponorogo. Hayo engkau cepat menyerah untuk kubawa dan kuhadapkan Ki Demang Grobokan. Kalau engkau melawan, akan kupatahkan semua tulangmu kemudian kuseret ke depan Ki Demang!"
Harjadenta marah sekali mendengar ini. Raksasa itu amat sombong dan diapun melayani kesombongannya itu, tidak mau kalah gertak.
"Suropekik, ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang biasa membasmi warok-warok yang jahat seperti engkau! Aku tidak takut padamu, biar kau gerakkan semua pengikutmu ini untuk mengeroyokku, aku tidak akan undur selangkahpun!"
Tantangan Harjadenta ini benar-benar mengejutkan semua orang dan membuat wajah yang tertutup brewok itu berubah merah saking marahnya. Ki Suropekik adalah seorang jagoan yang sukar dicari tandingannya dan selama merajalela di dunia ramai, jarang menemukan tandingan yang sama kuatnya. Kini mendengar tantangan Harjadenta yang demikian berani, tentu saja dia merasa terhina. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang besar berotot itu seolah-olah tangannya sudah terasa gatal-gatal untuk segera melaksanakan ancamannya, yaitu mematahkan semua tulang pemuda itu, dari suaranya terdengar parau dan kasar.
"Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan! Majulah, Harjadenta dan jangan engkau nanti bersambat kepada ibumu kalau kuhajar sampai tulang-tulangmu patah semua!"
"Suropekik, engkau yang datang mencari permusuhan, bukan aku. Maka engkaulah yang harus maju lebih dulu. Aku siap menghadapi sumbarmu yang seperti gentong kosong!"
Suropekik menggereng seperti seekor harimau dan dari mulutnya mengepul uap putih. Agaknya, saking marahnya maka dari dalam dadanya keluar uap panas! Kemudian bagaikan seekor biruang, dia sudah menerjang maju dengan kedua lengan terbuka dan agaknya dia hendak menangkap pemuda itu dan meremukkan tulang-tulangnya dalam dekapannya. Akan tetapi dia hanya menubruk angin saja karena yang ditubruk dengan gesitnya sudah mengelak ke samping. Dari samping Harjadenta mengirim tamparan tangan kiri ke arah pelipis raksasa itu. Akan tetapi, ternyata Suropekik yang besar tubuhnya itu dapat bergerak dengan gesit pula. Tangan kanannya menangkis tamparan Harjadenta dengan kuatnya.
"Dukkk...!!"
Dua lengan bertemu dengan kerasnya dan Harjadenta merasa betapa lengannya terpental dan tergetar, tanda bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat besar. Suropekik tertawa bergelak dan kini dia menyerang dengan hebat dan cepatnya, mengirim pukulan dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, bahkan kakinyapun kadang menyelingi pukulannya mengirim tendangan yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat tubuh Harjadenta terlempar jauh. Akan tetapi gerakan Harjadenta amat cepat dan lincah. Dia dapat meloloskan diri dari semua sergapan ini, bahkan kadang membalas dengan tamparan tangannya.
"Wuuuutttt... desss!"
Sebuah tamparan tangan kanan Harjadenta mengenai dada raksasa itu, akan tetapi tidak membuatnya roboh. Tamparan yang dilakukan dengan sepenuh tenaga itu ternyata bertemu dengan dada yang kokoh kuat seperti dinding baja dan hanya membuat Suropekik melangkah mundur dua langkah saja! Ternyata warok itu memiliki tubuh yang kebal. Harjadenta terkejut dan tahulah dia bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Karena pukulannya tidak mampu merobohkan lawan, Harjadenta lalu mencabut sebatang keris yang tadinya terselip di pinggangnya. Keris itu adalah pemberian gurunya, bernama Ki Mengeng, sebatang keris berluk tujuh.
"Ho-ho-ha-ha, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mencabut pusaka!"
Kata Suropekik yang tahu bahwa keris itu sebuah pusaka ampuh melihat dari pamornya yang mencorong. Diapun merasa miris untuk melawan pusaka itu dengan tangan kosong saja, maka diapun meloloskan sabuknya, yaitu kolor yang besar dan panjang itu.
"Akan tetapi aku tidak takut kepada pusakamu itu, dan rasakanlah ini kehebatan pusakaku Kyai Gunturgeni!"
Dia menggerakkan kolornya dan kolor itu menjadi seperti sebatang pecut dan terdengarlah ledakan-ledakan ketika dia mengayun kolor itu ke atas. Tampak asap mengepul mengikuti suara ledakan. Harjadenta semakin waspada. Diapun mengenal pusaka ampuh, maka ketika kolor itu menyambar, dia cepat mengelak dan mencari kesempatan untuk menusukkan kerisnya! Akan tetapi lawannya yang juga gentar untuk menerima keris itu dengan kekebalan tubuhnya, memutar-mutar kolornya dan membuat Harjadenta tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk memasukkan kerisnya dalam serangan.
Terjadilah pertandingan yang menegangkan. Semua sambaran kolor dapat dielakkan atau ditangkis dengan keris oleh Harjadenta, akan tetapi juga tusukan-tusukan kerisnya tidak dapat mengenai sasaran karena selalu dihalau oleh sambaran kolor. Kolor yang diputar-putar itu berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung yang kadang mengeluarkan ledakan, dan perlahan namun tentu Harjadenta mulai terdesak! Suropekik merasa penasaran sekali karena sebegitu jauh dia belum dapat merobohkan pemuda itu. Diapun ingin dapat menangkap Harjadenta hidup-hidup untuk dapat memamerkan dan membanggakan keunggulannya. Akan tetapi ternyata pemuda itu sukar sekali dirobohkan. Dia mulai merasa khawatir kalau pemuda itu meloncat dan menggunakan kecepatan gerakannya untuk melarikan diri. Karena itu, dia lalu berseru nyaring,
"Kawan-kawan, mari bantu aku menangkap bocah liar ini!"
Belasan orang itu kini menyergap ke depan, menggerakkan senjata mereka yang berupa golok atau keris. Tentu saja Harjadenta yang tadinya memang sudah terdesak, menjadi semakin repot. Dia telah dikepung ketat dan sama sekali tidak ada jalan keluar baginya untuk melarikan diri. Pula, bagaimana dia dapat dan mau melarikan diri dengan meninggalkan Ki Dirun sekeluarga yang terancam. Tidak, dia tidak akan lari, dan akan melawan sampai titik darah penghabisan. Ki Dirun menjadi cemas sekali. Wajahnya pucat dan tubuhnya yang mendekam itu menggigil ketakutan. Kemudian ia teringat akan anak bininya yang berada di dalam rumah.
"Melarikan diri!"
Demikian terlintas dalam pikirannya. Selagi semua orang itu mengeroyok Harjadenta, dia memiliki kesempatan untuk membawa lari anak isterinya. Maka, biarpun tubuhnya menggigil, dengan merangkak, berhasil juga dia memasuki rumahnya. Dia melihat Lasmini saling rangkul dengan ibunya dan menangis tanpa suara, sedangkan Martono juga berdiri bingung menghibur ibunya yang juga menangis.
"Martono, cepat bawa ibumu lari dari sini. Lari dan bersembunyilah. Aku dan anak biniku juga akan melarikan diri. Kita berpisah dulu, agar dapat menyelamatkan diri masing-masing. Cepat sebelum terlambat!"
Dia lalu memegang tangan Lasmini dan tangan isterinya, ditarik dan dibawanya lari keluar dari rumah itu melalui pintu belakang. Martono yang kebingungan juga menirunya, menarik tangan ibunya dan dibawa lari melalui pintu belakang rumah. Setelah tiba di kebun belakang, mereka lalu melarikan diri cepat-cepat dan menuju ke sungai yang berada tak jauh dari dusun Grobokan. Ki Dirun yang kadang bekerja sebagai nelayan memiliki sebuah perahu, maka dia menarik isteri dan anaknya kedalam perahu. Martono dan ibunya tidak memiliki perahu dan untuk ikut dalam perahu Ki Dirun, perahu itu terlalu kecil.
"Engkau bawalah ibumu menyusuri sungai ini, pendeknya kemana saja asal jauh dari Grobokan. Kelak kita akan dapat bertemu kembali!"
Kata Ki Dirun dan dia segera mendayung perahunya ke tengah sungai dan perahu itu hanyut oleh aliran sungai, ditambah tenaga dayung Ki Dirun sehingga perahu itu meluncur cepat. Martono masih menggandeng tangan ibunya dan terseok-seok mereka melarikan diri, menyusuri sungai, masuk keluar hutan dalam cuaca yang mulai gelap itu. Ibu Martono menangis terisak-isak sambil berlari. Tangisnya ini menarik perhatian dua orang yang kebetulan berada di tepi hutan itu.
Mereka adalah Bagus Seto dan Retno Wilis. Tertarik akan keindahan pemandangan di sepanjang Kali Mayang, kedua orang muda itu menyusuri sungai itu arah ke hulu. Makin jauh mereka mengikuti hulu sungai, pemandangan semakin indah dan mereka terus menyusuri sungai itu. Setelah berbulan-bulan melihat pemandangan pantai Laut Kidul, pemandangan yang baru ini tampak lain dan memiliki keindahan yang khas. Dan sore itu mereka tiba di hutan di mana mereka mendengar tangis wanita yang terisak-isak. Mereka tentu saja menjadi tertarik dan segera menghampiri dari mana datangnya tangis itu. Dan mereka menjumpai Martono dan ibunya yang sedang melarikan diri. Melihat seorang wanita setengah tua ditarik-tarik oleh seorang pemuda dan wanita itu menangis, Retno Wilis menjadi marah. Sekali melompat ia telah berada di depan Martono dan ia membentak.
"Manusia jahanam! Kenapa engkau menyeret-nyeret wanita ini! Lepaskan!"
Martono terkejut sekali ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya berada di depannya dan membentaknya. Juga ibunya terkejut. Akan tetapi ibu ini segera mengerti bahwa gadis itu salah paham, maka ia cepat berkata.
"Den ajeng, dia ini anakku dan kami berdua sedang melarikan diri dari ancaman bahaya maut."
Retno Wills merasa mukanya panas saking rikuhnya. Ia telah mengira yang bukan-bukan. Ternyata pemuda itu sama sekali bukan orang jahat. Ia lalu bertanya dengan suara lembut,
"Bahaya maut apakah yang mengancam kalian sehingga kalian melarikan diri?"
Dengan tergesa-gesa Martono lalu bercerita.
"Ki Demang Grobokan hendak merampas tunangan saya dan dia mengirim tukang-tukang pukulnya untuk merampas Lasmini, tunangan saya. Kami dibela seorang denmas yang sakti bernama Harjadenta, akan tetapi sekarang dia dikeroyok oleh belasan orang tukang pukul di depan rumah orang tua Lasmini. Kini Lasmini dan ayah ibunya sudah melarikan diri dan saya mengajak ibu melarikan diri pula karena terancam."
"Hemm, di mana penolong itu dikeroyok?"
Tanya Retno Wilis.
"Di rumah Paman Dirun di dusun Grobokan, tak jauh dari sini, itu diluar hutan ini. Permisi, kami harus melarikan diri."
Martono lalu menggandeng tangan ibunya lagi dan diajak lari. Retno Wilis menoleh kepada Bagus Seto yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
"Kakang, aku khawatir akan nasib penolong itu yang dikeroyok para tukang pukul. Mari kita ke sana, kakang."
"Baiklah!"
Kata kakaknya sambil tersenyum. Retno Wilis lalu mengerahkan ilmunya berlari cepat. Tubuhnya melesat seperti angin menuju ke dusun Grobokan dan Bagus Seto mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di dusun itu, dengan mudah Retno Wilis dapat mencari rumah Lasmini karena dusun itu sudah gempar dengan adanya perkelahian itu. Dengan cepat Retno Wilis dan Bagus Seto tiba di tempat itu dan Retno Wilis melihat seorang pemuda yang memegang keris dikeroyok belasan orang yang memegang golok.
Terutama sekali seorang raksasa yang bersenjatakan kolor merupakan lawan yang amat tangguh sehingga pemuda itu kini main mundur, bahkan sudah ada beberapa batang golok yang mengenai tubuhnya. Paha dan pundaknya sudah terluka, namun pemuda itu tidak gentar sedikitpun juga, masih tetap melakukan perlawanan gigih dengan kerisnya. Ada pula lima orang di antara para pengeroyok yang sudah roboh oleh pemuda itu, dan mereka hanya merintih dan menonton dari pinggiran, tidak dapat ikut mengeroyok lagi. Mudah bagi Retno Wilis untuk berpihak apa lagi ia telah mendengar dari Martono bahwa pemuda itu merupakan penolong keluarga Lasmini. Ia mengeluarkan suara panjang melengking dan tubuhnya sudah meloncat ke dalam pertempuran, tangannya bergerak menampar ke arah raksasa yang memutar kolornya secara dahsyat.
"Wuuuttt... plakk...!!"
Biarpun hanya ditampar pundaknya yang kebal, namun tubuh Suropekik terhuyung dan dia merasa seolah dirinya disambar petir! Dia terhuyung dan melihat siapa orangnya yang berani menyerangnya sehebat itu dengan tangan kosong dan ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat cantik berdiri di depannya, ia terbelalak dan juga marah. Sementara itu, ketika tidak lagi didesak oleh Suropekik, Harjadenta leluasa mengamuk menghadapi anak buah warok itu sehingga para pengeroyoknya menjadi kocar-kacir. Diam-diam Harjadenta memperhatikan Retno Wilis dan dia terkejut, juga kagum. Akan tetapi timbul kecurigaan dalam hatinya. Yang mencuri keris pusaka Carubuk adalah seorang wanita cantik yang sakti.
Jangan-jangan ini orangnya? Akan tetapi karena wanita itu kini bertanding melawan Suropekik, diapun diam saja dan hanya mengamuk menghadapi pengeroyokan belasan orang lawannya. Bagus Seto hanya berdiri menonton. Dia tidak khawatir akan adiknya karena sekali pandang saja dia tahu bahwa betapa hebatpun kolor raksasa itu, dia tidak akan mampu mengalahkan adiknya. Yang di khawatirkan malah Harjadenta. Pemuda ini mengamuk dengan kerisnya dan dia khawatir kalau kalau pemuda itu membunuh orang banyak. Sayang kalau seorang pemuda segagah itu melakukan pembunuhan terhadap banyak orang dan melihat betapa dia sudah luka-luka, bukan tidak mungkin dia menjadi mata gelap dan membunuhi para pengeroyoknya. Setelah membuat penilaian, Bagus Seto lalu menggerakkan kakinya dan tubuhnya seperti melayang ke arah Harjadenta yang sedang mengamuk.
"Tidak perlu membunuhi orang, ki sanak!"
Katanya dan dengan tangannya dia menangkis keris pusaka Harjadenta yang menyambar-nyambar mencari korban. Harjadenta terkejut sekali ketika ada orang menangkis keris pusakanya hanya dengan tangan kosong saja. Akan tetapi karena orang itu tidak menyerangnya, maka diapun hanya menghentikan amukannya dan memandang dengan heran.
Dia melihat seorang pemuda berpakaian serba putih yang kini dikeroyok banyak orang. Tentu para pengeroyok itu mengira bahwa pemuda pakaian putih itu membantunya, maka mereka kini mengayunkan senjata mereka untuk menyerang si pemuda pakaian putih. Melihat betapa orang-orang itu meninggalkan pemuda yang mengamuk tadi dan kini mereka menyerangnya, Bagus Seto lalu menggerakkan kedua tangannya seperti orang mendorong dan mereka yang menyerbu ke arahnya itu terjengkang seperti daun-daun kering ditiup angin. Tentu saja mereka terkejut dan belum tahu mengapa mereka tiba-tiba terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat kuatnya. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Kini Bagus Seto menggerakkan tangan seperti menampar dan orang-orang itu berpelantingan keras.
Kini mengertilah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang amat sakti, maka tanpa banyak bicara lagi mereka lari tunggang-langgang. Harjadenta melihat ini semua dan dia terbelalak kagum. Diapun tahu bahwa pemuda berpakaian putih itu memiliki kadigdayaan yang luar biasa, seorang sakti mandraguna. Akan tetapi karena pemuda itu kini memandang ke arah pertempuran antara Suropekik dan wanita cantik itu, Harjadenta juga memandang dan menonton pertandingan yang seru dan hebat itu. Dia semakin kagum. Wanita itu bertangan kosong saja menandingi kolor di tangan Suropekik. Padahal dia melihat wanita itu membawa sebatang pedang di punggungnya. Ia tidak mau menggunakan pedang dan melawan dengan tangan kosong saja, berarti bahwa wanita itu yakin akan mampu mengalahkan lawan!
Dan apa yang dilihatnya memang demikian. Suropekik berusaha untuk menghantamkan kolornya yang ampuh, namun gadis itu dengan gerakan seperti seekor burung srikatan saja mengelak ke sana sini, bahkan kadang ia berani menangkis pukulan kolor itu dengan tangannya! Dan gadis itu membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang membuat Suropekik menjadi repot untuk mengelak atau menangkis dengan kolornya. Menghadapi tamparan-tamparan itu tampaknya Suropekik merasa jerih untuk menerimanya dengan kekebalan tubuhnya. Memang demikianlah. Tadi Suropekik mengandalkan kekebalan tubuhnya, menerima tamparan Retno Wilis dengan dadanya. Ia menganggap bahwa pukulan seorang gadis itu tentu tidak berapa kuat, maka dia menerima dengan dadanya sambil mengerahkan tenaganya.
"Bukk...!"
Tubuh Suropekik terjengkang dan hampir saja dia roboh, dadanya terasa panas dan sesak. Dia menjadi marah dan mengamuk dengan kolornya, namun senjatanya itu sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju Retno Wilis yang bergerak dengan ilmu silat Pancaroba yang membuat tubuhnya bergerak demikian cepatnya sehingga seringkali Suropekik kehilangan lawan.
Dia secara ngawur hanya memutar kolornya dan berputar-putar, mencoba menandingi kecepatan gerakan Retno Wilis dengan putaran kolornya. Retno Wilis kini bergerak mengitari lawan dan memaksa Suropekik juga berputaran. Karena sejak tadi Suropekik mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggerakkan kolornya dan dia harus berputar-putar, lama kelamaan pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pusing. Melihat keadaan lawan sudah mulai mengendur gerakan kolornya, Retno Wilis menggerakkan kakinya menendang. Lutut Suropekik disentuh ujung kaki dara perkasa itu, membuat dia hampir roboh dan lutut kanannya ditekuk, dan pada saat itu, sebuah tamparan tangan kiri Retno Wilis hinggap di dagunya.
"Dess...!!"
Tubuh raksasa itu berputar dan diapun roboh terpelanting, kepalanya berdenyut nyeri dan dadanya sesak, akan tetapi karena dia memang kuat dan kebal, Suropekik sudah dapat bangkit kembali. Dia menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir kepeningannya dan kedua matanya yang besar berubah merah. Dia marah sekali. Biarpun dia melihat betapa semua anak buahnya sudah melarikan diri, dia tetap nekat. Dia tidak percaya bahwa dia dikalahkan oleh seorang dara yang bertangan kosong! Dia tidak dapat menerima kenyataan ini. Dia bangkit berdiri mengerahkan aji yang dimilikinya sehingga tangan yang memegang kolor itu seperti menggigil, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas dan dia mengayun kolornya ke atas kepala, lalu menerjang maju sambil menghantamkan kolornya.
"Darr...!"
Retno Wilis menggunakan kedua tangan untuk menyambut hantaman kolor itu dengan pukulan jarak jauh dan begitu terdengar kolor itu meledak seperti sebuah cambuk, Suropekik roboh! Dia masih memegangi kolornya, akan tetapi dari mulutnya muntah darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya akibat benturan tenaganya dengan tenaga sakti dara itu.
"Pergilah kalau engkau tidak ingin mati!"
Kata Retno Wilis yang merasa penasaran juga melihat kenekatan orang tinggi besar itu.
Kini Suropekik benar-benar yakin bahwa dia tidak akan mampu menandingi dara itu, maka dengan lemah dia bangkit berdiri, memandang kepada Retno Wilis dengan mata mencorong, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung pergi tanpa menengok lagi. Harjadenta yang menonton pertandingan itu, menjadi kagum bukan main. Dia yang menggunakan keris pusakanya saja tidak mampu mengalahkan Suropekik, akan tetapi dara itu dengan bertangan kosong saja dapat mengalahkan raksasa itu hanya dalam pertempuran yang pendek. Tahulah dia bahwa dara itu, dan juga pemuda berpakaian putih seperti juga pakaian dara itu, keduanya adalah orang-orang yang memiliki kesaktian hebat. Maka dia lalu menghampiri mereka sambil membungkuk-bungkuk memberi hormat.
"Banyak terima kasih saya ucapkan atas pertolongan andika berdua,"
Katanya sambil menatap wajah mereka.
"Kalau andika berdua tidak datang membantu, tentu aku sudah mati dikeroyok mereka."
"Tidak perlu berterima kasih, sobat. Kita semua hanya melaksanakan tugas-kewajiban kita saja secara wajar. Andika juga telah menyelamatkan keluarga Ki Dirun."
"Nama saya Harjadenta. Bolehkah saya mengetahui nama andika berdua yang terhormat?"
Bagus Seto tersenyum.
"Namaku Bagus Seto dan ini adalah adikku bernama Retno Wilis. Kami datang dari Panjalu. Dan andika datang dari manakah?"
"Saya datang dari Gunung Raung, hendak mencari seseorang... barangkali andika berdua dapat membantu saya. Saya sedang mencari seorang wanita yang telah mencuri keris pusaka guru saya. Apakah andika berdua mengetahui seorang wanita cantik yang sakti, yang mencuri Pusaka Carubuk milik guru saya?"
Harjadenta menatap tajam wajah Retno Wilis untuk melihat perubahan pada wajah itu. Akan tetapi Retno Wilis tidak bereaksi apa-apa terhadap ucapan itu, bahkan ia lalu berkata.
"Kita tidak boleh berhenti sampai di sini saja! Demang keparat itu harus dihajar agar jera memaksa gadis menjadi selirnya. Hayo kakang, kita cari Demang jahanam itu!"
"Terserah kepadamu, diajeng. Akan tetapi aku pesan agar engkau membatasi diri, jangan membunuh orang."
"Tadinya saya memang berniat untuk memberi hajaran kepada Demang itu, akan tetapi melihat dia mempunyai begitu banyak tukang pukul, tentu saja saya tidak berdaya. Sekarang setelah andika berdua muncul, saya akan membantu andika berdua memberi hajaran kepada Demang dan anak buahnya yang jahat dan sewenang-wenang itu."
Kata Harjadenta.
"Adimas Harjadenta, engkau telah terluka. Lihat, paha dan pundakmu masih berdarah. Engkau perlu merawat diri dan mengobati lukamu. Biar urusan dengan Demang ini dirampungkan oleh diajeng Retno Wilis."
"Hanya luka kecil saja, kakangmas Bagus Seto. Tidak semestinya kalau diajeng Retno Wilis melakukan tugas itu seorang diri saja. Biar aku membantu kalian."
"Marilah kita pergi. Kakangmas Harjadenta, apakah engkau sudah mengetahui di mana letak rumah Demang jahanam itu?"
"Aku sendiri belum pernah ke sana. Akan tetapi mudah saja. Kita tanya kepada penduduk, tentu mereka semua mengetahuinya."
Mereka bertiga lalu keluar dari pekarangan rumah Ki Dirun itu. Cuaca sudah mulai gelap ketika mereka bertanya kepada seorang dusun di mana rumah Demang dan segera menuju ke tempat itu. Rumah itu paling besar di dusun Grobokan. Pekarangannya juga luas dan ketika mereka bertiga tiba di pekarangan itu, sedikitnya dua puluh orang segera mengepung mereka. Selain penerangan dari lampu-lampu yang tergantung di luar rumah, juga di antara mereka ada yang membawa obor sehingga tempat menjadi terang seperti siang. Bagus Seto yang melihat para tukang pukul itu mengepung, segera maju dan berkata dengan suara lantang namun lembut.
"Saudara sekalian! Kami datang untuk bertemu dengan Ki Demang! Minta dia keluar menemui kami dan harap saudara sekalian mundur. Kami tidak ingin berkelahi dengan kalian!"
Para tukang pukul itu memang sudah merasa jerih. Di antara mereka terdapat orang-orang yang tadi membantu Suropekik dan mereka sudah mengetahui bahwa tiga orang muda itu memiliki kesaktian. Akan tetapi untuk mundur merekapun takut akan kemarahan Ki Demang, maka mereka semua hanya ragu-ragu dan tetap mengepung, biar pun tidak ada yang berani turun tangan menyerang.
"Kakangmas, aku khawatir kalau demang itu akan melarikan diri melalui pintu belakang. Biar aku menangkapnya dan membawanya keluar,"
Kata Retno Wilis kepada kakaknya. Bagus Seto mengangguk dan sekali berkelebat, gadis itu lenyap dari situ. Para pengepung hanya melihat berkelebatnya bayangan orang, tidak tahu bahwa yang berkelebat itu adalah dara perkasa yang telah melompat di atas kepala mereka. Retno Wilis terus masuk ke dalam gedung. Ketika tiba di ruangan belakang, ia melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun sedang hendak melarikan diri. Tangan kirinya membawa sebuah buntalan kain dan tangan kanannya memegang sebatang tombak. Dari pakaiannya saja Retno Wilis dapat menduga bahwa orang itu tentulah demang dusun Grobokan itu. Ia lalu membentak nyaring.
"Engkau tentu Demang Grobokan keparat itu! Hendak lari kemana kau?"
Orang itu memang Demang Grobokan. Kepala dusun yang kaya raya ini memang seorang yang mata keranjang, mengandalkan kekuasaannya untuk merampas wanita yang disukainya. Tidak perduli gadis, janda atau bahkan yang sudah bersuami, kalau menimbulkan seleranya, tentu akan dimintanya dengan halus maupun kasar.
Dia memiliki kurang lebih tiga puluh orang anak buah atau tukang pukul yang sekarang berada di pekarangan mengepung Bagus Seto dan Harjadenta. Ketika melihat seorang gadis cantik tahu-tahu berada di depannya, demang itu terkejut sekali. Dia memang sudah dilapori anak buahnya betapa anak buahnya kocar-kacir diamuk oleh dua orang pemuda dan seorang gadis cantik yang digdaya. Kini melihat gadis itu datang membentaknya, dia dapat menduga bahwa ini tentu gadis yang dimaksudkan anak buahnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerang dengan tombaknya. Tombak yang runcing itu dengan tepat sekali meluncur dan menusuk ke arah perut Retno Wilis! Akan tetapi dengan sigap Retno Wilis miringkan tubuhnya dan menangkap tombak itu dengan tangan kanannya kemudian sekali tarik tombak itu telah pindah ke tangannya. Ia lalu menekuk gagang tombak dengan kedua tangan.
"Trakkk...!"
Gagang tombak itu patah di tengah-tengahnya. Melihat ini, Demang Grobokan terkejut dan ketakutan. Dia meloncat untuk berlari pergi, akan tetapi kaki Retno Wilis menyambar, menendang lututnya dan Demang Grobokan jatuh menelungkup, buntalan di tangan kirinya terlepas dan isinya tercecer. Kiranya buntalan itu berisi banyak perhiasan emas permata! Retno Wilis sudah melangkah maju dan menginjak punggung Demang Grobokan,
"Apakah engkau masih akan berani melawan?"
Bentak Retno Wilis sambil mengerahkan tenaga pada kakinya yang menginjak punggung.
"Uhhh... hekkkkk... uhhh, ampunkan saya...!"
Demang itu terengah-engah dan mengeluh. Retno Wilis sebetulnya marah sekali kepada orang itu. Kalau saja ia tidak mendapat peringatan dari kakaknya tadi agar jangan membunuh orang, tentu ia sudah menginjak pecah dada Demang Grobokan. Ia melepaskan kakinya. Demang Grobokan merangkak untuk bangkit, akan tetapi kaki kiri Retno Wilis menyambar lehernya dan dia roboh kembali sambil merintih kesakitan. Ketika tiga kali dia mencoba bangkit selalu disambut tendangan kaki gadis itu yang membuat pipinya bengkak-bengkak dan kepala seperti pecah rasanya, dia tidak berani bangkit kembali, dan tetap menelungkup sambil mengeluarkan rintihan menangis. Retno Wilis merasa sudah cukup memberi hajaran. Ia tadi memang sengaja menghajar Demang itu.
"Hayo bangkit!"
Bentaknya dan Demang Grobokan dengan ketakutan, wajahnya bengkak-bengkak dan mukanya pucat tubuhnya menggigil bangkit dan terhuyung...
"Hayo keluar!"
Retno Wilis mendorongnya dan Demang Grobokan dengan rasa takut sekali melangkah keluar.
"Perintahkan tukang-tukang pukulmu untuk mundur semua!"
Melihat di luar semua tukang pukulnya mengepung dua orang pemuda akan tetapi mereka tidak berani bergerak itu, Demang Grobokan lalu berteriak dengan suara gemetar,
"Kalian semua mundurlah. Mundur dan jangan turun tangan!"
Biarpun tidak dilarang oleh Demang Grobokan, para tukang pukul itu memang sudah tidak berani berkutik. Kini mendengar perintah majikan mereka, semua tukang pukul lalu mundur dan hanya menonton dari jauh.
"Hei, kalian anak buah Demang Grobokan. Cepat perintahkan semua penduduk Grobokan untuk berkumpul di sini. Cepat!!"
Tiga puluh orang itu lalu berpencar dan cepat mereka memanggil para penduduk Grobokan untuk berkumpul di pekarangan rumah Demang Grobokan. Para penduduk dusun itu berbondong-bondong datang di tempat itu.
"Ampunkan saya, den ajeng...!"
Demang Grobokan minta ampun sambil berlutut dan menyembah-nyembah.
"Diam kau! Kita tunggu sampai semua penduduk berkumpul di sini!"
Kata Retno Wilis. Bagus Seto hanya tersenyum melihat sepak terjang adiknya dan Harjadenta memandang dengan sinar mata penuh kagum. Dia ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan dara perkasa itu. Hatinya penuh kekaguman akan kehebatan sepak terjang Retno Wilis dan penuh pesona akan kecantikannya. Mimpipun belum pernah dia bertemu dengan seorang dara seperti itu! Kalau hanya mendengar cerita orang tentang seorang dara seperti Retno Wilis, tentu dia tidak akan percaya. Mana ada dara segagah dan sehebat itu? Namun Retno Wilis melampaui semua khayalnya.
(Lanjut ke Jilid 06)
Sepasang Garuda Putih (seri ke 05 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Setelah pekarangan itu penuh penduduk dusun Grobokan dan tempat itu diterangi lampu dan obor-obor, Retno Wilis lalu berkata dengan suara lantang kepada para penduduk.
"Para paman, bibi dan saudara sekalian dengarlah baik-baik. Demang Grobokan ini telah mengakui bahwa dia telah melakukan perbuatan yang jahat, hendak merampas puteri Ki Dirun untuk dijadikan selirnya. Sekarang, Demang Grobokan ini telah mengakui kejahatannya, dan bertaubat, tidak akan melakukan kejahatan lagi di dusun ini. Kalian semua menjadi saksi, kalau sampai dia berani melakukan kejahatan lagi, lain kali kalau aku lewat di sini, aku tentu akan membunuhnya di depan kalian."
Setelah berkata demikian, Retno Wilis berkata kepada Demang Grobokan yang masih duduk berlutut.
"Ki Demang, hayo kau katakan sendiri kepada mereka semua bahwa engkau telah bertaubat dan tidak akan mengulangi semua perbuatanmu yang jahat. Engkau tidak akan mengerahkan para tukang pukulmu lagi untuk memaksa rakyat!"
Demang Grobokan yang telah hilang nyalinya sejak Suropekik meninggalkannya, apa lagi setelah dia dihajar keras oleh Retno Wilis, bangkit berdiri. Semua orang kini dapat melihat mukanya yang matang biru dan benjol-benjol, dan dengan suara lemah dia berkata.
"Saudara warga dusun Grobokan sekalian...
"
"Bicara yang keras!"
Bentak Retno Wilis. Demang Grobokan lalu mengulang kata-katanya dengan suara yang keras.
"Saudara warga dusun Grobokan sekalian! Aku, Demang Grobokan, mengaku telah berbuat banyak kesalahan terhadap kalian. Akan tetapi aku telah menyadari kesalahanku, dan mulai saat ini, aku berjanji bahwa aku sudah bertaubat dan tidak akan mengulangi semua perbuatanku yang keliru. Kalau aku berbuat jahat lagi, biarlah Hyang Widhi akan memberi hukuman yang seberat-beratnya kepadaku!"
Retno Wilis merasa puas dengan ucapan itu, dan ia berkata,
"Ingat baik-baik, Ki Demang. Ucapanmu itu disaksikan semua warga dusun Grobokan, dan jangan kira aku hanya menggertak saja. Lain kali aku tentu akan lewat di sini untuk melihat apakah benar-benar engkau memenuhi janjimu. Awas, kalau engkau masih jahat, aku tidak akan memberi ampun lagi kepadamu!"
Demang Grobokan mengangguk-angguk.
"Aku tidak akan melanggar janji."
Retno Wilis lalu menoleh kepada kakaknya dan berkata,
"Kakang, mari kita pergi dari s ini!"
Akan tetapi Harjadenta menahan mereka berdua dan berkata,
"Malam telah tiba, andika berdua tidak mungkin melanjutkan perjalanan dalam kegelapan malam, rumah Ki Dirun sudah kosong ditinggal pergi penghuninya, kalau andika tidak berkeberatan, silakan menggunakan rumah itu. Tadinya aku juga mondok di rumah itu untuk semalam ini."
Bagus Seto mengangguk kepada adiknya,
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurasa sebaiknya begitu, diajeng. Melanjutkan perjalanan di waktu malam begini, apa lagi kalau jauh dari kota dan pedusunan, kita akan kemalaman di perjalanan."
Retno Wilis memandang kepada kakaknya, kemudian kepada Harjadenta, lalu berkata,
"Baiklah kalau begitu."
Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu dan menuju ke rumah Ki Dirun. Baru saja mereka memasuki rumah itu, beberapa orang penduduk dusun Grobokan berdatangan membawa segala macam makanan dan minuman yang mereka punya, disuguhkan kepada tiga orang muda yang menggemparkan itu. Malam itu semua penduduk hampir tidak dapat pulas, dengan gembira membicarakan peristiwa sore tadi dan membayangkan betapa akan bahagia hidup mereka kalau Ki Demang benar-benar menyadari kesalahannya dan akan mengubah sikap hidupnya. Mereka semua akan merasa aman dan dapat bekerja dengan tenang dan sejahtera. Setelah makan hidangan yang disuguhkan para penduduk, tiga orang muda itu bercakap-cakap di ruangan depan.
"Adimas Harjadenta, andika tadi mengatakan bahwa andika mengejar seorang pencuri keris. Bagaimana sebetulnya duduk perkaranya dan siapakah guru andika itu?"
Retno Wilis juga memandang pemuda itu penuh perhatian karena diapun ingin mendengar riwayat pemuda tampan yang gagah perkasa itu. Harus diakui bahwa ia merasa tertarik kepada pemuda yang halus dan lembut tutur sapanya itu, yang dengan gagah berani menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Tadipun Retno Wilis sudah mencarikan daun untuk mengobati luka-luka di pundak dan paha Harjadenta. Harjadenta menarik napas panjang dan mulai bercerita.
"Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai seorangpun keluarga lagi. Guruku adalah Empu Gandawijaya yang bertapa di Gunung Raung. Sejak aku berusia tigabelas tahun sampai kini, sudah sepuluh tahun lamanya aku diambil murid oleh Bapa Guru dan tinggal di lereng Gunung Raung bersamanya. Beberapa pecan yang lalu, Bapa Guru memanggilku dan memberi tahu bahwa dia telah kehilangan sebuah keris pusaka bernama Ki Carubuk yang katanya hilang dicuri seorang wanita sakti yang tidak diketahui namanya. Bapa Guru lalu mengutusku untuk pergi mengejar dan mencari pencuri itu, merampas kembali Ki Carubuk, baru diperbolehkan pulang ke Gunung Raung. Bapa Guru tidak banyak memberi petunjuk, hanya mengatakan bahwa pencuri itu seorang wanita sakti, pandai ilmu sihir dan guna-guna. Aku disuruh naik perahu sepanjang Kali Mayang menuju ke muaranya di Lautan Kidul. Ketika perjalananku tiba di Grobokan, aku singgah dan mencari tempat penginapan. Kebetulan aku bertemu Ki Dirun dan dia menerimaku menginap di rumahnya. Kemudian aku ketahui tentang urusannya dengan Ki Demang Grobokan itu dan aku lalu menolongnya."
Harjadenta menceritakan tentang peristiwa itu, semula dia mengusir dua orang utusan Ki Demang, lalu datang lima orang tukang pukul yang dapat diusirnya pula.
"Tidak kusangka bahwa mereka itu masih belum mau menyerah, bahkan lalu datang bersama Suropekik, warok yang digdaya itu dan aku dikeroyok oleh dia dan belasan orang anak buahnya. Aku sudah kewalahan dan tentu aku sudah tewas kalau andika berdua tidak datang menolong. Sekarang tiba giliran kalian berdua. Bagaimana andika berdua dapat datang pada saat yang demikian cepatnya? Andika berdua datang dari manakah dan hendak ke mana?"
Bagus Seto memandang kepada adiknya dan berkata,
"Diajeng, engkau sajalah yang bercerita kepada dimas Harjadenta tentang diri kita."
Retno Wilis adalah seorang gadis yang bersikap polos dan terbuka, dan tidak malu-malu seperti para gadis lainnya. Biasanya, seorang gadis akan merasa sungkan dan malu-malu terhadap seorang pemuda yang baru dijumpainya akan tetapi tidak demikian dengan Retno Wilis. Ia berani menentang pandang mata Harjadenta dengan tenang tanpa perasaan apapun seperti kalau ia memandang seorang gadis lain. Biarpun ia sudah amat berpengalaman dalam dunia persilatan dan pertempuran, namun ia masih seperti kanak-kanak dalam pergaulannya dengan pria. Maka kinipun ia menatap wajah Harjadenta sedemikian terbuka dan jujur sehingga pemuda itulah yang merasa jantungnya berdebar ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang demikian tajam dan jernih.
"Nah, apakah yang ingin kau ketahui tentang kami, kakangmas Harjadenta?"
Pertanyaan itu demikian polos dan dikeluarkan dengan suara yang merdu, sehingga Harjadenta menjadi gugup dan tidak berani menentang pandang mata itu terlalu lama. Dia sendiri juga sejak kecil ikut gurunya di lereng Gunung Raung sehingga sama sekali tidak mempunyai pengalaman pergaulan dengan wanita, maka pertemuannya dengan Retno Wilis membuat dia tegang dan tidak tenang.
"Segalanya, diajeng. Riwayat andika berdua, putra siapa datang dari mana, lalu hendak ke mana dengan tujuan apa. Pula, bagaimana andika berdua begitu kebetulan dapat datang pada saat aku terancam bahaya maut?"
Retno Wilis tersenyum.
"Baiklah, pertama-tama kami adalah putera dan puteri Ki Patih Tejolaksono dari Panjalu."
Harjadenta terbelalak.
"Putera puteri Patih? Ah, andika berdua adalah orang-orang muda bangsawan tinggi, maafkan kalau aku telah bersikap kurang patut!"
"Hush...!"
Retno Wilis mencela.
"Kalau engkau mengubah sikapmu kepada kami dan merendahkan diri, aku tidak mau lagi bersahabat denganmu, kakangmas Harjadenta!"
Pemuda ini terkejut dan memandang wajah cantik yang kini cemberut itu.
"Akan tetapi... kalian putera puteri seorang Patih, apalagi Patih Panjalu...!"
"Apa bedanya patih dan bukan patih?. Apa pula bedanya seorang Raja dan seorang rakyat biasa? Mereka sama-sama manusia! Tidak, aku tidak mau engkau mengubah sikapmu. Kita biasa-biasa saja sebagai sahabat."
Harjadenta menghela napas panjang dan diam-diam dia menjadi semakin kagum. Seorang puteri bangsawan bicara seperti itu! Dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang dara yang benar-benar luar biasa.
"Baiklah, diajeng RetnoWilis. Maafkan aku yang kurang pengertian. Nah, silakan engkau melanjutkan ceritamu. Andika adalah putera puteri seorang Patih dari Panjalu. Lalu mengapa andika berdua datang ke tempat yang begini jauh dari tempat tinggalmu?"
"Kami berdua memang sengaja meninggalkan Panjalu untuk merantau dan mencari pengalaman."
"Ah, dua orang muda yang berilmu tinggi, sakti mandraguna seperti andika berdua masih mencari pengalaman lagi? Kalau boleh aku mengetahui, siapakah guru-guru andika berdua yang mulia?"
"Guruku adalah Nini Bumigarbo dan guru kakakku adalah Sang Bhagawan Ekadenta."
Kembali Harjadenta terbelalak.
"Ah, guruku pernah bercerita tentang seorang wanita maha sakti berjuluk Nini Bumi garbo dan seorang Pendeta linuwih berjuluk Sang Bhagawan Ekadenta. Mereka itu seolah manusia setengah dewa yang amat sakti, seperti dalam dongeng. Kiranya andika berdua adalah murid-murid mereka? Pantas kalian memiliki kesaktian yang demikian hebat!"
"Nah-nah-nah, mulai lagi! Aku paling tidak senang melihat orang menjilat-jilat dan memuji setinggi langit!"
Tiba-tiba Retno Wilis berkata tegas dan suaranya seperti orang marah. Harjadenta kembali terkejut dan cepat berkata, dengan suara lirih.
"Maafkan aku, diajeng, aku... bukan maksudku untuk menjilat-jilat...
"
"Tapi engkau memuji setinggi langit. Kami hanya orang-orang biasa saja yang tiada bedanya dengan engkau atau orang lain, tidak perlu memuji-muji seperti itu atau aku tidak mau bercerita lagi."
Harjadenta menelan ludahnya. Gadis ini selain sakti dan hebat, juga galaknya bukan main!
"Maafkan, tidak akan kuulangi lagi. Harap kau suka melanjutkan ceritamu, diajeng Retno Wilis."
Kini dia bahkan tidak berani menentang langsung wajah gadis itu, hanya memandang ke arah pakaiannya yang serba putih sederhana, akan tetapi yang tidak menyembunyikan lekuk-lengkung tubuhnya yang ramping padat.
"Kami juga tidak sengaja datang ke tempat ini. Kami berdua sedang melakukan perjalanan menyusuri Kali Mayang yang indah pemandangannya. Ketika kami tiba di hutan dekat dusun ini, kami bertemu dengan seorang pemuda bernama Martono bersama ibunya. Ibunya menangis dan kami mendengarnya lalu menemui mereka. Martono itu yang bercerita kepada kami tentang perbuatan Ki Demang, yang hendak merampas Lasmini tunangannya. Karena itu kami lalu cepat memasuki dusun ini dan melihat engkau dikeroyok banyak orang maka aku lalu cepat membantumu."
"Untung sekali engkau tahu siapa yang perlu dibantu dan siapa yang harus ditentang."
Kata Harjadenta.
"Tentu saja aku tahu. Martono sudah bercerita tentang seorang pemuda yang menolong keluarga Dirun dan yang kini dikeroyok di sini."
"Dan aku tadinya mempunyai dugaan yang amat buruk terhadap dirimu, diajeng Retno."
Retno Wilis memandang wajah pemuda itu penuh selidik.
"Dugaan buruk. Apa itu?"
"Melihat engkau demikian cantik dan demikian sakti, sekilas terlintas dalam pikiranku akan pemberitahuan Bapa Guru bahwa pencuri pusaka Ki Carubuk adalah seorang wanita cantik yang sakti."
"Sialan! kau kira aku ini pencuri keris itu?"
"Maaf, aku tidak tahu...
"
"Sudahlah,"
Kata Bagus Seto sambil tertawa.
"Sekarang kita harus memikirkan keadaan Ki Dirun dan keluarganya, juga Martono dan ibunya. Mereka entah lari ke mana. Sebaiknya mereka itu kembali lagi ke sini, di mana mereka meninggalkan rumah dan sawah mereka."
"Benar,"
Kata Harjadenta.
"biar aku memberitahu kepada para tetangga untuk mengejar mereka dan memberitahu mereka bahwa dusun Grobokan telah aman dan mereka boleh kembali lagi ke sini."
Bagus Seto membenarkan pendapat Harjadenta yang segera menghubungi para tetangga dan minta agar mereka menyusul ke mana larinya keluarga Dirun dan keluarga Martono untuk memanggil mereka pulang.
Malam itu mereka melewatkan malam di rumah keluarga Dirun. Retno Wilis menggunakan kamar yang biasa ditiduri Lasmini, sedangkan Bagus Seto dan Harjadenta menggunakan kamar Ki Dirun. Pada keesokan paginya, setelah mereka mandi dan makan sarapan pagi yang diantar dan disuguhkan oleh para penduduk Grobokan, mereka lalu hendak meninggalkan Grobokan dan mereka merasa perlu untuk berpamit kepada Ki Demang Grobokan. Kunjungan mereka disambut dengan ramah dan hormat oleh Ki Demang. Melihat sikap orang itu, Bagus Seto merasa gembira dan mengharapkan agar penguasa itu benar-benar bertaubat dan selanjutnya akan menjadi seorang penguasa yang memimpin penduduk dusun Grobokan ke arah kehidupan yang sejahtera dan makmur.
"Ki Demang,"
Kata Retno Wilis setelah mereka bertiga berpamit.
"Kalau sewaktu-waktu pikiranmu menggodamu untuk melakukan hal-hal yang tidak baik dan menekan rakyat, ingatlah kepada kami karena sekali waktu kami pasti akan lewat di sini melihat keadaan."
Ki Demang tersenyum. Kini baru dia mengerti bahwa tiga orang itu adalah orang-orang muda sakti yang hidupnya sebagai pendekar, dan mereka adalah orang-orang yang baik dan yang memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan. Bukan seperti orang macam Suropekik yang mau melakukan apapun juga asalkan mendapat upah besar. Sekali waktu orang macam Suropekik itu bagaikan memelihara seekor harimau ganas dapat membalik dan menyerang pemeliharanya sendiri. Kalau dia ingin hidup sejahtera dan makmur penuh ketenteraman, dia harus mengubah jalan hidupnya dan tidak selalu menuruti nafsunya sendiri.
"Harap andika bertiga jangan khawatir. Saya tidak akan melanggar janji yang telah saya ucapkan dan disaksikan semua penghuni Grobokan."
Tiga orang muda itu lalu meninggalkan rumah Ki Demang. Akan tetapi Ki Demang Grobokan mengikuti dan mengantar mereka. Di sepanjang jalan para penduduk juga menyambut dan ikut pula mengantar mereka. Setelah mereka tiba di luar pagar yang mengelilingi dusun Grobokan, barulah Ki Demang dan para penduduk dusun berhenti mengantar, apa lagi karena hal ini diminta oleh Retno Wilis.
"Sudahlah, sampai di sini saja kalian mengantar. Sekarang kami harus pergi."
Mereka bertiga lalu menuju ke Kali Mayang. Setelah tiba di tempat di mana Harjadenta menyimpan dan menambatkan perahunya, pemuda ini bertanya kepada Bagus Seto.
"Andika berdua hendak pergi ke manakah?"
"Kami akan kembali ke pantai dan melanjutkan perjalanan perantauan kami."
Jawab Bagus Seto.
"Kalau begitu, silakan ikut dalam perahuku. Akupun hendak pergi ke muara sungai ini untuk menaati nasihat Bapa Guru bahwa aku diharuskan mencari sampai ke muara sungai Mayang ini."
Bagus Seto memandang kepada adiknya dan tersenyum.
"Tentu menarik sekali melakukan perjalanan melalui air, pemandangannya tentu berbeda. Bagaimana, maukah engkau, Retno?"
"Bagaimana engkau saja kakang. Kalau memang kita sejalan, tidak ada salahnya ikut dalam perahu kakangmas Harjadenta, asal saja tidak menyusahkan dia."
Harjadenta tertawa senang.
"Mengapa menyusahkan? Kita melakukan perjalanan bersama, membeli beras dan masak sendiri di perahu, lauknya kita cari di sungai dengan mengail."
Pemuda itu tampak gembira sekali dan tak lama kemudian merekapun sudah meluncurkan perahu ke tengah sungai. Karena perahu itu menuju ke hilir, Harjadenta hanya perlu mengemudikannya saja dengan dayungnya, perahu itu sendiri sudah terbawa arus air yang cukup kuat, sehingga meluncur dengan cepatnya ke depan. Naik perahu ini merupakan pengalaman baru bagi Retno Wilis, maka iapun merasa gembira sekali.
Sebelum memuntahkan airnya di laut Kidul, Kali Mayang bertemu dengan Kali Sanen yang mengalir dari timur. Pertemuan dua buah kali itu terjadi di sebelah selatan dusun Ambulu. Tak jauh dari tempat pertemuan dua kali yang membuat muara sungai itu menjadi lebar dan besar, terdapat sebuah kota besar yang disebut Bulumanik. Penduduknya banyak yang menjadi nelayan, karena di muara sungai itu terdapat banyak sekali ikan yang seakan tiada habis-habisnya mereka tangkapi setiap hari. Selain menjadi nelayan, juga para penghuni itu merupakan petani-petani yang hidupnya cukup makmur karena sawah ladang di sepanjang lembah sungai itu amat subur.
Bulumanik terkenal sebagai tempat yang gemah ripah loh-jinawi dan tempat itu dikunjungi banyak pedagang dari kota lain. Rakyatnya cukup mampu untuk membeli barang-barang dari luar kota yang dibawa oleh para pedagang itu. Juga karena adanya sungai, maka lalu lintas dapat dilakukan dengan mudah melalui air. Bulumanik dipimpin seorang Demang yang bernama Kebolinggo, seorang berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berwibawa. Dia ditaati oleh penduduk Bulumanik karena terkenal sebagai seorang penguasa yang adil dan pandai memimpin. Kedemangan Bulumanik ini termasuk wilayah kekuasaan Kadipaten Nusabarung, bahkan Demang Kebolinggo adalah seorang yang berasal dari Nusabarung juga dan yang diangkat oleh Adipati Martimpang dari Nusabarung.
Pada suatu hari, penduduk melihat betapa Candi Trisakti yang berada di Kebolinggo dipugar. Para pendetanya yang memuja Trimurti oleh Demang Kebolinggo dipecat dan candi itu dipugar dan dibangun kembali, arca-arcanya diganti dengan arca Bathara Shiwa, Bathari Durga dan Bathara Kala. Pembuatan arca-arca dan pemugaran candi itu dilakukan oleh banyak ahli pahat yang terkenal, bahkan dipimpin oleh seorang yang tidak dikenal oleh penduduk Bulumanik.
Dia adalah seorang pendeta yang berusia enam puluh lima tahun dan selain ahli tentang bangunan candi, juga ahli membuat arca yang indah. Selain itu, pendeta ini juga amat berwibawa, sebentar saja terkenal sebagai seorang pendeta yang dihormati Demang Kebolinggo dan kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan ahli sihir! Bagi yang sudah mengenal pendeta itu, tentu saja tidak merasa heran karena dia adalah Sang Wasi Siwamurti, utusan Negeri Cola yang sakti, dan penyebar Agama Shiwa. Seperti telah kita ketahui, Wasi Siwamurti adalah kakak seperguruan dari Wasi Surengpati dan Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat di Blambangan.
Wasi Siwamurti ini dating dari Negeri Cola membawa dua orang lain, yaitu anak angkatnya yang berjuluk Ki Shiwananda, dan seorang muridnya yang bernama Ni Dewi Durgomala yang cantik dan genit, masih nampak muda dan menarik walaupun usianya sudah empat puluh tahun. Ni Dewi Durgomala ini kelihatan seperti berusia dua puluh tahun lebih saja. Wasi Siwamurti telah mendapat persetujuan dari Adipati Menak Sampar di Blambangan dan sekutunya, Adipati Martimpang dari Nusabarung untuk menyebar-luaskan agama Shiwa dan memecah-belah musuh-musuh mereka, Panjalu dan Jenggala melalui perpecahan agama. Dalam rangka penyebar-luasan agama Shiwa itulah maka dia memugar dan membangun kembali candi di Bulumanik, lalu mengganti candi itu menjadi candi Shiwa, Durga dan Kala!
Arca ketiga dewadewi ini yang menghiasi candi baru itu. Untuk pembangunan candi yang membutuhkan tenaga banyak orang, Wasi Shiwamurti mendapat perkenan dari Demang Kebolinggo untuk mengerahkan tenaga warga Bulumanik. Terjadilah kekacauan di kota itu ketika Wasi Shiwamurti melakukan paksaan kepada para orang muda di Bulumanik untuk bekerja membantu pembangunan candi. Menurut berita angin, siapa berani menolak untuk membantu, oleh sang wasi dikutuk menjadi gila atau menderita penyakit parah yang mengakibatkan kematian. Berita ini didesas-desuskan orang sehingga penduduk dihinggapi perasaan takut dan tidak ada yang berani lagi menolak perintah untuk membantu pembangunan candi baru itu.
Biarpun ada berita yang mengerikan itu, tetap saja ada yang berani menentang, perintah itu. Seorang di antara mereka adalah seorang pemuda bernama Sularko. Sularko adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun yang berwajah tampan dan bertubuh tegap. Dia tinggal di sebuah rumah bersama ibunya yang sudah janda Mbok Rondo Gati dan seorang adik perempuannya yang sudah dewasa berusia delapan belas tahun bernama Sawitri. Seperti juga kakaknya yang tampan, Sawitri seorang gadis yang cantik manis, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum. Sularko sudah mengetahui akan adanya pembangunan candi itu, dan diapun mendengar desas-desus akan bujukan yang melanda kau m muda di Bulumanik untuk membantu pembangunan candi itu.
Bahkan kabarnya, mereka yang membantu pembangunan candi mendapat hadiah-hadiah yang menarik, sering diajak berpesta ria. Akan tetapi mereka yang menolak akan mendapat malapetaka. Dia sendiri menganggap ajakan membangun candi itu mencurigakan, karena walaupun tidak ada paksaan, akan tetapi yang menolak dikenakan kutukan yang membuatnya gila atau sakit. Ini sama saja dengan paksaan. Yang membuat dia tidak senang adalah berita bahwa mereka yang membantu kelompok pembangunan candi itu diajarkan untuk menganut agama baru itu yang katanya penuh dengan kesenangan sorga dunia! Sularko adalah seorang pemuda yang berwatak gagah dan dia pernah mempelajari kanuragan selama beberapa tahun sehingga dia menjadi seorang pemuda yang pemberani. Dia bekerja sebagai seorang nelayan yang juga mempunyai sedikit ladang untuk bertani.
Setiap hari dia bekerja, kadang dibantu adiknya Sawitri yang cantik manis itu, kalau tidak menangkap ikan tentu menggarap ladangnya. Karena dia tekun dan rajin, maka kehidupan mereka bertiga dapat dibilang cukup. Pada suatu pagi yang cerah di waktu sinar matahari pagi menghidupkan segala sesuatu di permukaan bumi, Sularko ditemani Sawitri sedang bekerja di ladangnya. Dia sedang menanam benih jagung bersama Sawitri. Dia yang membuat lubang dengan paculnya dan Sawitri memasukkan biji jagung kedalam lubang-lubang itu yang lalu ditutupnya. Sularko bekerja dengan menanggalkan bajunya, hanya memakai celana hitam yang sebatas bawah lutut, sedangkan Sawitri juga mengenakan pakaian sederhana untuk bekerja di lading yang berlumpur itu. Namun, dengan pakaian sederhana itu, kedua kakak beradik ini bahkan tampak elok dan wajar.
Sularko tampak perkasa dengan dadanya yang bidang berotot, sedangkan Sawitri tampak lemah gemulai dan ayu dalam pakaiannya yang sederhana dan kainnya yang diangkat sampai memperlihatkan betisnya yang memadi-bunting. Sambil bekerja ini, Sularko bersenandung dan mereka berdua menikmati cahaya matahari yang hangat menyinari tubuh mereka. Kepala mereka terlindung sebuah caping yang lebar. Sularko memang pandai bertembang. Dia bersenandung tembang Kinanti dengan suara yang merdu dan Sawitri dapat merasakan kedamaian dalam tembang itu. Betapa indahnya keadaan seperti itu. Bekerja dengan hati dan tangan yang ringan, menikmati kehangatan matahari dan kesegaran angin yang semilir. Perpaduan antara kehangatan dan kesejukan yang memberi semangat dan kegembiraan hidup.
Punggung dan dada Sularko berkilauan karena keringat yang membasahi tubuhnya dan ayunan cangkulnya mantap dan kuat. Sawitri mengikutinya sambil menaburkan benih jagung dan tubuhnya membuat gerakan amat lenturnya ketika ia membungkuk-bungkuk seperti itu. Dua orang yang lewat di jalan itu, kemudian memandang mereka dan datang menghampiri dan duduk di pematang ladang adalah seorang wanita yang cantik dan pesolek, dan seorang laki-laki yang tinggi besar dan bertampang menyeramkan. Walaupun wajahnya itu termasuk gagah namun matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu mendatangkan kesan menyeramkan. Wanita itu cantik dan pesolek, kain yang dipakainya baru, rambutnya tersisir rapi dan digelung bagus, mukanya putih karena bedak dan diberi pemerah pipi dan bibir.
Di lengan, jari dan lehernya terdapat perhiasan yang indah, demikian pula telinganya memakai perhiasan yang gemerlapan. Yang pria juga mengenakan pakaian baru, dengan baju terbuka sehingga nampak dadanya yang lebar dan berbulu. Siapakah dua orang itu? Mereka bukan lain adalah Ki Shiwananda dan Ni Dewi Durgornala, anak angkat dan murid Wasi Shiwamurti. Merekalah yang ditugaskan oleh Wasi Shiwamurti untuk melaksanakan pemugaran dan pembangunan candi di Bulumanik. Mereka pula yang membujuk para muda di dusun Bulumanik dan sekitarnya untuk ikut membangun candi itu. Pada pagi hari itu, kebetulan mereka lewat di jalan itu dan melihat Sularko dan Sawitri, mereka merasa kagum dan tertarik sehingga mereka menghampiri dan duduk di pematang tegal itu.
Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo