Seruling Gading 15
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
Parmadi tersenyum dalam hatinya. Kepala gundul itu memiliki kekebalan, namun hal itu baginya seperti mainan knak-kanak saja. Setelah belasan kali dikeroyok klewang dan ditikam keris yang kesemuanya tidak dapat melukai tubuhnya yang gendut, Gandarwo menyuruh dua orang muridnya berhenti.
"Sudah, cukup!"
Dia menggeliat.
"Hemm, sekarang enak rasanya badanku."
Dia melangkah maju mendekati Parmadi.
"Heh, bocah, siapa namamu tadi? Seruling Galing?"
Matanya yang bundar lebar itu memandang ke arah suling yang terselip di ikat pinggang Parmadi.
"Hemm, agaknya namamu diambil dari benda itu? Itukah senjatamu? Hayo pukulkan senjatamu itu pada tubuhku, boleh kaupilih yang mana saja!"
"Paman Gandarwo, di antara kita tidak ada persoalan, mengapa aku harus memukulmu? Aku tidak mencari musuh,"
Kata Parmadi dengan suara tenang penuh kesabaran.
"Tidak ada persoalan? Heh, bocah! Kamu mendengar sendiri ucapan Parno tadi. Kamu telah mencampuri urusannya dan mengalahkannya, berarti kau sudah menghinanya. Menghina dia yang menjadi kawan kami berarti menghina kami. Maka aku yang akan membalaskan penghinaanmu atas dirinya. Hayo maju dan lawan aku Gandarwo, jagoan duk-deng, gegeduk Bengawan Solo!"
"Paman, aku tidak mencari permusuhan dengan siapapun, akan tetapi itu bukan berarti aku takut menghadapi tantangan siapapun. Kalau paman hendak. menyerangku, silakan!"
"Kamu menantangku? Keparat, kamu sudah bosan hidup. Tunggu sebentar!"
Gandarwo lalu duduk bersila, bersedakap, mulutnya kemak-kemik, matanya terpejam. Tak lama kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara pekik menyeramkan, parau menggetar, seperti bukan suara manusia lagi dan seluruh tubuhnya menggigil, kemudian dia melompat berdiri dan sikapnya berubah sama sekali. Kini wajahnya berubah menyeramkan, menyeringai, matanya melotot hampir keluar, rnulutnya berbusa dan air liur menetes dari ujung bibirnya, kedua tangannya membentuk cakar. Dia lebih pantas disebut iblis atau siluman daripada manusia.
"Aarrrggghh".!"
Sambil menggereng dia menyerang, menubruk dengan cepat dan dari kedua lengannya menyambar angin pukulan yang dahsyat. Parmadi menghindar dengan tenang namun cepat dan dia maklum bahwa orang ini memiliki ilmu yang disebut prewangan seperti yang pernah dia dengar dari gurunya. Ilmu ini membuat Gandarwo membuka diri memasukkan roh jahat yang mengambil alih ubuhnya sehingga sepak terjangnya bukan manusia lagi, melainkan roh jahat yang memasukinya, roh jahat yang membantunya. Parmadi maklum bahwa dia tidak akan dapat melukai roh jahat. Kalau dia menggunakan aji kesaktian, yang akan menderita dan cidera adalah tubuh Gandarwo dan dia tidak menghendaki hal tu. Gandarwo hanya membela Parno maka tidak perlu dia melukainya walaupun ilmu prewangan itu saja sudah membuktikan bahwa orang ini mempelajari dan menguasai ilmu sesat yang akan menyeretnya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran.
Setelah tubrukan pertamanya luput, Gandarwo menjadi semakin marah dan dia mengamuk, menyerang kalang kabut dan dahsyat, bahkan kini serangannya ditambah semburan dari mulutnya yang mengeluarkan air ludah panas seperti air mendidih! Akan tetapi dengan kecepatan yang membuat tubuhnya seperti berubah menjadi bayangan, Parmadi dapat selalu mengelak. Setelah belasan jurus serangan Gandarwo dapat dia elakkan, ketika kakek bulat itu menubruk lagi, Parmadi melompat ke samping sehingga tubrukan itu luput dan secepat kilat kaki Parmadi menyambar ke arah lutut.
"Dukk!"
Karena sambungan lututnya tercium kaki Parmadi yang menendang dengan kuat, tak dapat dihindarkan lagi Gandarwo jatuh berlutut dengan kaki kanan yang tertendang. Dia tidak terluka dan sudah hendak bangkit lagi, akan tetapi pada saat tubuhnya merendah itu Parmadi sudah menggerakkan tangan kirinya menepuk punggungnya sambil berseru dengan suara mengandung penuh wibawa.
"Demi Allah, kernbalilah ke tempa asalmu!"
Hebat tepukan itu karena selain di sertai tenaga dalam yang amat kuat, juga seruan tadi mengandung kekuatan yang timbul dari jiwa. Gandarwo mendeprok dan terdengar lengkingan tinggi keluar dari mulutnya. Wajahnya berubah seperti biasa lagi, akan tetapi dia tidak cidera. Dia bangkit berdiri dan memandang Parmadi dengan alis berkerut. Kuasa roh jahat yang tadi menyusup ke dalam dirinya telah meninggalkannya seperti ketakutan akan tetapi tubuhnya yang kebal belum mengalami cidera.
"Paman Gandarwo, harap sudahi saja pertandingan ini,"
Kata Parmadi membujuk.
"Babo-babo, jangan dulu merasa menang karena kamu dapat memunahkan satu ajianku, Seruling Gading. Mari kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang. Kamu boleh memukulku dengan senjatamu sebanyak tiga kali, kemudian aku akan membalas memukulmu dengan senjata kepalaku ini sebanyak tiga kali. Siapa yang roboh dia kalah!"
"Aku tidak suka memukul orang, juga tidak suka dipukul. Begini saja, paman Gandarwo. Engkau mengandalkan aji kekebalanmu. Nah, aku tidak akan menggunakan senjata, akan tetapi hanya akan menamparmu dengan sebelah tangan, satu kali saja. Kalau engkau mampu menahan satu kali tamparanku, maka aku mengaku kalah. Akan tetapi sebaliknya kalau engkau tidak kuat menahan satu kali tamparan tanganku, berarti engkau yang kalah. Bagaimana?"
"Heh-heh-heh-ha-ha!"
Si gundul itu terkekeh-kekeh saking geli hatinya.
"Sarapan pagiku tusukan keris, makan siangku bacokan klewang dan makan malamku pukulan penggada! Bagaimana aku dapat roboh oleh satu kali tamparan tanganmu yang kecil itu? Baik, aku terima tantanganmu!"
"Nanti dulu, paman. Kalau paman dapat menahan tamparannya lalu dia hanya dinyatakan kalah begitu saja, terlalu enak buat dia dan hanya rasa penasaran buatku. Taruhannya harus ditambah. Kalau paman kalah, kita habiskan saja urusan dengannya, akan tetapi kalau dia yang kalah, dia harus berlutut dan menyembahku tujuh kali sambil minta maaf atas kelancangannya tadi!"
Kata Parno yang masih penasaran karena dia merasa kalahkan dan dibikin malu di depan kekasihnya.
"Bagus! Itu usul yang bagus! Bagaimana, Seruling Gading, beranikah kamu menerima taruhan itu?"
Tanya Gandarwo.
Parmadi tersenyum. Tentu saja dia sudah "mengukur"
Kekuatan dan kesaktian lawan. Dia mengangguk.
"Baiklah, kalau hal itu akan dapat memuaskan hati Parno. Kuterima taruhan itu."
"Bagus! Nah, kalian semua lihat baik-baik. Bocah ini bersumbar dapat mengalahkan aku dengan satu kali tamparan tangan, heh-heh-heh!"
Tujuh orang laki-laki muda yang beraida di situ ikut tertawa bergelak, hanya Parno yang tidak tertawa melainkan menandang dengan alis berkerut karena dia tahu bahwa Seruling Gading adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna. Gandarwo lalu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya terpentang, agak ditekuk dan dia menggunakan kedua telapak tangan untuk menekan di atas pusar. Keika dia mengerahkan tenaga, maka tubuh atasnya yang tidak berbaju itu mulai bergerak-gerak seolah ada sesuatu yang hidup di bawah kulitnya. Agaknya sesuatu ang bergerak-gerak di bawah kulitnya itu adalah hawa yang melindungi kulitnya dan membuat kulit itu kebal.
"Seruling Gading, aku sudah siap. Lakukanlah tamparanmu!"
Terdengar Gandarwo berseru.
"Awas, paman, aku akan menampar pundak kananmu!"
Kata Parmadi sambil mengangkat tangan kirinya yang terbuka ke atas. Din melihat betapa pundak kanan Gandarwo dilindungi sesuatu yang bergerak-gerak di bawah kulit pundak, akan tetapi dia tidak khawatir gagal. Dia sengaja memilih pundak, bagian yang tidak berbahaya karena dia tidak ingin menc:elakai orang. Diam-diam dia mengerahkan Aji Sunya Hasta dan tangan kirinya rnenyambar turun dan menimpa pundak Gandarwo dengan tamparan yang tampaknya tidak begitu kuat.
"Wuuuttt"plakk".!"
Biarpun tangan kiri itu menimpa pundak dan tampaknya tidak terlalu kuat, namun seketika tubuh yang gendut itu terkulai dan terjerembab di atas tanah, sedangkan tubuh itu menggigil dan mulut Gandarwo mengaduh-aduh.
"Aduuhhh.... tobaat.... adduuhhh....
"
Begitu Gandarwo roboh, tujuh orang muridnya serentak mencabut senjata mereka. Ada yang mencabut keris, ada yang mencabut klewang dan ada pula yang memegang ruyung. Mereka serentak maju menerjang dan mengeroyok Parmadi.
"Heii"" ? Apa-apaan ini? Mundur semua kalian! Mundur dan jangan melakukan pengeroyokan!"
Parno melompat ke depan dan mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat kepada tujuh orang kawannya itu agar tidak mengeroyok Parmadi. Akan tetapi tujuh orang itu tidak mau mundur. Mereka semua marah melihat Gandarwo roboh dan ingin membunuh pemuda yang mengalahkan guru mereka. Parmadi cepat mengelak dengan lonmpatan ke sana-sini, menghindarkan diri dari hujan serangan.
"Mundur, atau terpaksa kuhajar kalian?"
Teriak Parno. Akan tetapi dua orang di antara mereka yang memegang ruyung menjadi marah melihat Parno membela musuh.
"Parno, pengkhianat kau!"
Bentak mereka dan dua orang itu menggunakan ruyung atau penggada untuk menyerang Parno. Pemuda ini mengelak dan melakukan perlawanan. Terjadilah perkelahian dua kelompok. Dua orang mengeroyok Parno dan lima orang yang lain mengeroyok Parmadi. Melihat betapa Parno terdesak oleh serangan ruyung kedua orang pengeroyoknya, Parmadi merasa khawatir. Dia mempercepat gerakannya, bukan hanya mengelak melainkan berkelebatan membagi-bagi tamparan. Lima orang pengeroyoknya berpelantingan dan roboh tak mampu bangkit kembali, hanya mengaduh-aduh memegangi bagian tubuh yang terkena tamparan, seperti keadaan Gandarwo.
SEMENTARA itu, Parno yang tadinya mencabut sebatang keris dan melakukan perlawanan, sudah terdesak hebat. Kerisnya terpukul jatuh, lengan kirinya terluka berdarah ketika dia pergunakan untuk menangkis ruyung dan pipi kanannya membengkak karena terpukul ujung ruyung. Akan tetapi dia masih melakukan perlawanan mati-matian. Melihat keadaan Parno, Parmadi yang telah berhasil merobohkan lima orang pengeroyoknya segera melompat dan dua kali tangannya bergerak menampar. Dua orang pengeroyok Parno itu pun terpelanting roboh.
Kini mereka saling berhadapan, Parno dengan pipi kanan bengkak dan lengan kiri berdarah berdiri memandang Parmadi dengan kagum. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang telah menghalangi dia melarikan Sarti itu memiliki kesaktian yang sedemikian hebatnya. Bukan saja mampu mengalahkan Gandarwo yang dianggapnya digdaya, bahkan mampu merobohkan tujuh orang kawannnya secara demikian mudahnya. Padahal pemuda itu hanya bertangan kosong! Di lain pihak Parmadi juga memandang Parno sambil tersenyum senang karena sikap pemuda yang menentang para pengeroyok itu saja sudah menunjukkan bahwa pemuda ini pada dasarnya memang berwatak gagah. Sementara itu, delapan orang yang terkena tamparan tangan Parmadi masih mengeluh kesakitan.
"Aduh.... ampun".."
"Tobat".
"
"Den-mas""
Ampuni kami"..!"
Gandarwo juga mengeluh karena tubuhnya terasa nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk jarum di sebelah dalam. Parmadi merasa kasihan dan dia pun menghampiri mereka. Satu demi satu dia tepuk dan raba. Seketika orang-orang itu sembuh. Yang terakhir disembuhkan adalah Gandarwo sendiri. Setelah pundaknya ditotok dan tengkuknya diurut, lenyaplah rasa nyeri yang menyiksanya. Jagoan gundul itu bangkit berdiri dan membungkuk terhadap Parmadi.
"Den-mas Seruling Gading, terima kasih dan maafkan kami,"
Katanya dengan sikap merendah.
"Tidak ada apa-apa di antara kita. Kalau hendak minta ampun, mintalah ampun kepada Gusti Allah. Bertaubatlah dan mulai saat ini, jangan lagi bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan dan kekerasan."
Gandarwo mengangguk-angguk.
"Kami mohon pamit, den-mas."
"Pergilah,"
Kata Parmadi. Gandarwo nenoleh kepada Parno.
"Parno, mari kita pergi,"
Kata jagoan berkepala gundul itu.
"Tidak!"
Seru Parno dengan marah.
"Mulai sekarang aku tidak sudi berdekatan dengan kalian lagi. Kalian membikin malu, bersikap pengecut dan main keroyokan. Aku bukan kawan kalian lagi!"
"Mari kita pergi!"
Kata Gandarwo kepada tujuh orang muridnya dan mereka lalu mendorong perahu-perahu mereka ke sungai, naik perahu dan mendayung perahu mereka pergi dari situ.
Kini Parno kembali berhadapan dengan Parmadi.
"Parno, kenapa engkau tidak ikut mereka? Bukankah mereka itu teman-temanmu yang baik yang selama ini memberi banyak kesenangan padamu?"
Kata Parmadi sambil mengamati wajah yang pipinya membengkak itu dengan penuh perhatian.
Parno menggeleng kepala.
"Tidak! Baru sekarang aku menyadari. Mereka itu palsu dan curang, main keroyokan, memalukan sekali. Mereka bukan orang-orang gagah seperti yang kukira selama ini. Sebaliknya andika, ah, andika seorang satria yang sakti mandraguna. Mataku seperti telah menjadi buta selama ini."
"Bagus, aku senang sekali melihat engkau tadi menentang mereka dan kini engkau menyadari. Parno, justru pergaulanmu dengan mereka itulah yang merusakmu sehingga engkau suka berkeliaran dengan mereka, bermain judi, mabok-mabokan, malas bekerja. Kalau kaulanjutkan, akhirnya engkau akan terjerumus ke dalam perbuatan jahat dan sewenang-wenang seperti mereka, menjadi penjahat. Inilah yang membuat Sarti menjauhkan diri darimu karena kalau engkau terus tersesat seperti itu, engkau tidak akan menjadi suami yang baik dan ia akan menjadi isteri yang menderita sengsara. Ia mencintamu dengan hati tulus, Parno, bukan cinta yang hanya terdorong nafsu berahi semata. Ia ingin engkau bertaubat, ingin melihat engkau kembali ke jalan benar. Kenapa engkau menyia-nyiakan cinta murni seorang gadis bijaksana seperti Sarti?"
"Aku.... akupun amat mencintanya...."
Kata Parno.
"Kalau begitu, mengapa tidak kautunjukkan cintamu itu secara benar? Kenapa tidak kautunjukkan kepadanya bahwa engkau mampu bertaubat, mampu mengubah jalan hidupmu yang tadi tersesat itu? Tunjukkanlah bahwa engkau mampu menjadi seorang calon suami yang baik. Aku yakin ia akan menantimu dengan setia."
"Aku".. aku akan menuruti nasihatmu. Aku sudah menyadari, aku akan bertaubat dan menjadi seorang petani yang rajin dan baik, seperti dulu sebelum aku berkawan dengan gerombolan tadi. Aku".aku minta rnaaf dan berterima kasih kepadamu, den-mas Seruling Gading."
"Hemm, aku bukan den-mas, akan tetapi aku girang sekali melihat sikapmu ini, Parno. Nah, cepatlah engkau kembali ke dusunmu dan buktikan janjimu tadi. Semoga engkau akan dapat hidup berbahagia dengan Sarti, ia seorang gadis yang amat baik dan kakeknya juga seorang yang amat bijaksana. Engkau seorang yang beruntung, Parno. Sekarang aku harus melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah dan sampaikan salamku kepada Sarti dan hormatku kepada Kyai Brenggol Sidhi!"
Parno terkesima memandang pemuda yang membuatnya terpesona dan kagum itu mendorong perahunya ke air kemudian perahu itu terbawa arus air dan meluncur ke timur. Sikap, sepak terjang dan ucapan Parmadi telah menggugah hatinya, telah membuatnya sadar betul akan kesesatannya yang lalu. Setelah perahu makin menjauh dan mengecil akhirnya lenyap dari pandangannya, Parno
(Lanjut ke Jilid 15)
Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
menghela napas panjang lalu memutar tubuh dan melangkah pergi.
"Sarti".. maafkan aku, Sarti.... ?"
Dia mengeluh dan melangkah dengan cepat, hatinya dipenuhi harapan.
Seperti telah diceritakan di bagian awal kisah ini, Ki Bargowo, Ketua Perkumpulan Welut Ireng, ketika bertemu dengan Ki Harya Baka Wulung di puncak Gunung Lawu, telah terbunuh oleh tokoh sakti datuk dari Madura itu. Anak buah perkumpulan Welut Ireng yang kehilangan pimpinan itu menjadi cerai berai dan mereka tidak mampu mempertahankan sarang mereka ketika Wiroboyo dan kawan-kawannya menyerbu perkampungan mereka di lereng Gunung Wilis itu. Mereka terpaksa meninggalkan perkampungan itu karena mereka tidak sudi menyerah dan. menjadi anak buah orang-orang yang memusuhi Mataram itu. Demikianlah, bekas perkampungan Welut Ireng itu kini diambil alih oleh Wiroboyo yang mendirikan perkumpulan Klabang Wilis di lereng Gunung Wilis itu.
Seperti telah diceritakan Tumenggung Jatisurya, senopati Ponorogo itu, kepada Muryani, kini Wiroboyo telah menjadi murid Wiku Menak Koncar, datuk dari Blambangan yang sakti mandraguna itu. Setelah menerima gemblengan Wiku Menak Koncar, Wiroboyo menjadi semakin tangguh dan sakti. Dia menjadi Ketua Klabang Wilis, dibantu Warok Surosingo, yaitu adik mendiang Warok Surobajul dan Darsikun, kakak seperguruannya yang pernah selama lebih dari setahun menerima gemblengan dari Harya Baka Wulung. Wiroboyo mengumpulkan gerombolan sesat di sekitar daerah Gunung Wilis untuk dijadikan anak buahnya. Juga Wiku Menak Koncar yang menjadi gurunya masih berada di perkampungan Klabang Wilis.
Pada suatu hari, pagi-pagi Wiku Menak Koncar duduk bercakap-cakap dengan Ki Wiroboyo. Bekas demang Dusun Pakis ini sekarang tampak lebih gagah daripada dahulu ketika masih menjadi demang. Tubuhnya tinggi besar mengenakan pakaian ringkas serba hijau sebagai tanda bahwa ia adalah Ketua Klabang Wilis. Semua anak buah Klabang Wilis mengenakan pakaian hijau. Kumisnya masih tebal, sekepal sebelah dan dalam usia empat puluh lima tahun itu rambutnya sudah bercampur uban. Ketiga orang isterinya yang dahulu sudah diceraikan semua dan kini dia mempunyai seorang isteri baru yang masih muda belia.
Wiku Menak Koncar yang duduk di depannya kini sudah berusia enam puluh enam tahun. Tubuhnya sedang dan wajahnya tidak tampak tua karena kulitnya yang hitam arang. Pakaiannya mewah, pasang matanya sipit dan hidungnya pesek bibirnya tebal. Wajahnya yang tidak tampan itu tidak menyembunyikan kenyataan bahwa dia seorang sakti karena sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar yang penuh wibawa.
"Wiroboyo, sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam kepada musuh besarku seperti yang pernah kuceritakan padamu,"
Kata Wiku Menak Koncar dengan suara kecil seperti suara perempuan.
"Maksud bapa Wiku, orang yang bernama Harjodento, ketua perguruan Nogodento itu?"
Tanya Ki Wiroboyo.
"Benar, kurang lebih sebelas tahun yang lalu, si Harjodento itu telah membunuh kakang Klabangkolo, kakak seperguruanku. Karena Harjodento mempunyai banyak murid di perguruan Nogodento sampai sekarang aku belum sempat membalas dendam kematian kakang Klabangkolo. Akan tetapi sekarang ada engkau dan anak buahmu dan musuh besar itu berada tak jauh dari sini. Selama ini aku bersabar untuk menanti saat terbaik dan. mengajarkan ilmu kepadamu. Sekarang kulihat engkau sudah cukup kuat dan engkau dapat membantu aku membalas dendam. Kita serbu Nogodento dan akan kubunuh si Harjodento!"
"Akan tetapi bapa Wiku belum menceritakan mengapa dan bagaimana pembunuhan atas diri kakak seperguruan bapa itu terjadi,"
Kata Wiroboyo.
"Hemm, si Harjodento itu adalah sorang yang membantu Mataram dan ketika itu terjadi pertempuran antara orang-orang yang setia kepada Mataram melawan orang-orang dari daerah yang akan ditundukkan Mataram. Kakang Klangbangkolo menentang Mataram dan dia terbunuh oleh tombak Harjodento si keparat!"
"Baik bapa, saya akan mengerahkan anak buah dan ikut membantu bapa menyerbu perguruan Nogodento,"
Kata Wiroboyo yang hendak membuktikan bahwa dia adalah seorang murid yang setia.
"Tidak perlu semua anak buah diajak. Sebaiknya panggil Darsikun dan Warok Surosingo ke sini untuk diajak berunding,"
Kata Wiku Menak Koncar. Wiroboyo bertepuk tangan tiga kali dan seorang anak buah berlari memasuki ruangan itu memenuhi tanda panggilan ketuanya.
"Cepat minta kepada kakang Darsikun dan kakang Warok Surosingo untuk datang ke sini, diundang bapa Wiku,"
Kata Wiroboyo. Anak buah itu mengangguk dan cepat keluar. Tak lama kemudian dua orang yang diundang itu memasuki ruangan lalu mereka mengambil tempat duduk berhadapan dengan Wiku Menak Koncar. Darsikun yang bertubuh tinggi kurus itu duduk di sebelah kiri Ki Warok Surosingo yang bertubuh pendek akan tetapi kekar berotot, Mereka berdua memandang kepada Wiroboyo dengan mata bertanya.
"Adi Wiroboyo, ada keperluan apakah andika memanggil kami?"
Tanya Ki Darsikun.
"Bapa Wiku yang mengundang kalian berdua. Saya persilakan bapa Wiku yang memberi penjelasan kepada kalian,"
Kata Wiroboyo.
"Begini, Darsikun dan Surosingo,"
Kakek bermuka hitam itu berkata.
"Aku dan Wiroboyo akan pergi menyerbu perguruan Nogodento dan membunuh ketuanya yang menjadi musuhku. Kami akan membawa anak buah Klabang Wilis, akan tetapi tidak semua. Cukup lima puluh orang saja. Sisanya tinggal di sini dan kalian berjagalah di sini memimpin mereka selagi Wiroboyo pergi."
"Bapa Wiku, saya pernah mendengar bahwa perguruan Nogodento di daerah Ngawi itu amat kuat dan ketuanya kalau tidak salah bernama Ki Harjodento yang terkenal sakti mandraguna. Karena itu, ijinkanlah saya ikut pergi membantu,"
Kata Warok Surosingo.
"Tidak perlu, Surosingo. Aku sendiri sudah cukup untuk membunuh Harjodento. Wiroboyo dan anak buah Klabang Wilis kuajak untuk menghadapi pengeroyokan anak buah Nogodento. Engkau dibutuhkan di sini karena selagi Wiroboyo pergi, perkampungan Klabang Wilis ini harus dijaga. Engkau dan Darsikun bersama sisa anak buah yang bertanggung jawab untuk keamanan di sini,"
Kata Wiku Menak Koncar. Dua orang itu mengangguk menyetujui.
Wiroboyo lalu membuat persiapan. Dia memilih lima puluh orang anak buah dan memerintahkan mereka mempersiapkar diri dan membawa senjata. Setelah semua siap, berangkatlah rombongan itu menuruni lereng Gunung Wilis menuju ke perguruan pencak silat Nogodento yang berada di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi. Ki Darsikun dan Warok Surosingo tinggal di perkampungan Klabang Wilis bersama sisa anak buah yang berjumlah sekitar tiga puluh orang.
Beberapa jam setelah rombongan Wiku Menak Koncar pergi, tampak seorang wanita muda berjalan seorang diri mendak Gunung Wilis. Matahari telah naik tinggi Gadis cantik jelita yang dengan langkah tegap dan tangkas berjalan mendaki lereng Gunung Wilis itu bukan lain adalah Muryani!
Seperti kita ketahui, Muryani mendapat keterangan dari senopati Ponorogo yaitu Tumenggung Jatisurya bahwa kini Wiroboyo menjadi Ketua Perkumpulan Klabang Wilis yang sarangnya berada dekat puncak Gunung Wilis. Mendengar ini, dara perkasa ini segera berangkat meninggalkan Ponorogo menuju ke Gunung Wilis dan siang hari ini ia mendaki gunung itu. Perjalanan mendaki gunung bagi seorang yang tidak mengenal medan, bukan merupakan pekerjaan mudah. Namun dara perkasa ini menggunakan kepandaiannya dan ia dapat mendaki dengan cepat. Ia bersemangat sekali untuk mencari orang yang telah membunuh ayahnya.
Bagi orang biasa yang tidak mengenal daerah Gunung Wilis, tentu akan sukar menemukan perkampungan Klabang Wilis. Akan tetapi tidak demikian bagi seorang dara perkasa yang sakti mandraguna serti Muryani. Dengan ilmu berlari cepat dan meringankan tubuh, ia dapat berloncatan seperti seekor kijang, dapat mengayun tubuh dari pohon ke pohon seperti seekor kera dan melakukan pendakian cepat sekali. Jurang dan tebing curam tidak dapat merintanginya, juga bukit yang terjal dapat didakinya dengan mudah. Akhirnya tibalah ia di depan pintu pagar perkampungan Klabang Wilis.
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua orang laki-laki muda berpakaian serba hijau segera berlari-lari dari dalam menyambut gadis yang berdiri di luar pintu pagar itu. Mereka berdua tertegun melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis yang cantik jelita. Seorang gadis yang bertubuh ramping padat dalam usia dua puluh satu tahun, bagaikan bunga sedang mekar. Wajahnya bulat dengan dagu runcing sehingga tampak manis. Sepasang alis hitam dan kecil panjang melengkung melindungi sepasang mata bintang yang jeli dan bersinar tajam dihias bulu mata lentik. Hidungnya mancung kecil dan sepasang bibirnya merah membasah dan menggairahkan. Kulitnya putih kuning mulus.
Dua orang anak buah Klabang Wilis itu terpesona, merasa seolah melihat seorang bidadari yang tiba-tiba berada di depan pintu pagar perkampungan mereka Biarpun hati mereka terangsang dan timbul keinginan untuk menyapa dan menggoda dara jelita itu, namun mereka berdua meragu dan tidak berani lancang Siapa tahu dara ini masih sanak dekat Ki Wiroboyo, atau Ki Darsikun atau juga Warok Surosingo. Lebih-lebih kalau dara itu masih sanak Wiku Menak Koncar. Mereka berdua tentu akan celaka kalau berani menggoda gadis yang menjadi sanak keluarga para pimpinan itu. Karena itu, mereka menghampiri dan seorang dari mereka bertanya dengan sikap sopan walaupun pandang matanya seolah melahap semua kecantikan itu.
"Andika siapakah dan andika datang ke sini hendak mencari siapa?"
Muryani tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia malah bertanya.
"Apakah ini sarang perkumpulan Klabang Wilis?"
Dua orang anak buah Klabang Wilis itu saling pandang dan seorang dari mereka menjawab.
"Benar, ini adalah perkampungan kami, Perguruan Klabang Wilis."
"Dan siapakah ketuanya? Apakah Ki Wiroboyo?"
Muryani bertanya lagi.
Dua orang anak buah Klabang Wilis itu menduga bahwa gadis ayu ini tentu masih kerabat ketua mereka, maka mereka makin tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar.
"Benar sekali. Ki Wiroboyo adalah ketua kami. Apakah andika sanak keluarga beliau yang datang berkunjung?"
Muryani memandang tajam kepada dua orang itu.
"Dan kalian tentu anak buah Klabang Wilis, bukan?"
"Benar, kami berdua adalah murid Klabang Wilis!"
Dua orang itu mengaku dengan suara mengandung kebanggaan. Akan tetapi pada saat itu, tubuh Muryani bergerak ke depan dengan kecepatan yang luar biasa. Dua orang itu bahkan sama sekali tidak menyadari bahwa mereka di serang. Tahu-tahu mereka telah terpelanting roboh dalam keadaan pingsan! Pada saat itu, tiga orang murid Klabang Wilis lain yang berada tidak jauh dari pintu pagar melihat robohnya dua orang teman mereka. Mereka terkejut dan segera berteriak-teriak memberi tanda bahaya. Bermunculanlah para murid lain dan tiga puluh lebih anak buah Klabang Wilis kini memenuhi pekarangan yang luas itu, mengepung Muryani yang sudah memasuki pekarangan dengan sikap tenang.
Tiga puluh orang lebih itu marah sekali melihat dua orang kawan mereka menggeletak di atas tanah tak bergerak seperti sudah tewas. Mereka sudah mencabut senjata mereka masing-masing, ada yang memegang klewang, ada yang mencabut pedang atau keris, dan ada pula yang membawa ruyung. Akan tetapi sebelum mereka bergerak menyerang karena mereka agak ragu melihat betapa orang yang dianggap membikin kacau itu ialah seorang gadis yang demikian ayu, tiba-tiba terdengar bentakan.
"Tahan semua senjata!"
Mengenal suara ini, para murid Klabang Wilis membuka jalan dan muncullah Warok Surosingo yang bertubuh pendek kekar itu. Dia menghampiri dua orang anggauta Klabang Wilis yang masih menggeletak di atas tanah. Setelah dilihatnya bahwa dua orang itu tidak mati melainkan pingsan, dia lalu menghampiri Murini dan berdiri berhadapan dengan gadis itu. Sejenak keduanya saling pandang dan melihat kakek pendek kokoh itu mempunyai sebuah kolor (ikat pinggang) dari lawe yang besar, tahulah Muryani bahwa ia berhadapan dengan seorang warok. Warok Surosingo mengerutkan alisnya dengan marah akan tetapi juga heran melihat orang yang membuat dua orang anggauta Klabang Wilis roboh pingsan dan yang kini dikepung puluhan orang tanpa kelihatan takut itu hanyalah seorang gadis muda yang cantik.
"Nona, siapakah engkau dan mengapa engkau membikin ribut di sini?"
"Panggil Wiroboyo keluar, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan dia!"
Kata Muryani.
"Hemm, aku pembantunya. Katakan apa yang menjadi keperluanmu hendak bertemu dengan Ki Wiroboyo?"
Muryani tersenyum.
"Keperluanku? Aku hendak membunuhnya!"
Mendengar ucapan ini, tentu saja Warok Surosingo dan semua anak buah Klabang Wilis terkejut dan marah sekali. Akan tetapi Warok Surosingo tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, engkau ini bocah ayu sungguh lancang mulut! Engkau hendak membunuh Ki Wiroboyo? Ha-ha-ha! Apa yang kauandalkan? Dengan adanya aku, Warok Surosingo di sini, tak seorangun dapat berbuat sesuka hati. Bocah ayu, sebaiknya engkau menyerah untuk kelak kuhadapkan ketua kami. Engkau telah mendatangkan keributan, merobohkan dua orang anggauta kami!"
"Warok Surosingo, kalau engkau hendak menghalangi, engkaupun akan kuhajar!"
Bentak Muryani.
Si pendek itu membelalakkan mata dan membuka mulutnya tertawa.
"Ha-ha-ha, kalian dengar itu, kawan-kawan? Bocah ayu ini hendak menghajar aku!"
Mereka semua tertawa karena merasa lucu. Seorang gadis muda cantik jelita yang kelihatan ringkih seperti itu hendak menghajar Warok Surosingo yang digdaya?
Muryani mengerutkan alisnya melihat betapa semua orang mentertawakannya. Tibatiba ia memutar tubuh, mengerahkain tenaga dan mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah sebatang pohon yang tumbuh di depannya. Jarak antara ia dan pohon itu sekitar dua meter. Angin bersiutan menyambar ke arah pohon itu.
"Wuuuttt krakkkkk....!"
Pohon sebesar pinggang manusia itu patah dan tumbang!
"Oohhhhh !"
Banyak mulut itu ter nganga mengeluarkan seruan keget ini.
"Warok Surosingo, kalau engkau membela Wiroboyo, engkau akan tumbang seperti pohon itu!"
Kata Muryani sambil bertolak pinggang menghadapi jagoan pendek kokoh itu. Surosingo adalah seorang warok, seorang jagoan kawakan yang digdaya. Melihat demonstrasi yang dipamerkan Muryani tadi, tahulah dia bahwa gadis itu bukan orang sembarangan dan gertakannya bukan sambal belaka. Akan tetap tentu saja dia tidak gentar karena dia sendiri juga seorang gemblengan yan memiliki kesaktian. Dia tidak ingin dipandang rendah dan ditertawakan para anggauta Klabang Wilis. Maka mendengar ucapan Muryani tadi, dia segera memutar kolornya yang panjang dan besar sehingga senjata istimewa yang diputar-putar itu mengeluarkan suara bersiutan.
"Bocah sombong! Engkaulah yang akan tumbang oleh pusakaku ini!"
Katanya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang ke depan dan kolornya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyambar ke arah dada Muryani.
Melihat sikap warok yang menyerangnya dengan senjata pusakanya padahal ia sendiri bertangan kosong itu, Muryani sudah dapat menilai bahwa warok itu bukan seorang yang berwatak gagah dan hal ini sudah menunjukkan bahwa kepandaiannya tentu belum seberapa. Dia masih berwatak sewenang-wenang dan licik. Bagaimanapun juga, sambaran senjata pusaka kolor itu bukan tidak berbahaya. Muryani cepat mengelak ke belakang dan sambil memutar tubuhnya, ia balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung Aji Gelap Sewu. Karena dara perkasa itu mengerahkan Aji Kluwung Sakti, maka gerakannya cepat sekali, tubuhnya menjadi ringan dan saking cepatnya ia bergerak, tubuh itu seolah berubah menjadi bayangan. Hampir saja pelipis Warok Surosingo terkena tamparan. Warok itu terkejut setengah mati. Gerakan gadis itu demikian cepat sehingga sukar dia mengikuti dengan pandangan matanya. Bagaikan seekor burung srikatan, gadis itu berkelebatan di sekeliling dirinya. Warok Surosingo menyerang bertujbi-tubi dengan ngawur. Ujung kolornya menyambar-nyambar ke arah bayangan yang berkelebatan itu, namun tak pernah mengenai sasaran. Tiba-tiba kaki kiri Muryani mencuat dan dapat mencuri bagian yang kosong.
"Wuuuttt bukkkk!"
Perut yang gendut itu tercium kaki yang mungil itu. Tampaknya tidak terlalu kuat tendangan dari samping itu. Akan tetapi ternyata tubuh Warok Surosingo gelayaran (terhuyung-huyung) lalu terpelanting dan terguling-guling. Namun agaknya tendangan itu tidak cukup kuat sehingga dia mampu melompat bangkit lagi, walaupun napasnya agak terengah dan mulutnya menyeringai menahan rasa nyeri dan mulas dalam perutnya. Biarpun dia sudah melindungi perutnya dengan aji kekebalan tetap saja perutnya terasa mulas karena terguncang oleh kekuatan dahsyat yang terkandung dalam tendangan kaki mungil tadi.
Melihat Warok Surosingo roboh tertendang, para anggauta Klabang Wilis menjadi terkejut dan marah. Mereka lalu maju mengepung dengan senjata siap di tangan. Warok Surosingo juga tidak menghalangi karena diapun mulai merasa jerih terhadap dara yang ternyata sakti mandraguna itu. Muryani hanya berdiri bertolak pinggang dan tersenyum melihat pengepungan mereka.
Pada saat itu terdengar teriakan seseorang.
"Heii, kawan-kawan! Jangan membunuh gadis itu. Mari kita menangkapnya hidup-hidup karena ketua kita menginginkan gadis ini?"
Seorang laki-laki tinggi kurus berusia lima puluhan tahun lebih muncul dan mlihat orang ini, Muryani segera teringat bahwa orang itu adalah orang yang dulu bersama Wiroboyo telah menjatuhkannya dan menangkapnya. Untung pada waktu itu ia ditolong oleh Nyi Rukmo Petak vang kemudian menjadi gurunya selama empat tahun. Melihat musuhnya ini, Muryani menjadi marah. Memang orang ini yang dicarinya, orang ini dan Wiroboyo.
"Jahanam busuk, kebetulan engkau berada di sini!"
Bentaknya dan langsung saja tubuh Muryani menerjang ke arah Darsikun dengan pukulan dahsyat sekali karena dia telah menggunakan aji pukulan Gelap Sewu yang tadi telah menumhangkan sebatang pohon.
"Wuuuttt"!"
Darsikun yang kini telah menjadi semakin tangguh setelah menerima gemblengan Ki Harya Baka Wulung selama hampir dua tahun, mengenal pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam yang ampuh. Dia cepat menghindarkan diri dengan elakan ke kanan dan lengannya menyambar ke depan untuk mencengkeram pundak kiri gadis itu. Namun Muryani juga sudah mengelak dengan cepat. Pada saat itu, Warok Surosingo sudah menubruk dari belakang. Juga para anggauta Klabang Wilis sudah berlomba untuk menyergap dan meringkus gadis itu. Agaknya mereka semua berlomba untuk dapat meringkus dan mendekap tubuh ranum menggairahkan itu. Akan tetapi dengan trengginas Muryani menggerakkan tubuh berkelebatan di antara para pengeroyoknya, kedua tangan dan kedua kakinya menyambar-nyambar dan berturut-turut empat orang anggauta Klabang Wilis terpelanting dan roboh terbanting keras tak mampu bangkit kembali karena menderita tulang patah atau otot terkilir!
Melihat ini, para anak buah Klabang Wilis terkejut. Muryani tidak berhenti sampai di situ saja. Ia terus berkelebatan, sukar sekali untuk dapat ditangkap karena tubuhnya seolah telah berubah menjadi bayangan. Kembali serangkaian serangannya membuat empat orang lain terjungkal! Melihat ini, Darsikun terkejut sekali. Gadis ini tidak seperti empat tahun yang lalu! Sekarang ia memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya dan dia teringat akan nenek berambut putih yang dulu mengalahkan dia dan Wiroboyo. Dia dapat menduga bahwa tentu gadis yang membuat Wiroboyo tergila-gila itu telah mendapat gemblengan dari nenek berambut putih dan kini merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Dalam beberapa gerakan saja gadis itu telah merobohkan delapan orang pengeroyok, jadi semua sudah sepuluh orang anak buah Klabang Wilis yang roboh dan tidak mampu mengeroyok lagi. Kalau diteruskan, mungkin tak lama lagi semua anak buah Klabang Wilis akan roboh, dan dia harus menghadapi gadis sakti mandraguna itu berdua saja dengan Warok Surosingo. Ah, gadis ini amat berbahaya. Mereka tidak akan menang kalau mencoba untuk menangkapnya hidup-hidup.
"Serang dengan senjata! Bunuh gadis setan ini!"
Bentak Darsikun dengan suara lantang dan diapun sudah mencabut kerisnya. Warok Surosingo tetap menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu kolornya. Dua puluh orang sisa anak buah Klabang Wilis ketika mendengar perintah ini, bangkit kembali keberanian mereka. Mereka mencabut senjata masing-masing lalu mulai mengeroyok Muryani.
"Mampus kau!"
Bentak Darsikun dan dia menerjang dengan kecepatan tinggi, kerisnya menusuk ke arah perut gadis itu dan tangan kirinya dari bawah memukul ke atas, ke arah muka Muryani. Pukulan tangan kiri itu hebat sekali, bahkan lebih berbahaya daripada serangan kerisnya. Itulah aji pukulan Cantuka Sakti yang dia dapatkan dari Ki Harya Baka Wulung.
Muryani terkejut juga melihat serangan ganda itu. Ia melangkah ke belakang sehingga tusukan keris luput, akan tetapi pukulan tangan kiri itu terus menghantam ke arahnya dengan tenaga pukulan jarak jauh yang dahsyat. Muryani menggerakkan tangan kanannya, dengan Aji Gelap Sewu menangkis. Pukulan tangan kiri Darsikun terpental ketika bertemu dengan hawa pukulan yang menangkis dari tangan kanan gadis itu. Pada saat itu kolor Warok Surosingo menyambar dari atas, menghantam ke arah kepala Muryani.
"Wuuttt"
Darrr".!"
Ujung kolor bertemu dengan tangan kiri Muryani yang menangkis ke atas dan kolor itu terpental. Beberapa batang klewang dan keris sudah datang menyerbu bagaikan hujan ke arah tubuh dara perkasa itu.
"Eiiittt". !"
Muryani mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, lalu membuat gerakan jungkir-balik di udara beberapa kali dan turun di luar kepungan. Akan tetapi dua puluh lebih orang anak buah Klabang Wilis, dipimpin Darsikun dan Warok Surosingo sudah mengepungnya lagi dan menyerang dengan ganas. Mereka semua menyerang dengan niat membunuh gadis yang berbahaya itu. Muryani menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan terkadang menangkis dengan kedua lengannya. Agak repot juga gadis itu karena pengeroyokan banyak orang bersenjata, terutama sekali karena Darsikun ternyata cukup tangguh, dibantu warok yang juga bukan orang lemah itu. Muryani tidak terdesak, akan tetapi iapun menemui kesulitan untuk merobohkan para pengerokknya.
Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat disusul suara seorang laki laki mencela.
"Puluhan orang laki-laki bersenjata mengeroyok seorang gadis bertangan kosong! Huh, tidak tahu malu!"
Setelah berkata demikian, laki-laki itu mengamuk, menendangi mereka yang mengeroyok Muryani. Hebat sekali sepak terjangnya. Terdengar para anak buah Klabang Wilis berteriak kesakitan dan tubuh mereka berpelantingan, roboh dan tidak mampu bangkit kembali!
Muryani melihat bahwa pemuda yang membantunya itu bertubuh tinggi tegap tidak terlalu besar namun dadanya bidang. Wajahnya tampan sekali, dengan kulit putih bersih dan rambutnya agak berombak. Tentu saja ia tidak dapat mengamati dengan jelas dan melihat betapa pemuda itu mengamuk dengan tangkasnya, Muryani menjadi semakin bersemangat dan ia pun mengerahkan kegesitan dan tenaganya untuk merobohkan para pengeroyok sebanyak mungkin. Dua orang muda itu kini seakan berlomba cepat merobohkan para pengeroyok! Warok Surosingo dan Darsikun kaget bukan main melihat munculnya pemuda asing yang merobohkan banyak anak buah itu.
"Keparat! Engkau sudah bosan hidup!"
Bentak Warok Surosingo dan dia pun menerjang dengan kolornya. Kolor itu berubah menjadi sinar kuning menyambar ke arah dada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia membusungkan dadanya menyambut hantaman pusaka berupa kolor lawe berwarna kuning itu.
"Wuuuuttt".. darrrr".!"
Kolor itu ujungnya seperti meledak bertemu dengan dada yang bidang, akan tetapi pemuda itu tidak tergetar sedikitpun juga, bahkan secepat kilat dia menangkap ujung kolor dan sekali tangannya menyentak kuat, tubuh pendek gendut Warok Surosingo yang berat itu terlontar ke atas! Warok itu mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya meluncur turun, pemuda itu memapakinya dengan pukulan tangan terbuka.
"Wuuuuttt"..dessss".!!"
Tubuh warok itu terlempar dan roboh tak dapat bangkit kembali, dari mulut, hidung, telinga dan matanya mengalir darah. Dia tewas seketika. Pemuda itu melanjutkan amukannya, merobohkan para pengeroyok dan tinggal beberapa orang saja itu. Muryani juga tidak mau kalah. Gadis ini mengamuk dan akhirnya semua anak buah Klabang Wilis yang membantu Darksikun dan ikut mengeroyoknya telah roboh satu demi satu. Kini tinggal Darsikun seorang yang masih melawan mati-matian, menggunakan kerisnya. Namun gerakan Muryani yang luar biasa cepatnya itu membuat Darsikun terdesak hebat walaupun gadis itu bertangan kosong saja. Serangan keris Darsikun tak pernah mengenai sasaran karena lawannya sukar sekali diserang, berkelebatan seperti bayang-bayang. Bahkan sebaliknya, Darsikun terdesak karena dia merasa seolah diserang oleh lawan yang bertangan banyak. Darsikun menjadi panik dan mulai ketakutan melihat betapa semua anak buah Klabang Wilis yang berjumlah tiga puluh orang lebih itu, termasuk Warok Surosingo, telah roboh! Pemuda sakti yang datang membantu Muryani itu kini berdiri menonton pertandingan antara dia dan Muryani. Darsikun maklum bahwa keadannya berbahaya sekali, akan tetapi dia tidak melihat jalan untuk melarikan diri.
"Hyaaattt !!"
Sambil mengerahkan seuruh tenaganya, Darsikun menyerang ke arah bayangan di depannya. Kerisnya meluncur cepat ke arah dada Muryani. Akan tetapi seperti juga tadi, kerisnya mengenai tempat kosong dan sebelum dia dapat menarik kembali senjatanya, dari samping tangan kanan Muryani menepis dengan bacokan tangan miring ke arah pergelangan tangan kanan Darsikun yang memegang keris.
"Dukk'.!"
Darsikun mengeluarkan seruan tertahan. Dia merasa tulang pergelangan tangannya seperti remuk dan tak dapat dicegah lagi keris yang dipegangnya terlepas dan mencelat. Cepat dia melangkah ke belakang lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk memukul dan mendorong ke depan dengan kedua tangan terbuka. Tubuhnya berjongkok rendah dan ketika dia mendorongkan kedua tangannya, ada hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke depan.
"Ciaaattt".!"
Itulah aji pukulan Cantuka Sakti yang dia pelajari dari Ki Harya Baka Wulung. Biarpun aji pukulan itu belum dikuasainya sepenuhnya, namun dia sudah dapat memukul dengan hebat sekali. Pukulan jarak jauh ini mampu merobohkan lawan dalam jarak tiga meter. Kini jarak antara Darsikun dan Muryani kurang dari dua meter, maka dapat dibayangkan betapa dahsyat dan berbahayanya pukulan yang dilakukan Darsikun yang sudah menjadi nekat itu.
Begitu Darsikun berjongkok rendah Muryani sudah menduga bahwa lawannya akan melakukan pukulan ampuh, maka ia pun lalu mengerahkan tenaganya dan ketika lawan memukul dengan dorongan, ia pun mendorongkan kedua tangannya depan, menggunakan Aji Gelap Sewu yang ia pelajari dari Nyi Rukmo Petak selama empat tahun menjadi murid nenek sakti itu.
"Wuuuttt".blarrr"..!"
Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara dan akibatnya, Darsikun terpental dan roboh terguling-guling! Muryani cepat melompat mendekatinya. Ia tadi memang membatasi aji pukulannya karena ia ingin menangkap Darsikun hidup-hidup. Dan ternyata memang belum tewas. Dia menderita luka dalam yang cukup parah sehingga dia tidak mampu melawan lagi. Sambil merintih Darsikun bangkit dan duduk bersila, mengatur pernapasan. Dari ujung bibirnya mengalir darah.
"Hayo mengaku, siapa yang telah membunuh ayahku empat tahun yang lalu itu? Mengaku atau aku akan menyiksamu!"
Muryani membentak.
Darsikun maklum bahwa tidak ada harapan lagi baginya untuk dapat lolos dari ancaman maut. Dia tersenyum mengejek dan berkata dengan tegas.
"Akulah yang membunuh Ki Ronggo Bangak malam itu atas permintaan Ki Wiroboyo!"
Muryani merasa betapa dadanya panas dan hampir meledak saking menahan marahnya, akan tetapi ia masih dapat menahan diri. Memang hal ini sudah diduganya. Orang yang menyerangnya malam itu memang bertubuh tinggi kurus seperti ini.
"Di mana Wiroboyo si jahanam itu sekarang? Hayo katakan atau aku akan menyiksamu sehingga engkau akan mati perlaahan-lahan!"
"Ki Wiroboyo kini sedang menyerbu Perguruan Nogodento di Ngawi. Kalau dia berada di sini, jangan harap engkau akan dapat lolos!"
"Jahanam busuk!"
Bentak Muryani. Akan tetapi pada saat itu, Darsikun menggerakkan kedua tangannya. Muryani menyangka bahwa orang itu akan menggunakan tenaga terakhir untuk menyerangnya, maka ia melangkah mundur. Akan tetapi ternyata Darsikun menggerakkan kedua tangannya ke atas dan menghantam kepalanya sendiri.
"Krakk!"
Dia roboh telentang dan tewas seketika dengan kepala retak-retrik!
Muryani menghampiri seorang anggota Klabang Wilis yang belum tewas. Muryani yang mengalami patah tulang pundaknya dan merintih-rintih itu menjadi pucat ketakutan ketika Muryani menghampirinya.
"Ampuni saya".
"
Katanya lirih.
"Cepat katakan, di mana Perguruan Nogodento itu dan jangan bohong!"
"Di.... di tepi Bengawan Solo daerah Ngawi.... begitu yang saya dengar.... saya sendiri belum pernah ke sana, den-ajeng...."
Muryani meninggalkan orang itu. Ia melihat pemuda yang tadi membantunya masih berdiri sambil bersedakap memandang kepadanya dengan bibir tersenyum. Ia tidak perduli. Bagaimanapun juga, ia tidak minta pemuda itu membantunya! Muryani lalu masuk rumah besar untuk mencari Wiroboyo. Akan tetapi ia hanya melihat wanita dan kanak-kanak di sebuah bangunan yang terdapat di perkampungan itu. Tadinya ia berniat untuk membakar semua rumah, akan tetapi melihat para wanita dan kanak-kanak, diurungkan niatnya. Mereka tidak bersalah, pikirnya, tidak semestinya menjadi korban. Yang patut dibunuh hanyalah Wiroboyo dan Darsikun tadi, juga mereka yang membantu Wiroboyo. Anak buah Klabang Wilis itu pun hanya bawahan saja, maka sudah cukup kalau mereka dihajar dan dirobohkan, tidak perlu dibunuh.
Setelah melakukan penggeledahan seluruh perkampungan dan tidak menemukan Wiroboyo, dan mendapat keterangan dari isteri Wiroboyo yang masih muda itu bahwa suaminya benar-benar pergi dengan Wiku Menak Koncar dan lima puluh orang anak buah untuk menyerang Perguruan Nogodento di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi, Muryani keluar dari rumah besar itu. Ia telah memeriksa semua rumah di perkampungan itu dan tidak menemukan Wiroboyo, maka cepat-cepat ia berlari keluar dari perkampung itu tanpa memperdulikan pemuda yang tadi telah membantunya! Dengan mengerahkan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya berkelebat cepat dan sebentar saja ia sudah menuruni Gunung Wilis.
Ketika ia tiba di lereng gunung ter bawah, Muryani terkejut melihat seorang pemuda duduk di atas batu besar di tepi jalan setapak yang dilaluinya. Pemuda tu bukan lain adalah pemuda tampan yang tadi telah membantunya! Bagaimana mungkin pemuda itu sudah berada di situ? Ia mempergunakan Aji Kluwung Sakti yang membuat ia dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi pemuda itu tahu-tahu telah ada di depannya. Ini berarti bahwa pemuda itu dapat berlari lebih cepat daripadanya! Bagaimana mungkin? Pemuda itu duduk bersila dengan kedua tangan bersedakap (bersilang depan dada) seperti orang dalam samadhi!
Akan tetapi Muryan tidak perduli dan ia berlari terus. Ia merasa tidak mempunyai urusan dengan pemuda itu! Kini Muryani mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya bagaikan terbang meluncur menuruni lereng terakhir. Akan tetapi ketika ia tiba di kaki Gunung Wilis dan berada di jalan yang dibuat oleh penduduk daerah itu, tiba-tiba tertegun melihat pemuda yang tadi telah berdiri menghadang di depannya!
Karena pemuda itu berdiri di tengah jalan, sengaja menghadangnya, Muryani mengerutkan alisnya dan memandang marah.
"Hei, mau apa engkau menghadang jalananku?"
Tegurnya ketus.
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya sungguh tampan menarik ketika tersenyum.
"Nona, kenapa engkau begitu membenciku?"
Muryani mengerutkan alisnya, akan tetapi memandang heran mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangkanya itu.
"Siapa membenci siapa? Aku tidak mengenalmu, tidak ada urusan di antara kita, mengapa aku harus membencimu?"
Pemuda itu membungkuk dengan sikap hormat.
"Maafkan aku, nona. Akan tetapi kita saling berjumpa di sarang Klabang Wilis dan lereng tadi, nona sama sekali tidak menyapaku, bahkan memandangpun tidak seolah-olah engkau marah dan membenciku."
Ucapan pemuda itu lembut, sama sekali tidak mengandung teguran, hanya memberi alas an mengapa dia menganggap gadis itu membencinya. Muryani menatap tajam wajah pemuda itu. Kini tampak betapa tampan dan menyenangkan wajah yang penuh senyum dan matanya bersinar lembut dan sopan itu. Akan tetapi ia seorang gadis yang keras hati, tidak mau memperlihatkan perasaannya.
"Kenapa aku seorang wanita harus menyapamu? Engkau yang pria juga tidak menyapaku!"
Jawabnya agak ketus.
"Aahh".. begitukah? Akan tetapi, nona, aku telah membantumu menghajar para pengeroyokmu tadi!"
"Hemmm, siapa yang minta? Aku tidak butuh bantuanmu!"
"Ahh.... benar juga. Engkau seorang wanita sakti mandraguna, tidak dibantu juga engkau akan dapat menghajar mereka semua. Maafkan kelancanganku, nona. Baiklah sekarang aku tidak mengaku telah membantumu, hanya, aku penasaran melihat banyak laki-laki mengeroyok seorang wanita, maka karena penasaran dan marah aku lalu menerjang mereka. Sekali lagi, harap engkau sudi memaafkan aku, nona."
Muryani merasa tidak enak juga hatinya melihat pemuda itu berulang minta maaf dan mengaku salah. Padahal, andaikata ia tidak kalah sekalipun, namun harus ia akui secara diam-diam bahwa pengeroyokan demikian banyaknya orang tadi membuat ia repot dan agak kewalahan. Sesungguhnya bantuan pemuda itu tadi menguntungkan dirinya.
"Sudahlah, lupakan saja. Hanya lain kali kalau ingin membantu orang, katakanlah lebih dulu,"
Kata Muryani dan wajahnya tidak cemberut lagi, bahkan suaranya juga lembut dan sedikit senyuman membayang di bibirnya yang manis.
Melihat ini, pemuda itu kembali membungkuk dengan sikap hormat dan wajahnya berseri gembira.
"Ah, terima kasih, nona. Sejak tadi akupun sudah yakin bahwa engkau adalah seorang dara perkasa yang bijaksana. Aku akan merasa bangga dan berbahagia kalau nona sudi berkenalan dengan orang hina dan bodoh macam saya. Nona, nama saya adalah Satyabrata, seorang pengembara berasal dari Cirebon. Bolehkan saya mengetahui siapa nama nona yang mulia?"
Menghadapi sikap dan ucapan yam lembut dan penuh kesopanan itu, Muryani merasa tidak enak kalau bersikap keras. Ia mulai tersenyum dan menjawab.
"Aku bernama Muryani berasal dari leeng Gunung Lawu."
"Nama yang indah sekali. Bagaimana iku harus menyebutmu? Den-ajeng Muryani, begitukah?"
"Ah, aku bukan puteri bangsawan. Sebut saja Muryani,"
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Muryani yang pada dasarnya memiliki watak yang ramah dan sama sekali tidak angkuh.
"Baiklah, karena aku yakin bahwa aku jauh lebih tua darimu, usiamu sudah dua puluh enam tahun, maka kalau engkau tidak keberatan, aku akan menyebutmu diajeng Muryani. Bagaimana?"
"Sesukamulah, bagiku sama saja."
"Nah, diajeng Muryani, setelah kita berkenalan dan kalau engkau sudi menganggap aku sebagai sahabat, mari kita bicara tentang niatmu melakukan pengejaran terhadap orang yang bernama Wiroboyo ketua Klabang Wilis itu."
"Hemm, kakangmas Satyabrata, apa hubungannya niatku itu denganmu? Aku melakukan pengejaran terhadap musuh besarku, kurasa tidak ada sangkut-pautnya denganmu."
Muryani terpaksa menyebut pemuda itu kakangmas, karena pemuda itu menyebutnya diajeng. Satyabrata girang bukan main mendengar sebutan itu. Pemuda ini sejak dewasa, beberapa tahun yang lalu ketika dia belum menemukan ilmu-ilmu yang hebat di sumur, ketika dia masih ikut dengan Willem Van Huisen perwira kumpeni Belanda sebagai anak angkatnya, telah merupakan seorang pemuda petualang cinta. Banyak wanita yang tergilagila kepadanya karena dia memang tampan gagah dan pandai membawa diri dan diapun menyambut wanita-wanita yang dianggapnya cantik menarik dengan penuh gairah Satyabrata menjadi seorang pemuda mata keranjang yang suka mengejar dan mempermain-kan wanita-wanita cantik. Maka tidaklah mengherankan jika sekarang, bertemu dengan Muryani, dia seketika menjadi tergila-gila. Bukan hanya kecantikjelitaan Muryani yang membuat dia tergila-gila, terutama sekali kesaktiannya. Sepak terjang gadis itu ketika mengamuk dikeroyok banyak orang membuat dia terkagum-kagum. Biarpun sudah banyak gadis atau janda yang terkulai dalam pelukannya, namun belum pernah dia mendapatkan seorang kekasih yang memiliki kesaktian seperti Muryani. Dia kagum dan terpesona, dan seketika dia jatuh cinta.
Mendengar ucapan Muryani tadi, Satyabrata tersenyum.
"Tentu saja, diajeng. Urusan pribadimu tidak ada sangkut-pautnya dengan aku dan aku juga tidak berhak untuk mencampuri. Akan tetapi maafkan aku, diajeng Muryani. Tadi sebelum meninggalkan sarang Klabang Wilis, aku memaksa seorang anak buah mereka mengaku dan menurut pengakuannya tadi, ketua Klabang Wilis yang bernama Wiroboyo itu pergi menyerang Perguruan Nogodento di tepi Bengawan Solo daerah Ngawi didampingi gurunya yang bernama Wiku Menak Koncar dan membawa anak buah sebanyak lima puluh orang. Berbahaya sekali kalau engkau melakukan pengejaran, diajeng."
"Hemm, aku tidak takut!"
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo