Ceritasilat Novel Online

Seruling Gading 19


Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



Ketika dia menoleh ke tengah, dia melihat seolah pusaran air itu menjadi marah dan mengamuk, ulekannya menjadi semakin besar dan kuat! Perahunya sudah tiba di tepi sungai, lalu berhenti. Dia memandang ke darat untuk melihat siapa orangnya yang telah menolongnya. Dan dia terbelalak, melongo seperti orang bodoh ketika melihat seorang gadis muda sedang mengikatkan tali pada sebuah batu besar. Kiranya tali dengan kaitan besi itu yang menahan perahunya sehingga dia tidak perlu menggunakan tali perahu lagi. Dia melompat ke darat, menghampiri gadis yang telah selesai mengikatkan tali pada batu. Gadis itu membalikkan tubuh, mereka berhadapan dan untuk kedua kalinya Parmadi melongo. Terpesona!

   Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, tubuhnya bagaikan setangka bunga sedang mulai mekar, padat langsing dan kulitnya coklat bersih mengeluarkan cahaya mempesona. Wajahnya cantik jelita, dengan rambut hitam panjang yang pada saat itu dibiarkan terurai, tidak digelung seperti wanita yang habis mandi keramas. Rambut itu sebagian menutupi kedua pundaknya dan sebagian lagi terurai lepas di depan dada dan belakang punggung. Indah sekali. Sepasang matanya amat indah, besar dan bening, pandang matanya tajam dan mata itu seolah selalu bersinar gembira. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya! Entah mana yang lebih kuat daya tariknya, antara matanya dan mulutnya. Bibir itu dihias senyum, akan tetapi seperti berjebi mengejek dan menantang. Parmadi segera dapat merasa bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang bukan merupakan seorang gadis dusun biasa Ada sesuatu yang lain pada gadis ini. Entah apanya yang membedakannya dari gadis-gadis lain, mungkin sinar matanya yang tajam dan agaknya penuh pengertian itu. Kini mereka berdiri, saling berhadapnn dan gadis itu dengan beraninya membalas pandang mata Parmadi dengan sinar mata penuh selidik seperti sedang menilai sesuatu yang menarik.

   Akhirnya Parmadi yang mendahului memberi salam, dengan senyum dan agak membungkukkan tubuhnya, lalu berkata.

   "Teja-teja sulaksana! Bolehkan aku tahu siapakah andika ini yang telah menolongku keluar dari ulekan itu?"

   Deretan gigi putih dan rapi itu tampak. Manis bukan main sepasang bibir yang merekah itu.

   "Aku memang sering menanti di sini dengan tali kaitanku, siap menolong orang asing yang bodoh membiarkan perahunya diseret ulekan. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, sebaiknya engkau yang lebih dulu memperkenalkan diri kepadaku."

   Parmadi tersenyum. Gadis ini pandai bicara, lincah, tidak pemalu dan agak angkuh! Diapun tidak ingin memperkenalkan namanya di sembarang tempat, maka dia lalu berkata sederhana.

   "Orang-orang menyebut aku Seruling Gading. Dan andika siapakah?"

   Gadis itu tersenyum, matanya terbelalak memandang wajah Parmadi lalu menoleh ke arah pusaran air.

   "Andika lihat,"

   Telunjuknya yang mungil meruncing itu menuding ke arah pusaran air.

   "Tempat ini namanya Kedung Srengenge, lihat bentuk ulekan itu, seperti srengenge (mata hari), bukan. Juga kalau tengah hari, bayangan matahari terpantul di air. Namamu Seruling Gading? Tentu karena itu!"

   Ia menuding ke arah suling terbuat dari gading, pusaka Parmadi pemberian gurunya.

   "Kalau begitu sebaiknya akupun menggunakan nama sandi (rahasia). Aku adalah.... Puteri Kedung Srengenge! Nah, cocok, bukan? Si Seruling Gading bertemu dengan Puteri Kedung Srengenge!' Gadis itu tertawa geli, tawanya lepas dan tidak malu-malu, wajar dan tidak di buat-buat.

   Mau tidak mau Parmadi juga ikut tertawa, terseret oleh tawa gadis itu. Gadis itu menahan tawanya, akan tetapi dadanya masih terguncang oleh geli hati, kedua matanya yang tadi besar bersinar itu kini menyipit, membuat wajah itu menjadi semakin manis.

   ".... atau.... andika menghendaki yang lebih serem lagi? Bagaimana kalau...."

   Ia menengok dan memandang kepada randu alas besar yang berdiri di situ.

   "".. bagaimana kalau namaku Peri Randu alas? Hi-hik, menyeramkan sekali, bukan....?"

   Tiba-tiba Parmadi mengerutkan alis nya dan dia memandang pohon randu alas yang tua dan besar itu, lalu memandang ke arah pusaran air di kedung. Terasa olehnya ada getaran yang aneh dan tahulah dia bahwa pohon randu alas besar itu memang ada "penunggunya"

   Dan inilah agaknya yang membuat ulekan air itu menjadi tidak wajar, mengandung daya yang aneh luar biasa. Tempat seperti ini amat berbahaya dan sudah menjadi kewajibannya untuk "membersihkannya". Lalu dia menatap tajam wajah gadis itu. Jangan-jangan". !

   "Hei, kenapa andika memandangku seperti itu?"

   Gadis itu menghentikan tawanya dan menegur sambil memandang de ngan sinar mata penuh selidik. Parmadi bernapas lega. Mata batinnya melihat bahwa gadis ini bukanlah mahluk halus, melainkan manusia biasa, bukan penunggu pusaran air atau randu alas seperti yang dicurigainya semula. Dia merasa bersalah dan untuk menebus kesalahannya, dia memperkenalkan dirinya dengan jujur.

   "Maaf, aku tadi hanya main-main. Namaku adalah Parmadi."

   Gadis itu tiba-tiba bersikap sungguh-sungguh, membuat gerakan seperti tokoh wayang Srikandi sedang berjoget, lalu mengeluarkan kata-kata yang nyaring dan genit seperti Srikandi sedang bergaya di atas panggung.

   "Wahai, Raden Parmadi! Apakah paduka datang ke sini untuk mencari Kakang-mbok Woro Sembodro?"

   Tingkahnya itu lucu dan kewes. Pasti indah sekali kalau gadis itu bermain sebagai Srikandi di panggung wayang orang, pikir Parmadi.

   "Andika memang pantas menjadi Srikandi, akan tetapi andika jelas bukan Srikandi dan akupun bukan pula Permadi atau Arjuna. Namaku Parmadi, bukan satria panengahing Pandawa. Cukuplah main-main ini, kalau andika tidak mau memperkenalkan nama, sudahlah, akupun tidak memaksa. Akan tetapi harap jangan main-main dengan kedung dan pohon randu alas ini, karena tempat ini memang berhantu!"

   Gadis ini membelalakkan matanya yang indah dan memandang ke arah kedung, lalu menoleh ke arah pohon.

   "Wahhh""

   Berhantu...??"

   Parmadi mengangguk.

   "Ada penunggunya."

   Gadis itu tiba-tiba merasa ngeri.

   "Ih, jangan nakut-nakuti orang, Kakang Parmadi! Maafkan kalau tadi aku mempermainkanmu, namaku adalah Ayu, Ayu Puspa."

   "Aku tidak main-main atau menakut-nakutimu, Ayu. Memang tempat ini berhantu dan sudah menjadi kewajiban kita untuk membersihkan tempat ini agar jangan ada yang mengganggu perahu-perahu yang lewat di sini."

   "Kita? Hih, mana bisa aku melawan hantu? Engkau sajalah, kalau engkau mampu!"

   Kata Ayu Puspa sambil bergiilik.

   "Memang aku hendak membersihkan tempat ini, Ayu. Kalau engkau takut, mundur dan menjauhlah agar kalau pohon ini tumbang tidak dapat menjangkau dan menimpamu."

   Ayu Puspa benar-benar merasa ngeri dan iapun cepat meninggalkan tempat itu sampai cukup jauh dari pohon randu alas. Ia bersembunyi di balik batu besar sambil memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang. Dengan terheran-heran dan memandang tanpa pernah berkedip Ayu Puspa melihat Parmadi sekarang duduk bersila di dekat pohon randu alas dan mengeluarkan sebatang suling gading yang tadi terselip di ikat pinggangnya. Setelah diam tak bergerak beberapa saat lamanya seperti orang bersamadhi, ia melihat pemuda itu mulai meniup sulingnya. Terdengar suara mendayu-dayu dan Ayu Puspa terpesona. Suara suling itu sungguh luar biasa. Berbeda dengan suara suling yang sering ia dengar. Suaranya lembut, halus dan merdu, mengandung alunan sepert menimang-nimang hati, membuat ia yang mendengarnya merasa nyaman dan nikmat sehingga mengantuk. Akan tetap suara itu makin menguat sehingga melengking-lengking seperti ada ribuan orang sedang bertempur, membuat hati Ayu Puspa menjadi miris dan iapun menutupi kedua telinganya dengan tangan Tiba-tiba Ayu terbelalak melihat pohot randu alas yang tinggi besar itu tumbang ke arah Parmadi. Ayu Puspa menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi telinganya dan ia menjerit.

   "Kakang Parmadi.... lari... cepat".?!' Akan tetapi ia melihat dengan wajah pucat betapa pohon itu telah tumbang dengan suara berkerosakan dan tampaknya menimpa tubuh Parmadi! "Kakang Parmadi ! Kakang.... !"

   Ay Puspa terisak menangis, akan tetapi masih takut untuk mendekati pohon yan tumbang, hanya kedua matanya yang basah air mata itu mencari-cari.

   "Ayu, kenapa engkau menangis?"

   Suaras lembut itu terdengar menegur di belakangnya. Ayu Puspa cepat membalik dan ternyata Parmadi telah berdiri di belakangnya. Gadis itu mengeluarkan seruan setengah tawa setengah tangis dan menubruk lalu merangkul pinggang Parmadi. Parmadi juga memeluk kedua pundak gadis itu. Mereka berpelukan dan sesaat kemudian Parmadi terbelalak, perlahan-lahan melepaskan rangkulan mereka. Dia terkejut dan heran. Dia telah berpelukan dengan seorang gadis yang baru saja dikenal dan dijumpainya!

   Segalanya terjadi begitu saja, seolah wajar. Padahal, tentu saja tidak wajar seorang pemuda berangkulan dengan seorang gadis, padahal mereka baru saja berkenalan. Semua ini mungkin digerakkan oleh rasa lega, girang, haru dan baru saja terlepas dari cengkeraman ketegangan. Melihat Parmadi melepaskan rangkulan dan memandang ke arah belakangnya dengan alis berkerut dan mata bersinar, Ayu Puspa cepat membalikkan tubuhnya dan iapun terbelalak. Seekor buaya yang kulitnya

   (Lanjut ke Jilid 19)

   Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19

   berwarna putih, besar dan panjang sekali, berjalan cepat menghampiri mereka, kini berada dalam jarak empat meter dari mereka!

   "Hemm, ini penunggu Kedung Srengenge kiranya,"

   Parmadi berbisik dan aneh sekali, kembali dia teringat akan kisah Joko Tingkir! Ada dua macam "penunggu"

   Tempat angker, yaitu roh jahat yang tidak tampak dan mahluk jadi-jadian seperti buaya putih ini. Untuk menghadapi roh jahat yang tidak tampak, suara sulingnya dengan Aji Sunyatmaka (Berjiwa Bebas) yang dibimbing oleh Kekuasaan Roh Suci cukup untuk mengusir roh-roh jahat. Akan tetapi untuk melawan mahluk jadi-jadian, selain kekuatan jiwa, diapun harus mempergunakan kekuatan jasmani.

   Tiba-tiba Ayu Puspa dengan sigap melompat ke depan Parmadi seperti hendak melindungi, menghadapi buaya itu dan berkata, sikapnya gagah, tidak lagi ketakutan seperti tadi.

   "Mundurlah, Kakang Parmadi. Biarlah yang ini serahkan saja padaku!"

   Tangan kanannya bergerak dan ia sudah mencabut sebatang patrem yang tajam mengkilat dan runcing. Senjata wanita ini tadi ia sembunyikan di balik bajunya, terselip di pinggangnya yang ramping. Agaknya ia menyangka bahwa Parrnadi hanya pandai mengusir setan dan tidak memiliki kedigdayaan untuk melawan binatang buas itu. Sebaliknya, melihat sikap gadis yang gerakannya cukup tangkas itu, Parmadi merasa kagum dari tersenyum, membiarkan gadis itu menghadapi buaya putih. Tentu saja diapun selalu siap siaga untuk melindungi, kalau-kalau gadis itu terancam bahaya!

   Dengan langkah ringan, agak berjungkit Ayu Puspa menghampiri buaya itu. Matanya bersinar-sinar, bibirnya agak tersenyum dan wajahnya sama sekali tidak membayangkan rasa takut. Buaya itu panjangnya tidak kurang dari empat meter! Kini binatang itu tidak bergerak lagi, rnelainkan membuka moncongnya yang lebar, yang dapat memangsa manusia dengan sekali telan. Matanya tak pernah berkedip dan tampaknya seperti mati kalau saja tidak tampak ekornya yang panjang dan bergigi kokoh seperti gergaji itu tidak bergerak-gerak sedikit.

   "Awas ekornya!"

   Kata Parmadi yang merasa khawatir juga karena dia pernah mendengar bahwa serangan buaya yang amat berbahaya adalah apabila ia mempergunakan ekornya untuk memukul ke depan. Terpukul ekor seperti itu sampai saja dengan terpukul palu godam besi yang bergigi!

   Mendengar seruan Parmadi, Ayu Puspa menoleh dan tersenyum sambil mengibaskan tangan kirinya, seolah memberi isyarat kepada pemuda itu agar jangan khawatir. Seolah melawan seekor buaya putih raksasa ini merupakan permainan biasa saja baginya. Gadis itu memandang rendah binatang buas itu! Hal ini mengkhawatirkan hati Parmadi. Tentu gadis itu tidak mengira bahwa mahluk yang ia hadapi itu bukan mahluk biasa melainkan seekor binatang yang sudah dikuasai roh jahat sehingga menjadi berbahaya sekali, jauh lebih berbahaya dari pada binatang buas biasa!

   Melihat gadis itu menghampirinya, buaya yang tadinya diam seperti sepotong kayu itu, tibatiba, tanpa tanda apapun, sudah menerkam ke depan dengan moncongnya yang terbuka sejak tadi. Moncong itu terbuka lebar, memperlihatkan gigi yang kokoh dan runcing, menyambar ke arah tubuh Ayu Puspa.

   "Aihhh". !"

   Ayu Puspa berseru lincah jenaka dan seperti bermain-main, suaranya melengking dan tubuhnya sudah mengelak ringan dan cepat ke samping sehingga gadis itu berada di samping kiri buaya itu. Akan tetapi pada saat itu juga, ekor buaya itu menyambar dari belakang dengan kekuatan yang akan mampu memecahkan batu karang yang besar.

   "Heeiiiiiitt!"

   Tubuh gadis itu sudah melompat ke atas sehingga ekor buaya itu menyambar di bawah kakinya. Parmadi tersenyum dan hilang kekhawatirannya. Ternyata gadis itu memiliki gerakan yang cukup lincah dan cepat, terlalu cepat bagi gerakan buaya yang lamban dan hanya mengandalkan tenaga besar itu.

   Tubuh Ayu Puspa mencelat ke atas dan ia turun sengaja ke atas punggung buaya yang bergigi seperti gergaji itu. Parmadi mengerutkan alis lagi. Betapa beraninya gadis itu! Ayu Puspa memang lincah dan gesit Setelah kedua kakinya hinggap di atas punggung buaya yang lebar itu, ia berteriak.

   "Mampuslah kau!"

   Tangan yang memegang patrem itu bergerak ke bawah, menusukkan patremnya yang runcing mengkilat ke arah kepala binatang itu.

   "Nuuttt trakkk!!"

   Ayu Puspa menjerit kecil ketika senjatanya bertemu dengan kulit kepala yang keras dan kuat seperti baja! Patremnya membalik dan sama sekali tidak melukai kepala itu.

   "Ayu"..awas".!"

   Parmadi kembali berseru karena dia melihat ekor buaya itu kembali menyerang dari belakang. Ekor itu menyambar ke atas lalu menghantam ke arah gadis yang hinggap punggungnya!

   "Blarrr...!"

   Ekor itu menghantam punggung buaya sendiri mengeluarkan suara keras ketika Ayu Puspa sudah melompat dan mengelak ke samping kiri. Akan tetapi buaya itu menggerakkan moncongnya ke kiri dan moncong itu menyambar ke arah kaki Ayu Puspa. Kembali gadis itu mengelak sambil melompat. Akan tetapi kini ia kewalahan juga karena ke mana pun ia mengelak, ekor dan moncong buaya itu bergantian menyambar sehingga Ayu tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Pula, apa artinya serangannya? Kulit buaya itu amat kuatnya, tidak akan dapat ditembusi patremitya. Ia hampir kehilangan akal, akan tetapi dasar gadis pemberani, ia malu kalau harus mundur dan menyerah. Maka, ia pun sedapatdapatnya membalas dengan tendangan-tendangan kakinya. Biarpun ia menggunakan tenaga dalam, tetap saja tubuh besar buaya itu tidak bergeming, bahkan kedua kakinya terasa panas dan nyeri kalau menendang dan bertemu dengan kulit buaya.

   Biarpun gadis itu tidak mengeluarkan keluhan, namun Parmadi maklum bahwa gadis itu kewalahan dan merasa kedua kakinya nyeri, maka dia menjadi tidak tega.

   "Ayu, serang matanya! Matanya!"

   Mendengar seruan Parmadi ini, Ayu menjadi girang. Baru ia teringat dan ketika ekor itu menyambar pula dari samping, ia melompat ke atas punggung binatang itu dan secepat kilat patremnya bergerak meluncur turun, tepat mengenai mata kanan binatang itu. Begitu patremnya melukai mata, Ayu cepat melompat jauh. Binatang itu mengeluarkan suara yang mengerikan.

   Tubuhnya berguling-guling, ekornya menyambar-nyambar ke kanan kiri, moncongnya menyerang dengan ngawur dan mata kanannya berdarah. Lalu dia meluncur ke arah sungai dan meluncur turun. Terdengar bunyi air muncrat ketika tubuh buaya besar itu menimpa air. Ayu Puspa sudah berlari ke tepi sungai. Ia melihat buaya itu masih menongolkan kepala di permukaan air dan matanya yang kanan terobek.

   "Awas kau!"

   Kata gadis itu lantang sambil mengacung-acungkan patremnya.

   "Kalau engkau masih berani mengganggu perahu yang lewat di Kedung Srengenge ini, aku pasti akan mencarimu dan membunuhmu!"

   Buaya itu menyelam dan tidak tampak lagi. Parmadi sudah berdiri di sisinya.

   "Mudah-mudahan dia takut mendengar ancamanmu tadi, Ayu,"

   Kata Parmadi serius.

   "Eh, apa kaukira dia mengerti katakataku, Kakang Parmadi?"

   "Tentu saja dia mengerti. Dia bukan huaya biasa, Ayu. Karena itulah dia begitu kuat dan cerdik."

   "Ah, betapa bodoh aku ini. Tidak ingat bahwa kelemahan buaya itu pada matanya yang tidak kebal. Aku sungguh bodoh!"

   "Engkau? Bodoh? Wah, baru sekali ini aku menyaksikan seorang gadis bertanding melawan buaya putih jadi-jadian dan berhasil melukai dan mengusir binatang itu. Sungguh engkau gagah perkasa, benar-benar seperti Srikandi!"

   Ayu Puspa menyimpan patremnya, setelah membersihkan noda darah dengan air di tepi sungai, lalu memandang pemuda itu sambil tersenyum.

   "Mana mungkin aku seperti Srikandi? Srikandi itu kan cantik jelita, selain gagah perkasa?"

   "Siapa bilang engkau tidak cantik jelita, Ayu? Baru namamu saja sudah ayu (cantik). Engkau bahkan lebih ayu mani merak ati ketimbang Srikandi!"

   "Aih, rayuan gombal! Masa aku lebih cantik ketimbang Srikandi?"

   "Aeh, tidak percaya? Srikandi itu kalau sudah tua dan menjadi nenek-nenek tentu tidak cantik lagi. Akan tetapi engkau, biar nanti sampai berusia seratus tahun sekalipun, masih tetap Ayu."

   "Tentu saja! Memang namaku Ayu Tapi Srikandi yang ini, kakang, kalau tadi tidak ada nasihat dari Raden Permadi, tentu sudah menjadi mangsa buaya putih!"

   "Ah, sudahlah, tak mungkin menang aku berbantahan denganmu. Lihat itu, sudah terjadi perubahan, bukan?"

   Parmad menunjuk ke arah pusaran air. Ayu Puspa memandang dan ia mengangguk senang. Air ulekan yang tadinya amat kuat dan tampak mengerikan itu, kini hanya merupakan pusaran air yang lemah dan biasa saja. Biasa terjadi pada air sungai yang menikung tajam.

   "Hemm, Kedung Srengenge kini tidak merupakan tempat angker lagi bagi para nelayan dan tukang perahu."

   Ia berhenti sebentar, lalu memandang ke arah pohon randu alas yang tumbang, kemudian menoleh kepada Parmadi dan bertanya dengan suara penuh keheranan, kekaguman dan ingin tahu sekali.

   "Akan tetapi, Kakang Parmadi, ketika tadi engkau meniup sulingmu secara aneh, kenapa pohon besar itu tiba-tiba tumbang?"

   Terpaksa Parmadi berterus terang karena kiranya tidak mungkin membohongi gadis yang cerdik ini.

   "Guruku mengajarkan aku meniup suling untuk mengusir setan yang biasa menggoda manusia. Pohon itu dihuni setan. Setelah aku meniup sulingku, dia tidak tahan, harus pergi dari sini dan untuk melampiaskan kemarahannya, dia menumbangkan pohon tempat tinggalnya itu."

   "Bukan main! Kalau begitu, dia sengaja menumbangkan pohon itu ke arahmu, untuk menimpamu, kakang?"

   Parmadi mengangguk.

   "Hanya itu yang dapat dia lakukan terhadap manusia. Untung aku dapat menghindar sebelum pohon itu menimpaku."

   "Aku tadi khawatir dan takut sekali kakang. Aku tidak melihat engkau menghindar. Kukira engkau tertimpa pohon."

   Parmadi teringat betapa gadis itu tadi merangkulnya. Masih terasa kehangatan tubuh yang lembut dan padat itu dan wajahnya menjadi kemerahan. Laki-laki mana yang tidak akan terguncang hatinya kalau dirangkul ketat seorang gadis sejelita Ayu Puspa?

   "Terima kasih atas perhatianmu, Ayu."

   "Sudahlah, di antara kita tidak ada terima kasih-terima kasihan, bukan? Kita sudah menjadi sahabat dan karena itu kita perlu lebih mengetahui keadaan masing-masing. Mari duduk, kakang, agar lebih enak kita bicara."

   Gadis itu duduk di atas batu besar dan Parmadi lalu duduk di depannya. Sejenak mereka saling pandang. Melihat sikap gadis itu demikian terbuka, tidak malumalu menatapnya penuh selidik, membayangkan kejujuran yang wajar, Parmadi juga merasa cepat akrab dengan Ayu Puspa.

   "Nah, sekarang siapa yang akan menceritakan keadaan dirinya lebih dahulu,"

   Kata Ayu.

   "Kenapa kita harus saling menceritakan keadaan masing-masing?"

   Tanya Parmadi.

   "Lha, tentu saja! Tentu saja! Seorang sahabat harus mengetahui keadaan sahabatnya, kalau tidak begitu, perkenalan itu belum matang namanya dan mana bisa disebut sahabat kalau tidak tahu apa-anpa tentang sahabatnya?"

   "Baiklah, kurasa engkau yang harus lebih dulu menceritakan keadaan dirimu karena engkau lebih muda dariku, Ayu."

   "Wah, mana bisa begitu! Engkau laki-laki, kakang, dan sudah sepantasnya, bukan, kalau laki-laki itu harus selalu mengalah terhadap wanita? Apakah dalam mendahului menceritakan riwayat ini engkau sebagai laki-laki tidak mau mengalah terhadap aku?"

   Gadis itu menegakkan kepalanya, membusungkan dadanya yang montok dan matanya berbinar-binar. Parmadi tertawa, tak berdaya menghadapi gadis yang pandai bicara dan pandai berdebat itu.

   "Baiklah, akan tetapi engkau aka mengantuk mendengar cerita tentang diriku. Habis tidak ada apa-apanya yang menarik. Aku menjadi yatim piatu sejak usia sepuluh tahun....

   "

   "Sama!"

   Ayu memotong.

   "Heh? Apanya yang sama?"

   "Yatim piatunya!"

   "Ah, begitukah? Aku girang sekali!"

   Kata Parmadi.

   "Apa?"

   Ayu menteleng (memandang marah).

   
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau girang sekali mendengar aku sudah yatim piatu? Sadis kau!"

   "Eh, bukan, Ayu. Bukan yatim piatu nya. Aku girang karena aku mempunyai sahabat senasib, jadi tidak menderita seorang diri."

   "Huh, mementingkan diri sendiri itu namanya. Lanjutkan!"

   "Mementingkan diri sendiri?"

   Parmadi mengejar.

   "Tentu saja. Kalau senang, mau dinikmati sendiri. Kalau susah, ingin mengajak orang lain. Apa namanya itu kalau bukan mementingkan diri sendiri? Hayo, lanjutkan ceritamu. Takkan ada habisnya kalau putar-putar begitu."

   "Baiklah. Sampai di mana ceritaku tadi."

   "Engkau yatim piatu."

   "Oya, aku yatim piatu. Namaku Parmadi."

   "Sudah tahu!"

   "Hemmm oya, ketika itu aku tinggal di dusun Pakis, di lereng Gunung Lawu, setelah kedua orang tuaku meninggal, aku bekerja mengurus kuda milik demang di sana. Setelah aku berusia delapan belas, aku bertemu dengan guruku yang bernama Resi Tejo Wening dan aku hidup bersama guruku di puncak Gunung Lawu bersama guruku...."

   "Sama!"

   "Apanya?"

   "Akupun tinggal bersama kakekku di puncak gunung! Bukan Gunung Lawu, akan tetapi Gunung Wilis!"

   "Selama lima tahun aku tinggal bersama guruku di Puncak Lawu. Kemudian aku disuruh turun gunung dan aku melakukan perjalanan merantau. Nah, hari ini kebetulan perantauanku membawa sampai di sini, perahuku diseret pusaran air dan engkau menolongku lalu kita berkenalan dan sekarang kita duduk di atas batu bercakap-cakap".."

   "Sudah tahu! Cuma begitu saja kisah tentang dirimu?"

   "YA, hanya begitulah."

   "Hemm, sama!"

   Parmadi mengerutkan alisnya. Seorang pendengar cerita yang sama sekali tidak menyenangkan hati yang bercerita, celanya dalam hati.

   "Sama apanya lagi?"

   Dia bertanya, agak ketus.

   "Sama tidak menariknya dengan cerita tentang aku."

   "Aku tidak percaya. Cerita tentang dirimu pasti menarik hati sekali. Hayo veritakanlah, kini tiba giliranmu."

   "Baik, dengarlah. Namaku kau sudah tahu. Usiaku sampai hari ini delapan belas tahun."

   "Aku lebih tua lima tahun. Usiaku dua puluh tiga tahun!"

   "Sejak usia sepuluh tahun aku ditinggal mati ayah ibuku. Aku lalu hidup bersama kakekku yang bernama Kyai Jayawijaya. Kakek juga menjadi guruku dan kami tinggal di Puncak Gunung Wilis sampai tiga bulan yang lalu. Kakek mengajak aku turun gunung dan tinggal di tepi bengawan ini sampai sekarang. Hari ini aku bermain-main di sini, melihat perahumu dibawa pusaran air, kulemparkan pengait dan kutarik ke tepi. Kau usir setan di randu alas dan kuusir buaya puti lalu kita duduk di sini bercakap-cakap...

   "

   "Wah, ceritamu benar-benar kering!"

   Parmadi mencela.

   "Apalagi cerita tentang dirimu! Kering kerontang!"

   Balas Ayu.

   "Mending mendengar cerita tentang Srikandi, seperti Srikandi Belajar Memanah, Srikandi Mengejar Maling, dan sebagainya."

   "Cerita tentang Raden Permadi lebih bagus lagi, seperti Permadi Merebut Puteri, Permadi Merampas Isteri Palgunadi dan lain-lain."

   "Akan tetapi Permadi kan laki-laki gagah perkasa, satria utama arif bijaksawa!"

   Parmadi membela tokoh yang namanya mirip dengan namanya sendiri itu.

   "Srikandi juga wanita gagah perkasa, tidak gentar melawan siapa saja, termasuk laki-laki yang sombong dan mau menang sendiri, seperti engkau misalnya!"

   Parmadi terbelalak dan melompat turun dari atas batu, berdiri tegak memandang gadis itu.

   "Apa maksudmu? Engkau"engkau menantang aku?"

   Tanyanya penasaran karena ucapan dan suara gadis itu terdengar semakin menggatalkan kepala dan memanaskan telinga.

   Ayu juga melompat turun dan berdiri berhadapan dengan pemuda itu, sikapnya menantang.

   "Aku tidak menantang siapapun, akan tetapi kalau dianggap menantang, jangan dikira aku takut!"

   Parmadi tertarik. Gadis ini sungguh luar biasa. Hatinya sekeras baja, kepalanya sekeras besi. Timbul keinginan hatinya untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu kanuragan yang dimiliki gadis ini.

   "Baiklah. Engkau tidak takut, akupun tidak takut. Memang perkenalan tanpa pertandingan terasa hambar. Mengenal keadaan masing-masing termasuk kedigdayaannya, itu baru mematang-kan perkenalan. Mari, mari kita saling menguji sampai di mana kemampuan kita masing masing,"

   Kata Parmadi.

   "Baik! Aku sudah siap!"

   Kata Ayu Puspa dan ia sudah membuat gerakan pembukaan yang indah dan gagah sekali. Tubuhnya miring, kedua kaki ditekuk lututnya, tangan kiri diangkat ke atas punda dengan jari-jari terbuka melengkung, tangan kanan menyilang pusar dengan jari-jari terbuka pula.

   "Mulailah!"

   "Aku juga sudah siap. Mulailah lebih dulu!"

   Kata Parmadi.

   "Kau dulu!"

   Bentak Ayu.

   "Kau dulu!"

   Kata Parmadi.

   "Tidak, kau dulu!"

   Ayu berkukuh.

   Hemm, bocah ini, segalanya tak mau kalah, pikir Parmadi.

   "Baik, kau sambutlah seranganku ini!"

   Dia lalu melangkah maju, tangan kirinya menampar ke arah pundak kanan Ayu. Gadis itu dengan gerakan ringan dan gesit sekali sudah mengelak dengan merendahkan tubuh dan menggeser kaki ke samping, lalu dari samping kakinya yang mungil mencuat, menyambar sebagai tendangan kilat ke arah lambung Parmadi! Parmadi dapat pula mengelak dengan kagum karena tendangan itu merupakan serangan balasan yang tepat, kuat dan cepat sekali. Dia lalu membalas lagi dengan pukulan bertubi, menggunakan kedua tangannya, yang kanan menampar ke arah leher, yang kiri mencengkeram ke arah pundak. Serangan ini juga cepat dan gerakannya mendatangkan angin tanda bahwa serangan didukung tenaga kuat.

   Namun kembali Ayu memperlihatkan kelincahannya. Ia dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan gerakan tubuhnya yang lentur, mengelak dengan indah sekaligus mencari posisi yang tepat mntuk melancarkan serangan balasan berupa tonjokan dengan tangan kanan terkepal ke arah ulu hati lawan sedangkan kembali kakinya menyusulkan tendangan yang cepat dan kuat sekali, yang dituju lutut lawan yang kalau mengenai sasaran dengan tepat tentu dapat membuat sambungan tulang terkilir.

   Parmadi sekali ini tidak mengelak Dia ingin mengukur kekuatan gadis itu maka dia sengaja menangkis pukulan ke arah dadanya dan menangkis pula tendangan itu dengan kakinya yang bergerak dari samping. Tentu saja dia membatasi tenaganya, karena dia tidak ingin membuat gadis itu malu, apalagi sampai cidera.

   "Plakk! Dukkk...!!"

   Parmadi merasaka betapa tenaga sakti gadis itu cukup kuat dan diamdiam dia merasa kagum. Gadis ini, baik kecepatan, tenaga maupun keindahan permainan silatnya, jauh berada di atas kemampuan Muryani ketika dia meninggalkan Muryani kurang lebih enam tahun yang lalu! Di lain pihak, Ayu Puspa menggigit bibir bawahnya. Tangkisan pada tangan kanannya hanya membuat tangan itu terpental, akan tetapi ketika kakinya bertemu dengan kaki Parmadi beradu tulang betis, ia merasa tulang betisnya nyeri, kiut-miut rasanya seperti tulang betisnya itu bertemu dengan besi! Ia menjadi penasaran dan marah.

   "Heeiiiiittt!!"

   Ia menyerang dan kini agaknya ia mempergunakan aji pukulan yang mengandung hawa sakti sepenuhnya sehingga angin yang dahsyat mendahului pukulan itu menerpa ke arah perut Parmadi!

   Parmadi kini melawan dengan Aji Sunya Hasta (Tangan Kosong) dan ke manapun lawan menyerang, secara otomatis tangannya sudah menyambut dengan sentuhan lembut, bukan tangkisan yang menggunakan tenaga keras melawan keras. Ayu Puspa terkejut bukan main, terkejut dan heran. Semua pukulannya bertemu dengan tangan Parmadi seperti bertemu dengan kapas yang lembut, atau lebih tepat seperti bertemu dengan air saja. Pukulannya itu "tenggelam"

   Dan kehilangan tenaganya! Namun, dasar ia seorang gadis yang berhati baja, ia semakin penasaran dan menyerang terus sehingga kalau ada orang biasa menonton pertandingan itu, tentu akan mengira bahwa ia yang mendesak lawan, karena ia yang terus-terusan menyerang.

   "Hua-ha-ha-ha! Kalau sudah kalah maju terus, itu namanya nekat tapi bodoh! Ayu, mundurlah, orang ini bukan lawanmu, lebih pantas melawan aku!"

   Mendengar ucapan itu, Ayu Puspa melompat ke belakang dan wajahnya berubah kemerahan. Tadinya ia masih penasaran, akan tetapi setelah mendengar ucapan kakeknya ini, barulah ia sadar betul bahwa ia benar-benar bukan tandingan Parmadi dan bahwa sejak tadi pemuda itu selalu mengalah. Sementara itu, Parmadi memandang kakek itu dengan kagum. Seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh sedang, berwajah bersih tampan tanpa kumis atau jenggot, dan wajah itu tampak menarik karena cerah; dan gembira sekali, penuh senyum.

   "Orang muda, mari kita main-main sebentar. Sambut seranganku ini!"

   Orang tua itu menerjang ke depan, tangan kirinya menampar dan Parmadi merasa betapa ada angin yang amat dahsyat menyambar ke arahnya. Dia maklum bahwa penyerangnya seorang yang sakti dan agaknya inilah kakek Ayu yang diceritakannya tadi. Diapun cepat memainkan Aji Sunya Hasta dengan pengerahan kekuatan yang lebih besar.

   "Plak-plak-plak". !"

   Tiga pukulan berlurut-turut kakek itu ditangkisnya dengan telapak tangan dan kakek itu terkejut bukan main ketika merasa betapa serangannya seperti bertemu air ketika ditangkis tangan pemuda itu.

   Dia mundur empat langkah, lalu berseru.

   "Orang muda, kau sambutlah ini!"

   Dan diapun mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke depan. Parmadi maklum bahwa kakek itu menyerangnya dengan pukulan jarak jauh, mengandalkan tenaga sakti yang menyambar ke arahnya dengan amat kuat. Diapun mendorongkan kedua tangan menyambut tentu saja dengan membatasi tenaga dan hanya menggunakan tenaga untuk bertahan, bukan menyerang karena sama sekali dia tidak ingin mencelakai kakek yang dia tahu hanya ingin mengujinya itu.

   "Wuuuttt"desss".!"

   Kakek itu mengeluarkan suara tawa kaget ketika dia terhuyung ke belakang, terdorong oleh tenaga yang lembut namun kuat bukan main.

   "Lhadalah....! Aku berani bertaruh bahwa andika tentu keturunan dari Sang Resi Tejo Wening!"

   Kata kakek itu sambil membelalakkan matanya.

   "Benar, eyang (kakek)! Kakang Parmadi ini murid Resi Tejo Wening!"

   Kata Ayu Puspa.

   "Apa?"

   Kakek itu terbelalak memandang kepada Parmadi.

   "Namanya Permadi? Raden Janoko atau Arjuna?"

   Parmadi mau tidak mau tersenyum, Kakek dan cucunya ini sama saja, seperti tidak bisa serius.

   "Bukan, paman. Nama saya Parmadi dan bagaimana paman dapat menduga bahwa saya mempunyai hubungan dengan Eyang Resi Tejo Wening?

   "Ha-ha, mudah saja. Siapa lagi kalau bukan Kakang Resi Tejo Wening yang mampu menurunkan kesaktian seperti itu kepadamu?"

   "Kalau begitu, paman...."

   "Hei, Kakang Parmadi! Apa kaukira engkau ini sudah tua betul? Usiamu hanya berselisih lima tahun dariku. Sepantasnya engkau menyebut eyang kepada kukekku!"

   Tiba-tiba Ayu memotong.

   Parmadi menjadi bingung dan salah tingkah.

   "Ha-ha!"

   Kakek itu tertawa.

   "Ayu benar, lebih menyenangkan hatinya kalau andika menyebut eyang padaku."

   "Kalau engkau menyebut paman kepada kakekku, akupun akan menyebut pakde (uwa) padamu!"

   Kata lagi Ayu.

   Parmadi tersenyum.

   "Baiklah, aku akan menyebut eyang kepada kakekmu. Eyang, kalau begitu eyang tentu telah mengenal guru saya."

   "Mengenal Kakang Resi Tejo Wening? Ha-ha-ha, dia itu penolongku, dan gurumu yang membuka mataku melihat kenyataan dunia dan kehidupan. Kalau aku tidak bertemu dia, tentu aku masih terus berlomba dengan semua orang untuk mengejar kesenangan melalui kedudukan, harta, dan wanita. Dialah yang menganjurkan agar aku meninggalkan semua kesia-siaan itu dan mengasingkan diri di puncak Gunung Wilis. Dia itu boleh dibilang guruku, Parmadi, guru olah batin. Akan tetapi, yang mengherankan hatiku, mengapa kalian tadi berkelahi? Ayu, kenapa tadi engkau bertanding melawan Parmadi?"

   Ayu cemberut dan mengerling ke arah Parmadi.

   "Habis dia sih...!"

   Katanya manja, bibirnya cemberut akan tetapi malah menjadi manis.

   "Maaf, eyang. Ayu".. ia tadi menantang, terpaksa saya layani bertanding."

   "Bohong! Tidak, eyang. Dia yang menantang. Malah katanya, perkenalan tanpa bertanding rasanya hambar. Memangnya aku takut?"

   "Ha-ha-ha-ha! Maklumlah, Parmadi. Ayu memang begitu, kepala batu, hatinya keras, tukang membantah dan berdebat, seperti aku dulu! Ha-ha-ha, seperti aku dulu. Akan tetapi hatinya tidak seperti aku, hatinya baik sekali."

   "Saya tahu, eyang, dan saya kagum dan senang sekali melihat Ayu yang terbuka, jujur, polos, biarpun berwatak keras, namun hatinya selembut kapas dan baik sekali. Ia bijaksana dan gagah. Tadipun ketika perahu saya terbawa pusaran air, Ayu yang menolong saya dengan mengait perahu saya dan menariknya dari seretan pusaran air."

   "Ha-ha-ha, sudah beberapa kali cucuku ini menyelamatkan tukang perahu yang terancam bahaya di Kedung Srengeng juga dengan cara yang sama."

   "Akan tetapi sekali ini aku kecelik eyang. Kakang Parmadi mempermainkan aku. Tidak tahunya dia seorang yang sakti mandraguna, kalau dia kehendaki, tentu dapat lolos dari pusaran air. Ketahuilah, eyang. Tadi dengan suara sulingnya, eh.... dia dijuluki Seruling Gading, eyang. Dengan seruling gadingnya itu dia memainkan lagu aneh dan setan penghuni randu alas itu diusirnya. Sebelum minggat setan itu menumbangkan pohon randu alas itu, hampir saja menimpa Kakang Parmadi. Dan muncul buaya putih raksasa. Aku melukai matanya dengan patremku dan buaya putih itu lari ke air dan lihat sekarang pusaran air itu kecil dan lemah saja, tidak ada bahaya lagi mengancam tukang perahu yang lewat Kedung Srengeng."

   Parmadi dengan heran melihat kakek itu tampak terkejut bukan main. Mata kakek itu terbelalak lebar dan wajahnya yang selalu cerah gembira itu tampak hawatir.

   "Apa katamu? Benarkah itu, Parmadi, bahwa andika telah mengusir penunggu kedung yang berada di dalam randu alas, dan Ayu telah melukai mata seekor buaya putih raksasa?"

   "Eyang, buaya itu kebal sekali. Serangan patremku tidak mampu menembus kulitnya. Untung Kakang Parmadi mengigatkan aku agar menyerang matanya dan aku berhasil melukai matanya sehingga dia melarikan diri ke sungai,"

   Kata Ayu.

   "Benar apa yang dikatakan Ayu, eyang. Melihat bahwa randu alas ini ada penghuninya yang suka mengganggu orang, maka terpaksa saya menggunakan suara seruling gading untuk mengusirnya. Kemudian muncul buaya putih raksasa itu dan Ayu segera menandinginya dengan gagah berani."

   "Aduh celaka! Celaka sekali ini!"

   Kakek itu mengeluh dan mengangkat kedua tangan ke atas.

   "Eh, eyang ini kenapakah? Apanya yang celaka? Bukan kita, melainkan setan penghuni randu alas dan buaya putih sialan itu yang celaka!"

   Kata Ayu Puspa

   "Eyang, ada apakah? Harap eyang suka menjelaskan, mengapa eyang merasa khawatir?"

   Tanya pula Parmadi dengan heran. Kakek itu seorang sakti mandraguna, kenapa tampak demikian ketakutan?

   "Oo, kalian tidak tahu. Akupun baru saja mendengar dan belum sempat menceritakan kepada Ayu. Lihat di sana itu!"

   Dia menuding ke arah pohon randu alas. Di dekat batang pohon yang tinggal beberapa jengkal tingginya karena tumbang tadi tampak tumpukan abu meninggi dan ada pula beberapa buah anglo kecil yang biasa dipergunakan orang untuk kutu (membakar kemenyan). Juga terdapat tumpukan bunga-bunga yang telah mernbusuk. Jelas bahwa tempat itu dikeramatkan orang dan dipuja-puja dengan kembang-menyan. Melihat ini, Parmadi tersenyum Sulit dipercaya bahwa kakek yang sakti mandraguna ini, bahkan pernah mendapat bimbingan dalam hal olah batin dari Resi Tejo Wening, menjadi seorang yang takhyul dan takut kepada segala macam roh jahat!

   "Hal itu sudah biasa, eyang. Justeru karena dikeramatkan orang dan dipuja-puja, dikutuki, maka roh jahat yang menghuni pohon randu alas itu menjadi semakin kuat. Tentu para penduduk dusun yang melakukannya."

   Kyai Jayawijaya menggeleng kepalauya kuat-kuat.

   "Bukan, bukan para penduduk dusun, akan tetapi sebuah perkumpulan gerombolan yang berbahaya. Tadinya aku mendengar dari penduduk dekat sini bahwa ada segerombolan orang aneh yang sering melakukan pemujaan di bawah pohon randu alas, terutama pada malam Jumat dan Selasa Kliwon. Karena kabarnya pernah ada lima orang penduduk dusun yang berani mengintai gerombolan itu ditemukan tewas di sini dan tubuh mereka luka-luka seperti diserang binatang buas, maka aku menjadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri. Ketika aku mengintai dan melakukan penyelidikan, aku mendapat kenyataan bahwa mereka adalah gerombolan yang menamakan diri mereka Warga Bajul Petak (Warga Buaya Putih) dan mereka menyembah buaya putih dan randu alas yang tumbuh di sini. Mereka mempraktekkan ilmu-ilmu hitam yang amat berbahaya dan jumlah merekapun tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin ketua mereka yang bernama Bajul Sengoro yang kabarnya sakti mandraguna dan ahli sihir dan ilmu hitam yang berbahaya. Menurut penyelidikanku, gerombolan itu suka berkeliaran di sepanjang Bengawan Solo, akan tetapi sarang mereka adalah di daerah Pegunungan Kendeng tak jauh dari Randu Blatung. Sekarang, Parmadi telah mernbikin bikin randu alas tempat pemujaan mereka itu tumbang, bahkan Ayu telah melukai mata buaya putih raksasa. Hal ini pasti, akan menimbulkan akibat. Warga Bajul Petak pasti tidak akan tinggal diam saja tempat pujaan mereka dirusak dan bahkan makhluk pujaan mereka dilukai."

   "Aih, eyang ini. Begitu saja mengapa hawatir? Kalau memang mereka datang hendak membalas dendam, di sini ada kita bertiga yang akan menghancurkan para pemuja setan dan iblis itu!"

   Kata Ayu dengan sikap gagah.

   Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar, eyang. Penunggu randu alas dan buaya putih itu jelas tidak benar. Mereka mengganggu orang-orang berperahu yang lewat di sini maka sudah sepatutnya kalau mereka itu ditentang dan diusir dari tempat ini. Kalau ada perkumpulan gerombolan pemuja randu alas dan buaya putih hendak menuntut balas, berarti mereka itu jahat pula dan saya siap membantu eyang untuk menghadapi mereka,"

   Kata Parmadi dengan tenang.

   Kyai Jayawijaya yang biasanya selalu tersenyum gembira itu kini memaksa diri tersenyum, walaupun sinar matanya masih membayangkan kegelisahan hati.

   "Parmadi dan Ayu, ketahuilah bahwa yang tua ini sama sekali tidak merasa takut dan khawatir. Aku percaya bahwa kita akan mampu menghadapi tantangan dari manapun datangnya, apalagi ada Parmadi di sini. Akan tetapi bukan itu yang kukhawatirkan. Aku teringat akan nasihat Kakang Resi Tejo Wening. Beliau yang mengajarku mendapatkan ketenangan hidup sehingga aku mengasingkan diri selama lima tahun di Puncak Gunung Wilis lalu pindah ke tempat sunyi di Lembah Bengawan Solo ini. Semata-mata untuk menikmati kedamaian dan menjauhkan diri dari permusuhan yang pernah kulakukan dulu sebagai jagoan. Siapa kira, hari ini aku malah menyebar bibit permusuhan dengan Warga Bajul Petak yang banyak jumlahnya. Apakah aku harus terpaksa mengandalkan kedigdayaan lagi dan membunuh banyak orang? Ah"

   Mengerikan sekali!"

   "Maaf, eyang, kalau perbuatan saya dan Ayu membuat eyang berduka karena merasa terpaksa bermusuhan dengan Warga Bajul Petak yang hendak membalas dendam. Akan tetapi saya juga memenuhi ajaran eyang guru Resi Tejo Wening ketika saya menumbangkan randu alas dan ketika kami melawan buaya putih, hal itu kami lakukan bukan semata-mata karena kami membenci mereka. Akan tetapi karena jelas bahwa penghuni randu alas dan buaya putih itu suka menganggu orang berperahu yang lewat di sini. Yang kami tentang adalah perbuatan mereka yang jahat bukan karena membenci orangya. Demikian pula, kalau gerombolan Warga Bajul Petak itu datang menyerang kita, sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka. Tugas kita adalah menundukkan mereka dan sedapat mungkin menyadarkan mereka dari perbuatan mereka yang jahat. Demikianlah satu di antara pelajaran yang saya terima dari eyang guru Resi Tejo Wening."

   "Andika benar, Parmadi,"

   Kata kakek itu sambil mengangguk-angguk dan kini wajahnya menjadi cerah kembali.

   "Awas".. !!"

   Tiba-tiba Ayu Puspa menjerit. Kyai Jayawijaya dan Parmadi juga telah melihat luncuran beberapa buah benda hitam ke arah mereka. Tiga orang ini cepat melompat jauh berlindung ke belakang sekumpulan batu besar.

   "Darr-darr-darr-darrr""!!"

   Asap mengepul tebal menyelimuti tempat itu. Alat peledak itu tidak mengenai tiga orang yang sudah berlindung di balik batu-batu besar.

   Setelah asap membubung ke atas dan keadaan di situ terang kembali, Kyai Jayawijaya, Parmadi dan Ayu Puspa melihat segerombolan orang yang jumlahnya kurang lebih dua puluh orang berada situ, bergerombol dekat pohon randu alas yang telah tumbang. Ayu Puspa memandang dengan mata terbelalak. Di antara dua puluh lebih orang yang berwajah bengis itu, terdapat empat "makhluk"

   Aneh yang bertubuh manusia akan tetapi kepalanya kepala buaya! Mata mereka mencorong dan moncongnya kadang bergerak terbuka memperlihatkan gigi-gigi runcing. Mereka semua berpakaian serba putih. Yang kepalanya kepala manusia biasa mengenakan pengikat kepala berupa kain putih pula dan di tangan mereka tampak senjata seperti golok, akan tetapi golok itu bergigi seperti ekor buaya! Mereka kini mendekati pohon randu alas yang telah tumbang, mengelilingi dan bicara dengan sikap marah. Ayu tidak dapat menahan diri lagi. Ia melompat keluar dari balik batu dan membentak.

   "Hei, gerombolan pemuja setan dan iblis yang terkutuk! Tempat pemujaan kalian telah kami hancurkan. Iblis yang kalian puja sudah minggat! Kami nasihatkan agar kalian kembali ke jalan benar, baru kami akan mengampuni kalian!"

   Parmadi dan Kyai Jayawijaya terpaksa berlompatan keluar karena gadis itu sudah memperlihatkan diri. Gerombolan orang-orang itu terkejut sekali dan semua memutar tubuh menengok dan menghadapi tiga orang itu. Seorang di antara mereka yang berkepala buaya itu tiba-tiba melemparkan tiga buah benda hitam sebesar kepalan tangan ke arah Parmadi, Ayu dan kakeknya. Maklum betapa bahayanya alat peledak yang dilemparkan itu, Aya dan kakeknya cepat mengelak sehingga dua buah benda itu meluncur lewat. Akan tetapi Parmadi cepat menyambar dan menangkap benda itu dengan tangan kirinya lalu melemparkan kembali kepada penyerangnya.

   Terdengar tiga kali ledakan, dua jauh di belakang Ayu dan yang sebuah lagi meledak di tengah-tengah kumpulan gerombolan itu. Asap membubung tinggi dan tiga orang anggauta gerombolan roboh! Gegerlah gerombolan itu. Mereka marah sekali. Didahului empat orang berkepala buaya itu, mereka segera menyerbu dan menyerang Parmadi, Ayu Puspa dan Kyai Jayawijaya, menggunakan golok bergigi mereka. Gerakan mereka rata-rata tangkas dan bertenaga, terutama empat orang berkepala buaya itu. Agaknya mereka memandang rendah kepada Ayu yang hanya seorang gadis muda, maka empat orang berkepala buaya itu berpencar, dua orang mengeroyok Parmadi dan dua orang lagi mengeroyok Kyai Jayawijaya! Selain dikeroyok dua orang berkepala buaya, Parmadi dan kakek itu masih dikeroyok oleh banyak anak buah gerombolan yang ratarata ganas. Sedangkan Ayu dikepung dan dikeroyok oleh delapan orang anak buah gerombolan yang wajah dan sepak terjangnya beringas dan menyeramkan!

   Terjadilah perkelahian yang amat seru. Parmadi yang dikeroyok sembilan orang termasuk dua orang berkepala buaya, bergerak lincah dan dengan kedua tangan dia menangkisi golokgolok bergigi itu dan membagi tamparan dan tendangan yang merobohkan beberapa orang pengeroyok. Dia membatasi tenaganya karena tidak ingin melakukan pembunuhan.

   Demikian pula Kyai Jayawijaya. Kakek perkasa ini agaknya juga berpendapat sama dengan Parmadi. Dia merobohkan beberapa orang tanpa membunuh mereka. Dan ternyata kakek ini memang gagah perkasa. Hal ini tidaklah mengherankan karena sesungguhnya Kyai Jayawijaya mewarisi aji kesaktian peninggalan mendiang Sunan Kalijogo. Tamparan tangan dan tendangan kakinya seperti geledek menyambar.

   Yang mengamuk hebat adalah Ayu Puspa. Gadis ini lain dengan kakeknya dan Parmadi. Ia marah melihat ulah gerombolan yang mengeroyoknya. Mereka tidak menggunakan golok, melainkan kedua tangan mereka seperti berebut hendak menangkapnya, dengan terkamanterkaman yang tidak sopan. Agaknya mereka itu seperti berlomba untuk dapat mencengkeram dan mendekapnya dan mulut mereka menyeringai menjemukan. Maka Ayu mengerahkan tenaganya dan setiap kali kaki atau tangannya menyambar mengenai sasaran, tentu ada tulang patah dan orangnya roboh terpelanting. Selagi ramai-ramainya pertempuran berlangsung, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi nyaring memekakkan telinga menggetarkan jantung. Kemudian berkelebat bayangan putih dan muncullah seorang berkepala buaya lain. Orang bertubuh tinggi besar, pakaiannya juga putih dan bukan hanya kepala buaya yang berkulit putih, akan tetapi kulit tangan dan kaki orang itupun putih, bahkan rambutnya juga putih agak kekuningan. Dia adalah seorang bule!

   Gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu dia sudah melompat dekat Ayu yang masih sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang. Tangan kiri orang berkepala buaya yang bule itu menyambar ke arah muka Ayu. Jari-jari tangan itu besar dan telapak tangannya lebar. Ayu terkejut bukan main ketika tahu-tahu ada tangan lebar sudah mendekati mukanya. Ia mencium bau harum seperti cendana yang membuat kepalanya terasa pening. Cepat ia mengge.rakkan tangan kanan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

   "Wuuuttt"

   Dukkk!"

   Tangkisannya bertemu dengan lengan yang lunak dan lentur seperti karet. Ayu terkejut dan sebelum ia dapat menghindarkan diri, tahu-tahu pinggangnya yang ramping telah dilibat lengan kanan orang bule berkepala buaya itu. Ia meronta, akan tetapi orang itu sudah melompat sambil membawa tubuhnya dan terdengar air berjebur, air muncrat ke atas ketika Ayu dibawa terjun ke tengah Kedung Srengenge dan tubuh mereka berdua terseret pusaran air, atau lebih tepat lagi, orang bule itu telah menyelam sambil membawa tubuh Ayu Puspa!

   "Ayu"" !"

   Parmadi dan Kyai Jayawijaya berteriak hampir berbareng ketika mereka melihat kejadian itu. Mereka berdua mengamuk dan para pengeroyok mereka mundur lalu mereka semua berlompatan terjun ke Kedung Srengenge, juga mereka yang terluka dibawa terjun dan mereka semua menyelam dan tidak muncul kembali!

   Parmadi dan Kyai Jayawijaya berlari ke tepi kedung sungai itu, tertegun memandang ke tengah kedung dan muka pucat. Semua itu rasanya seperti dalam mimpi. Bagaimana mungkin Ayu diseret masuk ke dalam kedung? Dan mereka semua tadi, bagaimana mereka dapat terjun dan lenyap dalam air seolah-olah mereka semua itu tadi bukan manusia melainkan segerombolan buaya?

   Dua orang laki-laki itu berdiri di tepi sungai dengan bingung dan akhirnya Kyai Jayawijaya membanting kaki kanannya ke atas tanah dengan hati gundah.

   "Mereka itu iblis, bukan manusia! Ah". sudah terasa olehku bahwa hal ini tentu berakibat buruk. Ayu, cucuku.... ?"

   "Eyang, saya tidak percaya kalau mereka itu setan. Mereka tentu juga manusia biasa seperti kita. Tadi telah saya lihat dengan jelas bahwa kepala buaya itu hanyalah sebuah topeng yang menutup kepala mereka dan beberapa orang dapat saya robohkan dengan tamparan. Mereka itu manusia biasa, eyang, bukan iblis."

   "Kalau bukan iblis, bagaimana mereka semua dapat lenyap dalam air kedung ini? Lalu bagaimana dengan cucuku Ayu?"

   "Jangan khawatir, eyang. Kalau mereka itu sebagai manusia-manusia biasa dapat menyelam dan lenyap, maka saya kira sayapun dapat. Saya akan menyelidiki dasar kedung ini, pasti ada rahasianya, eyang."

   "Ah, mungkin andika benar, Parmadi. Akan tetapi sayang, aku sendiri tidak pandai berenang, kalau saya terjun ke air tentu akan tenggelam."

   "Biar saya saja yang melakukan penyelidikan, eyang."

   Setelah berkata demikian, Parmadi lalu melompat ke dalam sungai. Untung baginya bahwa ketika dia masih kanak-kanak, dia sering bermain-main di air sehingga biarpun bukan seorang ahli yang pandai, dia dapat berenang dan menyelam. Apalagi dia telah melatih pernapasan sehingga dia dapat bertahan agak lama di dalam air. Dengan gerakan kaki tangannya, dia menyelam dan membuka mata melihat ke sekeliling kedung itu. Pusaran air menariknya, akan tetapi tidak berapa kuat dan ketika dia menyelidiki ke sebelah kiri, hatinya berdebar girang dan tegang karena seperti yang telah diperkirakannya, di bagian kiri kedung itu terdapat sebuah guha dalam air yang cukup lebar. Tak salah lagi, pikirnya.

   Mereka tentu menghilang lewat lubang guha itu! Parmadi cepat meluncur memasuki guha yang gelap pekat. Dia meraba-raba dan maju terus. Tak lama kemudian dia melihat sinar terang di, depan dan ke sanalah dia berenang. Ketika dia muncul di permukaan air, ternyata dia berada di dalam sungai bawah tanah yang merupakan ruangan yang luas dan sinar terang tadi ternyata adalah sinar obor-obor yang banyak terdapat di ruangan itu.

   Dengan hati-hati, setelah melihat bahwa di daratan bawah tanah itu tidak tampak ada orang, Parmadi lalu berenang ke tepi dan mendarat. Tampak banyak tapak kaki di situ yang menuju ke depan sana. Terowongan sungai bawah tanah itu ternyata panjang juga dan di depan sana masih tampak sinar terang dan terdengar gemuruh suara orang banyak. Parmadi cepat menyelinap di antara batu-batu dan bergerak maju. Di sebuah tikungan dia mengintai dan melihat betapa di tikungan itu terdapat sebuah ruangan yang luas, diterangi oborobor dan puluhan orang yang tadi mengeroyok dia, Kyai Jayawijaya dan Ayu berkumpul di situ.

   Orang-orang itu sibuk. Ada yang mengganti pakaian yang basah kuyup dengan pakaian kering, ada yang sedang menolong kawan-kawan yang tadi terluka. Akan tetapi Parmadi tidak melihat Ayu di situ. Juga orang berkepala buaya yang kulitnya bule itu tidak tampak. Dia menjadi penasaran dan cepat dia masuk ke dalam air, menyelam dan meluncur dalam air melewati ruangan di mana para anak buah gerombolan itu berkumpul. Setelah ruangan itu dia lewati, dia muncul di permukaan air lagi dan tibalah dia di sebuah ruangan lain yang tidak seluas ruangan pertama. Akan tetapi jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat apa yang tampak di bawah sinar penerangan obor-obor yang tertancap di dinding ruangan itu.

   Ayu rebah telentang di atas lantai ruangan itu dengan kedua tangan dan kaki terbelenggu: Yang membuat Parmad mengepal tinju dengan marah adalah melihat keadaan gadis itu yang amat menyedihkan. Gelung rambutnya terlepa; sehingga rambut yang panjang hitam itu terurai, sebagian menutupi dadanya yang hampir telanjang karena letak pakaiannya sudah awut-awutan. Agaknya gadis itu tadi meronta dan melawan sehingga pakaiannya kacau dan ia berada dalam keadaan setengah telanjang!

   Di sudut ruangan itu tampak buaya putih raksasa yang tadi dilukai matanya oleh Ayu. Buaya itu menelungkup, putih panjang, dan mata kirinya masih luka berdarah dan terpejam. Dan di depan buaya putih itu, duduk berlutut seorang laki-laki bule yang kepalanya tertutup topeng kepala buaya. Dari bawah topeng, di belakang leher tampak tersembul rambut orang itu yang berwarna putih kekuningan. Parmadi mendekat, menyelinap di antara batu-batu sungai yang berada di tepi dan di luar ruangan itu. Dia melihat laki-laki itu dengan suaranya yang parau dan dalam berkata-kata kepada buaya putih raksasa.

   "Duh rama Bajul Petak, maafkan saya dan anak buah yang terlambat datang hingga tidak dapat menghindarkan rama dari malapetaka ini, terluka parah. Akan tetapi kesalahan kami itu telah kami tebus, beberapa orang anak buah kami terluka. Harap rama legakan hati karena saya telah berhasil menawan perawan yang telah melukai mata rama. Sekarang perawan itu berada di sini, saya serahkan kepada rama agar rama dapat bersenang-senang dan membalas dendam."

   Setelah berkata demikian, orang bule itu lalu menyembah dan keluar dari ruangan itu agaknya hendak pergi ke ruangan di mana anak buahnya berkumpul, meninggalkan buaya putih raksasa itu berdua saja dengan Ayu!

   

Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini