Ceritasilat Novel Online

Seruling Gading 21


Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



pulang ke pondok mereka.

   Pondok itu berada di tempat terpencil, di luar sebuah hutan di perbatasan daerah Kadipaten Surabaya. Biarpun terpencil, pondok itu cukup bagus dan kokoh, terbuat dari kayu jati yang kuat. Keadaan di sekitar pondok itu sunyi. Biarpun tidak mencurigakan, namun ternyata pondok itu yang biasanya merupakan tempat peristirahatan kaum bangsawan kalau sedang berburu di hutan, merupakan tempat yang amat penting bagi para petugas Kadipaten Surabaya yang memimpin jaringan para penyelidik atau mata-mata yang selalu mengamati gerakan yang dilakukan Kerajaan Mataram. Yang memimpin jaringan para penyelidik ini adalah Senopati Poncosakti. Panglima ini selain digdaya, sakti mandraguna, juga amat cerdik sehingga dia menjadi orang kepercayaan Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Bahkan sesungguhnya Senopati Poncosakti ini masih paman sendiri dari Pangeran Pekik, atau uwanya karena senopati ini adalah kakak dari ibu Pangeran Pekik.

   Senopati Poncosakti berusia kurang lebih lima puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya jantan dan gagah seperti Sang Gatotkaca dengan kumisnya yang sekepal sebelah. Biarpun dia seorang senopati, akan tetapi karena tugasnya sebagai pimpinan jaringan penyelidik, dia selalu mengenakan pakaian biasa, tidak seperti seorang panglima. Seringkali Ki Poncosakti berada di pondok itu, terutama kalau mengadakan pertemuan dengan anak buahnya yang tersebar di wilayah Mataram sebagai penyelidik atau kalau dia menerima tamu rahasia terutama sekali dari utusan para sekutu Surabaya, di antaranya Madura dan tentu saja Kumpeni Belanda.

   Ki Poncosakti dahulu adalah seorang. senopati Kadipaten Pasuruan yang gigih mempertahankan Pasuruan ketika diserbu pasukan Mataram. Setelah Pasuruan kalah dan jatuh menakluk kepada Kerajaan Mataram, Ki Poncosakti melarikan diri dengan hati mendendam kepada Mataram. Dia lalu melarikan diri ke Surabaya di mana dia diterima oleh keponakannya, yaitu Pangeran Pekik, Adipati Surabaya, bahkan diangkat menjadi senopati yang dipercaya dan diserah tugas penting memimpin jaringan telik sandi untuk menjaga keselamatan dan keamanan Kadipaten Surabaya. Ketik masih menjadi senopati Kadipaten Pasuruan dahulu, dia terkenal sebagai Senopati Brojowiro yang dengan gigih mempertahankan Pasuruan dalam perang melawan pasukan Mataram. Setelah diterima oleh Pangeran Pekik, dia diangkat menadi senopati dan diberi nama Senopati Poncosakti. Dia tidak pernah lagi menggunakan nama lamanya, yaitu Brojowiro karena pekerjaannya sebagai pemimpin jaringan telik sandi mengharuskan dia merahasiakan masa lalunya agar tidak sampai ketahuan oleh pihak Mataram.

   Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, kepalanya yang tanpa kain penutup itu kecil dan botak, rambut yang tumbuh di bagian kanan kiri dan belakang keriting dan masih hitam, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot, hidungnya pesek dan mulutnya kecil, kedua pergelangan tangannya memakai akar bahar hitam, melangkah memasuki pekarangan pondok terpencil dan sunyi itu. Kakek ini tampaknya biasa saja, bahkan seperti seorang tua yang lemah. Akan tetapi siapa yang sudah mengenaliya, akan merasa terkejut melihat kehadirannya. Kakek ini bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk besar dari Banten, bekas seorang senopati kenamaan dari Kerajaan Banten, bahkan sekarang pun masih berpengaruh sekali di Banten dan sering dimintai nasihat oleh Raja Banten. Dia adalah Kyai Sidhi Kawasa yang sakti mandraguna.

   Biarpun pondok itu tampak sunyi seolah tidak ada penghuninya, akan tetaapi Kyai Sidhi Kawasa cukup waspada untuk dapat menduga bahwa tempat itu merupakan tempat yang "angker"

   Dan berbahaya. Maka setelah tiba di depann beranda rumah itu, dia berhenti, lalu dengan suaranya yang lemah lembut dia berseru.

   "Sampurasun".!!"

   Biarpun suaranya lembut dan tidur nyaring, namun ternyata suara itu bergaung dan dapat terdengar sampai jauh karena ketika berseru, dia menggunakan tenaga saktinya. Sampai lama dia menanti, namun tidak ada jawaban. Dia mengulang salamnya dengan suara yang lebih menggema lagi.

   "Sampurasun (salam yang berarti 'maafkan saya')!!"

   Sebagai jawaban, tiba-tiba dari empat penjuru meluncur belasan batang anak panah ke arah tubuh kakek itu.

   "Syuuuttt.... serr-serr-serrr....!"

   Kakek botak itu dengan tenang namun cepat memutar tubuhnya ke empat penjuru sambil memukulkan kedua telapak tangannya ke depan. Tampak sinar berapi menyambar dari telapak tangannya dan runtuhlah semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya dan bahkan ada beberapa batang anak panah kayu yang terbakar! Kyai Sidhi Kawasa tertawa terkekeh, akan tetapi sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar kemarahan.

   "Heh-heh-heh, beginikah caranya orang Surabaya menyambut datangnya sahabat? Kalau begitu, majulah kalian semua. Mari tandingi Kyai Sidhi Kawasa, jangan menyerang secara menggelap seperti pengecut."

   Senopati Poncosakti yang bersembunyi dalam rumah itu menjadi terkejut bukan main mendengar kakek itu memperkenalkan namanya. Setelah mengetahui bahwa kakek itu adalah Kyai Sidhi Kawasa dari Banten, tergopoh-gopoh dia merapikan pakaiannya dan keluar untuk menyambut tamu agung yang namanya amat terkenal itu. Dia sudah mendengar bahwa datuk Banten itu seorang yang sakti mandraguna dan juga bersikap memusuhi Mataram maka dapat dianggap sebagai seorang yang sehaluan. Setelah pakaiannya rapi dia lalu keluar dari pintu depan pondok itu dan pada saat itu, para pengawalnya yang merupakan pasukan kecil terdiri dari lima belas orang juga sudah muncul dari empat penjuru dan mengepung Ky Sidhi Kawasa.

   Melihat para anak buahnya mengambil sikap memusuhi kakek itu, Senopati Poncosakti menghardik.

   "Kalian semua mundurlah dan siapkan pesta perjamuan untuk menyambut tamu agung!"

   Mendengar perintah ini, lima belas orang anak buah itu segera mengundurkan diri dan menuju ke belakang pondok. Senopati Poncosakti sendiri lalu cepat menghampiri tamunya dan memberi hormat dengan sembah.

   "Kami mohon maaf yang sebesarnya karena tidak mengenal andika maka kami telah bersikap kurang hormat. Saya, Senopati Poncosakti, atas nama Gusti Pangeran Pekik mohon maaf dan mempersilakan andika masuk agar kita dapat bicara di dalam."

   "Heh-heh-heh, aku mendengar dari Ki Harya Baka Wulung bahwa di sini terdapat jaringan telik sandi Surabaya yang dipimpin oleh seorang bekas senopati Pamekasan yang bernama Ki Brojowiro. Andikakah orangnya?"

   Senopati Poncosakti kembali memberi hormat dan menyembah, lalu menoleh ke kanan kiri.

   "Saya persilakan andika untuk masuk dan sebaiknya kita bicara di dalam saja, kakang Kyai Sidhi Kawasa."

   Kakek dari Banten itu terkekeh dan mengangguk-angguk tanda bahwa dia mengerti akan sikap sang senopati yang agaknya hendak merahasiakan asal-usulnya itu.. Dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki pondok dan tak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan di dalam sebuah ruangan tertutup.

   "Benar dugaan andika, kakang Kyai, dahulu saya adalah seorang senopati Pasuruan yang membela Pasuruan dari serbuan Mataram. Setelah Pasuruan jatuh saya melarikan diri ke Surabaya dan oleh Gusti Pangeran Pekik saya diangkat menjadi senopati mengepalai para telik sandi yang mengamati gerak-gerik Mataram dan mendapatkan nama Senopati Poncosakti. Demi menjaga keamanan tugas saya, saya tidak lagi menggunakan nama Brojowiro. Tentu andika mengerti apa yang saya maksudkan."

   "Heh-heh-heh, aku mengerti, adi Poncosakti."

   "Harap kakang Kyai memaklumi akan sikap kami yang berhati-hati. Tempat kami ini merupakan tempat rahasia yang hanya dikunjungi kawan-kawan sehaluan yang menentang Mataram. Karena kemunculan andika tadi yang tiba-tiba dan kami belum mengenal andika sebelum andika menyebut nama, maka kami mengira bahwa andika adalah dari pihak musuh yang hendak melakukan penyelidikan, maka kami langsung menyerang andika."

   "Hemm, aku mengerti, adi senopati. Aku juga mengetahui tentang tempat ini dari petunjuk Ki Harya Baka Wulung."

   "Kakang Harya Baka Wulung memang pernah berkunjung ke sini, dan kedatangan andika ini tentu membawa berita penting sekali. Saya siap untuk mendengarkan, kakang Kyai."

   "Sesungguhnyalah. Aku hanya hendak menyampaikan pesan dari Ki Harya Baka Wulung. Dia yang mengundangku dari Banten ke Madura untuk membantu Madura menghadapi ancaman Mataram dan dia minta kepadaku untuk menghubungi andika karena ada tugas yang penting sekali."

   "Tugas apakah itu, kakang Kyai? Harap ceritakan dan saya siap melaksanakan kalau hal itu demi membela Surabaya."

   "Bukan semata-mata membela Surabaya, melainkan terutama sekali untuk menentang Mataram."

   "Wah, itulah tujuan utamaku dalam membela Surabaya, kakang Kyai. Saya akan menentang dan melawan Matararn, membantu mereka yang memusuhi Mataram, sampai Mataram jatuh atau saya yang mati!"

   Kata senopati itu penuh semangat.

   "Begini, adi senopati. Menurut keterangan Ki Harya Baka Wulung, Mataram sedang berusaha untuk membujuk Surabaya agar jangan membantu Madura yang akan diserbu oleh Mataram. Sultan Agun akan membujuk Pangeran Pekik untuk bekerja sama dan mengikat perdamaian di antara mereka, kemudian bersama-sama menentang pemerintah Kumpeni Belanda di Jayakarta. Kalau hal ini sampai terjadi, maka tentu saja kedudukan Madura menjadi lemah dan Mataram menjadi semakin kuat. Menurut penyelidikanku ketika aku melakukan perjalanan ke sini, utusan Sultan Agung yang membawa surat yang ditujukan kepada Pangeran Pekik itu sudah meninggalkan Mataram. Karena itu, Ki Harya Baka Wulung ingin minta bantuanmu agar mengatur rencana bagaimana baiknya untuk menggagalkan usaha Mataram untuk berdamai dan bekerja sama dengan Surabaya."

   Poncosakti menghela napas panjang.

   "Saya sudah mengkhawatirkan hal ini akan terjadi. Memang Gusti Pangeran Pekik agak lemah menghadapi Sultan Agung. Akan tetapi, serahkan hal ini kepada saya, kakang Kyai Sidhi Kawasa. Saya akan dapat mengatur agar usaha Sultan Agung itu tidak akan berhasil."

   Kyai Sidhi Kawasa lalu dijamu pesta makan oleh Senopati Poncosakti. Setelah puas bercakap-cakap, datuk dari Banten itu lalu meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan ke Madura memenuhi undangan Ki Harya Baka Wulung.

   Setelah tamunya pergi, Senopati Poncosakti memanggil beberapa orang kepercayaannya untuk merundingkan persoalan yang disampaikan oleh Kyai Sidhi Kawasa kepadanya itu. Dia maklum bahwa Pangeran Pekik memang tidak begitu keras sikapnya terhadap Mataram dan kalau Sultan Agung benar-benar hendak membujuknya, bukan tidak mungkin Pangeran Pekik akan menjadi lunak hatinya. Poncosakti lalu mengatur siasatnyca. Dia sudah merencanakan sebaik-baiknya untuk menggagalkan usaha Sultan Agung.

   Dengan menyebar anak buahnya, muda saja baginya untuk segera dapat menemukan orang yang menjadi utusan Sulta Agung untuk pergi menghadap Pangera Pekik dan menyampaikan surat Raja Mataram itu. Diam-diam Poncosakti mengatur agar utusan itu selalu dibayangi. Utusan yang dimaksudkan itu adalah seorang perwira Kerajaan Mataram, yaitu Tumenggung Alap-alap yang dibantu ole seorang perwira rendahan bernama Katawengan. Kedua orang ini menunggang kuda dan memasuki Kadipaten Surabaya tanpa halangan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak dari perbatasan mereka diam-diam dibayangi beberapa orang kepercayaan Poncosakti.

   Sebagai utusan Mataram, dengan mudah Tumenggung Alap-alap bersama pembantunya diperkenankan menghadap Pangeran Pekik yang menerima mereka berdua dengan ramah. Tumenggung Alap-alap merupakan tokoh yang cukup terkenal sehingga Pangeran Pekik juga mengenalnya. Dia seringkali menjadi senopati Mataram dan namanya terkenal ketika Mataram menaklukkan daerah-daerah di Jawa Timur.

   Karena yang datang menghadap adalah seorang utusan Mataram, maka Pangeran Pekik tentu saja ingin pula memperlihatkan keangkeran Kadipaten Suranya. Dia menyambut utusan itu di ruangn yang besar dan megah dan di situ berbaris rapi dan tampak kokoh kuat berwibawa sepasukan pengawal yang berjumlah dua losin perajurit berpakaian mewah. Karena utusan itu adalah utusan pribadi Sultan Agung, bukan utusan kerajaan dengan urusan yang terbuka, maka tidak ada menteri atau senopati yang hadr, juga tidak ada keluarga kadipaten.

   "Ah, kiranya paman Tumenggung Alap-alap yang datang menghadap sebagai utusan Pamanda Sultan Agung di Mataram. Bagaimana kabarnya, paman? Baik-baik sajakah selama dalam perjalanan ke Surabaya?"

   Tumenggung Alap-alap memberi hormat dengan sembah.

   "Berkat pangestu paduka, keadaan hamba baik-baik saja dan dapat sampai di sini dengan selamat. Hamba menghaturkan sembah sujut dan hormat hamba, gusti."

   "Terima kasih, paman TumenggunSebagai utusan Pamanda Sultan, berita apakah yang andika bawa ke sini? Pamanda Sultan mengutus andika untuk menyampaikan apakah?"

   "Pertama-tama Kanjeng Gusti Sultan Agung menyampaikan salam dan kabar selarnat dan selain itu hamba diperintahkan untuk menyampaikan sebuah sur at kepada paduka."

   "Begitukah, paman? Mari, berikan surat itu kepadaku."

   Tumenggung Alap-alap lalu mengeluarkan segulung surat dan menyerahkan kepada Pangeran Pekik dengan kedua tangan dan surat itu diterima oleh Pangeran Pekik. Suasana menjadi hening ketika sang pangeran membaca surat itu. Diam-diam Tumenggung Alap-alap yang tidak pernah kehilangan kewaspadaann itu menggunakan kesempatan selagi Pangeran Pekik membaca surat dari Sultan Agung untuk mengerling ke kanan kiri untuk menyelidiki apakah ada sesuatu yang mencurigakan. Dia mengetahuf benar bahwa biarpun pada hakekatnya Pangeran Pekik sendiri tidak terlalu keras memusuhi Mataram, namun banyak tokoh Surabaya yang diam-diam amat menentang Mataram, apalagi Surabaya dijadikan tempat pelarian dari banyak tokoh dari para kadipaten-kadipaten yang telah ditaklukkan oleh Mataram dan mereka ini mendendam kepada Mataram. Ketika pandang matanya menyapu ruangan itu dan memandangi para perajurit pengawal satu demi satu, dia melihat pandang mata seorang perajurit pengawal yang bersinar-sinar penuh kebencian kepadanya. Akan tapi begitu bertemu pandang, perajurit pengawal itu segera menundukkan mukanya.

   Pada saat itu terdengar suara tawa Pangeran Pekik. Ketika Tumenggung Alap-alap memandang, dia melihat bangsawan itu tampak bergembira dan tersenyum lebar.

   "Ahh, paman Tumenggung, senang sekali hati kami menerima surat Pamanda Sultan Agung ini. Tunggu sebentar, paman, akan langsung kami buatkan surat balasannya."

   Pangeran Pekik lalu meninggalkan tempat duduknya, melangkah ke lain ruangan dan untuk beberapa saat lamanya dia duduk menunggu. Ketika dia mengerling, beberapa kali dia bertemu pandang dengan perajurit pengawal yang sinar matanya penuh kebencian memandang kepadanya itu. Dia harus berhati-hati, pikirnya. Ketika berangkat meninggalkan Mataram, diapun sudah berhati-hati. Dia tahu bahwa dia membawa surat yang amat penting, surat dari Sultan Agung yang isinya membujuk Pangeran Pekik untuk berdamai dan bekerja sama. Hal ini tentu mendatangkan rasa tidak suka dalam hati mereka yang menentang Mataram. Karena itu diapun sudah amat berhati-hati bahkan selain membawa Katawengan, seorang perwira yang tangguh, dia juga diam-diam menyuruh seorang kepercayaannya bernama Kalingga untuk membayangi dan mengawasi mereka kalau-kala ada pihak lawan yang hendak mengganggu. Setelah dia dan pembantunya, Katawengan, tiba di perbatasan Kadipaten Surabaya, Tumenggung Alap-alap memanggil Kalingga dan memesan agar pembantunya itu menanti di perbatasan itu sampai dia dan Katawengan keluar dari Suabaya. Kalau terjadi apa-apa dengan dia dan Katawengan, maka Kalingga harus segera kembali ke Mataram dan melapor kepada

   Sultan Agung.

   Tak lama kemudian Pangeran Pekik masuk lagi ke ruangan itu dan dengan senyum ramah dia menyerahkan segulung surat balasan yang ditujukan kepada Sulan Agung di Mataram.

   "Paman Tumenggung, sampaikan surat balasan kami ini kepada Paman Sultan Agung di Mataram, disertai sembah hornat kami kepada beliau."

   "Sendika, gusti. Hamba mohon pamit agar secepat mungkin hamba dapat menghaturkan surat paduka ini kepada Gusti Sultan!"

   "Baik, paman. Berhati-hatilah dalam perjalanan."

   Tumenggung Alap-alap dan perwira Katawengan lalu menghaturkan sembah dan mohon diri, lalu keluar dari istana kadipaten. Setibanya di luar, mereka menerima dua ekor kuda tunggangan mereka dari para penjaga yang sudah mengurus dan memberi makan kuda mereka itu. Kemudian mereka berdua lalu melarikan kuda mereka keluar dari kota kadipaten Setibanya di perbatasan, mereka di sambut oleh Kalingga yang dengan patuh menunggu di tempat sunyi itu. Tumenggung Alap-alap mengajak kedua orang pembantunya untuk berunding.

   "Aku mendapat firasat kurang enak adi Katawengan dan adi Kalingga. Aku hampir merasa yakin bahwa ada pihak yang memusuhi kita akan melakukan sesuatu untuk mencelakakan kita. Bagaimanapun juga, yang lebih dulu dan lebih penting untuk diselamatkan adalah surat balasan dari Gusti Pangeran Pekik kepada Gusti Sultan Agung ini. Karena itu adi Kalingga. Andika kuserahi tugas ini, tugas yang amat penting dan harus kau laksanakan dengan taruhan nyawa. Andika tadi tidak ikut ke Surabaya, tentu mereka yang berniat jahat terhadap kita tidak mengenalmu dan andika tidak akan diganggu sehingga dapat menghaturkan surat ini kepada Gusti Sultan dengan selamat. Sementara itu, kami berdua yang tentu sudah dikenal dan diancam, akan mengambil jalan lain untuk memancing dan mengalihkan perhatian mereka agar jangan sampai mengganggumu."

   Kalingga menaati perintah atasannya itu, menerima gulungan surat dan menyimpannya dalam balik bajunya. Kemudian Tumenggung Alap-alap dan perwira Katawengan melanjutkan perjalanan mereka melalui jalan ke arah barat yang merupakan jalan besar menuju Mataram akan tetapi Kalingga lalu membalapkan kudanya ke selatan, mengambil jalan pintas.

   Dugaan Tumenggung Alap-alap yang banyak pengalaman itu memang benar, akan tetapi hanya separuhnya benar. Dia tidak tahu bahwa pemimpin jaringan telik-sandi (mata-mata), yaitu Senopati Poncosakti yang amat membenci Mataram, merupakan orang yang cerdik bukan main. Ia tidak tahu bahwa bukan hanya dia dan Katawengan yang selalu dibayangi, bahkan Kalingga juga sudah dibayangi. Maka ketika dia bersama Katawengan berpisah dari Kalingga, Senopati Poncosakti cepat memecah pasukannya menjadi dua. Dia menyuruh selosin perajuritnya mengejar Tumenggung Alap-alap dan Katawengan sedangkan dia sendiri bersama tiga orang perajurit mengejar Kalingga yang membawa surat Pangeran Pekik untuk Sulta Agung.

   Ki Kalingga yang membalapkan kudanya, setelah cukup jauh dari perbatasan memperlambat larinya kuda yang suda ngos-ngosan. Dia merasa lega karena kini sudah berada di daerah Mataram, d daerah sendiri yang tentu aman. Aka tetapi ketika kudanya berjalan perlahan tiba-tiba terdengar derap kaki banya kuda berlari cepat dari arah belakangnya Dia masih tidak menaruh curiga karena ketika dia menengok, dari belakang datang empat orang penunggang kuda yang pakaiannya seperti petani biasa. Dia meminggirkan kudanya agar binatang itu jangan terkejut atau takut kalau empat orang penunggang kuda itu lewat. Akan tetapi begitu empat orang itu melewatinya, tiba-tiba mereka menahan kuda mereka dan membalikkan kuda menghadapinya, kemudian mereka berlompatan turun. Seorang dari mereka, yang gagah pcrkasa, tinggi besar seperti Gatotkaca dengan kumisnya yang sekepal sebelah, cepat melompat ke depan dan menarik kendali kuda. Kuda yang ditunggangi Kalingga meringkik, mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan Ki Kalingga terpaksa melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali dan turun ke atas tanah dengan tegak. Gerakannya ini membuat Senopati Poncosakti, yang memimpin tiga orang perajuritnya, tertegun dan maklumlah dia

   bahwa lawannya adalah seorang yang tangguh.

   Ki Kalingga marah, mengira bahwa vmpat orang itu adalah segerombolan perampok, maka dia membentak nyaring.

   "Heh, orang-orang sesat! Buka mata kalian baik-baik dan lihat siapa aku! Aku adalah seorang perwira jagabaya di Mataram, kepercayaan Gusti Sultan Agung. Apa maksud kalian berani menghadang perjalananku?"

   Senopati Poncosakti tertawa. Dia sengaja bersikap seperti seorang kepala gerombolan perampok, seperti yang telah dia rencanakan.

   "Ha-ha-ha! Kami tidak perduli siap engkau! Akan tetapi siapapun juga yang lewat di daerah kekuasaan kami ini, harus membayar pajak dengan meninggalkan semua harta kekayaannya. Nah, berikanlah semua hartamu, baru engkau boleh pergi dari sini dengan nyawa utuh!"

   Ki Kalingga adalah seorang perwira yang digdaya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi segala macam perampok apalagi kalau hanya empat orang banyaknya. Pula, bagaimana mungkin dia menyerahkan semua barang yang dibawanya. Berarti dia harus menyerahkan pula gulungan surat dari Pangeran Pekik yang harus dilindungi dan dibelanya dengan taruhan nyawa.

   "Babo-babo, keparat! Berani kalian merampok seorang perwira pasukan jagabaya Kerajaan Mataram? Agaknya kalian berempat sudah bosan hidup!"

   "Kawan-kawan, serang dia!"

   Senopati Poncosakti memberi komando dan dia sendiri sudah melompat ke depan dan langsung mengayun tangan kanannya memukul ke arah dada Ki Kalingga. Perwira Mataram itu mengerahkan tenaga dan menangkis.

   "Wuuuttt... dess!"

   Kedua orang itu terdorong mundur dan keduanya terkejut. Ki Kalingga sama sekali tidak mengira bahwa orang yang disangkanya perampok itu memiliki tenaga yang demikian kuatnya, setingkat dengan tenaganya sendiri! Sebaliknya Poncosakti juga sama sekali tidak mengira bahwa perwira Mataram yang tidak terkenal itu demikian kuatnya. Tiga orang anak buahnya juga menerjang ke arah Kalingga. Namun, dengan tamparan dan tendangan kakinya, Kalingga dapat membuat tiga orang itu terpelanting.

   Melihat ini, Poncosakti lalu mencabut sepasang trisula gagang pendek dan dengan senjata ini diapun menerjang dengan hati marah dan penasaran. Aknn tetapi, Kalingga juga mencabut sebatang klewang (golok) dari punggungnya dan memutar senjata itu menangkis serangan sepasang trisula itu.

   "Trang".. cringgg". !"

   Bunga api berpijar ketika sepasang trisula itu bertemu klewang. Kembali keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar. Tiga orang anak buah Poncosakti sudah bangkit dan mereka kini menyerang pula dengan senjata pedang mereka.

   Kalingga maklum bahwa dirinya terancam bahaya maut. Mengingat bahwa tiga orang yang tadi dirobohkan merupakan lawan yang paling lemah, maka kini sambil berloncatan mengelak dan menangkis serangan Poncosakti, dia cepat menggerakkan klewangnya mendesak tiga orang itu. Terdengar suara berkerontang ketika klewangnya berhasil membuat pedang di tangan tiga orang lawan ini terlepas dan dengan tendangan-tendang kakinya yang disertai tenaga sakti, tiga orang anak buah Poncosakti itupun terlempar dan terbanting roboh. Mereka menjadi jerih dan juga tendangan tadi membuat mereka tidak mampu untuk menngeroyok lagi.

   Kini Poncosakti harus melawan seorang diri. Terjadilah perkelahian yang seru dan seimbang. Tiga orang anak buah Poncosakti itu hanya menonton dari jarak aman karena mereka merasa tidak mampu untuk membantu menghadapi lawaan yang amat tangguh itu. Mereka tahu, pengeroyokan mereka hanya akan mengganggu gerakan Poncosakti, pula mungkin saja merupakan bunuh diri bagi mereka.

   Selagi tiga orang anak buah yang kesemuanya merupakan perajurit Kadipaten Surabaya yang menjadi anggauta pasukan yang membantu Poncosakti itu menonton tiba-tiba seorang dari mereka disambar sesosok bayangan dan lenyap. Kejadian ini berlangsung cepat dan perajurit itu tidak sempat dan tidak mampu mengeluarkan suara sehingga dua orang rekannya yang asyik menonton pertandingan seru itu tidak tahu bahwa seorang teman mereka lenyap diculik orang!

   Ketika perajurit yang diculik itu diturunkan tak jauh dari situ dan dilepaskan, namun pundaknya dicengkeram tangan yang amat kuat sehingga dia menyeringai kesakitan, dia melihat di situ berdiri seorang pemuda yang tadi melarikannya dan kini mencengkeram pundaknya, bersama seorang gadis yang amat cantik manis. Pemuda itu bukan lain adalah Satyabrata dan gadis itu adalah Maya Dewi!

   "Aduh.... ampun" !"

   Perajurit itu mengeluh.

   "Cepat katakan, siapa yang sedang bertanding itu dan jangan berbohong. Sedikit saja berbohong, semua tulang dalam badanmu akan kuhancurkan!"

   Kata Satyabrata sedangkan Maya Dewi hanya memandang dengan senyum manis, seolah melihat suatu pertunjukkan yang menyenangkan hatinya. Merasa betapa jari-jari tangan itu mencengkeram pundaknya sehingga tulang pundaknya mengeluarkan bunyi berkeretakan dan terasa nyeri seolah-olah hendak patah-patah, perajurit itu tak berani berbohong.

   "Yang bersenjata sepasang trisula adalah atasan kami, Senopati Poncosakti dari Kadipaten Surabaya. Sedangkan yang bersenjata sebatang klewang itu adalah seorang perwira Mataram."

   Mendengar pengakuan ini, tiba-tiba Satyabrata melepaskan cengkeraman tangannya. Orang ini adalah perajurit Surabaya yang harus dibantunya karena Surabaya menentang Mataram.

   "Hemm, begitukah? Kalau begitu, kita adalah orang sendiri. Biar aku membantu Senopati Poncosakti untuk membunuh perwira Mataram itu!"

   "Akang Satya, serahkan saja jahanam itu kepadaku. Aku akan membunuhnya,"

   Kata Maya Dewi sambil tersenyum manis sekali.

   Mendengar dua orang itu akan membunuh perwira Mataram, perajurit itu segera berkata.

   "Raden, harap jangan membunuh perwira Mataram itu! Justeru atasan kami tidak ingin membunuhnya, hanya merobohkan dan membuat dia tidak berdaya."

   "Hemm, mengapa begitu?"

   Tanya Satyabrata.

   "Karena Senopati Poncosakti ingin melakukan sesuatu terhadap surat dari Pangeran Pekik kepada Sultan Agung yang dibawa oleh perwira Mataram itu."

   "Hemm, begitukah? Akan kubantu dia merobohkan perwira Mataram itu. Mari nimas, kita ke sana!"

   Dua orang itu berkelebat dan lenyap dari depan perajurit itu yang ternganga dan terbelalak, lalu diapun kembali ke tempat perkelahian tadi. Poncosakti masih bertanding melawan Kalingga yang mempertahankan diri mati-matian. Perlahan-lahan Poncosakti mulai terdesak, bahkan pundak kirinya sudah tercium ujung klewang sehingga baju dan kulit pundaknya terobek berdarah. Untung baginya luka itu tidak dalam. Namun cukup perih untuk membuat gerakan trisula di tangan kirinya kurang lincah dan mulailah dia terdesak.

   Tiba-tiba tampak bayangan yang cepat sekali berkelebat. Bayangan itu menerjang ke arah Kalingga. Gerakannya begitu cepat dan tangan kiri bayangan itu meluncur ke arah muka Kalingga dengan cengkeraman ke arah mata!

   "Ahhh". !!"

   Kalingga terkejut buka main. Cepat dia membuang diri ke belakang untuk menghindarkan diri, dan siap untuk membalas serangan itu dengan bacokan goloknya. Akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan lain berkelebat di belakangnya dan sebuah tangan kecil hal menepuk dan mengenai tengkuk Kalingga.

   "Plakk!"

   Perlahan saja tangan halus Maya Dewi itu menepuk tengkuk, akan tetapi seketika tubuh Kalingga terkul dan diapun roboh tak sadarkan diri.

   Senopati Poncosakti tentu saja merasa girang, akan tetapi juga amat kagum dan heran melihat pemuda yang tampan dan gadis yang cantik jelita itu, yang begitu mudahnya merobohkan perwira Mataram. Dia segera memberi hormat dan bertanya.

   "Banyak terima kasih atas barttu andika berdua. Siapakah andika berdua yang telah membantu kami, kalau boleh kami mengetahui nama andika berdua yang terhormat."

   Satyabrata mengeluarkan sekeping uang dinar emas dan memperlihatkannya kepada Poncosakti.

   "Paman Senopati Poncosakti, apakah andika mengenal ini?"

   Poncosakti memandang dan dia terkejut. Dia sudah pernah mendengar bahwa seorang yang memegang dinar emas istimewa bergambar singa itu adalah seorang telik-sandi (matamata) Kumpeni Belanda yang berkedudukan tinggi! Dia cepat memberi hormat.

   "Ah, kiranya andika datang dari Jayakarta!"

   "Paman Poncosakti, karena mendengar bahwa yang kaulawan adalah seorang perwira Mataram dan andika tidak ingin membunuhnya, maka kami sengaja menbantumu. Aku bernama Satyabrata dan ini adalah Maya Dewi. Nah, apa yang hendak kaulakukan terhadap orang Mataram ini?"

   "Dia membawa surat dari Gusti Pangeran Pekik untuk Sultan Agung yang membujuknya untuk bekerja sama. Karena itu, kami ingin mengubah isi surat untuk mendatangkan keretakan antara Mataram dan Surabaya."

   "Bagus sekali. Nah, lakukanlah cepat sebelum orang itu sadar kembali."

   "Hi-hik, jangan khawatir! Sebelum kukehendaki, dia tidak akan bisa sadar!' Maya Dewi tersenyum.

   

   ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   Maaf Ada Halaman Yang Hilang : jilid 20 tidak ada

   ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   

   "BABO-BABO, bocah lancang! Seruling Gading, kami adalah orang-orang yang membela Kadipaten Surabaya. Pergilah dan jangan mencampuri urusan kami kalau engkau ingin selamat!"

   Bentak Kyai Sidhi Kawasa.

   Pasukan Surabaya yang masih siap dengan senjata mereka, yang kini berbesar hati karena muncul kakek Nakti yang membantu mereka, kini mulai mengurung Parmadi dan siap menyerang. Mendengar ini, Parmadi merasa heran mengapa kakek sakti ini membantu Surabaya dan siapa pula orang gagah perkasa yang diserang ini dan yang temannya tewas. Maka untuk memperoleh penjelasan, dia lalu bertanya kepada Tumenggung Alap-alap.

   "Ki-sanak, siapakah andika dan mengapa berkelahi di sini?"

   Tumenggung Alap-alap merasa bahwa dia telah ditolong pemuda ini, bahkan telah diselamatkan nyawanya, dan melihat penampilan Parmadi yang berjuluk, Seruling Gading itu, dia lalu menjawab, terus terang.

   "Orang muda, aku adalah Tumenggung Alap-alap, senopati dan utusan Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram. Baru saja, aku diutus junjunganku menghadap Gusti Pangeran Pekik di Surabaya yang menerimaku dengan baik, menyerahkan surat yang dibalas pula oleh sang pangeran. Akan tetapi tiba-tiba datang pasukan ini yang katanya mendapat perintah sang pangeran untuk menangkap aku. Tentu saja aku yang tidak merasa bersalah melawan dan kakek ini datang membantu pasukan, membunuh seorang pembantuku dan nyaris membunuhku."

   Parmadi kini maklum siapa yang harus dibantunya. Tentu saja senopati Mataram itu yang harus dibantunya. Akan tetapi agar persoalannya jelas, dia lalu menghadapi Kyai Sidhi Kawasa dan dua belas orang pasukan itu.

   "Kenapa Gusti Pangeran Pekik menyuruh kalian membunuh utusan Gusti Sultan Agung?"

   "Bocah, jangan ikut campur!"

   Bentak Kyai Sidhi Kawasa.

   "Madura adalah musuh Mataram, tahukah kamu?"

   
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Akan tetapi, menurut Ki Tumenggung ini, Pangeran Pekik telah menerimanya dengan baik,"

   Bantah Parmadi.

   "Kami diperintah Gusti Pangeran untuk menangkap Tumenggung Alap-alap dan membawanya kembali ke Surabaya karena kami mendengar bahwa Mataram sudah sia-siap untuk menyerang Madura vang menjadi sekutu Surabaya. Karena dia menolak, maka kami mendapat tugas untuk membunuhnya!"

   Kata perwira yang inemimpin pasukan itu.

   "Kalau begitu, kalian yang tidak benar! Aku akan membela Ki Tumenggung!"

   Kata Parmadi dengan sikap tenang.

   Kyai Sidhi Kawasa menjadi marah sekali. Dia memutar tasbehnya sehingga terdengar bunyi berkeritikan yang nyaring. Parmadi berkata kepada Tumenggung Alap-alap.

   "Paman Tumenggung, minggirlah dan tanggulanggi saja kalau para perajurit ini hendak melakukan pengeroyokan. Biar saya yang menghadapi kakek ini."

   Kemudian dia menghadapi kakek itu dan berkata kepadanya.

   "Kakek yang baik, andika sudah tua mengapa memusuhi Mataram? Siapakah andika dan dari mana andika datang?"

   "Seruling Gading! Memang sebaiknya engkau mengenalku agar tidak mati penasaran dan tahu siapa yang membunuhmu nanti. Aku adalah Kyni Sidhi Kawasa, mantan senopati Kerajaan Banten. Akulah datuk di Banten!"

   Parmadi mengangguk-angguk. Dia per.nah mendengar dari gurunya, Resi Tejo Wening, bahwa ada tiga datuk besar yang memusuhi Mataram dan bahwa dia harus berhati-hati menghadapi mereka. Mereka adalah Ki Harya Baka Wulung datuk dari Madura, Sang Wiku Menak Koncar datuk dari Blambangan dan ketiga adalah Kya Sidhi Kawasa dari Banten. Kiranya inilah orangnya!

   "Ah, kiranya andika yang bernama Kyai Sidhi Kawasa dari Banten! Sudah lama sekali aku mendengar bahwa engkau selalu memusuhi Mataram, bahkan ketika Raja Banten hendak berbaik dengan Gusti Sultan Agung, engkau mengundurkan diri dari kedudukanmu sebagai seorang senopati agung."

   "Bagus kalau engkau sudah tahu akan hal itu. Setelah engkau mengetahui bahwa aku musuh Mataram, kenapa engkau musih berani untuk membela Mataram di depanku? Apakah engkau sudah bosan hidup, orang muda?"

   "Kyai Sidhi Kawasa, aku adalah seorang kawula Mataram, sudah sepantasnya kalau aku membela Mataram dengan taruhan nyawaku. Kalau engkau membela Banten mati-matian, hal itu masih dapat kurnengerti. Akan tetapi kini engkau membela Surabaya dan Madura, apa artinya ini? Apa engkau sudah menjadi tukang pukul yang menerima bayaran dari sana-sini?"

   "Bocah sombong lancang mulut! Aku membantu siapa saja yang memusuhi Mataram! Kalau engkau membantu dan membela Mataram, berarti engkau musuhku dan harus mati di tanganku!"

   Dia masih memandang rendah pemuda yang bernama seperti alat gamelan yang dijadikan senjata di tangannya, yaitu Seruling Gading dan mengalungkan tasbeh di lehernya, kemudian dia sudah rnenerjang ke depan menggerakkan kedua tangannya. Kedua telapak tangan itu bertepuk tiga kali, terdengar suara nyaring dan kedua telapak tangan itu mengeluarkan bunga api yang berpijar, seolah yang diadu itu bukan telapak tangan, melainkan dua lempengan baja.

   Diam-diam Parmadi menjadi waspada. Dia tahu bahwa kakek itu sungguh seorang yang sakti mandragrrna, seperti pernah diceritakan oleh Resi Tejo Wening kepadanya. Dia dapat menduga bahwa kedua tangan kakek itu mengandung hawa sakti yang panas. Gurunya yang amat menyayangnya telah menurunkan dua rnacam aji yang amat hebat kepadanya, yaitu Aji Sunya Hasta (Tangan Kosong) dan Aji Sunyatmaka (Berjiwa Bebas) yang dapat dia kerahkan melalui tiupan seruling gading pemberian gurunya. Dua ilmu ini sudah lebih dari cukup untuk menghadapi ilmu yang bagaimanapun hebatnya, baik ilmu silat maupun ilmu sihir yang berbahaya. Kini, menghadapi terjangan kakek itu yang menggunakan Aji Hastanala (Tangan Api), dengan tenang Parmadi mengelak ke samping lalu menggerakkan tangannya menggapai sebagai tangkisan dengan pergelangan tangan diputar. Tampaknya gerakan ini kosong saja, tidak rnengandung tenaga apapun, akan tetapi ketika Kyai Sidhi Kawasa hendak menggunakan tangannya yang panas itu untuk menggempur tangan Parmadi, dia merasa terkejut bukan main.

   Seluruh tubuhnya tergetar dan tangannya yang bertemu dengan tangan Parmadi seperti api yang dimasukkan air dingin, terasa dingin menyusup tulang! Tentu saja dia terkejut bukan main dan melompat ke belakang. Namun, ternyata Parmadi tidak bermaksud mencelakainya, karena tangan kirinya tidak cidera. Kyai Sidhi Kawasu merasa penasaran dan dia lalu menggosok-gosok lagi tangan kirinya dengan tangan kanan sehingga tangan kiri itu menjadi panas membara kembali! Dia lalu menyerang dengan ganas sekali, mengeluarkan seluruh kecepatannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, dengan gerakan yang tampaknya lambat saja, Parmadi dapat menghindarkan diri dari semua serangan dan juga dia mampu membalas dengan tamparan-tamparan yang tampaknya perlahan saja, akan tetapi setiap kali ditangkis oleh tangan Kyai Sidhi Kawasa, kakek itu terdorong dan tubuhnya terguncang keras!

   Sementara itu, Ki Tumenggung Alap-alap sudah dapat mengambil kerisnya yang tadi terpental dan berdiri tegak menjaga agar dua belas orang perajurit itu tidak ada yang bergerak mengeroyok. Para perajurit itu agaknya juga tidak berani sembarangan turun tangan karena tadi mereka sudah merasakan betapa tangguhnya sang senopati dari Mataram itu. Mereka hanya mengharapkan Kyai Sidhi Kawasa memenangkan pertandinga melawan pemuda yang menyebut dirinya Seruling Gading itu karena kalau kakek itu menang, akan mudah saja menangkap atau rnembunuh Tumenggung Alap-alap.

   Kyai Sidhi Kawasa menjadi semakin penasaran dan akhirnya menjadi marah sekali. Sungguh tidak pernah disangkanya sama sekali bahwa seorang yang masih begitu muda dapat menandingi Aji Hastanala yang jarang bertemu tanding itu, bahkan dia mulai terdesak setelah mereka bertarung selama tiga puluh jurus lebih. Dia tahu bahwa sekali saja dia terkena tamparan tangan yang kelihatan tak bertenaga itu, belum tentu dia akan dapat bertahan.

   "Aji Analabanu! Augghhhh""!!"

   Dia berteriak dengan suara nyaring dan serak seperti auman seekor binatang buas. Kedua tangannya mendorong ke depan dan tampak sinar berapi meluncur dan menyerbu ke arah Parmadi.

   Ini merupakan aji pukulan jarak jauh yang amat dahsyat. Parmadi maklum akan kehebatan pukulan ini, maka diapun merentangkan kedua kakinya, lutut agak ditekuk dan menggunakan kedua tangan mendorong ke depan untuk menyambut serangan lawan sambil berseru lirih.

   "Hehhh".!"

   "Syuuuuttt.... byarrrr". !!"

   Sinar berapi itu seperti pecah berhamburan menjadi bungabunga api dan tubuh Kyai Sidhi Kawasa terhuyung ke belakang, wajahnya pucat dan keringat membasahi dahinya. Dasar orang yang sudah terbiasa mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain, Kyai Sidhi Kawasa tidak merasa kalah, bahkan menjadi semakin marah. Dia mengambil tasbeh dari lehernya dan memutar senjata aneh yang biasa dipakai untuk bersembahyang itu. Terdengar bunyi berkeritikan dan ketika dia menggerakkan tasbeh itu, tampak sinar hitam menyambar-nyambar ke arah Parmadi.

   Pemuda ini sudah siap siaga. Seruling gading telah berada di tangannya dan kini dua orang itu bertanding, mempergunakan dua senjata mereka yang aneh. Kalau tasbeh itu berubah menjad sinar hitam bergulung-gulung, seruling gading itupun berubah menjadi sinar kuning putih yang terang. Kalau tasbeh itu mengeluarkan suara berkeritikan, suling itu mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup. Suatu pertandingan yang aneh dan para perajurit Surabaya menjadi pening mendengar dua suara yang amat berbeda itu. Bahkan Ki Tumenggung Alap-alap harus mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi telinganya agar dia jangan sampai terserang dan menjadi pening pula.

   Kedua senjata itu beberapa kali bertemu dengan kuatnya dan setiap kali beradu, tubuh Kyai Sidhi Kitwasa tergetar hebat. Akhirnya saking marahnya, hampir putus asa karena makin lama tenaganya semakin berkurang, kakek itu melompat ke belakang lalu mengeluarkan suara tawa yang aneh namun yang amat hebat pengaruhnya! Suara itu seperti gelombang melanda telinga dan jantung. Dua belas orang perajurit itu jatuh bergulingan, bahkan Tumenggung Alap-alap kini duduk bersila mengerahkan tenaga sakti untuk menolak pengaruh suara yang dahsyat itu.

   Tiba-tiba terdengar suara lengkingan merdu ditiup oleh Parmadi, mengalunkan lagu yang amat indah menyenangkan, sejuk rasanya di telinga dan hati dan perlahan-lahan pengaruh suara tawa iblis itupun reda dan lenyap. Ketika Tumenggung Alap-alap mengangkat muka, dia melihat bahwa kakek itu telah melarikan diri tunggang-langgang, meninggalkan dua belas orang perajurit yang sudah tak bergulingan lagi, namun dengan wajah pucat mereka masih duduk di atas tanah seperti orang bingung dan ketakutan.

   Parmadi sudah siap untuk mencegah kalau-kalau senopati Mataram itu hendak membunuh mereka. Akan tetapi ternyata tidak. Tumenggung Alap-alap hanya berkata kepada mereka.

   "Cepat kalian gali lubang dan kuburkan jenazah Ki Katawengan ini dengan baik-baik?"

   Dua belas orang perajurit yang ketakutan itu segera melaksanakan perintah itu. Mereka menggali lubang dengan cepat.

   Sementara itu, Tumenggung Alap-alap menghampiri Parmadi dan berkata dengan kagum.

   "Orang muda, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah aku mengetahui siapa nama andika?"

   Mereka bicara agak jauh dari tempat di mana para perajurit Surabaya itu menggali lubang agar percakapan mereka tidak sampai terdengar oleh mereka.

   "Paman tumenggung, nama saya adalah Parmadi dan orang yang tidak mengenal saya menyebut saya Seruling Gading."

   "Engkau memang pantas menggunakan sebutan Seruling Gading. Ilmu kepandaianmu tinggi sekali. Kenapa engkau tidak mengabdi kepada Gusti Sultan Agung? Melihat kemampuanmu, tentu Kanjeng Gusti Sultan Agung akan memberi kedudukan yang tinggi kepadamu."

   "Saya tidak mencari kedudukan, paman tumenggung. Akan tetapi saya memang siap membantu Mataram menghadapi musuh-musuhnya."

   "Bagus kalau begitu. Aku menganjurkan agar andika membantu gerakan Mataram yang sudah bersiap-siap untuk menyerbu Madura, anakmas Parmadi. Kepandaiamu diperlukan sekali karena Madura dibantu banyak orang-orang pandai dan sakti mandraguna, di samping bantuan pihak Kumpeni Belanda yang agaknya tidak tinggal diam melihat Madura dan Surabaya akan ditundukkan Mataram."

   "Akan tetapi saya masih merasa heran, paman. Tadi paman mengatakan bahwa sebagai utusan Kanjeng Gusti Sultan Agung, paman telah diterima dengan baik oleh Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Mengapa sekarang paman hendak dibunuh oleh pasukan Surabaya?"

   Tumenggung Alap-alap menghela napas panjang.

   "Itulah yang membuat hatiku merasa penasaran sekali, anak-mas. Agaknya Pangeran Pekik mendapat bujukan orang-orang jahat seperti kakek tadi yang membenci Mataram sehingga dia bertindak plintat-plintut. Hal ini harus kulaporkan segera kepada Gusti Sultan Agung."

   Pada saat itu, penggalian lubang kuburan telah selesai dan Tumenggung Alap-alap lalu mengubur jenazah Ki Katawengttn secara sederhana sekali. Setelah itu, Tumenggung Alap-alap mengijinkan dua belas orang perajurit Surabaya itu untuk kembali ke Surabaya dan diapun berpisah dari Parmadi. Pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke pantai untuk mencari penyeberangan ke Madura. Sementara itu, Tumenggung Alap-alap menggunakan seekor kuda yang dirampasnya dari seorang perajurit karena kudanya sendiri sudah kabur entah ke mana, melakukan perjalanan cepat kembali k; Mataram.

   Ketika Ki Kalingga, pembantu Tumenggung Alap-alap tiba di Mataram, dia langsung mohon menghadap Sang Prabu Setelah menghadap dan menyerahkan surat dari Pangeran Pekik, Sultan Agung membaca surat itu dan seketika mukanya berubah kemerahan saking marahnya. Surat itu sungguh mengandung tantangan. Bukan sekedar penolakan kerja sama, akan tetapi juga isinya merendahkan Mataram!

   "Hemm, keparat. Berani benar dia membuat surat seperti ini kepadaku?"

   Geram Sultan Agung sambil mengepal surat itu. Surat itu seketika hancur terkena cengkeraman tangan yang sakti, menjadi debu berhamburan.

   Tak lama kemudian datang laporan bahwa Tumenggung Alap-alap datang dan rnohon menghadap. Sultan Agung cepat menerima utusannya itu dan makin memuncak kemarahannya mendengar betapa Pangeran Pekik tidak hanya mengirim surat yang isinya kurang ajar, bahkan mengirim pasukan untuk mengejar dan membunuh utusannya itu.

   "Hamba nyaris binasa, gusti. Untung bahwa berkat pangestu paduka hamba masih dilindungi oleh Gusti Allah. Pasukan itu dibantu oleh Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten yang sakti mandraguna dan hamba sudah kalah dan roboh, nyaris terbunuh oleh datuk itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang pemuda perkasa bernama Parmadi yang berjuluk Seruling Gading dan dia telah menyelamatkan hamba dan mengusir Kyai Sidhi Kawasa. Hamba sudah menganjurkan din untuk mengabdi kepada paduka, akan tetapi dia mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kedudukan, hanya ingin membantu Mataram menghadapi musuh-musuh sebagai sukarelawan."

   Sultan Agung mengangguk-angguk.

   "Sejak dulu Kyai Sidhi Kawasa memang memusuhi Mataram, terutama memusuhi kami karena dia pernah kami halangi dan kami kalahkan ketika hendak melakukan perbuatan yang jahat dahulu puluhan tahun lalu ketika kami masih muda."

   Kemudian Sang Prabu berpaling kepada senopati kepercayaannya, yaitu Ki Suroantani dan memberi perintah.

   "Suroantani', catat nama Parmadi atsiu Seruling Gading itu. Kelak jangan lupa ingatkan kami untuk memberi anugerah kepadanya!"

   "Sendika, gusti,"

   Jawab Suroantani.

   "Sekarang, balatentara harus dipersiapkan untuk menyerbu Madura! Panggil para menteri dan panglima untuk semua menghadap pada kami hari ini untuk persiapan itu!"

   Suroantani lalu memerintahkan para pembantunya mengundang seniua panglima dan menteri dan pada hari itu juga rnereka semua menghadap Sultan Agung. Setelah semua ponggawa menghadap, Sultan Agung lalu mengatur siasat dan membagi-bagi perintah. Di antara mereka terdapat pula Jayasupanta yang telah memimpin pasukan menaklukkan Kadipaten Tuban dan Sultan Agung memberi anugerah kepadanya dengan mengangkatnya menjadi Tumenggung Sujanapura.

   "Tumenggung Sujanapura, andika kami serahi tugas memimpin pasukan menyerbu dan menaklukkan seluruh Pulau Madura, dengan dibantu oleh Senopati Bragola dan Senopati Sumedang. Para Panglima yang menjadi bawahanmu harus memimpin pasukan masing-masing. Mereka adalah Tumenggung Jagabaya, Panji Nirabumi, Ngabei Patrabangsa, Demang Suradaksa, Rangga Awu-awu, dan Ki Panji Singajaya. Berangkatkanlah pasukan kalian melalui Majaranu, menyeberang ke Madura."

   "Sendika dhawuh paduka, gusti!"

   Kata Tumenggung Sujanapura yang diikuti para panglima yang namanya disebut tadi.

   "Dan andika, Senopati Bragola. Dalam membantu pasukan yang dipimpin Tumenggung Sujanapura, andika bawalah balatentara dua laksa banyaknya dan andika serbu Madura lewat laut, berangkatlah dari Juwana dibantu para panglima dari Pati, yaitu Patih Harya Mangunjaya dan Patih Harya Sindureja. Adapun para panglima yang membantu andika memimpin pasukan masing-masing adalah Harya Sawunggaling, Ki Demnng Prawiratan, Ngabei Wirasraya, Rangga Penantang Yuda, Rajamenggala dan masih ada beberapa orang perwira yang dapat andika pilih sendiri di antara kalian. Dari Juwana andika bawa pasukan melalui lautan dan menuju ke Sedayu. Di sana baru pasuka andika bergabung dengan pasukan Sujanapura dan melanjutkan penyerbuan ke Madura dengan naik perahu. Nah, sudah mngertikah kalian semua?"

   Para senopati dan perwira itu menyanggupi dan menyatakan sudah mengerti. Setelah mengadakan persiapan selama sehari penuh, pada keesokan harinya pagi-pagi berangkatlah balatentara Mataram yang dibagi menjadi dua barisan besar terdiri dari pasukan-pasukan yang dipimpin para panglima dengan nama sandi masing-masing. Ada pasukan anak panah, pasukan tombak, pasukan golok, pasukan pedang dan pasukan keris yang terdiri dari ahli-ahli dalam mempergunakan senjata masing-masing. Di samping pasukan-pasukan berbagai senjata ini, juga terdapat pasukan perawat yang bertugas menolong dan merawat mereka yang terluka dalam perang, pasukan ahli masak, perawat kuda dan sebagainya lagi. Balatentara Mataram mulai bergerak dengan segala perlengkapannya. Mereka tidak membawa ransum, karena di daerahdaerah yang telah mereka kuasai telah didirikan pusat pengumpulan ransum untuk gerakan ini.

   Sepasang orang muda itu memasuki Kadipaten Surabaya. Mereka menarik perhatian semua orang karena memang Satybrata dan Maya Dewi rnerupakan seorang pemuda dan seorang dara yang serasi sekali. Pemuda itu tampan dan gagah bukan main, tubuhnya yang tinggi tegap, kulitnya yang putih bersih dan matanya agak kebiruan, rambutnya hitam berombak, membuat mata setiap orang wanita yang bertemu dengannya memadangnya dengan kagum dan penuh perhatian. Dara yang berjalan di sampingnya itupun cantik jelita, ayu manis merak ati.

   Rambutnya hitam panjang berombak pula, terurai lepas, wajahnya bulat, kulit putih mulus dan matanya lebar seperti sepasang bintang, hidung mancung dan bibirnya menggairahkan, tubuhnya denok ramping padat. Satyabrata dan Maya Dewi memasuki kota Surabaya dan menjadi perhatian banyak orang. Namun kedua orang muda itu tidak perduli karena rnereka berdua sudah terbiasa menghadapi pandangan kagum seperti itu. Bahkan dengan penuh kesadaran akan keelokan wajah mereka yang membuat banyak orang tergila-gila, mereka tampil dengan anggun, membayangkan senyum semanis-manisnya dan setiap gerak bibir, kerling mata, dan gerak-gerik mereka lakukan dengan daya tarik yang amat kuat.

   Seperti diceritakan di bagian depan, dua orang muda yang memiliki watak dasar yang tak jauh berbeda ini saling jumpa secara kebetulan sekali dan mereka saling tertarik. Kecantikan dan kemulusan tubuh Maya Dewi seketika membuat Satyabrata yang memang mata keranjang itu tergila-gila, apalagi melihat bahwa Maya Dewi memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh. Sebaliknya, Maya Dewi sebetulnya tidak mudah tertarik kepada seorang pria dan selama ini ia belum pernah bergaul dengan pria. Akan tetapi, setelah mendapat kenyataan betapa Satyabrata dapat mengalahkannya, bahkan dapat mengalahkan sabuk cindenya dengan mudah, ia merasa bahwa pemuda ini memiliki segala-galanya yang membuatnya amat berharga untuk menjadi sahabatnya, bahkan menjadi pasangannya. Pemuda itu tampan dan gagah, juga sakti madraguna. Lebih-lebih lagi setelah ia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu seorang telik-sandi Kumpeni Belanda yang memiliki kedudukan tinggi, terbukti dari dinar emas berukir singa itu, hatinya menjadi semakin tertarik dan sebentar saja hubungan mereka menjadi akrab, seperti dua orang sahabat yang sudah lama saling berkenalan.

   "Akang Satyabrata, kenapa sih kita harus singgah dulu di.Kadipaten Surabaya? Bukankah kita akan

   (Lanjut ke Jilid 22)

   Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22

   membantu Madura yang akan diserang pasukan Mataram?"

   Tanya Maya Dewi dengan suara manja sehingga hati pemuda itu menjadi gemas.

   Sudah seringkali dia merasa gemas dan ingin merangkul dan menciumi gadis yang manja dan amat menggairahkan hatinya ini, namun dia menyabarkan hatinya. Untuk mendapatkan gadis sembarangan saja, dia tidak segan melakukan kekerasan karena dia hanya ingin menikmati untuk sekali atau sementara saja. Akan tetapi, tidak mudah mendapatkan seorang dara seperti Maya Dewi yang bukan saja dapat menjadi pasangan yang amat menggairahkan dan mengasyikkan, akan tetapi juga dapat menjadi sekutu dan pembantu yang dapat diandalkan. Karena itu, dia harus berhati-hati dan tidak merusak keadaan. Dia harus mendapatkan diri gadis ini dengan perlahan-lahan, dan baru akan memiliki gadis ini kalau benar-benar Maya Dewi sudah memperlihatkan tanda-tanda menyerah kepadanya. Akan tetapi sekarang Maya Dewi hanya kadang-kadang bersikap manja dan pandang mata maupun senyum dan suaranya yang manja seperti minta dibelai dan dirayu, masih jinakjinak merpati dan belum meyakinkan. Kalau sampai dia ter,gesa-gesa dan gadis yang masih hijau dalam pergaulan antara pria dan wanita ini menjadi terkejut dan takut, lalu menjauhkan diri terlepas darinya, dialah yang akan rugi. Dia ingin mendapatkan Maya Dewi sebagai kekasihnya bukan untuk sementara, melainkan selama mungkin.

   "Ini penting sekali, Dewi,"

   Kata Satyabrata yang kadang memanggil Dewi, terkadang memanggil Maya, kedua panggilan itu terasa sama enak dan sedapnya didengar.

   "Engkau perlu mengetahui bahwa Madura merupakan pintu belakang atau perisai bagi Surabaya. Kalau Madura takluk kepada Mataram, berarti Surabaya mudah diserang dari laut, seolah dikepung. Karena itu, mau tidak mau Surabaya akan membantu Madura. Juga Kumpeni Belanda tidak tinggal diam karena kalau kekuasaan Mataram dibiarkan meluas, amat berbahaya bagi Belanda untuk meluaskan perdagangannya. Belanda dan Surabaya mempunyai kepentingan bersama, maka harus bekerja sama untuk membantu Madura. Maka, aku ingin bertemu dengan Adipati Surabaya untuk mewakili atasanku membicarakan urusan pertahanan Madura dan Surabaya dari ancaman Mataram."

   Maya Dewi mengangguk-angguk dan tiba-tiba ia berhenti melangkah, lalu mengangkat muka memandang wajah Sa tyabrata yang lebih tinggi sekepala daripadanya.

   "Akang Satya, engkau masih begini muda, bagaimana bisa mendapatkan kedudukan tinggi sehingga dipercaya ole Kumpeni Belanda?"

   Satyabrata tertawa sehingga tampa deretan giginya yang rapi dan putih. Dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengaku kepada gadis itu, karena jelas bahwa Maya Dewi juga seorang yang memusuhi Mataram.

   "Aku mau bicara terus terang kepadamu, Maya, karena aku yakin bahwa engkau adalah seorang sahabat yang dapat kupercaya sepenuhnya. Aku telah dianggap sebagai anak sendiri oleh seorang perwira tinggi Kumpeni Belanda yang bernama Willem Van Huisen yang dulu tinggal di sebuah kapal kumpeni yapg beroperasi di Cirebon. Nah, dari dialah aku menerima kedudukan sebagai telik sandi kumpeni ini dan tentu saja dia percaya sepenuhnya kepadaku yang dia anggap sebagai anak sendiri."

   

Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini