Ceritasilat Novel Online

Seruling Gading 23


Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



Gadis itu rebah miring dan segera pulas lagi.

   Maya Dewi mengepal tinju. Kini tidak ragu lagi. Satyabrata mengkhianati cintanya! Pemuda itu pasti mengadakan hubungan dengan Mintarsih malam tadi. Entah dengan jalan bagaimana dia dapat membujuk Mintarsih yang agaknya memang sudah jatuh cinta. Tiba-tiba Maya Dewi ingat bahwa Satyabrata adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna. Bukan tidak mungkin pemuda itu mempergunakan aji pameletan atau aji pengasihan yang amat kuat sehingga membuat wanita yang dipeletnya menjadi tergila-gila! Makin dipikir, makin panas hatinya dan akhirnya ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat turun dari atas pembaringan lalu keluar dari kamar itu. Ternyata sinar yang masuk ke kamar melalui lubang di atas jendela itu adalah sinar lampu penerangan yang digantung di luar kamar. Keadaan dalam gedung masih sunyi sekali. Waktu masih terlalu pagi, fajar belum menyingsing dan orang-orang belum bangun dari tidurnya. Ia langsung menuju ke bangunan samping, kamar Satyabrata. Diketuknyna daun pintu itu, cukup kuat sehingga mengejutkan Satyabrata.

   Pemuda itu bangkit duduk dan memandang ke arah daun pintu. Baru saja dia menyuruh Mintarsih kembali ke kamarnya karena ayam jantan pertama sudah berkeruyuk, tanda bahwa fajar akan segera menyingsing. Dan dia baru saj tertidur melepaskan lelah ketika pintu itu diketuk orang. Mintarsih datang kembali? Gila! Ini berbahaya, bisa ketahuan orang.

   "Siapa?"

   Tanyanya ketika ketukan itu berhenti.

   "Aku! Bukalah pintunya!"

   Terdengar suara Maya Dewi. Satyabrata bernapas lega. Kiranya Maya Dewi yang dating. Mau apa gadis itu datang mengetuk daun pintu kamarnya sepagi itu? Satyabrata menggosok kedua matanya mengusir rasa kantuk yang masih menekan matanya, lalu turun dari pembaringan dan menghampiri daun pintu dan dibukanya. Maya Dewi berdiri di luar pintu dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong marah. Berdebar jantung Satyabrata, merasa tidak enak, teringat akan apa yang terjadi dalam kamarnya semalam. Janganjangan gadis ini mengetlahuinya! Akan tetapi tidak mungkin. Kalau ia mengetahuinya, tentu sudah didobraknya pintu kamarnya semalam!

   "Aeh, Maya, engkau mengejutkan aku! Sepagi ini mengetuk pintu. Ada apakah, nimas?"

   Tanya Satyabrata sambil tersenyum manis.

   "Apa yang kaulakukan dengan Mintarrih?"

   Maya Dewi bertanya dengan sikap menuduh, suaranya ketus.

   Diam-diam Satyabrata terkejut. Akan tetapi dia segera dapat menduga bahwa Maya Dewi belum mengetahui akan peristiwa itu, hanya baru curiga saja. Untung tadi dia bersikap hati-hati dan setelah Mintarsih meninggalkan kamarnya, dia membereskan pembaringannya sehingga tidak tampak tanda-tanda hadirnya orang lain di situ. Dia mengerutkan alisnya dan mundur lagi, memasuki kamarnya.

   "Sstt.... Maya, jangan ribut-ribut. Engkau dapat membuat semua orang terbangun. Sebetulnya ada apakah? Mari kita bicarakan di dalam dan jangan rebut-ribut."

   Diperingatkan begitu, Maya Dewi teringat bahwa mereka berada di rumah senopati Poncosakti sebagai tamu, maka ia pun memasuki kamar Satyabrata. Pemuda itu lalu menutupkan daun pintu dan berkata.

   "Maya, duduklah dan ceritakan apa yang terjadi."

   "Tidak perlu duduk!"

   Jawab Maya Dewi sengit.

   "Dan bukan aku yang harus bercerita, melainkan engkau! Katakan apa yang kaulakukan dengan Mintarsih malam tadi! Hayo mengaku saja bahwa engkau telah mengadakan hubungan gelap dengan Mintarsih. Engkau telah mengkhianati pengakuanmu sendiri bahwa engkau cinta padaku!"

   Satyabrata mengembangkan kedua tangannya, membelalakkan kedua mata seperti orang terheran-heran dan kaget. Dia lalu berkata.

   "Aeh, Maya. Apa, engkau mimpi? Apa artinya semua tuduhan gila ini? Semalam aku tidur, tidak pergi ke mana-mana."

   Dia menoleh ke arah pembaringan dan Maya Dewi juga memandang ke sana. Beres saja pembaringan itu, tidak acakacakan.

   "Bagaimana engkau tega menuduh aku melakukan hubungan dengan puteri paman senopati yang baru saja kita kenal? Ah, Maya Dewi, engkau tahu bahwa hanya engkaulah satusatunya wanita yang kucinta. Bagaimana aku dapat mengadakan hubungan dengan wanita lain? Aku bersumpah bahwa semalam aku tidak meninggalkan kamar ini dan aku tidur pulas karena merasa lelah."

   Maya Dewi menjadi ragu. Pembaringan pemuda itu beres, tidak ada tanda tanda kusut atau tanda-tanda ditiduri berdua. Akan tetapi ia belum percaya sepenuhnya. Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah pikiran yang amat baik menurut penilaiannya. Mintarsih jelas jatuh cinta kepada Satyabrata sehingga hal itu menimbulkan kebencian di dalam hatinya. Ia harus mendapatkan bukti nyata agar yakin akan cinta Satyabrata kepadanya, dan inilah cara yang amat baik untuk membuktikannya!

   "Mengapa engkau diam saja, Maya? Apakah engkau masih tidak percaya kepadaku? Aku sanggup membuktikan bahwa hanya engkau satu-satunya wanita yang kucinta. Apa saja permintaanmu akan kulaksanakan untuk membuktikan cintaku seperti yang pernah kukatakan padamu."

   Inilah saatnya, pikir Maya Dewi.

   "Hemm, benarkah itu? Nah, aku mempunyai satu permintaan, kalau engkau tidak sanggup dan tidak mau melaksanakan jangan lagi bicara tentang cinta dengan aku. Sebaliknya kalau engkau mau melasanakannya sampai berhasil, barulah aku yakin akan cintamu dan aku"."

   Maya Dewi tersipu.

   "Dan, engkau dengan rela mau menyerahkan diri kepadaku, menyerahkan jiwa ragamu kepadaku, Maya?"

   Dengan kedua pipi berubah kemerahan Maya Dewi mengangguk.

   "Kalau begitu katakan sekarang, apa yang harus kulakukan? Biar harus menyeberangi lautan api, akan kulaksanakan."

   Kata Satyabrata penuh semangat.

   "Tidak demikian sulitnya, akang. Permintaanku hanya sederhana saja, yaitu kalau benar engkau tidak berhubungan dan tidak mencinta Mintarsih, kalau benar engkau hanya mencinta aku seorang. Nah, kau bunuhlah Mintarsih!"

   Mendengar ini, Satyabrata terbelalak dan merasa seolah disambar petir. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Maya Dewi akan mempunyai permintaan segila itu! "Hemm, engkau terkejut dan tidak sanggup melakukan, bukan? Hal itu karena engkau mencintanya dan pernyataan cntamu kepadaku hanya gombal belaka!"

   "Eh, tidak, Maya! Sama sekali bukan begitu. Hanya.... bagaimana aku dapat mernbunuhnya? Ia adalah puteri Paman Senopati Poncosakti yang merupakan sekutu kita!"

   "Huh, katakan saja engkau sayang kepada Mintarsih. Nah, kalau begitu, kawini Mintarsih dan jangan sekali-kali berani bicara tentang cinta lagi dengan aku!"

   Maya Dewi marah sekali.

   "Ah, baiklah, Maya Dewi. Demi cintaku kepadamu, aku akan melaksanakan permintaanmu itu. Kita tunggu saat terbaik dan untuk itu, terpaksa kita harus tinggal di sini lebih lama. Dan engkau harus membantuku. Kita rencanakan siasat agar paman senopati tidak tahu bahwa aku yang melakukan itu."

   Maya Dewi tersenyum dan wajahnya berubah cerah gembira. Nafsu telah melenyapkan semua pertimbangan tentang baik buruk, benar salah, sehingga apa yang dilakukannya, dianggapnya benar dan tepat, bahkan adil dan baik! Maya Dewi membenci Mintarsih karena gadis itu berani mencinta Satyabrata, maka dalam anggapannya, puteri senopati itu harus dibunuh dan ini sudah adil dan benar menurut pendapatnya. Juga Satyabrata menganggap rencana pembunuhan itu sudah benar karena hal itu dilakukan untuk meyakinkan Maya Dewi akan cintanya dan selain itu, sebagai akibat dari apa yang telah terjadi semalam antara dia dan Mintarsih,, maka tentu akan menimbulkan akibat. Setidaknya Mintarsih tentu akan terus mengejarnya dan menuntut pertangungan jawabnya. Maka sudah tepat dan baik sekali kalau gadis itu dibunuh!

   Setelah mengatur siasat, Satyabrata menghampiri Maya Dewi dan hendak memeluknya. Akan tetapi Maya Dewi menghindar dan berkata.

   "Jangan tergesa-gesa, akang Satya. Laksanakan dulu permintaku sebagai bukti cintamu!"

   Setelah berkata demikian, ia lalu keluar dari dalam kamar pemuda itu.

   Mintarsih baru bangun setelah matahari naik tinggi. Setelah bangun, ia bangkit duduk dan termenung. Timbul perasaan gelisah dan sesal dalam hatinya. Ia teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Biarpun hal itu terjadi seperti dalam mimpi yang indah, namun ia tahu dan merasa bahwa semua itu bukan mimpi! Ia telah pergi ke kamar Satyabrata malam tadi, ia telah membiarkan dirinya digauli pemuda itu. Ia telah ternoda! Ia menagis, menutupi muka dengan kedua tangannya. Mengapa ia melakukan hal sehina itu? Belum menikah telah menyerahkan diri kepada seorang laki-laki yang baru saja dikenalnya? Akan tetapi semua itu telah terjadi! Dan ia mencinta Satyabrata. Juga pemuda itu tentu rnencintanya. Kalau tidak, tentu tidak terjadi hal semalam. Ia harus menghubungi pemuda itu. Ia harus menuntut agar Satyabrata menikahinya!

   Akan tetapi hal itu harus dilakukan secara diam-diam agar tidak ada seorangpun tahu bahwa ia telah digauli pemuda itu. Mintarsih lalu mandi dan berdandan. Ia tidak melihat Maya Dewi dalam kamar. Timbul rasa khawatirnya. Jangan-jangan mereka, Maya Dewi dan Satyabrata, telah pergi meninggalkan gedung keluarganya! Celaka kalau begitu. Ia bergegas, berdandan rapi lalu keluar. Hatinya lega. Dilihatnya Satyabra dan Maya Dewi sedang duduk bercaka-cakap dengan ayah dan ibunya di ruangan tengah.

   "Wah, engkau baru bangun, Tarsih!"

   Tegur Senopati Poncosakti kepada puterinya.

   "Hemm, sungguh tidak semestinya seorang gadis bangun begini siang!"

   Isteri senopati itu menegur. Ia adalah seorang wanita yang jauh lebih muda dari suamia, baru berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ia memang isteri baru sang senopati, atau ibu tiri Mintarsih. Senopati Poncosakti datang ke Surabaya hanya bersama anaknya, Mintarsih, karena isterinya telah meninggal dunia ketika terjadi perang antara Pasuruan dan Mataram. Setelah menjadi senopati di Kadipaten Surabaya, baru dia menikah lagi dengan Kartinah. Wanita ini cantik dan biarpun lahirnya ia tidak berani bersikap kasar kepada Mintarsih, anak tirinya, namun dalam batinnya tentu saja ia merasa tidak begitu suka, apalagi Mintarsih yang kenes dan lincah itu memang tidak begitu taat kepadanya.

   Maya Dewi tertawa dan berkata.

   "Aku lihat tidurmu nyenyak sekali, maka aku tidak menggugahmu, adik Mintarsih. Mari, duduklah."

   Mintarsih duduk dan sejenak ia menatap wajah Satyabrata. Pemuda itupun memandangnya sekilas, lalu mengalihkan pandang matanya. Maya Dewi yang diam-diam memperhatikan Mintarsih, menjadi semakin panas dan benci melihat betapa Mintarsih memandang Satyabrata dengan sinar mata penuh kagum dan mesra.

   Senopati Poncosakti merasa gembira sekali ketika mendengar kesanggupan Satyabrata dan Maya Dewi untuk menginap satu malam lagi di gedungnya. Malam tu kembali dia menjamu kedua orang muda itu dengan pesta makan minum. Akhirnya Mintarsih berhasil memperoleh kesempatan untuk bicara berdua dengan, Satyabrata: Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Satyabrata sudah berbisik.

   "Malam nanti kutunggu engkau di kamarku. Kita dapat bicara dengan panjang lebar dan leluasa."

   Mintarsih merasa girang dan ia mengangguk sambil tersenyum. Memang agak sukar membicarakan rahasia mereka berdua di tempat terbuka, di mana besar bahayanya percakapan mereka didengar orang lain. Kalau di kamar pemuda itu tentu ia dapat bicara secara terbuka mengajukan tuntutan agar pemuda itu meminang dan menikahinya, di samping itu mereka dapat mengulang kemesraan yang mereka nikmati malam tadi.

   Malam itu, tidak seperti biasa, hawanya dingin menusuk tulang. Sejak sore Mintarsih sudah menanti datangnya malam dengan jantung berdebar. Ketika makan malam tadi, ia menangkap isyarat pandang mata Satyabrata seolah mengingatkan janji mereka dan tanpa diketahui orang lain ia mengangguk. Mintarsih menanti sampai Maya Dewi tertidur. Setelah memanggil-manggilnya namun Maya Dewi tidak bangun, yang berarti Maya Dewi telah tidur pulas, Mintarsih turun dari pembaringan, mematikan lampu dan membuka daun pintu kamar, lalu berindap-indap ia menuju ke bangunan samping, ke kamar Satyabrata! Jantungnya berdebar tegang, seperti jantung setiap orang yang akan melakukan perbuatan yung tidak benar.

   "Tok-tok-tok...!"

   Ia mengetuk perlahan daun pintu kamar Satyabrata tiga kali. Pintu terbuka dan Satyabrata menarik tangan gadis itu ke dalam kamar dan Mintarsih menurut saja, tersipu malu ketika Satyabrata menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Akan tetapi, seperti telah direncanakan sebelumnya, sekali ini kedua lengan Satyabrata bergerak untuk melakukan pelukan maut itu. Kedua lengan merangkul, akan tetapi jari-jari tangannya mengetuk tengkuk Mintarsih dengan kuatnya sehingga seketika itu juga gadis puteri senopati itu terkulai dalam rangkulan Satyabrata dan pingsan.

   Satyabrata memondong tubuh gadis itu keluar dari kamar, menengok ke kanan kiri. Malam itu sunyi dan dingin. Tak tampak sesuatu yang mencurigakan dan Satyabrata membawa tubuh Mintarsih ke dalam taman. Tidak seperti orang yang baru saja melakukan kejahatan, sikap Satyabrata tenang saja. Bulan sepotong yang berada di langit menjadi saksi bisu ketika dia merebahkan tubuh Mintarsih ke atas sebuah bangku di dekat kolam ikan di tengah taman itu. Satyabrata lalu menanti sebentar.

   Seperti yang sudah diatur dan dijanjikan sebelumnya, pada saat itu terdengar suara orang dan muncullah Maya Dewi dan seorang penjaga keamanan yang biasa menjadi perajurit pengawal dan bertugas jaga di depan gedung sang senopati. Perajurit ini bertubuh tinggi besar, usianya sekitar tiga puluh tahun. Dia tadi sedang bertugas jaga seorang diri ketika tiba-tiba Maya Dewi menghampirinya dan mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu yang amat penting untuk diketahui dia sebagai penjaga keamanan. Sebagai seorang petugas yang bertanggung jawab, perajurit itu tentu saja tertarik dan dia mengikuti tamu yang dihomati itu memasuki taman di belakan gedung.

   Setelah tiba di dalam taman, perajurit itu bertanya.

   "Ada terjadi apakah den-ajeng?"

   "Mari kita lihat di sana, dekat kola ikan itu!"

   Jawab Maya Dewi.

   Ketika mereka tiba dekat kolam, perajurit itu melihat tubuh Mintarsih yang rebah telentang di atas bangku, seperti orang tidur atau mati.

   "Den-ajeng Mintarsih".. kenapa ?"

   Penjaga itu menghampiri dan membungkuk untuk melihat keadaan Mintarsih. Pada saat itu Maya Dewi menggerakkan tangannya menghantam kepala perajurit itu.

   "Prakk!"

   Perajurit itu terjungkal dan roboh, tewas seketika karena kepalanya retak oleh pukulan tangan miring Maya Dewi yang ampuh itu.

   "Akang Satya, sekarang lakukanlah!"

   Kata Maya Dewi. Satyabrata tidak meragu lagi. Dia menghampiri mayat perajurit itu, mencabut kerisnya, lalu menghampiri tubuh Mintarsih yang masih rebah pingsan di atas bangku. Sekali dia mengayun, keris itupun menancap dada Mintarsih, menembus jantungnya. Gadis yang dalam keadaan pingsan itu tidak bergerak lagi dan darah muncrat dari dadanya ketika keris dicabut. Satyabrata lalu menaruh gagang keris ke dalam genggaman tangan kanan perajurit yang sudah mati.

   "Sekarang, cepat bangunkan mereka!"

   Kata lagi Maya Dewi yang merasa girang bahwa Satyabrata benar-benar tega membunuh Mintarsih untuk membuktan cintanya kepadanya!

   Satyabrata berlari ke arah gedung dan dia memukul kentungan yang tergantung di sudut bangunan. Bunyi kentungan dipukul bertalu itu tentu saja mengejutkan semua orang. Beberapa orang perajurit pengawal yang bertugas jaga di depan gedung datang berlarian dan bertanya ke pada Satyabrata apa yang terjadi.

   "Pembunuhan, nimas Mintarsih dibunuh orang! Cepat laporkan kepada Paman Senopati Poncosakti! Dan seorang dari kalian lanjutkan pukul kentungan ini!"

   Par perajurit pengawal lalu mengikuti Satyabrata berlari memasuki taman.

   Di dekat kolam mereka melihat Jalu, seorang perajurit rekan mereka telah menggeletak tewas dengan darah mengalir dari telinga, hidung dan mulutnya dan mayatnya masih memegang sebatang keris. Sedangkan di atas bangku menggeletak mayat Mintarsih yang letak pakaiannya tidak karuan; kembennya hampir lepas, kainnya tersingkap sehingga pahanya yang putih mulus tampak, dan bajunya berlepotan darah yang mengalir keluar dari dadanya. Melihat ini, Satyabrata melirik ke arah Maya Dewi, maklum bahwa gadis itu yang sengaja membuat pakaian Mintarsih seperti itu sehingga siapa saja yang melihatnya akan mudah menduga bahwa gadis itu akan diperkosa orang!

   Tak lama kemudian muncul Senopati Poncosakti dan isterinya. Kartinah, isteri Poncosakti, menjerit dan menangisi anak tirinya. Maya Dewi maklum bahwa tangis itu terlalu dibuat-buat. Senopati Poncosakti sendiri berdiri dengan muka merah karena marah sehingga beberapa saat lamanya dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia memandang kepada Satyabrata dan suaranya menggetar penuh kesedihan dan kemarahan ketika dia bertanya.

   "Anak-mas Satyabrata, andika yang memukul kentungan, andika yang mengetahui apa yang terjadi. Ceritakanlah, apa yang terjadi dengan anakku?"

   "Maaf, paman. Terpaksa saya mengabarkan peristiwa buruk yang menyedihkan. Tadi ketika tidur, saya dikejutkan suara jeritan. Saya lalu membereskan pakaian dan berlari keluar, memasuki taman dari mana suara jeritan itu terdengar. Setelah tiba di sini, saya melihat Maya Dewi sedang berkelahi melawan laki-laki ini dan masih sempat melihat Maya Dewi merobohkannya dengan sebuah pukulan pada kepalanya dan saya melihat nimas Mintarsih sudah rebah mand darah dan tewas di atas bangku itu."

   Senopati Poncosakti lalu menoleh ke pada Maya Dewi.

   "Nini Maya Dewi, kalau begitu andika yang datang lebih dulu Apa yang terjadi di sini?"

   "Sayapun terkejut mendengar jeritan dan saya segera berlari ke sini. Mungkin karena letak kamar adik Mintarsih di mana saya tinggal lebih dekat, maka saya lebih cepat tiba di sini. Juga karena ketika terbangun saya tidak melihat adi Mintarsih, saya merasa khawatir dan berlari secepatnya memasuki taman. Dan disini dengan kaget sekali saya meliha orang ini....

   "

   Ia menuding ke arah mayat perajurit pengawal itu.

   """

   Ia seda bergulat dengan adik Mintarsih.

   Tiba-tiba adik Mintarsih terkulai dan darah muncrat dari dadanya. Agaknya dalam pergumulan di atas bangku itu, jahanam itu menggunakan kerisnya untuk mengancam dan keris itu digunakan untuk menusuk dada. Saya marah sekali, akan tetapi jahanam ini melawan dengan keris di tangan, maka saya menggunakan pukulan maut untuk menghantam kepalanya. Pada saat itu, akang Satya datang dan saya minta agar dia melapor dan membangunkan semua orang. Demikianlah, paman senopati, apa yang saya lihat tadi."

   Senopati Poncosakti menjadi marah, mengepal tinju dan tiba-tiba dia menghampiri mayat perajurit itu dengan langkah lebar.

   "Jahanam busuk, keparat tak mengenal budi! Berani kamu hendak memperkosa anakku?"

   Dan senopati itu lalu mengamuk, menendangi kepala dan tubuh mayat itu berulang-ulang sampai kepala itu menjadi pecah dan remuk! Untuk menghormati keluarga sang senopati, Satyabrata dan Maya Dewi menginap satu malam lagi di gedung itu. Dan malam itu, Satyabrata menagih janjinya dan Maya Dewi yang kini sudah yakin sepenuhnya akan cinta. pemuda itu, dengan senang hati dan suka rela menyerahkan diri kepada Satyabrata! Kalau keluarga Senopati Poncosakti berkabung dan berduka, malam itu Satyabrata dan Maya Dewi berpesta-pora, bersenang-senang dan berenang-renang dalam lautan nafsu berahi mereka, seolah mereka menjadi sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu!

   Dan semenjak malam itu, nafsu berahi dalam diri Maya Dewi bagaikan seekor kuda liar yang dilepas dari kendalinya! Nafsunya mengamuk, merajalela dan menguasai diri Maya Dewi sepenuhnya, sehingga sejak saat itu, Maya Dewi telah menjadi budak dari nafsu berahinya sendiri.

   Pada keesokan harinya kedua orang itu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Madura dengan berperahu. Mereka langsung pergi menghadap Sang Adipa Pangeran Mas di Arisbaya yang pada saat itu sedang mengadakan perundingan dengan para menteri dan para senopatinya. Tentu saja di sana hadir pula dua orang pembantu terpenting dari Arisbaya, yaitu Ki Harya Baka Wulung yang menjadi penasihat, dan puteranya, Raden Dibyasakti yang menjadi senopati muda. Di situ hadir pula para pembantu yang di datangkan Ki Harya Baka Wulung, di antara mereka terdapat Sang Wiku Menak Koncar datuk Blambangan dan juga Kyai Sidhi Kawasa datuk dari Banten. Mereka sedang merundingkan tentang ancaman balatentara Mataram yang hendak menyerbu Madura. Ketika pengawal melapor bahwa ada seorang pemuda dan seorang gadis mohon menghadap, Adipati Pangeun Mas mengerutkan alisnya dan membentak.

   "Apakah engkau tidak tahu bahwa kami sedang mengadakan perundingan yang amat penting? Jangan ganggu kami, hai pengawal bodoh dan katakan kepada mereka untuk menghadap lain kali saja."

   "Ampunkan hamba, gusti. Hamba sudah mengatakan hal itu akan tetapi pemuda yang mengaku utusan kumpeni..."

   "Cukup! Usir mereka atau engkau yang akan dijatuhi hukuman!"

   Adipati Arisbaya membentak marah. Hatinya sedang risau oleh ancaman pasukan Mataram yang kabarnya sudah bergerak untuk menyerbu Madura, maka gangguan itu membuatnya marah.

   Akan tetapi mendengar laporan itu, Dibyasakti teringat dan dia cepat menyembah dan berkata.

   "Kanjeng adipati hamba mengenal pemuda itu!"

   "Hamba juga mengenalnya!"

   Kata pula Wiku Menak Koncar, lalu bertanya ke pada pengawal.

   "Bukankah dia pemuda tampan yang matanya agak kebiruan?"

   Dengan takut-takut pengawal itu berkata.

   "Benar, dia juga mengatakan bahwa dia mengenal Raden Dibyasakti dan Sang Wiku Menak Koncar."

   "Tidak salah lagi. Dialah yang pernah hamba ceritakan kepada paduka, kanjeng. Pemuda utusan kumpeni yang sakti mandraguna. Tentu kedatangannya ada hubungannya dengan ancaman penyerbuan pasukan Mataram. Karena itu, hamba kira sebaiknya kalau paduka mengijinkan mereka masuk,"

   Kata Dibyasakti.

   "Hemm, begitukah? Hai, pengawal, siapakah nama dua orang yang hendak menghadap itu?"

   "Menurut pengakuan mereka, pemuda itu bernama Satyabrata dan gadis itu bernama Maya Dewi, gusti."

   "Maya Dewi?"

   Seru Ki Harya Baka Wulung.

   "Kanjeng adipati, gadis itu adalah puteri Adi Resi Koloyitmo yang hamba undang dan dia sudah sanggup untuk membantu kita!"

   Adipati Pangeran Mas mengangguk-angguk senang.

   "Kalau begitu, persilakan mereka masuk, pengawal!"

   Pengawal itupun merasa lega karena tidak jadi mendapat marah. Dia menyembah lalu mengundurkan diri untuk mengantar Satyabrata dan Maya Dewi datang menghadap. Dua orang muda itu diterima dengan ramah oleh Adipati Pangeran Mas setelah tahu bahwa kedatangan mereka berdua adalah untuk membantu Madura. Satyabrata memberi tahu bahwa Willern Van Huisen sudah siap membantu dengan kapal perangnya, juga dia siap membantu untuk menghadapi para ksatria gagah dan sakti yang akan membantu pasukan Mataram. Maya Dewi juga menceritaka bahwa ia memang diutus ayahnya untuk membantu Madura dan ayahnya akan menyusul segera ke Madura.

   Persidangan dilanjutkan dan tak lama kemudian, para adipati lain yang diundang untuk bermusyawarah berdatangan. Mereka adalah para bupati di seluruh Madura yang dating bersama pasukan mereka sehingga tergabunglah pasukan mereka menjgdi pasukan besar yang siap menghadapi penyerbuan balatentara Mataram.

   Mereka yang berdatangan itu adalah para bupati dari Aribanggi, Bali, Sumenep, Pamekasan, Pekacangan, dan Raden Prasena, keponakan Sang Adipati Pangeran Mas dari Arisbaya yang berusia sembilan belas tahun itu datang memenuhi undangan. Akan tetapi karena Raden Prasena ini memang disingkirkan pamannya dan di Sarnpang hanya diberi kekuasaan kecil dan hanya mempunyai pasukan kecil, maka pasukan yang dibawanya tidak ada artinya. Dalam pertemuan itu diadakan perundingan untuk merencanakan cara pertahanan untuk menyambut penyerbuan pasukan Mataram. Mereka semua bertekad untuk mempertahankan Madura. Akan tetapi Raden Prasena yang masih muda itu diam-diam tidak setuju dengan mereka semua. Hal ini adalah karena dia menaruh dendam kepada Adipati Arisbaya yang menyerobot kedudukan adipati di Arisbaya. Sebetulnya, dialah yang berhak menggantikan kedudukan adipati setelah ayahnya, Adipati Teguh Arisbaya wafat. Akan tetapi karena ketika itu dia dianggap terlampau kecil, baru berusia sekitar empat belas tahun, maka kedudukannya diambil alih pamannya yang kini menjadi Adipati Arisbaya dan dia sendiri disingkirkan ke Sampang. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk tidak membantu pamannya melawan Matararn!

   Para senopati yang gagah perkasa dari daerah-daerah itu dikumpulkan untuk memimpin pasukan gabungan. Di antara mereka terdapat Dibyasakti, Jayengbadra, Jagapati, Rangga Gobag-gabig Mangundaka, Tumenggung Surobayu, Demang Rujak-beling dan para pembantu mereka yang merupakan perwira-perwira yang gagah. Selain itu, masih ada para datuk yang membantu mereka, yaitu Ki Harya Baka Wulung, Wiku Menak Koncar, Kyai Sidhi Kawasa, Satyabrata dan Maya Dewi yang menggantikan ayahnya karena Resi Koloyitmo belum datang. Mereka semua telah siap siaga menanti datangnya pasukan musuh.

   Sementara itu Muryani yang ditinggalkan Satyabrata di rumah perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria, setelah lewat beberapa hari saja menjadi gelisah Apalagi mendengar bahwa pasukan Mataram akan berperang melawan Madura dan Surabaya. Mendiang ayahnya, Ki Ronggo Bangak adalah seorang yang setia kepada Mataram dan selalu bercerita kepada puterinya itu tentang kebijaksanaan Sultan Agung, seorang raja yang agung binathara dan sakti mandraguna, bahkan dinggap sebagai wali, seorang manusia pilihan Gusti Allah. Hebatnya, menurut cerita ayahnya, Sultan Agung bahkan memperisteri Kanjeng Ratu Kidul, yaitu ratu kerajaan siluman yang menguasai Laut Selatan!

   Biarpun belum pernah melihat sang prabu yang kabarnya arif bijaksana dan sakti mandraguna itu, ada yang mengabarkan bahwa beliau adalah seorang yang pernah berguru kepada seorang Wali yang amat terkenal dan amat dihormati, baik oleh umat agama baru, Islam maupun oleh umat agama lama Hindu dan Buddha. Kanjeng Sultan Agung itu pandai menyesuaikan agama Islam dengan dua agama itu yang sudah mendarah daging dalam kehidupan rakyat Jawa. Dengan cara ini, maka rakyat yang menjadi umat agama Hindu dan Buddha melihat persamaan atau ada yang sejalan antara agama Islam dengan agama mereka, dan dengan demikian mereka tidak memusuhi agama baru itu, malah banyak yang mau menerima agama Islam. Bahkan Sultan Agung menulis kitab Sastra Gending yang berisi pelajaran Aliran Tashawwuf yang bercampur dengan pelajaran kitab-kitab Weda yang intinya ajaran Manunggali Kawula Gusti atau yang disebut Kejawen.

   Selain keterangan yang didapat dari mendiang ayahnya dahulu, juga guru Muryani, Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali, juga berpihak kepada Mataram. Oleh karena itu, Muryani menjadi tidak betah tinggal diam di Muria dan pada suatu hari iapun berpamit dari gurunya untuk pergi ke Madura membantu pasukan Mataram.

   "Muryani, kalau engkau pergi membantu Mataram, hal itu baik sekali aku amat menyetujuinya. Akan tetapi kalau engkau pergi untuk menyusul aatu mencari pemuda yang bernama Satyabrata itu dan melakukan perjalanan bersamanya, sungguh hal itu membuat hatiku merasa resah."

   Ucapan gurunya ini baru sekali ini terdengar sebagai pernyataan tidak suka pada Satyabrata. Biarpun sejak semula Ageng Branjang merasa tidak suka kepada pemuda itu, namun dia tidak pernah menyatakannya kepada Muryani. Maka, mendengar ada nada yang tidak suka dalam ucapan gurunya itu, Muryani merasa heran.

   "Kenapa, bapa guru? Kenapa bapa merasa resah kalau saya melakukan perjalanan bersama kakangmas Satyabrata?"

   "Entahlah, Muryani. Ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu yang mendatangkan kecurigaan dalam hatiku. Dia memang tampan, akan tetapi ketampanannya itu aneh, matanya agak kebiruan dan..., dan sikapnya terlalu lembut dan sopan santun sehingga seperti dibuat-buat. Selain itu, tentang kesaktiannya. Dia mengaku bahwa dia menemukan kitab-kitab berisi aji-aji kesaktian peninggalan mendiang Sunan Gunung Jati yang selain terkenal sakti, juga terkenal sebagai seorang yang arif bijaksana dan tinggi tingkat rohaninya. Akan tetapi aku dapat melihat sinar sesat dalam pandang mata pemuda itu. Ada lain hal lagi yang mencurigakan hatiku. Mengapa dia mengajak kau nonton perang antara Mataram dan Madura kemudian baru akan memilih pihak mana yang harus dibantu? Kenapa tidak langsung membantu Mataram? Nah itulah yang meresahkan hatiku, Muryani. Karena itu, kalau engkau bertemu dengan dia, berhatihatilah dan jangan mudah terbujuk rayuan manis."

   Muryani menundukkan mukanya karena ia merasa bahwa memang Satyabrata telah merayunya dan bahkan menyatakan cintanya kepadanya.

   "Baiklah, bapa, akan saya perhatikan nasihat bapa dan saya akan waspada."

   Setelah berkemas dan berpamit, berangkatlah Muryani meninggalkan Gunung Muria dan melakukan perjalanan cepat menuju ke timur. Di sepanjang perjalanannya Muryani sudah mendengar akan berita bahwa Mataram sudah siap untuk menyerbu Madura. Di daerah Tuban yang sudah ditundukkan Mataram beberapa tahun yang lalu, ia mendengar bahwa pasukan daerah-daerah pesisir utara juga sudah siap untuk diperbantukan kepada pasukan besar Mataram.

   Dari Kadipaten Tuban, Muryani melakukan perjalanan cepat menyusuri pantai utara menuju ke timur. Pada suatu pagi tibalah ia di dusun Pangkah, di mana terdapat muara Kali Solo. Di sinilah Bengawan Solo yang melakukan perjalanan amat panjang itu mengakhiri alirannya dan semua air bengawan itu terjun ke laut yang menjadi tempat asalnya. Muryani berhenti di tepi muara sungai yang lebar. Ia menjadi bingung, dan memandang ke kanan kiri. Bagaimana ia harus menyeberangi muara sungai yang lebar ini?

   
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba wajahnya berseri gembira, ia melihat sebuah perahu di tengah muara. Perahu itu meluncur dari seberang dan baru saja tiba, maka ia tadi tidak melihatnya. Agaknya sebuah perahu nelayan karena penumpangnya yang dua orang laki-laki itu kini bersiap-siap untuk menebarkan jala. Melihat mereka, Muryani segera berseru memanggil.

   "Heiii! Ki-sanak tukang perahu! Tolong seberangkan aku, berapa upahnya akan kubayar!"

   Karena Muryani mengerahkan tenaga saktinya, maka teriakannya itu kuat sekali dan dapat terdengar oleh dua orang itu dengan jelas dan mereka segera memandang ke arah Muryani.

   Biarpun jarak di antara perahu dan gadis itu tidak dekat, namun mudah kelihatan oleh mereka bahwa yang memanggil adalah seorang wanita muda yang cantik sekali. Mereka saling berbisik, lalu mendayung perahu menghampiri tepi di mana gadis itu berdiri. Setelah tiba di tepi sungai, mereka mendarat dan seorang dari mereka memegangi tali perahu agar tidak hanyut dibawa air sungai. Muryani memandang dan melihat bahwa dua orang itu adalah laki-laki yang berusia antara tiga puluh sampai tiga puluh lima tahun. Keduanya bertubuh tinggi besar, yang seorang berwajah penuh brewok dan yang kedua bermuka hitam. Dua muka pria yang sama sekali tidak menarik hatinya. Akan tetapi, karena ia membutuhkan bantuan mereka maka ia tersenyum manis.

   "Ki-sanak, aku ingin menyeberang. Tolong seberangkan aku dengan perahu kalian dan aku akan memberi upah secukupnya:". Kata Muryani kepada si muka brewok yang berdiri di depannya.

   Si brewok menoleh dan memandang kepada kawannya, si muka hitam yang memegangi tali perahu, lalu sambil tersenyum lebar menyeringai sehingga tampak deretan gigi yang besar-besar dia bertanya.

   "Mas ayu, kalau kami mau meyeberangkan, apakah upahnya?"

   Suaraya dibuat-buat, seperti seorang pemain ketoprak sedang bergaya di atas panggung, jelas sekali dia menirukan gaya Yuyu Kangkang ketika hendak menyeberangkan para gadis keluarga Kleting dan minta upah ciuman!

   Muryani juga merasakan hal ini dan diam-diam ia merasa gemas, akan tetapi masih ditahannya. Ia tahu dari pandang rnta, senyuman dan gerak gerik mereka bahwa dua orang ini bukanlah orang-orang yang berwatak sopan dan baik. Akan tetapi ia menahan kemarahannya dan menjawab tenang.

   "Berapa upah yang kalian minta akan kubayar."

   "Benarkah? Wah, kalau begitu kami minta upah ciuman saja, tiga kali untuk kami masingmasing. Ha-ha-ha! Bagaimana, mas ayu?"

   Kini kedua orang laki-laki kasar itu tertawa-tawa. Akan tetapi sungguh di luar dugaan mereka. Gadis itu tidak marah atau tersipu malu mendengar tuntutan upah mereka, sebaliknya gadis itu mengangguk dan berkata tenang.

   "Mari kita berangkat!"

   Dan Muryani segera melangkah memasuki perahu kecil itu! Tentu saja dua orang laki-laki yang tadinya hanya hendak menggoda secara kurang ajar, menjadi heran dan juga girang. Bagaimana tidak akan girang kalau dijanjikan akan menerima hadiah ciuman tiga kali dari seorang gadis secantik ini.

   Mereka dapat merasakan kekesenangan seperti yang alami Yuyu Kangkang ketika menyeberangkan para gadis Kleting Abang, Kleting Biru dan Kleting Ungu dalam dongeng "Si Kleting Kuning"

   Itu! Si muka hitam mendayung perahu itu dan si brewok hanya duduk sambil mengamati wajah dan tubuh indah gadis Yang duduk di depannya itu. Membayangkan betapa nanti gadis itu akan menciumnya tiga kali membuat si brewok bergairah sekali dan bangkitlah nafsunya. Dia tidak sabar lagi lalu menggeser duduknya mendekati Muryani.

   "Nimas ayu, aku minta bagianku sekarang saja!"

   Katanya dan tiba-tiba dia menangkap lengan kanan Muryani dan hendak menarik dan merangkulnya.

   Muryani mengayun tangan kirinya ke arah sisi leher si brewok itu. Demikian cepat gerakan tangannya sehingga si brewok tidak sempat mengelak atau menangkis.

   "Wuuuttt"kekkk!!"

   Seketika si brewok menekuk tubuhnya yang tinggi besar berotot itu. Kedua tangannya memegangi leher yang rasanya patah-patah, panas dan nyeri seperti ditusuki ratusan batang jarum..

   "Aduhh... aduhhh... tobaat... aduuuhhh"!"

   Si brewok merintih kesakitan, tubuhnya rnenggeliat-geliat dan kedua tangannya menekan bagian leher yang terpukul tangan miring Muryani tadi. Melihat keadaan temannya, si muka hitam yang duduk di belakang Muryani menjadi terkejut dan juga marah. Dia mengangkat dayungnya dan menghantamkan dayung itu ke arah kepala Muryani!

   "Wuuuttt"plakk"dukkk!!"

   Tanpa mengubah duduknya, Muryani hanya memutar tubuh atasnya, menyambut dayung itu dengan kedua tangannya dan sekali mengerahkan tenaga ia telah mendorong dayung itu sehingga gagang dayung terdorong dan menghantam ulu hati si muka hitarn.

   "Hekkkk.... !"

   Si muka hitam juga melipat tubuhnya, membungkuk dan menggunakan kedua tangan memegang dan menekan uluf hatinya yang terasa nyeri dan sukar dipakai bernapas! Dua orang itu mengaduh-aduh dan menyatakan bertobat.

   Karena tidak ada yang mendayung lagi, perahu itu hanyut terbawa air dan berputar. Melihat ini, Muryani menggepokkan tangan, menepuk tengkuk si brewok dan menampar punggung si muka hitam sehingga mereka tidak tersiksa rasa nyeri yang hebat lagi, hanya tinggal sedikit rasa nyeri yang dapat mereka tahan.

   "Nah, cepat dayung perahu sampai ke seberang kalau kalian tidak ingin mampus?"

   Bentak Muryani.

   Kini dua orang kasar itu merasa kecelik. Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sakti. Mereka tidak berani main-main lagi. Mereka lalu menggunakan dua buah dayung untuk mendayung perahu ke seberang.

   "Maafkan kami den ajeng.... ?"

   Kata brewok.

   "Andika tentu seorang puteri pendekar dari Mataram."

   MURYANI tersenyum mengejek setelah melihat sikap si brewek yang kini amat hormat.

   "Kalau sudah tahu, jangan banyak cerewet lagi dan cepat dayung ke seberang"

   Dua orang itu tidak berani bicara lagi, akan tetapi diam-diam mereka saling menukar isyarat dengan pandang mata. Muryani tidak tahu bahwa mereka mendayung perahu agak menuju ke hilir, mendekati muara di bagian tepi laut.

   Setelah tiba di seberang, di tepi laut, Muryani melompat ke darat, lalu berpang kepada dua orang itu dan berkata.

   "Aku berterima kasih kepada kalian yang telah menyeberangkan aku ke sini. Akan tetapi akupun hendak memperingatkan kalian agar kalian bertaubat dan jangan lagi bersikap kasar dan kurang ajar terhadap wanita. Kalau kelak kita berjumpa lagi dan aku masih melihat kalian bersikap kurang ajar terhadap wanita, aku pasti tidak akan mengampunimu lagi!"

   Setelah berkata demikian, Muryani melanjutkan perjalanannya ke timur. Ia sama sekali tidak tahu siapa sebenarnya dua orang itu dan menganggap mereka itu hanyalah nelayan-nelayan yang berwatak kasar. Sama sekali ia tidak mengira betapa setelah ia pergi kedua orang itu cepat memberi isyarat ke arah lautan di mana terdapat sebuah kapal. Dua orang itu ternyata adalah dua orang anak buah mata-mata Kumpeni Belanda!

   Seperti kita ketahui, Satyabrata telah berunding dengan Komandan Willem Van Huisen dan perwira kumpeni itu sudah menjanjikan akan mengirim sebuah kapal perang untuk membantu dengan diam-diam pihak Madura yang hendak diserang pasukan Mataram. Kapal inilah yang dijanjikan itu, sudah siap di lautan, siap untuk menuju ke Madura kalau saat perang tiba. Kapal itu telah diperlengkapi dengan meriam-meriam besar dan senjata-senjata api lainnya, dipimpin oleh seorang kapten kapal bernama Kapten Johan Van Dalen. Begitu isyarat dua orang matamata itu terlihat dari kapal, oleh sang kapten yang menggunakan teropong, sebuah perahu diturunkan dan dua belas orang menumpang perahu itu yang berlayar cepat ke pantai.

   Muryani sedang berjalan menyusuri pantai. Tiba-tiba ia. melihat sebuah perahu meluncur cepat dan mendarat di pantai sebelah depan. Tadinya ia tidak begitu memperhatikan, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara orang berteriak dari arah belakangnya.

   "Perempuan itu seorang telik-sandi mata-mata Mataram!!"

   Muryani cepat menengok dan mukanya berubah kemerahan karena marah. Kiranya yang berteriak itu adalah dua orang laki-laki yang kurang ajar tadi, yang telah dihajarnya dan yang menyeberangkannya di muara Bengawan Solo! Mereka berdua agaknya mengikutinya dengan berperahu di laut dan kini memberi peringaan kepada belasan orang yang berlompatan keluar dari perahu di depannya.

   Muryani berhenti melangkah dan berdiri dengan sikap tenang walaupun ia dapat menduga bahwa belasan orang itu tentu tidak berniat baik, apalagi dilihatnya tiga orang di antara mereka adalah orang-orang kulit putih yang memegang senapan. Dari Satyabrata ia sudah banyak mendengar keterangan tentang ampuhnya senjata api. Menurut Satyabrata, peluru senjata api amat cepat dan hanya mungkin dapat dielakkan dengan merebahkan diri. Kalau pelurunya biasa, mungkin dapat disambut dengan aji kekebalan, aksn tetapi kalau peluru dari perak apalagi emas, aji kekebalan tidak dapat diandalkan. Biarpun maklum bahwa dirinya terancam, Muryani bersikap tenang saja. melihat bahwa dari dua belas orang itu hanya tiga orang yang berkulit putih dan memegang senapan. Yang sembilan orang agaknya orang-orang Madura, melihat dari pakaian dan ikat kepalanya. Sembilan orang ini membawa senjata golok atau clurit di pinggangnya dan sikap mereka mengancam. Akan tetapi mereka semua tersenyum dan memandang ringan ketika orang yang diisyaratkan oleh dua orang itu sebagai mata-mata Mataram, ternyata hanya seorang gadis cantik! Yang menjadi pimpinan selosin orang ini adalah seorang Madura yang berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan tampak kokoh kuat, berkumis melintang sekepal sebelah, matanya lebar dan bengis, bernama Sumbaga.

   Dia adalah seorang jagoan dari Arisbaya, dan menjadi seorang senopati anak buah Ki Harya Baka Wulung. Dialah yang kini melangkah maju menghadapi Muryani, memandang gadis itu penuh selidik.

   "Gadis muda dan cantik ini seorang telik-sandi Mataram yang berbahaya?"

   Dia bertanya seperti kepada diri sendiri dan nada suaranya tidak percaya.

   Dua orang anak buahnya yang menyamar sebagai nelayan, sudah berada di situ pula, ikut mengepung Muryani. Si brewok berkata.

   "Harap jangan rnemandang ringan. Gadis ini sungguh sakti dan tangguh sekali!"

   Dengan pandang mata masih tidak percaya, Sumbaga mengamati Muryani. Kemudian dia bertanya dengan suaranya yang nyaring.

   "Heh, nona muda. Siapakah engkau dan kenapa engkau berada di sini seorang diri?"

   Muryani tersenyum.

   "Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, maka tidak perlu aku memperkenalkan namaku. Aku berada di sini adalah urusanku sendiri. Ini tempat umum, tak seorangpun boleh melarangku!"

   "Waduh sombongnya!"

   Sumbaga berseru penasaran.

   "Hei, dengar gadis sombong. Aku adalah Sumbaga, seorang senopati Arisbaya. Benarkah engkau seorang telik-sandi Mataram?"

   Muryani tersenyum mengejek.

   "Kalau benar, kalian mau apa?"

   Sumbaga menjadi marah.

   "Kalau engkau seorang laki-laki, tentu akan kami bunuh! Akan tetapi karena engkau seorang perempuan, engkau harus kami tangkap!"

   "Begitukah? Hemm, coba tangkap aku kalau mampu!"

   Muryani menantang dan ia segera memasang kuda-kuda atau jurus pembukaan dari ilmu silat Bromo Dadali, yaitu dengan Jurus Dadali Anglayang. Ia berdiri berjingkat, tubuhnya agak ditundukkan, kedua lengannya dikembangkan seperti seekor burung hendak terbang.

   Sumbaga yang masih memandang rendah sudah menubruk sambil mengeluarkan seruan panjang.

   "Haiiiiiiiitt.... !."

   Kedua lengannya yang panjang itu sudah menerkam dari kanan kiri, tidak memberi jalan bagi gadis itu untuk mengelak. Dia yakin bahwa sekali terkam gadis itu sudah akan dapat ditangkapnya dengan mudah. Akan tetapi Muryani diam-diam megerahkan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya menjadi ringan sekali sehingga ia dapat bergerak cepat bagaikan serekor burung walet. Ketika kedua tangan Sumbaga menerkam dari kanan kiri, tubuh gadis itu berkelebat ke atas sehingga tubrukan itu luput. Akan tetapi yang diserang oleh Muryani adalah dua orang yang menyamar sebagai nelayan tadi. Dari atas tubuhnya meluncur ke arah dua orang itu dan sekali kedua tangannya bergerak, dua orang itu berteriak dan roboh, tak mampu bangkit kembali karena kepala mereka telah terkena tamparan Muryani yang mempergunakan Aji Pukulan Gelap Sewu yang amat ampuh. Isi kepala dua orang itu terguncang hebat sehingga mereka roboh dan tewas seketika.

   Matinya dua orang ini membikin semua pengepung menjadi terkejut dan marah. Serentak mereka lalu mencabut golok dan celurit, menyerang dan mengeroyok Muryani dari berbagai jurusan. Muryani memperlihatkan kegesitannya, mengamuk dikeroyok sembilan orang yang memegang senjata tajam. Pengeroyokan yang kacau-balau ini malah menguntungkan Muryani karena tiga orang anak buah kumpeni yang memegang bedil itu sampai sekali tidak memperoleh kesempatan untuk mempergunakan senjata api mereka Kalau mereka menembak dalam keadaan seperti itu, besar kemungkinannya peluru mereka akan mengenai teman sendiri.

   Muryani mengandalkan Aji Kluwung Sakti untuk bergerak cepat. Tubuhnya berkelebatan dan dapat menghindarkan diri dari semua serangan golok dan celurit. Lewat belasan jurus, ia telah mampu merobohkan dua orang pengeroyok lagi. Tamparan Aji Gelap Sewu membuat yang tertampar roboh tidak mampu bangkit kembali.

   "Dorr-dorrr!!"

   Dua kali letusan ditembakkan dua orang serdadu Belanda. Seorang di antara tiga serdadu Belanda ini yang sudah pandai berbahasa pribumi, berseru.

   "Menyerah atau kami tembak!"

   Akan tetapi, Muryani yang berkelebat di antara para pengeroyoknya yang tinggal tujuh orang itu sukar untuk dijadikan sasaran. Ia mengerti bahwa di antara mereka semua, yang paling berbahaya adalah tiga orang serdadu Belanda itu. Ia tidak tahu peluru apa yang mereka gunakan dan ia harus berhati-hati sekali. Maka, ia terus bergerak cepat di antara para pengeroyoknya dan ketika mendapat keempatan, ia menyambar sebatang golok yang terlepas dari tangan seorang di antara para pengeroyok yang telah dirobohkannya, lalu secepat kilat ia melontarkan golok itu ke arah seorang serdadu Belanda yang berada paling dekat dengannya. Serdadu itu sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia akan diserang lemparan golok. Tahu-tahu golok itu telah menyambar dan menancap di perutnya. Dia berteriak keras, senapannya terlepas dan tubuhnya roboh lalu berkelojotan dan mati!

   "Semua mundur, biar kami menembaknya!"

   Seru seorang serdadu Belanda yang sudah siap dengan bedilnya. Pada saat itu, Muryani sudah merobohkan pula seorang pengeroyok dengan tendangan kakinya yang mengenai dada. Beberapa tulang iga orang itu patah dan diapun roboh tak mampu bergerak lagi. Enam orang itu terkejut dan mendengar teriakan serdadu Belanda tadi, Sumbaga lalu berseru kepada anak buahnya.

   "Mundur!!"

   Enam orang itu berlompitan ke belakang sehingga kini Muryani ditinggal sendiri. Pada saat itu, seorang serdadu Belanda menembakkan senapannya. Pada detik itu, dengan kepekaannya, cepat sekali Muryani merebahkan dirinya ke atas tanah dan pada saat itu, terdengar ledakan dari tembakan itu.

   "Darrr....!"

   Muryani menggulingkan tubuhnya dengan cepat dan sebelum serdadu itu dapat menembak lagi, ia sudah rnelompat dan sebuah pukulan Gelap Musti menghantam kepalanya. Serdadu itu tak sempat mengeluh, terpelanting dan roboh, tewas seketika. Akan tetapi pada saat itu, serdadu yang ketiga sudah membidikkan senapannya ke arah Muryani dari jarak paling jauh tiga meter.

   "Dorrr....!!"

   Api muncrat, asap mengepul, akan tetapi tembakan itu meleset jauh karena pada saat dia menarik pelatuk senapan, tiba-tiba sebuah batu menyambar dan mengenai tangannya sehingga senapan itu miring dan kehilangan arah. Serdadu itu terkejut akan tetapi pada saat berikutnya, sebuah tangan terbuka menghantam pelipisnya. Pukulan itu perlahan saja, akan tetapi akibatnya tubuh serdadu Belanda itu terpelanting dan dia tidak dapat bangkit atau bergerak lagi. Sumbaga dan lima orang pembantunya menjadi marah dan juga terkejut melihat betapa tiga orang serdadu Kumpeni Belanda itu roboh dan tiga orang anak buahnya juga sudah roboh. Mereka melihat bahwa yang merobohkan serdadu terakhir tadi adalah seorang pemuda.

   Kini Muryani mengamuk. Ia hanya melihat bahwa ada seorang pemuda membantunya, akan tetapi ia

   (Lanjut ke Jilid 24)

   Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   tidak mengenal siapa pemuda itu. Sumbaga dibantu oleh seorang anak buahnya kini mengeroyok pemuda yang bertangan kosong itu sedangkan empat orang anak buahnya yang lain mengeroyok Muryani dengan senjata mereka. Tiga orang memegang golok dan seorang bersenjata sebatang celurit panjang.

   Sambil melayani pengeroyokan empat orang yang marah dan nekat itu, beberapa kali Muryani menggunakan kesempatan untuk menoleh dan memandang pemuda yang menolongnya. Di antara para pengeroyok, Sumbaga yang berkumis melintang memiliki kepandaian yang paling tinggi, maka Muryani khawatir kalau-kalau pemuda yang membantunya itu akan kalah. Akan tetapi ia melihat sesuatu yang aneh terjadi. Pemuda itu agaknya bergerak lambat saja untuk menghindarkan diri dari golok besar di tangan Sumpaga dan celurit panjang di tangan anak buahnya, akan tetapi anehnya, kedua senjata itu tidak pernah dapat menyentuhnya! Yang lebih terkejut dan heran adalah Sumbaga dan pembantunya. Pemuda itu bergerak lambat dan senjata tajam mereka begitu tepat menyambar ke tubuh pemuda itu, akan tetapi setelah dekat, senjata mereka melenceng dan menyimpang ke samping sehingga tidak pernah mengenai tubuh pemuda itu.

   Biarpun demikian, melihat gerakan pemuda itu lambat, Muryani menjadi khawatir kalaukalau orang yang telah membantunya itu akan celaka, maka iapun mengeluarkan bentakanbentakan nyaring. Satu demi satu para pengeroyoknya itu terkena sambaran kedua tangannya yang memukul dengan Aji Gelap Musti! Setelah merobohkan empat orang pengeroyoknya, Muryani memutar tubuh dan terbelalak heran melihat betapa pemuda itu sudah berdiri memandangnya. Dua orang yang tadi mengeroyok pemuda itu, Sumbaga dan seorang anak buahnya, telah menggeletak tak bergerak lagi dengan tubuh tanpa luka.

   Kini mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak lima meter, saling pandang dengan bengong, seperti dalam mimpi dan hampir tidak mempercayai pandangan mata mereka sendiri. Mereka merasa asing satu sama lain, namun setelah sepasang mata mereka bertemu, bertaut dan seakan saling menyelami, mereka seperti terpesona karena masing-masing mengenal pandang mata itu dengan baik sekali.

   "An.... andika".. ??"

   Pemuda itu berkata gagap.

   "Andika....!!"

   Muryani juga berseru dengan sangsi dan ragu. Biarpun pandang mata itu menerangi semua ingatannya, mengembalikan kenangannya sehingga mengenal pemuda itu sebagai Parmadi, namun hal yang meragukannya adalah melihat Parmadi begitu mudahnya mampu merobohkan seorang serdadu Belanda, Sumbaga senopati Arosbaya dan seorang pembantunya! Padahal ia tahu benar bahwa Parmadi, sekitar lima enam tahun yang lalu, adalah seorang pemuda remaja ,yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kesaktian. Sekarang, dia sudah tampak dewasa dan agaknya memiliki kesaktian, menjadi seorang pemuda yang digdaya!

   Karena merasa ragu, Muryani mengamati penuh perhatian. Pemuda itu sudah matang, tubuhnya sedang namun tegap dan ia dapat melihat bahwa tubuh itu menyimpan tenaga sakti yang kuat. Wajahnya tampan walaupun pakaian dan sikapnya masih sederhana seperti dulu, sikap seorang pemuda dusun akan tetapi wajahnya anggun berwibawa seperti wajah seorang pemuda priyayi.

   Mata yang lembut itu terkadang mencorong penuh kekuatan batin, hidungnya mancung, mulutnya selalu membayangkan senyum sehingga tampak cerah dan ramah. Sebatang seruling putih kekuningan terselip di ikat pinggangnya sebelah kiri dan gagang sebatang patrem terselip di pinggangnya sebelah kanan. Gagang patrem itu! Tak salah lagi. Ia masih ingat benar. Itu patrem miliknya! Tidak ada patrem lain di dunia ini yang gagangnya berbentuk kepala burung seperti patremnya. Tidak salah lagi!

   "Kakang Parmadi".!!"

   "Adi Muryani".. !!"

   Entah siapa yang lari lebih dulu. Keduanya merasa demikian gembira dan bahagia, merasa seperti bertemu dengan kakak dan adik yang sudah amat lama dirindukannya, bertemu dengan orang yang selama ini menjadi bayangan yang tidak pernah meninggalkan hatinya, orang yang dicintanya. Hanya pengertian cinta itu masih kabur dalam perasaan mereka, cinta di antara remaja. Karena perasaan cinta remaja yang lebih condong kepada cinta saudara inilah yang membuat Muryani bingung dan ragu ketika Satyabrata menyatakan cintanya kepadanya!

   Dua orang muda itu berlari saling menghampiri dan tahu-tahu mereka sudah saling rangkul, persis seperti ketika mereka akan berpisah dulu. Tanpa dapat ditahannya saking terharu, Muryani menangis di dada Parmadi.

   "Aduh, kakang Parmadi"

   Ke mana saja engkau selama ini"..?"

   Muryani terisak dalam rangkulan pemuda itu.

   "Adi Muryani, aku juga amat gelisah mendapatkan engkau tidak berada lagi di Pakis dan aku mendengar bahwa paman Ronggo Bangak terbunuh orang dan engkaupun terluka parah. Kemudian Ki Demang Warutomo menceritakan bahwa engkau pergi tanpa pamit. Ah, aku menjadi khawatir sekali. Puji syukur kepada Gusti Allah bahwa engkau dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, Muryani."

   Muryani menghela napas panjang, lalu menghapus air matanya, lalu merenggangkan diri dan memandang kepada Parmadi dengan kedua pipi masih basah, akan tetapi mulutnya tersenyum.

   "Maaf, kakang. Aku menjadi anak yang cengeng. Aku terharu dan girang sekali bertemu denganmu, maka aku menangis. Ketahuilah, setelah ayahku dibunuh orang, aku lalu pergi mencari pembunuhnya yang didalangi oleh Ki Demang Wiroboyo."

   "Hemm, belum juga bertaubat orang tu? Betapa jahatnya."

   "Aku bertemu dengan seseorang dan dalam keadaan terancam bahaya dalam tangan Wiroboyo dan temannya, aku ditolongnya kemudian menjadi muridnya. Setelah guruku meninggal, aku lalu melanjutkan usahaku mencari musuh besarku sehingga aku berhasil menemukan dan membunuh Wiroboyo dan temannya, pembunuh ayahku. Temannya itu bernama Darsikun."

   "Siapa gurumu yang baru itu, adi Murani?"

   "Mendiang guruku itu bernama Nyi Rukmo Petak yang bertapa di Bukit Ular, Pegunungan Anjasmoro."

   "Pantas engkau menjadi begini sakti mandraguna! Aku pernah mendengar nama Nyi Rukmo Petak itu. Lalu bagaimana engkau dapat berada di sini dan dikeroyok orang-orang ini?"

   "Setelah berhasil membalas dendam kematian ayah aku lalu pergi ke Muria untuk mengunjungi guru pertamaku Ki Ageng Branjang ketua Perguruan Bromo Dadali dan sempat membantu perguruan kami yang sedang diserang musuh."

   "Siapakah musuh itu?"

   "Dia bernama Dibyasakti, katanya seorang senopati dari Arisbaya, Madura yang membujuk agar Perguruan Bromo Dadali berpihak kepada Madura dan menentang Mataram. Karena bapa guru tidak mau maka terjadi perkelahian. Setelah tinggal beberapa hari di Muria, akhirnya aku tidak betah dan mendengar bahwa akan ada perang antara Mataram dan Madura, maka aku lalu melakukan perjalanan ke sini. Tadi ketika menyeberangi muara, aku diserang dua orang tukang perahu. Aku mengalahkan mereka, akan tetapi ketika tiba di sini, aku dikepung banyak orang dan engkau datang membantuku. Sama sekali aku tidak menyangka bahwa engkaulah yang membantuku kakang. Aku tadi sama sekali tidak mengenalimu!"

   

Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini