Ceritasilat Novel Online

Seruling Gading 9


Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Demikianlah, mulai hari itu, setiap mendapat kesempatan, Satyabrata tentu memasuki sumur tua itu. Bahkan dia juga membawa uang emasnya dan menyimpannya di dalam sumur tua. Hanya pistolnya yang masih disimpan dan disembunyikan di antara batu-batu bukit itu, dipersiapkan kalau-kalau dia membutuhkannya. Setiap kali memasuki sumur, dia mempelajari tulisan dan gambar-gambar itu. Karena tahu bahwa yang menjadi dasar dari semua aji kanuragan adalah tenaga sakti, tanpa dorongan tenaga sakti maka semua aji itu tidak ada gunanya, maka diapun pertam-tama mempelajari cara bersamadhi jungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti. Dengan cara bersamadhi jungkir balik seperti itu dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan oleh tulisan di dinding, Satyabrata mulai dapat menghimpun tenaga sakti secara aneh sekali. Dia dapat membangkitkan tenaga dalam yang muncul dari bawa pusarnya. Kemudian dengan otak yang dialiri banyak darah itu pikirannya menjadi kuat dan dia dapat menggunakan pikirannya untuk menguasai tenaga dalam yang berputar-putar itu sehingga mampu mengalirkan tenaga dalam ini ke manapun kehendaki.

   Akan tetapi, tanpa disadarinya, jalan darah ke dalam otaknya yang berlebihan ini yang mengalir secara tidak wajar, juga mendatangkan akibat, sedikit demi sedikit rusak jaringan syarafnya dan mendatangkan kelainan pada pikirannya. Sering kali muncul bayangan-bayangan aneh dalam benaknya yang membuat dia kadang ingin sekali tertawa karena geli dan merasa lucu, dan ada kalanya membuat dia ingin sekali menangis karena sedih dan rasa duka. Bagaimanapun juga, hatinya merasa gembira sekali karena setelah berlatih beberapa bulan lamanya, dia merasa betapa tenaganya bertambah kuat sekali dan kini dia dapat memanjat atau merayap naik turun sumur itu dengan mudah sekali dan dengan kecepatan melebihi seekor kera. Setelah banyak murid Jatikusumo mulai terusik pikirannya oleh percakapan mereka dengan Satyabrata yang membangkit rasa setia kepada daerah mereka dan menganggap bahwa daerah mereka dikuasai dan "dijajah"

   Oleh Mataram, Satyabrata mulai dengan bujukannya tingkat kedua mulai memompakan anggapan dalam pikiran mereka bahwa Kumpeni Belanda bermaksud baik terhadap bangsa di Nusa Jawa.

   Mereka datang untuk memberi pendidikan, dan untuk mendatangkan kemakmuran dengan berdagang, membeli rempah-rempah dan hasil bumi! Dia mulai menceritakan tentang kehebatan dan kemajuan bangsa Belanda, tentang kehebatan bedil dan meriam mereka, tentang harta benda dan barang-barang indah mereka, tentang kapal-kapal mereka yang besar, kuat dan mewah.

   Pendeknya, dia melempar segala keburukan kepada Mataram dan segala pujian kebaikan kepada Kumpeni Belanda! Akan tetapi, di antara para pendengar itu, terdapat Sakimun yang merasa curiga. Bukan saja dia merasa aneh sekali mendengar nada bicara Satyabrata memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda, bahkan dia juga melihat sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu. Kadang dia melihat sinar mata pemuda tu mencorong dan mengerikan! Mulailah Sakimun merasa curiga dan mulai dia diam-diam memperhatikan murid baru itu. Dan kecurigaan serta keheranannya bertambah ketika dia melihat pemuda itu apabila sedang berada seorang diri, suka tertawa-tawa sendiri seperti orang yang miring otaknya! Pada suatu siang Sakimun melihat Satyabrata mendaki bukit larangan itu. Tentu saja dia merasa terkejut dan heran bukan main. Ki Cangak Awu sendiri mengeluarkan larangan keras bagi para murid untuk mendaki bukit itu dan selama ini tidak ada seorangpun murid berani melanggar larangan. Akan tetapi dia melihat murid baru yang mencurigakan itu mendaki bukit itu seorang diri! Sungguh amat mencurigakan sekali!

   Karena itu, bergegas dia pergi menghadap pemimpin perguruan Jatikusumo. Pada saat itu, Cangak Awu sedang berada di ruangan tengah bersama Pusposari. Kebetulan sekali mereka memang sedang rnembicarakan murid baru itu, Satya yang tampak sebagai murid yang menyenangkan. Pusposari melaporkan kepada suaminya bahwa Satya itu rajin sekali, tanpa diperintah suka membersihkan rumah dan pekarangan, membantu semua pekerja. Cangak Awu juga bercerita kepada isterinya betapa pemuda itu selain rajin membantu pekerjaan di sawah ladang, juga amat tekun berlatih dasar-dasar ilmu pencak silat Jatikusumo dan tampaknya memiliki bakat yang baik sekali di samping tenaga yang besar.

   "Dia kelak akan menjadi seorang murid yang tangguh dan dapat diandalkan,"

   Antara lain Cangak Awu memuji.

   Kedatangan Sakimun yang tiba-tiba menghadap mereka itu mengejutkan suami isteri pimpinan Jatikusumo itu. Apalagi mereka dapat melihat betapa wajah dan pandang mata Sakimun membayangkan kegelisahan.

   "Raka Sakimun, kepentingan apakah yang andika bawa maka siang hari begini andika menemui kami?"

   Tanya Ki Cangak Awu. Biarpun dia dan isterinya diangkat menjadi pimpinan, namun pendekar ini selalu bersikap ramah dan hormat kepada orang yang lebih tua dalam perguruan itu. Hal ini membuktikan bahwa para murid Jatikusumo bukan hanya mendapatkan pendidikan olah kanuragan, akan tetapi juga pendidikan tata susila yang baik.

   "Rayi Cangak Awu, ada kejadian yang amat aneh dan juga amat mencurigakan terjadi dalam perguruan kita, maka saya cepat datang menghadap untuk melaporkan kejadian itu."

   "Ada apakah, Ki-raka? Ceritakanlah!"

   Kata Cangak Awu pendek dan tegas, seperti yang telah menjadi wataknya.

   "Saya hendak melaporkan tentang rayi Satya, murid baru itu."

   "Raka Sakimun, ada apa dengan Satya? Bukankah dia seorang murid dan pembantu yang amat baik? Cepat ceritakan, ada apakah dengan dia?"

   Tanya Pusposari.

   "Akhir-akhir ini, dalam percakapannya dengan para murid lain, rayi Satya dalam kata-katanya bernada menyalahkan Mataram yang dikatakannya menjajah kadipaten-kadipaten daerah lain, bahkan bernada membujuk para murid agar membela daerah masing-masing dari penindasan Mataram."

   "Ah, benarkah itu, Raka Sakimun?"

   Teriak Cangak Awu kaget.

   "Benar, saya mendengarnya sendiri. Juga, selain mernburuk-burukkan Mataram, dia memujimuji Kumpeni Belanda yang dikatakannya datang membawa kemakmuran kepada rakyat dan membantu rakyat untuk menentang Sultan Agung yang dikatakannya angkara murka."

   "Jahanam keparat!"

   Ki Cangak Aw bangkit dari kursinya dan berdiri dengan marah sambil mengepal tangannya.

   "Tenang dan bersabarlah, rakanda!"

   Kata Pusposari yang juga bangkit dan menyentuh lengan suaminya.

   "Biarkan Raka Sakimun melanjutkan laporannya."

   "Apalagi yang perlu dilaporkan? Semua itu sudah cukup!"

   Kata Cangak Awu dengan kasar.

   "Masih ada, rayi. Ada yang lebih aneh lagi. Tadi saya melihat rayi Satya mendaki bukit larangan. Karena tidak berani mengikutinya mendaki bukit larangan, maka saya langsung menghadap rayi untuk memberi laporan."

   "Cukup! Mari kita pergi, diajeng! Kita harus mengurus bocah itu! Andika juga ikut, Raka Sakimun, untuk menjadi saksi!"

   "Akan tetapi, rayi. Saya... tidak berani mendaki bukit...."

   "Tidak apa. Sekali ini, bersama kami andika boleh mendaki bukit larangan itu. Mari kita cepat mengejarnya ke sana!"

   Kata Cangak Awu.

   Mereka bertiga lalu bergegas menuju ke bagian belakang perkampungan Jatikusuman dan mendaki bukit larangan. Beberapa orang anggauta Jatikusumo yang melihat ini, memandang dengan bengong, ai:an tetapi mereka tidak berani bertanya. Mereka hanya menduga bahwa pasti terjadi hal yang hebat di bukit keramat itu sehingga suami isteri pimpinan mereka bersama Sakimun mendaki bukit itu dan tampak tergesa-gesa.

   Dengan mengerahkan tenaga, tiga orang itu berlari cepat mendaki bukit dan tak lama kemudian mereka sudah berdiri dekat sumur tua, melongok ke dalam sumur. Akan tetapi keadaan di sumur itu biasa-biasa saja, masih sunyi dan ketika melo'ngok ke bawah sumur, masih gelap dan tidak tampak apa-apa. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Mereka bertiga mengamati keadaan sekeliling, akan tetapi sunyi saja.

   "Di rnana dia?"

   Tanya Cangak Awu.

   "Tidak ada orang di sini,"

   Kata Pusposari.

   "Akan tetapi saya melihat sendiri dia mendaki bukit ini tadi. Dia pasti berada di sini, mungkin lebih ke atas sana,"

   Kata Sakimun penasaran.

   "Mari kita cari ke puncak bukit,"

   Kata Cangak Awu. Mereka bertiga lalu berjalan cepat mendaki ke puncak.

   Ketika tiga orang itu pergi, Satyabrato merayap naik keluar dari sumur. Tadi dia sudah mendengar kedatangan mereka, bahkan mendengarkan ucapan tiga orang itu. Dia keluar dari sumur dan cepat bersembunyi di antara batu-batu tak jauh dart sumur dan untuk berjaga diri, dia mengambil pistolnya. Dia tidak berani turun bukit karena kalau hal itu dia lakukan mungkin saja akan tampak dari atas. Dari percakapan mereka bertiga tadi, dia hanya tahu bahwa Sakimun melihat dia mendaki bukit lalu melaporkan kepada suami isterl pimpinan itu yang kemudian mengejarnya. Mereka tentu belum mengetahui akan semua rahasianya. Kesalahannya hanya melanggar pantangan mendaki bukit itu. Satyabrata menunggu dengan jantung berdebar, pistolnya siap diselipkan di ikat pinggang, tertutup bajunya.

   Setelah tiba di puncak, tiga orang itu mengamati keadaan sekeliling. Ternyata tidak tampak bayangan seorangpun di seluruh permukaan bukit yang dikeramatkan itu.

   "Bagaimana ini, Raka Sakimun? Dia benar-benar tidak berada di bukit ini,"

   Tegur Ki Cangak Awu.

   "Tentu dia sudah turun lebih dulu. Sebaiknya kita sekarang menemuinya di dalam perkampungan dan kita desak die agar mengakui semua perbuatannya. Saya yang menjadi saksi, dan saya kira masih banyak murid Jatikusumo yang bersedia menjadi saksi,"

   Kata Sakimun penasaran juga.

   Mereka menuruni puncak dan ketika mereka tiba di dekat sumur tua, pendengaran Cangak Awu dan Pusposari yang tajam menangkap gerakan orang. Mereka memutar tubuh dengan cepat dan masih sempat melihat berkelebatnya bayangan orang di antara batu-batu tak jauh dari situ.

   "Siapa di sana?"

   Pusposari membentak nyaring. Akan tetapi tidak ada jawaban. Suami isteri itu saling pandang dan dengan pandang matanya, Cangak Awu memberi isyarat kepada isterinya untuk meneari dan menghampiri ke arah kumpulan batu-batu besar itu dari kiri sedangkan dia menghampiri dari kanan sehingga mereka membuat gerakan mengepung dari kanan kiri agar bayangan yang bersembunyi di balik batu-batu itu tidak dapat melarikan diri. Sakimun tetap berdiri di dekat sumur tua.

   Akan tetapi ketika suami isteri yang berpencar itu memutari kumpulan batu-batu besar, bagaikan seekor kera gesitnya, Satyabrata berloncatan ke atas batu-batu itu dan langsung menghampiri Sakimun yang berdiri di dekat sumur. Melihat pemuda itu, Sakimun cepat menegur.

   "Rayi Satya, engkau dicari pimpinan!"

   "Raka Sakimun, tentu andika yang membocorkan rahasiaku kepada para pimpinan!"

   Kata Satyabrata dan matanya mencorong aneh ketika dia memandang Sakimun.

   "Tentu saja!"

   Sakimun menjawab dengan berani karena dia memandang rendah kepada murid baru ini yang dianggapnya tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap dirinya.

   "Engkau telah bersikap seperti pemberontak, memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Belanda. Engkau malah berani melanggar pantangan mendaki bukit larangan ini!"

   Tiba-tiba Satyabrata menyeringai, bukan tersenyum biasa, melainkan menyeringai aneh dan ketika tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut pistolnya dari ikat pinggangnya lalu menodongkannya ke arah dada Sakimun.

   "Heh-heh, Sakimun, kalau begitu berarti engkau sudah bosan hidup!"

   Sakimun terkejut. Dia belum pernah melihat pistol, akan tetapi sudah mendengar akan keampuhan senjata api itu. Maka, melihat dirinya ditodong, dia cepat menerjang dengan loncatan untuk mendahului dan menyerang pemuda itu.

   "Darrrr !!"

   Bunga api berpijar dari mulut pistol dan tubuh Sakimun tersentak ke belakang lalu roboh telentang dan tewas seketika!

   Satyabrata sering berlatih menembak, namun baru sekali ini dia merobohkan orang dengan tembakan pistolnya. Maka dia lalu menghampiri tubuh Sakimun yang menggeletak di dekat sumur. Dia berjongkok dan sambil menyeringai senang dia melihat dada yang tembus oleh peluru pistolnya

   itu.

   "Satya, murid durhaka! Engkau telah membunuh Raka Sakimun!"

   Terdengar bentakan nyaring di belakangnya. Satyabrata bangkit berdiri dan dengan tenang dia membalikkan tubuhnya dan berdiri berhadapan dengan Cangak Awu yang mengerutkan alisnya, mukanya kemerahan dan sepasang matanya berapi saking marahnya.

   "Ah, kiranya Raka Cangak Awu yang datang?"

   Satyabrata berkata dengan tenang sekali sambil menyeringai.

   "Keparat busuk! Engkau memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Belanda. Kiranya engkau seorang telik-sandi (matamata) Belanda yang terkutuk! Dan engkau telah melanggar pantangan mendaki bukit ini, bahkan telah membunuh seorang murid Jatikusumo! Aku tidak dapat mengampunimu, keparat!"

   "Ki Cangak Awu!"

   Kata Satyabrata dengan senyum mengejek berkembang di bibirnya.

   "Sebaiknya engkau memimpin Jatikusumo untuk membebaskan daerah dari cengkeraman Mataram dan bekerja sama dengan Kumpeni Belanda menentang Mataram. Engkau akan mendapatkan imbalan harta benda yang besar dan kedudukan yang tinggi dan mulia. Atau engkau memilih mati di tanganku!"

   Satyabrata menodongkan pistolnya ke arah ketua Jatikusumo itu.

   Cangak Awu menjadi marah sekali dan dia sudah mengerahkan Aji Gelap Musti dalam kedua tangannya, lalu menerjang dengan mendorongkan kedua tangan ke arah pemuda itu. Akan tetapi dengan tenang Satyabrata sudah membidik dengan pistolnya. Pada saat dia menarik pelatuk pistolnya, sebutir batu sebesar kepalan tangan menyambar dan tepat mengenai tangannya yang memegang pistol.

   "Darrr.... !!"

   Karena batu yang menghantam tangannya, bidikan pistol itu bergoyang dan miring sehingga pelurunya menyimpang dari sasaran. Satyabrata terkejut sekali. Dia lupa akan kehadiran Pusposari yang datang dari arah kirinya. Wanita perkasa ini maklum akan bahaya maut yang mengancam suaminya, maka ia cepat memungut batu dan melontarkan batu itu ke arah tangan Satyabrata yang memegang pistol sehingga bidikan itu meleset dan suaminya lolos dari maut. Sementara itu, melihat Cangak Awu menyerangnya dengan pukulan kedua tangan yang didorongkan, yang membawa angin pukulan dahsyat, Satyabrata cepat mengerahkan tenaga yang dilatihnya di dalam sumur dan diapun menyambut dorongan kedua tangan lawan itu dengan kedua tangannya sendiri.

   "Wuuuttt dessss !!"

   Tubuh Satyabrata terlempar ke belakang, ke dekat sumur. Dia terkejut dan kecerdikannya membuat dia maklum bahwa walaupun pertemuan tenaga itu tidak membuat dia terluka parah, namun dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan ketua Jatikusumo ini, apalagi masih ada isterinya yang juga kabarnya amat digdaya. Dia tidak akan mampu melarikan diri. Karena itu, ketika tubuhnya terpental ke dekat sumur dia membuat seolah dirinya terguling dan terjatuh ke dalam sumur!

   Pusposari cepat menghampiri suaminya yang agak terhuyung ke belakang. Wajat Cangak Awu agak pucat dan napasnya agak terengah. Cepat ketua. Jatikusumo inl duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan kesehatannya, agar isi dadanya tidak terluka oleh guncangan hebat tadi. Setelah merasa bahaya telah lewat, dia menghela napas panjang dan bangkit berdiri.

   "Bagaimana, kakang-mas?"

   Tanya Pusposari.

   Cangak Awu menggeleng kepala perlahan.

   "Tidak apa-apa, akan tetapi sungguh tidak pernah menyangka bahwa si Satya itu ternyata memiliki tenaga sakti yang cukup kuat. Syukur bahwa Aji Gelap Musti agaknya dapat merobohkannya."

   "Dia terpental dan terguling ke dalam sumur,"

   Kata Pusposari. Keduanya lalu menghampiri sumur dan menjenguk ke dalam. Gelap dan sunyi saja.

   "Kukira dia tentu tewas. Ketika memukul tadi, aku mengerahkan seluruh tenagaku. Dia terjerumus ke dalam sumur ini, tidak mungkin dapat bertahan hidup. Andaikata masih hidup sekalipun, dia tidak akan dapat keluar dari sumur dan akan mati kelaparan. Biarlah rohnya yang sesat itu menjadi roh penasaran bersama para pengkhianat yang lain,"

   Kata Cangak Awu. Dia melihat pistol yang tadi dipergunakan Satyabrata menggeletak di dekat sumur. Dia mengambil senjata api itu kemudian dengan pengerahan tenaga dia membanting benda itu ke dalam sumur. Kalau Satyabrata berada tepat di dasar sumur dan kepalanya terkena hantaman pistol dari atas itu, tentu akan pecah kepalanya!

   Cangak Awu lalu menghampiri tubuh Sakimun yang menggeletak dekat sumur. Setelah memeriksanya sejenak dan mendapat kenyataan bahwa orang itu telah tewas, Cangak Awu lalu memondong mayat itu dan mengajak isterinya meninggalkan bukit larangan itu. Para murid Jatikusumo menjadi gempar ketika melihat ketua mereka turun dari bukit larangan memondong Sakimun yang sudah menjadi mayat. Setelah jenazah itu dirawat, Cangak Awu mengumpulkan semua murid ke ruangan pendopo yang luas.

   "Para raka dan rayi sekalian!"

   Katanya dengan suara lantang berwibawa.

   "Kami sudah tahu bahwa di antara kalian ada yang sudah mendengar kata-kata yang diucapkan murid baru Satya yang pada dasarnya bernada menghasut, memburuk-burukkan Mataram dan di samping itu memuji-muji Kumpeni Belanda. Ucapan-ucapannya itu menunjukkan bahwa dia seorang pengkhianat dan ketahuilah kalian bahwa setelah kami menyelidikinya, ternyata Satya itu adalah seorang telik-sandi Kumpeni Belanda yang sengaja menyelundup ke sini dan menjadi murid perguruan kita!"

   Terdengar desah dari banyak mulut itu.

   "Diapun melanggar larangan, mengunjungi bukit larangan yang agaknya akan dijadikan tempat persembunyiannya. Setelah kami memergokinya di sana, dia tidak membantah bahwa dia telik-sandi Kumpenl Belanda, malah dia menggunakan senjata api pistol untuk membunuh Raka Sakimun!"

   Kembali terdengar desahan dan gumam penasaran. dan kemarahan di antara para murid Jatikusumo.

   "Diapun berniat membunuh kami dengan pistolnya. Beruntung bagi kami bahwa Gusti Allah masih melindungi kami sehingga kami berhasil merobohkannya dan dia terjerumus ke dalam sumur tua. Rohnya yang jahat tentu berkumpul dengan roh-roh jahat lainnya, membuat sumur tua itu menjadi semakin angker. Karena itu kami peringatkan sekali lagi, jangan ada murid Jatikusumo yang mendaki bukit larangan itu. Dan kalian tahu sekarang bahwa semua hasutan Satya itu adalah siasat busuk Kumpeni Belanda, maka kami harap kalian waspada dan jangan sampai dapat terbujuk omongan seperti yang diucapkan pengkhianat Satya itu. Ingat akan janji dan persyaratan Jatikusumo. Pertama, menjadi pendekar yang membela kebenaran dan keadilan menentang kejahatan dan kedua, setia membela Mataram!"

   Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi kurang lebih empat lima tahun yang lalu di perkampungan Jatikusuman itu. Peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang setelah lewat beberapa tahun itu. Peristiwa yang dilanjutkan larangan keras untuk mendaki bukit itu membuat tempat larangan itu semakin angker dan tiada seorangpun berani lancang mendaki bukit itu, apalagi mendekati sumur yang dianggap menjadi tempat tinggal roh-roh penasaran para pengkhianat yang jahat itu.

   Dan keadaan ini sungguh amat menguntungkan Satyabrata. Orang-orang Jatikusumo sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pemuda yang mereka kenal sebagai Satya itu sesungguhnya sama sekali

   belum tewas!

   Ketika pistolnya terlepas dari tangannya karena sambaran sebuah batu, Satyabrata yang melihat dirinya diserang pukulan sakti Cangak Awu, cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk menyambut. Pada waktu itu dia telah berlatih menghimpun tenaga sakti dengan cara Samadhi jungkir balik dan secara aneh telah terhimpun tenaga dalam yang luar biasa dan dahsyat dalam dirinya. Maka, ketika dia mengerahkan . tenaga menyambut aji pukulan Gelap Musti dari perguruan Jatikusumo, dia mampu menahan pukulan lawan yang hanya membuat dia terpental dan dengan cerdik, dia lalu menggulingkan diri masuk ke dalam sumur tua. Dia sama sekali tidak tertuka dan setelah tiba di. dasar sumur dia mendengar ucapan Cangak Awu yahg bicara dengan isterinya. Ketika Cangak Awu membanting pistol ke dalam sumur, Satyabrata dapat melihat dari bawah dan dia cepat menyelinap ke dalam terowongan sehingga sambitan pistol itu tidak mengenai dirinya.

   Mulai hari itu, Satyabrata dengan tekun mempelajari semua ilmu yang tertulis dan terlukis di dinding bawah tanah. Kalau siang dan keadaan dalam ruangan bawah tanah itu cukup terang, dia berada di dalam sumur dan mempelajari serrdua ilmu itu. Kalau malam dia berada di luar sumur dan melewatkan malam di dalam guha di balik puncak. Dia merasa aman karena tidak pernah ada orang berani mendaki bukit itu. Untuk makannya setiap hari, dia mempergunakan ilmunya mendatangi telik-sandi Kumpeni Belanda di Pacitan tanpa diketahui orang dan membawa bekal makanan dari sana. Demikianlah, sampai bertahun-tahun dia mempelajari ilmu-ilmu itu sehingga Satyabrata menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna dan berbahaya sekali.

   Akan tetapi karena dia menjalani latihan menghimpun tenaga sakti secara sesat, ada akibat sampingan yang amat hebat pula. Pemuda itu kini menjadi seorang yang terkadang berwatak aneh seperti orang gila! Dan dia menyimpan dendam terhadap Perguruan Jatikusumo, terutama kepada Cangak Awu dan Pusposari yahg mengalahkannya. Niatnya yang pertama adalah membunuh kedua orang itu setelah dia selesai mempelajari semua ilmu itu, selain untuk melampiaskan dendamnya, juga untuk memenuhi tugasnya yang dibebankan kepadanya oleh ayah angkatnya, Willem Van Huisen!

   Kita kembali mengikuti perjalanan Parmadi. Baru pertama kali "turun gunung"

   Berpisah dari gurunya, pemuda itu sudah. mengalami guncangan batin yang berat berturut-turut. Pertama mendengar akan kematian ayah Muryani dan juga gurunya, Ki Ronggo Bangak, dan kepergian Muryani tanpa ada yang mengetahui ke mana, Kemudian, ketika berkunjung ke dusun Pancot, dia mendengar dari Pak Jambi Pece tentang kematian ayah dan ibu kandungnya dan mendengar bahwa Ki Wiroboyo pernah berbuat kurang ajar terhadap mendiang ibunya sehingga Ki Wiroboyo patut dicurigai tentang pembunuhan terhadap ayah ibunya itu.

   Dia menuruni lereng Gunung Lawu sebelah barat dan menggunakan ketangkasannya untuk berjalan cepat menuruni jurang-jurang yang dalam dan mendaki tebing-tebing yang curam. Karena perjalanan itu amat sukar, maka setelah matahari condong ke barat, dia masih belum tiba di kaki gunung, melainkan tiba di lereng agak ke bawah. Tibalah dia di sebuah dusun dan karena hari sudah mulai remang-remang, dia mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi ketika dia mulai memasuki dusun, dia melihat keadaan yang amat aneh. Dusun itu hanya mempunyai sekitar tiga puluh rumah. Rumah-rumah sederhana kaum tani. Ketika tadi hendak memasuki dusun Parmadi melihat sebuah candi berdiri di atas sebuah bukit kecil yang berada di luar dusun, tidak jauh dari dusun itu.

   Bangunan candi yang cukup besar itu tampak angker dan menyeramkan. Akan tetapi Parmadi hanya melihatnya dari jauh dan dia langsung memasuki dusun. Begitu memasuki dusun, terasalah suasana yang aneh itu. Hari belum gelap benar, baru menjelang senja, akan tetapi keadaan dusun itu sunyi sekali. Terdengar berkokoknya ayam dan beberapa kali ada suara kambing mengembik. Akan tetapi tidak terdengar suara manusia, juga tidak tampak bayangan manusia. Rumah-rumah sederhana ini tidak ada yang terbuka pintu ataupun jendelanya, semua tertutup rapat. Anehnya, tidak tampak ada penerangan sedikitpun dari rumah-rumah itu.

   Akan tetapi, walaupun keadaan demikian sunyi dan tidak tampak adanya seorangpun manusia, Parmadi dapat merasakan bahwa ada banyak pasang mata mengintainya dari rumahrumah itu. Bahkan dia sempat melihat bayangan di balik dinding bambu rumah-rumah itu dan pendengarannya yang tajam dapat menangkap gerakan dari dalam rumah. Dalam rumah-rumah sederhana itu bukan tidak ada orangnyai. Akan tetapi mereka agaknya sengaja bersembunyi, dan tidak ada yang menyalakan penerangan. Agaknya semua orang ketakutan melihat dia datang!

   Tentu saja keadaan ini membuat Parmadi merasa penasaran dan heran sekali. Mengapa orangorang dusun itu ketakutan melihat dia datang? Mengapa mereka semua bersembunyi dan tidak ada yang berani menyalakan penerangan? Padahal selama hidupnya belum pernah dia datang ke dusun itu dan tidak mengenal seorangpun dari penduduk di situ.

   Parmadi berhenti di depan sebuah rumah yang dilihatnya paling besar di antara rumah-rumah di situ. Kalau rumah lain terbuat dari dinding anyaman bambu, rumah ini dindingnya dari papan kayu dan ukurannya juga lebih besar. Dia memasuki pekarangan dan berdiri di depan rumah itu.

   Dia merasa penasaran sekali. Andaikata penduduk dusun itu tidak mau menerimanya dan tidak mau memberinya tempat untuk menginap malam itu, dia tidak perduli. Dia dapat tidur di mana saja, di bawah pohon atau bahkan di tempat terbuka mana saja. Akan tetapi sikap mereka itu membuatnya heran dan penasaran. Mengapa mereka semua bersembunyi, seolah dia dianggap iblis yang menakutkan?

   Biarpun dalam rumah besar itupun gelap, namun Parmadi dapat mendengar gerakan-gerakan orang di dalamnya. Dia tahu bahwa di dalam rumah itu terdapat eukup banyak orang. Bahkan dia mendengar suara berbisik-bisik. Kemudian terdengar anak kecil menangis dan suara wanita berbisik-bisik menyuruhnya diam. Menghadapi semua ini, Parmadi tidak kuat menahan keinginan tahunya. Dia harus tahu apa yang terjadi sehingga orang-orang sedusun takut kepadanya! Dengan hati tetap dia menghampiri pintu depan dan mengetuknya perlahan.

   "Tok-tok-tok....!"

   Tidak terdengar jawaban dan ada beberapa orang bersuara "sstt"ssttt". ssttt....!"

   Member tanda agar semua orang diam.

   Hal ini tentu saja membuat Parmadi menjadi semakin penasaran. Dia mengetuk lagi daun pintu itu lebih kuat dan disambung dengan seruannya.

   "Tok-tok-tok! Saya tahu andika sekalian berada di dalam. Harap suka membuka pintu. Saya bukan orang jahat! Saya adalah seorang tamu dari luar dusun dan saya ingin bicara dengan andika sekalian!"

   Hening sekali setelah Parmadi mengeluarkan seruan ini. Lalu terdengar lagi suara berbisikbisik di dalam seolah ada beberapa orang yang sedang berunding. Tak lama kemudian terdengar suara yang besar parau, suara laki-laki dewasa dan suara itu agaknya digagah-gagahkan akan tetapi tetap saja mengandung getaran tanda ketakutan.

   "Kami mohon agar andika mencari korban di lain tempat saja. Kalau andika memaksa, kami akan nekat melakukan perlawanan. Harap andika pergi sekarang juga!"

   Tentu saja Parmadi menjadi bengong karena heran. Mencari korban? Apa yang mereka maksudkan? "Andika sekalian keluarlah. Mari kita bicara dengan baik-baik. Saya tidak mencari korban apapun juga!"

   Kembali hening sesaat. .Kemudian, tiba-tiba daun pintu dibuka dari dalam dan lima orang laki-laki yang membawa senjata, ada yang memegang tombak, ada yang membawa parang, berlompatan dari dalam dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka menerjang dan menyerang Parmadi kalang-kabut! Tentu saja Parmadi merasa terkejut bukan main. Akan tetapi dia juga tidak ingin menjadi bulan-bulanan serangan mereka. Andaikata dia dapat melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan, dia tidak akan mampu mencegah pakaiannya rusak dan robek-robek oleh senjata-senjata itu.

   Sebatang tombak yang panjang lebih dulu meluncur ke arah perutnya. Parmadi miringkan tubuh. Ketika tombak itu meluncur di samping perutnya, cepat tangan kirinya menangkap tombak dan kaki kanannya menyambar ke arah si pemegang tombak dan diapun menarik tombak itu dengan sentakan. Tombak itu telah berpindah ke tangannya. Ketika dua batang parang, sebilah keris dan sebatang tombak menyambar, dia mempergunakan tombak yang dirampasnya itu, digerakkan dengan pengerahan tenaga menangkis.

   "Traeng-traagg-trang-trang""""

   Empat batang senjata para pengeroyok itu beterbangan terlepas dari tangan mereka. Parmadi lalu menggunakan kedua tangannya, menekuk-nekuk patah tombak itu seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat ini, lima orang laki-laki itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan kaki mereka menjadi lemas. Mereka jatuh bertekuk lutut dan menyembah-nyembah ketakutan.

   Seorang laki-laki berusia limapuluhan tahun yang berpakaian lebih rapi daripada yang lain, dengan suara gemetar dan tubuh menggigil menyembah dan berkata dengan hormat.

   "Pukulun, mohon paduka sudi mengampuni kami orang-orang dusun yang miskin dan papa. Hamba semua berjanji akan memuja paduka dan kasihanilah hamba, bebaskan anak-anak hamba agar jangan dijadikan korban....

   
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"

   Mengertilah Parmadi bahwa ada kekeliruan di sini. Dia disangka orang lain, atau bahkan dia disangka makhluk lain, bukan manusia! Hal ini terbukti dari sebutan orang tua itu kepadanya yang memanggilnya dengan sebutan "pukulun", sebutan yang biasanya diberikan kepada para dewa! Dia

   tersenyum.

   "Paman yang baik, dan saudara-saudara sekalian. Agaknya andika semua telah salah mengenal orang! Harap andika sekalian bangkit dan marilah kita bicara dengan baik. Saya sama sekali bukan orang yang berniat jahat. Kebetulan saja saya lewat di sini dan hanya membutuhkan tempat untuk melewatkan malam. Silakan andika sekalian bangkit berdiri."

   Orang setengah tua yang agaknya menjadi pemimpin di antara mereka itu mengangkat muka dan memandang wajah Parmadi, ragu-ragu.

   "Andika.... andika bukan utusan.... San Pukulun Syiwamurti....?"

   Parmadi tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Saya manusia biasa, bukan utusan dewa manapun, paman. Bangkitlah dan mari kita bicara. Saya ingin sekali mengetahui apa yang terjadi di dusun ini dan mengapa pula andika sekalian bersikap begini aneh, menyerang seorang tamu yang baru datang seperti saya ini."

   Agaknya lima orang itu baru mau percaya. Didahului oleh orang setengah tua itu, mereka semua bangkit berdiri dan berani menatap wajah Parmadi.

   "Maafkan sikap kami tadi, ki-sanak. Kami tadi mengira andika datang hendak menjemput korban...."

   Kata orang tua yang bertubuh tinggi kurus itu.

   "Mari silakan masuk ke dalam rumah. Kita bicara di dalam saja."

   Parmadi mengikuti lima orang itu memasuki rumah dan dia melihat dalam keremangan rumah itu bahwa ada beberapa orang wanita dan kanak-kanak mengintai dari ruangan dan kamar lain. Dalam ruangan itu terdapat beberapa buah kursi kayu dan Parmadi dipersilakan duduk. Parmadi duduk berhadapan dengan lima orang itu.

   "Paman, mengapa paman tidak menyalakan lampu penerangan? Sungguh tidak enak duduk bercakap-cakap dalam cuaca gelap begini,"

   Kata Parmadi.

   "Menyalakan lampu? Ah, jangan.... kami.... kami takut...."

   Kata orang itu, juga yang lain mengeluarkan suara tidak setuju dan mereka semua ketakutan. Parmadi menjadi semakin penasaran. Orang-orang dusun ini semua merasa takut akan sesuatu yang mengerikan, pikirnya. Diapun tidak mendesak mereka untuk menyalakan lampu.

   "Paman, sebetulnya apakah yang terjadi di dusun ini? Kenapa semua rumah menutup pintu dan tidak menyalakan penerangan? Juga mengapa paman sekalian tampak ketakutan, bahkan tadi menyerang aku tanpa alasan? Apa artinya semua ini?"

   "Sebelum kami menjawab pertanyaanmu dan menerangkan segalanya kepadamu, kami ingin mengetahui lebih dulu siapa andika, ki-sanak, dan keperluan apakah yang membawa andika datang

   ke dusun Sukuh ini?"

   Parmadi hanya kebetulan lewat di dusun itu dan dia tidak ingin namanya dikenal, apalagi menghadapi peristiwa aneh yang agaknya harus dicampurinya. Dia harus membantu para penduduk yang ketakutan itu menghadapi sesuatu yang agaknya mengerikan. Dan untuk itu dia pikir tidak perlu memperkenalkan dirinya. Gurunya, Resi Tejo Wening, pernah berpesan kepadanya bahwa kalau dia turun tangan menolong orang, dia tidak perlu menonjolkan namanya, bahkan lebih baik kalau yang dia tolong itu tidak mengenal namanya!

   "Saya adalah seorang perantau, paman dan hanya kebetulan saja saya lewat di dusun ini dan kemalaman. Karena itu saya ingin melewatkan malam ini di sini, mohon kebaikan hati seorang di antara penduduk untuk memberi sekedar sehelai tikar untuk saya tidur. Nama saya? Sebut saja saya Seruling Gading, paman. Nah, sekarang harap paman suka menceritakan semua keanehan ini kepada saya. Siapa tahu saya akan dapat membantu andika sekalian untuk membikin terang semua kegelapan ini."

   "Sesungguhnya, anak-mas!"

   Kata orang setengah tua itu dan suaranya mengandung penuh harapan.

   "Setelah mengetahui bahwa andika bukan lawan melainkan kawan, dan melihat bahwa andika seorang yang sakti mandraguna, kami seluruh warga dusun Sukuh ini mengharapkan pertolongan andika. Ketahuilah bahwa dusun kami ini sedang menghadapi malapetaka yang besar sekali, agaknya kami menerima amarah para dewa sehingga kami dikutuk."

   "Tidak. ada dewa mengutuk manusia, paman. Kalau ada suatu akibat terjadi, pasti ada sebabnya dan kita berkewajiban untuk mencari tahu dan melenyapkan penyebabnya itu. Nah, ceritakanlah. Apa yang telah terjadi?"

   "Saya akan memperkenalkan diri lebih dulu, anak-mas Seruling Gading. Saya bernama Gitosani dan saya diangkat oleh penduduk di dusun Sukuh ini menjadi kepala dusun karena saya dianggap sebagai sesepuh yang sudah tinggal di sini sejak eyang buyut saya. Bahkan nenek moyang saye menjadi juru kunci dari Candi yang menjadi tempat pemujaan kami untuk, mohon berkah keselamatan, kesuburan, kesehatan, rejeki dan semua kebutuhan kami. Kemudian tiba-tiba dating malapetaka itu, malapetaka yang". mengerikan...."

   Lurah Gitosani menggigil dan semua orang yang berada di situ juga ketakutan seolah-olah hawa dalam ruangan itu tiba-tiba menjadi dingin sekali. Dari dalam kamar di sebelah kiri terdengar suara bayi menangis, akan tetapi agaknya mulut bayi itu segera dijejali puting susu ibunya karena ia terdiam dengan cepat.

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   "Hemm, ceritakanlah saja, paman Gitosani dan jangan takut. Ada saya di sini yang akan menjaga keselamatan semua orang,"

   Kata Parmadi dan suaranya yang tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri terdengar amat menghibur bagi semua orang itu.

   "Terjadinya dimulai dengan datangnya dua orang di dusun ini, kurang lebih satu bulan yang lalu. Seorang kakek tinggi besar seperti raksasa menyeramkan yang mengaku bernama Koloyitmo bersama seorang anaknya perempuan bernama Nini Maya Dewi yang cantik seperti dewi kahyangan. Mereka berdua memasuki candi dan mendudukinya, tidak mau keluar dari candi. Kakek yang bernama Resi Koloyitmo itu mengaku bahwa dia titisan Sang Bathara Kolo dan dia bilang bahwa dia sengaja memilih Candi Sukuh untuk tempat tinggalnya sementara waktu. Kami berusaha mengusirnya, akan tetapi kakek dan anaknya itu sakti mandraguna. Belasan orang dari kami diterbangkan angin ketika hendak menyerangnya. Bahkan anak perempuan itu mengancam akan membunuh kami semua kalau kami berani mengganggu mereka."

   Parmadi mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi, agaknya kalau mereka tidak diganggu, mereka tidak akan berbuat apa-apa, bukan?"

   "Mula-mula mereka memang hanya minta dikirim sesajen sehari tiga kali, nasi dan laukpauknya, juga minuman untuk mereka. Akan tetapi tak lama kemudian, seminggu yang lalu, Resi Koloyitmo itu minta agar diberi korban seorang perawan."

   "Hemmm..., ini sudah keterlaluan!"

   Kata Parmadi mulai merasa tidak senang hatinya.

   "Lalu bagaimana?"

   "Tentu saja kami menolak permintaannya yang aneh itu. Akan tetapi, Resi Koloyitmo diam saja dan tidak marah oleh penolakan kami dan kami hanya berjaga-jaga dengan khawatir. Dan malam harinya, seorang anak perawan dusun kami lenyap! Ada seorang warga dusun yang kebetulan keluar dari rumahnya malam itu melihat betapa perawan itu berjalan setengah berlari menuju ke candi dan ketika ditegur tidak menjawab. Kami mengerahkan seluruh tenaga laki-laki di dusun ini dan pergi ke candi, menuntut kembalinya gadis itu. Akan tetapi Resi Koloyitmo mengatakan bahwa perawan itu sudah dipilih oleh Sang Bathara Kolo dan kami disuruh pulang. Kami nekat hendak menyerbu ke dalam candi mencari gadis itu. Akan tetapi kembali kami roboh berpelantingan oleh sihir ayah dan anak itu."

   "Hemm, begitukah? Dan mengapa andika sekalian tidak berani menyalakan penerangan dan bersembunyi dalam kegelapan?"

   "Dua malam yang lalu, kembali seorang perawan dusun ini menghilang dan menurut mereka yang sempat melihatnya, terjadinya lebih aneh lagi. Mereka, ada tiga orang saksi, melihat betapa gadis itu menunggang seekor macan loreng besar menuju ke candi itu! Nah, mulai malam itulah, kami semua tidak berani membuka pintu kalau sudah senja dan tidak berani menyalakan penerangan agar macan utusan dewa itu tidak dapat masuk rumah dan tidak dapat melihat sehingga tidak akan dapat menculik anak-anak gadis kami."

   Parmadi mengerutkan alis dan memejamkan mata. Keadaan ayah dan anak itu sungguh mencurigakan!

   "Akan tetapi malam ini bulan bersinar terang. Mungkin bulan purnama karena tadi malam bulan juga sudah penuh,"

   Kata Parmadi.

   "Tanpa adanya lampu peneranganpun, malam tidaklah begitu gelap."

   "Itulah yang kami khawatirkan. Tadi malam langit mendung sehingga bulan terhalang dan malam gelap. Akan tetapi malam ini....

   "

   "Jangan khawatir, paman. Saya akan melakukan penjagaan malam ini dan kalau iblis itu berani muncul, akan saya hadapi dan usir dia!"

   Kata Parmadi.

   "Bukan iblis, anak-mas, melainkan dewa....

   "

   "Dewa berkewajiban melindungi, bukan mengganggu manusia. Yang mengganggu manusia hanya iblis. Sekarang, mari kita serukan kepada semua rumah agar menyalakan penerangan agar lebih mudah bagi saya untuk melakukan perondaan dan dapat melihat jelas kalau terjadi sesuatu."

   "Akan tetapi...."

   Ki Gitosani berkata ragu dan takut.

   "Sudahlah, paman. Percaya dan serahkan kepada saya. Lebih baik sekarang kita memelopori semua penduduk dan menyalakan lampu di rumah ini agar mereka juga menjadi berani."

   Karena sikap Parmadi yang tegas dan tenang, akhirnya Ki Gitosani menyalakan lampu-lampu di rumah itu. Kemudian, ditemani Parmadi, lima orang laki-laki itu lalu berjalan dari rumah ke rumah, berseru kepada pemilik rumah untuk menyalakan lampu.

   "Saudara-saudara, nyalakan lampu-lampu di setiap rumah! Jangan takut! Ada anak-mas Seruling Gading yang akan melindungi kita!"

   Seru Ki Gitosani.

   "Seruling Gading?"

   Semua orang membisikkan nama ini, merasa heran dan ingin tahu siapa orangnya yang berani melindungi mereka dari ancaman "dewa"

   Yang mengerikan itu, yaitu Sang Bathara Kolo! Yang agak pemberani keluar dari pintu rumah untuk melihat orang bernama Seruling Gading itu, yang penakut mengintai dari balik pintu. Mereka menjadi ragu ketika melihat betapa yang dijagokan untuk melindungi mereka itu hanya seorang pemuda tampan yang sikapnya amat sederhana. Mulailah mereka merasa ngeri dan takut kalau-kalau dewa yang kini berada di candi itu akan makin marah dan mengamuk. Biarpun mereka sudah menyalakan lampu, akan tetapi setelah melihat Parmadi yang berjalan bersama Ki Lurah Gitosani dan empat orang laki-laki lain, mereka mulai menutupi daun-daun pintu lagi dan menanti dalam rumah dengan jantung berdebar tegang dan takut.

   Malam itu langit bersih. Ketika bulan purnama -muncul, cuaca menjadi terang. Terang-terang redup dan sejuk. Angin malam semilir lembut. Biasanya, pada malam bulan purnama seperti itu, anak-anak banyak yang bermain-main di luar, suara mereka menembang dolanan mendatangkan kesyahduan pada malam bulan purnama. Akan tetapi malam ini tidak ada yang keluar rumah. Jangankan anak-anak, orang tuapun tidak ada yang berani keluar pintu, bahkan semua pintu rumah ditutup rapat. Akan tetapi, yang agak pemberani mulai mengintai dari celah-celah pintu atau jendela untuk dapat melihat keadaan di luar. Suasana amat sunyi. Tidak ada suara manusia. Hanya suara angin lembut berdesah di antara daun-daun pohon yang bergoyang-goyang seperti hidup, mengiringi bunyi kutu-kutu walang atogo (serangga-serangga yang berbunyi di waktu malam). Bahkan Ki Gitosani sendiripun tinggal di dalam rumah dengan daun pintu tertutup karena demikianlah yang dikehendaki Parmadi. Untuk memudahkan penjagaannya, dia minta agar semua orang tinggal di rumah dengan pintu tertutup.

   Parmadi sendiri berada di luar. Tadi dia sudah dijamu makan malam oleh keluarga Ki Gitosani. Dia menitipkan buntalan pakaiannya kepada kepala dusun itu, kemudian dia keluar hanya berkalung sarung dan membawa seruling gading yang diselipkan di pinggangnya.

   DUSUN itu tidak besar. Rumah-rumah bordir di sepanjang jalan satu arah sehinga mudah bagi Parmadi untuk menjaganya. Andaikata terjadi sesuatu di ujung dusun itu, dapat terlihat dari ujung yang lain. Akan tetapi karena menurut cerita Ki Gitosani, ancaman bahaya datang dari arah candi, maka Parmadi yang tadinya berjalan-jalan di sepanjang jalan dusun itu, kini berhenti dan duduk bersila di atas sebuah batu besar yang berada di ujung dusun yang berhadapan dengan bukit kecil di mana candi itu berada. Dari situ tampak batu candi yang tampak seram di bawah sinar bulan purnama itu.

   Bagi para penduduk dusun Sukuh, malam itu tetasa amat menyeramkan. Mereka semua menduga dengan was-was bahwa sang dewa yang ditakuti itu tentu akan marah sekali melihat bahwa penduduk dilindungi seorang jagoan! Mereka membayangkan bahwa kalau sang jagoan itu sudah kalah, tentu sang dewa akan menimpakan kemarahannya kepada mereka! Karena itu, semua orang berada dalam keadaan tegang dan tak seorangpun dari mereka, kecuali anak-anak yang belum tahu urusan, tidak ada yang tidur walaupun waktu sudah menjelang tengah malam.

   "Kulik-kulik-kulik....!"

   Suara burung malam seolah berputaran di atas setiap atap rumah. Parmadi memandang ke atas da melihat beberapa ekor burung malam terbang lewat. Suara mereka memelas dan agaknya mereka melihat kehadirannya maka mereka memekik-mekik. Kemudian orang-orang dalam rumah mendengar suara kepak sayap dan suara itu mendatangkan perasaan takut. Parmadi yang berada di luar melihat bahwa itu adalah suara beberapa ekor kalong yang beterbangan mencari makan. Akan habislah buah-buahan yang sudah tua dan matang oleh binatang malam yang rakus ini.

   Ketika terdengar suara anjing membaung (meraung), berdiri bulu tengkuk banyak orang dalam rumah-rumah tertutup itu. Sudah menjadi kepercayaan umum di dusun itu bahwa kalau ada anjing membaung seperti itu, tandanya ada "makhluk halus"

   Lewat. Suasana menjadi semakin menyeramkan dan hati mereka menjadi semakin tegang. Mereka membayangkan betapa saat itu sang jagoan mereka sedang disergap dan dicabik-cabik para setan bekasakan. Besok pagi-pagi mereka akan menemukan tubuh pemuda itu membujur mati kehabisan darah yang disedot para iblis melalui leher yang terkoyak-koyak. Mengerikan!

   Akan tetapi Parmadi melihat anjing yang membaung itu. Binatang itu tidak melihat setan, melainkan berdongak memandang ke arah bulan purnama lalu mengeluarkan suara meraung panjang yang kerdengar amat menyedihkan itu. Seolah-olah anjing itu mengeluh akan keadaan dirinya sebagai seekor anjing! Benarkah anjing itu mengeluh dan menangis? Dia tidak tahu. Ah, kalau saja dia memiliki kepandaian seperti Sang Prabu Anglingdarma yang pernah dibacanya dalam sebuah kitab milik mendiang gurunya, Ki Ronggo Bangak, alangkah senangnya. Sang Prabu Anglingdarma itu dapat mengerti bahasa hewan! Kalau dia menguasai kepandaian itu, tentu dia mengerti apa artinya suara menyedihkan yang dikeluarkan anjing itu!

   Tiba-tiba Parmadi merasa betapa tengkuknya dingin dan bulu tengkuknya meremang. Ini merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang tidak wajar. Ada kekuatan sihir lewat, pikirnya dan diapun mencurahkan perhatiannya ke arah rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan dusun itu. Tiba-tiba di rumah kelima dari ujung dusun di mana Parmadi duduk terdengar kegaduhan. Parmadi melompat turun dari atas batu besar dan memandang ke arah rumah itu dengan penuh perhatian.

   Tiba-tiba daun pintu rumah terbuka dan sesosok bayangan berlari keluar dari pintu itu, Terdengar jeritan wanita dari dalam rumah yang pintunya terbuka itu, lalu disusul teriakan suara laki-laki.

   "Tinem".! Kembalilah, Nem".! Toloonggg....!"

   Akan tetapi tidak ada orang yang keluar dari pintu itu, bahkan daun pintunya ditutup kembali. Agaknya para penghuni rumah itu ketakutan dan hanya dapat menangis dan memanggil-manggil gadis yang berlari keluar.

   Parmadi melihat bahwa yang berlari keluar itu seorang gadis remaja yang rambutnya panjang awut-awutan terlepas dari gelungannya. Ia berlari keluar ke arahnya, angaknya hendak pergi ke candi itu dari mana dia merasakan adanya hawa dingin aneh. Agaknya hawa itulah yang memiliki daya tarik kuat dan yang kini membuat perawan dusun itu kehilangan kesadarannya dan seolah ditarik oleh kekuatan gaib untuk datang ke candi!

   Parmadi cepat mencabut seruling gading dari pinggangnya dan diapun sudah tenggelam ke dalam penyerahan, membiarkan seluruh jiwa raganya terbimbing oleh Kekuasaan Tertinggi dan terdengarlah lengkingan suara suling ketika di luar kehendak hati akal pikirannya suling itu telah ditiup dan dimainkan oleh bibir dan jarijari tangannya! Suara suling melengking-lengking dan mengandung getaran gaib yang amat kuat dan alami, terasa oleh alam sekitarnya di mana suara itu dapat ditangkap. Kuat dan wajar seperti desau angin seperti cahaya bulan, seperti suara kutu kutu walang atogo. Kini perawan dusun itu sudah tiba dekat, tinggal sejauh tigapuluh meter dari tempat Parmadi berdiri Dan tiba-tiba saja dara itu berhenti berlari seperti tersentak keget, seperti orang baru terbangun dari tidur, kembali ke alam sadar dari alam mimpi.

   "Ohhh.... !"

   Ia menutupkan kedua tangan depan mulut dan matanya terbelalak.

   "........ bapak""simbok !"

   Ia mengeluh dan sudah memutar tubuh hendak kembali ke rumah orang tuanya.

   Pada saat itu, terdengar suara mengaum dahsyat dan Parmadi melihat bayangan hitam sebesar gudel (anak kerbau), meluncur cepat dari arah belakangnya. Dia menghentikan tiupan sulingnya dan melihat betapa bayangan Itu bukan lain seekor harimau loreng yang besar sekali. Macan itu sudah tiba di depan gadis yang menahan jeritnya, lalu gadis itu terkulai, pingsan karena kaget dan takut. Harimau itu menggigit punggung baju gadis itu lalu membawanya pergi menuju ke arah candi!

   Akan tetapi Parmadi telah menghadangnya, seruling gading berada di tangan kanannya. Dia dapat menduga bahwa harimau loreng ini adalah makhluk seperti yang telah diceritakan Ki Gitosani kepadanya, yang dapat melarikan seorang perawan dusun yang duduk di atas punggungnya. Tentu gadis itu berada dalam keadaan tersihir. Sekarang, gadis ini yang sudah tidak terpengaruh sihir, pingsan ketakutan dan digondolnya seperti biasanya seekor harimau menggondol mangsanya. Parmadi dapat menduga bahwa mahluk ini tentulah mahluk jadi-jadian, bukan harimau aseli. Pernah dia mendengar dari gurunya, Resi Tejo Wening, bahwa di daerah Parahyangan dan daerah Banten banyak tokoh sesat yang menguasai ilmu sesat itu, yakni dapat mengubah dirinya menjadi satu hewan seperti harimau, celeng (babi hutan), srigala dan sebagainya.

   Karena itu, menduga bahwa mahluk yang dihadapinya adalah seorang manusia yang menggunakan ilmu sihir sesat mengubah dirinya menjadi seekor harimau, diapun membentak sambil mengerahkan

   kekuatan batinnya.

   "Manusia dursila! Bebaskan gadis itu atau terpaksa aku harus menghajarmu agar engkau sadar akan kejahatanmu!"

   Sepasang mata harimau itu mencorong dan agaknya dia marah sekali. Dia menggerakkan kepalanya dan melepaskan gigitannya sehingga tubuh perawan yang pingsan itu terlempar ke samping. Harimau itu mengaum dengan garang. Suara aumannya menggetarkan dusun itu dan semua penduduk yang bersembunyi dalam rumah menggigil ketakutan. Mereka merasa ngeri karena membayangkan betapa harimau yang kabarnya sebesar kerbau itu kini tentu sedang mencabik-cabik tubuh pemuda jagoan mereka. Sementara itu, ayah dan ibu perawan yang tadi melarikan diri keluar dari rumah hanya dapat bertangis-tangisan saja.

   Kini harimau itu menggereng dan gerengannya juga menggetarkan jantung. Parmadi bersikap tenang saja dan menentang pandang mata harimau itu. Dia bahkan menyelipkan seruling gading di ikat pinggangnya lagi karena bagaimanapun juga, dia tidak ingin membunuh atau melukai binatang jadi-jadian yang sesungguhnya adalah seorang manusia itu.

   Harimau itu merendahkan tubuhnya sampai perutnya menyentuh tanah, kemudian tiba-tiba dia melompat dan menerkam ke arah Parmadi dengan sepasang kaki depannya. Moncongnya siap menggigit, taringnya mengkilap terkena cahaya bulan purnama. Dengan gerakan kilat Parmadi rnengelak ke kanan dan ketika tubuh harimau itu meluncur ke sebelah kirinya, tangan kirinya dengan terbuka dan miring menghantam ke arah muka harimau itu.

   "Wuuttt".plakkk!"

   Walaupun tamparan tangan kiri itu tidak terlalu kuat, akan tetapi karena mengandung Aji Sunya Hasta, tubuh harimau itu terpelanting. Dia rnenggereng kesakitan lalu melompat ke kanan dan melarikan diri menuju ke arah bukit di mana berdiri candi itu. Parmadi lalu menghampiri gadis yang masih rebah miring di atas tanah itu. Dia meraba dan menekan tengkuk gadis itu beberapa kali. Gadis itu mengeluh lirih lalu membuka matanya. Ketika melihat seorang laki-laki berjongkok di dekatnya, ia terkejut bukan main. .

   "Jangan takut. Aku telah mengusir pergi harimau jadi-jadian tadi."

   Gadis itu tidak jadi menjerit karena ia tadipun ikut mengintai ketika Parmadi bersama Lurah Gitosani dan empat orang lain berkeliling ke rumah-rumah untuk menganjurkan semua rumah menyalakan lampu. Inilah jagoan yang dikabarkan hendak menolong dusun Sukuh!

   "Hayo kuantar engkau pulang,"

   Kata Parmadi. Gadis itu tidak menjawab, hanya mengangguk kemudian bangkit berdiri dan berjalan dikawal Parmadi.

   Peristiwa Parmadi dengan harimau itu ternyata disaksikan banyak pasang mata yang mengintai dari dalam rumah. Melihat, betapa Parmadi benar-benar dapat mengusir harimau dan menyelamatkan Satinem,gadis yang digondol macan itu, mereka berani membuka pintu dan keluar menyambut. Ayah dan ibu gadis itu keluar dan Satinem lari sambil menangis. Kemudian berangkulan dengan ibunya. Kini semua orang keluar. Dusun Sukuh menjadi ramai di malam terang bulan itu. Mereka tidak merasa takut lagi karena telah terbukti bahwa pemuda itu mampu mengusir harimau dan menyelamatkan Satinem.

   Ki Lurah Gitosani menghampiri Parmadi sambil tersenyum senang dan memandang penuh kagum.

   "Anak-mas Seruling Gading! Ternyata andika adalah seorang dewa penyelamat kami! Mari kita bicara dl rumah."

   Parmadi lalu diiringkan semua penduduk menuju ke rumah besar Ki Gitosani. Dia dipersilakan duduk dan semua prang merubungnya. Yang tidak kebagian bangku atau kursi duduk di atas lantai. Nuasana dalam rumah ki lurah menjadi riuh dan gembira. Akan tetapi ketika Ki Gitosani mulai bicara dengan Parmadi, semua orang diam mendengarkan. Semua mata memandang kepada pemuda itu.

   "Anak-mas Seruling Gading, tadi kami mendengar suara suling yang melengking-lengking amat anehnya dan menggetarkan hati kami. Apakah andika yang meniup suling itu, anak-mas?"

   Parmadi mengangguk.

   "Benar, paman. Saya meniup suling itu untuk melawan pengaruh sihir yang membuat gadis tadi kehilangan kesadarannya dan berlari keluar rumah."

   "Tapi makhluk apakah harimau besar tadi, den-mas?"

   Tanya seorang tetangga yang tadi kebetulan mengintai peristiwa yang terjadi tepat di depan rumahnya.

   "Harimau tadi menggigit dan menggondol Satinem. Huuhh, mengerikan sekali!"

   "Harimau tadi adalah mahluk jadi-jadian. Ketika gadis tadi tidak lagi dipengaruhi sihir dan sudah sadar, tiba-tiba ia melihat harimau besar dan roboh pingsan Harimau itu menggigit punggung bajunya dan hendak membawanya pergi. Saya menghadangnya dan berhasil mengusirnya,"

   Kata Parmadi singkat tanpa menonjolkan jasanya.

   "Jadi-jadian? Andika maksudkan, harimau itu adalah seorang manusia yang berlatih rupa?"

   Tanya Ki Gitosani.

   "Benar, paman. Dia adalah seorang manusia yang menguasai ilmu beralih rupa menjadi harimau."

   "Huh, menyeramkan sekali! Siapakah orangnya, anak-mas?"

   Parmadi menggeleng kepalanya.

   "Saya tidak tahu, paman. Dia keburu melarikan diri sebelum saya dapat mengetahui siapa orangnya."

   Pada saat itu, dua orang wanita tiba-tiba maju dan menjatuhkan diri bersimpuh di depan Parmadi sambil menangis dan mereka berkata dengan keluh kesah.

   "Den-mas, tolonglah anak saya".tolonglah, den-mas....

   "

   Melihat dua orang wanita setengah tua itu menangis sesenggukan di depannya, Parmadi bertanya lembut.

   

Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini