Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 10


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Tidak, ayah. Aku akan tinggal saja di sini, biar seorang diri. Aku tidak takut."

   Pujo tersenyum.

   "Begitupun lebih baik. Nah, tentang kuda itu, kalau ada cari yang pancai panggung, putih ujung keempat kakinya. Biar agak mahal harganya, tidak mengapa."

   Joko Wandiro mentaati perintah ayahnya lalu berlari keluar pondok dan seperti seekor kijang muda, anak ini berlari-larian menuju ke dusun yang cukup jauh dari tempat itu, melalui sebuah hutan kecil di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kidul. Hari sudah siang ketika Joko Wandiro memasuki hutan itu. Tiba-tiba ia mendengar suara hiruk-pikuk, diseling suara lengking tinggi yang memekakkan telinga dan suara-suara aneh lain. Suara-suara itu makin lama makin keras dan demikian hebatnya sehingga menimbulkan gema yang luar biasa.

   Joko Wandiro merasa tubuhnya menggigil, bukan karena takut melainkan karena pengaruh suara-suara yang aneh itu. Dia seorang anak gemblengan sejak kecil, tentu saja ia tidak merasa takut. Suara gaduh yang luar biasa itu datangnya dari tengah hutan. Memang ada rasa ngeri di hatinya karena ia teringat akan dongeng-dongeng yang didengarnya dari anak-anak nelayan tentang setan dan iblis yang berkeliaran didalam hutan, setan dan iblis yang muncul dari dalam lautan di waktu malam bulan pernama. Malam tadi bulan purnama, apakah kini setan dan iblis itu kesiangan di dalam hutan dan beramai-ramai hendak kembali ke laut? Namun, kengerian ini kalah oleh keinginan hatinya untuk menyaksikan apa gerangan yang menyebabkan suara-suara itu. Maka Joko Wan-diro lalu berindap-indap menuju ke arah datangnya suara.

   Makin dekat, makin tergetarlah isi dadanya, maka cepat-cepat Joko Wandir mengerahkan tenaga sakti seperti yang ia latih bersama ayahnya. Kemudian ia maju lagi. Setelah tiba di tengah hutan, di tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon tinggi, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan suara gaduh itu. Sama sekali bukan iblis atau setan yang bentuknya menakutkan. Andaikata benar iblis dan setan, akan tetapi iblis dan Setan ini berbentuk manusia biasa, manusia-manusia yang sedang bertanding mati-matian! Demikian cepat gerakan mereka sehingga mata Joko Wandiro menjadi kabur dan ia segera dapat memaklumi bahwa yang tengah bertanding itu adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Ia khawatir kalau-kalau ia terlihat oleh mereka dan selain kekhawatiran ini, iapun ingin sekali menonton pertandingan.

   Bagaimana akalnya? Ia memandang ke atas lalu cepat-cepat seperti seekor kera Joko Wandiro memanjat pohon, berloncatan dari dahan ke dahan sampai akhirnya ia berada di atas mereka yang sedang bertanding mati-matian. Enak menonton di tempat itu dan jelas kelihatan mereka yang sedang beryuda. Ia memandang penuh perhatian, tetap mengerahkan tenaga dan hawa sakti karena suara berkeritik aneh membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Pertandingan itu tidak seimbang jumlahnya. Seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, bertangan kosong, dikeroyok oleh delapan orang! Dan di sekeliling tempat itu terdapat belasan orang lain yang mengepung dan menonton sambil bersorak memberi semangat kepada delapan orang yang mengeroyok itu!.

   "Tak pantas! Tak tahu malu!"

   Joko Wandiro memaki-maki di dalam hatinya, akan tetapi ia kagum bukan main menyaksikan sepak terjang orang tua yang dikeroyok itu. Gerakannya tangkas, matanya berkilat, tangannya ampuh dan kuat, dapat menangkis senjata-senjata tajam lawan yang menyambarnya bagaikan hujan. Siapakah gerangan orang tua yang gagah perkasa itu? Dia bukan lain adalah Rakyana Patih Kanuruhan atau Sang Narotama Patih Kahuripan yang gagah perkasa dan sakti mandraguna.

   Karena segala usaha yang dikerahkan untuk mendapatkan kembali pusaka keraton yang hilang, sang Patih tiada bosannya ikut pula berusaha sendiri mencari dan pada hari itu iapun tengah berkelana mencari pusaka itu. Akan tetapi setibanya di hutan ini ia telah dikurung oleh banyak orang. ia tentu saja tidak tahu bahwa memang sejak kepergiannya dari Kerajaan, ia telah dibayangi dan di tempat ini dia sengaja dihadang oleh musuh-musuh ini. Dapat dibayangkan betapa heran hati sang Patih ketika melihat di antara para penghadang yang bersikap mengancam dan bermusuhan ini, ia mengenal Ki Warok Gendroyono, yang pernah dihukum kemudian dibebaskan oleh Sang Prabu Airlangga, kemudian mengenal pula Ki Krendoyakso kepala perampok dari daerah Bagelen yang pernah dihancurkan gerombolannya oleh bala tentara Mataram.

   Di samping dua orang sakti ini, ia melihat pula seorang berpakaian cantrik yang sudah tua sekali usianya, bertubuh tinggi kurus dan bongkok akan tetapi sikapnya membayangkan kesaktian yang tak boleh dipandang ringan, dan di sebelahnya berdiri pula seorang tua yang pucat wajahnya, bermata sipit dan berkulit kekuningan, di pinggangnya tergantung sepasang golok. Dua orang yang tidak dikenalnya ini jelas bukan orang sembarangan. Adapun mereka yang berdiri di belakang, belasan orang banyaknya, adalah orang-orang tinggi besar dan kasar, dipimpin oleh lima orang yang bercambang bauk, dan sikapnya seperti kepala perampok.

   "Narotama, saat kematianmu tibalah sekarang!"

   Demikianlah bentakan Ki Warok Gendroyono begitu mereka berjumpa. Narotama tersenyum. Sebutan namanya itu saja sudah membuktikan bahwa orang-orang ini menghendaki permusuhan, sama sekali tidak menganggapnya sebagai Patih dalam yang terhormat dari Kahuripan.

   "Wah, kiranya Ki Warok Gendroyono ini!"

   Ujarnya sambil tersenyum tenang,"Juga Ki Krendoyakso dari Bagelen! Siapa gerangan paman cantrik dan kisanak yang lain ini?"

   "Uuh-huh-huh, aku cantrik bukan sembarang cantrik, biar cekel juga cekel pilihan, gegeduk, benggolan dan pentolan di antara segala cekel! Akulah Cekel Aksomolo dari lereng Wilis!"

   "Saya orang Salangan, nama saya Ki Tejolanu, sudah lama mendengar kesaktian Ki Patih, ingin coba-coba. Hayo lawan saya!"

   Begitu habis kata-katanya, Ki Tejoranu menggerakkan tangannya dan"Syuuuttt!"

   Dua sinar tampak dan tahu-tahu sepasang golok telah berada di tangannya. Langsung saja ia memasang kuda-kuda menghadapi Ki Patih Narotama!. Diam-diam Narotama terkejut juga mendengar nama Cekel Aksomolo yang sudah tersohor sakti, juga orang yang berbicara pelo ini, biarpun namanya belum pernah ia dengar, akan tetapi melihat gerakannya tadi benar-benar membuktikan keahlian bermain sepasang golok yang hebat. Ia maklum bahwa ia berhadapan dengan empat orang tokoh sakti. Belum lagi lima orang pimpinan gerombolan itu yang kelihatan kuat! Namun ia bukanlah Sang Narotama manusia sakti mandraguna dari Bali-dwipa kalau ia gentar menghadapi ancaman ini. Sambil tersenyum tenang Narotama bertanya,

   "Kalian berempat ini orang-orang berilmu, ada keperluan apakah agaknya sengaja mencegat perjalananku di tempat ini?"

   Mudah dimengerti bahwa mereka ini adalah sekutu Adipati Joyowiseso, dan memang menjadi sebuah di antara usaha mereka untuk melemahkan Kahuripan dengan jalan membunuhi tokoh-tokoh penting dan sakti, tentu saja terutama sekali Ki Patih Narotama yang semenjak Sang Prabu Airlangga mengundurkan diri menjadi pertapa, merupakan orang pertama yang paling disegani di seluruh Mataram Akan tetapi karena mereka bekerja dengan hati-hati, mereka tidak mau mengakui hal ini. Ki Warok Gendroyono yang menjawab dengan bentakan,

   "Lupakah engkau bahwa engkaulah orangnya yang menangkapku dahulu sehingga aku menerima penghinaan dengan hukum penggal?"

   Narotama tersenyum lagi.

   "Ki Warok, sudah jamak orang salah dihukum. Mungkin ia dapat membebaskan diri daripada hukum negara, namun hukum karma akan terus mengejarnya dan takkan melepaskannya sebelum ia menerima buah daripada perbuatan sendiri. Engkau dahulu dijatuhi hukuman sudahlah tepat dengan hukum NGUNDHUH WOHING PAKARTI (memetik buah perbuatan pribadi). Akan tetapi sang prabu yang bijaksana membebaskanmu karena engkau ternyata dapat membebaskan diri daripada hukuman itu. Mengapa engkau sekarang masih penasaran dan mendendam kepadaku, Ki Warok?"

   "Hukuman bisa bebas, namun penghinaan tak pernah bebas dari hatiku sebelum aku mampu membalasmu, Narotama!"

   "Wah, wah, nyata engkau orang nekat yang mendasari kebenaran sendiri dengan pengumbaran hawa nafsu. Dan engkau, Ki Krendoyakso? Juga mendendam kepadaku karena gerombolan perampok yang kau pimpin dahulu diobrak-abrik?"

   "Masih bertanya lagi, Ki Patih? Hutang sakit bayar sakit, hutang nyawa bayar nyawa!"

   "Waduh, waduh! seperti lupa saja bahwa gerombolanmu telah membunuh rakyat tak berdosa entah berapa banyaknya, merampok harta benda dan mengganggu anak bini orang. Hemm, paman Cekel Aksomolo yang sudah begini sepuh, apakah juga ada petunjuk untuk saya? Seingat saya, belum pernah saya mendapat kehormatan bertemu dengan paman Cekel, apa pula yang menyebabkan dan mendorong paman saat ini ikut mencegat saya?"

   "Luh-luh-luh! Pakai tanya-tanya segala seperti hakim Aku hanya membantu sahabat-sahabatku dan pula... hemm, aku mendengar bahwa kau adalah seorang Patih gemblengan, Patih jagoan, Patih yang kemlinti (sombong), mengandalkan kepandaian yang kau bawa dari Bali-dwipa. Huh-huh-huh, aku paling tidak suka melihat orang yang angkuh dan sombong!"

   Narotama menggoyang-goyang kepalanya. Benar-benar orang aneh kakek tua renta ini, pikirnya. Aneh seperti anak kecil saja, mudah mendengar hasutan dan omongan orang yang tentu saja ada yang suka ada pula yang membencinya. Apakah benar anggapan bahwa orang yang sudah terlalu tua itu kembali menjadi seperti kanak-kanak lagi? Kalau benar demikian, contoh dan buktinya adalah cekel tua ini! Ia menoleh kepada orang bermata sipit pelo yang masih memasang kuda-kuda dan memegang kedua goloknya.

   "Dan engkau bagaimana, kisanak? Siapa namamu tadi? Ki Tejolanu? Tejolanu ataukah Tejoranu?"

   "Tejolanu!"

   "Hmmm, agaknya kau pelo dan melihat kulit serta mripatmu (matamu), agaknya engkau ini seorang dari Negeri Cina. Apa pula sebabnya engkau ikut mencegatku padahal di antara kita tidak pernah ada hubungan sesuatu?"

   "Saya... saya ingin menantang pibu (mengadu ilmu) dengan Ki Patih! Saya paling senang pibu dengan olang-olang pandai. Mati dalam pibu adalah matinya olang gagah!"

   Narotama makin terheran. Ini lebih aneh lagi, pikirnya. Apakah orang mempelajari ilmu hanya untuk saling uji? Ilmu lain boleh saja diuji dan diperlombakan, akan tetapi ilmu berkelahi? Bisa mati konyol. Akan tetapi orang ini menganggap mati konyol dalam adu ilmu adalah matinya seorang gagah!

   "Hemm, paman Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, dan kau Ki Tejoranu, kalau suka mendengarkan kata-kataku, harap kalian ini menarik kembali tantangan kalian dan menghabiskan segala urusan. Untuk apa melanjutkan niat yang tiada gunanya ini? Aku sama sekali tidak ingin berkelahi dengan kalian, sungguhpun hal ini bukan berarti aku takut. Kita sudah sama-sama tua, apakah hendak bersikap seperti kanak-kanak?"

   "Ha-ha-ha!! Narotama, kalau kau takut, mungkin kami akan dapat membebaskanmu!"

   Ki Warok Gendroyono mengejek.

   "Takut atau tidak, dia harus mampus!"

   Kata Ki Krendoyakso yang suaranya besar. Kepala perampok Bagelen ini sudah meraba senjatanya, penggada yang hitam dan besar itu.

   "Jagad Dewa Batara! Agaknya kalian tak dapat lagi mengekang nafsu. Sudah kukatakan tadi, aku tidak takut. Kalau kalian memaksa, apa boleh buat. Nah, siapa hendak maju?"

   Dengan tangkas Narotama melompat ke belakang dan siap menghadapi lawan, sikapnya tenang, matanya tajam berkilat dan seluruh urat syaraf dalam tubuhnya menegang siap.

   "Hayo pibu melawan aku lebih dulu!"

   Ki Tejoranu membentak, disusul seruannya keras,"Awas golok!"

   Lalu tubuhnya menerjang maju bagaikan seekor jengkerik menerjang lawan, dua sinar berkelebat dan"Syuuut-sing-singsing!"

   Sepasang goloknya berciutan dan berdesing menyambar-nyambar ganas mengirim serangan bertubi-tubi ke arah tubuh Narotama!

   "Bagus sekali!"

   Narotama mau tak mau memuji karena memang gerakan sepasang golok itu luar biasa dahsyatnya. Cepat ia mengerahkan ajinya, yaitu ilmu silat tangan kosong Kukilo Sakti.

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   Tubuhnya menjadi ringan dan gerakannya laksana seekor burung garuda. Sabetan dan bacokan sepasang golok yang berubah menjadi dua gulung sinar itu dapat dielakkannya dengan lompatan ke atas, lalu menyelinap di antara sinar-sinar itu sambil membalas dengan pukulan yang disertai Aji Bojro Dahono. Hawa panas keluar dari sepasang tangannya sehingga Ki Tejoranu berseru kaget dan meloncat jauh setiap kali hawa panas menyambar.

   "Serbu! Bunuh orang sudra ini!"

   Teriak Ki Krendoyakso dengan suara garang. Serentak mereka maju. Ki Krendoyakso dengan penggada Wojo Irengnya, Ki Warok Gendroyono yang sudah melepas kolor saktinya, dan Cekel Aksomolo yang mengayun tasbihnya. Juga lima orang kepala rampok, anak buah Ki Krendoyakso, ikut pula menyerbu dengan senjata golok dan ruyung mereka yang besar-besar mengerikan.

   "Wah-wah-wah, tidak bagus! Mana ada pibu pakai keloyokan segala? Aku tidak mau kalau begini, tidak usah keloyokanpun belum tentu kalah!"

   Ki Tejoranu meloncat ke belakang dan menyimpan sepasang goloknya, mulutnya cemberut dan ia berdiri bertolak pinggang menjadi penonton. Memang aneh watak orang ini. Dia terbawa-bawa temannya, Ki Warok Gendroyono untuk ikut-ikut membantu Adipati Joyowiseso, akan tetapi dalam hal pertempuran, ia selalu masih menjaga tata cara pertandingan yang merupakan "etika"

   Bagi pendekar-pendekar di negerinya.

   Narotama yang dikeroyok delapan orang itu terkejut sekali. Tak disangkanya orang-orang yang mendendam kepadanya ini, yang terkenal sebagai orang-orang sakti ini akan maju bersama mengeroyoknya! Tadi ia bersikap tenang karena mengira bahwa mereka itu akan maju satu-satu, siapa kira mereka mempergunakan cara curang ini untuk mengeroyoknya. Di samping terkejut, iapun marah. Timbul kemarahan dalam hati Patih yang tenang ini ketika ia dimaki "orang sudra"

   Oleh Ki Krendoyakso. Memang tidak dapat disangkal lagi, Narotama bukanlah keturunan Raja seperti Airlangga, akan tetapi kalau Sang Prabu Airlangga sendiri tak pernah memandang rendah darah keturunannya, masa seorang kepala rampoK seperti Ki Krendoyakso saja berani memakinya?

   "Babo-babo! Kalian menggunakan keroyokan? Boleh, boleh, majulah! Jangan kira Narotama akan undur selangkahpun!"

   Seru Narotama dan ia segera mengerahkan tenaga dan mengeluarkan kepandaiannya. Untuk menghadapi pengeroyokan orang-orang yang menggunakan pelbagai senjata, apalagi senjata tasbih yang ampuhnya menggila dari Cekel Aksomolo, kolor ajimat yang dimainkan Ki Warok Gendroyono yang mendatangkan hawa panas,

   Kemudian penggada Wojo Ireng yang dimainkan sepasang lengan raksasa Ki Krendroyakso sehingga hebatnya seperti penggada Rujakpolo dimainkan oleh Sang Werkudoro, ia harus berlaku hati-hati dan bergerak cepat. Maka Narotama lalu mainkan Aji Bramoro Seto (Lebah Putih). Bagaikan seekor lebah saja tubuhnya melayang-layang di antara sambaran senjata, kadang-kadang ia menggunakan sepasang lengannya yang kebal dan terisi hawa sakti untuk menangkis senjata lawan. Pada saat itulah suara hiruk-pikuk pertandingan terdengar oleh Joko Wandiro dan anak ini datang lalu menonton pertandingan dari atas pohon. Mula-mula hati anak ini mengkal menyaksikan pertandingan yang tidak adil itu. Ia sebagai anak gemblengan maklum yang bertanding adalah orang-orang sakti sehingga tak mungkin sama sekali baginya untuk membantu kakek yang terkeroyok.

   Namun hatinya condong kepada yang dikeroyok dan mengharapkan kemenangannya. Anak yang berpemandangan tajam inipun segera mendapat kenyataan bahwa di antara delapan orang pengeroyok itu, yang lima hanyalah orang-orang kuat yang hanya pandai mainkan golok dan ruyung belaka, akan tetapi yang tiga, terutama sekali kakek tua renta bongkok, adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa kakek sakti yang dikeroyok itu tidak pernah berani menangkis dengan tangannya serangan kolor, penggada hitam, dan tasbih, akan tetapi tanpa ragu-ragu tangan kosongnya berani menyampok polok dan ruyung lima orang kepala rampok.

   "Tidak adil! Curang...!"

   Kembali Joko Wandiro mengeluh di dalam hatinya melihat betapa kakek yang dikeroyok itu tampak sibuk benar, tubuhnya tak pernah berhenti sedetikpun, berkelebat bagaikan seekor lebah dikejar-kejar dalam ruangan tertutup. Namun hampir saja ia bersorak ketika tiba-tiba kakek sakti itu mengeluarkan seruan aneh dibarengi tubuhnya menyambar ke arah lima orang yang memegang golok dan ruyung. Dua orang di antara mereka menjerit dan roboh terjungkal! Anak buah rampok cepat maju menolong kepala rampok yang remuk tulang pundak dan lengannya itu, dan segera dua orang perampok lain menggantikan kedudukan dua orang yang roboh ini. Bahkan yang lain-lain mulai maju mengurung dan menanti kesempatan untuk mengeroyok pula. Joko Wandiro marah sekali.

   "Pengecut, tak tahu malu!"

   Makinya dalam hati. Ia memandang marah, terutama kepada kakek tua renta yang memegang tasbih karena sesungguhnya kakek inilah yang membikin repot jagonya yang terkeroyok. Tasbih kakek itu luar biasa sekali, menyambar-nyambar seperti ular hidup dan selain suara angin bersiutan ketika menyambar, juga tasbih itu mengeluarkan bunyi berkeritikan yang nyaring halus menusuk-nusuk anak telinga. Selain hebat dan dahsyat tasbihnya, juga mulutnya tak pernah berhenti bicara mengejek. Inilah yang membuat Joko Wandiro gemas hatinya terhadap si kakek bongkok.

   "Oh-huh-huh, Narotama. Mengapa tidak menyerah saja? Mana mungkin engkau bisa menangkan kami? Heh-heh-heh!"

   "Aku benar dan karenanya aku berani. Mati dalam kebenaran jauh lebih mulia daripada hidup bergelimang kejahatan!"

   Jawab Narotama sambil cepat mengelak sambaran tasbih. Akan tetapi dari samping terdengar bunyi ledakan keras sekali dan kolor berwarna kuning belang menyambar dahsyat. Agaknya Ki Warok Gendroyono merasa penasaran sekali karena semenjak tadi senjatanya yang ampuh tak pernah berhasil menyentuh tubuh lawannya. Narotama kaget, apalagi karena bayangannya terkurung oleh sambaran penggada Wojo Ireng di tangan Ki Krendoyakso. Terpaksa ia miringkan tubuh sambil mengebutkan tangan kirinya menghalau sinar kuning kolor Ki Warok.

   "Desss...!"

   Narotama terkejut sekali dan terhuyung ke belakang. Hebat memang kolor sakti itu, mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya dan hawa pukulannyapun panas. Dalam keadaan terhuyung ini Narotama didesak oleh para pengeroyoknya terutama sekali tiga orang lawan sakti itu. Ia meloncat ke belakang, mengguncang-guncang kepala dan pundaknya seperti seekor ayam jago aduan yang baru saja kena pukul jalu kaki lawannya, kemudian tangan kanannya bergerak dan sebatang keris telah berada di tangannya.

   Inilah keris Megantoro, sebatang keris berlekuk tujuh. Terpaksa Narotama mengeluarkan keris pusakanya, oleh karena menghadapi senjata-senjata ampuh tiga orang pengeroyoknya itu membuat ia kurang leluasa bergerak maka harus dihadapi dengan senjata ampuh pula untuk menolak pengaruh senjata-senjata pusaka lawan. Delapan orang pengeroyok itu, terutama sekali belasan orang anak buah perampok yang kurang kuat batinnya, menggigil ketika melihat cahaya putih cemerlang bersinar dari keris pusaka Megantoro itu. Cekel Aksomolo segera membunyikan tasbihnya sehingga bunyinya gemercik seperti hujan deras turun. Ki Warok Gendroyono melecut-lecutkan kolornya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan seperti suara geluduk bersambung-sambung,

   Sementara itu Ki Krendoyakso juga memutar penggadanya yang mendatangkan suara angin mengaung-ngaung seperti datangnya taufan. Joko Wandiro terpaksa harus memeluk cabang pohon agar tidak jatuh ke bawah. Suara-suara itu amat mengganggunya, terutama sekali suara tasbih. Kalau saja ia bukan anak gemblengan yang setiap hari dilatih samadhi, tentu ia takkan kuat bertahan. Baiknya ia sudah pandai menyatukan panca indera, pandai pula mengerahkan tenaga batin ke telinga untuk menolak pengaruh suara-suara itu, maka sebegitu lama ia masih dapat bertahan. Akan tetapi suara tasbih itu seperti menggelitik telinganya, menimbulkan rasa geli sehingga beberapa kali ia mengkirik dan bulu-bulu tubuhnya berdiri, tubuh terasa dingin sehingga ia menggigil.

   Menghadapi pengerahan tenaga sakti lawan yang mengeroyoknya, Narotama kembali mengeluarkan suara aneh yang mirip suara seekor gajah. Inilah Aji Dirodo Meto (Gajah Marah), dan pekik ini mengandung pengaruh dahsyat yang biasanya dapat melumpuhkan lawan yang dihadapinya. Akan tetapi karena kini yang dihadapi adalah orang-orang sakti, maka suara ini dikeluarkan untuk menahan pengaruh keampuhan senjata-senjata lawan yang mengeluarkan bunyi sakti pula itu. Pertandingan berlangsung pula dengan hebatnya. Mula-mula Ki Krendoyakso yang agaknya sudah kehabisan sabar, memutar penggada Wojo Ireng menyerbu ke depan, penggadanya menyambar ke arah kepala Narotama dengan cepat dan kuat sambil mengeluarkan bunyi mengaung.

   Narotama cepat miringkan tubuhnya, membiarkan penggada itu lewat. Selagi tubuhnya miring, ia mengirim tendangan ke arah lambung Ki Krendayakso. Tendangan yang hebat dan cepat dan agaknya tentu akan bersarang tepat pada sasarannya kalau saja pada saat itu Ki Warok Gendroyono tidak mengganggu. Ki Warok ini sudah menerjang pula dengan kolornya yang diputar-putar menyambar lawan. Terpaksa Narotama menarik kembali kakinya yang menendang, dan hanya berhasil mencium lambung Ki Krendoyakso dengan ujung jari kaki saja dan hanya membuat raksasa Bagelen ini mengeluarkah suara "hukkk!"

   Dan meringis karena perutnya tiba-tiba menjadi mulas.

   Sambaran kolor sakti Ki Warok ditangkis pusaka Megantoro menimbulkan bunyi ledakan keras dan Ki Warok Gendroyono meloncat ke belakang dengan kaget. Kolor saktinya tentu saja sanggup beradu dengan pusaka apapun juga, akan tetapi ketika bertemu dengan keris Megantoro, keris itu terus menyelinap ke bawah dan kalau ia tidak cepat meloncat ke belakang tadi, tentu dada menthoknya berkenalan dengan keris pusaka Megantoro yang ampuhnya menggila itu. Yang Hebat adalah serangan Cekel Aksomolo. Kakek yang seperti Begawan Durno dalam cerita Mahabharata itu ternyata masih pandai bersilat cepat.

   Melihat kegagalan kawan-kawannya, ia bersungut-sungut maju dan mendesak sambil memutar tasbihnya, jalannya agak terbongkok-bongkok dan lambat, akan tetapi tasbih di tangannya berputar cepat sekali membentuk lingkaran hitam yang melindungi seluruh tubuhnya namun yang merupakan gulungan sinar maut menerjang lawan. Narotama cepat menggerakkan keris pusaka menangkis. Terdengar suara "crang-cring-crang-cring"

   Bertubi-tubi dan tampaklah bunga api berpijar berhamburan ketika kedua senjata ampuh itu bertemu. Ternyata kedua senjata itu sama ampuhnya dan diam-diam Narotama juga kaget dan kagum mendapat kenyataan betapa kakek tua renta yang bongkok ini benar-benar merupakan lawan yang paling tangguh di antara semua pengeroyoknya!

   Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso segera menyerbu ke depan ketika melihat Narotama terlibat dalam pertarungan seru dengan Cekel Aksomolo, sedangkan lima orang perampok juga ikut mengganggu, menusuk-nusukkan golok dan memukul-mukulkan ruyung dari arah belakang Narotama. Ki Patih yang kosen itu. kali ini benar-benar terdesak, namun permainan kerisnya memang mengagumkan sehingga selama itu ia masih berhasil mempertahankan diri, bahkan kaki kirinya telah berhasil pula mendapat mangsa, yaitu perut dua orang perampok yang segera terlempar dan roboh tak dapat bangun pula karena agaknya usus buntu mereka berkenalan dengan ibu jari kaki Narotama sehingga kini mereka menggeliat-geliat sambil memegangi perut!. Akan tetapi hasil sepakan kaki Narotama ini malah merugikan Ki Patih sendiri.

   Oleh karena ketika pencurahan perhatiannya terbagi dalam penyerangan, pertahanannya agak kurang dan karenanya ia tidak dapat menghindarkan lagi hantaman ujung kolor Ki Warok Gendroyono ke arah lehernya. Untung ia masih sempat miringkan tubuh sehingga bukan lehernya yang terpukul melainkan pundaknya. Kalau lehernya yang terpukul, betapapun saktinya Ki Patih, agaknya akan berbahayalah akibatnya. Hanya pundaknya saja sudah membuat Ki Patih terlempar ke belakang bagaikan tertiup angin badai dan hanya berkat ketangkasan dan ilmunya yang tinggi saja yang mencegahnya terbanting jatuh. Ki Patih berjungkir-balik mematahkan daya luncur tubuhnya dan turun ke tanah dalam keadaan berdiri. Pucat sedikit wajahnya, dan tulang pundaknya terasa ngilu, akan tetapi ia masih tidak kehilangan tenaga dan ketangkasannya.

   Rangsekan para pengeroyok yang masih banyak jumlahnya karena para anggota perampok semua ikut-maju, dapat ia sambut dengan baik, walaupun ia benar-benar terdesak sekarang. Makin gaduh suasana pertandingan, penuh teriakan dan gerengan, ribut oleh tiga senjata ampuh para pengeroyok. Juga Ki Patih yang sudah marah itu kini memekik-mekik ganas dan bertambah ganas pula kerisnya. Sudah dua orang perampok roboh tertusuk keris Megantoro. Kalau keris pusaka sudah minum darah, ia akan menjadi makin haus. Kini Narotama tak mungkin lagi menjaga serangannya agar jangan membunuh orang, karena dalam keadaan terdesak itu ia harus mempertahankan diri dengan membuka jalan darah. Pada saat Ki Patih amat terdesak itu, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan terdengar bentakan,

   "Orang-orang tak tahu malu, begini banyak mengeroyok seorang tua!"

   Hampir saja Joko Wandiro berteriak kegirangan ketika mengenal ayahnya yang maju dengan gerakan cepat. Akan tetapi tiba-tiba Pujo yang maju hendak membantu Narotama itu dihadang oleh Ki Tejoranu!

   "Olang muda, gelakanmu tangkas. Aku juga tidak suka keloyokan, hayo kau layani aku main-main sebental!"

   Golok sepasang itu sudah dicabut lagi dan diputar-putar di atas dan depan tubuhnya.

   "Keparat jangan sombong. Majulah!"

   Seru Pujo yang sudah marah karena mengenal Ki Patih Kanuruhan yang dikeroyok itu. Ki Tejoranu sudah menerjang maju, sinar goloknya berkelebat menyambar.

   Pujo maklum bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia cepat menggunakan gerak Bayu Tantra mengelak. Tubuhnya bagaikan seekor burung saja gesitnya sehingga serangan Ki Tejoranu selalu gagal. Namun pertapa Danau Sarangan inipun amatlah sigapnya sehingga balasan terjangan Pujo yang cepat dan kuat itu dapat pula ia hindarkan. Joko Wandiro menggigil makin keras. Suara tasbih kakek bongkok benar-benar membuat ia kedinginan dan hal ini membuat ia tersiksa karena ia terdorong keinginan membuang air kecil! Tak dapat ditahannya pula keinginan itu. Untuk turun ia khawatir ketahuan mereka. Maka anak itu lalu kencing dari atas pohon dan untuk melampiaskan kegemasan dan kebenciannya terhadap kakek bongkok, ia sengaja memilih saat si kakek bongkok bergerak tepat di bawahnya, lalu ia mengarahkan air kencingnya kepada kakek bongkok itu.

   "Huh-huh-huh, Narotama orang Balidwipa! kau mengundang bala bantuan? Heh-heh-heh tak beranikah mati seorang diri? Ingin mengajak teman mati bersama? Uh-huhhuh, katanya pemberani! Dasar..."

   Tiba-tiba suaranya berhenti, tasbih yang diputar-putar di atas kepalanya dan mengeluarkan suara dahsyat itupun terhenti gerakannya, matanya mendelik, hidungnya kembang kempis menyedot-nyedot ketika kepala dan tubuhnya tersiram air panas dari atas pohon! Cekel Aksomolo mengangkat muka ke atas dan malang baginya, karena gerakan ini air kencing itu tepat mengenai muka, memasuki hidung dan mulutnya! Ia terbangkis-bangkis, terbatuk-batuk dan seketika tubuhnya menjadi lemas seakan-akan semua urat syarafnya menjadi lumpuh.

   "Aihhh... aihh... celaka awak... sial dangkalan... bocah edan kau...!"

   Ia melihat seorang anak laki-laki tertawa di atas pohon. Ingin ia meloncat, ingin ia menghajar dan membunuh anak itu, akan tetapi tubuhnya sudah lemas, kekuatannya hilang. Inilah sirikannya, inilah pantangannya. Terkena air kencing anak-anak, ia seperti balon kehabisan angin, kempis dan peyot, seperti api tersiram air, ngebos dan padam! Saking lemasnya ia lalu mendeprok, kakinya dengkelen (tak dapat berjalan) dan ia hanya dapat merangkak keluar dari medan pertandingan. Cekel Aksomolo merupakan tenaga yang paling kuat di antara mereka yang mengeroyok Narotama, maka setelah ia tidak aktip lagi, pengeroyokan itu mengendur dan empat orang perampok kembali roboh oleh tusukan pusaka dan tendangan Ki Patih yang sakti mandraguna.

   Pertandingan antara Ki Tejoranu dan Pujo berlangsung amat hebatnya. Karena pertandingan itu satu lawan satu, maka jauh lebih seru daripada pengeroyokan yang kacau-balau itu. Ki Tejoranu benar-benar hebat permainan sepasang goloknya, berdasarkan ilmu silat yang tinggi mutunya dan latihan yang sudah matang. Sekiranya Pujo hanya mengandalkan ilmu silat, ia takkan dapat menang melawan Ki Tejoranu. Akan tetapi semenjak kecil Pujo telah digembleng oleh Resi Bhargowo dalam hal ilmu kesaktian yang tidak hanya diperoleh dengan latihan, melainkan terutama sekali dengan ketekunan bertapa sehingga ia berhasil memupuk hawa kesaktian yang di dalam tubuh dan panca indera. Oleh karena itu, dalam hal kesaktian ilmu alam dan mantera ini ia lebih tinggi tingkatnya.

   Melihat betapa hebat permainan golok lawannya, Pujo segera mengerahkan aji kesaktiannya, menyalurkan hawa sakti ke dalam kedua lengan sampai terasa getarannya ke ujung-ujung jari tangan, kemudian ia memekik dan mainkan Aji Pethit Nogo! Bukan main hebatnya aji ini. Sepuluh jari tangannya menjadi kuat melebihi baja dan sekali ia mencengkeram, golok kiri lawan sudah berada dalam genggamannya. Ki Tejoranu terkejut sekali dan juga heran. Manusia aneh ini memang paling senang berkelahi, paling senang menguji kepandaian orang lain dan agaknya memang itulah "hobbynya."

   Agaknya itu pula yang membuat ia pergi merantau meninggalkan negaranya yang begitu jauh, menempuh pelayaran yang memakan waktu berpekan-pekan.

   Di manapun ia tiba, ia selalu mencari-cari orang pandai untuk diadu ilmunya! Ia maklum bahwa Jawa-dwipa merupakan pulau aneh yang mempunyai banyak orang-orang sakti, tempat orang-orang bertapa. Ia maklum pula bahwa rakyat pulau ini adalah orang-orang tahan tapa, orang-orang yang memiliki kekuatan batin hebat sekali, dan untuk menghadapai orang sakti yang memiliki daya getaran aneh dalam gerakannya, kadang-kadang ilmu silat tidak dapat menahan. Kini menyaksikan betapa orang muda ini dengan tangan kosong berani mencengkeram goloknya, ia menjadi kaget. Goloknya adalah golok terbuat daripada baja murni dan amat kuat dan tajam. Kalau sekali ia menarik golok dibarengi tenaga dalam, bukankah jari-jari orang muda itu akan putus semua?

   "Wah, kau hebat, olang muda! Lepaskan golokku, bial kita mencoba dengan tangan kosong!"

   Pujo menjadi gemas hatinya. Ia datang untuk membantu Rakyana Patih Kanuruhan dikeroyok, siapa tahu kini ia dihalangi seorang yang agaknya haus akan perkelahian! Ia melepaskan goloknya lalu mengirim serangan dengan Pethit Nogo yang ampuh.

   "Hayaaa...! Tunggu dulu...!"

   Hebat gerakan Ki Tejoranu karena tubuhnya sudah mencelat ke udara, jungkir balik beberapa kali dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, ia telah menyarungkan sepasang goloknya dan kini memasang kuda-kuda dengan tangan kosong! Kuda-kudanya kokoh kuat seperti batu gunung, tubuhnya agak merendah, tangan kanan dikepal mepet di lambung kanan sedangkan tangan kiri dengan ibu jari ditekuk ke tengah dan jari-jari lainnya lurus tegak, berdiri di depan dada! Pujo yang tergesa-gesa ingin lekas dapat membantu Ki Patih, segera menerjang maju. Gerakannya adalah gerakan Bayu Tantra, ilmu pukulannya adalah Pethit Nogo, hebatnya bukan main, dahsyat bagaikan badai mengamuk, panas bagaikan kawah meletus!

   "Haaiiiitt...!"

   Ki Tejoranu kagum dan kaget menghadapi serbuan dahsyat ini, cepat kakinya bergerak miringkan tubuh dan tangannya menangkis dengan gerakan menekuk, lalu pada detik berikutnya tangan kanannya yang menempel lambung tadi sudah mencuat ke depan dengan dua jari tangan, telunjuk dan jari tengah, mengarah pada mata lawan.

   "Yaaaaattt!"

   Hebat kesudahannya! Gempuran lengan tadi membuat tubuh Ki Tejoranu terdorong ke belakang, namun serangan jarinya ke arah mata membuat Pujo kaget sekali dan cepat-cepat mencelat mundur. Pujo melompat ke belakang dengan kaget sedang Ki Tejoranu terhuyung-huyung ke belakang, kuda-kuda kakinya tergempur oleh kekuatan mujijat Aji Pethit Nogo!

   Pada saat itu, Narotama sudah mengamuk makin hebat karena Cekel Aksomolo tak dapat aktip lagi dalam pertempuran karena tubuhnya masih lemas dan mlempem seperti kerupuk dingin. Sudah ada sembilan orang perampok roboh olehnya. Melihat ini, Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso menjadi gentar juga. Ki Krendoyakso lalu membaca mantera, tangannya bertepuk tiga kali dan sekali ia berteriak seperti lolong serigala, keadaan di situ seketika menjadi gelap seperti diliputi halimun! Juga kolor sakti Ki Warok Gendroyono meledak-ledak hebat ditambah penggada Wojo Ireng diputar-putar. Terpaksa Narotama yang maklum bahwa kepala rampok Bagelen itu mempergunakan ilmu hitam, meloncat ke belakang untuk menjaga diri dan memusatkan panca indera. Karena keadaan gelap, otomatis pertandingan antara Pujo dan Ki Tejoranu berhenti dengan sendirinya.

   Pujo juga cepat melompat mundur dan berdiri tegak, bersedakep dan memusatkan panca indera untuk melawan pengaruh ilmu hitam. Pujo berdiri di sebelah barat dan Narotama berdiri di sebelah timur! Yang merasa heran sekali adalah Joko Wandiro. Karena ia berada di atas pohon, agaknya dia seoranglah yang terbebas daripada pengaruh ilmu hitam! Ia memang melihat betapa medan pertempuran itu menjadi gelap seperti tertutup awan hitam, akan tetapi ia dapat melihat betapa sibuknya para pengeroyok itu berkemas, menolong teman-teman yang luka, kemudian meninggalkan tempat itu tergesa-gesa. Sedangkan kakek yang dikeroyok tadi dan ayahnya hanya berdiri saja bersedakap seperti arca, sama sekali tidak bergerak, juga tidak mencegah lawan mereka itu melarikan diri!

   Narotama membuka matanya, menggerakkan kedua lengannya mendorong ke depan beberapa kali dan ambyarlah halimun gelap itu. Keadaan sebentar saja menjadi terang kembali dan di situ ternyata telah sunyi. Gerombolan musuh tadi sudah lenyap, seorangpun tak tampak. yang tampak hanya seorang pemuda tampan yang tadi dilihatnya membantunya dan bertanding melawan Ki Tejoranu yang ampuh sepasang goloknya. Pujo juga menghentikan samadhinya dan kini dia maju bertekuk lutut, bersembah sujut di depan Narotama.

   "Hamba menghaturkan sembah ke hadapan Gusti Rakyana Patih!"

   Kata Pujo dengan hormat. Narotama sejenak memandang tajam, lalu bertanya, nada suaranya lembut.

   "Orang muda, terima kasih atas bantuanmu. Musuh terlampau banyak dan amat kuat. Siapakah engkau, wahai orang muda yang perkasa?"

   "Ampunkan hamba yang bodoh sehingga tidak berhasil membasmi orang-orang jahat yang menyerang paduka. Hamba bernama Pujo..."

   "Pujo?"

   Narotama mengerutkan kening, pandang matanya tajam sekali penuh selidik ke arah orang muda yang masih berlutut itu.

   "Engkau dan Resi Bhargowo...?"

   Pujo terheran.

   "Resi Bhargowo adalah guru dan ayah mertua hamba..."

   "Jagad Dewa Batara! Engkaukah yang bernama Pujo? Heh, Pujo apakah engkau kira dosa-dosamu dapat kau tebus hanya dengan membantuku tadi?"

   Pujo makin terheran, mengangkat mukanya memandang wajah Ki Patih. Namun ia segera menundukkan mukanya lagi, tak kuasa lama-lama menentang pandang mata yang tajam berwibawa itu.

   "Ampun, gusti Patih. Sesungguhnya hamba tidak mengerti apa gerangan maksud kata-kata paduka tadi."

   "Heh, Pujo! Masih berpura-pura lagi-kah engkau? Engkau dan Resi Bhargowo telah berusaha memberontak kepada Kahuripan! Masih engkau hendak menyangkal?"

   Andaikata ada petir menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Pujo akan sekaget ketika mendengar ucapan ini. Kembali ia menengadah dan memandang kali ini lebih berani terdorong kebersihan hatinya.

   "Sama sekali tidak, gusti Patih! Mana hamba berani memberontak?"

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Narotama tersenyum.

   "Hemm, orang muda. Kulihat engkau seorang yang cukup perkasa. Orang yang melakukan sesuatu, baik atau keliru, akan tetapi berani mempertanggung jawabkan perbuatannya, dialah baru disebut gagah. kau yang semuda dan segagah ini apakah hendak menyangkal hal-hal yang telah kau lakukan? Bukankah engkau telah menyerbu Kadipaten Selopenangkep, membuat kekacauan di sana, berusaha membunuh Adipati Joyowiseso dan melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk?"

   Lega kini hati Pujo. Kiranya itukah yang dijadikan alasan dia memberontak? Ternyata orang telah memutar balikkan fakta, menyampaikan kepada Ki Patih secara terbalik sehingga dia yang terkena fitnah memberontak!

   "Sesungguhnya tidak salah berita itu, gusti. Hamba telah menyerbu Kadipaten Selopenangkep dan mengamuk untuk membalas dendam kepada Raden Wisangjiwo yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup hamba. Semata-mata karena permusuhan pribadi hamba dengan Wisangjiwo sajalah yang mendorong hamba membikin huru-hara di Kadipaten Selopenangkep. Bukan sekali-kali dengan maksud memberontak kepada Mataram!"

   "Hemm... hemm..., aneh. Hal ini masih memerlukan bukti dan penyelidikan yang lebih mendalam. Apakah paman Resi Bhargowo berniat memberontak atau tidak, sukar dikatakan pada saat ini. Akan tetapi agar lebih mudah aku melakukan penyelidikan, permusuhan pribadi apakah yang terjadi antara engkau dan Wisangjiwo sehingga engkau menyerbu Kadipaten Selopenangkep?"

   Pujo menarik napas panjang. Peristiwa itu telah lama berlalu telah terpendam sebagai rahasia hidupnya. Akan tetapi kini menyangkut urusan yang lebih gawat, disangka dia memberontak. Pula, Ki Patih ini terkenal sebagai seorang bijaksana dan sakti mandraguna, apa salahnya menceritakan peristiwa itu agar mendapat pengadilan? Sekali lagi ia menarik napas menguatkan batinnya lalu berkata,

   "Sudah lama terjadinya, gusti Patih. Sepuluh tahun lebih yang lalu, hamba bersama isteri hamba sedang bertapa dalam Guha Siluman. Malam hari itu muncullah Wisangjiwo di guha dan agaknya ia tertarik kepada isteri hamba, lalu bersikap kurang ajar. Kami lalu berkelahi, akan tetapi Wisangjiwo mempergunakan kecurangan dan hamba terpukul pingsan. Dalam keadaan seperti itu, Wisangjiwo lalu... lalu..."

   Pujo tak kuasa melanjutkan ceritanya.

   "Hemmm..."

   Narotama meraba jenggotnya dan mengangguk-angguk, keningnya berkerut, ia dapat menduga apa yang terjadi selanjutnya."Dia lalu menggagahi isterimu, bukan?"

   Pujo mengangguk.

   "Bukankah isterimu itu puteri Resi Bhargowo?"

   "Betul, gusti Patih."

   "Lalu ke mana sekarang isterimu?"

   "Itulah, gusti. Isteriku lari dan sampai kini hamba tak pernah bertemu dengannya. Kebahagiaan hidup hamba hancur dan karena itulah maka hamba menyerbu ke Selopenangkep untuk membalas dendam kepada Wisangjiwo."

   "Hemm, Pujo! Engkau mendendam kepada Wisangjiwo, itu sudahlah pantas. Akan tetapi keluarganya tidak berdosa, tidak tahu-menahu, mengapa engkau mengganggu keluarganya?"

   "Karena Wisangjiwo tidak berada di Selopenangkep, hamba menjadi mata gelap..."

   Jawab Pujo menyesal.

   "Dan engkau perkosa pula isterinya dan bunuh anaknya?"

   "Tidak! Demi para dewata, tidak, gusti! Biarlah Sang Hyang Batara Syiwa mendatangkan hukum seberatnya kepada hamba kalau hamba melakukan kedua hal itu!"

   Pujo berkata dengan lantang, dan sejenak dua pasang sinar mata bertemu, yang satu penuh selidik, yang kedua menentang berani. Narotama mengangguk-angguk.

   "Di mana engkau tinggal sekarang?"

   "Di muara Sungai Lorog, gusti."

   "Engkau tahu tentang pusaka Mataram yang hilang?"

   "Pusaka? Hilang? Hamba tidak tahu, gusti. Selama peristiwa jahanam yang menimpa diri hamba itu, hamba tidak pernah lagi memasuki dunia ramai."

   Kembali Narotama mengangguk-angguk.

   "Mari kulihat tempatmu. Betapapun juga sudah menjadi tugasku untuk memeriksa dan membuktikan bahwa engkau benar-benar tidak berniat memberontak dan pula tidak tahu akan pusaka yang hilang."

   Kedua orang itu lalu meninggalkan hutan, jalan berdampingan sambil bercakap-cakap. Setelah mereka pergi jauh, barulah Joko Wandiro berani turun dari atas pohon. Tubuhnya masih gemetar. Ia tadi telah mendengarkan semua percakapan itu dan jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Ibunya telah digagahi! Ibunya telah diperkosa Wisangjiwo! Keparat!

   Teringat akan nasib ibunya, Joko Wandiro menjatuhkan diri di bawah pohon dan sejenak ia duduk termenung. Tidak menangis akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata yang menetes-netes sepanjang kedua pipinya. Ayahnya melarangnya menangis. Seorang laki-laki tidak layak meruntuhkan air mata, kata ayahnya. Diapun tidak sudi menangis. Dalam tiga hari ini ayahnya hendak pergi mencari Wisangjiwo, dan dia ditinggal, disuruh tinggal bersama penduduk pedukuhan. Tidak puas hati Joko Wandiro, akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak ayahnya. Lalu ia teringat akan tugasnya, disuruh mencari kuda tunggangan yang baik. Teringat akan ini, ia lalu melanjutkan perjalanan, berlari meninggalkan hutan itu menuju ke pedukuhan. Di hutan terakhir di luar dukuh itu terdapat sebuah belik (danau kecil) yang airnya jernih sekali.

   Timbul keinginan hatinya untuk mandi karena tubuhnya terasa panas setelah berlari-larian tadi. Ditanggalkannya semua pakaiannya dan segera ia meloncat ke dalam air yang jernih dan dingin dan berenang ke sana ke mari. Lenyaplah semua kesedihannya karena teringat ibunya tadi. Segar rasa tubuhnya, dan ia cepat-cepat naik ke darat mengenakan pakaiannya lagi. Pada saat itulah ia mendengar suara berkeritik yang menyakitkan telinga. Teringat ia akan cantrik tua renta bertasbih yang dibencinya. Agaknya terjadi pertempuran lagi, pikirnya. Dengan hati berdebar tegang ia berindap-indap menuju ke arah suara dan mengintai dari balik pohon. Benar saja dugaannya. Cekel Aksomolo bertanding, disaksikan oleh lima orang perampok tinggi besar. Siapakah yang menjadi lawannya? Bukan lain adalah Ki Tejoranu, si ahli sepasang golok!

   "Uuh-huh-huh, kau orang tidak setia kawan! kau percuma saja menjadi sekutu! Pura-pura suci dan gagah, tidak mau menyerang Narotama. Orang macam kau ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan mencelakakan belaka, huh-huhhuh!"

   Cekel Aksomolo mengobat-abitkan tasbihnya yang mengeluarkan bunyi berkeritik aneh. Ki Tejoranu tidak menjawab karena orang ini benar-benar terdesak oleh tasbih yang mengeluarkan hawa mujijat itu. Biarpun sepasang goloknya bergerak cepat, namun semangatnya seakan-akan terbetot dan dipengaruhi suara tasbih dan suara Cekel Aksomolo. Makin kacaulah permainan goloknya dan tiba-tiba terdengar suara

   "Rrrrrkkkkk!"

   Nyaring sekali dan... tubuh Ki Tejoranu terguling, seluruh tubuhnya lemah seakan-akan semua ototnya dilolosi dari tubuh. Inilah pengaruh tasbih sakti yang ampuhnya mengerikan itu! Cekel Aksomolo terkekeh dan menghampiri dengan sikap mengancam,

   "Hua-hah-hah, mampus kau sekarang!"

   Tasbihnya menghantam ke arah kepala. Biarpun Ki Tejoranu sudah lemas tubuhnya, namun ia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di saat sinar tasbih menyambar, ia masih mampu menggulingkan tubuhnya mengelak.

   "Bresss!"

   Batu dan tanah muncrat berhamburan karena hantaman tasbih menggantikan kepala Ki Tejoranu yang sudah berhasil bergulingan menjauhkan diri.

   "Uuh-huh-huh, punya aji trenggiling agaknya! Hayo, ajar dia! Bacok dia, cacah-cacah jadikan abon (daging halus)!"

   Cekel Aksomolo memerintah lima orang perampok yang berada di situ. Dia sendiri ogah kalau harus mengejar-ngejar lawan yang biarpun sudah tak dapat melawan namun masih mampu bergulingan cepat itu. Dia malas untuk bermain kucing-kucingan. Lima orang perampok tinggi besar itu mencabut golok dan ramailah mereka mengejar dan membacok. Namun Ki Tejoranu memang hebat. Tubuhnya bergulingan dan mencelat-celat seperti seekor kucing kepanasan. Namun, karena tenaganya sudah hampir habis akibat pengaruh tasbih mujijat, beberapa bacokan mengenai paha dan pangkal lengannya. Ia tidak mengeluh, hanya tertawa mengejek dan tidak menyerah, bahkan kini pengaruh tasbih makin menipis dan ia dapat berusaha membalas dengan tendangan-tendangan dari bawah.

   Wandiro adalah seorang anak yang memiliki dasar pemberani dan juga gagah. Menyaksikan betapa seorang yang sudah kalah kini dikeroyok dan disiksa, membayangkan betapa ia akan menyaksikan penyembelihan yang kejam sekali, ia tidak dapat menahan gejolak hatinya dan ia melompat keluar sambil memaki-maki,

   "Orang-orang tidak tahu malu! Mengeroyok seorang yang sudah terluka dan tidak pandai melawan, sungguh tak tahu malu!"

   Ia berdiri dengan tubuh tegak, kedua tangannya bertolak pinggang, matanya berkilat-kilat marah. Lima orang perampok itu terkejut dan marah, apalagi ketika menengok dan melihat bahwa yang memaki mereka hanyalah seorang laki-laki berusia satu dua belas tahun, kemarahan mereka memuncak. Serentak mereka menerjang untuk membunuh Joko Wandiro. Namun anak itu bukanlah sembarang anak yang mudah dibunuh begitu saja. Melihat datangnya golok yang bersinar-sinar membacok ke arahnya, sigap ia meloncat ke belakang, lalu memasang kuda-kuda dan matanya tajam memandang ke depan, siap untuk melawan mati-matian seperti yang diajarkan ayahnya.

   "Uuuh-huh-huh..., jangan bunuh dia"

   Tangkap hidup-hidup anak kadal ini!"

   Cekel Aksomolo berkata ketika mengenal anak yang telah mengencinginya dalam pertandingan mengeroyok Rakyana Patih Kanuruhan.

   "Tangkap hidup-hidup, serahkan padaku, akan kuminum darahnya setetes demi setetes! Uh-huh-huh!"

   Para perampok merasa heran mengapa kakek itu demikian membenci anak ini, akan tetapi mereka tidak berani membantah.

   "Wah, celaka, si keparat menghilang!"

   Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak ketika teringat kepada Ki Tejoranu dan menengok, ternyata orang itu telah lenyap.

   "Uuuuuh, biarkan saja, dia tidak ada artinya. Anak ini lebih penting, tangkap dia, jangan sampai hamburkan darahnya, akan kuhisap semua sampai habis!"

   Cekel Aksomolo berseru lagi. Dia amat benci kepada anak ini, yang telah melakukan sirikan atau pantangannya, dan dia baru akan puas kalau dapat menghisap habis darah anak ini, selain untuk membalas dendam kemarahannya, juga ia tahu bahwa anak ini bukan anak biasa dan darahnya tentu akan menguatkan tubuhnya. Lima orang perampok segera menyimpan goloknya dan seorang di antara mereka yang memandang rendah seorang anak kecil, segera maju menubruk. Kedua tangannya dikembangkan, jari-jari tangannya terbuka seperti seekor harimau menubruk kelinci.

   "Bruuuukkk! Uuhghh...!"

   Perampok ini merangkak bangun kembali dengan napas terengah-engah sesak karena tadi ia menubruk angin, bahkan menubruk tanah yang keras sehingga dadanya terasa ampeg. Kiranya ketika ia menubruk, Joko Wandiro sudah bergerak cepat sekali menyelinap ke bawah ketiak kanan, tidak lupa ia mengaitkan kakinya ke kaki lawan yang sedang condong menubruk ke depan sehingga tanpa dapat dicegah lagi perampok itu jatuh tertelungkup menubruk tanah! Perampok itu marah dan bangkit lagi, kini bersama empat orang kawannya mereka mengurung Joko Wandiro. Anak ini maklum bahwa ia dalam bahaya, namun sedikitpun ia tidak gentar.

   Ia menggerakkan kedua kakinya perlahan, mengatur sikap dan kuda-kuda, matanya mengeriing-ngeriing tajam ke arah lima orang pengurungnya, menanti gerakan mereka. Ia sudah sering berlatih dengan ayahnya menghindarkan serangan ombak yang memercik pecah, maka ia dapat bergerak gesit. Hanya diam-diam ia mengharapkan lima orang ini tidak akan menerjang dalam detik yang bersamaan, maka untuk itu ia sengaja memancing dan mendekatkan diri dengan orang yang tadi mencium tanah. Anak ini memang cerdik sekali. Ia tahu bahwa perampok yang telah terbanting tadi tentu lebih bernafsu untuk menerkamnya daripada empat yang lain. Oleh karena inilah ia sengaja mendekat kepada perampok yang matanya agak juling ini, bahkan ia berkata mengejek.

   "Bagaimana? Ampeg (sesak) tidak pulung hatimu, pak de?"

   Tentu saja perampok juling ini menjadi luar biasa marahnya, darahnya bergolak naik ke muka sehingga sukar baginya untuk mengeluarkan kata-kata makian yang terlontar dari dalam hati yang panas. Hanya ludah-ludah yang menyemprot dan mulutnya membuih, hidungnya yang pesek itu bergerak-gerak, cuping hidungnya kembang kempis seperti hidung kuda ketakutan. Akhirnya keluar juga suaranya bersama air ludah.

   "Bocah kumentus (sombong), bocah nyelelek, gembedig urakan! Ooohhh, kalau tidak dilarang Ki Cekel, ingin kujuwing juwing (robek) mulutmu!"

   Sambil berkata demikian ia menubruk dan tangan kirinya menempiling (menampar) kepala, tangan kanannya mencengkeram ke arah pundak untuk menangkap anak ini seperti yang diperintahkan Cekel Aksomolo.

   Girang hati Joko Wandiro. Pancingannya berhasil dan dengan pendahuluan oleh si juling ini berarti ia tidak akan menghadapi serangan serentak dari lima orang itu. Kalau mereka menyerang bertubi-tubi saja ia sama sekali tidak khawatir. Cepat ia mengerahkan Aji Bayu Tantra yang biarpun belum ia kuasai sepenuhnya, namun cukup membuat tubuhnya dapat bergerak jauh lebih cepat daripada gerakan lawan. Dengan gerakan yang amat cepat ini mudah saja baginya untuk menggeser kaki mengatur langkah mengelak daripada terjangan si juling. Aji Pethit Nogo adalah aji pukulan yang luar biasa ampuhnya, pukulan yang mempergunakan jari-jari tangan, sepuluh buah banyaknya dan semuanya dipergunakan.

   Tidaklah mudah untuk menguasai aji yang mujijat ini, maka Joko Wandiro yang baru berusia dua belas tahun belum pula mewarisi aji ini. Namun ayahnya yang menggemblengnya sejak kecil telah melatih jari-jari tangan anak ini sehingga jari-jari tangannya sudah dapat ia pergunakan dan ia isi dengan pengerahan tenaga. Biarpun belum mempelajari Aji Pe-thit Nogo, Joko Wandiro sejak beberapa tahun telah diberi pelajaran tentang letak-letak jalan darah dan otot dalam tubuh sehingga ia tahu bagian mana yang lemah. Begitu tubuhnya miring dan kedua lengan tangan si juling hanya beberapa senti meter menyambar di samping kepala dan pundak, cepat tangan anak ini bergerak pula. Mula-mula jari telunjuk tangan kanannya meluncur dan menusuk jalan darah di pergelangan tangan kiri si juling yang menyambar lewat di atas kepalanya.

   "Athooooww!"

   Si juling berteriak kesakitan karena merasa betapa lengan kirinya itu seakan-akan lumpuh dan sakit sekali. Akan tetapi ia tetap saja melanjutkan cengkeraman tangan kanannya ke arah pundak Joko Wandiro. Akan tetapi kembali tangan kiri Joko Wandiro berkelebat, telunjuk dan jari tengah tangan kirinya sudah menusuk ke arah belakang siku lawan.

   "Assshhhh...!"

   Si juling mendesis karena merasa seakan-akan otot lengan kanannya putus! Ia melangkah mundur, menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir pegal linu seperti tingkah Dursosono dalam panggung wayang orang! Empat orang perampok lain segera maju dan menyerang bertubi-tubi. Namun hal ini sudah diperhitungkan Joko Wandiro sehingga ia cepat menyelinap di antara hujan kepalan dan tamparan itu, menyelinap di antara tangan-tangan yang kotor dan besar, sebesar kepalanya. Begitu cepat gerakan anak ini sehingga serangan-serangan itu sama sekali tidak pernah dapat mengenainya, paling hebat hanya menyerempet saja.

   Iapun berusaha membalas dan beberapa kali kepalan tangannya yang kecil bertemu lambung dan perut yang gendut lunak. Namun para perampok itu adalah orang-orang yang tebal kulitnya. Apakah artinya pukulan dan tendangan kaki Joko Wandiro yang kecil? Mereka mendesak lagi sambil memaki-maki seperti tingkah laku lima ekor kucing kaku mengejarngejar seekor tikus yang gesit. Akhirnya Joko Wandiro tertangkap juga ketika dari belakangnya sebuah lengan yang kurus kering menyambar. Tahu-tahu tengkuknya telah ditampar jari-jari kecil kering, akan tetapi mengandung tenaga mujijat sehingga anak ini merasa nanar dan roboh terguling. Si juling segera menubruk dan memeluknya kuat-kuat. Demikian kuatnya si juling ini menyikap sehingga Joko Wandiro merasa napasnya sesak.

   "Eh... eh..., mengapa tidak kau bunuh saja aku? Aha, kau takut kepada kakek tua renta itu, bukan? Ha-ha-ha, lucunya. Orang-orang tinggi besar dan kuat seperti kalian berlima ini masa takut kepada seorang kakek yang sudah mau mampus?"

   Si juling marah sekali dan ingin ia sekali gencet membunuh anak ini, juga empat orang perampok lain mendongkol sekali. Hanya karena ada Cekel Aksomolo maka mereka tidak berani membunuh anak ini, sekarang diejek oleh Joko Wandiro tentu saja mereka diam-diam mendongkol pula kepada kakek itu, akan tetapi mereka hanya berani memandang dengan mata mereka yang besar-besar dan melotot.

   "Huhh-huh-huh, bocah setan, bocah kurang ajar, kau tidak tahu siapa eyangmu ini. Siapakah yang berani main-main dengan aku? Huuh-huh-huh! Hayo mundur kalian! Dan cari tua bangkai pelo yang melarikan diri tadi, tangkap dia dan seret ke sini!"

   Lima orang tinggi besar itu mengundurkan diri dan lenyap di antara pohon dan gerumbul dalam usaha mereka mencari jejak Ki Tejoranu. Sementara itu, melihat lima orang tinggi besar pergi dan ia hanya berhadapan dengan kakek tua renta, Joko Wandiro lalu berkata,

   "Akupun mau pergil"

   Maka larilah ia.

   

Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini