Perawan Lembah Wilis 38
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 38
Sepasang telinganya hinggap di belakang rambut pelipis bagaikan sepasang kupu-kupu menghisap madu bunga, menjadi lebih manis lagi karena dihias anting"anting panjang terbuat dari mutiara yang diuntai seperti embun berantai tergantung di ujung daun.
Alisnya amat hitam, menjerit bukan dibuat, memang sudah sewajarnya rambut alis itu tumbuh amat rapi melindungi sepasang matanya yang seolah-olah selalu mengeluarkan api gairah asmara yang membakar.
Sepasang mata dengan bulu mata lentik panjang, yang selalu agak meredup, apalagi di saat itu, di waktu hatinya bergelora oleh asmara, mata itu kelihatan seperti mata yang mengantuk dan justeru keredupan matanya inilah yang menambah daya tariknya yang luar biasa.
Hidung kecil mancung itu amat bagus bentuknya, akan tetapi bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan mulut di bawahnya. Memang keistimewaan Suminten, di samping seluruh bagian tubuhnya yang menarik, terutama sekali terletak pada mata dan mulutnya.
Mata dan mulutnya itu merupakan sumber-sumber yang penuh api membara, api yang dapat membakar nafsu berahi setiap orang pria. Mata dan mulut yang indah bentuknya dan membayangkan ketelanjangan yang menantang!
Suminten menghampiri Pangeran Panji Sigit yang membuang muka. Ketika melangkah maju, pinggulnya yang ramping seperti patah-patah dan pinggulnya yang menonjol keras mengimbangi dadanya itu bergerak-gerak.
"Duh Pangeran......."
Suminten merapatkan tubuhnya,sengaja menekankan dadanya yang membusung itu ke pangkal lengan Pangeran Panji Sigit suaranya menggetar ketika memanggil napasnya agak terengah karena begitu menyentuh pangeran itu, darahnya telah mendidih, nafasnya menggelora menuntut pelepasan. Tangan kirinya merangkul pundak, tangan kanannya menggerayang dada pangeran muda itu.
"Duh Pangeran, mengapa begin jadinya........??"
Suminten mengeluh lagi dan sekali ini dia tidak berpura-"pura, bukannya merayu sembarang merayu, melainkan secara sungguh-sungguh karena dia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda ini. Dua titik air mata yang mengalir di atas pipinya bukanlah air mata palsu, melainkan timbul dari hatinya yang merasa nelangsa mengapa pemuda ini tidak mau menyambut cinta kasihnya, bahkan rela menjadi tawanan dan rela pula menghadapi maut.
Tanpa menoleh, Pangeran Panji Sigit berkata kasar,
"Mau apa engkau, wanita iblis? Pergilah, aku sudah tertawan, mau bunuh atau mau siksa, terserah. Aku tidak takut mati!"
"Pangeran Panji Sigit, butakah engkau, wahai pria pujaan hamba? tidak tahukah atau memang pura-pura tidak tahu betapa Suminten mencintamu dengan seluruh jiwa raganya? Aduh Pangeran, sungguh, aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu! Tunjukkanlah bahwa engkau seorang pria yang suka kepadaku, akan membalas cinta kasihku, dan, percayalah, aku dapat membuat engkau menjadi Putera Mahkota Kerajaan Jenggala! Kelak, kalau engkau sudah menjadi Raja Jenggala, aku Suminten akan cukup puas kalau engkau tidak melepaskanku, akan selalu mendampingiku, menguburku dengan timbunan cinta kasihmu, sayang....".."
Pangeran Panji Sigit adalah seorang manusia biasa, seorang pria yang masih muda.
Menghadapi cumbu rayu seorang wanita muda cantik jelita seperti Suminten ini benar-benar terasa amat berat baginya untuk mempertahankan hatinya. Ia merasa betapa daging lembut mendekap di bahunya, merasa betapa jantung di balik dada itu berdenyar-denyar penuh hembusan nafsu berahi, mendengar getaran penuh kemesraan dalam suara yang berbisik-bisik itu, merasa hembusan napas yang hangat dari mulut yang merah menantang, merasa betapa jari-jari tangan yang membelai dada dan lehernya mengeluarkan getaran-getaran yang membuat dia merinding.
Dapatkah kita menyalahkan Pangeran Panji Sigit kalau jantungnya sendiri mulai berdebar? Apalagi mendengar bujukan yang amat muluk itu. Dia akan dijadikan putera mahkota, calon pengganti ramandanya! Akan tetapi, ia mengingat akan kekejian wanita ini dan tanpa menoleh ia membentak,
"Tak perlu membujukku, pergilah kau wanita berhati palsu!"
"Aduh, Pangeran Panji Sigit. Tak dapatkah engkau membedakah antara cinta sejati dan cinta palsu? Pangeran, kalau memang cintaku palsu, tentu aku tidak berani datang mengunjungimu di saat ini. Engkau dan aku tahu bahwa kalau engkau kehendaki, dengan mudah engkau akan dapat membunuhku di saat ini tanpa ada yang dapat menolongnya. Akan tetapi aku tidak perduli.. Bunuhlah kalau kau mau membunuhku; karena kalau engkau menolak cintaku, berarti engkau sudah setengah membunuhku! Duh Pangeran, dari debar jantungmu, aku tahu bahwa engkau bukan, seorang pria berdarah dingin. Aku tahu bahwa di sudut hatimu, engkau juga mencinta Suminten......."
"Tidak pergilah........!!"
Akan tetapi Suminten telah merasa betapa di balik kulit dada bidang yang dibelai ujung jari tangannya itu berdebar, betapa rongga dada itu bergelora, kulitnya menjadi panas, urat-urat di leher pangeran itu menjadi berdenyut-denyut, mukanya kemerahan dan pandang matanya merenung, nafasnya memburu.
Semua ini menjadi tanda akan bangkitnya nafsu berahi yang menjalar dari tubuhnya kepada pangeran itu. Melihat tanda-tanda yang amat dikenalnya ini, Suminten tersenyum dan cepat ia menarik leher pangeran itu dengan kedua lengannya yang bulat panjang, seperti dua ekor ular lengannya. membelit leher, bergantung sehingga muka pangeran itu menunduk dan dengan sepenuh cinta kasih dan kemesraannya, Suminten mencium bibir Pangeran Panji Sigit dengan mulutnya.
Begitu mesra belaian dan ciuman wanita ini sehingga pangeran muda itu kehilangan akal dan kesadaran, himpir secara otomatis Pangeran Panji Sigit membalas ciuman itu dengan napas terengah karena dorongan nafsu berahi yang dibangkitkan oleh Suminten yang amat pandai merayu.
Pada saat mulut mereka berciuman, Suminten tak dapat menahan hatinya, sehingga naiklah gelak tawa dari dalam dadanya yang tertahan di mulut yang sedang berciuman.
Suara ini, suara gelak...tertahan ini, memasuki telinga Pangeran Panji seperti suara ketawa iblis sendiri..yang mengejek dan menyorakinya. Jiwa satria dalam diri Pangeran Panji Sigit meronta mendengar ini, kesadarannya kembali dan ia cepat merenggut mukanya dari pagutan wanita itu, dari ciuman yang seperti gigitan seekor lintah.
Kemudian, terbawa oleh rasa sesal mengapa ia tadi melayani belaian dan cumbuan Suminten, Pangeran Panji Sigit menggerakkan tangan kanannya menampar pipi yang halus, harum dan hangat itu.
"Plakkk........!!"
Tamparan itu keras sekali dan tubuh Suminten terpelanting lalu roboh terguling di atas lantai.
Wanita itu menjerit kecil, kini bangkit dengan muka merah dan pipi sebelah kirinya membiru. Ia mengelus pipi kirinya dengan tangan kiri, menengadah memandang pangeran itu dan........ tersenyum!
"Pangeran, tamparan keras itu tidak dapat menghapus kebahagiaan hatiku telah merasai belaianmu tadi. Pangeran, marilah.... marilah ke sini.... kita saling mencinta, tak perlu disangkal lagi mari bersama Suminten, Pangeran Kemudian, engkau akan membunuhku, atau akan lebih suka menjadi calon raja, terserah kepadamu..... aku siap menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu, Pangeran
......"
Pangeran Panji Sigit terbelalak memandang wanita yang, setengah rebah di atas lantai itu. Ketika terguling tadi, rambut Suminten terlepas sanggulnya dan terurai kacau, kembennya. merosot dan kainnya tersingkap sampai ke paha.
Tubuh yang ramping padat itu meliuk-liuk, seperti seekor ular kepanasan, penuh daya memikat sehingga ada dorongan hasrat di hati Pangeran Panji Sigit untuk melompat, menerkam wanita itu dan melahap hidangan yang disediakan untuknya dengan kerelaan yang menggila, bahkan hampir mengharukan! Wanita ini, betapa pun jahat dan kejinya, benar-benar mencintanya, bukan hanya cinta nafsu, melainkan cinta tulus ikhlas yang aneh, cinta yang didasari kesiapan untuk berkorban apa juga.
Akan tetapi saat itu Pangeran Panji Sigit sudah sadar betul sehingga semua dorongan nafsu berahi telah dapat ia tolak dan lenyapkan. Ia memandang dan sinar matanya menjadi dingin sekali. Wanita ini telah mencelakakan ramandanya, telah mencelakakan kerajaan, telah melakukan banyak kekejaman, menyebabkan terbasminya keluarga Ki Patih Brotomenggala, menyebabkan sengsaranya permaisuri dan banyak orang tak berdosa menerima hukuman bahkan banyak pula yang ditewaskan.
Biarpun dari luar kelihatan seperti seorang wanita yang amat cantik dan gerak-geriknya selalu membetot semangat dan cinta kasih pria, namun sesunggahnya iblis sendiri yang bersembunyi di balik segala keindahan tubuh wanita ini.
"Suminten, tidak ada gunanya lagi membujuk. Aku tidak akan terpikat olehmu karena aku merasa yakin bahwa engkau sesungguhnya adalah seekor ular beracun, seorang wanita yang menjadi alat Iblis untuk menggoda dan menyeret manusia ke lembah kehinaan. Aku tidak mau membunuhmu karena engkau adalah selir kanjeng rama, akan tetapi aku pun tidak akan sudi lagi menjamahmu apalagi mencintamu karena setiap sentuhan akan mendatangkan dosa dan noda bagiku. Jiwamu rendah sehingga tubuhmu menjadi kotor menjijikkan, lebih baik seribu kali mati daripada menuruti cinta kasihmu yang hina dan rendah!"
Wajah Suminten menjadi pucat. Setelah kini yakin bahwa cinta kasihnya tidak akan terbalas pemuda yang dipujanya dan dicintanya ini, hatinya seperti disayat-sayat pisau dan terasa perih sekali. Sakit hati menimbulkan kebencian dan dendam.
Bagi seorang seperti Suminten, mudah saja merubah cinta kasih berkobar menjadi benci yang mendalam. Ia bangkit, membenarkan sanggulnya, merapikan pakaiannya, sikapnya juga dingin sekali. Sejenak is berdiri tegak memandang wajah pangeran itu, menahan isak dengan napas dihela panjang, kemudian berbalik yang terdengar seperti desis seekor ular,
"Aku bisa mencinta bisa pula membenci, bisa mendatangkan nikmat bisa pula mendatangkan derita! Kaukira dapat menentang kehendakku? Kita sama lihat saja, akan datang saatnya engkau bertekuk lutut di depanku, meratap mohon kasihan kepadaku!"
Setelah berkata demikian, Suminten keluar dari kamar tahanan itu. Pangeran Panji Sigit sejenak termenung, kemudian menghela napas dan duduk di atas pembaringan. Ia mendengar suara Suminten di luar kamar, agaknya bercakap-cakap dengan penjaga. Namun dia tidak perduli.
"Akan tetapi, dua orang muda itu, Pusporini dan Joko Pramono, memiliki kesaktian yang luar biasa!"
Kata Ki Patih Warutama sambil mengerutkan keningnya yang tebal.
Mereka sedang berunding. Ki Patih Warutama, Suminten yang duduk di kursi paling tinggi dengan sikap seperti seorang ratu, Pangeran Kukutan dan di situ menghadap,pula Cekel Wisangkoro dan dua orang tokoh sakti lainnya yang sudah kita kenal yaitu Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro.
Biarpun tidak atau belum berani berkunjung ke Jenggala secara berterang, namun kini tokoh-tokoh anak buah Wasi Bagaspati dan Biku Janapati sudah seringkali secara diam-diam, berkunjung ke Jenggala, bahkan telah diterima, sebagai sekutu oleh Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama yang merupakan tiga serangkai yang pada saat itu memegang kendali Kerajaan Jenggala.
"Ha-ha-ha, hanya dua orang bocah, mengapa begitu dikhawatirkan? Serahkan saja kepada Ki Kolohangkoro, akan kutangkap mereka berdua dengan sebelah tanganku!"
Kata Ki Kolohangkoro yang sudah biasa menyombongkan diri dan bersikap kasar kepada slapa pun juga.
"Boleh jadi Ki Kolohangkoro agak sombong, akan tetapi kurasa, kalau hanya dua orang pemuda itu saja, tentu dia dapat mengalahkannya. Andaikata masih terlalu berat baginya, di sini ada aku dan ada pula Kakang Cekel Wisangkoro. Selain itu di sini banyak terdapat pengawal"pengawal yang cukup kuat, mengapa khawatir?"
Kata Ni Dewi Nilamanik sambil mengerling tajam ke arah Ki Patih Warutama yang tampan dan gagah itu.
Ki patih yang gagah itu sekali ini tidak melayani lirikan wanita cantik yang mengandung tantangan bagi kejantanannya. Dia mengerutkan alisnya dan berkata,
"Saya sama sekali tidak hendak merendahkan kesaktian andika bertiga yang sudah saya ketahui dengan baik. Akan tetapi, saya telah menyaksikan pula malam tadi ketika Pusporini dan Joko Pramono dikeroyok oleh barisan pengawal pilihan. Sepak terjang mereka hebat bukan main dan........dan agaknya........ saya sendiri belum tentu dapat menandingi mereka. Memang kalau andika bertiga yang maju, saya tidak perlu khawatir lagi, hanya........ ah, andaikata kami bisa mendapat kunjungan Paman Wasi Bagaspati sendiri atau Paman Biku Janapati, barulah hati saya akan menjadi lega karena yakin bahwa hanya beliau"beliau itulah yang akan dapat menundukkan mereka berdua tanpa ragu lagi."
Ni Dewi Nilamanik juga mengerutkan alisnya yang menjelirit hitam akan tetapi bukan sewajamya melainkan buatan, kemudian is berkata penuh penasaran,
"Mengapa Ki Patih demikian berkecil hati? Sesungguhnya, kalau saya tidak salah ingat, saya dan Ki Kolohangkoro pernah menghadapi dua orang muda yang bernama Joko Pramono dan Pusporini itu, dan kami pernah menawan mereka dengan amat mudah!"
Ki Patih Warutama mengangkat mukanya memandang dan tercengang.
"Benarkah itu?. Ah, kalau memang sudah terbukti andika dapat mengalahkannya, itulah baik sekali!"
Ki Kolohangkoro yang ingatannya tidak setajam ingatan Ni Dewi Nilamanik, dengan wajah bodoh bertanya,
(Lanjut ke Jilid 46)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 46
"Bunda Dewi, yang manakah mereka itu?"
"Ihh, apakah andika tidak ingat lag?"
Ni Dewi Nilamanik mencela. Biarpun usia Ki Kolohangkoro lebih tua dari Ni Dewi Nilamanik, akan tetapi ia selalu menyebut wanita cantik genit itu "Ibunda Dewi", hal ini adalah karena pertama, Ni Dewi Nilamanik adalah kekasih Wasi Bagaspati, dan kedua karena Ki Kolohangkoro menganggap diri sendiri sebagai penitisan Sang Bathara Kala sedangkan Ni Dewi Nilamanik dianggap sebagai penitisan Sang Bathari Durgo, maka ia menyebutnya Ibunda Dewi.
Raksasa yang menyeramkan itu menggeleng kepalanya sehingga rambutnya yang panjang dan gimbal bergoyang"goyang.
"Sudah terlalu banyak orang muda kita tangkap, mana bisa saya Mengingat mereka satu-satu?"
"Hemm, ingatkah engkau akan pertemuan kita dengan paman guruku, Paman Resi Mahesapati di dalam hutan itu?"
Raksasa itu membelalakkan matanya yang sudah lebar, lalu menyambar cawan berisi minuman tuwak yang disediakan untuknya, menggelogok isinya sampai kosong, kemudian berkata,
"Ibunda maksudkan kakek jambel yang membawa batok kelapa dan sapu lidi itu? Ihhh, tentu saja aku masih ingat!"
Raksasa itu menggerakkan pundaknya seperti orang kedinginan karena ia merasa serem kalau teringat akan kakek itu.
"Nah, waktu itulah kita menawan Joko Pramono dan Pusporini yang terpaksa kita tinggalkan karena pertemuan kita dengan paman guru itu."
"Oh-oh, ha-ha-ha! Mereka itu? Ah, mereka hanyalah bocah-bocah yang rupawan saja, biarlah kalau mereka datang, akan kutangkap mereka!"
Ki Patih Warutama memandang Ni Dewi Nilamanik dengan pandang mata penuh selidik.
"Jadi ketika itu mereka ditolong oleh paman guru andika yang bernama Resi Mahesapati? Apakah paman guru andika itu sakti mandraguna?"
"Paman guru Mahesapati? Ihh, mengerikan sekali! Kesaktiannya seperti dewa! Kiranya setingkat dengan kesaktian Sang Wasi Bagaspati sendiri!"
Jawab wanita itu.
Ki Patih Warutama mengangguk-angguk. Dia sudah menyaksikan kehebatan sepak terjang dua orang muda itu dan dalam urusan ini dia tidak mau bersikap sembrono seperti Ki Kolohangkoro yang memandang rendah semua urusan.
"Kalau begitu, siapa tahu kalau mereka lalu menjadi murid kakek sakti itu,"
"Aihhh........ Kalau begitu........memang mengkhawatirkan!"
Ni Dewi Nilamanik berkata dan ketika mendengar kemungkinan dua orang muda itu menjadi murid Resi Mahesapati yang amat ditakutinya, Ki Kolohangkoro juga diam saja, tidak lagi berani membual.
Suminten yang tidak mengerti tentang kesaktian dan yang sejak tadi diam saja mendengarkan para pembantunya berunding, tiba-tiba membuka mulut berkata,
"Mengadu kesaktian saja memang meragukan, akan tetapi jika menggunakan siasat kurasa tidak akan sukar menjatuhkan mereka, betapapun sakti mereka itu."
Semua mata memandang dan dalam pandang mata Ni Dewi Nilamanik terbayang kekaguman.
Wanita ini sudah cukup berpengalaman, sudah banyak bertemu dengan pria atau wanita yang bagaimana pun. Akan tetapi barn sekali ini ia kagum melihat seorang wanita muda yang lemah tiada kesaktian namun dapat mengangkat dirinya secara sedemikian hebatnya, dari seorang abdi sampai menjadi orang yang paling berkuasa di Kerajaan Jenggala! Kini, wanita muda ini sengaja mengumpulkan mereka untuk berunding menghadapi dua orang muda yang sakti degan sikap sedemikian dingin, penuh perhitungan, dan matang! Dibandingkan dengan kematangan wanita muda ini, akal dan pikiran seorang kakek seperti Ki Kolohangkoro tiada bedanya dengan seorang bocah saja!
Suminten sengaja memanggil para pembantunya, langsung setelah ia keluar dari kamar tahanan, setelah gagal ia merayu Pangeran Panji Sigit. Kini, mendengar betapa orang-orang sakti ini seperti kehilangan akal mendengar kemungkinan bahwa dua orang muda lawan mereka itu benar-benar amat sakti dan murid Resi Mahesapati, dia menjadi hilang sabar.
"Kalau mereka datang, dan hal ini aku yakin pasti akan terjadi, mereka itu tentu bermaksud untuk membebaskan Pangeran Panji Sigit. Karena itu, kita bahkan sebaiknya menggunakan pangeran itu sebagal umpan. Di dalam penjara istana terdapat banyak alat-alat rahasia. Kalau kita tempatkan pangeran itu di dalam kamar yang sudah dipasangi perangkap, dan mereka datang, tentu akan mudah kita menangkap mereka tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kerepotan lagi. Ada aku mendengar tentang kamar tahanan yang lantainya dapat menjebloskan penginjaknya ke dalam lubang di bawah tanah yang terbuat dari-pada baja, tanpa pintu dan jendela. Kalau kita menggunakan kamar itu........
"
"Sayang hal itu tak mungkin dapat dilakukan karena adinda........eh, si bedebah Panji Sigit itu pun tahu akan rahasia kamar tahanan itu sehingga kalau para temannya datang, dia tentu akan dapat dia tentu akan memperingatkan mereka,"
Pangeran Kukutan mencela.
Suminten tersenyum mentertawakan pendapat Pangeran Kukutan ini. Ketika ia tersenyum dan giginya yang putih mengkilat terkena cahaya lampu, semua yang hadir di situ memandang kagum.
Dalam senyum ini terkandung segala yang mengagumkan dari diri atau pribadi Suminten karena senyum ini membayangkan kecerdikan yang mengerikan di samping kekejaman, keberanian dan ketenangan yang tersembunyi di balik kecantikan dan kemanisan yang mempesonakan.
"Ah, Pangeran, mengapa kekurangan akal? Apa sukarnya membuat Pangeran Panji Sigit pingsan? Dalam keadaan pingsan dia dibaringkan dalam kamar itu bukankah itu merupakan umpan yang amat baik? Setelah mereka terjeblos ke dalam lubang jebakan, terkutung dalam ruangan di bawah tanah itu, tinggal terserah kepada kita tentang nasib mereka."
"Akan kuhujani anak panah! Eh, tidak, akan kusuruh kumpulkan seratus ekor ular berbisa dan kumasukkan ular"ular itu ke dalam ruangan di bawah itu!"
Pangeran Kukutan berkata dengan geram.
Suminten menarik napas panjang.
"Hemm, amat tidak baik menurutkan hati panas. Hati boleh saja panas membara, akan tetapi kepala harus tetap dingin agar kita dapat menggunakan kepala untuk menciptakan buah pikiran yang tepat. Mereka itu adalah orang-orang muda yang amat berguna karena memiliki kesaktian, di samping itu, Pangeran Panji Sigit adalah seorang putera terkasih sang prabu, Setyaningsih dan Pusporini adalah adik-adik Endang Patibroto yang menjadi isteri Ki Patih Tejolaksono di Panjalu. Tidak baik kalau membunuh mereka begitu saja karena mereka itu adalah orangorang yang berharga, orang"orang yang penting dan masih banyak kegunaannya bagi kita. Membunuh mereka begitu saja berarti menyia-nyiakan kegunaan mereka. Kita laksanakan lebih dulu pancingan sampai berhasil, setelah mereka berhasil terjebak barn dicari jalan yang tepat....".."
"Saya amat kagum dan setuju dengan siasat itu. Harap paduka jangan khawatir, kalau mereka telah terjebak, saya mempunyai asap beracun untuk membuat mereka tak berdaya sehingga mudah ditawan,"
Kata Ni Dewi Nilamanik.
Demikianlah, dengan rencana yang dikemukakan Suminten sebagai dasar, mereka dapat mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan siasat itu. Mudah saja bagi Ni Dewi Nilamanik untuk membikin pingsan Pangeran Panji Sigit yang selain kalah jauh kedigdayaannya, juga sudah tertawan dan dibelenggu sehingga tidak dapat melawan ketika asap beracun memabukkan disemprotkan ke mukanya.
Pangeran ini roboh pingsan seperti orang tertidur dan sama sekali tidak tahu bahwa dia digotong ke dalam sebuah kamar tahanan, dibaringkan di atas sebuah pembaringan batu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, malam hari itu juga, setelah berunding dan mendapat petunjuk-petunjuk dari Ki Wiraman, tiga orang muda perkasa, Setyaningsih, Pusporini, dan Joko Pramono, menyelundup memasuki kota raja dengan niat menyerbu istana dan menolong Pangeran Panji Sigit yang masih tertinggal di istana.
Malam itu gelap karena udara tertutup mendung. Tiga bayangan berkelebat gesit sekali, berhasil meloncati pagar tembok istana dan bagaikan tiga ekor burung saja, Joko Pramono, Pusporini, dan Setyaningsih sudah melayang turun ke dalam taman istana yang paling ujung. Mereka itu sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedatagan mereka memang sudah diduga, bahkan telah direncanakan secara matang untuk menyambut mereka!
Joko Pramono selalu bergerak di sebelah depan sebagai pelopor.
Setyaningsih di tengah karena kalau dibuat perbandingan, di antara mereka bertiga, Setyaningsih yang paling lemah. Pusporini berada di belakang menjaga bahaya tiba-tiba. Mereka berindap-indap bergerak maju, menuju ke gedung tamu di mana Pangeran Panji Sigit selama ini tinggal bersama isterinya.
Joko Pramono yang dapat bergerak seperti angin saja tanpa mengeluarkan suara telah mengintai jendela pondok tempat tinggal Pangeran Panji Sigit, lalu menoleh dan memberi isyarat kepada Setyaningsih dan Pusporini agar jangan berisik.
Mereka bertiga lalu berindap mengintai sinar jendela.Ternyata pondok yang tadinya menjadi tempat tinggal Pangeran Panji Sigit dan isterinya itu kini ditempati oleh Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Cekel Wisangkoro!
Tiga orang sakti itu sedang duduk mengelilingi meja dan bercakap-cakap dengan asyiknya.
Agaknya mereka itu sudah setengah mabuk karena di atas meja tersedia banyak minuman keras dan percakapan mereka sudah tidak karuan, tidak sopan sehingga Setyaningsih dan Pusporihiyang mendengarnya menjadi tersipu-sipu, merah mukanya dan gemas.
"Ha-ha-ha, lbunda Dewi. Kalau ingin mencari kepuasan malam ini, marilah kulayani! Jarang sekali Ibunda mengajak aku, dan aku tanggung Ibunda. Dewi akan puas sekali!"
Kata Ki Kolohangkoro.
"Heh-heh, jangan percaya dia, Ni Dewi! Biarpun tubuhnya tinggi besar, akan tetapi hal ini bukan kesenangannya, mana bisa dia memberi kepuasan? Kesenangannya hanya makan bocah. Mari kulayani engkau, Ni Dewi. Aku peranakan Hindu aseli, dalam hal itu tidak kalah oleh guruku, Bapa Wasi sendiri, heh-heh!"
Kata Cekel Wisangkoro.
"Hushh, kalian jangan ribut-ribut. Bukan waktunya bersenang-senang. Bukankah kita ditugaskan menjaga datangnya musuh-musuh yang akan menolong Pangeran. Panji Sigit?"
Tiga orang muda di luar jendela yang tadinya merasa muak dan hendak pergi, kini mendengarkan dengan jantung berdebar.
"Aha! Panji Sigit sudah dikurung dalam kamar tahanan batu di ujung barat; selain terjaga kuat juga sudah kita pasangi alat-alat sehingga setiap usaha untuk menolongnya berarti malah membunuhnya. Perlu apa khawatir?"
Kata Ki Kolohangkoro dengan suara keras.
"Andaikata dapat membebaskannya, tak mungkin akan dapat lobos dari pengejaran kita. Hayolah, Ni Dewi, kaulayani aku........ sudah tiga tahun aku tidak berdekatan dengan wanita........
"
Kata pula Cekel Wisangkoro.
Tiga orang muda perkasa itu tidak mau mendengarkan lagi bahkan Joko Pramono sudah bergerak pergi meninggaikan pondok itu dibayangi oleh Setyaningsih dan Pusporini. Untung mereka mendengar percakapan itu sehingga mereka tidak perlu lagi mencari-cari.
Pangeran Panji Sigit ditahan dalam kamar tahanan batu di ujung barat! Selama mereka berada di istana, mereka sudah melakukan penyelidikan, akan tetapi mereka hanya tahu akan letak perumahan yang disediakan untuk tahanan rahasia di lingkungari istana. Mereka tidak mungkin menyelidiki keadaan kamar-kamar tahanan itu satu demi satu, akan tetapi mereka tahu di mana letaknya kamar tahanan batu di ujung barat.
Malam sudah larut sekali, keadaan, sudah sunyi tanda bahwa semua penghuni istana sudah tidur. Hanya sekali dua terdengar suara penjaga malam yang meronda. Joko Pramono dan Pusporini, dibantu pula oleh Setyaningsih, bersedakep di luar bangunan tahanan di ujung barat, mengheningkan cipta dan mengerahkan aji penyirepan. Dalam waktu yang tidak lama, keadaan di situ menjadi makin sunyi karena belasan orang penjaga yang bertugas menjaga di luar bangunan itu telah jatuh pulas semua, terpengaruh oleh aji panyirepan yang amat kuat.
Tiga orang muda perkasa itu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa aji panyirepan mereka tidak dapat mempengaruhi beberapa orang yang memang sudah bersiap-siap sebelumnya, tiga orang saki yang bukan lain adalah mereka yang tadi bercakap-cakap di dalam pondok tempat tinggal Pangeran Panji Sigit!
Mereka ini, Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro, telah lebih dulu memasang aji penolak sirep dan merekalah yang menjaga kamar tahanan siap untuk menggerakkan alat rahasia yang terpasang di lantai kamar!
SETELAH keadaan menjadi sunyi dan merasa yakin bahwa semua penjaga telah pulas, Joko Pramono berbisik kepada Pusporini dan Setyaningsih,
"Andika berdua menjaga di luar sini, biarkan saya sendiri menyelidiki ke dalam."
Pusporini mengangguk, Memang sebaiknya demikian. Merurut apa yang mereka dengarkan dalam percakapan antara tiga orang tokoh sakti tadi, tempat tahanan ini dipasangi alat-alat rahasia yang amat berbahaya.
Jika mereka semua masuk, sekali terjebak, mereka semua akan celaka. Kalau hanya seorang; andaikata terjadi sesuatu, yang berada di luar dapat saja sewaktu-waktu menolong.
Sebaliknya, jika ada bahaya yang datangnya dari luar, dia dapat menyambutnya untuk melindungi Joko Pramono yang bertugas di dalam.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi Setyaningsih membantah,
"Saya akan ikut masuk mencari Kakangmas Pangeran........
"
"Harap Ayunda suka menjaga saja di luar bersama Pusporini,"
Kata Joko Pramono.
"Bergerak seorang did di dalam akan lebih leluasa, pula kita belum tahu bahaya apa yang mengancam di dalam."
"Betul, Ayunda. Tugasnya sudah amat berat, dan dia hams dapat menemukan dan membebas kan Rakanda Pangeran. Kita sudah mendengar tadi akan percakapan mereka. Di dalam banyak terdapat alat-alat rahasia yang berbahaya. Pula, keadaan. di luar sini tidak kurang pantingnya. Kalau ada musuh-musuh sakti menyerbu, Ayunda dapat membantuku menghadapi mereka."
Setyaningsih terdesak dan terpaksa menyerah sungguhpun hatinya sudah ingin sekali bertemu dengan suaminya yang tercinta. Setyaningsih tidak membantah lagi, mulailah Joko Pramono memasuki bangunan besar yang dijadikan tempat tahanan itu.
Dengan tenaga saktinya, mudah saja Joko Pramono mendorong pintu gerbang terbuka dan ia merasa lega ketika melihat empat orang penjaga menggeletak di balik pintu gerbang dalam keadaan pulas. Untuk mencegah kalau-kalau ada musuh datang dari luar dan melihat pintu gerbang terbuka, ia menutupkan lagi daun pintu gerbang sehingga kini Setyaningsih dan Pusporini yang berada dl luar tidak dapat melihatnya, lagi.
Joko Pramono melangkah maju terns dengan hati-hati sekali, matanya memandang ke depan dan kanan-kiri. Untung baginya bahwa bangunan itu cukup terang mendapat cahaya lampu -lampu gantung yang cukup banyak di tempat itu, Pintu ke dua merupakan pintu dari baja, akan tetapi ketika ia mendorongnya, ternyata pintu itu tidak terpalang hanya ditutupkan saja, maka mudah terbuka.
Ketika ia melihat para penjaga malang-melintang tidur pulas di bawah pengaruh aji penyirepan nya tadi. Banyak sekali penjaga di sebelah dalam ini, ada belasan orang. Di antara mereka terdapat seorang kakek tinggi besar yang bersandar dinding, suara dengkurnya keras seperti macan menggereng.
Joko Pramono maklum bahwa penjaga yang seorang ini bukanlah sembarang penjaga, tentu setidak"tidaknya kepala penjaga.
Tubuh penjaga ini kuat sekali tampaknya, bahkan menyeramkan. Akan tetapi karena panjaga ini pun pulas, la tidak memperhatikannya lagi dan melangkah maju terus. Di depan terdapat ruangan yang luas, lantainya dari papan tebal. Ia berlaku hati-hati, tidak segera meloncat maju, melainkan mencoba lantai papan itu dengan cara menekan-nekannya dengan sebelah kakinya. Ia khawatir kalau-kalau lantai, itu dapat bergerak.
Akan tetapi lantai itu kokoh kuat dan Joko Pramono melangkah terus, matanya mencari-cari bagian mana kiranya yang akan dimasukinya untuk mencari Pangeran Panji Sigit. la telah tiba di tengahtengah ruangan itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa di sebelah belakangnya dan ketika secepat kilat ia membalik kan tubuh, kiranya penjaga yang tinggi besar seperti raksasa itu telah berdiri di depannya! Kini tampak jelas betapa penjaga yang tua ini tubuhnya benar mengejutkan, seperti raksasa. Telinganya dihias anting-anting dan tangan kanannya memegang sebuah senjata nenggala, tombak kecil yang nincing kedua ujungnya, dipegang di tengah-tengah.
Melihat keadaan kakek ini, terkejutlah hati Joko Pramono karena ia segera mengenalnya. Inilah Ki Kolohangkoro! Pernah ia bersama Pusporini menghadapi kakek ini dan Ni Dewi Nilamanik, bahkan akhirnya dia ditawan Ni Dewi Nilamanik sedangkan Pusporini ditawan kakek ini. Untung dia dan Pusporini tertolong oleh guru mereka, Resi Mahesapati!
"Ah, kiranya andika menjadi seorang di antara tikus"tikus yang menggerogoti Kerajaan Jenggala, Ki Kolohangkoro!"
Joko Pramono berkata tenang dan ia bersiap-siap dengan penuh kewaspadaan karena maklum bahwa lawan ini bukanlah seorang yang lemah.
"Ha-ha-ha-ha! Engkau Joko Pramono? Apakah yang engkau andalkan maka berani memasuki sarang harimau? Hendak membebaskan Pangeran Panji Sigit? Ha-ha-ha, jangan mimpi, orang muda. Lebih baik menyerah sebelum nenggalaku yang sudah lama tidak mencium darah ini menggelogok darahmu!"
"Manusia raksasa seperti engkau berhati iblis! Jangan mengira akan mudah mengalahkan Joko Pramono seperti lima tahun yang lalu. Sambutlah ini!"
Joko Pramono cepat menerjang maju dengan pulkulan kepalan kanannya.
Dahsyat sekali gerakannya akan tetapi sambil tertawa Ki Kolohangkoro menggerakkan nenggalanya menyambut terjangan pemuda itu dengan terjangan balasan, yaitu ia menusukkan nenggalanya ke arah dada Joko Pramono.
"Plakk!"
Dengan gerakan indah, Joko Pramono sudah membuka kepalannya tadi, merubah pukulan menjadi gerakan tangan terbuka melingkar dari kin ke kanan, diputar sedemikian rupa sehingga ia berhasil menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang nenggala itu dari samping.
Sedetik dua tenaga raksasa bertemu, saling betot, dan tiba-tiba Joko Pramono berseru keras dan menyendal tangan lawan itu dengan gentakan kuat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh raksasa itu kehilangan keseimbangan, kuda"kudanya tergempur dan tubuhnya terbanting ke kanan.
Hal ini amat mengejutkan hati Ki Kolohangkoro.
Hampir ia tidak percaya bahwa pemuda yang lima tahun lalu masih amat lemah dan hanya memiliki kepandaian yang tidak ada artinya, kini dapat memiliki tenaga sakti yang sedemikian lcuatnya sehingga hampir"hampir ia tidak kuat menahan nenggalanya. Untung ia masih dapat mempertahan kan senjatanya itu sehingga tidak terampas biarpun tubuhnya hampir terbanting roboh.
"Babo-babo, kiranya engkau telah memperoleh kemajuan yang lumayan. Makanlah senjataku!"
Raksasa itu menerjang lagi, kini lebih hebat dengan memutar pergelangan tangannya sehingga nenggala itu berputar seperti kitiran, mendatangkan angin dan mengeluarkan suara berdesing. Hebat memang Ki Kolohangkoro yang memiliki tenaga gajah, sedangkan senjata nenggala di tangannya itu pun merupakan sebuah nenggala yang amat ampuh.
Akan tetapi Joko Pramono sekarang sama sekali berbeda dengan Joko Pramono lima tahun yang lalu. Setelah mendapatkan gemblengan dari Resi Mahesapati yang sakti mandraguna, kedigdayaannya menjadi berlipat ganda dan kini menghadapi tendangan Ki Kolohangkoro itu, ia dapat melihat dengan jelas gerakan lawan sehingga dapat dengan mudah pula mengelak ke ldri, secepat kilat kakinya menyambar dari samping ke arah lambung lawan.
Andaikata tadi Ki Kolohangkoro belum merasakan betapa kuatnya pemuda ini tentu dengan memandang rendah ia berani menerima tendangannya itu karena ia dapat mengandalkan kekebalannya yang akan melindtmgi lambungnya.
Akan tetapi ia tahu bahwa tendangan pemuda sekuat itu tenaga saktinya, apalagi yang ditujukan ke arah lambung, amatlah berbahaya. Maka ia lalu memutar pergelangan tangan, membuat nenggala yang luput sasaran tadi membalik ke kanan untuk memapaki kaki lawannya dengan senjatanya yang ampuh Mi. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat perkembangan selanjutnya.
Ternyata kaki itu tidak dilanjutkan menendang lambung, melainkan meluncur ke bawah dan menendang ke arah lututnya! Ki Kolohangkoro berusaha untuk meloncat agar terhindar dari tendangan yang dapat membuat sambungan lututnya terlepas itu, akan tetapi masih kurang cepat sehingga kakinya masih tercium tendangan lawan, mengenai betisnya sehingga kuda"kudanya tergempur dan ia roboh terguling!
Biarpun merasa amat kaget, namun Ki Kolohangkoro adalah seorang yang sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran, maka ia cepat menggerakkan tubuhnya bergulingan sehingga Joko Pramono yang sudah datang menerjang dengan tendangan susulan itu tidak berhasil. Cepat sekali Ki Kolohangkoro bergulingan lalu meloncat dan menghilang melalui sebuah pintu ruangan itu.
Joko Pramono yang ingin mencari di mana adanya kamar tahanan Pangeran Panji Sigit, cepat meloncat pula mengejar. Dia berada di ruangan lain yang dindingnya berwarna hijau, akan tetapi tidak melihat bayangan Ki Kolohangkoro yang telah lenyap entah lari ke mana. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya maju ke ruangan hijau yang kosong itu, siap menjaga kalau-kalau ada serangan lawan atau kalau-kalau ada jebakan rahasia.
Ruangan itu kosong dan sunyi. Hanya terdapat sebuah pintu kecil di sebelah kanan ruangan. Karena itu, tentu dari pintu itulah larinya Ki Kolohangkoro. Joko Pramono menghampiri pintu, tidak sembrono melainkan dengan hati"hati sekali ia mendorong daun pintu sambil menyelinap untuk menjaga kalau-kalau ada senjata rahasia menyambutnya.
Akan tetapi tidak teijadi sesuatu dan kini daun pintu terbuka lebar, selebar mata Joko Pramono yang memandang terbelalak ke dalam ruangan ke tiga ini. Ruangan di balik pintu itu berwarna merah muda dan di ujungnya terdapat sebuah pembaringan di mana tampak Pangeran Panji Sigit rebah terlentang tak bergerak, entah tidur ataukah pingsan. Dan di pinggir pembaringan, membelakanginya, duduk bersimpuh seorang wanita yang mengelus-elus rambut kepala pangeran itu dengan jari-jari tangan mesra. Dan belakang tampak bahwa wanita itu adalah Suminten.
Melihat ini, bangkit kemarahan Joko Pramono. Wanita iblis itulah yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang terjadi. Wanita itulah yang mengatur siasat mengadu domba sehingga hampir saja Pusporini membunuhnya.
Kebetulan sekali ia mendapatkan wanita itu di situ. Ia dapat membebaskan Pangeran Panji Sigit dan sekalian menangkap wanita itu. Ia dapat menangkap Suminten. Kalau wanita ini ditangkap dan diseret ke Panjalu, tentu akan hancur persekutuan jahat yang mencengkeram Jenggala.
"Perempuan iblis!"
Bentaknya dan tubuhnya sudah meloncat ke dalam ruangan itu, siap untuk menangkap Suminten. Ia maklum bahwa yang terpenting menawan wanita ini karena hal itu akan dapat dipergunakan untuk perisai dan untuk memaksa kaki tangan Suminten memberi kebebasan kepada Pangeran Panji Sigit.
"Wirrrr........ tar-tar........ hi-hihik!"
Joko Pramono mengeluarkan suara tertahan dan cepat sekali membalikkan tubuh berjungkir balik menghindar diri dari sambaran pengebut lalat berwarna merah yang digerakkan oleh wanita itu yang kini telah membalikkan tubuh.
Ia terluput dari serangan maut dan kini berdiri di tengah ruangan, memandang wanita yang disangkanya Suminten itu, akan tetapi yang ternyata adalah Ni Dewi Nilamanik yang dahulu pernah menawannya!
Yang disangkanya Suminten adalah wanita iblis itu yang agaknya sengaja menyamar sebagai Suminten dan karena wanita yang usianya sudah empat puluh tahun lebih ini memang masih cantik dan bertubuh ramping, maka dari belakang tidak jauh bedanya dengan Suminten.
"Ah, kiranya andika juga berada di sini? Kalau begitu lengkaplah sudah. Jenggala, tepat di dalam istananya, dijadikan sarang sekumpulan iblis bertubuh manusia!"
Joko Pramono berseru marah.
"Hi-hi-hik, bocah bagus, engkau terlalu sombong!"
"Ha-ha-ha, kematian sudah di depan mata!"
Terdengar suara Ki Kolohangkoro dari belakangnya. Joko Pramono cepat membalik dan ternyata raksasa itu kini sudah berdiri di ambang pintu, di belakangnya.
Joko Pramono tidak menjadi gentar menghadapi dua orang musuh lama ini. Ia hanya cemas melihat keadaan Pangeran Panji Sigit yang rebah tak bergerak, agaknya pingsan karena pangeran itu sama sekali tidak terganggu oleh keributan di situ.
Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang dan siap untuk mengadu kesaktian melawan dua orang manusia iblisitu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berderit keras di atas kepalanya.
Karena mengira bahwa tentu ada alat rahasia yang akan menyambarnya dari atas, Joko Pramono memandang ke atas dan sebagian besar perhatiannya tertuju ke langit-langit ruangan itu.
Dan memang inilah yang dikehendaki oleh ahli pembuat alat rahasia di tempat tahanan istana Jenggala itu. Begitu orang mengarahkan perhatiannya ke atas, tentu saja perhatiannya ke bawah berkurang dan tiba-tiba lantai yang diinjak Joko Pramono terkuat ke bawah! Pemuda itu terkejut sekali, namun terlambat.
Tubuhnya sudah meluncur ke bawah dan lantai yang tadi terkuak ke bawah, itu telah menutup kembali diiringi suara tertawa Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik.
Joko Pramono maklum bahwa la telah terjebak. Akan tetapi sebagai seorang satria perkasa, is pantang menyerah terhadap keadaan. Ia mengerahkan hawa saktinya sehingga biarpun tubuhnya meluncur ke bawah, namun ia masih menguasai dirinya dan tidak akan terbanting ke dasar sumur itu. Begitu kakinya menyentuh lantai, tubuhnya sudah bergerak seperti per sehingga daya luncuran tertahan dan sekali meloncat ia telah mematahkan daya luncuran tadi. Ia berdiri di tengah ruangan di bawah tanah itu dan memaksa matanya untuk menembus kegelapan di situ.
Akan tetapi keadaan gelap pekat, tidak tampak sesuatu sehingga akhirnya Joko Pramono terpaksa hams menggunakan kaki tangannya untuk meraba-raba. Kiranya ia telah terkurung oleh dinding yang kuat dan yang bentuknya bundar. Tidak ada pintu maupun jendelanya, sedangkan ketika ia menengadah, lantai jebakan yang kini menjadi langit-langit itu tidak tampak, hanya gelap dan hitam saja yang membayang di matanya.
Betapapun juga, Joko Pramono tidak menjadi putus asa menghadapi kenyataan bahwa dirinya benar-benar terancam bahaya maut ini.
Ia melakukan hal yang terpenting, yaitu duduk bersila di tengah-tengah ruangan gelap itu untuk mengumpulkan tenaga sakti dan menenangkan pikirannya. Ia maklum bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya hams diterima dalam keadaan tenang dan wajar, karena hanya ketenangan jiwanya sajalah yang akan mampu membuat ia kuat menghadapi segala kepahitan dan kemudian mengatasinya dengan langkah"langkah yang tepat. Teringatlah pemuda ini kepada sebuah di antara wejangan-wejangan Resi Mahesapati yang pada saat itu terngiang di telinganya.
"Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, yang menimpa dirimu, adalah sesuai dengan hula yang ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu, kita hams dapat menerimanya sebagai suatu kewajaran dan bersandarkan kesabaran dan ketenangan, kita harus berani memandang ke depan. Segala macam peristiwa yang menimpa diri kita, apabila sudah dikehendaki demikian oleh Sang Jagad Nata (Pengatur Dunia) takkan dapat dihindarkan oleh manusia, betapapun saktinya manusia itu. Maka, jalan satu-satunya bagi manusia mahluk lemah ini hanyalah bersandar kepada Hyang Widi Wisesa dengan penuh ketulusan hati, dengan penuh pasrah namun tidak melepaskan segala ikhtiar yang menjadi kewajiban manusia yang telah diberi perlengkapan sempurna untuk kewajiban itu."
Joko Pramono tekun mengheningkan cipta dan ia menanti datangnya kesempatan baik untuk menolong dirinya sendiri. Dia tidak takut, tidak gentar karena dia telah menyandarkan dirinya kepada kekuasaan Dewa, sehingga andaikata kematian akan menjemputnya sekalipun, ia tidak merasa gentar karena maklum bahwa semua itu sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba terdengar bunyi seperti desis ular. Joko Pramono bangkit berdiri, bersikap tenang waspada, bersiap"siap menghadapi hal yang seburuknya, tenaga sakti telah menjalar ke arah kedua lengannya. Akan tetapi tiba-tiba ia terbatuk karena mencium bau yang amat harum namun menyengat hidung, dan tahulah ia bahwa fihak lawan telah menyerangnya dengan asap yang entah masuk di ruangan itu dari mana.
la menahan napas, lalu menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir asap harum menyengat hidung itu. Asap yang masuk berwarna putih dan menjadi buyar terkena sambaran angin pukulan Joko Pramono. Akan tetapi asap masuk makin banyak dan makin tebal, sedangkan Joko Pramono, biarpun telah menjadi pemuda sakti, namun tak mungkin dapat menahan napas selamanya.
Akhirnya ia tersedak, terengah dan cepat ia duduk bersila,menghentikan perlawanan dan mengosongkan pikiran, siap untuk menerima datangnya maut yang tak dapat ia hindarkan lagi. Sungguh patut dikagumi Joko Pramono ini, biarpun masih amat muda akan tetapi sudah dapat menghadapi bahaya maut dengan sikap yang tenang, bahkan dapat mengatur diri sehingga andaikata ia mati, pikiran dan hatinya kosong, sikap yang amat sempurna.
Sementara itu, Pusporini dan Setyaningsih yang menjaga di luar bangunan tempat tahanan itu menjadi gelisah. Menanti adalah pekerjaan yang amat sukar dan berat. Apalagi menanti seperti mereka lakukan itu, menanti Joko Pramono yang memasuki tempat tahanan, yang mereka tahu amat berbahaya. Sukar ditentukan siapa yang lebih gelisah antara kedua orang wanita muda cantik itu, karena Setyaningsih cemas memikirkan suaminya, sedangkan Pusporini tentu saja gelisah memikirkan keselamatan kekasihnya yang memasuki "guha iblis"
Seorang diri.
Setelah lewat satu jam lebih belum juga Joko Pramono kembali, dan keadaan tetap sunyi senyap, Setyaningsih tak dapat lagi menahan kegelisahan hatinya.
"Pusporini, mari kita masuk menyusul Dimas Joko Pramono, mencari Kakangmas Pangeran,"
Kata Setyaningsih dengan suara perlahan.
Pusporini mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.
"Tidak baik kalau kita pun pergi menyusulnya, Ayunda. Bukankah tadi Joko Pramono sudah meninggalkan pesan agar kita berdua menanti dan menjaga di sini?"
"Ah, sudah begin lama dia pergi dan masih juga belum ada tanda-tanda dia kembali. Sampai kapan kita menanti di sini, adikku? Tepatkah kalau kita membiarkan dia menempuh bahaya untuk menolong Kakangmas Pangeran seorang diri? Bagaimana kalau Adimas Joko Pramono tertangkap pula? Kita harus menyusul, Rini, dan kalau kau tidak mau, biarlah aku pergi sendiri menyusul Joko Pramono dan menolong suamiku."
Pusporini menghela napas panjang. Memang sesungguhnya kekhawatiran hatinya tidak kalah besar, dan jawabnya tadipun hanya untuk menutupi kekhawatirannya, atau untuk menghibur dirinya sendiri saja. Maka is berkata,
"Baiklah, Ayunda. Memang aku pun merasa heran mengapa dia belum juga kembali. Marilah, akan tetapi biar saya jalan di depan dan Ayunda di belakang. Kita hams berhati-hati sekali, Ayunda. Musuh kita terlampau keji dan curang."
"Jangan khawatir, Pusporini. Untuk menolong suamiku, aku siap menghadapi apapun juga."
Kedua orang wanita ini melangkah masuk melalui pintu gerbang yang tadi sudah dibuka Joko Pramono. Mereka berjalan dengan hati-hati, melihat pula para penjaga yang masih tertidur pulas di bawah pengaruh aji penyirepan mereka tadi, dan terus memasuki ruangan depan.
Seperti halnya Joko Pramono tadi, mereka pun tiba di dalam ruangan yang berwarna hijau. Hanya bedanya, kalau tadi di sebelah belakang itu terdapat sebuah pintu kecil, kini pintu itu lenyap menjadi dinding rata, dan di sebelah kiri muncul sebuah pintu lain. Pusporini yang berjalan di depan dalam keadaan siap itu memberi tanda kepada ayundanya dan mereka mendorong pintu sebelah ldri itu sehingga terbuka.
"Kakangmas Pangeran........!"
Setyaningsih menjerit lirih dan berlari memasuki kamar itu ketika melihat suaminya duduk bersila di atas sebuah pembaringan di sudut kamar.
"Ayunda, jangan........! "
Pusporini berseru.
"Isteriku........, jangan masuk........! "
Pangeran Panji Sigit juga berseru ketika melihat isterinya dan Pusporini muncul di pintu. Akan tetapi Setyaningsih tidak perduli dan sudah berlari masuk, lalu menubruk suaminya dan mereka berpelukan.
Pada saat itu terdengar suara ketawa di belakang Pusporini yang cepat menengok, akan tetapi Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik telah menyerangnya darl belakang menggunakan senjata mereka. Pusporini cepat meloncat ke belakang, ke dalam kamar itu karena tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan din dari serangan senjata nenggala dan kebutan yang ampuh itu.
Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai, pintu itu tertutup sendiri dan hanya terdengar suara ketawa Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro di luar pintu.
"Ah, kalian terjebak........!"
Pangeran Panji Sigit berseru cemas.
Pusporini menjadi marah sekali. Ia mengerahkan aji kesaktiannya, menyalurkan tenaga sakti ke dalam lengannya, kemudian sambil memekik ia meloncat ke depan menghantam pintu itu.
"Desss!!"
Hebat bukan main hantaman dara perkasa ini sehingga seluruh dinding kamar itu tergetar, akan tetapi daun pintu hijau itu ternyata terbuat daripada baja yang kuat sekali dan tertutup oleh gerakan alat rahasia sehingga hanya tergetar saja dan tidak terpecahkan. Kembali Pusporini menghantam, sampai tiga kali tanpa hasil. Ia menjadi makin marah, bertolak pinggang menghadapi daun pintu lalu membentak,
"Iblis-iblis laknat! Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro, kalau memang kalian orang-orang sakti,bukalah pintu dan mari bertanding melawan Pusporini yang akan menghancurkan kepala kalian dan memecahkan dada kalian!!"
Namun, yang menjawab tantangannya hanyalah asap putih yang masuk melalui dua bush lubang kecil di lantai. Asap itu masuk mengeluarkan suara mendesis seperti ular menyambar dan sebentar saja kamar itu penuh oleh asap yang berbau harum bercampur bau amis yang menyengat hidung.
"Awas asap beracun! Rakanda, Ayunda, bertiarap!"
Seru Pusporini.
Pangeran Panji Sigit yang merangkul isterinya itu menarik tubuh Setyaningsih dan mereka segera bertiarap di atas lantai, menelungkup. Adapun Pusporini, seperti juga yang dilakukan Joko Pramono tadi, menahan napas dan mengerahkan hawa sakti untuk mengayun-ayun lengannya, mendorong dengan maksud mengusir asap itu keluar dari kamar.
Sambaran angin pukulannya membuat asap itu buyar dan bergerak-gerak. Akan tetapi karena kamar itu agaknya memang tidak diberi lubang, asap yang buyar dan membubung ke atas itu menurun kembali, bersatu dengan asap barn yang keluar terus dari lantai sehingga menjadi tebal memenuhi kamar.
Setelah melihat usahanya gagal, Pusporini melirik ke arah Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih, melihat mereka itu telah roboh pingsan sambil berpelukan. Dia menarik napas panjang lalu. duduk bersila dalam keadaan samadhi, seperti yang dilakukan Joko Pramono tadi sehingga tak lama kemudian dia pun menjadi pingsan dalam keadaan duduk bersila!
"Tak-tak, herrr........ Hayolah, kerbau goblok, kerbau malas! Plak-plak! Tarr!"
Kerbau yang menarik luku di sawah itu tetap mogok dan mendekam di atas lumpur yang begitu sejuk dan nikmat rasanya di bawah terik sinar matahari di siang hari.
"Kerbau tolol, kubunuh engkau!"
Bentak petani setengah tua itu yang sudah lelah memaki-maki kerbaunya dan kini mulai mencambukinya sekuat tenaga.
Seorang pria muda yang berpakaian serba putih sederhana menghentikan langkahnya menyaksikan peristiwa ini. Ia lalu memutar tubuh menghampiri pinggir sawah dan matanya sayu memandang ke arah kerbau yang digebuki.
Pria ini masih muda sekali, usianya paling banyak dua puluh satu tahun, akan tetapi is memiliki sepasang mata yang selain tajam berpengaruh, juga demikian penuh pengertian seperti yang hanya dimiliki oleh kakek-kakek pendeta yang sudah memiliki ilmu batin yang hat!
Pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi tidak mengurangi ketampanan wajahnya yang berkulit putih halus seperti kulit tubuh wanita.
Alisnya yang tebal hitam dan kelihatan garang itu tidak dapat menandingi kelembutan pandang matanya, sedangkan bibirnya seperti yang selalu tersenyum maklum, seperti senyum seorang ayah melihat tingkah laku anaknya yang nakal dan masih kecil.
"Sudah, Paman. Tiada gunanya menyiksa pembantumu dan tiada baiknya menurut hati yang digelapkan nafsu amarah."
Suara pemuda aneh ini demikian penuh ketenangan dan kesabaran, begitu halus dan lemah lembut sehingga laki-lald yang marah dan menggebuki kerbaunya itu menghentikan perbuatan nya dan menoleh dengan heran, siap untuk menimpakan kemarahan dan kemendongkolan hatinya kepada orang yang berani mencegah dia menggebuki kerbaunya sendiri.
Akan tetapi begitu bertemu pandang dengan mata pemuda itu, seolah-olah ada tetesan embun dingin yang memadamkan semua api kemarahannya, bahkan membuat dia menjadi malu dan merah mukanya.
Akan tetapi, ia hendak membela diri dan mengusir rasa malunya dengan bantahan, sungguhpun kata bantahannya tidak terdorong kemarahan lagi,
"Orang muda, mudah saja maido (mencela). Kerbau ini malas dan bodoh, dia tidak mau menarik luku, habis kalau tidak digebuki apakah harus kutimang-timang?"
Pemuda itu memperlebar senyumnya yang sudah selalu siap di bibir, kemudian ia duduk di atas galengan sawah.
"Maaf, Paman. Aku tidak mencela atau maido, hanya ingin mengingatkan Paman bahwa kerbau itu adalah pembantu Paman. Dia mogok bekerja karena lelah dan kurasa bukan hanya hari ini dia membantu Paman meluku sawah. Manusia telah dikurniai akal budi sedangkan kerbau dikurniai tenaga, sehingga dengan akalnya, manusia dapat mempergunakan tenaga kerbau untuk membantunya meluku sawah. Padahal, meluku sawah atau bekerja untuk mencari pengisi perm adalah menjadi kewajiban si manusia sendiri. Setelah dapat mempergunakan akal sehingga kerbau dapat membantu, manusia seharusnya berterima kasih, tidak hanya kepada Sang Hyang Wisesa yang berkahnya begitu melimpah-limpah kepada manusia, juga kepada kerbau yang membantu nya. Kerbau mogok bekerja tentu ada sebabnya, mungkin dia lelah, mungkin dia sakit, karena kerbau termasuk binatang, mahluk yang selalu bergerak berdasar kewajaran, tidak seperti manusia yang lebih condong kepalsuan dan tidak wajar. Seperti tidak wajarnya perbuatan Paman menggebuki kerbau yang selalu menjadi pembantu Paman."
Petani itu melongo dan hanya bisa menangkap sedikit saja dari ucapan yang mengandung arti dalam dan sukar itu.
"Akan tetapi dia tidak mau menarik luku, berarti membuat pekerjaan terbengkalai, padahal tanah ini perlu dibuka cepat-cepat agar jangan terlambat kalau hujan turun!"
"Sifat manusia memang tidak mengenal budi, berdasar watak ingin senang sendiri, Paman. Kurasa sudah ribuan kali kerbau ini membantu Paman meluku sawah, akan tetapi satu kali saja dia mogok, yang ribuan kali itu tak teringat lagi oleh Paman sehingga Paman tega untuk menyiksanya.
"
Petani itu kini melepaskan gagang lukunya dan membalikkan tubuh, menghadapi langsung
pemuda itu,tidak seperti tadi yang hanya sambil menoleh saja.
"Eh, Kisanak, engkau masih muda akan tetapi bicaramu seperti seorang pendeta saja! Bicara sih mudah, hanya menggoyang lidak menggerakkan bibir, akan tetapi yang menjalankan ini yang sukar. Kalau kerbaunya tidak mau membantu, habis aku hams berbuat bagaimana?"
"Paman keliru. Bicara tidaklah mudah, kalau kita tahu bagaimana harus bicara. Apa yang masuk ke dalam mulut haruslah yang baik dan bersih agar kesehatan kita selalu terjamin. Sebaliknya apa yang keluar dalam mulut pun hams selalu yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Kalau kerbau Paman mogok bekerja karena lelah atau sakit, sebaiknya dia dibiarkan beristirahat dan makan, sedangkan soal pekerjaan dapat Paman lanjutkan dengan cangkul."
Petani itu melototkan matanya.
"Orang muda, engkau merasa pintar, ya? Kalau cuma begitu, tak perlu kau nasehati. Tidak urung aku yang disuruh bekerja, sedangkan untuk menyelesaikan sawah ini hanya dengan sebuah pacul, tentu tidak selesai dalam tiga hari!"
"Paman butuh bantuan? Biarlah aku membantumu, Paman."
Pemuda itu menyingsingkan lengan baju dan celananya, kemudian turun ke sawah.
"Hemm, andika seorang pemuda yang aneh. Apa maksudmu mencampuri urusan orang lain, mencela dan membantu? Apakah pamrihmu hendak membantuku, orang muda?"
"Pamrih? Perbuatan yang berpamrih bergelimang kepalsuan, Paman. Membantu orang lain didasari pamrih, bukanlah bantuan namanya, melainkan usaha tercapainya pamrih itu sendiri. Bagiku, membantumu bekerja adalah wajar, Paman. Andika membutuhkan bantuan karena kerbaumu mogok, dan aku datang membantu, itu sudah wajar, sudah tepat, seperti tepatnya orang lapar makan dan orang haus minum. Ada pamrih apa lagi?"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo