Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 14


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Kalau begitu, kakakkupun terkena fitnah! Bagaimana kalian baru bisa tahu bahwa bukan kakangmas Wisangjiwo yang kalian cari? Ataukah inipun rahasia?"

   Roro Luhito bertanya.

   "Yang kami cari adalah seorang laki-laki yang buntung kelingking tangan kirinya, sedangkan Wisangjiwo masih lengkap jari tangannya."

   "Buntung kelingking kirinya???"

   Roro Luhito bertanya setengah menjerit."Hyang Maha Agung yang menguasai jagad! Si keparat Jokowanengpati buntung kelingking kirinya!"

   Tiba-tiba Pujo meloncat dan menampar kepalanya sendiri.

   "Ahhhhh...! Alangkah tolol aku! Benar... kelingking tangan kirinya buntung!"

   Suami-isteri itu saling pandang, mata mereka bersinar-sinar penuh kemarahan dan hampir berbareng mereka berseru,

   "Jokowanengpati iblis keparat!"

   "Tahu aku sekarang!"

   Roro Luhito ikut bicara.

   "Kalau kalian mencari orangnya yang melakukan fitnah terhadap kakangmas Wisangjiwo kepada kalian, tentulah si Jokowanengpati. Pantas saja dia bertindak seperti ular kepala dua di kadipaten! Dia membantu ayah menangkapmu kakangmas Pujo, kemudian dia membantumu membebaskan diri dan menculik isteri dan putera kakakku, kemudian dia membohongi ayah dan menyatakan bahwa kau kabur menculik serta melakukan perbuatan keji di kadipaten atas bantuan gurumu, Resi Bhargowo!"

   "Tobat-tobat...! Ada manusia sejahat itu? Dia hendak mengadu domba antara Resi Bhargowo semuridnya dengan Kadipaten Selopenangkep! Dan aku pernah bertemu dengan manusia iblis itu. Sayang yang kucari adalah Pujo dan Resi Bhargowo, kalau aku tahu dia orangnya yang bersalah, tentu sudah kubekuk dia!"

   Secara singkat Resi Telomoyo menceritakan pertemuan dan pertandingannya melawan Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo beserta pasukannya. Pujo mengangguk-angguk,

   "Tahulah aku sekarang! Pantas gusti Patih sendiri menuduh aku dan ayah mertuaku sebagai pemberontak-pemberontak! Kiranya itulah siasat si jahanam Jokowanengpati. Nimas Sari, jelas sekarang siapa musuh kita. Hemm, agaknya dahulu itu dia berada di sebelah dalam guha, dan dia menggunakan kesempatan munculnya Wisangjiwo untuk melakukan perbuatan biadab mempergunakan nama Wisangjiwo!"

   Wajah Kartikosari menjadi merah saking malu dan marah, namun matanya memancarkan cahaya berapi-api.

   "Agaknya begitulah. Pantas kau roboh olehnya ketika itu, karena kau sudah terluka. Wisangjiwo yang sudah terluka pula agaknya tak mungkin dapat merobohkanmu. bodoh kita, kita berangkat dan mencarinya!."

   "Akan tetapi bagaimana dengan anak kita dan muridmu? Kita harus mencarinya."

   "Kakangmas Pujo dan kakang mbok, kalau diperkenankan biarlah aku menemani kalian. Musuh kita ternyata sama orangnya!"

   Kata Roro Luhito.

   "Betul, harap kalian berbaik hati menerima muridku sebagai teman. Aku sendiri akan pulang ke Telomoyo, akan tetapi kelak akupun akan menyusul kalian ke Selopenangkep. Nah, muridku Roro Luhito, baik-baiklah engkau menjaga diri. Dua orang ini boleh kau percaya sepenuhnya, mereka orang-orang baik. Kalau sudah tiba saatnya, aku akan menyusulmu, nak."

   Roro Luhito segera berlutut menyembah, memberi hormat dan menghaturkan selamat jalan. Demikian pula suami-isteri itu yang tahu bahwa kakek itu adalah seorang pertapa yang sakti dan berbudi walaupun wataknya aneh seperti monyet, segera memberi hormat. Tanpa ragu-ragu lagi mereka menerima Roro Luhito sebagai teman, karena sedikit banyak terutama Pujo, merasa bersalah terhadap keluarga Wisangjiwo, bersalah telah menculik Joko Wandiro.

   Jelas bahwa musuh besar mereka sama orangnya bukan lain adalah Jokowanengpati, Siapa lagi kalau bukan dia? Selain bukti kelingking kiri yang buntung, juga semua sepak terjangnya di Selopenangkep membayangkan pengkhianatan dan penipuan untuk mengadu domba, dan ini saja sudah cukup menjadi bukti. Betapapun juga, ia tidak mau berlaku gegabah, dan potongan kelingking kering masih ia simpan. Ia akan mengukurnya dahulu dengan kelingking kiri Jokowanengpati sebelum menjatuhkan pembalasan. Kalau sekali ini ia keliru lagi, akibatnya tentu hebat, karena Jokowanengpati adalah rnurid uwa gurunya, Empu Bharodo yang sakti mandraguna. Setelah Resi Telomoyo pergi meninggalkan tempat itu, Kartikosari bertanya kepada Roro Luhito,

   "Diajeng, kalau menurut pikiranmu, ke manakah kita akan dapat mencari musuh kita?"

   Roro Luhito menundukkan mukanya.

   "Terserahlah kepada kalian, aku hanya menurut dan ikut. Kepandaianku tidak seberapa, dan aku tahu betapa saktinya musuh kita."

   "Kita harus pergi dulu mencari anak kami dan keponakanmu Joko Wandiro. Aku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan mereka, karena aku melihat lima orang mayat penjahat di sana."

   "Begitupun baik, aku hanya menurut saja."

   Kata Roro Luhito dan sekilat matanya mengeriing ke arah Pujo lalu menunduk kembali.

   Pujo melihat ini dan teringat akan sikap gadis itu ketika mula-mula bertemu dengannya, mukanya menjadi merah sekali. Ketika gadis itu menyangka dia orang yang menggagahinya, gadis ini malah mencarinya dan hendak bersuwita (menghamba) kepadanya. Kini setelah tahu bahwa bukan dia orangnya, melainkan Jokowanengpati, mengapa sikapnya berubah dan hendak membalas dendam kepada Jokowanengpati penuh kebencian? Hanya satu saja jawaban yang mungkin benar, yaitu bahwa Roro Luhito ini mencintanya!! Berdebar jantung Pujo sehingga mukanya menjadi merah. Timbul rasa haru dan iba yang besar di hatinya. Namun, betapa mungkin. ia mengimbangi perasaan gadis itu? Ia telah menemukan kembali isterinya, satu-satunya wanita di jagad raya ini yang dicintainya sepenuh jiwa raganya! Untuk menghilangkan kecanggungan hatinya ia segera berkata,

   "Perjalanan kita jauh dan sukar, sebaiknya kita ke dusun mencari tiga ekor kuda. Menunggang kuda akan lebih cepat dan tidak melelahkan."

   Dua orang wanita itu setuju dan berangkatlah mereka ke dusun mencari kuda. Setelah mendapatkan kuda dari penghuni dusun yang mengenal baik Pujo, berangkatlah mereka mulai dengan perjalanan yang mempunyai dua tujuan, pertama mencari Endang Patibroto dan Joko Wandiro, kedua mencari musuh besar mereka, Jokowanengpati. Di sepanjang perjalanan, terutama di waktu malam ketika mereka mengaso, Roro Luhito selalu bersunyi diri dan sengaja menjauh, tidak ingin mengganggu suami-isteri itu sungguhpun hal ini membuat hatinya makin merana.

   Namun Kartikosari secara bijaksana tidak mau memperlihatkan diri bermesra-mesraan dengan suaminya, betapun besar rindu dendam mereka satu sama lain. Bahkan dengan bisikan, Kartikosari menyatakan bahwa ia tetap dengan pendiriannya, yaitu tidak hendak"Kembali"

   Kepada suaminya memenuhi kewajiban sebagai isteri yang melayani suami kalau musuh besar mereka belum terbalas dan tewas di depan kakinya. Pujo sebagai seorang ksatria utama juga memaklumi perasaan isterinya ini sebagai wanita utama yang dapat menjaga harga diri, dan iapun merasa lega kalau hal ini malah memurnikan cinta kasih mereka, cinta kasih yang bukan hanya berdasarkan nafsu berahi semata, melainkan lebih mendalam. Dan selain ini, juga pembatasan mereka dalam hubungan ini menolong Roro Luhito dari keadaan tidak enak!

   * * *

   Kita tinggalkan Pujo, Kartikosari, dan Roro Luhito yang melakukan perjalanan menunggang kuda untuk mencari musuh besar mereka dan melampiaskan dendam hati yang sedalam lautan sebesar Gunung Mahameru. Kita mengikuti perjalanan Endang Patibroto, gadis cilik yang meninggalkan Pulau Sempu setelah membunuh dua orang yang mengunjungi pulau itu.

   Telah diceritakan di bagian depan betapa Endang Patibroto berhasil membunuh mereka dengan amat mudahnya karena ia memegang pusaka ampuh Brojol Luwuk. Kemudian karena takut kepada eyangnya setelah ia membunuh orang, pula karena hatinya tidak rela kalau harus berpisah dari keris pusaka seperti yang diperintahkan eyangnya, yaitu keris ini disuruh menyembunyikan, maka Endang lalu mempergunakan perahu kedua orang yang dibunuhnya itu dengan maksud menyeberang ke darat dan mencari ibunya. Sudah setahun lebih ia berpisah dari ibunya. Anak perempuan yang baru berusia sebelas tahun ini tidak tahu sama sekali bahwa di suatu daerah dekat Pulau Sempu merupakan kedung ikan hiu yang buas.

   Semua nelayan di daerah itu tentu saja tahu belaka akan hal ini dan mereka itu tidak berani melintasi laut melalui daerah itu, yakni di sebelah timur pulau, kecuali kalau mereka menunggang perahu besar yang cukup tinggi dan kuat sehingga tidak akan dapat diganggu ikan-ikan hiu. Endang Patibroto secara kebetulan mendayung perahunya melalui daerah itu karena memang ia tadinya berlari ke pantai ujung timur di pulau itu. Demikianlah, selagi ia enak-enak mendayung dan sudah jauh meninggalkan pulau, tiba-tiba air laut di sebelah depannya bergelombang keras dan nampaklah sirip-sirip ikan hiu yang seperti layar-layar kecil meluncur cepat mengarah perahunya. Di pantai Karang Racuk seringkali Endang melihat sirip-sirip ikan hiu dan oleh ibunya ia sudah diberi tahu bahwa ikan-ikan hiu merupakan Raja lautan yang amat ganas, seperti harimau di darat.

   "Tentu saja lebih berbahaya daripada harimau,"

   Kata ibunya."Harimau berada di darat dan dapat kita lawan dengan kecepatan dan kekuatan, akan tetapi ikan hiu dalam air, amat sukar untuk dilawan. Maka hati-hatilah kau kalau mandi di laut."

   Dan kini melihat banyak sekali sirip ikan hiu meluncur ke depan perahu menimbulkan air bergelombang, hati Endang berdebar.

   Perahunya amat kecil dan melihat sirip-sirip itu, dapat diduga bahwa ikan-ikan itu lebih besar dan lebih panjang daripada perahunya! Akan tetapi pada saat itu, rasa cemasnya kalah oleh rasa heran dan kaget ketika ia melihat pemandangan yang sukar dipercaya. Jauh dari arah pantai daratan, ia melihat seorang laki-laki tua meluncur berdiri di atas air dengan jubah dikembangkan seperti layar! Mana mungkin ada manusia berlari di atas air? Ia mengucek-ucek matanya, serasa mimpi, akan tetapi ketika membuka kembali matanya, kakek itu masih tampak! Bahkan kakek itu agaknya tertawa-tawa, karena suara gelak tawanya terbawa angin dan sampai di telinganya. Suara terkekeh-kekeh seperti seorang anak kecil yang bergembira dan bermain-main di air.

   Saking heran dan kagetnya, sejenak Endang lupa akan sirip-sirip ikan hiu dan tiba-tiba dayungnya terlepas dari tangannya seperti ada yang merenggutnya. Ia kaget dan meloncat berdiri. Untung ia sudah meloncat berdiri karena pada saat itu perahunya tertumbuk dan terdorong dari bawah dengan kekuatan yang amat luar biasa sehingga perahunya itu terlempar ke atas. Tubuh Endang ikut pula mencelat ke atas dan untungnya ia berlaku waspada. Menduga bahwa ikan-ikan hiu yang menjungkirbalikkan perahunya, di atas udara Endang cepat berjungkir balik sehingga turunnya ke bawah agak melambat. Perahu jatuh ke air dalam keadaan terbalik dan ia segere turun ke atas perahu terbalik itu. Di kanan kiri perahu, dekat dengan kakinya mulai tampaklah kepala ikan-ikan hiu yang besar, yang seakan-akan berlumba hendak menyambarnya!.

   Endang Patibroto merasa ngeri dan takut, akan tetapi ia tidak kehilangan akal. Di samping rasa ngeri dan takut, juga kemarahannya memuncak dan ia cepat-cepat menghunus keris Brojol Luwuk dari kembennya, lalu memasang kuda-kuda di atas perahu terbalik dengan kedua lutut ditekuk rendah. Ketika kepala seekor ikan hiu muncul dekat sekali di sebelah kanan, kerisnya menyambar dan tepat menusuk kepala ikan itu. Ikan itu kelabakan, mendatangkan ombak sehingga perahunya yang terbalik itu terdorong agak jauh. Terjadilah pergulatan hebat ketika ikan yang terluka itu diserbu kawannya sendiri. Akan tetapi beberapa ekor ikan tetap saja masih mengelilingi perahu dan kini tiba-tiba sekaligus dua ekor ikan menyerbu, mengangkat kepalanya dan berusaha menyambar kaki Endang Patibroto.

   Gadis cilik ini makin marah, keris pusakanya menyambar dengan kecepatan luar biasa dan dua ekor ikan itupun berkelepakan di dalam air dalam keadaan sekarat, lalu diserbu kawan-kawannya sehingga perut mereka pecah dan ususnya berantakan. Air di sekitar perahu menjacji kemerahan. Saking banyaknya ikan hiu yang berkeliaran di tempat itu, bangkai tiga ekor ikan korban keris pusaka Brojol Luwuk itu sebentar saja habis dan belum memuaskan kelahapan mereka. Beberapa ekor ikan masih menyerbu perahu. Endang Patibroto berbesar hati menyaksikan hasilnya, dan dengan gerakan yang lincah sekali ia berloncatan dari ujung kiri ke ujung kanan perahunya yang terbalik, mengayun keris pusaka Brojol Luwuk ke kanan kiri dan setiap kali ada ikan hiu yang berani memperlihatkan kepalanya,

   Biarpun sejauh satu dua meter dari perahu, Endang melompat ke arah kepala ikan, kedua kaki hinggap di kepala yang miring dan kerisnya menusuk. Secepat kilat ia melompat sebelum ikan itu tenggelam, kembali ke atas perahu terbalik atau ke kepala ikan lain sambil menusukkan kerisnya. Memang gadis cilik ini sudah biasa berlatih melompat-lompat di atas batu-batu karang yang menonjol di permukaan Laut Selatan. Maka kali ini gerakannya amat lincah dan cekatan dan sebentar saja bangkai ikan hiu memenuhi tempat di sekeliling perahu!. Dasar masih kanak-kanak, dan pula memang dasarnya Endang memiliki watak keras hati, tidak mau kalah dan suka mengumbar amarah, melihat banyak bangkai ikan, ia menjadi makin gembira.

   Kini ia berloncatan, tidak hanya di atas perahu, bahkan ia meloncat dari bangkai ke bangkai sambil mencari-cari. Kalau ada ikan hiu biarpun hanya tampak siripnya meluncur dekat, ia akan menyerang dengan kerisnya ke sebelah depan sirip. Kerisnya masuk ke dalam air dan ikan yang tertusuk keris itu pasti berkelojotan dan tewas! Akan tetapi, perut ikan tidak sama dengan perut perahu, perut ikan ini licin sekali sehingga ketika Endang meloncat ke sebuah bangkai ikan, tiba-tiba ikan yang di injaknya itu bergerak! Ternyata ikan itu belum mati dan masih berkelojotan. Tentu saja Endang tak dapat mempertahankan diri di atas perut ikan yang licin itu dan terpelesetlah ia, jatuh ke dalam air! Belasan sirip ikan meluncur dari sekelilingnya, menuju ke arahnya! Ngeri juga hati Endang, karena biarpun ia pandai berenang, namun dikeliling ikan-ikan buas itu bagaimana ia mampu melawan?

   "Hua-ha-ha-ha, hebat... hebat... luar biasa sekali kau!"

   Tiba-tiba terdengar suara ini yang keras sekali dan tahu-tahu Endang merasa tubuhnya melayang ke atas. Ketika ia melihat, ternyata ia sudah berada di pondongan tangan kiri seorang laki-laki tua yang tinggi besar, bermata lebar bundar menciutkan. Teriingat akan keris pusakanya yang tidak boleh kelihatan orang lain, Endang cepat-cepat menyimpannya ke dalam kemben. Ia memperhatikan kakek tinggi besar yang menakutkan ini. Kulit kakek itu hitam mengkilap, rambutnya sudah penuh uban, terbungkus kain berwarna ungu kehitaman.

   Jenggotnya sekepal sebelah, menutupi sebagian mulutnya yang lebar. Ketika Endang memperhatikan, ia dapat menduga bahwa kakek ini adalah orang yang tadi ia lihat berlari di atas air! Bahkan sekarang juga ia masih berlari di atas air! Kedua kakinya bergerak ke depan, cepat sekali dan kainnya yang dikembangkan ke kanan kiri tubuhnya, tertiup angin dari belakang merupakan layar kembar sehingga kedua kakinya amat laju bergerak ke depan! Benar-benar luar biasa sekali dan sebagai puteri seorang sakti, Endang Patibroto dapat menduga bahwa kakek yang aneh dan berwajah menakutkan ini tentulah seorang yang luar biasa saktinya! Oleh karena ini ia membiarkan saja dirinya dipondong. Hanya saja, hatinya berdebar ketika ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu meluncur kemhali ke arah pulau Sempu!

   "Hua-ha-ha! Genduk bocah ayu, kau siapakah?,"

   Sambil meluncur cepat di atas air, menggerak-gerakkan kedua kakinya, kakek itu bertanya, tangan kiri memondong, tangan kanan mengelus-elus kepala memijit-mijit perlahan dan meraba raba bentuk kepala orang.

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   Karena sikapnya halus dan biar suaranya kasar keras akan tetapi menyenangkan, sekaligus timbul rasa percaya dan suka di hati Endang Patibroto terhadap kakek ini.

   "Namaku Endang Patibroto, eyang."

   "Ha-ha-ha! Memang aku patut menjadi eyangmu. Endang Patibroto, cah ayu (anak cantik), tandangmu (sepak terjangmu) seperti peri lautan saja tadi. Ha-ha-ha! kau anak siapa, cah ayu?"

   Melihat kakek ini sikapnya ramah dan lucu, tertawa-tawa dan kasar, timbul keberanian hati Endang untuk main-main pula. Kakeknya, Bhagawan Rukmoseto sudah berkali-kali memberi nasehat bahwa pada waktu itu Kerajaan sedang kacau-balau, orang-orang sakti saling bermusuhan sehingga lebih baik tidak memperkenalkan nama orang-orang tua kepada orang lain agar tidak menemui bencana. Siapa tahu kakek yang arnat sakti dan pandai berjalan di atas air ini juga musuh eyangnya, atau musuh ibunya. Maka ia menjawab sambil main-main,

   "Aku anak Ratu Laut Kidul, eyang!"

   "Hah?? Hua-ha-ha-ha, pantas, pantas! kau memang pantas menjadi puteri Ratu Laut Kidul dan lebih patut lagi menjadi murid Dibyo Mamangkoro, ha-ha-ha!"

   "Siapakah itu Dibyo Mamangkoro, eyang?"

   Belum pernah Endang mendengar seorang berjuluk Dibyo yang artinya seperti Dewa!

   "Ha-ha, siapa lagi kalau bukan eyangmu ini, cah ayu! Tulang tulangmu amat baik, bentuk kepalamu pilihan, sukar mencari keduanya di dunia ini. Mau engkau menjadi muridku, cah ayu?"

   Endang Patibroto memang semenjak kecil suka sekali mempelajari ilmu dan ia yakin bahwa kakek yang menggendongnya sambil berlari di atas lautan ini sudah pasti memiliki kesaktian yang melebihi ibunya maupun eyangnya, maka ia senang sekali dan menjawab tanpa ragu-ragu lagi,

   "Aku mau, eyang! Aku mau!"

   "Ha-ha-ha, bagus! Sepuluh tahun lagi, engkau menjadi orang yang paling sakti di dunia ini!"

   Kakek aneh itu terus tertawa berkakakan dan pada saat itu ia telah tiba di tepi pantai Pulau Sempu. Dengan gerakan seperti seekor burung camar raksasa melayang, tubuhnya melompat ke atas pasir dan ia menurunkan Endang Patibroto. Sekarang tampaklah oleh anak itu bahwa kaki kakek itu ternyata memakai mancung (kelopak manggar kelapa) yang bentuknya seperti perahu.

   Dua buah mancung itu diikatkan di bawah kaki sehingga kedua kaki kakek itu seakan-akan berdiri di atas perahu-perahu kecil dan angin laut menggerak-kan jubahnya yang dikembangkan di kanan kiri tubuhnya seperti layar. Sungguh pun angin yang mendorong jubahnya dan kedua buah kelopak manggar (bungakelapa) itu yang menahan tubuhnya, namun kalau tidak seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa takkan mungkin dapat melakukan penyeberangan seperti itu. Dapat berdiri tanpa tenggelam hanya dengan bantuan mancung kelapa di atas air ini saja sudah membutuhkan aji meringankan tubuh yang hebat, belum lagi diingat betapa air dilaut bergelombang dan bahayanya ikan-ikan besar yang dapat menyerang kaki! Setelah membuang dua buah mancung kelapa dari kakinya yang telanjang, kakek itu menggandeng tangan Endang diajak berjalan ke dalam pulau.

   "Mari nonton keramaian, cah ayu. Mari nonton pertunjukan bagus!"

   Katanya dan Endang hanya menurut saja karena anak ini merasa yakin bahwa di samping kakek ini, ia akan aman. Sementara itu, di tengah Pulau Sempu terjadi pula hal-hal luar biasa. Ketika Endang Patibroto dan Joko Wandiro berlari pergi setelah menerima bagian pusaka Mataram untuk melakukan perintahnya menyembunyikan pusaka masing-masing,

   Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo duduk bersila di depan pondoknya, bersila di atas batu hitam bundar sambil mengheningkan cipta. Sebagai seorang berilmu dan seorang pertapa, perasaan kakek ini sudah peka dan halus sekali sehingga getaran-getaran aneh yang terasa olehnya di saat itu seperti membisikkan kepadanya bahwa ia menghadapi hal-hal yang hebat. Namun dengan tenang ia sengaja bersila di depan pondoknya, menanti datangnya hal-hal itu sambil mempertebal penyerahan diri kepada Hyang Murbeng Dumadi. Tak lama kemudian tubuh Bhagawan Rukmoseto tampak menggigil dan menggetar. Beberapa lama tubuhnya gemetar keras, akhirnya tenang kembali dan ia menarik napas panjang sambil membuka mata, menengadah ke langit sambil mengeluh,

   "Ya Jagad Dewa Batara...! Terserah kehendak Hyang Widdhi, hamba tidak kuasa apa-apa!"

   Kakek yang awas paninggal ini seperti telah mendapat sasmito dari alam gaib bahwa yang akan datang menimpanya bukanlah hal yang biasa! Dan ia menyerah, rnenyerah bulat-bulat kepada kehendak Tuhan. Bhagawan Rukmoseto turun dari atas batu, lalu memasuki pondoknya, membiarkan pintu pondok terbuka. Tidak lama kemudian, dari pondok yang sunyi itu keluarlah asap tipis yang harum.

   Juga dari dua buah lubang jendela di kanan kiri pondok, asap tipis itu keluar perlahan membawa ganda harum dupa cendana. Makin sunyi keadaan sekeliling tempat itu. Tiada suara lain kecuali debur ombak memecah di pantai pasir. Sebuah perahu layar besar mendekati pantai Sempu dari selatan. Kemudian berlompatan keluar enam bayangan orang dengan gerakan yang luar biasa. Perahu itu tidak menempel di darat, masih beberapa meter jauhnya, namun enam orang itu dapat melompat ke darat dengan gerakan ringan. Hal ini menandakan bahwa mereka bukanlah orang sembarangan. Ketika enam orang itu melompat ke darat, di atas perahu layar masih terdapat banyak anak buah perahu yang terdiri dari orang-orang tinggi besar, berpakaian seragam dan dipimpin oleh seorang yang berpakaian senopati Kerajaan.

   Bendera di tiang layar membuktikan bahwa perahu ini bukanlah perahu pedagang atau nelayan, melainkan perahu milik seorang pembesar tinggi, Hal ini memang benar karena sesungguhnya perahu layar itu milik Pangeran Muda, putera Sang Prabu Airlangga!. Enam orang itu adalah tokoh-tokoh yang sudah kita kenal baik. Mereka bukan lain adalah Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, Ni Nogogini, Ni Durgogini, dan Jokowanengpati!. seperti kita ketahui, mereka ini adalah orang-orang yang bersekutu dengan Adipati Joyowiseso di Kadipaten Selopenangkep. Sudah jelas bahwa adipati ini berniat memberontak terhadap Kahuripan, namun karena maklum akan hebatnya kekuasaan Kerajaan itu maka usaha pembrontakan mereka hanya terbatas pada membuat kekacauan-kekacauan belaka.

   Kemudian terjadilah perebutan kekuasaan di Kahuripan setelah Sang Prabu Airlangga mengundurkan diri dari istana untuk bertapa menjadi pendeta. Kesempatan baik ini dipergunakanlah oleh para pemberontak ini untuk memilih sekutu dan tak lama kemudian mereka ini telah diterima menjadi kaki tangan atau sekutu Pangeran Muda! Telah kita ketahui bahwa sesungguhnya yang menjadi pencuri pusaka keraton yang hilang, yaitu patung kencana Batara Whisnu, bukan lain adalah Jokowanengpati sendiri. Akan tetapi kemudian di lereng Gunung Lawu, Jokowanengpati kehilangan pusaka itu yang terampas oleh seorang kakek berkedok. Jokowanengpati yang amat cerdik itu akhirnya dapat menduga dari gerakan-gerakan kakek berkedok tadi yang tidak banyak bedanya dengan gerakannya sendiri, bahwa kakek berkedok itu tentulah Resi Bhargowo!

   Maklum bahwa dia sendiri, seorang diri, takkan mungkin dapat menangkan Resi Bhargowo atau merampas kembali patung pusaka, maka ia lalu memberitahukan semua sekutunya bahwa ia telah melihat paman gurunya itu membawa patung pusaka akan tetapi tidak berani merampasnya. Berita ini menggemparkan para tokoh yang menjadi sekutunya dan mulailah mereka mencari tempat sembunyi Resi Bhargowo. Namun sia-sia belaka. Sampai, tiba saatnya ia menjadi kaki tangan Pangeran Muda, usaha mereka mencari Resi Bhargowo tetap nihil. Akan tetap setelah mereka menjadi kaki tangan Pangeran Muda, usaha mereka mencari Resi Bhargowo diperhebat, mata-mata disebar luas, bahkan pulau-pulau kosong mereka selidiki. Akhirnya mata-mata mereka mengirim berita bahwa di Pulau Sempu tinggal seorang kakek yang bertapa seorang diri yang diduga adalah Resi Bhargowo yang mereka cari-cari.

   Mendengar berita ini, segera mereka melaporkan kepada Pangeran Muda yang amat ingin mendapatkan pusaka yang hilang karena pusaka itu dapat menjadi lambang pegangan seorang Raja! Diperintahnya tokoh-tokoh sakti itu untuk menyerbu Pulau Sempu, dan untuk keperluan penyeberangan dipergunakan perahu layar milik Pangeran Muda sendiri!. Sebelum perahu layar besar itu menyeberang, lebih dulu mereka mengirim dua orang mata-mata menyeberang dengan perahu kecil. Namun sungguh sial nasib dua orang mata-mata itu karena mereka kebetulan bertemu dengan Endang Patibroto dan tewas oleh anak perempuan itu. Demikianlah, enam orang sakti yang kini bekerja sebagai anak buah atau kaki tangan Pangeran Muda itu kini berjalan memasuki pulau, menuju ke pondok yang sunyi.

   Sementara itu, di sebelah barat Pulau Sempu, sebuah perahu hitam kecil bergerak mendekati pantai. Seorang laki-laki tua tinggi kurus melompat dengan sigapnya ke pantai, memegangi ujung perahunya dan sekali sendal (tarik tiba-tiba) perahunya terlempar ke pantai. Kemudian ia berindap-indap memasuki pulau, matanya memandang ke kanan kiri seperti sikap seorang maling. Tangan kanannya meraba-raba gagang golok yang tergantung di pinggang, agaknya siap menghadapi bahaya setiap saat. la tidak berani berjalan di tempat terbuka, melainkan lari dari batu ke batu, dari pohon ke pohon sambil bersembunyi. Siapakah kakek ini? Melihat gerak-geriknya yang cekatan dan sepasang golok yang tergantung di pinggang, ia mudah dikenal. Bukan lain adalah Ki Tejoranu, kakek pertapa di Danau Sarangan, ahli bermain golok.

   Seperti telah kita ketahui, tadinya Ki Tejoranu juga termasuk anggauta persekutuan pemberontak, karena ia terbawa oleh Ki Warok Gendroyono yang menjadi sahabatnya. Akan tetapi kakek asing ini lebih terdorong oleh watak petualangannya sebagai seorang ahli silat daripada dorongan ambisi kedudukan. Oleh karena itu, dalam pertandingan melawan Ki Patih Narotama, ia tidak mau melakukan pengeroyokan sehingga ia dianggap pengkhianat dan semenjak itu ia malah dimusuhi dan terpaksa menjauhkan diri dari persekutuan yang membantu Adipati Joyowiseso. Telah lama Ki Tejoranu melakukan perantauan setelah ia sembuh dari lukanya karena senjata rahasia ganitri yang dilepas oleh Cekel Aksomolo. Kakek ini merantau dalam usahanya mencari Joko Wandiro yang dianggap telah melepas budi dan menolong nyawanya ketika ia hampir tewas oleh Cekel Aksomolo.

   Usahanya mencari Joko Wandiro inilah yang membuat ia sampai di pantai Laut Selatan dan tanpa disengaja ia melihat rombongan Cekel Aksomolo yang menyeberang ke pulau dengan sebuah perahu layar besar. La menjadi curiga, lalu diam-diam dari pantai lain ia menggunakan perahu menyeberang pula ke Pulau Sempu. Ketika Ki Tejoranu mengindap-indap dan matanya memandang ke kanan kiri, tiba-tiba di sebelah kanan, agak jauh dari situ, ia melihat tubuh seorang anak laki-laki menggeletak di atas tanah. Ki Tejoranu kernbali memandang ke sekeliling. Sunyi tidak tampak bayangan seorangpun manusia, tidak terdengar suara apa-apa. Cepat ia melompat dan lari ke arah tubuh yang menggeletak seperti mayat.

   "Hayaaaa...!!"

   la berseru kaget ketika melihat bahwa tubuh yang menggeletak seperti mayat itu adalah Joko Wandiro yang selama ini ia cari-cari. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan memeriksa. Kagetnya bukan main melihat bangkai ular yang lehernya hampir putus dan masih tergigit oleh mulut anak itu. Bangkai ular yang sudah kering dan habis darahnya! Hatinya agak lega ketika memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa Joko Wandiro masih bernapas dan jantungnya masih berdetik. Cepat ia membuang bangkai ular, memondong tubuh itu dan membawanya lari ke pantai. Tiba-tiba Ki Tejoranu dengan gerakan bagaikan seekor bajing melompat telah lenyap di balik semak-semak sambil membawa tubuh Joko Wandiro.

   la bersembunyi di balik semak-semak, matanya yang sipit mengintai dari balik daun dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat, matanya yang sipit terbelalak dan mulutnya melongo. Apa yang dilihatnya benar-benar kaget dan terheran-heran, melongo saking kagumnya. Biarpun dia sendiri adalah seorang berilmu yang sudah menyeberangi lautan berpekan-pekan jauh dan lamanya, sudah banyak mengalami hal-hal luar biasa, banyak pula menghadapi orang sakti, namun baru sekarang ia melihat orang dapat meluncur seperti terbang di atas lautan! La melihat seorang kakek tinggi besar bermuka menyeramkan memondong seorang anak perempuan, dan kakek ini mengembangkan kainnya di kanan kiri tubuhnya seperti layar sedangkan kedua kakinya berdiri di atas air dan meluncur ke depan dengan cepatnya!.

   "Bukan main...!"

   Ki Tejoranu menggeleng-geleng kepala.

   Sukar dipercaya apa yang dilihatnya ini. Betapapun saktinya, bagaimana ada orang dapat meluncur di atas ombak lautan? ia maklum bahwa kalau sampai tampak oleh orang sakti itu, tentu ia akan celaka dan tidak akan dapat menolong Joko Wandiro yang pingsan. Maka ia cepat-cepat menyelinap dan melihat kakek itu kini meluncur membelakanginya, ia cepat memondong tubuh Joko Wandiro dan membawanya lari ke pantai di mana perahunya berada. Cepat ia meluncurkan perahu ke air dan membawa anak yang masih pingsan itu menyeberang ke arah daratan. Ketika ia menengok, ia melihat kakek sakti tadi sudah berjalan di atas pasir sambil menggandeng si anak perempuan. Kembali Ki Tejoranu menggeleng-geleng kepalanya penuh kekagurnan.

   * * *

   Pondok itu masih tetap sunyi. Asap tipis mengepul dari jendela kanan kiri pondok dan dari pintu yang terbuka. Asap berbau harum dupa cendana Di dalam pondok itu, di atas dipan bambu, Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo tampak duduk bersila dengan kedua lengan di depan dada, duduk diam dalam keadaan bersamadhi. Tenang dan hening.

   Enam orang utusan Pangeran Muda sudah tiba di situ dan mereka kini mengurung pondok dari enam jurusan berdiri dengan sikap siap. Melihat pondok yang sunyi dan asap tipis harum yang mengepul dari pintu dan jendela, enam orang itu bersikap hati-hati sekali. Mereka cukup maklum bahwa Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo bukan lawan yang boleh dipandang ringan. Resi Bhargowo adalah adik seperguruan Empu Bharodo yang terkenal sakti. Berbeda dengan Empu Bharodo yang sudah memuncak ilmu batinnya sehingga kakek ini tidak suka mencampuri urusan duniawi dan sudah memiliki kesabaran yang tiada batasnya berdasarkan kasih yang tulus ikhlas kepada segala isi dunia, Resi Bhargowo ini masih belum mampu membebaskan diri daripada ikatan duniawi karena resi ini mempunyai puteri.

   Pula, sang resi masih suka olah kesaktian, biarpun sudah menjadi pendeta, namun masih berwatak satria, tidak suka membiarkan hal yang dianggapnya tidak adil. Jokowanengpati sendiri telah memberitahukan kepada lima orang tokoh yang menjadi sekutunya bahwa ilmu kesaktian Resi Bhargowo amatlah hebat dan sekali-kali tidak boleh dipandang rendah. Inilah sebabnya mengapa kini keenam orang itu tidak berani segera menyerbu masuk ke dalam pondok sunyi, melainkan hanya mengurung dan menanti kesempatan baik. Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang menjaga di belakang pondok, diam-diam merasa tidak sabar menyaksikam teman-temannya yang sikapnya seperti ragu-ragu dan takut-takut ini. Akan tetapi karema mereka berduapun hanya merupakan pembantu-pembantu, mereka menahan diri.

   Mereka juga bukan orang sembarangan, kalau sekali bertindak terburu nafsu dan sembrono sehingga tergelincir, tentu akan memperoteh nama buruk dan rnalu. Maka merekapun hanya bersikap diam dan siap-siap urtuk turun tangan apabila keadaan menghendaki. seperti biasa di dalam rombongan ini, Cekel Aksomololah yang dianggap sebagai pelopor atau pimpinan. Pertama karena Cekel Aksomolo merupakan tokoh yang paling tua di antara mereka. Kedua karena apabila diadakan perbandingan kiranya kakek tua renta seperti Durna inilah yang paling sakti mandraguna. Di samping itu, karena pandainya, kakek ini sudah rnemperoleh kepercayaan Sang Pangeran Muda sehingga usaha penggerebegan atas diri Resi Bhargowo inipun oleh sang pangeran ditugaskan kepada Cekel Aksomolo.

   "Uuhh-huh-huh! Resi Bhargowo kau yang sudah gentur bertapa, yang katanya sudah sidik paningal, waspada dan mengenal sebelum dan sesudah takdir, apakah kini menjadi buta atau pura-pura tidak tahu akan kedatangan kami?"

   Tiba-tiba Cekel Aksomolo yang berdiri di depan pintu berkata, suaranya penuh ejekan. Jokowanengpati berdiri tak jauh di sebelah kirinya, memandang ke arah pintu penuh perhatian. Hening saja dari dalam pondok. Tiada jawaban.

   "Resi Bhargowo...! Kami masih mempergunakan sopan santun para tamu, tidak sudi menyerbu seperti perampok! Akan tetapi kalau kau tidak tahu sopan santun seorang tuan rumah, terpaksa..."

   Kata lagi Cekel Aksomolo yang tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu dari dalam pondok terdengar suara orang. Suara itu ringan dan lemah, seakan-akan mengambang atau melayang keluar terbawa asap tipis yang harum,

   "Tidak ada Resi Bhargowo di sini, yang ada Bhagawan Rukmoseto...!"

   Enam orang itu saling pandang. Memang selama ini, usaha mereka mencari Resi Bhargowo sia-sia belaka. Tidak pernah terdengar berita tentang resi ini seakan-akan Resi Bhargowo sudah lenyap ditelan bumi. Dan sebagai gantinya, muncul seorang tokoh pertapa yang memakai julukan Bhagawan Rukmoseto. Akan tetapi menurut para penyelidik yang sudah memata-matai pulau ini dan sang pertapa, yang bernama Bhagawan Rukmoseto itu bukan lain adalah Resi Bhargowo juga yang kini rambutnya sudah putih semua!

   "Uuuh-huh-huh! Kami yang salah panggil kalau begitu. Baiklah, Sang Bhagawan Rukmoseto! Orang yang sudah berjuluk bhagawan tentu tidak buta sehingga dapat tnelihat kedatangan tamu-tamu utusan Sang Pangeran Anom!"

   Hening pula sejenak. Jantung enam orang yang mengurung pondok itu menegang dalam penantian jawaban. Apalagi ketika tiba-tiba secara aneh sekali, asap tipis yang tadinya mengepul keluar dari kedua jendela dan pintu depan, kini tidak tampak sama sekali. Mereka makin waspada dan diam-diam mereka telah meraba senjata masing-masing untuk menjaga kalau-kalau orang yang mereka kurung rnenerjang keluar.

   "Hong Wilaheng Nirmala Sadya Rahayu Widodo...!"

   Terdengar suara dari dalam, itulah mantera yang biasa diucapkan para pendeta untuk menjauhkan bahaya dan menenangkan batin yang hanya mengandung kebaikan, jauh dari pada nafsu buruk. Kemudian puja-puji itu jawaban yang ramah, akan tetapi mengandung tantangan,

   "Cekel Aksomolo dan sahabat-sahabat, pintu pondokku tak pernah tertutup. Masuklah siapa yang mempunyai keperluan berlandaskan itikad baik. yang datang bermaksud buruk, sebaiknya jangan menggangguku dan pergi saja dari Pulau Sempu ini karena aku Bhagawan Rukmoseto bukankah orang yang suka mencari permusuhan!"

   Ucapan ini merupakan undangan dan sekaligus juga tantangan. Tentu saja keenam orang itu tidak seorangpun datang dengan maksud hati baik, karena bukankah mereka datang sebagai utusan Pangeran Anom yang menyuruh mereka merampas kembali Pusaka Mataram, baik secara halus maupun kasar?

   Kini mereka saling pandang, karena mereka yang menjaga di pinggir dan belakang rumah kini menempatkan diri sedemikian rupa sehingga mereka dapat saling lihat. Nampak keraguan di dalam pandang mata masing-masing. Jokowanengpati melihat keraguan para jagoannya ini, diam-diam menjadi tak senang dan mendongkol. Orang-orang tua ini kalau di luaran bicaranya seperti guntur menyambar-nyambar, mengangkat diri sendiri sampai setinggi langit, akan tetapi sekali menghadapi urusan penting, menjadi ragu-ragu dan seperti saling dorong agar orang lain yang lebih dulu bergerak rnenempuh bahaya! Diapun amat cerdik, maka dengan bisik-bisik ia berkata,

   "Eyang Cekel, biarlah saya yang akan bicara karena dia masih paman guru saya. Saya akan memasuki pintu itu, akan tetapi saya minta bantuan Ki Warok dan paman Krendoyakso agar masuk dari kedua jendela pada saat itu sehingga keselamatanku terjaga."

   Cekel Aksomolo mengangguk-angguk, lalu melambaikan tangan memaanggil Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso. Dua orang manusia raksasa itu datang mendekat. Cekel Aksomolo bisik-bisik dan mereka berdua mengangguk-angguk, lalu keduanya melangkah lebar mendekati jendela, Ki Warok Gendroyono di jendela timur, sedangkan Ki Krendroyakso di jendela barat. Jokowanengpati lalu melangkah maju mendekati pintu yang terbuka itu sambil berseru,

   "Paman, parnan resi! Inilah saya, murid keponakan paman, saya Jokowanengpati murid bapa guru Empu Bharodo!"

   "Murid murtad! Pencuri hina!"

   Suara dari dalam ini terdengar marah dan penuh wibawa sehingga Jokowanengpati mundur dua langkah. Mukanya berubah menjadi merah sekali. Akan tetapi dia cerdik. Melihat betapa Ki Warok Gendroyono sudah memegang jimat kolor pusaka di dekat jendela timur sedangkan Ki Krendoyakso juga sudah memegang senjata pusakanya penggada Wojo Ireng, hatinya menjadi tabah dan ia melangkah maju lagi.

   "Paman resi, perkenankan saya masuk bertemu dengan paman. Ada urusan penting hendak saya bicarakan dengan paman, uruan pusaka Mataram...!"

   Semua orang rnenanti dengan hati tegang, hendak mendengar bagaimana jawaban orang di dalam. Mereka datang untuk pusaka itu, dan di dalam hati orang tokoh besar itu, sukar diduga bagaimana sikap mereka dan apa yang akan terjadi kalau pusaka Mataram yang dirindukan semua tokoh itu benar-benar berada di situ dan sudah berhasil mereka dapatkan! Akan tetapi tidak ada jawaban dan keadaan sunyi sekali. Selagi Jokowanengpati hendak mengulang kata-katanya atas desakan Cekel Aksomolo yang menggerak-gerakkan mulutnya seperti mencium terasi, terdengarlah suara helaan napas panjang dari dalam disambung kata-kata,

   "Pusaka Mataram tidak ada di sini, harap kalian pergi jangan menggangguku"

   Berubah wajah enam orang itu, berubah marah. Jokowanengpati marah dan penasaran, maka katanya keras,

   "Paman, harap jangan membohong! Saya tahu, pusaka Mataram berada di tangan paman!"

   Sambil berkata demikian ia memberi isyarat kepada dua orang kawan yang menjaga di jendela, lalu memasuki lubang pintu yang terbuka itu.

   "Pergilah...!"

   Terdengar bentakan dari dalam. Jokowanengpati terkejut sekali karena tidak ada orang yang menyerangnya, melainkan segumpal asap putih yang tahu-tahu mendorongnya dari depan dengan kekuatan yang luar biasa! la mengerahkan tenaga untuk melawan, namun sia-sia. Tubuhnya terlempar dan terjengkang, terbanting jatuh di luar pintu, diikuti asap putih yang mengepul keluar pintu. Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso sudah menyerbu masuk, melompat ke dalam jendela yang terbuka. Akan tetapi mereka inipun disambut gumpalan asap putih yang amat kuat.

   Selagi tubuh mereka masih melompat di udara, gumpalan asap putih menyambut mereka dan mendorong mereka keluar lagi dari jendela, terbanting ke atas tanah sehingga tubuh mereka bergulingan! Sejenak mereka semua tercengang. Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso bukanlah orang-orang lemah. Biarpun mereka tadi terbanting oleh gumpalan asap yang rnengandung kekuatan luar biasa, namun mereka serentak sudah bangkit lagi dan menjadi marah. Tadi mereka dapat dirobohkan karena tidak menyangkanyangka sehingga mereka menjadi korban serangan dari dalam. Itulah pukulan jarak jauh yang dilontarkan oleh Bhagawan Rukmoseto dari tempat ia duduk bersila. Karena di depannya mengepul asap kayu cendana, maka asap itu terbawa oleh pukulannya sehingga merupakan"senjata"

   Yang aneh.

   "Rukmoseto keparat!"

   Bentak Ki Krendoyakso sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan tak lama kemudian dari telapak kedua tangannya itu mengepul asap hitam. Inilah sebuah di antara aji ilmu hitamnya yang disebut Kukus Langking (Asap Hitam)!

   "Bhagawan pengecut, menyerang tanpa peringatan!"

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ki Warok Gendroyono juga memaki marah sambil melolos kolor jimat Ki Bandot dan memutar-mutarnya sehingga terdengar suara angin menderu dan tampak sinar bergulung-gulung dahsyat!

   "Gendroyono dan Krendoyakso, aku tidak mencari permusuhan dan aku tidak membawa pusaka Mataram yang kalian cari-cari. Sekali lagi kuperingatkan, pergilah dan jangan menggangguku, Namun kalau kalian memaksa, jangan kira aku takut melayani kalian. Majulah semua bersama, aku tidak akan mundur setapak!"

   Suara Bhagawan Rukmoseto terdengar mengambang di antara asap putih harum.

   "Babo-babo si keparat! Sumbarmu seperti akan meruntuhkan puncak Mahameru, Rukmoseto. Akan tetapi kenyataannya engkau bersembunyi di dalam pondok seperti seorang perempuan!"

   Setelah berkata demikian, Ki Warok Gendroyono lalu menghantamkan kolor ajimat Ki Bandot ke arah jendela. Terdengar suara keras dan jendela itu berikut seluruh dinding sebelah timur ambruk ke dalam! Tampaklah kini dari dinding bambu yang runtuh itu keadaan di dalam pondok di mana seorang kakek berambut putih berkumis tebal dan bersikap tenang berwibawa tengah duduk bersila menghadapi pedupan yang mengeluarkan asap putih. Pada saat itu Ki Krendoyakso juga sudah menggerakkan Wojo Ireng, senjata penggada yang menyeramkan itu dan kembali terdengar suara keras ketika dinding sebelah barat ambruk pula!

   "Huuh-huh-uh, tidak ada artinya kau melawan kami, Rukmoseto! Lebih baik serahkan pusaka Mataram kepada kami dan kau menurut saja kami belenggu dan jadikan tawanan. kau sudah tua, apakah tidak rnencari jalan terang, Rukmoseto. Uhh-huh-huh!"

   Cekel Aksomolo berkata mengejek. Bhagawan Rukmoseto masih duduk bersila dan menundukkan mukanya, menanti sampai dupa cendana itu habis dimakan api. Asap putih makin menipis dan akhirnya lenyap sehingga wajah kakek pertapa ini sekarang Nampak jelas, tidak tertutup asap tipis seperti tadi. Ia mengangkat mukanya memandang ke depan, lalu bangkit berdiri dengan tenang melangkah keluar dari pondok. Sikapnya yang tenang membuat para lawannya berhati-hati dan tidak berani bertindak sembrono.

   "Kalian ini orang-orang apa! Punya ilmu dan kedudukan hanya untuk mengumbar nafsu angkara, untuk bersikap adigang-adigung-adiguna, mengandalkan kepandaian untuk menindas, mempergunakan wewenang untuk mencari menang. Sudah kukatakan bahwa pusaka Mataram tiada padaku, masih banyak lagak mau apakah?"

   Suara Bhagawan Rukmoseto tegas dan tandas, matanya mengeluarkan sinar berkilat. Ketika sinar matanya menusuk. Jokowanengpati, orang muda itu meremang bulu tengkuknya dan ia cepat berkata,

   "Paman Resi Bhargowo"

   "Tidak ada lagi Resi Bhargowo, yang ada Bhagawan Rukmoseto!"

   Bentak pertapa itu tegas.

   "Baiklah...!, paman Bhagawan Rukmoseto. Hendaklah paman ketahui bahwa kami berenam adalah orang-orang kepercayaan..."

   "Adipati Joyowiseso di Selopenangkep yang hendak mernberontak kepada Kerajaan Medang, bukan?"

   Kembali sang bhagawan memotong sambil tersenyum rnengejek. Jokowanengpati menggeleng kepalanya.

   "Paman keliru dan salah duga. Memang benar kami segolongan dengan paman Adipati Joyowiseso, karena beliaupun rnenjadi satu golongan dengan kami dalam membela yang benar. Kami semua adalah orang-orang kepercayaan dan bahkan kini bertugas sebagai utusan Gusti Pangeran Anom. Oleh karena itu, saya harap parnan jangan memperlihatkan sikap permusuhan, karena apakah paman bermaksud rnemberontak kepada kekuasaan Gusti Pangeran Anom?"

   Jokowanengpati berhenti sebentar lalu melanjutkan cepat-cepat ketika melihat pendeta itu tersenyum penuh arti.

   "Paman, saya tidak membohong. Kalau paman tidak percaya, boleh paman periksa di pantai itu. Kami datang menggunakan perahu gusti pangeran sendiri yang dapat paman lihat dari benderarrya di tiang layar. Kami diutus untuk menemui paman dan minta pusaka Mataram dari paman bhagawan."

   "Sudah kukatakan bahwa pusaka Mataram tidak berada dalam tanganku. Kalau kalian tidak percaya dan melakukan penggeledahan, silahkan!"

   "Uuhh-huh-huh, kalau orang sudah mempunyai niat buruk, tentu ada saja akalnya, akal bulus-las-lus! Dicari juga mana bisa ditemukan kalau sebelumnya sudah disembunyikan?"Cekel Aksomola berkata, ludahnya nyiprat-nyiprat karena marahnya.

   "Paman Bhagawan Rukmoseto Mengingat bahwa paman adalah saudara seperguruan bapa guru Empu Bharodo, maka saya msih menggunakan tata susila dan sopan santun. Akan tetapi harap paman ketahui bahwa kami adalah utusan-utusan Gusti Pangeran Anom dan diberi purbowaseso (hak mengambil keputusan dan bertindak)."

   "Iyahhh, benar tuhhh! Kami sudah mendapat mandat penuh dari Gusti Pangeran Anom! Berikan saja pusaka itu baik-baik dan kau menyerah jadi tawanan kami, Bhagawan Rukmoseto. Kalau tidak, tempatmu akan rnenjadi karang abang (lautan api) dan kau akan dijadikan sate gosong (hangus), uh-huh-huh!"

   Tiba-tiba berubah sikap Bhagawan Rukmoseto. Kalau tadi ia tenang sabar dan merendah, kini mukanya diangkat, dadanya dibusungkan, tubuhnya tegak dan tangan kirinya bertolak pinggang. Tampak kembali sikap seorang ksatria yang tabah dan takkan undur selangkahpun menghadapi lawan.

   "Heh keparat Jokowanengpati! Sabda pendeta hanya ada satu tidak ada dua! Kalau kukatakan bahwa pusaka Matararn yang hilang tidak ada padaku, maka hal itu memang sebenarnya demikian. Jangan kira bahwa gertakanmu itu menakutkan aku, orang rnuda berwatak rendah! Bahkan kedatangan kalian, terutama sekali kau dan Cekel Aksornolo, amat melegakan hatiku karena memberi kesempatan kepadaku untuk minta pertanggungan jawab kalian berdua ketika kalian beberapa tahun yang lalu mengganas di Bayuwismo!"

   "Pertanggungan jawab apa? Uuhhuh, seperti memarahi cucunya saja, keparat! kau minta pertanggungan jawab apa?"

   "Cekel Aksomolo! kau mengaku menjadi seorang cekel gemblengan, seorang pertapa, seorang ahli kebatinan, seorang yang sudah sadar akan hidup, akan tetapi sepak terjangmu seperti iblis. jahanam! Mengandalkan kepandaianmu yang terkutuk, engkau telah menyiksa dan menghina para cantrikku. Jelas bahwa engkau yang hendak mencari kesempurnaan batin, telah tersesat ke lembah kejahatan dan kehinaan, engkau diperalat iblis"

   Teringat akan cantrik-cantriknya yang menjadi tuli oleh perbuatan kejam cekel ini, Bhagawan Rukmoseto menerjang maju dengan terkaman dahsyat, menghantam dengan gerakan Bayu Tantra dan pukulan tangan mengandung Aji Pethit Nogo yang dahsyatnya bukan kepalang itu.

   "Syuuuuuutt... wuttt...!!"

   Kalau saja hantaman ini mengenai kepala sang Cekel, betapapun saktinya, tentu akan mendatangkan akibat yang mengerikan.

   Biarpun Cekel Aksomolo seorang gemblengan yang sakti mandraguna, kebal nora tedas tapak paluning pande sisaning gurindo (tak termakan senjata gemblengan pandai besi dan bekas asahan), namun agaknya ia tidak akan kuat menerima pukulan Aji Pethit Nogo yang dilakukan oleh Sang Bhagawran Rukmoseto! Untung bahwa kakek tua renta ini masih belum kehilangan kewaspadaan mengenal pukulan ampuh dan masih berhasil menyelamatkan dirinya dengan melempar diri terjengkang ke belakang sehingga punggungnya menyentuh tanah, lalu bergulingan jauh sambil memutar tasbih di atas kepalanya. Malang baginya, ketika bergulingan itu, ia tidak melihat bahwa ia menuju ke arah tanah selokan, yaitu tempat mengalirnya air dari belakang pondok sehingga tubuhnya lenyap masuk ke dalam selokan yang kurang lebih setengah meter dalamnya.

   "Adoouuh, sial dangkalan awakku...!"

   La menyumpah-nyumpah sambil melompat bangun. Muka dan sebagian pakaiannya kotor terkena lumpur.

   "Ki Warok dan Ki Krendoyakso! Kalian ini benggolan-benggolan besar, tadi dipukul di luar jendela sampai terguling-guling, apakah diam saja tidak berani membalas?"

   Dasar Cekel Aksomolo orangnya cerdik dan licik. Persis seperti watak Bhagawan Durna dalam cerita pewayangan Mahabarata. Begitu ia melihat sambaran pukulan Pethit Nogo yang sedemikian dahsyatnya, ia maklum bahwa Bhagawan Rukmoseto merupakan lawan yang amat tangguh. Karena itu ia memancing kemarahan dua orang kawannya itu agar maju lebih dulu sehingga ia nanti dapat maju membantu sehingga keadaannya akan lebih menguntungkan, tidak langsung berhadapan dengan lawan tangguh itu! Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso keduanya adalah orang-orang kasar tidak pandai menggunakan pikiran dan wawasan, hanya menurutkan hati. Maka mendengar ejekan Cekel Aksomolo, seketika mereka menjadi marah sekali. Ki Krendoyakso lalu melompat dan mengayun senjata penggadanya Wojo Ireng yang besar dan amat berat sambil membentak,

   "Rukmoseto, lihat senjataku! Pegah dadamu kalau lengah sedikit saja!"

   Ia mengayun senjatanya yang mengeluarkan angin bersiutan. Adapun Ki Warok Gendroyono juga sangat marah, tidak mau kalah dengan kawannya ini. Ia sudah memutar-muthr kolor ajimatnya Ki Bandot sehingga tarepak sinar bergulung-gulung dan memperdengarkan suara seperti kitiran tertiup angin kencang. la maju dan sesumbar,

   "Bersiaplah untuk mampus, Rukmoseto! Sedikit kurang cepat, akan remuk kepalamu!"

   Memang dahsyat terjangan kedua orang raksasa ini. Penggada Wojo Ireng di tangan Ki Krendroyakso adalah sebuah senjata yang berat, terbentur sedikit saja oleh senjata seberat ini pada dada, benar-benar dapat mernbuat dada pecah dan patah-patah tulang iganya. Juga senjata di tangan Ki Warok Gendroyono, sungguhpun hanya sehelai kolor (Pengikat celana dalam), namun bukan kolor sembarang kolor!

   Kolor ajimat yang dinamai Ki Bandot, mempunyai daya ampuh menggiriskan hati karena sabetan kolor ini mampu membikin hancur batu karang yang keras. Apalagi seorang manusia. Tidaklah terlalu berlebihan sumbarnya tadi. Memang kurang cepat sedikit saja mengelak, kepala akan bisa remuk! Akan tetapi Bhagawan Rukmoseto adalah seorang sakti yang memiliki Aji Bayu Tantra, yang membuat tubuhnya dapat bergerak cepat sekali, berkelebat laksana bayu (angin). Bahkan ilmunya ini memungkinkan sang bhagawan berkelebat dengan tubuh ringan seperti sehelai daun kering, dapat bergerak menyelinap di antara hantaman penggada raksasa dan kolor maut! Bahkan kecepatan gerakannya membuat Bhagawan Rukmoseto begitu berkelebat mengelak lalu balas menyerang dengan pukulan Pethit Nogo,

   Kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya yang ampuh itu menampar ke arah kepala Ki Warok Gendroyono dan dada Ki Krendoyakso. Jangan dipandang remeh tamparan jari tangan kedua telapak tangan Bhagawan Rukmoseto ini. Itulah Aji Pethit Nogo (Ekor Naga) yang ampuhnya menggila, agaknya sama ampuhnya dengan ajl pukulan Bajra Musti ditangan Raden Gatutkaca dalam cerita pewayangan. Untung bahwa Ki Warok dan kepala rampok Bagelen itupun bukan manusia manusia lumrah! Betapapun cepat dan dahsyatnya datangnya kedua tamparan tangan Bhagawan Rukmoseto, mereka masih dapat melompat ke be lakang sambil menyambut tangan kanan kiri lawan itu dengan senjata mereka.

   Luar biasa hebatnya akibat pertemuan kedua tangan dengan kedua senjata itu. Daun-daun di atas pohon terdekat rontok berhamburan. Burung-burung terbang bercuitan, kaget dan takut. Tanah terasa guncang seperti terjadi gempa bumi! Ki Warok Gendroyono terhuyung-huyung mundur dengan tangan kanan menggigil dan kolor mautnya lemas. Ki Krendoyakso terpelanting pula ke belakang dan hampir saja penggada Wojo Ireng mencium tengkoraknya sendiri. Namun Bhagawan Rukmoseto juga terkena akibat benturan dahsyat seperti benturan ombak Segoro Kidul menghantam karang itu. Kakek inipun terpental dan terhuyung ke belakang, mukanya agak pucat namun kedua lengannya tidak terluka. Betapa sakti kakek ini dapat diukur dari benturan kedua tangan melawan dua senjata yang ampuh itu.

   Kesempatan selagi Bhagawan Rukmoseto terhuyung ini dipergunakan oleh Cekel Aksomolo. Kakek tua renta yang cerdik ini segera maklum bahwa keadaan lawan itu sedang amat buruk, maka secepat kilat ia mengeluarkan pekik kemenangan sambil melompat dan menerjang dengan tasbihnya diputar di atas kepala lalu ditimpakan ke atas kepala lawan. Mendengar suara berkeretik aneh dan merasai sambaran angin pukulan dahsyat yang mengandung pengaruh mujijat seakan-akan urat syarafnya tersentuh getaran aneh, Bhagawan Rukmoseto terk"jut. Ia maklum bahwa kakek tua renta ini benar-benar amat sakti, dan senjata tasbihnya itu ampuhnya menggila. Maka ia tidak berani menerima dengan tangannya, bahkan lalu rnenggulingkan tubuh ke kiri terus mengayun, kaki berjungkir balik dengan gerakan indah sekali.

   "Ho-ho-ho-ho, jangan lari. Belum busik (lecet) kulitmu sudah mau lari? Cih, tak bermalu!"

   Cekel Aksomolo mengejek dan menyombong sambi mengejar. Karena Bhagawan Rukmoseto melompat ke dekat Ki Krendroyakso yang sudah dapat menguasai dirinya lagi, tanpa berkata apa-apa kepala rampok Bagelen ini sudah mengayun penggadanya, sekuat tenaga ia menghantam kepala lawan. Dari arah lain, Ki Warok Gendroyono juga sudah rnengayun kolor mautnya menghantam ke arah lambung! Memuncak kemarahan Bhagawan Rukmoseto. Ia mengeluarkan pekik yang aneh, jari-jari tangannya bergetar-getar mengeluarkan tenaga sakti yang dahsyat sekali ketika ia gerakkan. Dibarengi benturan keras tangan kirinya menyambut penggada Wesi Ireng.

   "Desss!!"

   Ki Krendoyakso terpekik kesakitan. Hampir saja ia melepaskan penggadanya. Ia dapat bertahan dan penggada itu tidak sampai terlepas, namun ia melompat ke belakang dan tangan kanannya sengkleh (lumpuh) sementara, penggadanya diseret karena tidak kuat lagi mengangkatnya. Tulang tangan kanannya serasa remuk-remuk karena tadi dihantam oleh hawa sakti Pethit Nogo yang menjalar dari penggada sampai tangan dan lengannya! Pada saat itu, beberapa detik kemudian, kolor di tangan Ki Warok Gendroyono tiba, mengancam lambung. Namun Bhagawan Rukmoseto yang sudah marah itu menyambut dengan tangan kanannya, juga sambil memekik keras.

   

Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini