Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 35


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 35



Sunyi sekali di situ, sunyi dari suara-suara yang biasa terdengar di darat. Akan tetapi sedetik pun tak pernah berhenti dari suara bising ombak laut bertanding kekuatan melawan batu-batu karang yang menggunung di pantai, suaranya berdeburan, berkerosakan, seperti air mendidih, kadang-kadang bergelegar seperti halilintar mengamuk.

   Ketika Nini Bumigarba menurunkan Retna Wilis dari pondongannya dan gadis cilik ini berdiri meman dang ke arah laut bergelombang, nenek ini melirik dan tersenyum gembira menyaksikan betapa wajah muridnya itu berseri, pandang mata yang tajam itu bersinar-sinar penuh kekaguman memandang air laut yang bergelora. Nenek itu kagum melihat betapa muridnya itu setelah melakukan perjalanan lama yang amat melelahkan, tidak tampak kehilangan semangatnya dan senang hatinya melihat muridnya tidak kecewa menyaksikan daerah yang akan menjadi tempat tinggalnya.

   "Retna Wilis, bagaimana pendapatmu dengan tempat ini? Engkau dan aku akan tinggal di daerah ini dan di sini engkau akan kugembleng dengan kesaktian sehingga kelak engkau akan menjadi seorang muda yang sakti tanpa tanding!"

   Tanpa menoleh dari laut yang bergelombang, -anak itu menjawab.

   "Aku senang sekali tinggal di sini, Eyang."

   Nini Bumigarba tertawa, hatinya senang disebut eyang dan ia makin suka melihat sikap yang polos itu, tidak menjilatjilat, tidak takut, melainkan sikap sewajarnya mencerminkan watak yang keras hati, angkuh, dan tidak mau merendahkan diri. Inilah calon muridnya yang cocok. Kalau saja ia dahulu di waktu mudanya memiliki watak seperti ini, angkuh dan tidak mau merendahkan tentu ia akan hidup bahagla. Akan tetapi dia telah menjatuhkan hatinya kepada Ekadenta yang mengakibatkan hldupnya penuh dengan kekecewaan, merana dan sengsara!

   "Muridku bocah manis. Kenapa engkau suka tinggal di sini? Mengapa tempat ini yang amat sunyi dan tandus menyenangkan hatimu?"

   "Aku senang, Eyang. Aku kagum menyaksikan kedahsyatan laut dan ombaknya yang setinggi gunung! Betapa dahsyatnya, betapa ganasnya, dan betapa kuatnyal Dan aku terpesona menyaksikan batu-batu karang menggunung. Betapa tenang menerima hantaman ombak yang begitu ganas, dan betapa kokoh kuatnya! Sungguh hebat dan besar laut dan gunung karang, dan betapa kecilnya kita ini!"

   "Heh-he-he-he-he! Tepat sekali pendapatmu, muridku. Dan engkau akan kugem-bleng agar kelak engkau dapat memiliki kedahsyatan dan keganasan gelombang laut kidul, memiliki keterangan yang dingin dan daya tahan yang kokoh kuat dari gunung-gunung karang! Ha-ha-ha!"

   Demikianlah, tanpa diketahui oleh seorang manusia pun, Nini Bumigarba yang telah mendapatkan seorang murid yang mencocoki hatinya, mulai menggembleng Retna Wilis dengan pelbagai ilmu dan aji kesaktian di pantai laut kidul yang sunyi itu.

   Ternyata Retna Wilis amat suka tinggal di tempat ini. Selama hidupnya anak ini belum pernah melihat laut, semenjak lahir selalu berada di puncak Gunung Wilis.

   Kini, sekali berhadapan dengan laut dan gunung karang, ia terpesona dan menerima kesan yang menggetarkan jiwanya. Ia merasa seolah-olah lautan luas itu hidup, seolah-olah dapat melihat dewa-dewa penjaga laut yang perkasa, dapat melihat dewa-dewa penjaga gunung karang yang maha sakti dan ia ingin sekali dapat menjadi seperti mereka.

   Karena itu, ia tekun sekali belajar ilmu, mentaati segala perintah gurunya dan tidak ada perintah yang terlampau berat baginya. Seringkali ia menerlma latihan-latihan bertapa yang amat berat dari gurunya.

   Latihan bersamadhi duduk di atas pasir di tepi pantai sampai kalau air laut sedang pasang, ombak yang datang menenggelamkan tubuhnya dan kadang-kadang pasir itu sampai membenamnya sepinggang lebih. Namun, sedetik pun ia tidak pernah undur, tidak pernah meragu karena selain ia merasa yakin bahwa perintah gurunya itu demi untuk memperkuat dirinya, jasmani dan rohani, juga ia yakin bahwa gurunya tidak akan membiarkan dia mati dalam berlatih!

   Kadang-kadang sampai dua hari dua malam ia "dibiarkan"

   Saja oleh gurunya dalam keadaan seperti itu sehingga tubuhnya serasa membeku dan seolah-olah telah berubah menjadi batu karang sendiri yang kuat dan kokoh dalam menerima terjangan ombak! Ada kalanya Ia diharuskan bersamadhi di atas batu karang menerima gempuran gelombang, tak pernah berhenti tertimpa hujan dari air yang pecah berhamburan menghantam karang.

   Setiap detik ia terancam bahaya, terhempaskan dari atas karang dan kalau hal ini terjadi, tentu tubuhnya akan diangkat oleh gelombang dan dibanting hancur ke atas batu-batu karang! Namun, Retna Wilis tetap mentaati semua perintah gurunya dan keyakinan ini memang bukan membuta karena sesungguhnya, setiap saat Nini Bumigarba menjaga murldnya dengan wajah berseri penuh kegembiraan dan kebanggaanl

   Kalau matahari sedang teriknya, dan pantai pasir itu seolah-olah terbakar mengeluarkan uap dari bawah, Retna Wilis diharuskan bersamadhi di atas pasir yang panas sekali. Di bawah tubuhnya, pasir panas dan uap dari bawah itu seolah-olah memanggang tubuhnya, adapun dari atas, sinar matahari secara langsung menimpa tubuhnya sehingga kalau habis berlatih seperti ini, kulit tubuhnya menjadi gosong dan menghitam!

   "Muridku, Retna Wilts yang tersayang,"

   Kata Nini Bumigarba setelah setahun lebih muridnya digembleng menghimpun kekuatan dengan cara bersamadhi yang aneh-"aneh dan amat sukar.

   "Engkau mulai dapat menerima inti tenaga sakti yang timbul dari gelombang lautan dan ketenangan batu karang yang mengandung hawa dingin. Secara langsung engkau dapat menahan hawa dingin yang timbul dari, latihan melawan ombak laut.

   Sebaliknya, berlatih di atas pasir panas di bawah terik matahari, engkau dapat menerima inti tenaga sakti dari matahari dan dari uap bumi. Latihan-latihan itu berat, namun manfaatnya besar sekali, muridku. Dengan dasar tenaga sakti yang kau terima intinya dari kekuatan alam ini, kau akan dapat menghadapi aji-aji pukulan lawan yang hanya mempunyai dasar dua itu pula, dan engkau akan dapat kelak menerima latihan-latihan aji pukulan yang hebat-hebat. Tahukah engkau, aji-aji pukulan apa yang dimiliki ibumu dan yang telah diajarkan atau diterangkan kepadamu?"

   Retna Wilts mengangkat mukanya. Bocah ini usianya baru sebelas dua belas tahun, dan baru setahun lebih berada di situ, namun pandang matanya kini sudah jauh bedanya dengan setahun yang lalu. Pandang matanya penuh kesungguhan, sikapnya penuh ketenangan, tarikan bibirnya penuh keangkuhan dan kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga ia telah memiliki himpunan sifat-sifat batu karang, lautan, dan pasir panas di bawah timpaan sinar matahari!

   "Biarpun aku belum banyak menerima pelajaran aji pukulan dari ibu, akan tetapi menurut keterangan ibu, dia memiliki aji pukulan ampuh seperti Pethit Nogo, Wisangnolo, dan Gelap Musti, Eyang."

   Nenek itu mengangguk-angguk.

   "Engkau telah menyaksikan dahulu ketika ibumu mencoba memukulku sampai dua kali dan aku sama sekali tidak roboh, bahkan ibumu yang terpental. Mengapa? Pertama ibumu menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang 'biarpun belum kukenal, akan tetapi dapat kuketahui dasarnya, yaitu dengan dasar hawa sakti yang panas. Tentu saja dengan mudah aku dapat menerimanya karena inti tenaga sakti panas di dalam tubuhku jauh lebih kuat, sehingga pukulannya itu seperti setitik air memasuki jembangan penuh air, amblas tidak terasa. Demikian pula dengan pukulan ke dua. Pukulan ke dua ini kukenal baik, karena itu adalah pukulan Wisangnolo yang didapatkan ibumu dari gurunya, Si Mamangkoro! Heh-he-he! Tentu saja pukulan itu tidak ada artinya bagiku karena aji itu adalah ciptaanku sendiri! Nah, sekarang engkau mengerti betapa pentingnya melatih diri dengan samadhi yang menghimpun hawa-hawa murni untuk menciptakan tenaga sakti. Maka, kau belajar dan berlatihlah terus dengan penuh ketekunan, setelah engkau berhasil, baru aku akan menurunkan aji-aji pukulan yang maha sakti."

   Retna Wilis mengangguk.

   "Aku mengerti, Eyang. Aku tidak merasa puas sebelum dapat memiliki ketenangan dan kekuatan dan daya tahan seperti gunung karang."

   "Heh-he-he-he, jangan khawatir. Engkau akan memiliki kedigdayaan seperti aku! Cuma satu hal yang kupesanka agar engkau ingat-ingat betul, muridku; Semua kesaktian itu akan musnah dan luntur hanya oleh satu hal.............

   "

   Retna Wilis mengerutkan keningnya. Alis itu hitam panjang dan kecil, seperti dilukis saja menghias wajahnya yang cantik jelita, yang kini mulai jelas tampak menurun wajah ibunyal "Hemm, harusnya Eyang memberi tahu kepadaku apa pantangan itu, karena hal itu penting sekali agar jangan sampai aku melanggarnya di luar kesadaranku."

   "Pantangannya adalah kelemahan batin yang tidak mampu menolak perasaan hati sendiri."

   "Mengapa menurutkan perasaan dapat memusnahkan dan melunturkan kesaktianku, Eyang?"

   "Perasaan hati yang dituruti amatlah berbahaya, muridku. Di antaranya adalah rasa suka, duka, takut, malu, dan marah. Manusia memang berperasaan dan di dalam hidupnya diombang-ambingkan oleh perasaan ini sehingga menjadi lemah dan menjadi hamba daripada perasaannya.sendiri. Terutama sekali perasaan cinta kasih amatlah berbahaya dan segala kesaktlanmu akan tiada gunanya sekali engkau dicengkeram oleh perasaan cinta ini.Maka, engkau harus memperkuat, harus dapat mengekang dan mengendalikan perasaanmu sendiri, kalau perlu engkau boleh membunuh perasaanmu!"

   Retna Wilis masih terlampau kecil untuk mengetahui betapa tak mungkin ajaran ini dilaksanakan, kecuali kalau dia akan merubah diri menjadi iblis yang tidak berperasaan atau menjadi binatang. Akan tetapi karena dia hanya mempunyai satu keyakinan, yaitu bahwa di dunia ini gurunya inilah orang yang paling sakti mandraguna, paling benar, ia lalu mengangguk dan mencatat semua ajaran itu di dalam hatinya.

   "Lihatlah samudera luas, muridku! Betapa dahsyatnya,betapa ganas dan garangnya, tak terlawan! Mengapa dia begitu sakti? Karena dia tidak sudi menjadi hamba perasaan, tidak mempunyai rasa sayang, atau takut, atau kasihan, atau malu mau pun marah. Karena itu hebatnya bukan kepalang. Dan lihatlah gunung karang. Dia pun tidak berperasaan, maka demikian kokoh kuat menghadapi segala macam terjangan, tak pernah mengeluh, tak perduli akan keadaan di sekelilingnya. Karena itu ia tidak suka tidak duka dan kokoh kuat!"

   Pelajaran yang keluar dari mulut Nini Bumigarba ini amatlah berbahaya bagi jiwa kanak-kanak yang sedang berkembang. Memang sesungguhnya mengandung filsafat yang amat tinggi, akan tetapi oleh karena keliru cara mengajarnya dan memang cara nenek ini mengajar pamrih dan juga terpengaruh oleh pengalaman-pengalaman pahit getir di waktu mudanya, maka pelajaran ini tidak akan memberi kebekuan terhadap duniawi dan kelembutan dalam watak, melainkan akan menjadikan orang membeku

   dan kehilangan perasaan peri kemanusiaan!

   Pelajaran semacam ini dijatuhkan ke dalam hati Retna Wilis yang pada dasarnya memang keras hati karena selama ini terpengaruh watak dan sifat ibunya. Tentu saja amat berbahaya bagi gadis itu sendiri yang tanpa disadarinya telah digembleng oleh gurunya menjadi seorang yang selain maha sakti seperti gurunya, dalam hal perasaan malah leblh mengerikan daripada gurunya!.

   Namun Retna Wilis menjadi amat tekun belajar semenjak menerima nasehat gurunya ini. Seringkali ia bermenung sampai berjam-jam memandang laut yang nengganas dan memandang batu karang yang kokoh kuat, menerima gempuran air yang pecah sendiri menjadi atom.Air laut bergerak terus, sedetik pun tak pernah berhenti.

   Matahari dan bulan bergerak terus, kelihatan lambat namun tak pernah berhenti sedetik pun dan karena gerakan yang tiada hentinya ini maka waktu berlalu amat cepatnya, cepat akan tetapi tidak terasa dan kelihatn lambat, seperti gerakan bulan dan natahari.

   Seolah-olah baru kemarin dulu Retna Wilis tinggal di pantai Teluk Prigi atau Segoro Wedi.Seolah-olah baru beberapa hari ia datang di tempat itu bersama gurunya.

   Padahal, telah lima tahun ia berada di tempat itu dan kini Retna Wilis bukanlah bocah lagi,melainkan telah menjadi seorang gadis remaja yang amat elok wajah dan bentuk tubuhnya.

   Wajahnya cantik jelita,ayu dan manis sekali, cemerlang karena bersih dan aseli, kecantikan yang wajar dan liar, seperti kecantikan setangkai bunga mawar hutan bermandi embun di antara duri-duri meruncing, seperti keindahan seekor harimau betina muda yang mengkilap bulunya, seperti keindahan ular yang bermata tajam dan berlidah merah meruncing dengan gerakannya yang lemas namun kuat, seperti Endang Patibroto di waktu muda.

   Dia sendiri tidak tahu, karena ibunya tak pernah menceritakannya, bahwa keadaannya bersamaan dengan ibunya di waktu kecil. Ibunya, Endang Patibroto, di waktu kecilnya pun digembleng menuntut ilmu kesaktian di antara deburan ombak laut kidul dan batu karang yang kokoh kuat. Hanya bedanya, kalau ibunya digembleng oleh neneknya, dia digembleng oleh Nini Bumigarba yang memiliki kesaktian yang jauh lebih tinggi daripada ibunya dan neneknya, digembleng tidak hanya dengan aji kesaktian, melainkan juga dengan ilmu kebatinan yang aneh, yang membuat dia bagaikan membaja lahir batinnya.

   Siapa pun orangnya yang berjumpa dengan Retna Wilis, tentu akan terpesona dan tentu akan tergetar batinnya oleh bermacam perasaan yang mengaduk hati. Ada rasa kagum tentu, terutama bagi pria, menyaksikan wajah yang demikian cantik jelita, rambut yang hitam halus dan panjang dilepas bebas, digelung sederhana di atas kepala agak ke belakang, sepasang daun telinga yang tersembul antara ombak-ombak rambut menghitam tampak tipis dan indah lekukannya, lubang daun telinga yang kecil setiap hari berganti hiasan, ada kalanya batu karang merah, atau karang mengkilap, bahkan kadang-kadang bunga laut kering atau ujung supit udang atau kepiting!

   Namun, apa pun juga yang terselip dibawah daun telinga itu, selalu menambahkan manis wajah yang hebat itu! Dahinya halus, bagian atasnya terhias sinom (anak rambut) yang halus melingkar-lingkar seperti puteri-puteri pemalu.

   Sepasang alisnya menjelirit kecil panjang, kedua ujungnya agak ke atas sehingga membayangkan keangkuhan, kelihatan berlawanan sekali dengan sepasang mata yang lebar memancarkan sinar bagaikan sepasang bintang di langit.

   Mata ini yang amat mempesona, bening dan amat tajam sinarnya, namun mengandung wibawa yang aneh, kesungguhan dan penuh pengertian seperti hanya terdapat dalam mata pendeta-pendeta yang sudah awas paningal.

   Mata itu menyeramkan sinarnya, mengandung pengaruh yang merupakan ancaman, akan tetapi keseraman yang tersembunyi ini tertutup keindahan hiasan bulu mata yang hitam, panjang melentik dan demikian lebat sehingga sekeliling mata di mana bulu mata itu berakar kelihatan garis hitam seolah-olah pinggir mata itu diberi coretan hitam.

   Hidungnya kecil mancung, dan mulutnya merupakan imbangan keindahan matanya. Mulut itu manis bentuknya, dengan sepasang bibir yang penuh menjendol, ukurannya kecil akan tetapi sedemikian rupa sehingga daging di bawah kulit tipis merah seolah-olah setiap saat dapat pecah.

   Bentuknya seperti gendewa terpentang dan amatlah sayang bahwa mulut semanis itu jarang sekali tersenyum, apalagi tertawa, padahal kalau tersenyum tentu akan membuat dunia menjadi lebih cerah!

   Karena bibir itu selalu tertutup, maka deretan gigi yang putih bersih dan rapi merupakan mutiara-mutiara terpendam yang jarang dapat terlihat orang.

   Wajah yang seperti wajah dewi kahyangan memiliki tubuh yang padat ramping dan semampai, berkulit kuning halus dan karena sikap dan pembawaannya mengandung daya kekuatan dahsyat, maka tubuh yang indah ini menyembunyikan kegagahan di balik keluwesannya.

   Sungguh alam telah bermurah hati sekali kepada Retna Wilis yang dikaruniai jasmani sedemikian indahnya!.

   Takkan ada seorang manusia pun yang akan dapat mengira bahwa di dalam tubuh yang denok ini tersembunyi kesaktian yang amat dahsyat dan mengerikan! Selama lima tahun tanpa mengenal lelah, secara tekun sekali menerima gemblengan Nini Bumigarba, kini Retna Wilis merupakan seorang gadis remaja yang, amat digdaya, sakti mandraguna dan di dalam tubuhnya terdapat aji-aji kesaktian yang tidak lumrah manusia.

   Dara remaja ini amat suka tinggal di pantai Teluk Prigi, di darat bermain-main dengan kura-kura raksasa atau berlatih aji kesaktian, kadang-kadang ia menanggalkan seluruh pakaiannya, bertelanjang bulat menerjang ombak Laut Selatan, menyelam dan berenang berkejaran dengan ikan-ikan di laut sehingga kalau pada waktu itu ada yang melihat tentu akan mengira bahwa dia adalah seorang peri Segoro Kidul, atau puteri dari Ratu Roro Kidul sendiri!

   Tubuhnya sedemikian penuh terisi hawa kesaktian sehingga ikan-ikan hiu yang banyak berkeliaran di bawah ombak, sama sekali tidak dapat mengganggunya, bahkan seringkali diganggu Retna Wilis, dipegang ekornya dan dilontarkan jauh ke atas permukaan air, dicengkeram sisinya dan dipatahkan taringnya! Kalau menyaksikan muridnya seperti itu, Nini Bumigarba tertawa terkekeh-kekeh dengan penuh kebanggaan dan kekaguman. Di waktu ia muda dahulu, harus ia akui bahwa dia tidaklah sehebat muridnya ini.

   Namun ada kalanya Retna Wilis memandang ke arah utara, ke daratan di balik gunung karang di mana sayup-sayup tampak gerombolan hutan di lereng Pegunungan Seribu. Pada suatu hari yang cerah, selagi Nini Bumigarba yang kini banyak menghabiskan waktunya untuk bersamadhi dan nenek itu kelihatan kini malas, Retna Wilis tak dapat menahan keinginan hatinya dan seorang diri ia lari ke utara dengan niat hendak melihat hutan di utara itu dan mencari buah-buahan kelapa atau pisang.

   Dia menggunakan kedua kakinya seperti orang biasa berlari,namun hasil larinya sama sekali tak dapat dikatakan biasa!

   Tubuhnya berkelebat cepat sukar diikuti pandangan mata, dan lajunya melebihi larinya seekor kuda membalap.

   Sebentar saja ia sudah tiba di dalam hutan yang tampak dari Segoro Wedi. Setibanya di tempat yang penuh tumbuhtumbuhan dan pohon-pohon besar itu, Retna Wilis menjadi gembira hatinya seperti seorang yang melihat benda-benda indah yang tak pernah dillhatnya.

   IA MELOMPAT ke sini, lari ke sana, melayang ke atas pohon-pohon, menyambit runtuh buah-buah kelapa, nyambar buah-buah nangka dan menangkap seekor kelinci gemuk.

   Ketika ia melemparkan semua buah dan kelinci yang sudah ia bunuh itu ke atas tanah kemudian ia melompat naik ke atas pohon sawo yang besar, memilih-milih sawo yang sudah masak, tiba-tiba ia mendengar suara orang bercakap-cakap.

   Retna Wilis yang berada di atas pohon itu cepat memandang dan tampaklah olehnya empat orang laki-laki berjalan mendatangi tempat itu. Mereka adalah empat orang laki-laki yang bersikap gagah, yang tiga orang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun usianya.

   Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan ketika mereka tiba di bawah pohon, Retna Wilis mendengar seorang di antara mereka, yang menggantungkan sebuah penggada besar di pinggangnya, berkata,

   "Ki Warok Surobledug boleh dipercaya seratus prosen. Dia seorang satria sejati yang pada waktu ini menjadi ketua sekalian warok di Ponorogo. Dia boleh diajak berkawan dalam membela Jenggala. Kalau tidak sekarang orang"orang gagah bergerak untuk berdarma bhakti kepada Jenggala, menunggu sampai kapan?"

   Tiba-tiba orang yang termuda, seorang yang bertubuh jangkung dan berwajah tampan menghentikan langkahnya, memandang ke arah buah-buah dan bangkai kelinci sambil berkata,

   "Ssttt ada orang..........

   "

   Tiga orang kawannya berhenti juga. Tadi mereka asyik bercakap-cakap sehingga tidak melihat buah-buahan itu. Kini mereka menghentikan percakapan dan kesemuanya berhenti di bawah pohon sawo, memandang ke kanan kiri. Pemuda itu tiba-tiba menengadah lalu tertawa bergelak,

   "Ha-ha-ha! Kiranya ada seekor monyet betina di atas pohon!"

   Tiga orang kawannya memandang ke atas dan mereka pun tertawa.

   "Jayus! Jangan bicara sembarangan!"

   Bentak laki-laki yang membawa penggada ketika ia melihat bahwa yang dikatakan monyet betina itu adalah seorang gadis remaja yang amat jelita. Karena melihat seorang dara berada di atas pohon sehingga dari bawah tampak betis memadi bunting dan sebagian paha yang berkulit halus putih di balik kain yang tersingkap, empat orang laki-laki itu tidak dapat mengalihkan pandang matanya.

   Retna Wilis adalah seorang dara yang menjadi besar di tempat sunyi. Biarpun perasaan wanitanya membisikkan rasa tidak suka kepada empat orang laki-laki yang tersenyum-senyum menyeringai dan memandangnya dengan sinar mata panas penuh gairah, namun ia tidak tahu apa yang mereka pikirkan. la menekan kemarahannya ketika mendengar betapa orang muda itu tadi menyebutnya monyet betina. Lamurkah mata pemuda itu yang mengira dia monyet? Biarpun memanjat pohon, jelas bahwa dia berpakaian dan sama sekali bukan monyet!

   "Ha-ha-ha, Paman Brojol, memang dia betina tetapi tentu saja bukan monyet, melainkan seorang dara jelita.Tadi kusangka monyet karena mana ada seorang perawan cantik memanjat pohon seperti monyet? Eh, perawan gunung yang jelita dan berkulit kuning, berbetis padi bunting dan berpaha.......... wah, engkau benar hebat.Turunlah!"

   Kata Jayus, orang muda itu.

   Retna Wilis mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak sudi turun.

   "Kalian mau apakah? Aku tidak ada urusan dengan kalian. Pergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku."

   Suara Retna Wilis dingin, juga pandang matanya dingin sekali. Akan tetapi karena sebagian wajahnya terhalang daun-daun sawo, hal ini agaknya tidak tampak oleh Jayus yang tergila-gila melihat betis dan pahanya, sedangkan tiga orang laki-laki yang lebih tua, sungguhpun mereka bukan golongan mata keranjang dan pengganggu wanita, namun mereka maklum akan darah muda Jayus, hanya tersenyum saja, maklum pula bahwa Jayus hanya menggoda dara itu, tidak mempunyai niat yang buruk.

   "Waduh-waduh, galaknya.......... Eh, genduk bocah ayu, turunlah dan mari kita bicara baik-baik. Kakangmu ini bernama Jayus, ingin berwawancara dengan-mu, bocah ayu. Kenapa mengusir kami pergi? Kalau engkau kehilangan kesabaran, engkau mau apakah?"

   "Tidak mau apa-apa, hanya mau membunuh kalian!"

   Jawab Retna Wilis, mulai jengkil, apalagi ia teringat nasehat gurunya bahwa semua pria di dunia ini tidak ada yang baik dan tidak ada yang boleh dipercaya omongannya.

   "Ingat, muridku. Pria-pria itu seperti sekawanan kumbang yang berhati palsu. Sebelum berhasil mendapatkan sari bunga, mereka beterbangan di sekeliling bunga, berdendang bernyanyi dengan suara merdu, membujuk rayu sehingga sang kembang akhirnya membuka kelopaknya. Celakalah sang kembang yang dengan mudah tunduk akan rayuan mereka dan membuka kelopaknya, karena kumbang-kumbang buas itu akan memasukinya dan menghisap habis sampai kering madu sari bunga dan setelah bunga itu mengering dan melayu, kumbang-kumbang itu pergi meninggalkannya tanpa pamit dan terima kasih, paling-paling meninggalkan kotorannya di kelopak bunga!"

   Demikianlah nasehat Nini Bumigarba sehingga di sudut hati dara jelita ini telah bertumbuh benih kebencian terhadap kaum pria.

   Empat orang pria itu terkejut dan memandang terbelalak ke arah dara remaja yang berada di atas pohon sawo. Gllakah perawan ini? Mengancam hendak membunuh mereka, jagoan-jagoan terkenal dari Gunung Kelud? Empat orang ini terutama sekali si pemegang penggada adalah tokoh-tokoh Gunung Kelud, murid-murid Sang Panembahan Ki Ageng Kelud yang terkenal sakti mandraguna dan juga berwatak satria-satria perkasa.

   Dan kini mereka diancam hendak dibunuh oleh seorang perawan yang baru berusia belasan tahun? Tiga orang yang sudah berusia hampir empat puluh tahun itu terbelalak dan terheran-heran, juga menjadi curiga karena sebagai orang-orang yang perpengalaman mereka dapat menduga bahwa perawan itu tentu tidak lancang begitu saja berani mengancam hendak membunuh mereka. Akan tetapi Jayus, yang masih muda dan darahnya lebih panas, tertawa bergelak dengan hati panas.

   "Ha-ha-ha, perawan gunung bermulut besar! Engkau hendak membunuh kami? Wah-wah-wah, seekor kadal sekali pun akan mati karena tertawa mendengar kesombonganmu. Hayo turunlah dan bunuh aku kalau memang mampu. Apa engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan? Inilah Jayus, jangankan engau, biar ada seorang raksasa betina sekali pun, sekali pegang dapat kulontaran sampai terjatuh ke laut kidul. Haa-ha!"

   "Engkau minta mati?"

   Tiba-tiba Retna Wilis melayang turun bagaikan gerakan seekor burung srikatan melayang dan tahu-tahu telah berada di depan Jayus yang memandang kagum akan tetapi tetap memandang rendah.

   "Engkau minta mati dan dilempar jauh? Boleh!"

   Setelah berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Retna Wilis melangkah maju Jayus cepat menggerakkan kedua tangan hendak menangkap dara yang baru sekarang ia lihat amat jelita seperti puteri kahyangan itu, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika kedua tangannya itu tak dapat ia gerakkan lagi karena ada angin yang menyambar dari perawan itu.

   Di lain saat, tangan kiri Retna Wilis menampar ke arah kepalanya.

   "Prakkk!"

   Darah dan otak muncrat dari kepala yang pecah terkena tamparan dahsyat itu dan tangan kanan Retna Wilis mencengkeram pinggang, membuat gerakan melempar dan mayat Jayus melayang jauh sekali, terbanting ke atas tanah tak mampu bergerak lagi!

   Tiga orang kawan Jayus berdiri seperti terkena hikmat, tak mampu bergerak, kemudian Ki Brojol, yaitu laki-laki brewok yang memegang penggada, sekali melompat telah mengejar tubuh Jayus yang dilontarkan. Ia berlutut sebentar dekat mayat itu, kemudian melompat lagi menghadapi Retna Wilis, mukanya merah, matanya melotot dan napasnya terengah-engah saking marahnya.

   "Kau.......... kau.......... perawan iblis.......... kau telah membunuhnya..........!!"

   Dua orang kawannya juga marah sekali, yang memegang tombak sudah mengangkat tombaknya, yang memegang pedang sudah mencabut pedangnya sedangkan Ki Brojol sendiri sudah melepas penggadanya.

   Retna Wilis berdiri dengan tenang menghadapi tiga orang laki-laki tinggi besar yang marah-marah dan siap menerjangnya itu.

   "Dia minta mati sendiri, aku hanya memenuhi tantangannya. Kalian ini mau apa? Apakah juga minta mati seperti dia?"

   Mendengar ucapan yang demikian tenang seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu, Ki Brojol dan dua orang kawannya bergidik, akan tetapi juga kemarahan mereka berkobar. Jayus telah tewas, padahal kawan mereka yang muda itu tidak melakukan sesuatu, hanya mengucapkan kata-kata menggoda kepada gadis ini.

   "Perawan iblis! Siluman keji! Engkaulah yang harus mampus agar tidak mengotorkan dunia!"

   Bentak Ki Brojol yang menjagli marah sekali.

   Makiannya ini seolah-olah menjadi aba-aba bagi kedua orang kawannya karena mereka bertiga langsung menyerang Retna Wilis dengan tiga macam senjata mereka.

   Biarpun mereka itu adalah satria perkasa yang tentu saja tidak sudi mengeroyok seorang perawan bertangan kosong dengan menggunakan senjata, namun kematian kawan mereka terlalu hebat dan terlalu menyakitkan hati sehingga saking marah, mereka lupa akan sifat-sifat satria.

   Gerakan mereka cepat dan kuat sekali, bagaikan kilat-kilat menyambar, tombak yang runcing menusuk ke arah lambung Retna Wilis, pedang menyambar ke lehernya dari belakang dan penggada di tangan Ki Brojol menghantam kepalanya!

   Namun Retna Wilis hanya berdiri diam tak bergerak, hanya masih bersikap seperti tadi, lengan kanan terangkat dengan siku ditekuk dan tangan kanan terbuka miring di depan dada, tangan kiri terkepal di pinggang kiri, kedua kaki terpentang ke depan belakang, sedikit pun tidak bergerak atau bergoyang, matanya terbelalak, berkedip pun tidak menghadapi datangnya serangan tiga senjata dahsyat itu.

   Biarpun kelihatannya tidak bergoyang, namun sesungguhnya ia telah mengerahkan aji kesaktian Argoselo yang membuat tubuhnya kebal dan kokoh kuat seperti batu hitam di gunung!

   "Aahhhh"""

   "Hemm""""."

   "Celaka"..! "

   Seruan-seruan ini keluar dari mulut tiga orang pria itu. Mereka adalah satria-satria perkasa, tentu saja terkejut menyaksikan betapa lawan mereka, hanya seorang perawan remaja, sama sekali tidak mengelak atau menangkis serangan mereka.

   Mereka merasa tidak enak hati dan berbalik khawatir kalau-kalau serangan mereka akan mencelakakan dara yang tidak melawan ini, akan tetapi untuk menarik kembali senjata sudah terlambat sehingga mereka hanya mampu mengurangi tenaganya saja.

   Namun, begitu tiga buah senjata itu secara berbareng menimpa lambung, leher dan kepala, mereka bertiga terkejut bukan main karena senjata mereka membalik keras dan pada saat itu, tubuh Retna Wilis bergerak, tangan kanannya dengan jari terbuka berkelebat menyambar tiga kali menempiling kepada tiga orang lawannya dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandangan mata sehingga tak mungkln dielakkan lagi.

   Tamparan-tamparan itu tidak keras, seperti menyentuh saja, namun akibatnya mengerikan karena tiga orang laki-laki tinggi besar itu terpelanting roboh dengan mata mendelik dan napas putus, sedangkan muka mereka berubah menjadi hitam!

   "Aduh Dewata pengatur jagat! Apa yang kau lakukan ini..........?"

   Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah seorang kakek yang agaknya datang tergesa-gesa dan berlari cepat. Dari jauh, kakek ini sudah menyaksikan pertandingan-pertandingan itu, dan ia mempercepat larinya, namun ia terlambat dan ia masih berkesempatan menyaksikan betapa perawan remaja itu membunuh tiga orang lawannya dengan sekali gerakan saja.

   Retna Wilis membalikkan tubuh memandang. Yang datang adalah seorang kakek tinggi besar bermuka kehitaman, bercambang bauk, matanya besar-besar menyinarkan keheranan, usianya sekitar enam puluh tahun, pakaiannya serba hitam, ikat pinggangnya atau kolornya berwarna merah, di pinggangnya terselip gagang senjata, sikapnya gagah dan berwibawa.

   Retna Wilis tetap tenang saja dan ia memang bukan berpura-pura.

   Ia menganggap peristiwa itu biasa saja.Empat orang itu ingin mati, menantangnya, maka ia turun tangan membunuh mereka. Apa anehnya dalam hal ini? Kini kakek ini datang bertanya dan memandang penuh keheranan, maka ia menjawab,

   "Engkau melihat sendiri apa yang kulakukan. Mereka minta mati dan aku memenuhi permintaan mereka. Engkau mau apa?"

   "Babo-babo.........! Selama hidupku, aku Ki Warok Surobledug baru sekalI ini menyaksikan kekejaman yang melewati batas! Banyak sudah kumelihat pembunuhan, akan tetapi tidak ada yang sekeji ini! Banyak sudah kumelihat orang aneh dan sakti, akan tetapi baru sekarang aku melihat orang, apalagi seorang perawan remaja, seorang bocah, dengan enak membunuhi orang dan bersikap tenang seperti habis menginjak semut-semut saja. Engkau siapakah, nini? Kulihat gerakanmu luar biasa sekali dan apa salahnya Ki Brojol dan saudara-saudaranya maka engkau membunuh mereka secara keji? Aku bukan seorang berpikiran dangkal, biarpun mereka ini sahabat-sahabat baikku dan kutahu mereka ini satria-satria perkasa, akan tetapi kalau mereka bersalah dan sudah selayaknya dibunuh, aku tidak akan membela mereka."

   Retna Wilis mengerutkan alisnya. Ucapan kakek raksasa ini sukar dimengerti, akan tetapi dia merasa tidak senang mendengar orang ini banyak bicara dan ribut-ribut hanya karena dia membunuh empat orang kasar tadi!

   "Aku tidak ada waktu banyak bicara, kau pergilah. Kecuali kalau engkau seperti empat orang itu minta mati, tentu. akan kupenuhi permintaanmu!"

   Sepasang mata yang lebar itu makin terbelalak. Ki Warok Surobledug adalah seorang tokoh besar di Ponorogo, sakti mandraguna dan tak pernah merasa gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun juga. Akan tetapi sekali ini, melihat dari jauh betapa dara remaja ini sekali bergerak membunuh sahabat-sahabatnya yang sakti, kemudian melihat dara remaja yang cantik jelita ini bersikap dingin dan tenang, setenang batu karang, bertanya dengan suara dingin apakah dia minta mati, benar-benar membuat bulu tengkuknya meremang. Bahkan ia diam-diam menduga apakah dara ini bukan manusia melainkan

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
iblis betina sendiri yang suka mengganggu manusia.

   "Biar aku sudah tua bangka, akan tetapi tentu saja aku tidak minta mati. nini! Aku hanya ingin mendengar mengapa engkau membunuh sahabat-sahabatku itu dan...."

   "Engkau ini laki-laki cerewet amat! Aku tidak ada waktu melayanimu......!"

   Retna Wilis memunguti buah-buah dan bangkai kelinci, kemudian tanpa menoleh lagi meninggalkan Ki Warok Sirobledug yang berdiri melongo.

   "Hei! Tunggu..........!!"

   Kakek Itu meloncat dan seperti Sang Harya Werkudara ia melangkah lebar dan cepat sekali telah menyusul Retna Wilis yang berjalan seenaknya,menghadang di depan dara itu.

   Retna Wilis makin tak senang hatinya. Kedua tangannya penuh dengan bawaan dan kini kakek itu menghadang jalan. Ia melangkah terus, kemudian menggerakkan sikunya mendorong tubuh kakek itu sambil berkata.

   "Minggir! Mau apa menghadang jalan?"

   Ki Warok Surobledug adalah seorang gagah perkasa yang sudah banyak pengalamannya. Melihat sepak terjang Retna Wilis tadi, ia sudah maklum bahwa perawan ini memiliki kedigdayaan yang menggiriskan, maka kini mellhat dara itu menyikunya, ia tidak berani memandang ringan dan cepat ia memasang aji kekebatan untuk mengukur tenaga sakti dara yang patut menjadi cucunya itu.

   "

   Dukkk! "

   Sikut kecil meruncing halus bertemu dengan perut gendut yang penuh hawa kekebalan dan akibatnya tubuh Ki Warok Surobledug terjengkang dan roboh! Retna Wilis berjalan terus seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ki Warok

   Surobledug yang merasa betapa perutnya seperti diseruduk tanduk banteng, meloncat bangun, agak terengah dan merasa terheran-heran bercampur rasa penasaran. Hal yang kelihatannya tak mungkin sama sekali telah terjadi.

   Kekebalannya yang amat kuat, tubuhnya yang biasanya sanggup menerima hantaman senjata apa pun juga, kini bobol hanya oleh pukulan siku seorang perawan remaja!.

   "Eh, tunggu dulu, nini.........!"

   Dengan hati penasaran ia mengejar lagi.

   Retna Wilis menjadi kesal hatinya. Ia menoleh dan melihat raksasa itu mengejar. Ia lalu mengerahkan tangan kiri, berseru.

   "Engkau menjemukan!"

   Ki Warok Surobledug melihat datangnya sinar hitam menyambar. Ia cepat menggerakkan tangan kiri, membuka tangan itu dan telapak tangannya yang penuh hawa sakti dan kebal, yang biasanya sanggup meremas hancur sebatang golok tajam lawan, mencengkeram benda hitam yang ia sangka tentu senjata rahasia lawan.

   Ia bergerak sigap dan berhasil menangkap benda itu, akan tetapi tak terasa mulutnya mengeluarkan teriakan karena telapak tangannya terasa sakit bukan main. Ketika ia melihat tangannya, ia terkejut dan hatinya berdebar tegang melihat telapak tangannya luka parah, kulit telapak tangannya pecah dan ada tiga buah benda hitam menancap di telapak tangan sedangkan seluruh tangan itu basah oleh darahnya sendiri dan oleh benda kuning yang lembek dan hancur. Ia mencium bau yang amat dikenalnya, akan tetapi masih ragu-ragu dan mendekatkan tangannya ke depan hidung.

   "Ya Dewata Yang Maha Agung........!"

   Ia berseru, hampir tidak percaya, keheranannya mengatasi rasa nyeri.

   Ternyata bahwa yang dipakai dara itu menyerangnya adalah sebutir buah sawo yang sudah masak! Sawo yang lunak karena sudah masak itu pecah di telapak tangannya dan tiga buah biji sawo melukai telapak tangannya, sedangkan daging dan kulit sawo itu biarpun lunak, ternyata dapat membuat telapak tangannva pecah-pecah!

   Ia mengangkat muka memandang dan lebih terheranheran lagi dia ketika melihat bayangan dara itu seperti terbang saja bergerak ke arah selatan,

   "Jagad Dewa Bathara.......... adakah dia penjelmaan Kanjeng Ratu Roro Kidul....?"

   Hati Ki Warok Surobledug yang biasanya tak pernah mengenal takut itu kini menjadi gentar. Ia maklum bahwa kalau gadis itu tadi menyerangnya dengan senjata keras, dengan batu misalnya, tentu dia tak hidup lagi.

   Baru sebutir sawo saja sudah membuat tangannya yang kebal pecah-pecah!

   Berkali-kali kakek ini menghela napas, kemudian dengan memaksakan diri mengatasi rasa nyeri tangan kirinya, ia menggali lubang dan mengubur jenazah empat orang sahabatnya itu di tempat itu juga.

   Kemudian, setelah berkali-kali memandang ke arah selatan, ia lalu pergi dengan cepat menuju ke Gunung Kelud yang berada di utara melaporkan peristiwa mengerikan itu kepada Ki Ageng Kelud.

   Bagi Retna Wilis, peristiwa yang terjadi tadi bukan apa-apa,sama sekali tidak ia pikirkan lagi, bahkan setelah ia tiba di pantai dan menyuguhkan buah-buahan kepada Nini Bumigarba, ia telah lupa akan pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan di hutan itu.

   "Retna Wilis muridku yang denok, muridku yang tercinta!"

   Kata Nini Bumigarba yang sudah duduk bersila dalam guha batu karang ketika nenek ini melihat datangnya muridnya membawa buah-buah sawo dan kelapa.

   "Ah, hal ini berarti bahwa tak lama lagi kita akan saling berpisah."

   Retna Wilis memandang nenek itu, hatinya merasa tak enak, akan tetapi ia menekan batinnya yang sudah amat kuat sehingga rasa tak enak ini segera lenyap di bawah kekuatan kemauannya yang membaja.

   "Mengapa Eyang berkata demikian? Aku hanya bermain-main di hutan, mengambil buah, membunuh kelinci dan babi hutan!"

   Terbayang wajah empat orang laki-laki tinggi kasar yang dibunuhnya. Memang mereka itu tidak lebih hanyalah babi"babi hutan berkaki dua, pikirnya.

   "Sudah menjadi kehendak Hyang Suksma, muridku. Sepandai-pandainya manusia, tak mungkin ia dapat menguasai nyawanya sendiri. Aku sudah merasakan getaran firasat dan sudah siap menghadapi

   (Lanjut ke Jilid 43)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 43

   segala yang mungkin terjadi."

   "Apakah yang Eyang maksudkan?"

   "Engkau tak perlu tahu. Dapat mengetahui sebelum terjadi merupakan ilmu yang hanya akan menimbulkan sengsara dalam hati sendiri. Cukup kalau kau ketahui bahwa kita takkan lama lagi tinggal bersama di sini. Karena itu, perhatikanlah pesanku baik-baik. Selama lima tahun ini aku telah menurunkan semua aji-ajiku kepadamu dan biarpun murid Ekadenta sendiri tidak akan mudah menandingimu."

   "Siapakah murid Ekadenta, Eyang?"

   "Kelak engkau akan mengetahui sendiri. Ingatbaik-baik bahwa engkau kelak harus dapat mengalahkan murid Ekadenta. Dengarkah engkau? Kalahkan dia. Tunjukkan bahwa murid Sarilangking atau Bumigarba tidak kalah oleh murid Ekadenta. Kalau perlu, untuk mengalahkannya, engkau boleh membunuh dia!"

   "Apakah dia sakti sekali, Eyang?"

   "Tidak ada yang dapat melebihi kesaktianmu, muridku. Memang dia mewarisi ilmu-ilmu kesaktian, akan tetapi sebelum berpisah, aku akan menurunkan hawa Wisalangking ke tubuhmu dan dengan hawa itu, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang memiliki kesaktian melebihimu! Akan tetapi, untuk menerima Wisalangking engkau harus berpuasa membersihkan lahir batinmu selama tiga hari tiga malam.

   "

   "Baik, Eyang, akan kulakukan mulai sekarang juga."

   "Dengarlah dulu pesanku ini. Setelah aku pergi dan engkau sudah memiliki hawa Wisalangking, engkau harus berlatih mempergunakan hawa itu di sini, seorang diri, selama belum ada tanda yang akan tampak olehmu. Engkau ingat akan bintang kehijauan di sebelah timur laut yang tampak tiap malam tanpa bulan?"

   "Yang Eyang katakan sebagai bintang yang berkuasa di Jenggala pada saat ini dan tampak tersembul di puncak yang seperti cengger jago itu?"

   "Benar. Kau lihat baik-baik. Selama bintang itu masih ada di langit, engkau tidak boleh pergi dari sini. Akan tetapi, begitu kau lihat bahwa bintang itu lenyap dari angkasa, engkau harus cepat pergi meninggalkan tempat ini, kembali ke tempat kelahiranmu.

   "

   "Di Wilis?"

   "Benar. Kembalilah ke puncak Wilis dan engkau taklukkan semua penduduk di seluruh wilayah Gunung Wilis. Engkau harus menjadi seorang ratu, seorang puteri yang disembah-sembah di Wilis dan tak seorang pun boleh melanggar wilayahmu. Ingat, siapa pun adanya dia,yang berani mencoba untuk mengganggu wilayahmu, boleh kau bunuh. Tidak perduli dia itu mengaku ibumu, atau ayahmu,atau siapa saja. Engkau akan menjadi Ratu Wilis dan mengumpulkan kekuatan, menyusun pasukan sehingga kelak engkau akan menyerang kerajaan keturunan Mataram! Inilah cita-citaku mengapa aku bersusah payah mendidikmu, Retna Wilis. Mengertikah engkau?"

   "Aku mengerti, Eyang."

   "Dan engkau akan mentaati pesanku? Kalau engkau tidak sanggup, sekarang juga engkau akan kulenyapkan dari muka bumi!"

   "Aku taat dan sanggup melaksanakan semua perintahmu."

   "Bagus, engkau memang muridku yang amat baik. Dan jangan lupa. Di bawah karang Kukura di barat itu, di bawah air ulekan (air berpusing) terdapat guha di dalam lautan, guha yang bersambung dengan karang Kukura, menjadi dasar karang. Setelah aku pergi dan setelah hawa Wisalangking di tubuhmu kuat benar, kau pergilah ke sana, menyelam dan masuki guha di bawah air laut. Di sana terdapat sebuah peti kecil berisi sebatang pedang pusaka. Pedang itu adalah pedang pusaka Sapudenta, setelah kupakai sampai seratus tahun, kusimpan di sana agar dapat menyedot hawa sakti Segoro Kidul. Pedang itu tadinya kusediakan untuk menundukkan Ekadenta, akan tetapi sekarang terlambat dan engkaulah yang akan menggunakannya untuk menundukkan murid Ekadenta."

   "Baiklah, Eyang. Masih ada pesan lagi?"

   "Ingat akan dua nama ini. Biku Janapati dan Wasi Bagaspati. Mereka itu adalah dua orang bekas sekutuku, boleh kau jadikan sabahat karena mereka mewakili negara-"negara yang kuat dan yang kelak perlu kau dekati agar dapat membantumu menundukkan seluruh bumi Jawa di mana engkau akan menjadi ratunya.Akan tetapi tentu saja engkau tidak perlu tunduk kepada mereka, hanya permintaan-permintaan mereka itu asal pantas dan tidak memberatkan hatimu, boleh kau penuhi,boleh kau bantu agar kelak mereka tidak segan-segan untuk mendatangkan pasukan-pasukan negara mereka dan membantu tercapainya cita-citamu."

   Di dalam hatinya Retna Wilis tidak setuju dengan ucapan terakhir ini. Ia sama sekali tidak bercita-cita untuk menjadi ratu dan cita-cita itu hanyalah merupakan idaman hati gurunya dan kalau kelak ia laksanakan juga semata untuk memenuhi permintaan gurunya.

   Pada saat ini, dia sama sekali tidak mempunyai cita-cita untuk menjadi ratu!

   "Dan yang terpenting daripada semua pesanku adalah pesanku yang telah berulang kali kukatakan kepadamu, yaitu jangan sampai engkau jatuh cinta kepada seorang pria! Gurumu ini merana dan menderita lahir batin hanya karena telah berbuat bodoh sekali, yaitu jatuh cinta kepada seorang pria."

   "Kepada Ekadenta?"

   "Ih, bagaimana kau bisa tahu?"

   "Mudah saja, Eyang. Eyang sendiri berkali-kali menasehati agar aku tidak mencinta, tidak pula membenci. Akan tetapi Eyang kelihatannya amat membenci Ekadenta sehingga Eyang menciptakan pedang pusaka, dan mendidik aku untuk kelak mengalahkan muridnya. Eyang amat membenci Ekadenta, tentu karena amat mencintanya."

   "Wah-wah, kiranya perasaan wanitamu masih halus dan peka! Aku khawatir sekali, Retna Wilis."

   "Tak perlu khawatir, Eyang. Aku tidak akan pernah jatuh cinta kepada siapa pun juga. Laki-laki seperti babi hutan!"

   Ia teringat akan Jayus dan tiga orang kawannya yang dibunuhnya di hutan.

   Demikianlah, sejak hari tadi sampai tiga hari tiga malam lamanya, Retna Wilis berpuasa dan yang dilakukannya selama tiga hari tiga malam ini hanya duduk bersila memejamkan mata, bersamadhi mengheningkan cipta, ditujukan untuk membersihkan dan membuka lahir batinnya untuk menerima ilmu yang oleh gurunya disebut dengan nama Ajl Wisafangking.

   Memang amat mengagumkan dan patut dipuji keteguhan hati dan kekuatan kemauan dara ini. Selama lima tahun ia selalu berada di pantai dan setiap hari hanya makan tetumbuhan laut dan ikan.

   Kini, baru saja ia mendapatkan buah-buahan dan daging kelinci, sebelum menikmati sedikit pun, ia telah berpuasa, namun sama sekali ia tidak terseret oleh selera dan nafsunya! Buah nangka yang dibawanya pulang, makin masak dan kalau malam mengeluarkan bau yang s"dap menggugah selera.

   Namun, perasaan Retna Wilis sedikit pun juga tidak terpengaruh karena dalam keadaan samadhi seperti itu, penciumannya, seperti juga inderanya yang lain,seolah-olah mati untuk sementara, semua panca indria telah "ditarik"

   Ke dalam sehingga tidak terpengaruh oleh keadaan di luar tubuh.

   Tiga hari kemudian, Nini Bumigarba menyadarkan muridnya dari samadhi. Begitu Retna Wilis membuka mata dan pandang matanya kembali memasuki dunia, ia lalu diangkat bangun oleh gurunya, digandeng tangannya diajak pergi ke pantai sebelah barat di mana terdapat batu-batu licin dan di pantai ini, air laut amat bersih, tidak bercampur pasir.

   Pada waktu itu, hari telah menjelang senja, langit gelap oleh awan mendung yang bunting tua dan bergerak-gerak seperti hidup, merupakan barisan raksasa-raksasa hitam yang tiada kunjung habis, bergerak dari selatan ke utara.

   Angkasa yang gelap oleh mendung itu kadang-kadang dibakar kilat berceleret, seperti senjata-senjata pusaka para pemimpin barisan itu. Keadaan di angkasa yang menyeramkan ini mempengaruhi air laut pula karena air laut tampak makin mengganas, suaranya bergemuruh dan ombak-ombak kecil tiada hentinya bergerak seolah-olah laut sendiri merasa gentar. menghadapi ancaman serangan barisan raksasa di angkasa itu. Alam sepenuhnya memperlihatkan kehebatan dan kekuasaannya yang maha

   besar dan menggiriskan hati manusia.

   Dan dalam keadaan seperti inilah, Nini Bumigarba menyuruh muridnya berlutut di atas batu karang yang licin, sedangkan dia sendiri berdiri tegak di depan muridnya, dengan kedua kaki terpentang.Retna Wilis disuruh "membuka"

   Tubuh bagian dalam untuk menerima hawa sakti.

   Gadis ini berlutut dengan kedua lengan bergantung lepas, tubuh lemas karena selain berpuasa, juga ia melolos semua tenaga melawan agar dapat menerima hawa sakti dari gurunya.

   Air laut bergerak datang dan pergi lagi. Mula-mula hanya menyentuh lutut Retna Wilis dan mata kaki Nini Bumigarba, akan tetapi makin lama makin membesar sehingga ada kalanya air sampai merendam tubuh Retna Wilis sampai ke leher dan Nini Bumigarba sampai ke pinggang!

   Namun, dua orang itu tetap tidak bergerak, seolah-olah tidak merasakan ini semua. Retna Wilis tetap berlutut menundukkan muka, adapun Nini Bumigarba masih berdiri tegak dan menengadahkan muka ke atas, seolah-olah sedang asyik menonton awan mendung berarak atau sedang memohon kepada para dewata yang dianggap bertempat tinggal di atas! Retna Wilis tetap menanti dengan penuh kesabaran,

   penuh kepasrahan dan penuh kepercayaan.

   Tiba-tiba seluruh tubuh nenek tua itu menggigil, mula-mula seperti orang kedinginan, makin lama makin hebat dan perlahan-lahan nenek ini mengangkat kedua tangannya, terus digerakkan ke atas dengan sikap seolah-olah ia sedang menerima sesuatu dari atas, dari tangan yang tak tampak. Kemudian, perlahan-lahan ia meletakkan tangan kirinya menyentuh ubun-ubun kepala Retna Wilis,sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka tergetar hebat dan muncul-lah getaran-gataran hawa sakti menuju ke muka dan dada Retna Wilis.

   "Muridku, terimalah hawa sakti Wisalangking..........!"

   Suara Nini Bumigarba terdengar seakan-akan dari angkasa menghitam dan dari tangan kanannya yang mengeluarkan hawa mujijat itu tampak sinar menguap hitam, makin lama makin tebal menutup wajah Retna Wilis.

   Ada sejam lamanya mereka berdua dalam keadaan seperti itu, tidak bergerak dan Retna Wilis merasa betapa seluruh tubuhnya penuh oleh hawa panas bergetar yang membuat tubuhnya menggigil. Akan tetapi dengan penuh kepasrahan ia tetap "membuka"

   Dirinya untuk nenerima hawa sakti itu sebanyak dan sepenuhnya.

   Setelah mendengar suara nenek itu mengeluh panjang, barulah Retna Wilis "menutup"

   Dirinya dan membuka mata. Ia melihat nenek itu telah berlutut dengan lemas bahkan hampir terbawa hanyut oleh ombak yang datang.

   Cepat ia menyambar tubuh gurunya dan memondongnya, dibawa meloncat ke darat, kemudian dibawa kembali ke dalam guha di mana biasanya nenek itu duduk bersamadhi.

   Tubuh nenek itu lemas sekali, akan tetapi ketika Retna Wilis merebahkanr(ya di, atas tanah, ia tersenyum dan,berkata lemah,

   "Berhasil baik........... Wisalangking telah kupindahkan ke tubuhmu..........

   "

   Tiba-tiba Retna Wilis merasa perutnya mual dan ada hawa membumbung dari pusarnya, membawa bau yang amis sekali sehingga ia hampir muntah-muntah.

   "Jangan khawatir.......... kerahkan -hawa sakti di tubuh, tekan pusarmu, jangan membiarkannya keluar. Itulah pengaruh dari wisa (racun) Wisalangking. Biarkan dia terbiasa di tubuhmu, kalau kau sudah dapat menundukkannya, takkan terasa apa-apa.........."

   Mendengar ini, cepat Retna Wilis duduk bersila dan mengerahkan tenaga mengatur napas.

   Benar saja, rasa muak dan mual lenyap, bau amis pun hilang. Setelah keadaan diri sendiri baik kembali, mulailah Retna Wilis merawat gurunya yang kelihatan lemah sekali. Sampai semalam suntuk dara remaja ini merawat gurunya tanpa banyak cakap, menyuapkan pisang ke dalam mulut gurunya dan ia sendiri pun mulai mengisi perutnya dengan buah-buah yang ia ambil dari hutan tiga hari yang lalu.

   Pada keesokan harinya, Retna Wilis melihat betapa wajah gurunya telah banyak berubah. Kini nenek itu kehilangan seri wajahnya, kehilangan sinar yang membayangkan semangat, tampak layu dan juga kentara sekali ketuaannya.

   Akan tetapi kesehatannya agaknya sudah pulih dan nenek itu sudah dapat keluar dari guha dan seperti biasa, bersama muridnya ia duduk berjemur matahari pagi di atas pasir.

   "Kau ingat baik-baik pesanku kemarin dulu,"

   Nenek itu berkata.

   "Terutama sekali jangan pergi dari sini sebelum melihat tanda bintang. Sekarang perhatikan bagaimana engkau harus melatih diri untuk membangkitkan Wisalangking dalam tubuhmu dan mempergunakan hawa sakti itu dalam serangan pukulan."

   Nenek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Retna Wilis sehingga setelah matahari naik tinggi, dia sudah hafal akan semua teori penggunaan Aji Wisalangking. Setelah ia mengerti benar bagaimana harus melatih diri, Retna Wilis bertanya,

   "Eyang, mengapa Eyang kelihatan tergesa-gesa seperti ini? Eyang masih sehat dan kita tidak akan saling berpisah."

   Nenek itu tersenyum, senyum yang menambah tua wajahnya, dan menoleh ke belakang, ke arah utara.

   "Tidak lama lagi.......... tidak lama lagi.......... lihat siapa yang datang itu!"

   Retna Wilis dengan tenang menoleh dan ketika Ia melihat bahwa yang datang adalah Ki Warok Surobledug yang tempo hari ia lukai bersama seorang kakek tua berambut putih dan tubuhnya gemuk pendek, ia lalu bangkit berdiri.

   "Eyang, dialah babi hutan tua yang pernah kujumpai di hutan dan kulukai. Dia datang lagi bersama seorang kakek tua, entah mau apa dia!"

   "Hi-hi-hik, jadi ketika kau bilang telah membunuh empat ekor babi hutan kemarin dulu, kau maksudkan empat orang laki-laki? He-he-heh, sekarang, kau boleh hadapi mereka, hendak kulihat bagaimana sepak terjang muridku!"

   Nenek itu memutar tubuh menghadap ke utara, masih duduk bersila dan wajahnya yang tadinya keruh dan kusut itu mendapatkan kembali semangat dan agak berseri...........

   Retna Wilis sudah mengebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari pasir dan ia melangkah maju tiga tindak lalu berdiri menanti datangnya dua orang kakek itu.

   Dia tidak memandang kepada Ki Warok Surobledug yang dianggapnya ringan, melainkan memandang kakek rambut putih yang datang bersama warok itu. Kakek ini pendek dan gemuk sekali, wajahnya bersih tanpa kumis dan jenggot,mulutnya tersenyum penuh kesabaran, dan usianya tentu sudah mencapai sedikitnya tujuh puluh tahun. Jubahnya berwarna kuning, dengan lengan baju lebar sekali sehingga kedua tangannya tertutup.

   Langkahnya ringan dan halus, namun dapat mengimbangi kecepatan langkah Ki Warok Surobledug yang lebar-lebar. Begitu tiba di tempat itu, kakek rambut putih itu lalu membungkuk kepada Nini Bumigarba dan berkata dengan suara halus,

   "Duhai Sang Hyang Wishnu pengatur seluruh jagat raya yang maha sakti! Kiranya Paduka berada di sini, Nini Bumigarba? Ah, sekarang tidak heran lagi aku mengapa keempat orang muridku tewas di daerah ini. Akan tetapi, mengapa setelah berusia sepuh sekali Paduka masih membiarkan murid Paduka mengganas dan melakukan pembunuhan secara keji?"

   Nlni Bumigarba menyeringai, sepasang matanya kelihatan berseri seperti orang merasa geli dan gembira.

   "Wah, andika telah mengenalku, akan tetapi siapakah andika ini, yang berbau pertapa di gunung?"

   "Saya yang bodoh adalah Panembahan Ki Ageng Kelud,tentu saja Paduka tidak pernah mendengar nama saya yang kecil dan tidak terkenal, sebaliknya siapakah yang tidak mengenal nama besar Ni Dewi Sarilangking atau Nini Bumigarba?"

   Jawab kakek itu, sikapnya penuh hormat.

   "Tidak sekali-kali saya berani mengotorkan tempat Paduka dengan kaki saya kalau saja empat orang murid saya tidak terbunuh secara kejam oleh dara ini yang kalau saya tidak salah menduga adalah Murid Paduka."

   "Memang benar, dia ini muridku bernama Retna Wilis, Perawan Lembah Wilis dan calon ratu di Wilis!"

   "Kalau begitu, saya mohon keadilan Paduka, dan ingin mengetahui mengapa empat orang murid saya terbunuh oleh murid Paduka. Padahal, sepanjang ingatan saya,dengan penuh ketelitian saya mendidik murid-murid saya sehingga berkat bimbingan dan berkah Sang Hyang Wishnu, mereka telah menjadi satria-satria yang menjunjung kebenaran dan keadilan, menjadi pahlawan-pahlawan pembela nusa bangsa."

   "Heh-heh-heh, Ki Ageng Kelud. Ucapanmu seperti omongan bocah yang masih ingusan! Seorang pertapa tua seperti andika ini masih bertanya mengapa mereka mati? Heh-heh, tentu saja mereka mati karena sudah semestinya mati! Kalau Sang Hyang Shiwa tidak menghendaki, bagaimana mereka dapat mati? Mengapa seorang seperti andika, yang kuduga telah puluhan tahun bertapa dan mengejar ilmu, masih bertanya tentang mati dan hidup? Apakah andika sudah sedemikian sakti mandraguna sehingga hendak mengingkari dan melawan kehendak Sang Trimurti?"

   Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini