Badai Laut Selatan 17
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Enak rasanya air obat menyentuh punggung, dingin dan mengusir rasa panas dan perih. Namun yang paling terasa sampai menembus jantung adalah getaran hangat jari-jari tangan itu. Pujo seperti dalam mimpi. Ketika ia membalikkan tubuh, ia melihat secara samar bayangan wanita. Siapa lagi kalau bukan isterinya, Kartikosari. Rindu dendam yang sejak lama ditahan-tahannya, dibendungnya dengan kekuatan hati penuh pengertian bahwa isterinya belum mau berbaik kembali kepadanya, belum mau memenuhi kewajiban sebagai isteri yang melayani kasih sayang suami, sebelum musuh besar mereka terbalas, kini seakan-akan bergolak, membadai dan hendak menggempur dan menjebol bendungan!.
"Nimas Sari...!"
Bisiknya dengan suara gemetar ketika kedua lengan Pujo bergerak memeluk pinggang yang ramping, membenamkan muka di dada yang berdebar-debar, penuh rasa kasih sayang. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti ini. Pujo merasa bahagia, tenang tenteram penuh aman dan damai seperti seorang anak kecil mendekap susu ibunya. Ia merasa puas bahagia karena isterinya tidak menolak bukti kasihnya, pinggang ramping yang dirangkulnya tidak menjauh, dan jantung di dalam dada yang penuh itu terguncang.
"Kakangmas Pujo... jangan khawatir mbok ayu Kartikosari selamat kau... berbaringlah yang baik agar aku dapat mengobati punggungmu, kakangmas."
Pujo mengejap-ngejapkan matanya, menengadah dan bagaikan disambar petir kagetnya ketika ia melihat bahwa yang dipeluknya adalah pinggang Roro Luhito. Gadis itu meramkan kedua mata dan dua butir air mata membasahi pipinya yang menjadi merah sekali. Cepat Pujo melepaskan rangkulannya pada pinggang, menatap wajah itu dari atas pembaringan sambil berkata gagap,
"Diajeng Roro... ah, maafkan aku... maafkan..."
Bibir yang merah membasah itu merekah dalam senyum, membayangkan kilauan gigi putih di baliknya.
"Tidak mengapa, kakangmas. kau ngelindur agaknya. Bertelungkuplah, punggungmu perlu diobati. Jangan khawatir, itu mbok ayu Sari di situ, tidak apa-apa, agaknya tidur pulas saking lelahnya."
Karena malu dan jengah, Pujo segera bertelungkup. Akan tetapi kepalanya dimiringkan untuk memandang ke arah kiri yang ditunjuk Roro Luhito. Berdegup jantungnya melihat bahwa isterinya, Kartikosari, benar saja berbaring di atas sebuah dipan kayu lain dalam kamar itu. Isterinya rebah terlentang, kedua matanya meram, dadanya turun naik perlahan tanda bahwa isterinya sedang tidur. Benar sedang tidur pulaskah isterinya itu? Bulu matanya bergerak-gerak! Pujo merasa gelisah. Bagaimana kalau isterinya melihat perbuatannya terhadap Roro Luhito tadi?
"Sudah, cukuplah, diajeng. Luka-lukaku hanya luka di kulit, tidak apa-apa. Bagaimana dengan ayahmu, paman adipati?"
Pujo berkata dan ia bangkit duduk.
"Ayah amat lemah usianya yang sudah tua membuat ia tidak dapat menahan pukulan batin dan siksaan, sekarang sedang dirawat bapa resi."
Sejenak wajah yang manis itu muram, kemudian tangannya menyerahkan sepasang pakaian baru kepada Pujo sambil berkata,
"Kau pakailah ini, kakangmas. Ini pakaian kangmas Wisangjiwo. Pakaianmu sudah hancur."
Pujo melihat ke tubuhnya. Bajunya sudah tidak merupakan baju lagi, compang-camping, demikian pula celana dan kainnya. Ia menerima sepasang pakaian itu dan pada saat itu Kartikosari bangun.
"Diajeng, bagaimana dengan keluarga ayahmu? Mana ibumu?"
Ditanya demikian, Roro Luhito terisak, lalu menubruk Kartikosari dan menangis di atas pangkuan nya, Dengan suara tersendat-sendat Roro Luhito menceritakan betapa sebagian besar keluarganya terbasmi ketika terjadi penyerbuan pasukan Kotaraja yang dipimpin Jokowanengpati dan kedua orang wanita iblis Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Juga ibu kandungnya telah tewas dalam penyerbuan itu.
"Jokowanengpati manusia iblis! Dosamu bertumpuk-tumpuk...!"
Kata Pujo dengan marah sambil mengepal tinjunya.
"Sayang sekali iblis itu dapat meloloskan diri ketika paman resi Telomoyo datang membantu,"
Kata Kartikosari penuh penyesalan.
"Kali ini ia lolos, akan tetapi lain kali pasti tidak. Kejahatan takkan dilindungi oleh Hyang Widi!"
Kata pula Pujo penuh harapan. Roro Luhito sudah dapat menguasai kesedihannya. Ia bangkit dengan muka basah air mata dan mata agak merah.
"Harap kalian maafkan, aku harus pergi menengok ayah."
"Tidak apa, pergilah, diajeng. Kami tidak apa-apa, yang perlu mendapat perawatan adalah ayahmu,"
Kata Kartikosari. Puteri adipati itu melangkah keluar dari dalam kamar sambil menundukkan mukanya.
"Sudah sepatutnya dikasihani..."
Terdengar Kartikosari menyambung lirih.
"Dan dia begitu baik, telah menolong kita."
"Ya, dua kali dia telah menolong kita. Di dalam kamar bawah tanah dan ketika kita terkurung jala..."
Pujo lalu membaringkan tubuhnya lagi sambii menghela napas panjang. Hening Sejenak di dalam kamar itu. Kemudian terdengar lagi suara Kartikosari,
"Kita berhutang budi kepada diajeng Roro Luhito, kakangmas."
"Engkau benar, nimas. Kita berhutang nyawa."
Hening lagi sejenak. Kini Kartikosari yang menghela napas panjang, jelas terdengar hembusan nafas halus panjang di kamar sunyi.
"Sesungguhnya, kita, terutama engkau, berhutang nyawa kepadanya. Dia malam itu bukan hanya menolong, kakangmas, dia malah rela hendak mengorbankan diri, berkorban nyawa, untukmu..."
Sesuatu dalam suara Kartikosari membuat Pujo menengok dan memandangnya. Ia melihat Kartikosari sudah duduk dipembaringan, makin cantik dengan kain dan kutang yang serba baru, agaknya diberi pinjam Roro Luhito karena pakaiannya sendiri compang-camping, dengan muka agak pucat sehingga alis yang indah bentuknya itu makin hitam seperti dicat.
"Dan dia cinta kepadamu, kakangmas, cinta yang tulus ikhlas, suci murni, cinta yang membutuhkan balasan dan sudah sepatutnya pula mendapat balasan cinta kasih darimu..."
Pujo kini melompat bangun, berlutut di depan pembaringan isterinya, memeluk pinggang isterinya dan menelungkupkan muka di atas pangkuannya, seperti yang dilakukan pada Roro Luhito tadi.
"Nimas... nimas Sari... apa... yang kau ucapkan itu? kau... kau... cemburu?"
Ia menengadah, memandang wajah ayu penuh selidik, mencari-cari dengan pandang matanya. Kartikosari menunduk dan jari-jari kedua tangannya membelai rambut kepala suaminya yang kusut, bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lirih,
"Wanita mana di dunia ini yang bebas akan cemburu, kakangmas? Di mana ada cinta, di situ ada cemburu, Wanita mana di dunia ini suka melihat cinta kasih suaminya dibagi dengan wanita lain? Dan akupun hanya wanita biasa, kakangmas. Akan tetapi, aku ingin diajeng Roro Luhito menjadi maduku, aku ingin melihat dia bahagia di sampingku, berkumpul dengan kita selamanya."
"Hishhh! Apakah kau mengigau, nimas Sari? Sadarlah dan buang jauh-jauh rasa cemburu dari hatimu!,"
Pujo mempererat pelukannya pada pinggang yang ramping itu.
"Dia cinta padamu, kakangmas. Aku percaya dan yakin bahwa cinta kasihmu hanya untukku seorang dan karena ini aku merasa amat bahagia, suamiku. Akan tetapi..., dia amat cinta kepadamu, dia menderita karenamu, bahkan dia rela menderita karena cintanya kepadamu..."
"Bagaimapa... bagaimana kau tahu...?"
"Setiap orang yang tidak buta hati dan matanya akan dapat melihat, akan dapat mengetahuinya. Dahulu dia mencarimu, ingin menghambakan diri kepadamu, sungguhpun dahulu ia mengira bahwa engkaulah yang memperkosanya. Dan setelah tahu bahwa Jokowanengpati yang melakukannya, ia amat membenci Jokowanengpati, akan tetapi masih tetap cinta kepadamu, bahkan menolongmu, dan malam tadi rela hendak mengorbankan nyawa untukmu. Aku tahu bahwa engkau akan bahagia jika membalas cinta kasihnya, kakangmas, dan aku... aku hanya ingin membuktikan bahwa cinta kasihku kepadamu sedalam Laut Selatan. Aku rela dan bahagia melihat kau bahagia, Bahwa... aku tetap mencintamu, tetap bersetia kepadamu apapun yang akan terjadi"
"Nimas Sari... kau dewiku...!"
Pujo bangkit berdiri, merangkul leher dan hendak mencium bibir Isterinya yang sudah amat lama ia rindukan itu, Akan tetapi Kartikosari merenggutkan dirinya, mengelak sambil berkata, tersenyum,
"Stop, kakangmas! Ingat, belum tiba saatnya. Lupakah engkau akan syaratku?"
Tubuh Pujo yang tadinya mengejang penuh semangat dan kegembiraan itu, seketika menjadi lemah dan lesu. Ia kembali menjatuhkan diri berlutut dan mengeluh,
"Nimas Sari, isteriku, tidak kasihankah engkau kepadaku? Aku rindu padamu, nimas."
Bibir itu tetap tersenyum manis, akan tetapi matanya berkejap-kejap menahan air mata, memancarkan pandang penuh kasih mesra, kedua tangannya diulur menyentuh tangan suaminya. Jari-jari tangan mereka saling genggam, penuh getaran yang memancar keluar dari hati masingmasing.
"Kakangmas Pujo, suamiku. jiwa dan raga ini milikmu, sudah kuberikan kepadamu dengan rela sejak dahulu. Akan tetapi ksatria harus menepati janji. Satria harus tahan tapa tahan derita, dan pandai menguasai nafsu diri. Kakangmas, biarlah mulai saat ini kuajukan syarat baru kepadamu Setelah segala yang kita alami aku hanya mau melayanimu dengan segala kerendahan hati, dengan cinta kasih, apabila diajeng Roro Luhito menjadi maduku!"
"Nimas! Apakah engkau sudah gila...??"
Pujo bangkit berdiri, memandang wajah isterinya dengan mata terbelalak. Kartikosari tersenyum.
"Sudahlah, bukan waktunya kita berbantahan kau pakai pakaianmu pemberian diajeng Luhito dan mari kita menengok keadaan paman adipati. Tidak baik rasanya kalau kita berdua hanya mengeram diri di dalam kamar saja, padahal luka-luka kita hanyalah luka pada kulit."
Pujo hendak membantah, akan tetapi didiamkan oleh senyum Kartikosari yang dengan cekatan menanggalkan baju Pujo yang compang-camping itu. Terharu hatinya melihat betapa isterinya ini membantunya bertukar pakaian, membantunya seolah-olah dia seorang anak kecil yang belum pandai bertukar pakaian sendiri. Sementara itu, diam-diarn Kartikosari terharu dan hampir ia tak dapat menahan isak haru dan gelora hatinya ketika ia menyaksikan kembali bentuk tubuh suaminya yang kokoh kuat dan padat. Baru saja suami-isteri ini keluar dari kamar, datang Roro Luhito berlari-lari. Mereka terkejut dan cemas, akan tetapi lega hati mereka ketika melihat wajah manis itu berseri gembira.
"Kakangmas Pujo, mbok ayu Sari! Lekas, mari ke ruangan dalam. Kakangmas Wisangjiwo datang!"
Teriaknya girang. Pujo dan Kartikosari tersenyum dan saling pandang. Betapapun juga, ada rasa kikuk dan tidak enak untuk bertemu muka dengan Wisangjiwo, orang yang tadinya mereka benci dan mereka jadikan musuh besar yang didendam di dalam hati. Tanpa mengeluarkan kata-kata mereka berdua menyertai Roro Luhito yang berjalan sambil menceritakan kedatangan kakaknya.
"Kakangmas Wisangjiwo telah menentang sekutunya yang jahat dan kini menghamba kepada Pangeran Tua. Itulah sebabnya maka Jokowanengpati dan sekutunya yang jahat, atas perintah Pangeran Anom (Muda) menyerbu dan mengambil alih Selopenangkep. Ketika kakangmas Wisangjiwo mendengar akan serbuan ini, segera ia mohon perkenan Gusti Pangeran Sepuh (Tua) membawa pasukan yang kuat dan baru saja tiba di sini. Marilah, dia sedang bicara dengan ayah. Bapa resi juga berada di sana."
Dari ruangan pinggir, tampak kini melalui pintu yang terbuka, banyak pasukan di depan pendopo.
Terdengar pula ringkik dan derap kaki kuda. Agaknya pasukan yang dibawa Wisangjiwo dari Kotaraja mulai melakukan tugasnya memulihkan Kadipaten Selopenangkep, Roro Luhito mengajak dua orang itu menyeberang dan memasuki ruangan dalam dari pintu samping. Ruangan yang cukup luas dimana sang adipati duduk setengah rebah di atas dipan terukir, dengan punggung diganjal bantal. Tidak jauh dari situ, di atas sebuah bangku, dengan tangan sibuk menggaruki tubuh seperti biasanya, duduk Resi Telomoyo. Di pinggir dipan tampak Raden Wisangjiwo yang berpakaian indah dan gagah, duduk dan bicara serius dengan ayahnya. Ketika mendengar masuknya tiga orang Raden Wisangjiwo menoleh dan mendadak mukanya menjadi merah sekali ketika ia melihat Pujo dan Kartikosari. Ia cepat bangkit berdiri dan menyambut suami-isteri itu dengan kata-kata terharu,
"Adimas Pujo, aku merasa amat berterima kasih atas pertolonganmu sehingga ayah terbebas dari pada ancaman maut di tangan si keparat Jokowanengpati. lebih besar pula rasa sesalku apabila kuingat betapa kalian berdua telah banyak menderita akibat perbuatanku yang sesat di masa lalu..."
Suaranya tersendat oleh keharuan. Kartikosari hanya menundukkan mukanya, akan tetapi Pujo mengangkat tangan memprotes.
"Bukan hanya engkau yang keliru, raden. Akupun telah melakukan perbuatan sesat dan jahat, menyerbu kadipaten ini, bersikap kurang patut terhadap gusti adipati, bahkan telah melakukan penculikan terhadap isteri dan puteramu Biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk mohon maaf sebesarnya, baik kepadamu terutama sekali kepada gusti adipati!"
"Aahhh... jangan menyebut gusti, anakmas Pujo. Sebut saja paman kepadaku, dan jangan minta maaf. Uggh-huhhuh...!"
Orang tua itu terbatuk-batuk, terengah-engah sehingga Roro Luhito cepat menghampiri ayahnya dan mengurut-urut punggungnya.
"Uuh-uh... anakmas Pujo, sesungguhnya semua peristiwa ini adalah akibat daripada kesalahanku sendiri! Aku telah mendengar semua, mendengar penuturan Wisangjiwo yang telah insyaf dan sadar, telah melempangkan jalan hidup yang bengkok yang kutempuh. Aku telah mendengar semua penuturan Roro Luhito dan penjelasan Sang Resi Telomoyo. maka jelaslah bahwa semua adalah akibat penyelewenganku dahulu... ugghh-uh. Aku... terlalu mabok akan kesenangan dunia seperti terbalik pandang mataku, seperti buta mata hatiku, gila kedudukan mabok kemuliaan sehingga aku bersekutu dengan manusia-manusia lblis..., percaya mulut manis si keparat jokowanengpati..."
Tiba-tiba Resi Telomoyo tertawa dan terdengarlah suaranya yang parau dan dalam,
"Ha-ha-ha-ha, semua yang bersalah mengakui kesalahannya! Alangkah baiknya hal ini Adalah lebih baik bersalah tapi mengakui kesalahannya dan bertobat penuh penyesalan, daripada tidak bersalah merasa bangga dan mengagungkan serta menyombongkan kebersihannya."
Mendengar ucapan ini, Wisangjiwo menoleh ke arah adik tirinya, berkata sambil menarik napas panjang,
"Roro, adikku yang baik, engkau sungguh bahagia mendapatkan seorang guru sebijak paman resi ini, tidak seperti aku..."
Kemudian ia menghampiri Pujo dan berkata,
"Adimas Pujo, setelah segala yang terjadi, dapatkah engkau benar-benar mengampuni aku? Bolehkah aku kini bertemu dengan puteraku?"
Suaranya tersendat oleh keharuan. Pujo mengerutkan keningnya.
"Tidak ada yang harus minta dan memberi ampun, raden..."
"Ah, adimas, mengapa. menyebut raden? Bukankah ayahku minta kau menyebut paman kepadanya? Kita bukan orang lain, ah, bagaimana dengan puteraku, Joko Wandiro yang menjadi, muridmu? Mana dia?"
"Maaf... kangmas Wisangjiwo Tanpa kusengaja aku mengecewakan semua keluargamu. Kami sendiri sebetulnya sedang mencari-cari Joko Wandiro dan Endang Patibroto, puteriku..."
Kemudian secara singkat Pujo menceritakan kehilangan dua orang anak itu Wisangjiwo merasa gelisah sekali dan ketika ia memanggil kepala pasukan, memberinya perintah untuk mengerahkan pasukan dari Kotaraja mencari dua orang anak yang hilang itu. Keadaan Adipati Joyowiseso amat payah. Bangsawan ini sudah tua dan lemah. Serbuan yang menghancurkan keluarganya, kemudian siksaan yang dideritanya, terlalu berat baginya. Biarpun Resi Telomoyo sudah berusaha sedapatnya untuk memberikan jamu-jamu yang berkhasiat, namun hasilnya sia-sia.
Tiga hari kemudian, dalam keadaan payah, berbaring di atas pembaringan dalam kamarnya, Adipati Joyowiseso memanggil kedua anaknya mendekat, dan minta supaya dipanggilkan Pujo, Kartikosari, dan juga Resi Telomoyo. Ketika Pujo dan isterinya memasuki kamar, mereka melihat Resi Telomoyo sudah berada di situ, duduk di bangku menggaruk-garuk tubuhnya. Wisangjiwo juga duduk di dekat pembaringan dengan wajah yang pucat dan muram, sedangkan Roro Luhito berlutut di dekat pembaringan sambil menangisi ayahnya. Adipati itu tampak kurus dan pucat sekali, akan tetapi matanya bersinar ketika ia melihat Pujo dan Kartikosari memasuki kamar. Pujo dan Kartikosari segera duduk menghadapi si sakit.
"Nakmas Pujo... ahhh..."
Si sakit berkata dengan napas terengah-engah dan agaknya ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat bicara. Telunjuknya menuding ke arah Wisangjiwo ketika. Ia menyambung,"...Aku... aku tidak khawatirkan dia ini... dia menghamba Pangeran Tua... akan tetapi..."
Ia terengah-engah, menoleh dan menyentuh kepala Roro Luhito yang berlutut di dekatnya.
"Akan tetapi dia ini, dia akan terlantar... aku... aku... menyerahkan dia kepadamu... anakmas... kau terimalah anakku... ini..."
Sang adipati tidak kuat melanjutkan lagi, merebahkan lagi kepalanya di atas bantal, napasnya terengah-engah, matanya dipejamkan setealah ia memandang ke arah Pujo dengan pandang mata penuh permohonan. Sunyi sejenak di kamar itu, kecuali isak tertahan Roro Luhito. Pujo bangkit dari bangku, bingung memandang ke sekeliling, memandang kepada wajah semua orang. Kartikosari hanya menundukkan muka.
"Ini... ini... bagaimana ini...?"
Ia menggagap, mukanya menjadi merah sekali. Ia memandang Wisangjiwo untuk minta bantuan. Wisangjiwo menggigit bibir dan mengangguk.
"Aku telah menyetujui, dan aku hanya mengharap kau akan suka memenuhi permintaan terakhir ayahku, adimas Pujo."
(Lanjut ke Jilid 17)
Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "
Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
"Akan tetapi... tetapi..."
Pujo sukar sekali mengeluarkan isi hatinya yang penuh keraguan. Ia memandang ke arah Roro Luhito, kemudian menoleh ke arah isterinya. Keadaan menjadi hening dan tegang.
Adipati Joyowiseso masih memandang ke arah Pujo, menanti jawaban penuh pandang memohon. Wisangjiwo juga menoleh ke arah Pujo. Kini Roro Luhito juga menggerakkan kepala, menoleh dan menatap wajah Pujo melalui tirai air mata. Namun Pujo tidak bergerak, tetap memandang kepada isterinya yang masih menundukkan muka. Agaknya pandang mata suaminya dan keadaan hening yang mencekam itu memaksa Kartikosari mengangkat muka memandang. Bertemulah pandang mata Kartikosari dengan sinar mata suaminya yang penuh dengan pertanyaan dan keraguan. Bibir yang merah itu merekah dalam senyum, pandang matanya penuh kasih dan rela, kemudian Kartikosari mengangguk memberi persetujuan kepada suaminya.
Dalam detik-detik itu pandang mata suami-isteri itu telah melakukan tanya jawab yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Pujo bernapas lega dan gerak-gerik mereka ini diikuti oleh pandang mata semua orang, termasuk pandang mata Roro Luhito. Kalau semua orang masih belum tahu apa makna semua itu, Roro Luhito sudah mengerti. Dengan isak tertahan ia meloncat, menubruk dan merangkul leher Kartikosari, kemudian melepas rangkulannya dan lari keluar dari kamar itu! Kartikosari tersenyum dan mengusap air mata Roro Luhito yang membasahi pipinya ketika puteri adipati itu tadi mengambungnya. Dengan anggukan kepala Kartikosari memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua keluar dari kamar itu mengejar Roro Luhito.
Roro Luhito duduk di atas sebuah bangku dalam taman sari, menyembunyikan mukanya dalam kedua tangan, menangis terisak-isak, sepasang pundaknya bergerak-gerak dan ia sama sekali tidak tahu betapa Pujo dan Kartikosari menghampirinya dari belakang dengan langkah perlahan, bergandengan tangan. Kartikosari berhenti, melepaskan tangan suaminya, lalu mendorong-dorong pundak suaminya ke depan. Pujo meragu, berat rasa hatinya harus menyapa Roro Luhito dalam keadaan seperti itu, di depan isterinya yang tercinta. Akan tetapi dengan isyarat pandang mata, gerak bibir dan dorongan-dorongan, Kartikosari membujuknya. Pujo melangkah ke depan sampai dekat. Roro Luhito. Dadanya berdebar, kerongkongannya serasa kering sehingga sukar sekali baginya mengeluarkan suara.
"...Diajeng..."
Akhirnya dapat juga ia bersuara.
Roro Luhito seketika berhenti terisak, tubuhnya tak bergerak, seakan-akan suara itu telah mencabut sukmanya. Kedua tangan masih menutupi muka, akan tetapi ia tidak menangis lagi, bahkan seakan tidak bernapas, agaknya tidak percaya akan mendengar suara Pujo. Pujo tadi sudah diajari isterinya bagaimana harus bicara kepada Roro Luhito, Kalimat itu sudah hafal olehnya, namun mulutnya sukar digerakkan, lehernya seperti tercekik. Tentu saja ia bukan seorang laki-laki yang lemah, bukan pula pemalu. Hanya karena Kartikosari berada di situ, hal inilah yang membuat ia merasa sungkan, malu, dan tak enak hati. Betapa ia dapat berkasih sayang dengan wanita lain di depan isterinya, wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya? Ia memaksa diri ketika melirik ke kiri dan melihat Kartikosari kembali mendorong-dorongnya dengan isyarat pandang mata dan gerak mulut.
"...Diajeng Roro Luhito, mengapa kau menangis? Kalau... kalau sekiranya diajeng tidak setuju dengan usul paman adipati... jangan khawatir, diajeng, aku... aku dapat membatalkan..."
Belum habis Pujo mengucapkan kalimat hafalan yang didekte oleh Kartikosari itu tiba-tiba Roro Luhito menangis lagi dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Pujo yang berdiri terlongong seperti patung penjaga alun-alun keraton!.
"Eh... nimas Sari... kalau sudah begini bagaimana ini...?"
Pujo tergagap bingung memandang isterinya dan menjaga keseimbangan tubuhnya agar jangan terguling karena kedua kakinya yang dirangkul itu mendadak menggigil!.
"Aduh, bodohnya laki-laki! Itu tandanya ia setuju!"
Kata Kartikosari menahan tawa. Mendengar suara ini, Roro Luhito terkejut. Tak disangkanya bahwa Kartikosari berada di situ pula. Ia mengangkat muka, lalu ia melepaskan kaki Pujo, serta-merta ia berlutut di depan Kartikosari, sambil menangis tersedu-sedu.
"Duhai Dewata yang mulia... betapa mungkin Roro Luhito berlaku serendah ini...?"
Roro Luhito menjerit lirih sambil menangis.
"Diajeng...!!"
Pujo dan Kartikosari berseru hamper berbareng karena kaget. Roro Luhito mengangkat muka memandang mereka. Muka yang merawankan hati, agak pucat, matanya merah, air matanya berderai-derai.
"Kakangmas... mbok ayu... kalian tentu tahu betapa cinta hatiku hanya tertuju kepada kakangmas Pujo. Aku rela mati demi cinta kasihku kepada kakangmas Pujo. Akan tetapi... kakangmas Pujo adalah suami mbok ayu Kartikosari yang begitu baik kepadaku... yang melepas budi kepadaku... betapa mungkin aku berlaku serendah ini, menyakiti hati mbok ayu Kartikosari...?"
Kartikosari terharu dan segera berlutut pula, merangkul Roro Luhito.
"Diajeng, kau keliru. Aku tahu betapa suci murni cinta kasihmu terhadap kakangmas Pujo, dan aku tahu pula betapa baik dan bersih hatimu terhadap aku. Tahukan engkau, diajeng, bahwa aku telah mengajukan syarat kepada kakangmas Pujo? Syaratku kepadanya, aku hanya mau bertugas sebagai isterinya kembali, melakukan kewajiban sebagai isteri yang melayani suami, hanya dengan syarat bahwa engkau harus menjadi maduku!"
Roro Luhito tersentak kaget, menjauhkan mukanya untuk dapat memandang wajah Kartikosari dengan jelas melalui air matanya, matanya dilebarkan. Kedua orang wanita itu saling pandang, keduanya mengeluarkan air mata dan akhirnya mereka berpelukan sambil menangis dan saling berciuman. Pujo yang masih berdiri itu hanya dapat memandang. Keningnya berkerut matanya termenung, mulutnya tersenyum-senyum bingung, dan melihat dua orang wanita itu berpelukan dan bertangisan, ia mengangkat pundaknya berkali-kali sambil meraba-raba kumisnya yang tipis. Tiba-tiba ia terperanjat ketika mendengar suara Kartikosari menegur,
"Kenapa kau berdiri seperti patung di situ, kakangmas?"
"Eh... habis... bagaimana ini... selanjutnya?"
Jawabnya gagap. Kartikosari menarik Roro Luhito bangkit berdiri. Dengan pipi masih basah Kartikosari tersenyum kepada suaminya.
"Apa kau tidak mau menerima diajeng Roro Luhito menjadi isterimu, kakangmas Pujo?"
Roro Luhito mengangkat muka pula, sepasang matanya memandang tajam kepada Pujo. Sepasang mata bintang, tajam jernih, indah! Pujo menelan ludah, sukar sekali menjawab pertanyaan yang diajukan isterinya seperti todongan ujung keris ini.
"Bagaimana? Kakangmas, seorang laki-laki harus berani mengambil keputusan tegas!"
Kartikosari menegur.
"Betul ucapan mbok ayu Kartikosari,"
Roro Luhito menyambung, suaranya juga tegas seperti suara Kartikosari.
"Kalau kakangmas merasa keberatan dan tidak tidak suka menerimaku, hendaknya berterus terang saja dan aku akan ikut dengan bapa resi guruku untuk menjadi seorang pertapa."
Ia menutup kata-katanya dengan isak ditahan. Kembali Pujo menelan ludah, kemudian ia menentang pandang mata kedua wanita itu, mengangkat dada dan menjawab lantang,
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku mau!!"
Jawaban ini dikeluarkan dengan suara yang amat lantang, terlalu lantang sehingga jelas tidak sewajarnya dan dibuat-buat untuk memberanikan hati. Keadaan ini amat lucu sehingga Kartikosari tidak dapat menahan ketawanya. Apalagi Roro Luhito, wanita yang pada dasarnya memang lincah dan gembira.
Karena kini hatinya penuh dengan kebahagiaan, menyaksikan sikap calon suaminya yang memang sejak sepuluh tahun yang lalu telah menjadi pujaan hatinya ini, tak dapat menahan kegelian hatinya. Ia memeluk Kartikosari, menyembunyikan mukanya dan tertawa sampai terpingkal-pingkal dengan air mata membanjir keluar!. Pujo berbesar hati. Tadi ia bingung menyaksikan dua orang wanita itu bertangis-tangisan. Akan tetapi sekarang menyaksikan wajah istennya penuh senyum yang manis dan cerah, melihat pula betapa Roro Luhitc tertawa-tawa sambil menyembunyikan muka karena malu-malu, ia menjadi bangga. Dengan langkah lebar ia mendekat. Hanya tiga langkah dan ia sudah berada di depan mereka, kedua lengannya dikembangkan dan dua orang wanita itu sudah berada dalam rangkulan dan pelukannya.
Dengan kedua lengannya yang kuat, ia memeluk dan mendekap mereka di atas dadanya. Kartikosari di dada kanan, Roro Luhito di dada kiri. Kedua wanita itupun meramkan mata sambil balas memeluk, menyembunyikan muka di atas dada yang bidang, merasa aman sentausa dan bahagia. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, tanpa bicara karena dalam saat seperti itu, kata-kata yang keluar dari mulut terlampau miskin untuk menyampaikan getaran rasa nikmat yang menggelora dan menggetar-getar dari dalam hati. Sebagai seorang wanita yang halus perasaannya, Kartikosari yang lebih dulu tergugah. Maklum betapa suaminya terbuai getaran cinta kasih yang menggelora, ia cepat berkata, suaranya halus tapi menekan,
"Kakangmas, kiranya cukuplah. Seorang satria harus teguh memegang janji. Belum tiba saatnya kita saling menumpahkan perasaan cinta kasih."
Pujo menarik napas panjang untuk menekan gelora hatinya yang benar-benar hamper terseret gelombang asmara yang amat hebat. Dengan kedua tangan di atas pundak kedua isterinya, ia mendorong mereka, menatap wajah mereka, lalu berkata,
"Sekali lagi aku berjanji bahwa sebelum musuh besar kita bertiga terbalas, aku akan menahan diri dan tidak akan menuntut hakku sebagai suami terhadap kalian, kedua isteriku yang terkasih."
"Wah, enak saja dia ini menyebutmu sebagai isterinya, diajeng!"
Kartikosari menggoda suaminya.
"Kakangmas Pujo, kau belum menjawab permintaan paman adipati. Beliau tentu menanti-nanti, hayo kau lekas ke sana memberikan jawabanmu."
Pujo meragu, memandang kepada Roro Luhito, seakan minta pertimbangan. Roro Luhito yang kini berseri-seri wajahnya sehingga menjadi makin cantik manis, mengangguk dan berkata,
"Betul pendapat mbok ayu Sari, kakangmas. kau harus memberi jawaban kepada ayah."
Kartikosari makin lebar senyumnya, matanya menggoda, tangan kirinya memeluk pinggang Roro Luhito. Pujo hendak membantah, namun menghadapi dua orang wanita yang sependapat ini, akhirnya ia menghela napas, mengangkat kedua pundak, membalikkan tubuh dan melangkah pergi sambil mengembangkan kedua lengan ke depan.
Wah, berat kalau begini, pikirnya di antara kebahagiaan hatinya. Kalau mereka berdua sudah bersatu padu, dia seakan-akan dihadapkan lawan yang luar biasa kuatnya. Ia tahu bahwa sejak saat itu, ia takkan dapat lagi merasa lebih tinggi dan lebih kuat daripada Kartikosari ataupun Roro Luhito yang agaknya telah membentuk persekutuan yang amat erat dan kuat. Berpikir demikian, Pujo meringis dan mempercepat langkahnya menuju ke dalam kadipaten, ke dalam kamar di mana Adipati Joyowiseso sudah menanti-nanti kembalinya. Tak tahu ia betapa Kartikosari dan Roro Luhito menutup mulut menahan ketawa melihat ia berjalan sambil mengembangkan lengan dan kepalanya bergeleng-geleng seperti itu!.
Dapat dibayangkan betapa lega dan girang Adipati Joyowiseso ketika Pujo menghadap dan menyatakan persetujuannya akan usul adipati itu tentang perjodohannya dengan Roro Luhito. Adipati Joyowiseso yang sudah tua dan keluarganya telah hancur berantakan itu merasa lega, karena sesungguhnya hanyalah keadaan puterinya ini yang menyusahkan hatinya. Seorang gadis yang sudah berusia dua puluh enam tahun, dinodai peristiwa aib karena perbuatan Jokowaneng pati yang terkutuk. Akan bagaimanakah jadinya kelak kalau tidak cepat-cepat dijodohkan dengan seorang yang patut menjadi suaminya? Dan menurut pendapatnya, tidak ada yang lebih tepat menjadi suami Roro Luhito kecuali Pujo, laki-laki gagah perkasa yang juga menjadi idaman hati anaknya itu. Atas desakan sang adipati, pernikahan dilakukan serentak tiga hari kemudian!
Upacara pernikahan yang amat sederhana, terlalu sederhana bagi puteri seorang adipati. Adipati Joyowiseso tidak mengundang bangsawan-bangsawan lain, bahkan tidak pula mengundang kenalan-kenalan lain dari luar Selopenangkep. Upacara pernikahan itu hanya disaksikan oleh hamba-hamba setia kadipaten, dan dihadiri pula oleh penduduk Selopenangkep yang tua dan yang penting saja. Karena tidak mempunyai keluarga yang tua, Pujo dan Kartikosari mohon pertolongan Resi Telomoyo untuk menjadi wali pengantin pria. Dengan senang hati resi tua itu meluluskan permintaan Pujo, sedangkan yang menjadi wali pengantin wanita adalah ayahnya sendiri. Adipati Joyowiseso mendadak tampak sehat kembali pada hari itu, mengenakan pakaian kebesaran dan wajahnya berseri gembira.
Akan tetapi pengantin wanita menangis penuh keharuan karena teringat akan ibunya yang tewas dalam penyerbuan kadipaten. Tertawa dan menangis! Dua macam keadaan yang berlawanan inilah yang berselang-seling memenuhi kehidupan manusia. Di saat ini tertawa gembira bersuka ria, di saat lain menangis sedih berduka cita. Dunia bagaikan panggung sandiwara dan manusia menjadi pelaku-pelaku, bahkan banyak muncul badut-ba dut setelah diperhamba nafsu dan perasaan. Ataukah. lebih tepat disebut bahwa dunia bagaikan rumah gila? Bahwa manusia adalah mahluk-mahluk gila yang saling menonjolkan kegilaannya agar kelihatan bahwa dialah yang paling gila daripada segala yang gila?? Manusia mudah tertawa, mudah menangis. Mudah bersuka, mudah berduka.
Pada umumnya apabila keinginannya terlaksana, muncul senyum suka Sebaliknya, apabila keinginannya tidak terlaksana, muncul tangis duka. Sedangkan semua keinginan itu berputar kepada keuntungan untuk dirinya sendiri, berlandaskan nafsu menyenangkan diri pribadi. Mengharap, dapat, tertawa. Mengharap, luput, menangis. Tawa tangis,menjadi kebiasaan manusia yang sudah tidak mampu menguasai d irinya sendiri, yang sudah menjadi hamba daripada nafsu sendiri. Tawa dan tangis adalah sepasang tangan dari badan yang satu. Tawa dan tangis adalah sepasang saudara kembar yang silih ganti bermunculan, saling berlomba untuk memperebutkan dan menguasai hati manusia.
Manusia yang sadar dapat menguasai mereka, di waktu suka berkunjung, dapat menjenguk dan melihat duka berdiri di ambang pintu, siap menanti gilirannya, dan demikian pula sebaliknya. Karenanya, seorang manusia yang sadar selalu akan tenang dan menerima segala kejadian di dunia yang menimpa dirinya sebagai kejadian yang wajar, yang semestinya dan yang tak dapat ia robah atau halangi seperti munculnya sang matahari Matahari muncul dan terjadilah panas terik. Ini sudah wajar. Sudah semestinya. Tidak ada suka, tidak ada duka, tidak ada tawa tidak ada tangis. Manusia sadar dapat menerima kewajaran ini sebagai kenyataan yang mengandung anugerah,dapat memetik manfaat daripadanya.
Mata seorang sadar dapat melihat bahwa di balik panas terik yang menyengat dan menghangus kan, terciptalah keteduhan nikmat di bawah pohon yang rindang! Melihat nikmat dalam nyeri, mengenal nyeri dalam nikmat. Mengenyam manis dalam pahit, merasai pahit dalam manis. Mencium ganda busuk dalam harum, mengenal harum dalam ganda busuk! Bahagialah selalu manusia yang sadar!. Hanya tiga hari kemudian semenjak upacara pernikahan, Adipati Joyowiseso menghembuskan napas terakhir, diiringi tangis Roro Luhito dan Wisangjiwo. seperti juga pada upacara pernikahan antara Roro Luhito dan Pujo, upacara pemakaman sang adipati dilakukan dengan sederhana, dilayat oleh mereka yang tiga hari yang lalu menjadi tamu dalam upacara pernikahan!.
Kalau dalam pertemuan pertama, Roro Luhito merupakan penghibur bagi Pujo dan Kartikosari sehingga dalam perjalanan mereka itu terdapat kegembiraan, adalah kini kedua orang inilah yang selalu menghibur Roro Luhito. Setiap hari tampak Roro Luhito dihibur oleh Pujo dan Kartikosari di dalam taman sari. Sebagai pengantin baru, sudah sepantasnya Pujo berlangen asmoro dengan kedua isterinya di dalam taman indah. Melihat mereka bertiga bermesra-mesraan di dalam taman, tentu semua orang akan menyangka demikian. Mengira Pujo berbulan madu dengan Roro Luhito, ditemani Kartikosari sebagai isteri pertama yang penuh toleransi! Perkiraan ini membuat para pelayan tersenyum-senyum, membuat para dayang saling cubit menahan tawa, mengeriing penuh arti.
Padahal sesungguhnya, Pujo dan Kartikosari hanyalah menghibur hati Roro Luhito agar jangan terlalu dikuasai kedukaan. Mereka bertiga adalah orang-orang gemblengan yang tahan uji, tidak akan mudah dikuasai nafsu. Sekali dalam hati berjanji, sampai matipun akan dipegang teguh janji ini. Sebagai seorang laki-laki yang sehat, tentu saja sumpah atau janji mereka itu terasa amat berat. Kedua isterinya demikian ayu, demikian denok, dan bersikap mesra penuh kasih kepadanya. Ia harus mempergunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membendung hasrat hendak mencurahkan seluruh kasih saying dan rindu dendamnya kepada kedua isterinya, terutama sekali kepada Kartikosari. Namun, Pujo memaksa diri mempertahankan, karena ia kini maklum akan keadaan hati kedua isterinya.
Sebagai wanita-wanita utama, tentu saja mereka akan merasa rendah diri melayani suami sebagai isteri-isteri tercinta, apabila Jokowanengpati yang mendatangkan aib dan noda itu belum tewas di depan kaki mereka!. Sementara itu, Raden Wisangjiwo dibantu oleh Resi Telomoyo keluar dari kadipaten dan memimpin sendiri anak buahnya dalam usahanya mencari Raden Joko Wandiro, puteranya, dan Endang Patibroto, puteri Pujo. Namun hasilnya sia-sia belaka. Setiap kali kembali ke kadipaten, wajah Wisangjiwo makin keruh dan pucat. Namun segera ia berangkat lagi mencari ke lain jurusan. Sebulan kemudian, utusan yang disuruh berangkat ke Kotaraja memberi laporan kepada Pangeran Sepuh tentang keadaan Kadipaten Selopenangkep, telah tiba kembali di kadipaten.
Mereka membawa berita yang mengejutkan, yaitu bahwa perang telah terjadi secara terbuka antara pasukan Pangeran Sepuh dan pasukan-pasukan pengikut Pangeran Anom! Wisangjiwo juga dipanggil ke Kotaraja oleh Pangeran Sepuh karena perang saudara itu membutuhkan bantuan sebanyaknya. Juga utusan itu membawa berita bahwa di antara panglima yang membantu Pangeran Anom, terdapat senopati Jokowanengpati yang terkenal pandai mengatur pasukan dan sakti. Panas sekali hati Wisangjiwo mendengar ini. Hatinya sedang risau karena usahanya mencari Joko Wandiro belum juga berhasil. Kini mendengar tentang Jokowanengpati, ia marah sekali dalam hati. Puteranya hilang adalah karena kebiadaban Jokowanengpati, demikian kata hatinya. Ia lalu menemui Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo.
"Aku harus berangkat segera ke Kotaraja,"
Katanya.
"Kalau perang antara kedua pangeran telah pecah, berarti perang saudara yang hebat. Pangeran Anom dibantu oleh banyak orang sakti seperti Cekel Aksomolo, Ni Durgogini, Ni Nogogini, Ki Warok Gendroyono, Ki Warok Krendoyakso dan anak buahnya yang buas. Juga Jokowanengpati si keparat merupakan tangan kanan Pangeran Anom. Oleh karena itu, kalau saja kalian bertiga, juga paman Resi Telomoyo suka, saya minta dengan hormat agar supaya ikut pula ke Kotaraja. Membantu Pangeran Sepuh berarti membantu keturunan Mataram. Pangeran Sepuh adalah putera Sang Dewi Sekarkedaton, cucu mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, berdarah Mataram aseli. Akan tetapi Pangeran Anom adalah pangeran yang berdarah keturunan Sriwijaya! Bukan tidak mungkin kalau Pangeran Anom yang menguasai Kahuripan, kelak kita semua akan menjadi orang jajahan Sriwijaya. Andaikata andika sekalian tidak tertarik akan hal ini, juga dengan membantu Pangeran Tua berarti menentang Pangeran Muda yang mempergunakan tenaga orang-orang jahat, berarti kita telah melakukan dharma satria membasmi kejahatan."
"Kakangmas Wisangjiwo. Hal-hal lain tidak menarik hati kami bertiga, akan tetapi dengan adanya si keparat Jokowanengpati di sana, kami bertiga tentu saja akan berangkat pula ke sana. Kalau dia membantu Pangeran ,Anom, dengan sendirinya kami akan membantu lawannya, yaitu Gusti Pangeran Sepuh,"
Kata Pujo dan kedua orang isterinya mengangguk-angguk tanda setuju.
"Bagaimana dengan paman Resi Telomoyo?"
Wisangjiwo bertanya penuh harapan, matanya menyinarkan kegirangan karena Pujo bertiga ikut pula membantu Pangeran Sepuh. Tenaga tiga orang ini amat hebat dan berguna dalam perlawanan menghadapi orang-orang sakti yang membantu Pangeran Anom.
"Hemmm, aku sudah tua, raden. Aku tidak suka akan perang bunuh membunuh antara manusia memperebutkan kemenangan. aku tidak butuh kemewahan, tidak pula butuh pahala. Akan tetapi, kalau pertapa-pertapa seperti Cekel Aksomolo dan yang lain-lain itu meninggalkan pertapaan mengejar keduniaan mengandalkan kesaktian, tentu keadaan akan menjadi miring dan berat sebelah. Terpaksa akupun harus turun tangan menghalangi mereka. Mari kita berangkat!."
Girang hati Wisangjiwo mendengar ini dan ia tertawa melihat kakek itu menjadi bersemangat dan tergesa-gesa.
"Harap paman resi bersabar karena saya masih menanti kembalinya pasukan yang saya utus pergi menjemput isteri saya di dusun Selogiri."
"Hahh? Selogiri di lereng timur Gunung Lawu?"
Resi Telomoyo bertanya.
"Betul, paman."
Wisangjiwo menarik napas panjang penuh penyesalan."Semua gara-gara Jokowanengpati..."
Ia melirik ke arah Pujo.
"Saya tertipu muslihatnya, mempercaya mulutnya. Karena kehilangan Joko Wandiro isteri saya Listyokumolo seperti berubah ingatannya. Saya... saya tadinya menyangka buruk terhadap adimas Pujo sehingga saya pulangkan isteri saya itu kepada ayahnya, lurah Selogiri. Saya menyesal, paman, dan sekarang saya menyuruh pasukan menjemputnya, akan saya ajak bersama ke Kotaraja. Kasihan isteri saya..."
Wisangjiwo termenung.
"Ahh, saya mengaku salah alamat, saya telah menjadi seekor binatang buas, merampas puteramu sehingga membuat isterimu menjadi berduka"
"Sudahlah, dimas. Semua telah terjadi dan semua mempunyai kesalahan. Tinggal sekarang kita merobah segala kesalahan yang lalu. Mudah-mudahan saja nimas Listyokumolo sudah sembuh dan suka mengampunkan aku."
Dua hari kemudian datanglah pasukan yang ditunggu-tunggu.
Wajah Wisangjiwo menjadi muram karena tidak melihat isterinya bersama mereka. Apalagi setelah ia mendengar laporan kepala pasukan, ia menjadi berduka sekali. Kiranya, menurut hasil penyelidikan pasukan itu, tidak lama semenjak Listyokumolo pulang ke dusun Selogiri, dusun itu dilanda malapetaka. Sekelompok perampok menyerbu Selogiri. Biarpun lurah Selogiri, ayah Listyokumolo, bersama para penduduk melakukan perlawanan, namun tidak kuat mereka menghadapi para perampok. Lurah Selogiri tewas, banyak penduduk laki-laki yang tidak sempat melarikan diri dibunuh, dusun dibakar dan banyak wanita terculik. Di antaranya, Listyokumolo dibawa lari oleh kepala rampok! Melihat kakaknya berwajah pucat dan menjambak-jambak rambut penuh penyesalan, Roro Luhito memegang pundak kakaknya sambil menangis.
"Kasihan nasib kangmbok Listyokumolo..."
Wisangjiwo menghela napas dan menengadahkan kepalanya.
"Duh Dewata yang Agung, inikah hukumanku? Biarlah, Luhito, biar impas semua dosaku, karena tiada kejahatan tanpa hukuman dan kalau kuingat akan kelakuanku yang lalu, sungguh belum seberapa hebatnya hukuman ini. Mari, adikku, mari kita berangkat, mari kita mencari si jahanam Jokowanengpati, biang keladi segala peristiwa pahit ini!"
Setelah meninggalkan sepasukan penjaga untuk menjaga Kadipaten Selopenangkep, berangkatlah mereka, Wisangjiwo, Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo berkuda, diiringkan pasukan yang kesemuanya berkuda. Biarpun wajahnya membayangkan kebesaran semangat dan kegembiraan seorang perajurit yang siap bertempur namun di dalam hatinya, Wisangjiwo menangisi isterinya.
Teringat ia sekarang akan segala derita yang dialami Listyokumolo. Betapa dahulu, Listyokumolo gadis dusun yang cantik jelita dan bahagia itu terpaksa menyerah kepadanya dan hidup di dalam Kadipaten Selopenangkep. Betapa Listyokumolo dengan sepenuh jiwanya berusaha menyesuaikan diri, berusaha mencinta suaminya dan betapa Listyokumolo selalu bersabar digoda tingkah laku suaminya yang selalu mengejar-ngejar wanita cantik. Teringat ia betapa kejam hatinya, tidak kasihan melihat isterinya seperti gila kehilangan putera, tidak menghiburnya malah mengusirnya pulang ke Selogiri! Kalau sekarang ia teringat betapa akan celaka nasib isterinya itu diculik kepala perampok, hatinya terasa ditusuk-tusuk ujung keris berbisa.
Ia berjanji di dalam hati bahwa setelah selesai perang dan masih hidup, ia akan menggunakan sisa usianya untuk mencari isterinya, mencari Listyokumolo sampai dapat dan kalau isterinya itu sudah mati, ia akan membalas mereka yang menyakiti isterinya, terutama kepala perampok itu!. Pujo dan Kartikosari sama sekali tidak tahu bahwa pada saat mereka berangkat mengikuti Wisangjiwo bersama Roro Luhito dan Resi Telomoyo menuju ke Kotaraja, terjadi penyerbuan di Pulau Sempu terhadap Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo. Sama sekali tidak tahu betapa hamper saja Resi Bhargowo tewas oleh pengeroyokan jago-jago utusan Pangeran Anom yang ingin merampas pusaka Mataram. Juga tidak tahu betapa dua orang anak yang mereka cari-cari selama ini berada pula di Pulau Sempu dan dengan adanya penyerbuan menjadi cerai-berai.
Seperti kita ketahui, Endang Patibroto bertemu dengan seorang manusia yang luar biasa saktinya, ialah Dibyo Mamangkoro bekas senopati Kerajaan Wengker. Endang Patibroto kemudian ikut pergi dengan Dibyo Mamangkoro sebagai muridnya, pergi ke sebuah pulau yang pada waktu itu merupakan pulau gawat,
Penuh dengan iblis bekasakan sehingga terkenal sebagai tempat yang disirik (pantang) orang karena kabarnya orang yang masuk ke pulau itu tentu akan tewas dan tidak dapat keluar kembali. Bahkan para nelayan tidak ada yang berani mendekatkan perahu ke pulau itu di waktu mereka mencari ikan. Pulau itu bukan lain adalah Pulau Nusakambangan!. Dibyo Mamangkoro manusia yang wataknya seperti bukan manusia lagi itu, seorang sakti mandraguna yang sukar dicari tandingannya, tidak mempunyai putera maupun keluarga lain. Semua keluarga terbasmi habis ketika Kerajaan Wengker di mana ia mengabdi hancur dalam perang melawan Kahuripan sehingga ia sendiri melarikan diri dan bersembunyi di Nusakamba ngan.
Kini melihat Endang Patibroto, ia merasa amat suka. Anak perempuan ini memiliki dasar watak yang liar, ganas dan tidak pernah mau kalah, sebuah watak yang cocok dengan watak Dibyo Mamangkoro. Selain itu, anak ini memiliki tubuh yang amat baik, tulang seorang calon pendekar sakti. Di samping ini semua, Endang Patibroto pandai mengambil hati dan anak ini sendiripun suka berlatih ilmu serta rajin. Inilah sebabnya mengapa Dibyo Mamangkoro melakukan hal yang selama hidupnya belum pernah ia lakukan, yaitu, mengambil murid dan setiap hari tekun melatihnya dengan rasa kasih saying yang makin mendalam sehingga Endang Patibroto dianggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri. Kakek yang sakti mandraguna ini mengambil keputusan untuk menurunkan dan mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Endang Patibroto!.
Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang bertahun-tahun digembleng oleh Dibyo Mamangkoro, seakan-akan mereka berdua itu sudah terputus hubungannya dengan dunia ramai, hanya berteman binatang-binatang buas dan hutan lebat.
* * *
Mari kita ikuti perjalanan Joko Wandiro yang meninggalkan Pulau Sempu dalam keadaan pingsan. Joko Wandiro menjadi korban gigitan ular kecil berwarna hijau ketika ia menyembunyikan patung kencana ke atas pohon randu alas. Mula-mula, kakinya yang digigit, kemudian pergelangan lengan kanannya. Biarpun ia sendiri dapat membunuh ular itu dengan menggigit lehernya dan mengisap darahnya, namun racun ular membuat Joko Wandiro menggeletak pingsan ketika ia ditemukan Ki Tejoranu yang kebetulan datang pula ke Pulau Sempu karena kakek pertapa dari Danau Sarangan ini diam-diam mengikuti gerak-gerik Jokowanengpati dan teman-temannya.
Melihat betapa bocah yang pernah menolongnya dan yang dianggap sebagai tuan penolongnya itu menggeletak pingsan dan setelah memeriksa ia maklum bahwa Joko Wandiro menjadi korban gigitan ular berbisa, Ki Tejoranu cepat mengangkat tubuh Joko Wandiro dan membawanya pergi dari Pulau Sempu. Ketika menyeberangi laut menuju ke darat, Ki Tejoranu cepat menotok jalan darah di lutut dan siku untuk mencegah racun ular menjalar makin jauh ke tubuh Joko Wandiro. Kemudian, setibanya di darat, ia memondong tubuh anak itu dan segera membawanya ke dalam hutan. Tubuh Joko Wandiro amat panas! Ki Tejoranu segera mencari daun-daun obat. Untung bahwa bumi Pulau Jawa amatlah lohjinawi, tidak saja subur menumbuhkan bahan makan yang berlimpah-ruah, juga menjadi tempat hidup segala macam daun-daun berkhasiat obat mujarab.
Dengan tergesa-gesa Ki Tejoranu mengumpulkan daun Sambiloto daun Jintan, daun Ketumbel, dan daun Ngokilo, memasaknya dan menuangkan jamu ini ke dalam tenggorokan Joko Wandiro yang masih pingsan. Ia merasa heran mendapat kenyataan ketika ia minumkan jamu itu bahwa tubuh Joko Wandiro tidaklah panas lagi dan napasnya tidak terengah-engah seperti tadi. Kakek ini tidak tahu bahwa secara kebetulan Joko Wandiro telah minum obat yang cukup manjur, yaitu darah ular itu sendiri!. Kemudian Ki Tejoranu masuk ke dalam hutan lagi dengan gerakan amat cepat. Tak lama ia mencari-cari dan ketika kembali, ia sudah membawa obat-obat yang ia perlukan, yaitu bawang putih, jeruk pecel, dan madu tawon. Ramuan obat ini ia pakai untuk mengompres luka di kaki dan pergelangan lengan bekas gigitan ular.
Penuh ketekunan kakek ini merawat Joko Wandiro sehingga dalam waktu tiga hari saja anak itu telah sembuh sama sekali. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Joko Wandiro siuman. Ia membuka mata dan terheran-heran mendapatkan dirinya berada dalam sebuah gubuk kecil terbuat daripada bambu dan daun kelapa, rebah di atas tanah bertilam anyaman daun kelapa. Joko Wandiro terheran-heran, apalagi ketika ia bangkit dan berdiri, ia merasa betapa perutnya hangat dan di dalam dadanya terasa getaran-getaran tarik-menarik yang aneh. Sebagai murid dari orang-orang sakti, ia maklum betapa di dalam tubuhnya terdapat tenaga mukjijat yang dihimpun dari hawa sakti. Setiap orang manusia memiliki hawa sakti ini, hanya tidak setiap orang tahu bagaimana untuk menghimpun dan mempergunakannya.
Justeru kepandaian menghimpun hawa sakti inilah yang amat sukar dipelajari, membutuhkan ketekunan dan latihan serta gemblengan guru-guru yang sakti, membutuhkan cara bersamadhi dan latihan pernapasan yang matang. Biarpun Joko Wandiro sudah maklum akan cara-caranya, namun ia belum matang berlatih dan karenanya ia merasa amat heran mengapa kini hawa sakti di dalam tubuhnya menimbulkan getaran-getaran sedemikian hebatnya!. Kemudian ia teringat betapa ia tergigit ular dan betapa dengan ketakutan ia berlari-lari sambil memanggil kakek gurunya. Teringat akan ini, ia terkejut dan cepat memandang pergelangan tangan kanannya. Sudah sembuh sama sekali! Juga kakinya yang tergigit ular tidak ada bekasnya lagi. Ia merasa heran dan bingung. Sambil melompat keluar dari dalam gubuk kecil itu ia berseru memanggil.
"Eyang guru...!!"
"Eh, kau sudah bangun? Sudah sembuh...??"
Seruan girang ini membuat Joko Wandiro cepat membalikkan tubuh. Ki Tejoranu telah berdiri di depannya. Wajah kakek ini berseri, matanya memancarkan kegembiraan.
"Bukankah paman ini Ki Tejoranu? Di mana kita dan bagaimana aku bisa sampai di sini?"
Dengan singkat Ki Tejoranu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa ia melihat rombongan Jokowanengpati mendarat di Sempu, kemudian bagaimana ia menemukan Joko Wandiro dalam keadaan pingsan digigit ular hijau.
"Untung sekali tubuhmu amat kuat dan darahmu bersih sehingga racun ular tidak merenggut nyawamu,"
Sebagai penutup cerita Ki Tejoranu berkata. Biarpun dalam bercerita itu ia bicara dengan suara pelo, namun cukup jelas bagi Joko Wandiro yang menjadi terharu dan berterima kasih sekali. Bocah yang tahu akan sopan santun dan kenal akan budi ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Ki Tejoranu, menyembah sambil menghaturkan banyak berterima kasih. Tergesa-gesa Ki Tejoranu membangunkan Joko Wandiro.
"Wah, tidak usah begitu, anakku yang baik. Perbuatanku mengobatimu itu sama sekali tidak ada altinya dengan pelbuatanmu membelaku di hadapan lawan-lawan tangguh. kau menolongku dengan taluhan keselamatan dilimu sendili, sebaliknya aku menolongmu tanpa taluhan apa-apa. Tak usah kau belterima kasih, kalena hutangku kepadamu belum juga lunas."
"Paman, bagaimana jadinya dengan eyang guru?"
"Eyang gulu? Siapa yang kau maksudkan?"
"Eyang guru adalah Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo. Beliau berada di atas Pulau Sempu ketika aku digigit ular dan... dan... Endang Patibroto juga berada di sana."
"Endang Patibroto??"
"Ya, anak kecil, cucu eyang guru. Apakah mereka masih berada di sana?"
Ki Tejoranu termenung Ia terkejut juga mendengar bahwa yang berada di Pulau Sempu adalah Resi Bhargowo. Kini mengertilah ia bahwa Jokowanengpati dan rombongannya itu tentu hendak membunuh Resi Bhargowo dan kabarnya hendak merampas pula pusaka Mataram! Tak disangkanya bahwa bocah ini, penolongnya yang amat disayangnya, adalah cucu murid Resi Bhargowo! Kemudian ia teringat akan tokoh luar biasa yang melayang di permukaan laut, bersama seorang anak perempuan.
"Apakah anak perempuan itu sebaya denganmu, bajunya hijau, rambutnya panjang dikucir, mukanya tajam seperti bintang?"
"Ya,ya... dialah Endang Patibroto."
"Hemmm, dan Resi Bhargowo itu, apakah seorang kakek tinggi besar seperti raksasa, kumisnya sekepal sebelah, tanpa baju, kepandaiannya seperti dewa, pandai terbang dan berlari di permukaan laut?"
Joko Wandiro menggeleng kepala.
"Eyang guru Resi Bhargowo adalah seorang kakek yang halus dan sama sekali bukan seperti raksasa. Beliau memang sakti mandraguna, akan tetapi... terbang dan berlari di permukaan laut... kurasa... entah bisa atau tidak..."
"Anak yang baik, kau bilang masih cucu murid Resi Bhargowo. Siapakah gurumu?"
"Guruku adalah ayahku sendiri, paman."
"Dan ayahmu, siapa dia?"
"Ayah bernama Pujo."
"Hayaaaaa...!"
Ki Tejoranu meloncat kaget."Ayahmu... Pujo??"
"Betul, kenapa, paman?"
"Ah, betapa kebetulan sekali! Bukankah ayahmu itu orang gagah yang pernah membantu Ki Patih Narotama ketika dikeroyok oleh Cekel Aksomolo dari teman-temannya dalam hutan di muara Sungai Lorog?"
"Betul. Ayahkulah yang dahulu di sana melawan paman sendiri. Aku juga melihat betapa paman tidak mau berkelahi dengan keroyokan kemudian ketika ayah datang, paman menghadapi ayah."
"Oohh-oh-ahh...! kau melihat pula hal itu? Ayahmu hebat, seorang manusia sakti mandraguna. Pukulanpu-kulannya ampuh melebihi golokku! Kalau ayahmu murid Resi Bhargowo sudah sedemikian hebat kepandaiannya, tentulah ilmu kepandaian eyangmu itu amat tinggi. Dengan demikian,belum tentu beliau akan celaka di tangan Jokowanengpati dan teman-temannya. Akan tetapi kakek raksasa itu... ihh, ngeri dan serem hatiku kalau mengingatnya. Entah siapa dia, akan tetapi aku melihat dia masuk pulau bersama anak kecil temanmu itu, Endang Patibroto."
Joko Wandiro terheran.
"Aku sendiri belum pernah melihat kakek yang paman maksudkan tadi."
"Anak baik, siapakah namamu?"
"Aku Joko Wandiro, paman."
Tiba-tiba Ki Tejoranu terpekik dan sekali tubuhnya berkelebat ia lenyap dari depan Joko Wandiro. Anak ini kaget sekali, cepat menengok dan kiranya kakek itu sudah berada jauh di belakangnya sehingga diam-diam ia amat kagum akan kecepatan gerak kakek ini.
"Ada apakah, paman?"
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo