Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 21


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



Tak seorangpun di antara para perajurit kedua fihak dapat menerangkan ke mana perginya kedua orang wanita itu dan mengapa pula merampas kuda dan tergesa-gesa pergi ke selatan. Agaknya mereka mengejar Jokowanengpati, pikir Pujo. Tidak ada lain hal yang akan dapat membuat kedua isterinya itu pergi begitu saja tanpa memberi tahu kepadanya, kecuali kalau mereka melihat Jokowanengpati dan mengejarnya. Kekhawatiran akan keselamatan kedua isterinya membuat Pujo lupa akan kelelahannya. lapun lalu mencari seekor kuda. Sebagai seorang pembantu Pangeran Sepuh, tentu saja para perajurit mengenalnya dan mudah saja ia memperoleh seekor kuda yang baik.

   Tak lama kemudian, kembali seekor kuda membalap di atas jalan menuju ke selatan itu. Setelah memberi nasehat banyak kepada kedua orang puteranya, akhirnya Sang Resi Jatinendra atau Resi Gentayu, mengambil keputusan untuk membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian. Raja sakti yang telah menjadi pertapa yang bijaksana dan waspada ini dengan hati prihatin dapat melihat bahwa betapapun ia memberi wejangan-wejangan, takkan dapat melenyapkan rasa dendam dan iri di dalam hati kedua orang puteranya, terutama di dalam hati Pangeran Anom. Sang Resi Jatinendra yang sudah awas pandangan batinnya dan dapat meraba dengan rasa ke arah masa depan menjadi trenyuh dan nelangsa.

   "Manusia berusaha, namun Hyang Wisesa yang menentukan,"

   Keluhnya di dalam hati,"namun aku akan kesiku (terkutuk) kalau sebagai manusia aku tidak melakukan usaha sedapat mungkin yang sudah menjadi kewajiban manusia."

   Pertapa ini maklum bahwa usaha satu-satunya yang dapat ia lakukan untuk mencegah perebutan, hanyalah dengan jalan membagi Kerajaan menjadi dua bagian dan diberikan kepada kedua orang puteranya. Tentu saja hal ini berlawanan dengan politiknya sebagai Raja dahulu. Dahulu Sang Prabu Airlangga berpendirian bahwa tanpa penyatuan seluruh Nusantara, kemakmuran takkan dapat tercapai karena selalu akan terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan di antara para adipati dan Raja-raja kecil. Karena pendirian inilah maka ketika Resi Jatinendra masih menjadi Raja, tiada hentinya ia melakukan usaha perluasan wilayah, menaklukkan Kerajaan-Kerajaan kecil sehingga akhirnya Kerasan Kahuripan terkenal sebagai Kerajaan yang menegakkan kembali pemerintahan yang wilayahnya seluas Kerajaan Mataram yang lalu.

   Akan tetapi kini demi untuk mencegah meluasnya perang saudara, Sang Resi Jatinendra terpaksa membagi wilayah Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian untuk dibagi rata di antara kedua puteranya berlainan ibu yang sudah bersiap untuk saling menghancurkan dalam perebutan kekuasaan! Di dalam hatinya bekas Raja besar ini maklum bahwa kebenaran ada pada puteranya yang tua, namun kasih sayang sebagai ayah membuat ia condong kepada putera yang muda. Sebetulnya, keputusan Sang Prabu Airlangga untuk membagi kerajaen menjadi dua ini, amat tidak disetujui oleh Narotama, Patih yang menjadi sahabat sejak kecil, bahkan diakui sebagai kakak sendiri. Sang Patih Narotama yang dalam hal kebijaksanaan dan kewaspadaan hanya sedikit selisihnya dengan Sang Prabu Airlangga yang juga menjadi saudara seperguruannya,

   Maklum bahwa usaha Sang Prabu Airlangga ini bukan merupakan jalan keluar yang baik! Hanya merupakan penyanggah perang untuk sementara waktu saja. Bukankah dengan pembagian Kerajaan menjadi dua maka sang prabu telah menciptakan dua buah Kerajaan yang sama besar dan sama kuat, yang berdiri berhadapan bagaikan dua ekor harimau saling berlaga mengadu kekuatan? Bukankah perang saudara yang terjadi di alun-alun itu hanya merupakan pertikaian di antara dua saudara sehingga merupakan perang kecil terbatas antara dua pasukan pengawal, sedangkan perang antara dua buah Kerajaan besar merupakan perang besar-besaran yang mengerikan dan jauh lebih celaka akibatnya daripada perang antara kakak dan adik?.

   Terjadi perbantahan antara Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama dan akibatnya, Ki Patih Narotama tidak diperkenankan mencampuri urusan yang oleh Sang Prabu Airlangga disebut urusan dalam antara seorang ayah dan para puteranya!. Bahkan tak diperkenankan hadir dalam upacara pembagian Kerajaan! Sesungguhnya bukan sekali-kali Sang Prabu Airlangga marah kepada Ki Patih Narotama, melainkan ia maklum bahwa kalau ia membiarkannya saja, Narotama tentu akan turun tangan membela Pangeran Sepuh dan kalau hal ini terjadi, sebagai seorang ayah tentu ia merasa tidak enak kalau harus berat sebelah. Di lain fihak, Narotama yang sudah berjanji takkan mencampuri urusan antara kedua putera sang prabu, lalu menyembah dan berkata,

   "Kalau begitu, perkenankanlah hamba mengundurkan diri selaku Patih. Selama hamba masih menjadi punggawa Kahuripan, betapa mungkin hanya akan mendiamkan saja kalau melihat Kahuripan terancam perpecahan? Lain halnya kalau hamba sudah bukan punggawa lagi, melainkan menjadi seorang pertapa."

   "Kakang Narotama! kau hendak menjadi pertapa??"

   Melihat wajah junjungannya yang kaget itu, Narotama tersenyum.

   "Paduka sendiri meninggalkan singgasana, meninggalkan kebesaran dan kemuliaan seorang Raja dan mengundurkan diri menjadi pertapa, mengapa hamba tidak menauladan contoh paduka yang amat baik ini? Kerajaan akan dipecah menjadi dua, sebaiknya Gusti Pangeran Sepuh dan Gusti Pangeran Anom memilih pembantu masing-masing dan hamba lepas tangan, melepaskan diri dari dunia ramai, menikmati keadaan kosong sunyi, bersih daripada angkara murkanya nafsu. Hamba pamit, mohon diri, gusti."

   Resi Jatinendra turun dari tempat duduknya lalu menghampiri Ki Patih yang bersimpuh di depannya. Dirangkulnya Narotama dan suaranya terharu ketika bersabda,

   "Duh kakang Narotama. Betapa girang hatiku mendengar aturmu. Agaknya engkaupun dapat menginsyafi betapa beginilah sebaiknya. Kita sudah tua, kakang. Kita harus melepas tangan setelah melakukan ikhtiar sekuasa kita. Biarkanlah apa yang akan terjadi, terjadi seperti yang dikehendaki Sang Hyang Wisesa, kakang Narotama!"

   "Betul, yayi. Betul sekali. Ampunkan kekhilafan hamba yang sudah-sudah."

   "Engkau akan bertapa di mana, kakang?"

   "Paduka maklum, hamba takkan pernah dapat meninggalkan paduka. Oleh karena itupun, hamba takkan jauh dari Jalatunda, yayi."

   "Bagus, kakang. Berangkatlah, dan jangan lupa, kau didiklah baik-baik si Joko Wandiro."

   Demikianlah, Narotama berpisah dari junjungannya dan tidak menyaksikan pembagian Kerajaan Kahuripan, karena hal ini serupa dengan memecah jantungnya menjadi dua.

   Dahulu, bertahun-tahun dialah yang berjuang menyatukan wilayah-wilayah itu, dengan pengorbanan darah dan peluh. Bagaimana kini ia tega menyaksikan segala jerih payahnya itu dihancurkan, bukan oleh orang lain, melainkan oleh keturunan junjungannya sendiri? Dengan hati berat Narotama lalu mengajak Joko Wandiro meninggalkan Jalatunda, memilih tempat bertapa yang cocok di antara guha-guha yang banyak terdapat di pegunungan sekitar Gunung Bekel. Biarpun maklum sedalamnya bahwa usaha manusia itu tak mungkin merobah jalannya jangka yang ditentukan Hyang Wisesa, namun Sang Prabu Airlangga berusaha keras untuk bertindak sebaik-baiknya. Pembagian wilayah Kerajaan yang dilakukan dalam usaha mencegah perang saudara ini dilakukan dengan upacara besar-besaran,

   Sengaja oleh Sang Prabu Airlangga didatangkan semua pembesar, punggawa, pendeta dan orang-orang terkemuka di seluruh Kerajaan agar mereka Ini menjadi saksi. Semua ini dilakukan dalam rangka usahanya agar kewajibannya sebagai ayah yang adil terpenuhi. Pimpinan upacara pembagian wilayah Kerajaan Rahuripan ini diserahkan kepada Empu Bharodo yang terkenal sebagai seorang kakek sakti yang amat setia kepada Kahuripan, terkenal pula akan kejujuran dan kebersihan hatinya, juga akan kesaktiannya. Berkat kebijaksanaan Empu Bharodo yang dibantu oleh adik seperguruannya, Resi Bhargowo, pembagian wilayah Kerajaan Kahuripan ini dilakukan dengan sempurna dan seadil-adilnya. Akan tetapi, manusia takkan terlepas daripada sifat angkara murka dan dengki iri.

   Betapapun adil pembagian itu menurut ukuran Empu Bharodo maupun Resi Jatinendra sendiri, tetap saja kedua orang pangeran itu diam-diam merasa tidak puas, karena pembagian itu tidak selaras dengan keinginan hati mereka dan karenanya keduanya menganggapnya kurang adil!. Namun oleh karena yang membaginya adalah Sang Prabu Airlangga sendiri, maka kedua orang pangeran tidak berani membantah dan menerima pembagian masing-masing. Pangeran Sepuh mendapat bagian barat dan menjadi Raja dari bagian ini yang kemudian dinamakan Kerajaan Panjalu. Adapun bagian timur menjadi bagian Pangeran Anom dan dinamakan Kerajaan Jenggala. Mereka menjadi Raja dari Kerajaan masing-masing dan untuk sementara kelihatan puas dan berlomba untuk memperindah dan memperbesar Kerajaan masing-masing.

   Setelah pembagian Kerajaan selesai, Sang Prabu Airlangga kembali ke pertapaan, bertapa makin tekun lagi sambil memohon kepada dewata agar Kerajaan yang kini dipimpin oleh kedua orang puteranya dapat makmur dan tidak timbul pula pertengkaran di antara mereka. Empu Bharodo dengan setia mengikuti junjungannya ini di pertapaan Jalatunda di lereng Gunung Bekel. Biarpun Ki Patih Narotama tidak diperkenankan mencampuri urusan pembagian Kerajaan, bahkan tidak hadir pula dalam upacara, namun Ki Patih Narotama tidak merasa kecil hati terhadap junjungan, juga saudara seperguruan dan sahabat yang dikasihinya itu. Ia merasa girang bahwa jalan tengah yang diambil sri baginda itu agaknya memperlihatkan hasil baik.

   Apapun yang terjadi, Ki Patih Narotama yang amat mencinta negara ini sudah merasa puas apabila menyaksikan negara aman makmur. Oleh karena itu, biarpun ia sudah menjadi pertapa, seringkali ia menghadap Resi Jatinendra, bahkan sering pula ia datang mengajak muridnya, Joko Wandiro yang tentu saja merasa girang mendapat kesempatan bertemu dengan eyang gurunya, yaitu Resi Bhargowo. Karena adanya hubungan ini, terutama sekali juga karena para kakek sakti yang waspada itu dapat melihat bahwa Joko Wandiro merupakan harapan mereka untuk mewakili mereka kelak menanggulangi segala keruwetan dan kekacauan negara, maka tiada bosannya mereka, juga Sang Resi Jatinendra sendiri, memberi nasehat dan petunjuk kepada Joko

   Wandiro.

   Anak ini dengan sikapnya yang sopan, dengan otaknya yang pintar, telah menarik perhatian mereka sehingga tidak hanya eyang gurunya saja yang menurunkan ilmunya, bahkan Empu Bharodo juga mengajarkan ilmu kesaktiannya Bayu Sakti kepada Joko Wandiro. Resi Jatinendra yang masih tunggal guru dengan Ki Patih Narotama, maklum bahwa anak itu tentu akan menerima kepandaian dari Narotama, maka iapun hanya memberi petunjuk tentang cara bersamadhi untuk menghimpun kekuatan sakti, dan kemudian memberi petunjuk pula tentang aji kesaktian yang luar biasa dan hanya dimiliki oleh bekas Raja ini, yaitu aji Triwikrama. Aji Triwikrama ini sesungguhnya adalah aji yang mengandalkan kekuatan batin yang mengungkap keaslian ujud seorang manusia dan yang biasanya hanya dapat dilihat dengan pandang mata batin yang kuat.

   Aji ini apabila dipergunakan, pengaruhnya amat hebat, menundukkan segala macam lawan tanpa menggunakan kekerasan. Joko Wandiro adalah seorang anak yang rajin, seorang anak yang pandai nyimpan perasaan dan rahasia hatinya, ia belajar dengan amat tekun, penuh perhatian. Ia tidak pernah bertanya tentang ayahnya, namun didalam hatinya tak pernah ia melupakan ayahnya, tak pernah ia kehilangan rasa rindunya yang ditekan-tekan, dan tak pernah ia lupa akan pesan ayahnya dahulu tentang seorang musuh besar ayahnya yang bernama Wisangjiwo! Tentu saja ia tidak pernah mendengar bahwa Wisangjiwo telah gugur dalam perang saudara. Juga sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya orang yang selama ini dianggap musuh besar, yang kelak harus ia balas, Sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri!.

   * * *

   Sementara itu, Endang Patibroto dibawa oleh gurunya ke Pulau Nusakambangan. Pada masa itu, pulau ini merupakan sebuah pulau yang terkenal sebagai sarang Iblis dan Siluman. Jangankan mendarat di pulau ini kalau ada yang berani bahkan mendekati pulau saja tidak ada seorangpun nelayan yang berani.

   Sebuah pulau angker, menyeramkan, dan penuh rahasia mengerikan. Kalau sekali waktu ada perahu-perahu nelayan yang diserang badai Laut Selatan di daerah itu, tentu mereka ini menghubungkannya dengan Pulau Nusakambangan atau yang mereka juluki Pulau Iblis. Mereka menganggap bahwa iblis-iblis di pulau itu mengamuk dan tidak senang karena ada perahu yang"melanggar"

   Wilayah Pulau Iblis, yang berlayar terlalu dekat dengan pulau. Dibyo Mamangkoro menggandeng tangan Endang Patibroto mendekati pantai Laut Selatan. Pulau Nusakambangan Nampak dari pantai itu seperti seorang raksasa sedang tidur. Cuaca sudah mulai gelap ketika mereka tiba di pantai.

   "Bapa guru, bagaimana kita akan menyeberang ke sana?"

   Tanya Endang Patibroto ketika gurunya memberi tahu bahwa pulau yang jauh itulah tempat tinggalnya. Ia bertanya demikian karena kini gurunya tidak membawa mancung (selapu bunga kelapa) seperti ketika menyeberang ke Pulau Sempu.

   "Apakah kita harus mencari mancung lebih dulu? Itu di sana banyak pohon kelapa!"

   Ia menuding ke arah barat di mana terdapat beberapa batang pohon nyiur melambai-lambai tertiup angin laut.

   "Huah-hah-hah, tidak usah, muridku. Setelah kau ikut bersamaku, kita perlu mempunyai sebuah perahu. Nah, bukankah di sana itu ada perahu. Mari!"

   Dibyo Mamangkoro menarik tangan muridnya, diajak pergi mendekati pantai sebelah timur di mana terdapat beberapa buah perahu.-Dari jauh kelihatan beberapa orang nelayan sedang berkemas untuk mulai berlayar mencari ikan. Ada yang membereskan layar, ada pula yang menyiapkan jala, pancing, dan lain-lain. Tanpa berkata sesuatu, Dibyo Mamangkoro yang menggandeng tangan Endang Patibroto itu menghampiri para nelayan, lalu seenaknya ia memilih perahu terbaik, lalu melangkah naik bersama muridnya.

   "Haiii...! Orang tua, kau mau apa dengan perahuku...?"

   Seorang nelayan muda yang bertubuh tegap dan Nampak kuat datang berlari-lari sambil membawa sebuah tombak berkail alat menangkap ikan besar. Sikapnya mengancam. Akan tetapi Dibyo Mamangkoro tidak memperdulikan teguran orang itu. Enak saja ia mengambil dayung dan hendak melepaskan dadung yang mengikat perahu dengan perahu lain di pantai.

   "Heeeel! Lepaskan perahuku. Turun!!"

   Si nelayan muda membentak sambil menerjang maju. Dengan tangan kanannya ia menangkap lengan Dibyo Mamangkoro dan menyeretnya turun dari perahu. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika lengan dan tubuh yang diseretnya itu sama sekali tidak bergoyang! Ia mengerahkan tenaga, membetot lagi. Sia-sia belaka, sama halnya kalau ia mencoba untuk menarik roboh sebuah batu karang yang kokoh kuat. Namun si nelayan yang muda dan kuat itu makin penasaran. Ia menancapkan tombaknya di atas tanah, kemudian menggunakan kedua tangan untuk menyeret.

   "Huah-ha-ha! Endang, kau lihat tingkah monyet pantai ini!"

   Sambil berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggerakkan tangan yang dibetot dari tubuh nelayan muda itu terlempar sampai lima meter jauhnya ke laut.

   Sambil menyumpah-nyumpah nelayan itu berenang ke pinggir, sedangkan para nelayan lain yang belasan orang banyaknya datang mendekat dengan wajah terheran. Nelayan muda itu terkenal sebagai nelayan yang paling kuat di antara mereka. Pernah seordng diri saja melawan dan menaklukkan ikan hiu sebesar manusia ketika ia mengail dan tertarik jatuh dari perahunya ke dalam laut oleh seekor ikan hiu yang terkail. Bagaimana sekarang melawan seorang kakek tua itu, biarpun kakek tinggi besar seperti raksasa, begitu mudah saja dilempar ke laut? Dengan penuh ketegangan mereka melihat betapa nelayan muda itu sudah berhasil berenang ke pantai. Kini dengan kemarahan meluap melihat kakek tinggi besar itu terbahak-bahak ketawa dan anak perempuan itu tersenyum-senyum geli, si nelayan muda menyambar tombaknya.

   "Suro... sabarlah, jangan main-main dengan tombak...!"

   Beberapa orang nelayan tua memperingatkan. Para nelayan itu adalah orang-orang sederhana dan menghadapi buruan mereka, yaitu ikan laut, mungkin mereka dapat bersikap ganas dan kejam. Akan tetapi menghadapi peristiwa yang mengancam keselamatan nyawa manusia, mereka merasa ngeri juga. Namun, nelayan muda bernama Suro itu terlalu marah sehingga menjadi mata gelap. Jelas bahwa kakek raksasa itu hendak merampas perahunya, bahkan kini kakek itu sudah hendak mengembangkan layar, bagaimana ia tidak akan merah? Perahu lebih berharga daripada nyawa bagi seorang nelayan miskin seperti dia. Kini perahunya hendak dirampas orang, harus ia pertahankan dengan nyawa, kalau perlu ia tidak akan segan untuk membunuh! Kakek itu terlalu kuat, tidak dapat ia lawan dengan kedua tangan kosong.

   Apa salahnya kini menggunakan senjata untuk mencapai kemenangan mempertahankan perahunya? Ia tidak tahu bahwa seruan peringatan teman-temannya yang tua tadi bukan hanya karena khawatir melihat ia hendak membunuh orang, melainkan lebih khawatir lagi terhadap keselamatannya. Para nelayan yang tua itu melihat sesuatu pada diri Dibyo Mamangkoro yang menyeramkan hati mereka. Sesuatu yang memancar dari sepasang mata yang liar dan besar itu, sesuatu yang membayang pada sikap kakek yang tidak sewajarnya, tidak seperti manusia umumnya. Terlambatlah seruan peringatan itu. Suro sudah menerjang dengan tombaknya sambil melompat ke atas perahunya sendiri. Ia bermaksud menyerang kakek raksasa yang tadi telah melemparkannya ke laut, akan tetapi karena Endang Patibroto berdiri di pinggir menjadi penghalang,

   Tentu saja otomatis anak perempuan inilah yang lebih dulu terancam bahaya serangan tombak. Anehnya, melihat datangnya marabahaya terhadap muridnya itu, Dibyo Mamangkoro hanya tertawa bergelak, sama sekali tidak menjadi gugup atau khawatir! Memang tidak berlebihan sikap ini. Biarpun anak perempuan itu baru beberapa hari saja ikut kepadanya dan menjadi muridnya, namun pandang mata Dibyo Mamangkoro amat tajam sehingga ia mengenal anak macam apa muridnya ini. Kalau hanya menghadapi serangan tombak yang dilakukan oleh tangan-tangan yang curna kuat dan cepat itu saja, tanpa didasari ilmu bermain tombak, bukanlah apa-apa bagi Endang Patibroto. Dengan jelas matanya yang jeli dapat mengikuti gerakan ujung tombak yang runcing berkail, yang menerjang gurunya akan tetapi lewat tubuhnya.

   Tombak itu meluncur ke tirah lambung kirinya. Endang Patibroto tidak meloncat pergi, melainkan dengan gerakan yang ringan dan tenang sekali kaki tangannya merobah kedudukan sehingga tubuhnya menjadi miring dan tentu Saja tombak itu tidak mengenai lambungnya. Secepat kilat gadis cilik ini melanjutkan gerakan kaki melangkah ke depan sambil memutar tangan menangkap batang tombak yang masih meluncur dekat lambung. Sambil mengerahkan tenaga membetot ke belakang, ia menambahi tenaga nelayan itu, atau "Meminjam"

   Tenaga dorongan tombak. Si nelayan berseru kaget dan tubuhnya terjerumus ke depan, disambut tungkak (tumit) kaki kiri Endang Patibroto. Tungkak yang kulitnya kemerahan, halus dan kecil. Akan tetapi karena tungkak ini dengan cepat "Memasuki"

   Perut terdengar suara,

   "Ngekk!"

   Dan tubuh nelayan itu terlempar ke belakang, terbanting ke atas pasir dan ia meringis-ringis sambil menekan perut yang mendadak menjadi mulas! Kemarahan Suro makin menjadi-jadi. Akan tetapi dia dan juga para nelayan memandang ke atas perahu dengah muka tiba-tiba menjadi pucat sekali, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Apakah yang mereka lihat? Sungguh tidak masuk akal dan takkan mereka percaya kalau mereka tidak menyaksikan sendiri. Kakek raksasa itu telah mengambil tombak rampasan tadi, kini sambil tertawa-tawa kedua tangannya mematahkan tombak itu sedemikian mudahnya, dipatah-patahkan menjadi beberapa potong seperti orang mematahkan lidi saja! Kemudian, sambil melemparkan potongan tombak itu ke arah batu karang di pantai, ia berkata, suaranya parau menakutkan.

   (Lanjut ke Jilid 21)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21

   "Siapa yang hendak mengambil kembali perahu ini, boleh datang ke Pulau Iblis. Huah-ha-hah!"

   Perahu itu didayung ke tengah oleh Dibyo Mamangkoro, setelah melewati kepala ombak, angin menangkap layar dan berkembanglah layar itu. Perahu meluncur cepat ke arah pulau yang tampak hitam menyeramkan. Suro dan para nelayan masih berdiri pucat di pantai. Potongan-potongan tombak yang dilemparkan secara perlahan oleh kakek raksasa tadi telah menancap dan amblas terus memasuki batu karang!.

   "Celaka...! Dia agaknya penghuni Pulau Iblis...!!"

   Akhirnya seorang kakek mengemukakan terkaannya dengan suara gemetar.

   "Ah, engkau masih untung, Suro. Untung tidak sampai dibunuh...!"

   "Tidak salah lagi. Mereka tentulah... bukan manusia biasa, mereka penghuni Pulai Iblis. Bayangkan anak perempuan tadi. Begitu cantik, seperti anak peri... akan tetapi begitu kuat, sekali gerak telah merampas tombak dan merobohkan Suro. Eh, Suro, bukankah tenaga anak tadi luar biasa sekali, bukan tenaga manusia?"

   Suro masih ketakutan, mukanya pucat matanya sayu. Ia tidak kuasa membuka suara dan setelah menelan ludah, baru ia dapat menjawab dengan anggukan kepala.

   "Suro, kau tentu akan mendapat untung besar. Perahumu diminta penghuni Pulau Iblis, tentu anugerahnya berlipat ganda! Jangan murung, Suro, relakanlah, tentu engkau akan dilindungi!"

   Bermacam-macam pendapat mereka. Tidak seorangpun berani mengomel atau menyumpahi kakek raksasa itu. Dan tentang untung yang mereka ramalkan untuk Suro, sungguhpun belum nampak untungnya, namun sedikitnya Suro sudah agak terhibur daripada dukanya karena para temannya secara gotong royong bergilir meminjamkan perahu mereka kepada Suro untuk mencari ikan. Dan secara kebetulan sekali, atau mungkin juga karena Suro sesudah kehilangan itu bekerja keras dan rajin, setiap kali pergi mencari ikan semenjak peristiwa itu, Suro selalu memperoleh penghasilan yang besar! Memang, di dunia ini tidak ada yang lebih kuat daripada kepercayaan yang mendalam.

   Endang Patibroto merasa suka sekali kepada gurunya. Ia merasa cocok dengan watak gurunya yang kasar, berandalan, dan mencari enaknya sendiri saja. Perampasan perahu itu bagi Endang Patibroto bukan hal yang dianggap tidak semestinya. Malah dianggap benar, karena, bukankah mereka membutuhkan perahu untuk menyeberang? Dan bukankah sudah semestinya mereka memakai perahu siapa saja yang tak mampu mempertahankan miliknya? Semenjak kecil, anak ini hidup dalam asuhan seorang ibu yang mabok dendam. Bahkan semenjak dalam kandungan, ibunya seringkali membayangkan pembalasan dendam yang hebat-hebat dan kejam-kejam. Oleh karena itu, tidak mengherankan pula apabila Endang Patibroto memiliki watak yang aneh, berandalan, keras hati dan tidak mengenal kasihan!

   Hebatnya, anak ini secara kebetulan sekali telah rnewarisi keris pusaka Brojol Luwuk, pusaka Mataram yang semenjak dahulu kalau lenyap dari keraton pasti menimbulkan geger dan peristiwa-peristiwa hebat! Untuk melengkapinya lagi, secara kebetulan pula Endang Patibroto menjadi murid seorang sakti mandraguna yang liar dan ganas seperti Dibyo Mamangkoro!. Begitu perahu menempel pulau, Dibyo Mamangkoro menggandeng tangan muridnya dan melompat ke darat. Kemudian sekali ia rnembetot dan melontarkan, perahu rampasan itu terlempar ke pantai pulau dan rebah miring. Ia tidak pedulikan lagi perahu itu melainkan menarik tangan muridnya, mengajaknya berlari-lari memasuki pulau sambil tertawa-tawa dan berkata,

   "Huah-hah-hah! Inilah negara kita, inilah tempat tinggal kita, Endang! Inilah sorga dunia. Aku Raja di sini, dan kini engkau menjadi puterinya, ha-ha-ha!"

   Akan tetapi tiba-tiba Endang Patibroto terkejut dan berhenti berlari sambil melepaskan tangan gurunya, siap untuk menghadapi bahaya. Di depan mereka muncul seekor harimau tutul yang besar, sebesar anak lembu! Harimau itu meringis memperlihatkan taring yang besar meruncing, matanya bersinar-sinar galak, air liurnya menetes-netes seakan tak dapat ia menahan seleranya melihat manusia cilik yang berdaging lunak berdarah manis ini.

   "Huah-ha-hah! Jangan takut, kalau dia berani mengganggu, bunuh saja! He, tutul, kalau kau berani membikin takut tuan puterimu, akan kubuntungi ekormu dan kedua telingamu. Pergi!"

   Kaki kiri Dibyo Mamangkoro terayun.

   "Bukkk!!"

   Tubuh harimau tutul yang besar dan berat itu terlempar sampai beberapa meter jauhnya, jatuh terbanting, lalu binatang itu mengaum kesakitan dan berlari pcrgi terpincang-pincang, diikuti suara ketawa Dibyo Mamangkoro dan Endang Patibroto. Mulailah isi pulau itu mengenal suara ketawa yang lain daripada biasanya. Suara ketawa yang merdu dan nyaring, kadang-kadang melengking tinggi, namun mengandung kekerasan yang menyeramkan! Itulah suara ketawa Endang Patibroto yang mulai saat itu menjadi penghuni Pulau Iblis atau Pulau Nusakambangan, hidup berdua dengan gurunya, Dibyo Mamangkoro dan binatang-binatang buas yang menjadi penghuni asli pulau itu.

   "Hati-hatilah engkau terhadap manusia di dunia ini Endang,"

   Demikian sebuah di antara nasehat-nasehat Dibyo Mamangkoro kepada muridnya."Jauh lebih baik berhadapan dengan ancaman binatang buas daripada manusia. Binatang hutan, betapa buaspun, selalu menyerang orang berdepan, bahkan mcmberi peringatan lebih dulu dengan suaranya. Menang atau kalah dalam pertandingan, binatang mengandalkan kekuatan dan kecepatan nya, secara jujur. Akan tetapi tidak demikian dengan lawan manusia. Manusia lebih sering menang mcngandalkan tipu muslihat yang licik. Karena itu, sekali-kali jangan engkau pereaya manusia. Apalagi manusia yang pandai bermain mulut, wah, berbahaya sekali dia itu, karena biasanya apa yang keluar dari mulutnya berlawanan dengan yang terkandung dalam hati. Kalau berhadapan dengan manusia yang mencurigakan, pukul saja lebih dahulu sebelum engkau dipukul!"

   Ajaran-ajaran seperti inilah yang membuat Endang Patibroto menyerang kalang-kabut ketika beberapa bulan kemudian ia melihat tiga orang laki-laki tinggi besar mendarat di Pulau Iblis. Tiga orang laki-laki seperti gurunya, tinggi besar dan menyeramkan. Mereka itu mendarat dan menyeret sebuah perahu kecil ke pantai. Mereka itu adalah Wirokolo dan dua orang anak buahnya, Gagak Kunto dan Cagak Rudro yang telah gagal membunuh Sang Resi Jatinendra di Jalatunda.

   Seperti kita ketahui, tiga orang ini mundur setelah Wirokolo dirobohkan Ki Patih Narotama. Setelah gagal, Wirokolo mengajak dua orang kawannya itu pergi ke Nusakambangan menghadap kakak seperguruannya. Melihat laki-laki tinggi besar yang berkalung dan bergelang ular pada leher dan kedua pasang kaki tangannya, tentu saja sekaiigus Endang Patibroto menjadi curiga. Apalagi sikap Gagak Kunto dan Cagak Rudro juga amat kasar dan tidak menyenangkan hatinya. Dari tempat persembunyiannya, di balik scrumpun pandan, Endang Patibroto mcngintai. Setelah ia merasa yakin akan dugaannya bahwa tiga orang itu tentu datang ke pulau dengan maksud buruk, Endang Patibroto menggerakkan tangan, mengambil beberapa buah pecahan batu karang.

   "Pukul lebih dahulu sebelum engkau dipukul!"

   Bukankah demikian pesan dan ajaran gurunya? Tiga orang ini mencurigakan, kalau tidak didahului tentu hanya akan mendatangkan bencana. Dari tempat persembunyiannya Endang lalu mengayun kedua tangan dan secara berturut-turut, tiga buah batu karang yang keras telah menyambar ke arah kepala tiga orang itu dengan kecepatan mengagumkan. Biarpun orang memiliki tubuh kuat, kalau kepalanya dihantam batu karang yang keras itu, tentu akan celaka, sedikitnya akan moncrot dan bileng!.

   Namun, tiga orang itu adalah jagoan-jagoan Kerajaan Wengker dahulu, ilmu ke pandaian mereka tinggi. Biarpun sambitan itu dilakukan dari jarak dekat dan dilakukan dengan tenaga yang dahsyat melebihi tenaga orang biasa, namun mereka sudah dapat menangkap sambaran anginnya lebih dahulu sehihgga dengan miringkan tubuh, mereka dapat mengelak sehingga tiga buah batu itu menyambar lewat. Wirokolo mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan kedua orang temannya. Ia terheran dan meragu. Ia maklum benar bahwa pulau ini adalah pulau yang hanya ditinggali oleh kakak scperguruannya, Dibyo Mamangkoro, tidak ada manusia lain. Ia maklum pula bahwa pulau ini oleh semua nelayan dianggap sebagai pulau iblis yang gawat dan angker bahwa tidak ada manusia lain berani mendatangi pulau ini, bahkan mendekatipun tidak ada yang berani.

   Bagaimana sekarang begitu mendarat di pulau ini mereka bertiga diserang orang secara menggelap? Apakah Dibyo Mamangkoro membawa anak buah ke pulau ini? Andaikata demikian, tidak mungkin pula anak buahnya menyerang mereka!. Semua anak buah Dibyo Mamangkoro tentu sudah mengenal siapa dia Wirokolo, Gagak Kunto dan Gagak Rudro! Ini pasti perbuatan musuh yang diam-diam menyelundup masuk ke Pulau Nusakambangan!. Berpikir demikian, tiba-tiba Wirokolo tertawa berkakakan, kemudian kedua lengannya bergerak dan ia sudah melakukan gerakan memukul ke arah rumpun pandan di mana Endang Patibroto bersembunyi.

   "Werrrr... braaaakkkk...!!"

   Hebat bukan main kesaktian Wirokolo. Ilmu pukulan jarak jauh ini mendatangkan akibat yang mengerikan.

   Hawa pukulannya yang dahsyat tadi menyambar bagaikan angin puyuh. Debu mengebul dan daun-daun bergoyang, kemudian rumpun pandan itu bobol, tereabut berikut akar-akarnya dan terlempar sampai lima meter lebihl Akan tetapi di belakang rumpun pandan itu tidak ada apa-apa! Wirokolo sampai melongo keheranan. Juga Gagak Kunto dan Gagak Rudro yang tadi tertawa-tawa melihat Wirokolo melakukan pukulan dahsyat ke arah rumpun pandan. Merekapun, seperti Wirokolo, sudah dapat mengetahui bahwa yang melakukan penyerangan gelap dengan sambitan batu tadi bersembunyi di belakang rumpun pandan. Akan tetapi setelah rumpun itu terlempar, mengapa di situ tidak tampak ada orangnya? Salahkah dugaan dan perhitungan mereka? Tidak, sebetulnya dugaan mereka tepat sekali.

   Akan tetapi mereka tidak pernah menyangka bahwa yang melakukan penyerangan gelap hanyalah seorang gadis cilik. Lebih-lebih lagi mereka tidak tahu bahwa gadis cilik itu adalah seorang yang amat cerdik, dan sekecil itu telah memiliki gerakan gesit dan tangkas seperti burung srikatan. Begitu serangannya tadi gagal, Endang Patibroto sudah maklum bahwa tiga orang itu bukanlah orang sembarangan, maka ia berlaku hati-hati sekali. Kalau mereka mampu mengelak dari sambitannya, tentu mereka itu akan dapat menemukan tempat persembunyiannya, demikian pikirnya. Maka cepat sekali Endang Patibroto lalu menggunakan ajinya Bayu Tantra, melompat dari belakang rumpun pandan ke atas anak pohon nyiur dan dari situ meloncat pula ke atas scbuah batu karang besar lalu bersejnbunyi di situ sambil mengintai!

   Ia menjulurkan lidah saking ngeri dan kagum mcnyaksikan betapa rumpun pandan di mana tadi ia bersembunyi, jebol dan terlempar karena pukulan jarak jauh yang demikian dahsyat! Ia bersyukur bahwa tadi telah berlaku cerdik dan cepat. Kalau ia masih mendekam di belakang rumpun pandan, tentu tubuhnya menjadi korban pukulan dahsyat yang hebat akibatnya!. Betapapun cepat gerakan Endang Patibroto, ia tidak dapat terlepas dari pandang mata yang tajam dari ketiga orang kakek itu. Mereka tadi melihat berkelebatnya bayangan dari rumpun pandan ke nyiur, hanya mereka tadi sama sekali tidak menduga bahwa itu adalah bayangan seorang manusia. Setelah kini melihat di balik pandan itu tidak ada apa-apa, barulah mereka maklum bahwa orang yang tadi menyambit mereka itu telah lari bersembunyi dan memiliki gerakan yang cepat.

   "Babo-babo! Keparat dari mana berani memasuki Nusakambangan dan menyerang kami? Heh, pengecut di belakang karang. Keluarlah!"

   Bentak Wirokolo. Akan tetapi Endang Patibroto tidak mau keluar dari tempat sembunyinya. Ia tetap mendekam dan siap melakukan perlawanan apa bila diserang.

   "Gagak Kembar, pergi kalian tangkap dia!"

   Wirokolo memerintah.

   Dua orang raksasa kembar Itu tertawa lalu melangkah lebar ke arah batu karang. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan pereaya kepada diri sendiri, menjadi sombong, maka tanpa gentar mereka menghampiri tempat persembunyian lawan sarnbil tertawa-tawa. Dari tempat persembunyiannya Endang Patibroto melihat datangnya dua orang raksasa yang sikapnya mengancam itu, diam-diam membuat perhitungan. Ia harus menyerang lebih dulu, pikirnya. Laripun tiada gunanya, tentu mereka akan mengejarnya dan kalau ketahuan gurunya, alangkah akan malunya. Melarikan diri dari lawan? Tidak sudi! Ia menanti dengan tubuh setengah membongkok, siap menerjang. Ketika dua orang raksasa itu sudah tiba di dekat batu karang, seperti seekor kijang muda Endang Patibroto melornpat keluar, tangan kakinya bergerak menyerang.

   "Plak-bukk!!"

   Cepat bukan main serangan Endang Patibroto, cepat laksana kilat dan sama sekali tidak terduga-duga oleh sepasang Gagak itu yang sejenak tertegun melihat bahwa yang keluar dari balik batu karang adalah seorang anak perempuan!

   Karena inilah mereka terlambat untuk mengelak atau menangkis sehingga perut mereka kena digebuk sekali oleh tangan Endang Patibroto. Akan tetapi tubuh mereka kebal dan pukulan Endang Patibrpto, sungguhpun jauh lebih keras daripada pukulan orang dewasa pada umumnya, masih kurang kuat untuk dapat merobohkan dua orang jagoan Wengker ini. Di lain saat berikutnya, dua orang yang tadinya tertegun dan terkejut itu sudah menubruk hendak menangkapnya. Akan tetapi, biarpun kalah jauh dalam hal tenaga, namun mengenai kecepatan gerak, Endang menang jauh. Dua orang itu menubruk dan dua-duanya mendapatkan angin kosong karena secara indah sekali tubuh kecil itu telah rnenyelinap pergi di antara empat buah tangan mereka yang menubruk.

   "Ha-ha-ha, bocah ayu. Mari kugendong, ha-ha!"

   Gagak Kunto tertawa sambil melangkah maju.

   "Kiranya hanya seorang bocah perempuan. Ha-ha, marilah, manis!"

   Gagak Rudro juga tertawa-tawa untuk menutupi rasa malu bahwa selain tadi kena dihantam, juga sekarang sekali tubruk tak berhasil menangkapnya. Terjadilah kejar-kejaran yang menggelikan. Dua orang laki-laki tinggi besar seperti raksasa itu menubruk sana-sini, namun selalu luput. Gerakan Endang yang menggunakan Aji Bayu Tantra amatlah cepatnya, secepat burung terbang, sedangkan dua orang raksasa itu terlalu besar tubuhnya sehingga agak lamban. Sampai tubuh mereka mandi peluh, belum juga mereka dapat menangkap Endang Patibroto!.

   "Ha-ha-ha!"

   Wirokolo terbahak tertawa menyaksikan hal yang dianggapnya lucu itu. Dengan berindap ia melangkah maju dan pada saat Endang meloncat ke samping menghindarkan tubrukan dua orang lawannya dari depan dan belakang, tiba-tiba ia merasa rambutnya dijambak orang dan tubuhnya sudah menggantung di tangan Wirokolo yang menyambaknya!.

   "Ha-ha-ha! Bocah ayu manis, galaknya seperti kucing, haha!"

   Wirokolo tertawa bergelak, membiarkan anak itu menendang dan memukul. Endang marah sekali. Biarpun tubuhnya tergantung dan kepalanya terasa pedas karena rambutnya dijambak, namun ia tidak tinggal diam, kaki tangannya bergerak menyerang. Celakanya, raksasa mengerikan ini tubuhnya jauh lebih kebal daripada yang dua tadi.

   "Lepaskan aku, kau orang tua tak tahu malu!"

   Ia berteriak-teriak.

   "Ha-ha-ha-ha! Kalau tidak kulepaskan, kau mau apa, cah ayu? Hayo kau mengaku lebih dulu, siapa kau ini dan dengan siapa kau datang ke pulau ini."

   Endang Patibroto yang cerdik segera mengerti bahwa menghadapi kakek ini tidak bisa menggunakan kekasaran. Maka ia lalu tersenyum amat manis dan berkata, suaranya lembut dan merdu,

   "Kakek yang baik, kau benar-benar sakti mandraguna. Aku takluk dan kagum melihat kesaktianmu. Aku sering mendengar bahwa seorang kakek sakti mandraguna pantang menghina seorang anak-anak."

   "Ha-ha-ha, kau benar. Ha-ha-ha!"

   Senang hati Wirokolo. Anak ini terang bukan bocah biasa, suaranya merdu dan pujiannya enak di hati dan telinga.

   "Kaulepaskanlah aku, kakek yang sakti, nanti aku ceritakan siapa aku ini."

   Dengan senyum di bibir, dengan pandang mata bersinar-sinar, dan dengan suara merdu Endang dapat mengalahkan Wirokolo. Sambil tertawa-tawa, diikuti pula oleh sepasang Gagak yang kini juga tertawa-tawa, ia melepaskan rambut Endang. Endang Patibroto membereskan rambutnya yang mawut oleh jambakan tadi. Di dalam hatinya ia merasa marah dan panas sekali, akan tetapi hal ini tidak ia perlihatkan pada wajahnya yang berseri. Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun sudah jelas terbayang kecantikan wajah Endang, dan tubuhnya juga mulai membentuk keindahan seperti bunga mekar. Manis sekali ketika ia membereskan rambutnya dengan kedua tangan.

   "Ha-ha-ha, rambutmu hitam dan halus sekali...!"

   Wirokolo mengusap kepalanya sambil memuji.

   "Genduk, pipimu segar kemerahan!"

   Gagak Kunto juga memuji sambil mengusap pipi.

   "Beberapa tahun lagi engkau tentu menjadi seorang gadis jelita, denok ayu, ha-ha-ha!"

   Gagak Rudro juga memuji dan mencubit dagu Endang. Menghadapi tangan-tangan nakal ini, kemarahan Endang meluap. Tadinya ia hanya hendak menggunakan siasat bersikap lunak agar mereka lalai untuk kemudian mencari jalan dan kesempatan untuk melarikan diri melapor kepada gurunya. la maklum bahwa ia tidak akan menang menghadapi mereka ini. Akan tetapi setelah mereka ini memuji-muji dan tangan mereka mulai nakal, mengelus dan mendatangkan rasa jijik, ia marah sekali dan lupa bahwa mereka itu sama sekali bukan lawannya. Kalah atau menang ia tidak perduli lagi, yang penting kelakuan mereka yang ia anggap kurang ajar ini harus dihukum!.

   "Lepas tangan! Ada apa kalian meraba-raba??"

   Bentaknya, mukanya tidak berseri lagi, mulutnya kehilangan senyum dan matanya memancarkan sinar marah. Endang makin menarik kalau sedang marah-marah begini. Mulut yang manis itu cemberut, matanya seperti bintang dan kulit muka yang halus itu menjadi kemerahan.

   Tiga orang kakek itu makin senang hatinya untuk menggoda. Sambil tertawa-tawa mereka sengaja mengusap, meraba dan mencubit untuk membuat anak itu makin marah. Endang Patibroto tak kuasa menahan kemarahannya. Kini ia menyerang dengan pukulan-pukulan tangannya. Ia mengerahkan Aji Pethit Nogo, meloncat dengan Aji Bayu Tantra. Kedua ilmunya ini sudah disempurnakan di bawah gemblengan Resi bhargowo, dan gurunya yang baru, Dibyo Mamangkoro yang melihat bahwa muridnya telah mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, tidak melenyapkannya malah memperkuatnya dengan aji-aji yang lain. Karena kini Endang menyerang untuk membunuh, maka ia memilih bagian yang berbahaya, bahkan tidak ragu-ragu untuk menyerang pusar dan bawah perut!

   Tiga orang kakek itu diam-diam terkejut juga. Akan tetapi mereka tidak kehilangan kegembiraan mereka. Dengan mengelak atau menangkis, mereka membuat Endang jatuh bangun. Siapa saja di antara mereka bertiga yang diserangnya, tentu dapat mengelak lalu mendorongnya jatuh, atau menangkis lalu nembetotnya roboh tertelungkup. sungguh mereka bertiga mengalami saat yang gembira sekali sebagai hiburan atas kekalahan mereka di Jalatunda. Makin hebat Endang mengamuk, makin gembiralah mereka yang mengelak dan menangkis sambil tertawa-tawa. Kasihan Endang yang jatuh bangun sampai lututnya lecet-lecet. Pada saat itu, Wirokolo menangkap pundaknya. Muka yang besar dan penuh rambut dengan mata lebar mulut nenyeringai menjijikkan itu dekat sekali dengan muka Endang.

   "Ha-ha-ha, cah ayu, aku minta ambung, ya? Ha-ha-ha!"

   "Ha-ha-ha! Bagus, beri kami cium manis!"

   Gagak Kunto dan Gagak Rudro juga tertawa-tawa. Endang tak tahan lagi. Tangan kanannya merogoh ke balik baju, menggenggam gagang keris pusaka Brojol Luwuk, menghunusnya lalu menerjang sambil membentak nyaring,

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mampuslah orang-orang kurang ajar!"

   Suara ketawa mereka seketika terhenti. Wajah tiga orang itu menjadi pucat sekali dan serentak mereka membanting tubuh ke belakang lalu bergulingan menjauh dengan penuh ketakutan.

   "Eh, jangan... jangan...!!"

   Teriak Gagak Kunto.

   "Aduh, celaka...!"

   Gagak Rudro berseru ketika ia jatuh bangun dan tubuhnya menggigil, matanya seakan-akan silau oleh cahaya yang bersinar keluar dari keris pusaka Brojol Luwuk. Wirokolo sendiri sungguhpun seorang sakti mandraguna, selama hidupnya belum pernah ia menghadapi sebuah keris pusaka yang mempunyai wibawa sedahsyat ini.

   Ketika keris itu tadi ditodongkan, ia merasa seakan-akan diserang lahar panas yang dimuntahkan kawah gunung berapi. Ketika ia bergulingan ke belakang menjauhkan diri kemudian meloncat kembali, ia mendapat kenyataan bahwa lima ekor ular berbisa yang tadinya melingkar di leher, kedua tangan dan kakinya, telah terlepas dan menjadi bangkai hangus di atas tanah!. Baru hawanya saja sudah sedemikian ampuhnya, apa lagi kalau tubuh terkena pusaka mujijat itu. Ia bergidik. Maklum bahwa gadis cilik ini memegang keris yang amat ampuh dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan, lenyap semua sikap main-main pada Wirokolo dan dua orang pembantunya. Sepasang Gagak itu kini sudah mengeluarkan suara bergaok menyeramkan seperti suara burung gagak,

   Sedangkan Wirokolo sudah menggosok-gosok kedua tangannya sampai mengepulkan asap karena ia telah mengerahkan ajinya Anolo Hasto (Tangan Berapi) untuk menghadapi keris pusaka di tangan Endang!. Endang Patibroto sendiri tertegun menyaksikan kehebatan tiga orang lawannya itu. Betapa kedua tangan Wirokolo keluar asap dan bara apinya. Betapa kedua orang yang bersuara seperti gagak itu tampak mengerikan sikapnya, yang seorang memegang tombak yang ke dua memegang ruyung besar! Akan tetapi ia tidak gentar. Jelas bahwa tiga orang iti tadi ngeri dan ketakutan menghadapi keris pusakanya! Hal ini membesarkar hatinya dan dengan keris siap di tangan, ia berlaku awas. Pada saat yang sangat tegang itu, tiba-tiba terdengar suara bekakakan dari Jauh.

   "Huah-hah-hah! Aku sudah mendengar suara Si Gagak Kembar dan Wirokolo! Kalian tidak lekas-lekas menghadapi aku, mengapa berlambat-lambatan?"

   Belum habis suara itu bergema, tahu-tahu orangnya sudah muncul, yaitu Dibyo Mamangkoro sendiri. Betapa kagetnya melihat muridnya menghunus sebuah keris yang bersinar-sinar berhadapan dengan Wirokolo dan Gagak Kembar yang juga sudah siap bertanding mati-matian!. Seketika lenyap seri dan tawa pada wajah kakek raksasa ini. Cepat ia melompat maju dan berkata,

   "Heeee! Endang muridku sayang! Apa yang kau lakukan ini?. Aduh... wah... bukan main pusakamu itu. eh,... simpan, Endang. Simpan dulu keris pusaka itu. Hebat...!!"

   Dibyo Mamangkoro sendiri terkejut bukan main ketika ia merasa betapa dahsyatnya wibawa keris pusaka itu yang membuat jantungnya berdebar keras, dan barulah la menarik napas lega ketika keris itu disimpan oleh Endang di balik bajunya. Dibyo Mamangkoro merangkulnya, mengelus rambutnya dan berkata lirih,

   "Muridku... sayangku... mengapa kau tidak bilang bahwa kau memiliki Brojol Luwuk...?!!"

   "Pusaka sakti Brojol Luwuk...???"

   Wirokolo dan kedua orang Gagak Kembar berseru dan mata mereka terbelalak memandang ke arah Endang. Jelas tampak betapa mereka terheran, dan mcngilar ketika mendengar bahwa pusaka ampuh tadi adalah Ki Brojol Luwuk, pusaka Mataram yang hanya mereka dengar dalam dongeng sebagai pusaka yang tiada taranya di dunia ini. Melihat hasrat memancar jelas sekali dari muka tiga orang itu, Dibyo Mamangkoro yang masih merangkul muridnya segera membentak,

   "Kalian bertiga apakah mendadak sudah menjadi gila? Ki Brojol Luwuk adalah pusaka milik muridku. Kenapa kalian tiga orang tua bangka mau mampus tadi hendak bertanding melawan muridku, Endang Patibroto? Sungguh bagus sekali, ya? Tiga orang kakek tua bangka hendak mengeroyok seorang bocah. Di mana kegagahan kalian?"

   Tiga orang itu menjadi makin kaget sekali. Tidak mereka sangka seujung rambutpun bahwa anak perempuan itu adalah murid Dibyo Mamangkoro!

   "Aduh... maafkan kami, kakang Dibyo Mamangkoro! Sungguh mati kami tidak tahu bahwa anak ini adalah murid keponakanku sendiri. Siapa yang mengira begitu? Selamanya kakang tidak mempunyai murid. Bagaimana sekarang secara mendadak mempunyai murid begini elok?"

   "Ini urusanku sendiri, tak perlu kau mencampuri! lngat, inilah Endang Patibroto, muridku yang kelak akan menggantikan aku. Muridku inilah yang kelak akan memimpin kalian semua, menghancurkan musuh-musuhku, menggegerken Kahuripan. Apalagi... Ki Brojol Luwuk berada di tangannya. Huah-ha-hah!"

   Kemudian ia berhenti tertawa secara mendadak, menudingkan telunjuknya yang besar ke arah Gagak Kembar dan membentak,

   "Kalian berani tadi melawan dan kurang ajar kepada gusti puterimu??"

   Tiba-tiba Gagak Kunto dan Gagak Rudro menjadi pucat dan mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Dibyo Mamangkoro.

   "Karena hamba berdua tidak tahu, telah bersikap kurang ajar terhadap... gusti puteri, mohon paduka suka memberi ampun..."

   "Huah-ha-hah! Enak saja minta ampun. Kalian patut dihajar!"

   Tiba-tiba tangan yang menuding itu membuat gerakan mendorong dan... dua orang raksasa yang berlutut itu lalu terjengkang ke belakang. Dibyo Mamangkoro menggerak-gerakkan kedua tangannya ke arah mereka. Sungguh aneh dan rnengagumkan sekali dan jelas membuktikan betapa hebatnya tenaga sakti Dibyo Mamangkoro. Pukulan jarak jauh kedua tangannya itu mampu menjatuh bangunkan dua orang yang terhitung orang-orang berkepandaian tinggi. Gagak Kunto dan Gagak Rudro berkali-kali terbanting sehingga babak belur. Mereka mengaduh-aduh dan sama sekali tidak berdaya, seperti dua helai daun kering dipermainkan angin. Ketika Dibyo Mamangkoro menghentikan gerakan tangannya, mereka rebah miring dengan napas terengah-engah.

   "Kau puas, muridku?"

   Dibyo Mamangkoro bertanya kepada Endang yang hanya menonton saja. Endang mengangguk.

   "Mereka itu tidak dibunuh, sungguh masih amat baik nasibnya!"

   Wirokolo adalah seorang yang buas dan ganas. Namun mendengar ucapan seenaknya keluar dari mulut yang mungil itu, tengkuknya terasa dingin juga. Tidak salah lagi, pikirnya, kakak seperguruannya telah menemukan seorang murid yang hebat! Setelah Gagak Kembar dapat bangun dan berlutut lagi, Dibyo Mamangkoro bertanya,

   "Nah, sekarang ceritakan bagaimana hasilmu menyerbu Jalatunda, adiku Wirokolo?"

   Dengan suara bernada penyesalan, Wirokolo menceritakan pengalamannya di Jalatunda. Menceritakan betapa lima orang anak buah Gagak Kembar semua kalah oleh seorang anak laki-laki yang agaknya cucu murid Resi Bhargowo, kemudian betapa Gagak Kembar sendiri kalah melawan Resi Bhargowo.

   "Terpaksa aku turun tangan sendiri, kakang Dibyo. Biarpun dalam ilmu sihir, aku tidak mampu menghadapi Empu Bharodo, namun dalam pertandingan, Empu Bharodo dan Resi Bhargowo masih belum mampu mengalahkan aku. Airlangga yang sudah menjadi pertapa itu telah menjadi seorang yang lemah dan tidak mau berkelahi. Sebetulnya aku sudah mendapat kesempatan baik sekali untuk membunuhnya. Siapa kira si jahanam Narotama muncul..."

   "Narotama...?? Keparat!!"

   Dibyo Mamangkoro berjingkrak marah.

   "Lalu bagaimana? Apakah dia masih sekuat dahulu?"

   Wirokolo menarik napas panjang.

   "Dia hebat, kakang. Agaknya malah lebih kuat daripada dahulu. Aku tahu bahwa aku bukan tandingannya, maka terpaksa kami mundur."

   Dibyo Mamangkoro menggendong kedua tangan di punggung, lalu berjalan kian kemari dengan kening berkerut. Dari mulutnya keluar suara menggereng seperti harimau kelaparan. Tiba-tiba ia berhenti dan kembali merangkul pundak Endang.

   "Kita tunggu waktu dan kesempatan! Kita tunggu muridku dewasa. Dengan kepandaiannya dan dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangannya aku yakin Kahuripan akan hancur lebur kelak. Huah-ha-ha!"

   Wirokolo dan Gagak Kembar hanya sehari tinggal di pulau itu. Mereka segera pergi dari pulau, kembali ke tempat mereka sendiri, yaitu di lembah Citandui. Mereka sebagai anak buah Dibyo Mamangkoro dipesan untuk mempersiapkan diri, mengumpulkan tenaga bantuan yang bersakit hati terhadap Kahuripan, dan menyelidiki keadaan Kahuripan. Jika ada perubahan di Kahuripan, mereka dipesan agar mengabarkan ke Nusakambangan.

   Sementara itu semenjak mengalami peristiwa pertempuran melawan paman gurunya sendiri, Endang Patibrpto maklum bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai dan kalau ia tidak tekun belajar, menguras semua ilmu yang dimiliki gurunya, kelak tentu ia akan menemui banyak kesulitan dari orang pandai. Di lain fihak, setelah mendapat kenyataan bahwa muridnya secara aneh telah memiliki keris pusaka Ki Brojol Luwuk, Dibyo Mamangkoro menjadi makin sayang kepada muridnya! Makin besar hatinya, dan makin tebal keyakinannya bahwa muridnya ini kelak akan lebih berhasil daripadanya dalam usaha meruntuhkan Kahuripan. Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang tekun menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Dibyo Mamangkoro. Mari kita mengikuti perjalanan Jokowanengpati yang melarikan diri menunggang kuda menuju ke selatan.

   Melihat perang dihentikan oleh Sang Prabu Airlangga sendiri, Jokowanengpati maklum bahwa perdamaian antara kedua pangeran tentu akan terjadi. Dan ia telah melihat musuh besarnya, orang-orang yang tentu tidak akan berhenti sebelum berhadapan muka dan mengadu nyawa dengannya. la melihat Pujo, Kartikosari, dan Roro Luhito, tiga orang yang menaruh dendam sedalam lautan kepadanya. Lebih dari semua itu, ia melihat Resi Bhargowo! Kaget seperti disambar petir ketika ia tadi melihat Resi Bhargowo di sebelah Sang Prabu Airlangga. Jelas bahwa Resi Bhargowo sudah ia hantam roboh dengan penggada milik Ki Krendoyakso. Ia ingat betul betapa ia mengerahkan tenaga sekuatnya ketika melakukan pemukulan curang itu dan ia tahu pula bahwa ruyung Wesi Ireng adalah senjata pusaka yang ampuh.

   Terasa oleh tangannya betapa kepala resi itu terkena pukulan yang telak sehingga resi itu roboh seketika. Bagaimana sekarang Resi Bhargowo bisa muncul dalam keadaan segar sehat di samping Sang Prabu Airlangga? Tentu saja ia tidak berani bertemu muka dengan bekas paman gurunya itu. Selain itu, juga ia melihat munculnya Empu Bharodo, gurunya!. Setelah mereka itu muncul, bagaimana ia berani tinggal lebih lama lagi di Kotaraja? Dalam keadaan perang saudara, tentu saja ia dapat berlindung di belakang punggung Pangeran Anom. Akan tetapi setelah damai, tidak mungkin lagi. Lebih cepat pergi, lebih aman baginya. Lebih-lebih lagi kini setelah ia membunuh Wisangjiwo. Akan bertambah mereka yang benci dan mendendam kepadanya.

   "Ha-ha-ha! TIdak seorangpun melihat aku pergi Mereka kini tentu sedang mencari-cari!"

   Jokowanengpati terkekeh senang sambil membalapkan kudanya terus ke selatan. Setelah membalapkan kuda tiada hentinya selama dua hari dua malam, kudanya itu akhirnya roboh lemas dan mati di luar sebuah kampung. Jokowanengpati melompat turun dan menendang bangkai kuda yang telah membawanya lari selama itu.

   "Huh, kuda sialan!"

   Akan tetapi lega hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa ia telah melarikan diri jauh sekali dari Kotaraja. Ia sudah sampai di wilayah pantai selatan. Dari kampung itu ke Laut Selatan hanya tinggal perjalanan selama satu dua jam saja. Hatinya mulal gembira. la telah berada di tempat aman, jauh dari Kotaraja, dan tak seorangpun mengcnalnya di sini. Hari telah mendekati malam dan dengan senyum menghias bibirnya yang tampan, ia memasuki kampung itu meninggalkan bangkai kudanya tanpa menengok satu kalipun.

   Manusia dengan watak seperti Jokowanengpati ini tidak mungkin dapat mengingat budi dan jasa seekor kuda. Jokowanengpati meraba-raba dadanya. Masih terasa sakit bekas pukulan Wisangjiwo. Ia tahu bahwa pukulan itu mengakibatkan luka dalam di dadanya. Akan tetapi, asal ia dapat beristirahat dan tidak mengeluarkan tenaga berat, ia akan sembuh kembali. Pikiran ini menenangkan hatinya. Ia boleh beristirahat di kampung ini, atau besok ia akan mencari tempat yang lebih aman. Di pinggir laut. Kemudian, dari pinggir laut ini ia akan terus mencari tempat kediaman Ni Nogogini yang katanya di pinggir laut sebelah timur. Asal ia menyusuri sepanjang pantai ke timur, akhirnya tentu akan ketemu. Akan tetapi, malam ini ia akan bermalam di dalam kampung. Perutnya lapar sekali.

   Ia harus mencari makanan. Tiba-tiba ia tersenyum lebar. Suara gamelan menyambut kedatangannya. Suara gamelan yang terdengar amat merdu dan indah. Kalau ada gamelan, berarti ada pesta dan kalau ada pesta, berarti ada makanan enak berlebihan! Jokowanengpati tertawa terkekeh senang dan ia mempercepat langkahnya menuju ke arah suara gamelan. Dari jauh sudah tampak sinar lampu yang menerangi tempat pesta, juga suara banyak anak-anak di depan rumah yang berpesta. Memang tepat dugaannya. Ada orang mengadakan perayaan pesta perkawinan. Bukan lain adalah lurah kampong itu sendiri yang mengadakan pesta, untuk merayakan perkawinan puterinya! Tamu-tamu mulai berdatangan dan beberapa penari mulai mcnari sambil bersinden, diiringi suara gamelan meriah. Minuman dan hidangan dikeluarkan oleh pelayan-pelayan yang sibuk.

   Jokowanengpati melangkah gagah memasuki ruangan. Biarpun ia tidak berganti pakaian, namun pakaian yang menempel di tubuhnya adalah pakaian perwira Kerajaan, pakaian yang jauh lebih indah dan lebih gagah daripada pakaian semua orang yang hadir di situ, termasuk pengantin prianya sendiri! Semua orang cingak (memandang kagum) ketika ia masuk, dan pak lurah sendiri tergopoh-gopoh menyambutnya. Tentu saja pak lurah agak bingung karena tidak mengenal tamunya ini, tamu yang tidak diundang, namun ia harus menghormat, melihat pakaian tamunya yang jelas membayangkan seorang"priyayi"

   

Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini