Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 23


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



"Betapapun juga, menghadapi manusia-manusia luar biasa seperti Airlangga dan Narotama, Empu Bharodo, Resi Bhargowo dan lain-lain tokoh di Kahuripan, tak boleh sekali-kali kau memandang rendah, muridku. Kalau teringat akan mereka itulah timbul kegelisahanku, dan agaknya hanya kalau engkau mendapatkan tambahan hawa sakti dari tubuhku, kau akan dapat menghadapi mereka. Sudah enam tahun engkau berada di sini, Endang. Biarlah sekarang aku pergi dulu menyelidik ke Kahuripan, melihat bagaimana perkembangan keadaannya sekarang. Wirokolo hanya mengabarkan bahwa Sang Prabu Airlangga telah meninggal dunia dalam pertapaannya, bahwa Narotama masih menjadi pertapa dan tidak mencampuri urusan Kerajaan. Selain itu, ada berita baik bahwa mulailah kini Kerajaan Jenggala bergerak untuk menumpas Kerajaan Panjalu! Sekaranglah saatnya engkau muncul dan memperkenalkan diri pada dunia, muridku. Biarlah dunia membuka mata terhadap munculnya Endang Patibroto, sang puteri perkasa. kau tinggallah menanti di sini, muridku. Aku pergi ke Kahuripan, menyelidiki keadaan."

   Pada hari-hari pertama kepergian Dibyo Mamangkoro, tidak dirasakan oleh Endang Patibroto. Akan tetapi, setelah lewat tiga pekan, mulailah ia merasa betapa sunyi pulau itu. Selama enam tahun tak pernah ia berpisah dari gurunya. Kini mulailah ia kehilangan suara gurunya yang bergema di seluruh pojok pulau. Endang Patibroto mulai merasa tidak senang dan tidak kerasan di pulau ini, di mana selama enam tahun belum pernah ia tinggalkan. Diam-diam timbul rasa marah di dalam hatinya terhadap gurunya yang begitu lama meninggalkannya. Kenapa gurunya tidak mengajaknya pergi?

   Makin lama kemarahannya makin membesar, rasa jemu tinggal seorang diri di pulau tak tertahankan lagi dan akhirnya iapun meninggalkan Pulau Ibiis!. Biarpun enam tahun ia tinggal di pulau, namun gurunya selalu mencukupi semua keperluannya. Bahkan pakaianpun Endang Patibroto tidak pernah kekurangan. Ia selalu menerima pakaian-pakaian yang halus dan indah. Bahkan keris pusakanya, Brojol Luwuk, kini memakai gagang yang amat indah, bertabur mutiara pilihan dan sarungnya terbuat daripada emas berukir!. Pagi hari itu, karena tidak tahan lagi, Endang Patibroto meninggalkan Pulau Iblis. Ia mengenakan pakaiannya yang paling baru. Ia mempunyai banyak kain, akan tetapi sayang, sungguhpun bajunya banyak, namun oleh gurunya disuruh orang luar pulau membuatnya setahun yang lalu.

   Kini pakaiannya yang terbaik sekalipun terlalu ketat mencetak tubuhnya, agak kurang longgar karena tubuhnya makin berisi selama setahun ini. Keris pusaka tidak ia sembunyikan seperti dahulu lagi, melainkan kini terselip di pinggangnya yang dihias sabuk emas pula. Perahu rampasan dahulu itu masih ada. Gurunya tidak menggunakan perahu ketika pergi. Mungkin menggunakan mancung kelapa seperti biasa. Ia sendiripun kini sanggup menyeberang dengan bantuan mancung kelapa, bahkan ia sanggup melakukan yang lebih hebat daripada itu. Akan tetapi ia tidak suka meniru gurunya karena selain melelahkan, juga ombak akan membasahi kainnya. Dengan perahu lebih enak. Sudah sering kali ia bermain-main dengan perahu di sepanjang pantai pulau. Ia bukan seorang ahli berlayar, namun cukup dapat menguasai perahu dengan dayungnya.

   Oleh karena belum pernah Endang Patibroto menyeberang, perahunya hanyut oleh ombak ke timur sehingga ketika perahu itu tiba di pantai, ia berada jauh daripada tempat penyeberangan biasa. Betapapun juga, hatinya lega ketika ia meloncat ke darat. Tidak disangkanya sedemikian sukar mengendalikan perahu yang hanyut oleh aliran air yang sangat kuatnya. Ia membiarkan perahu itu dihanyutkan ombak ke tengah, dan dengan pandang mata gembira ia melihat ke depan. Hutan yang lebat dan gelap, dunia baru baginya setelah enam tahun dikeram dalam pulau kosong. Bagaikan seekor kijang muda yang baru terlepas dari kurungan, Endang Patibroto memasuki hutan, terus berlari menuju ke timur. Tujuannya hanya satu. Ke Kahuripan dan menurut gurunya, Kahuripan terletak di sebelah timur.

   Ia hendak ke Kahuripan yang kini terpecah menjadi dua Kerajaan, yaitu Panjalu dan Jenggala, menyusul gurunya. Hanya menyusul guruhya? Tidak! lapun ingin mencari ibunya. Ingin mencari eyangnya, Resi Bhargowo. Hatinya rindu kepada ibu, Hatinya bertanya-tanya, apakah eyangnya, Resi Bhargowo yang dahulu dikeroyok orang di Pulau Sempu, masih hidup. Dan, teringat akan Joko Wandiro, tak dapat ia menahan senyum yang dibayangi tarikan bibir mencibir, mengejek! Hi-hik, hatinya mentertawakan. Apakah Joko Wandiro masih terus menggendong dan bermain-main dengan patung kencana? Endang Patibroto tertawa lagi sambil meraba gagang kerisnya. Bangga dan senang hatinya bahwa ia dahulu memilih keris pusaka ini. Pusaka ampuh. Bahkan gurunya sendiri merasa jerih terhadap pusaka ini! Secara berterang Dibyo Mamangkoro pernah berkata,

   "Jangan engkau main-main dengan pusakamu itu, Endang. Dengan pusaka Ki Brojol Luwuk di tanganmu, semua aji kepandaianmu menjadi berlipat-lipat ampuhnya. Dengan pusaka itu, engkau akan mampu menggegerkan dunia, akan dapat menghancurkan Kerajaan, seakan-akan dapat menggugurkan gunung menguras lautan! Kalau tidak terpaksa sekali, jangan mencabutnya dari sarungnya. Pusaka keramat tidak boleh dipergunakan sembarangan saja!"

   Samar-samar ia masih ingat ketika enam tahun yang lalu Dibyo Mamangkoro mengajaknya sampai ke Pulau Iblis. Sedapat mungkin ia mencari jalan itu agar tidak sampai tersesat. Beberapa hari kemudian, setelah keluar dari sebuah hutan yang luas, tibalah ia di lembah Sungai Bogowanto. Ia merasa agak lelah karena perutnya lapar sekali. Melihat sungai dari jauh, begitu keluar dari hutan, ia sudah mengambil keputusan untuk beristirahat di tepi sungai, mencari kijang atau binatang hutan lain untuk dipanggang dagingnya, dan buah-buahan yang banyak terdapat di lembah sungai.

   Akan tetapi baru saja ia muncul dari daerah hutan, tiba-tiba dari balik pohon-pohon berlompatan keluar orang-orang tinggi besar yang segera mengepung Endang. Sebentar saja lima belas orang telah berdiri mengepung dengan sikap garang. Mereka semua adalah laki-laki yang bertubuh tegap, bersikap kasar dan beroman galak. Paling depan berdiri seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan paling buas di antara mereka, jelas memperlihatkan sikap pimpinan. Baju orang Itu berkembang totol-totol besar seperti kulit harimau. Mukanya juga mengerikan seperti muka harimau, dengan sepasang mata lebar berkilauan dan agak hijau, tidak seperti mata manusia. Hidungnya gemuk tebal, mulutnya terkurung kumis dan jenggot yang kasar menjijikkan. Sambil meraba gagang golok, laki-laki tinggi besar ini membentak,

   "Berhenti! Siluman, peri ataukah manusia yang berani mati lewat di sini? Eh, bocah denok ayu, langsing kuning seperti kijang kencana, denok montrok seperti bidadari kahyangan! Kedua kaki-mu menginjak tanah, berarti engkau adalah anak manusia. Siapa engkau, dari mana hendak ke mana dan mengapa seorang gadis jelita seperti engkau berani menjelajah hutan rimba seorang diri tanpa pengawal?."

   "Kakang Suro, alangkah jelita gadis ini! Aduh, disambar kerling matanya saja seperti dicabut rasa jantungku!"

   Seorang di antara mereka, yang masih muda, berkata,

   "Kakang Suro, berikan dia padaku sebagai hadiah! Wah, mau aku dikurangi umurku sepuluh tahun kalau dia menjadi punyaku!"

   Kata orang ke dua.

   "Uuuh, bodoh amat! Kalau aku yang beruntung mendapat dia, akan kuusahakan supaya aku jangan menjadi tua, jangan mati-mati,. lebih lama lebih baik menikmati hidup di sampingnya,"

   Seru orang ke tiga.

   Mereka semua tertawa-tawa, atau setidaknya menyeringai lebar. Semua mata memandang penuh selidik, menjelajahi seluruh tubuh Endang Patibroto dengan lahap seperti mata harimau kelaparan menjilat kelinci muda. Gigi yang besar-besar menguning atau menghitam karena kinang, tampak di balik kumis yang tak terpelihara. Belasan orang laki-laki buas dan liar, yang terlalu lama berkeliaran di dalam hutan, berbulan-bulan tidak bertemu wanita. Sikap mereka akan membuat seorang laki-laki pun akan menjadi gentar, karena jelas dari sikap mereka bahwa belasan orang Ini adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, sudah biasa memaksakan kehendak mereka mengandalkan golok yang tergantung di pinggang. Akan tetapi Endang Patibroto sama sekali tidak merasa gentar.

   Seujung rambut pun ia tidak takut menghadapi kepungan belasan laki-laki tinggi besar dan bersikap kasar itu. Dengan tangan kanan meraba gagang keris di pinggang, ia berdiri menentang pandang mereka, lalu perlahan-lahan ia memutar tubuh agar dapat memandang wajah mereka seorang demi seorang. Pandang matanya dingin, tak pernah berkejap, sikapnya tenang dan pada wajahnya yang jelita tidak terbayang perasaan apa-apa, tenang dingin seperti permukaan air telaga yang dalam. Ia harus mengukur keadaan belasan orang itu dengan sapuan pandang mata tadi dan mendapat kenyataan, menurut ajaran gurunya, bahwa mereka ini orang-orang yang memiliki keberanian dan tenaga besar saja, akan tetapi pada hakekatnya kosong. Mungkin hanya orang bermuka singa itu saja, pemimpin mereka, yang agaknya sedikit berisi!

   Orang-orang macam begini berani menghadangnya dan bersikap kurang ajar Endang Patibroto tersenyum, senyum yang membuat wajahnya menjadi manis sekali, akan tetapi senyum yang dingin, yang akan membuat beku dan ngeri orang yang berperasaan. Akan tetapi lima belas orang itu adalah orang-orang kasar sehingga seperti buta terhadap kenyataan yang tersembunyi. Melihat gadis jelita ini tersenyum, mereka makin berani dan tertawa-tawa gembira, bahkan mulai bergerak mendekat dengan sikap kurang ajar. Melihat mereka itu maju dekat sehingga muka-muka menyeringai itu amat menjijikkan, ditambah bau keringat yang apek, Endang Patibroto menjadi marah. Namun wajahnya tidak membayangkan sesuatu, hanya senyum yang masih membayang di bibirnya menjadi masih dingin. Tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya, diputar sambil berseru,

   "Mundur...!!"

   Hebat kesudahannya! Tujuh orang tinggi besar yang berdiri paling depan, seperti daun-daun kering ditcrbangkar lesus (angin puyuh), terpelanting dan menabrak kawan sendiri yang berdiri di belakang! Tentu saja mereka menjadi terkejut dan mundur. Endang Patibroto yang masih berdiri di tengah kepungan, kini dengan sikap tenang berkata,

   "Pergi kalian! Ataukah ada yang sudah bosan hidup? Mereka yang sudah bosan hidup boleh maju!"

   Surosardulo, demikian nama kepala gerombolan yang bermuka singa itu, tadi juga merasa betapa ada angin mendorongnya, namun ia hanya terhuyung ke belakang. Kini ia berkata marah,

   "Heh-heh, kiranya gadis cilik yang punya kepandaian juga! Berani kau menyentuh kumis harimau! Hayo konco, siapa yang berani menangkapnya untukku?"

   Mereka yang tadi berdiri di belakang, tidak merasai kehebatan sambaran hawa dari tangan Endang Patibroto. Mendengar seruan kepala mereka ini, tiga orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar meloncat hampir berbareng ke depan menghadapi Endang Patibroto. yang Iain-lain agaknya merasa malu untuk maju setelah melihat bahwa sudah ada tiga orang kawannya yang maju. Tentu saja mereka merasa malu kalau menghadapi seorang gadis cilik saja mereka harus maju bersama mengeroyok. Tiga orang itu yang amat kepingin menangkap dan rnendekap tubuh muda yang padat itu, seperti hendak berlomba. Endang Patibroto memandang tiga orang ini dengan sinar mata mengukur dan bibir mengejek.

   "Kalian benar sudah bosan hidup? Ingin mampus secara bagaimana?"

   Ucapan ini bernada dingin penuh ancaman maut, akan tetapi oleh karena keluar dari mulut mungil, terdengar lucu bagi tiga orang raksasa itu. Mereka bergelak tertawa.

   "Ha-ha, cah-ayu manis! Apa engkau bisa membikin aku mati tanpa kepala?"

   Ejek orang pertama yang mukanya pucat.

   "Aduh rnati aku! Kerlingmu dan senyummu sudah cukup membikin remuk dadaku, denok."

   Orang ke dua yang matanya juling berkata.

   "Dan aku rela mati dengan tubuh hancur di depan kakimu, asal... hemm, engkau suka menjadi punyaku, sayangl"

   Kata orang ke tiga yang kumisnya jarang. Endang Patibroto dengan sikap tenang menghitung-hitung dengan jari tangannya.

   "Seorang ingin mampus tanpa kepala, yang ke dua ingin mampus dengan dada remuk, yang ke tiga dengan tubuh hancur. Hemmm, kehendak kalian akan terpenuhi. Majulah!"

   Si mata juling agaknya sudah tidak dapat menahan lagi hasrat hatinya, ingin segera dapat memeluk gadis itu, maka sambil tertawa ia sudah menubruk maju dengan gerakan laksana seekor harimau menubruk kelinci. Dua orang tcmannya tidak mau kalah dulu, juga segera menerjang maju dengan kedua tangan menjangkau ke depan. Sukar diikuti pandangan mata apa yang selanjutnya terjadi. Dalam sekelebatan mereka yang tidak bertanding melihat betapa gadis jelita itu menggerakkan tangan kakinya menyambut tiga orang pengeroyoknya. Mula-mula terdengar suara,

   "Krakkkk!"

   Disusul jeritan si mata juling yang terpelantlng roboh, Disusul berkelebatnya golok menyambar leher si muka pucat yang roboh dengan leher putus dan darah menyembur-nyembur, kemudian tampak gadis itu sudah memegang lengan kanan si kumis jarang dan tubuh laki-laki ini terayun ke atas lalu terbanting pada batu besar yang terletak tak jauh dari tempat pertempuran. Kemudian keadaan menjadi sunyi. Gadis itu berdiri di tempat tadi, tegak dan tenang, matanya tajam dan bersinar-sinar, mulutnya tersenyum mengejek. Semua mata terbelalak memandang penuh kengerian. Tiga orang penyerbu tadi tak dapat bangun kembali, mata dalam keadaan amat mengerikan. Si muka pucat telah terbabat putus lehernya, oleh goloknya sendiri, dan kini kcpalanya menggelinding agak jauh dari tubuhnya, mati tanpa kepala!

   Si mata juling rebah telentang mandi darah, dadanya pecah terkena hantaman tangan Endang Patibroto. Adapun si kumis jarang lebih mengerikan lagi. Tubuhnya yang dibanting di atas batu tadi remuk dan pecah-pecah! Sejenak gerombolan itu tercengang dan dengan muka pucat memandang mayat tiga orang teman mereka: Akan tetapi segera timbul kemarahan di hati mereka. Tanpa diperintah lagi, mereka semua menghunus golok dan dua belas orang itu sudah bergerak maju mengurung dengan sikap mengancam. Endang Patibroto masih tenang saja. Baru setelah jarak antara dia dan mereka sudah dekat, tubuhnya bergerak, kedua tangannya mendorong ke sana ke mari dan terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan disusul terlemparnya tubuh para pengeroyok.

   Berturut-turut lima belas orang itu termasuk Surosardulo sendiri, roboh tumpang-tindih dan babak-bundas. Untung bagi mereka bahwa Endang Patibroto hanya mempergunakan hawa sakti yang disalurkan dalam kedua lengannya, merobohkan mereka dengan angin pukulan saja. Kalau sampai mereka tersentuh tangan gadis perkasa ini, tentu mereka akan mengalami nasib seperti tiga orang kawan mereka tadi. Sambil meraba gagang keris pusakanya dengan tangan kanan dan bertolak pinggang dengan tangan kiri, Endang Patibroto memandang mereka yang roboh, membuang senyum mengejek lalu tanpa sepatah katapun ia melangkah pergi dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanannya. Belum sejauh luncuran anak panah ia berjalan, Endang berhenti tiba-tiba dan memutar tubuhnya, membentak,

   "Apakah di antara kalian ada yang sudah bosan hidup juga?"

   Dua belas orang gerombolan yang dipimpin Surosardulo itu terkejut, dan tiba-tiba Surosardulo menjatuhkan diri berlutut, diturut anak buahnya. Mereka tadi sejenak terlongong keheranan, kemudian diam-diam mengikuti gadis itu yang berjalan menuju ke Sungai Bogowonto. Siapa kira, gadis itu dari jarak yang cukup jauh dapat mengetahui bahwa ia dibayangi orang!.

   "Ampun..."

   Kata Surosardulo,"hamba hanya ingin mengetahui siapa gerangan nama besar paduka. Hamba Surosardulo dan para anak buah hamba selama hidup belum pernah mendengar, apalagi melihat, seorang puteri sedemikian sakti mandraguna seperti paduka..."

   Endang Patibroto mengangkat dagu ke depan.

   "Namaku Endang Patibroto. Apakah kalian masih tidak terima kalah? Mengapa mengikuti perjalananku?"

   Setelah berkata demikian, dengan gerakan seenaknya saja Endang mengipatkan tangan kirinya ke arah pohon jati di dekatnya. Terdengar suara keras dan batang pohon sebesar paha itu patah, pohonnya tumbang! Pucat wajah Surosardulo dan anak buahnya.

   "Tidak...karni tidak bermaksud apa-apa...hanya ingin tahu nama paduka..."

   Kata Surosardulo. Endang mencibirkan bibirnya lalu membalikkan tubuh, melanjutkan perjalanan. Diam-diam Surosardulo yang jantungnya masih berdebar dan wajahnya pucat itu memberi perintah kepada dua orang anak buahnya untuk mengambil jalan terdekat, mendahului gadis sakti itu menyeberang sungai dan memberi tahu kepada pimpinannya. Mereka ini, Surosardulo dan anak buahnya, sebetulnya adalah anggauta gerombolan perampok dan bajak sungai yang berada di bawah kekuasaan Ki Krendoyakso.

   Hampir semua penjahat yang beroperasi di daerah Bagelen, adalah anak buah Ki Krendoyakso. Mengandalkan nama besar dan kesaktian Ki Krendoyakso inilah maka para penjahat itu tidak pernah ada yang berani melawan. Akan tetapi pada hari itu mereka mengalami kesialan, bertemu dengan Endang Patibroto. Karena Surosardulo maklum bahwa gadis jelita itu adaiah seorang yang sakti mandraguna, maka ia tidak begitu bodoh untuk bunuh diri melawan. Diam-diam ia mengirim berita ke depan agar pimpinannya dapat mencegat perjalanan gadis yang telah membunuh tiga orang anak buahnya itu. Biarpun ia tahu bahwa pada waktu itu Ki Krendoyakso sendiri tidak berada disitu, namun di sebelah timur Sungai Bogowonto banyak terdapat anggauta-anggauta pimpinan yang sakti, yang tentu akan sanggup menghadapi gadis itu.

   Endang Patibroto tentu saja tidak tahu dan tidak menduga akan hal ini. Dia tidak perduli. Andaikata tahu sekalipun, ia juga tidak perduii. Tidak perduli akan orang lain, asal jangan mengganggunya. yang berani mengganggunya, akan ia binasakan! Dengan tenang ia melanjutkan perjalanan. Dari jauh sudah tampak Sungai Bogowonto yang lebar dan penuh airnya. Perutnya makin lapar. Tidak tampak seekorpun binatang hutan di daerah itu. Tentu habis oleh manusia-manusia kasar tadi, pikirnya jengkel. Juga tidak tampak ada dusun di sekitar situ. Mungkin di seberang ada. Tampak olehnya atap rumah pedusunan. Tentu di sana ada makanan. Ketika ia mendekat pantai sungai, ia melihat ada sebuah perahu kecil di pinggir.

   Entah perahu siapa. la tidak perduli dan segera melangkah masuk duduk dan mengambil sebatang dayung panjang yang berada di perahu. Perahu siapa ia tidak perduli, ia perlu menyeberang. Andaikata tidak ada perahu di situ sekalipun, ia tetap akan menyeberang. Banyak cara untuk menyeberangi sungai yang amat kecil jika dibandingkan dengan selat Pulau Iblis, akan tetapi cara yang paling mudah dan enak adalah bcrperahu. Ia juga tidak menaruh curiga mcngapa di tempat sesunyi itu terdapat sebuah perahu tanpa pemiliknya. Iapun tidak tahu betapa dari dua seberang sungai, banyak pasang mata mengintainya penuh perhatian. Iapun tidak tahu betapa dari seberang lain, seorang laki-laki yang tubuhnya ramping panjang telah bergerak memasuki air ketika perahunya bergerak ke tengah.

   Baru saja perahu itu ia dayung sampai di tengah sungai, tiba-tiba perahunya terguncang keras lalu terguling!. Tentu saja Endang kaget sekali. Akan tetapi ia tidak pernah ketinggalan ketenangan dan ketabahannya. Guncangan perahu yang tidak sewajarnya sudah mencurigakan hatinya, maka sebelum perahu terguling, ia telah meloncat tinggi ke atas sambil membawa dayungnya dan di tengah udara ia mematahkan dayung menjadi dua potong. Ketika tubuhnya turun ke air, ia melempar dua batang potongan dayung itu dan bagaikan seekor burung, kedua kakinya hinggap di atas dua potong kayu yang mengambang di air. Dengan demikian, kini ia berdiri di atas air, menggunakan dua potong kayu itu sebagai landasan kakinya! Perahunya telah terbalik dan hanyut, akan tetapi Endang tidak perduii.

   Dengan pengerahan tenaga dalam disalurkan kearah kedua kaki, ia dapat menggerakkan kakinya mendorong kayu yang diinjak itu ke depan dan bergeraklah ia seolah-olah"Berjalan"

   Di atas air! Ia tidak tahu betapa banyak pasang mata yang mengintainya dari kedua tepi sungai, melotot lebar dan seakan-akan biji-biji mata itu akan meloncat keluar dari pelupuknya saking heran dan kaget mereka yang menyaksikan gadis jelita ini berjalan di atas air!. Tiba-tiba sebuah lengan yang berbulu dan kuat muncul dari permukaan air dan menyambar mata kaki kiri Endang yang kecil merit. Tangan dengan jari-jari besar kuat itu mencengkeram lalu menarik dengan tujuan menenggelamkan gadis jelita itu. Akan tetapi Endang yang tadi melihat sambaran tangan ke arah kakinya, hanya tersenyum dan sama sekali tidak mengelak.

   Tentu saja kalau ia mau mengelak, amatlah mudahnya. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini, bahkan kini ia berhenti bergerak, menundukkan muka melihat apa yang hendak dilakukan oleh orang yang memegang kaki kirinya itu. Ketika orang itu dengan tenaga kuat menarik-nariknya ke bawah, Endang mengerahkan tenaga dan mempertahankan. Sedikitpun kaki kecil yang dibetot oleh tangan kuat itu sama sekali tidak bergoyang! Betapa pun lengan kuat itu mengerahkan tenaga, menarik-narik dan menyeret, namun sia-sia belaka. Si gadis jelita tetap berdiri di atas air!. Bahkan saking penasaran, orang yang punya tangan itu kini muncul kepalanya di permukaan air, selain untuk menghirup hawa, juga untuk menyaksikan dengan mata sendiri bahwa tangannya sudah betul-betul mencengkeram kaki gadis itu.

   Ia hampir tidak percaya bahwa ia tidak mampu menyeret gadis itu masuk ke dalam air. Dikerahkannya kembali tenaganya menarik-narik. Endang yang meiihat munculnya kepala seorang laki-laki tua yang wajahnya menyeramkan, bergidik jijik. la menambah tenaga pada kaki kirinya dan mendadak la melakukan gerakan menendang ke atas dan tubuh laki-laki itu ikut terbawa ke atas dan terlempar setinggi lima enam meter dari permukaan air! Sebelum tubuhnya terbanting lagi ke air, Endang sudah meluncur maju dan sekali ia menggerakkan tangan, ia telah menjambak rambut orang itu, kemudian ia terus menggerakkan kedua kakinya menyeberang, tangan kirinya menyeret laki-laki yang dijambak rambutnya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya laki-laki itu. Ia merintih-rintih dan mengaduh-aduh,

   "Aduhh... ampun... ampunkan hamba... hamba Bajulbiru sudah tobat...!"

   Setelah dekat dengan pantai sungai, Endang lalu melemparkan tubuh Bajulbiru ke darat. Laki-laki itu terbanting dan mengaduh-aduh.

   (Lanjut ke Jilid 23)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 23

   Masih untung baginya bahwa Endang yang diam-diam kagum terhadap kepandaiannya dalam air tidak hendak membunuhnya sehingga tubuhnya hanya terbanting dan terluka saja, tidak sampai tewas. Kalau Endang menghendaki, tentu saja sekali pukul dapat membunuhnya. Selagi Endang hendak melompat ke darat, tiba-tiba muncul belasan orang yang rnenyambutnya sambil berlari dan membawa jala yang lebar. Dengan gerakan serentak dan berbareng, belasan orang itu melempar jala yang jatuh bagaikan air hujan menyelimuti tubuhnya! Endang menggigit bibir, kemarahannya memuncak. Ia membiarkan jala itu menangkap dirinya. Ketika belasan orang itu menarik, ia meloncat ke darat dan sekali kedua tangannya bergerak, jala itu jebol dan ia melompat keluar.

   Kaki tangannya menyambar-nyambar dan terdengar suara mengaduh susul-menyusul ketika belasan orang itu roboh satu-satu tak dapat bangun pula! Mendadak dari depan terdengar suara berciutan dan kiranya puluhan batang anak panah sudah menyambar dari depan, kanan dan kiri ke arah tubuh Endang. Gadis ini benar-benar menjadi marah sekali. Ia hanya menggunakan tangan menyampok anak panah yang rnengarah kepala. Anak-anak panah yang rnengarah bagian tubuh lainnya ia biarkan saja dan ternyata anak-anak panah itu runtuh semua seperti bertemu dengan tubuh baja saja! Sambil menyampok anak panah, Endang memperhatikan ke depan dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke depan dan sekali ia mengulurkan lengan, ia telah menangkap dua orag tukang panah terdekat dan dengan gemas ia mengadu kumba kepala mereka satu kepada yang lain.

   "Prakkk!"

   Keduanya roboh tak bernyawa lagi dengan kepala pecah! Dari tempat itu, Endang kembali meloncat ke belakang pohon, menyambar tubuh tukang panah lain, membantingnya mati seketika pada akar pohon. Tentu saja perbuatannya Ini menggegerkan mereka yang bersembunyi. Serentak mereka mundur dan lari ketakutan dan berkelompok dari jauh memandang ke arah gadis yang kesaktiannya mengerikan itu. Jumlah para perampok dan bajak yang menjadi kaki tangan Ki Krendoyakso ini berjumlah empat puluh orang lebih. Mereka telah menerima kabar dari Surosardulo, maka telah mengatur penyambutan di seberang sungai. Bahkan seorang di antara mereka yang memimpin gerombolan bajak sungai, yang terkenal memiliki ilmu kepandaian di air, yaitu Bajulbiru, telah menyambut lebih dulu dan berusaha menangkap gadis Itu di tengah sungai.

   Endang Patibroto menjadi marah sekali. Jelas orang-orang itu tidak mau berhenti memusuhinya. Ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah segolongan dengan Surosardulo, buktinya menyerangnya tanpa bertanya dulu. Melihat puluhan orang laki-laki berkumpul di depan, ia tidak menjadi gentar, bahkan dengan gerakan cepat ia berlari ke depan. Mukanya merah, matanya bersinar tajam, mulutnya masih tcrsenyum manis! Biarpun tadi menyaksikan sepak terjang yang amat dahsyat dari gadis ini, namun karena jumlah mereka puluhan orang, tentu saja para penjahat itu menjadi besar dan timbul pula keberanian mereka. Apalagi di situ terdapat Wirodurjono yang mengepalai perampok ini, orang yang menjadi pembantu Ki Krendoyakso dan memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi daripada kepandaian Surosardulo maupun Bajulbiru.

   "Serbu! Tangkap!!"

   Wirodurjono berseru dengan suaranya yang garang.

   Pasukan terdepan terdiri dari dua puluh empat orang segera bersorak dan menyerbu maju dengan golok terhunus. Tingkah laku mereka seolah-olah barisan hendak maju perang campuh. Sungguh kelihatan lucu sekali kalau dipikir bahwa yang mereka serbu ini hanya seorang gadis remaja yang bertangan kosong! Namun, mereka itu kini tidak berani memandang rendah, maka serentak mereka maju dengan senjata terhunus disertai teriakan-teriakan untuk menindas rasa nyeri dan takut. Endang Patibroto tidak menghentikan larinya. ia terus berlari maju, tidak perduli akan ancaman golok yang menyilaukan mata itu, tidak perduIi pula betapa dua puluh empat orang itu bergerak mengepungnya.

   Begitu Endang dekat dengan orang pertama, kaki tangannya bergerak. Tangannya dengan jari-jari terbuka bergetar seperti menggigil, akan tetapi setiap kali digerakkan, terdengar jerit mengerikan dan tentu orang yang disentuh tangannya roboh terjengkang atau terpelanting tak mampu bangun lagi Endang mengamuk. Tubuhnya berputaran karena kini ia dikeroyok dari empat penjuru. Tidak perduli gotok yang bagaimana berat dan tajampun, kalau menyambar kearahnya, ia papaki dengan tangannya yang terbuka jari-jarinya, dan... golok itu tentu terpukul patah atau terlepas dari tangan si pemegang nya. Kemudian, setiap kali kaki atau tangannya menyentuh lawan, tentu lawan itu terjungkal dan tewas! Dalam waktu beberapa menit saja, mayat para perompak roboh malang-melintang.

   Hebatnya, tidak setetespun darah keluar dari tubuh mayat-mayat itu, yang mati dalam keadaan mengerikan, kalau tidak mukanya hangus menghitam, tentu tulang-tulang dadanya remuk-remuk atau isi perutnya hancur oleh pukulan sakti! Setelah lima belas orang roboh tewas, barulah sisanya ketakutan dan tanpa dikomando lagi mereka lari tunggang-langgang kembali ke dalam pasukan kedua yang menonton dari jarak belasan tombak. Kini mereka, termasuk Wirodurjono, memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Sukar dapat mereka percaya. Seorang wanita, gadis remaja pula, dengan tangan kosong, demikian mudahnya membunuh belasan orang kawan mereka yang terkenal sebagai jagoan-jagoan tukang berkelahi! Mana mungkin hal ini terjadi? Akan tetapi mereka telah menyaksikan dengan mata sendiri!

   "Hayoooohh...! Mengapa kalian berhenti, pengecut-pengecut tak bermalu? Majulah semua, keroyoklah aku! Hayo, kalau kalian ingin mampus di tanganku. Inilah puteri dari Nusakambangan!"

   Endang Patibroto yang sudah marah sekali menantang. Mendengar tantangan ini, Wirodurjono kaget sekali. Tentu saja, sebagai seorang tokoh dari Bagelen, ia sudah mendengar tentang Pulau Iblis, bahkan dia sendiri menerima peringatan langsung dari Ki Krendoyakso agar jangan membolehkan anak buahnya mendekati atau mengganggu Pulau Nusakambangan karena manusia raksasa Dibyo Mamangkoro yang amat mereka takuti tinggal di pulau itu. Dan kini, seorang gadis sakti muncul dan mengaku penghuni pulau itu, mengaku Puteri Nusakambangan! Dengan heran ia sekali loncat telah berada di depan Endang Patibroto, sikapnya agak hormat ketika bertanya,

   "Wah, kiranya nona datang dari Pulau Nusakambangan? Bolehkah kami mengetahui, ada hubungan apakah antara kau dengan Dibyo Mamangkoro?"

   Melihat laki-laki setengah tua yang bermuka merah dan bengis ini, hati Endang sudah tak senang.

   "Kau yang mengepalai gerombolan pengecut ini? Siapa namamu?"

   Diam-diam hati Witodurjono panas sekali. Dia adalah seorang pembantu Ki Krendoyakso yang terkenal, seorang yang biasa memberi perintah, biasa ditakuti oleh anak buahnya yang terdiri dari laki-laki kasar. Sekarang, gadis ini sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya, ditanya secara hormat belum menjawab balas bertanya dengan sikap demikian kurang ajar! Akan tetapi, nama Nusakambangan ternyata amat besar pengaruhnya sehingga seorang seperti Witodurjono masih mampu menahan kesabarannya terhadap seorang gadis remaja seperti Endang. Dengan muka menjadi makin merah, ia menjawab,

   "Namaku Wirodurjono dan ketahuilah, kami semua adalah anak buah Ki Krendoyakso. Seingat kami, belum pernah kami bersilang jalan dengan Ki Dibyo Mamangkoro yang kami hormati...!"

   "Orang macam engkau tak perlu menyebut-nyebut namanya. Pergilah!"

   Endang Patibroto dengan melangkah maju dan tangan kirinya bergerak, mendorong ke arah dada Wirodurjono, Kepala rampok itu adalah seorang yang kuat dan sakti.

   Tentu saja ia merasa makin mendongkol. Gadis ini benar-benar sombong, pikirnya. Biarpun datang dari Nusakambangan, perlu diberi hajaran sedikit biar tahu rasa bahwa anak buah Ki Krendoyakso tak boleh dipandang ringan. Ia berseru keras dan lengan kanannya yang berkulit hitam dan amat kuat itu sudah menyambar untuk menangkis dan menangkap tangan kiri Endang yang mendorong. Akan tetapi entah bagaimana ia sendiri tidak tahu sebabnya, tubuhnya sudah terlempar ke atas bagaikan disambar angin lesus. Ia berteriak kaget dan tubuhnya yang terbang itu menimpa daun-daun dan dahan-dahan. Cepat ia meraih dan untung ia dapat menangkap cabang dan dahan. Ketika ia memandang ke bawah, kiranya ia telah dilemparkan ke atas pohon oleh gadis remaja tadi!

   "Huah-hah-hah-hah! Bagus gerakanmu melempar orang itu, Endang! Akan tetapi, tikus-tikus ini sama sekali bukan musuhmu."

   "Bapa guru...!"

   Endang mengenal suara gurunya. Dibyo Mamangkoro muncul dan dengan langkah lebar ia mengharnpiri pohon di mana Wirodurjono tersangkut, kemudian sekali mendorong, pohon itu jebol akarnya dan tumbang. Wirodurjono cepat melompat ke bawah dan langsung ia menjatuhkan diri berlutut di depan Dibyo Mamangkoro yang belum pernah dilihatnya akan tetapi sudah amat dikenal namanya.

   "Hamba Wirodurjono, anak buah Ki Krendoyakso, mohon ampun telah bersikap kurang ajar karena tidak mengenal murid paduka."

   "Huah-hah-hah! Mana bisa kalian berkurang ajar kepada Puteri Nusakambangan? Kalian ini tikus-tikus goblog! Biarpun Ki Krendoyakso sendiri harus merangkak dan menyembah puteri ini, mentaati segala perintahnya. Mengerti??"

   "Am...ampunkan hamba sekalian..."

   Wirodurjono menggigil teringat akan cerita Ki Krendoyakso betapa dahsyat kesaktian kakek raksasa ini dan betapa besar bahayanya membikin marah kepadanya. Untung bahwa sisa anak buahnya juga tahu diri dan kini mereka semua sudah berlutut di belakangnya.

   "Sudahlah! Kalian sudah cukup diberi hajaran. Sekarang lekas sediakan sebuah kereta lengkap dengan kudanya, untuk kendaraan sang puteri dari Nusakambangan yang hendak mengunjungi Jenggala. Cepat!"

   Wirodurjono menyembah dan menyanggupi. Tidak lama kemudian pergilah ia bersama semua anak buahnya. Dibyo Mamangkoro mengajak muridnya duduk di tepi sungai sambil menanti.

   "Eh, Endang, kenapa kau bisa sampai di tempat ini?"

   "Aku hendak menyusulmu. Kenapa engkau terlalu lama meninggalkan pulau, bapa guru?"

   Dibyo Mamangkoro tertawa, lalu memegang tangan muridnya penuh kasih sayang.

   "Aku pergi bukan untuk keperluanku, muridku. Melainkan untuk keperluanmu juga. Tibalah waktunya sekarang engkau bersuwita (menghambakan diri) kepada Raja di Jenggala. Aku baru puas kalau melihat semua orang di Jenggala menyembahmu, dan melihat Panjalu hancur di bawah telapak kakimu. Dan dengan wajahmu yang cantik jelita, dengan kesaktianmu yang hebat, ditambah keris pusaka Brojol Luwuk di tanganmu, huah-hah-hah, aku yakin takkan kecewa hatiku!"

   Endang Patibroto masih meragukan apakah para gerombolan kasar tadi akan mentaati perintah gurunya. Tidak seorangpun di antara mereka kini tampak, bahkan mayat-mayat yang tadi berserakan kini telah diangkut pergi. Kemudian di tepi sungai itu amat sunyi. Akan tetapi, Dibyo Mamangkoro sikapnya tenang dan yakin bahwa perintahnya tentu akan ditaati. Dan ia benar. Tidak lama kemudian muncullah Wirodurjono dengan tujuh orang lain yang merupakan pimpinan perampok dan bajak sungai, anak buah Ki Krendoyakso. Mereka bersikap hormat ketika menyerahkan sebuah kereta yang cukup kuat indah, ditarik dua ekor kuda yang besar kuat. Dibyo Mamangkoro tertawa ketika mendengar mereka akan mengawal dan mengantar sampai ke Jenggaia.

   "Tidak usah! Biar kami kendarai sendiri."

   La lalu mengajak Endang naik kereta, mengayunkan cambuk dan. membalapkan dua ekor kuda itu menarik kereta. Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak. Satu kalipun ia tidak pernah mengucap terima kasih, bahkan melirikpun tidak kepada para pembantu Ki Krendoyakso yang berdiri di pinggir jalan dengan sikap menghormat. Tentu saja semua ini diperhatikan oleh Endang karena ia ingin tahu bagaimana kelak harus bersikap kalau berhadapan dengan orang-orang seperti itu.

   "Tidak boleh! Tidak bisa!! Harus kami laporkan lebih dahulu."

   "Mana bisa kalian masuk begitu saja ke dalam istana?"

   Akan tetapi Dibyo Mamangkoro tidak perdulikan cegahan dan halangan para pengawal istana. Ia menggandeng lengan Endang Patibroto dan melangkah lebar memasuki pendopo keraton yang berlantai mengkilap itu.

   Ketika enam orang pengawal depan istana itu mengepungnya, tangan kiri Dibyo Mamangkoro bergerak ke depan dan... enam orang pengawal itu kini berdiri terbelalak, dengan tubuh kaku-kaku tak bergerak seperti berubah menjadi arca-arca batu! Setelah sambil tertawa Dibyo Mamangkoro menggandeng tangan muridnya masuk ke ruangan dalam, barulah enam orang itu seakan-akan hidup kembali. Tadi mereka merasa betapa kaki tangan mereka kaku tak dapat bergerak! Tentu saja mereka menjadi bingung dan sibuk sekali, karena tentu mereka akan mendapat hukuman berat, membiarkan kakek raksasa dan gadis jelita itu memasuki keraton. Di ruangan dalam, segera dari kanan kiri dan depan berdatangan para penjaga dan pengawal istana, denga tombak panjang di tangan.

   "Hai, berhenti! Siapa berani masuk tanpa ijin?"

   Melihat mereka itu, muka Dibyo Mamangkoro menjadi merah.

   "Butakah mata kalian? Siapa berani menghalangi aku, Dibyo Mamangkoro, datang menghadap Raja??"

   Dengan mata mendelik dan sikap mengancam Dibyo Mamangkoro menantang. Seketika berubah pucat wajah para pengawal itu. Baru sekarang ia mengenal kakek itu, seorang kakek raksasa yang amat terkenal. Tentu saja mereka maklum akan kesaktian kakek ini dan tidak berani melawan. Namun, sebagai petugas-petugas dan penjaga, merekapun tidak berani membiarkan kakek itu masuk ke dalam ruangan persidangan, di mana sang prabu sedang bercengkerama dengan para ponggawanya.

   "Tapi... tapi... harap paduka menunggu, biar kami laporkan lebih dulu kepada gusti prabu..."

   Dan beberapa orang sudah berlari ke dalam untuk menyampaikan laporan. Namun Dibyo Mamangkoro tidak perduli, terus menggandeng tangan muridnya melangkah masuk.

   "Maafkan, kami tidak berani membiarkan paduka masuk sebelum ada perintah dari sang prabu."

   Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak.

   "Hendak kulilhat bagaimana kalian tikus-tikus ini bias mencegah aku masuk!"

   Ia melangkah terus dan keadaan menjadi tegang. Para pengawal tidak berani turun tangan, akan tetapi merekapun tidak mau memberi jalan, sehingga mereka itu membentuk lingkaran yang menghadang di depan Dibyo Mamangkoro dan muridnya, sambil mundur-mundur ketakutan. Dalam keadaan ketegangan mengancam keributan ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah dalam,

   "Ki Dibyo Mamangkoro dan temannya diperkenankan menghadap."

   Suara itu adalah suara pengawal dalam yang merupakan hasil pelaporan dua orang pengawal tengah tadi. Begitu mendengar bahwa orang yang mendatangkan ribut di luar adalah Dibyo Mamangkoro, sang prabu tersenyum dan memberi tanda agar raksasa itu diperbolehkan masuk dan menghadapnya. Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak, lalu bersama muridnya memasuki ruangan yang amat indah itu. Endang Patibroto celingukan memandang ke kenan kiri, mengagumi segala yang indah-indah dan yang baru pertama kali ini dilihatnya. Melihat sikap muridnya ini, Dibyo Mamangkoro tertawa.

   "Semua ini, dan banyak yang jauh lebih hebat dan indah lagi, kelak menjadi punyamu, Endang!"

   Mereka memasuki pintu tebal terakhir dan tampaklah ruangan yang indah. Di sebelah paling dalam, yang terhias sutera-sutera berkembang beraneka wama, tampak Raja Jenggaia duduk di atas singgasana, sebuah kursi kencana. Endang Patibroto menahan napas. Raja itu tampan, seperti dewa kahyangan. Tubuh atas yang tak berbaju itu berkulit kuning dan seperti emas mengeluarkan cahaya. Kepalanya memakai mahkota bertabur emas permata Wajahnya tampan sekali. Heran sekali hati Endang. Gurunya pernah bilang bahwa Raja Jenggala berusia empat puluh tahun lebih, mengapa mukanya begitu halus dan kelihatannya tampan seperti seorang pemuda? Juga perhiasan leher dan lengannya gemerlapan, pakaian yang menutup tubuh bagian bawah mewah dan indah pula.

   Beberapa orang ponggawa duduk bersila menghadap sang prabu. Akan tetapi pada saat itu, para hulubalang hanya mendengarkan saja dan sang prabu agaknya sedang merundingkan sesuatu yang amat penting dengan tiga orang yang duduk menghadap dekat di depan singgasana. Mereka ini adalah Ki Patih dan dua orang senopati. Ketika Dibyo Mamangkoro dan Endang Patibroto muncul, sang prabu menghentikan percakapan, mengangkat muka dan memandang kepada kakek raksasa itu dengan senyum gembira. Akan tetapi sepasang alisnya terangkat, agaknya heran ketika melihat kakek itu datang bersama seorang gadis yang berwajah jelita. Kalau saja yang datang itu bukan murid Dibyo Mamangkoro, tentu sang prabu akan marah sekali.

   Seorang wanita muda datang menghadap dengan langkah tenang begitu saja, tidak berjalan jongkok, memakai baju lagi!. Dengan lagak kasar tidak dibuat-buat, Dibyo Mamangkoro menarik muridnya maju, lalu mengajak muridnya itu berlutut memberi hormat. Ia duduk bersila sedangkan Endang Patibroto duduk bersimpuh. Berbeda dengan semua wanita yang mendapat kehormatan hadir di depan sang prabu dan selalu menundukkan muka, gadis remaja ini mengangkat muka, matanya berkeliaran memandang ke mana-mana, bahkan secara terang-terangan menatap wajah sri baginda tanpa takut sedikit pun juga! Sikapnya sama benar dengan sikap Dibyo Mamangkoro yang tidak mengherankan hati sang prabu, karena sang prabu sudah mengenal watak kakek raksasa yang kasar dan liar ini.

   "Kiranya paman Dibyo Mamangkoro yang membikin geger para pengawal keraton!"

   Demiklan tegur sang prabu sambil melirik ke arah Endang Patibroto.

   "Hamba, Dibyo Mamagkoro dan murid terkasih hamba, Endang Patibroto menghaturkan sembah sujut!"

   Suara raksasa tua ini menggema di seluruh ruang persidangan. Sang prabu tersenyum lagi.

   "Bagus, paman Dibyo. Kedatanganmu memang aangat tepat karena sesungguhnya kami amat membutuhkan bantuanmu."

   "Untuk menggempur Panjalu, gusti?"

   Dibyo Mamangkoro memotong.

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu, paman?"

   "Huah-hah-hahi Justeru karena itulah hamba datang menghadap dan membawa murid hamba ke sini. Hamba menawarkan tenaga bantuan murid hamba ini dan percayalah, gusti, kalau Endang Patibroto mengepalai semua senopati Jenggala, dalam waktu singkat saja Panjalu akan dapat dihancurkanl Huah-hah-hah!"

   Ucapan ini terlalu mengejutkan sehingga sri baginda dan semua hulubalang yang hadir tidak memperdulikan sikap dan kata-kata yang kasar itu. Mereka semua kini menengok dan memandang ke arah Endang Patibroto, yang bersikap tenang-tenang saja, bahkan membalas pandang mata mereka dengan senyum setengah mengejek. Sri baginda salah tampa, mengira bahwa Dibyo Mamangkoro sanggup membantu Kerajaannya dengan syarat agar wanita yang menjadi muridnya itu diterima menjadi dayang di keraton. Karena gadis itupun cantik jelita, hanya sayang belum tahu tata susila keraton, pula karena memang amat membutuhkan tenaga bantuan orang-orang sakti seperti Dibyo Mamangkoro, tanpa ragu-ragu lagi sang prabu berkata,

   "Baiklah, paman Dibyo. Muridmu ini kuangkat menjadi pelayan dalam, sedangkan engkau boleh memimpin para senopati di sini..."

   "Bukan demikian maksud hamba, gusti! Murid hamba ini, Endang Patibroto, Puteri Nusakambangan, hamba tawarkan menjadi senopati, memimpin perang terhadap Panjalu, bukan hamba!"

   "Apa katamu?? Paman Dibyo Mamangkoro, harap jangan main-main begitu. Kami benar-benar sedang menghadapi perang saudara, dan Panjalu mempunyai banyak orang sakti. Bagaimana kami dapat memakai tenaga seorang gadis remaja untuk menghadapi mereka?"

   "Huah-ha-ha-hal Hendaknya gusti tidak salah menduga. Murid hamba ini tidak boleh disamakan dengan segala wanita di jagad ini! Dia puteri di antara segala puteri! Sakti mandraguna tidak kalah oleh laki-laki yang manapun juga. Hamba sendiri sekarang belum tentu akan mampu mengalahkan murid hamba ini!"

   Ucapan Dibyo Mamangkoro mengandung kebanggaan luar biasa dan memang ia tidak terlalu melebih-lebihkan karena pada saat itu tingkat kepandaian Endang Patibroto memang sudah luar biasa sekali. Mungkin belum dapat menandingi kedigdayaan gurunya, akan tetapi kalau ia mempergunakan pusaka Ki Brojol Luwuk, belum tentu Dibyo Mamangkoro sanggup mengalahkannya! Tentu saja sang prabu dan para senopati memandang dengan kening berkerut dan tidak percaya. Namun, karena para senopati itu mengenai baik-baik siapa dia Dibyo Mamangkoro, sungguhpun mereka merasa tersinggung dan terhina dengan usul yang diajukan raksasa itu, mereka tidak berani mengeluarkan bantahan. Hanya sang prabu yang berani berseru,

   "Paman Dibyol Hentikan kelakarmu ini! Gadis muridmu ini paling banyak berusia sembilan belas tahun"

   "Baru tujuh belas tahun usia hamba!"

   Tiba-tiba Endang Patibroto memotong sabda sri baginda dengan suara melengking nyaring, mengagetkan semua orang. Sejenak sang prabu sendiri tercengang, kemudian tertawalah beliau dengan geli hati.

   "Ha-ha-ha! Baru tujuh belas tahun lagi! Paman Dibyo, sungguh kau lucu, akan tetapi leluconmu ini kau keluarkan tidak pada saat yang tepat. Sedangkan Ni Nogogini dan Ni Durgogini berdua yang merupakan wanita-wanita paling sakti di dunia ini, masih tidak sanggup memimpin semua barisan menghadapi Panjalu. Apalagi gadis remaja ini!"

   "Huh, nenek-nenek!"

   Dibyo Mamangkoro berseru mengejek."Harap paduka jangan memandang rendah murid hamba ini. Benar dia baru tujuh belas tahun usianya, akan tetapi nenek-nenek Durgogini dan Nogogini bukan tandingannya!"

   "Ahhh...!!"

   Para hulu-balang tidak dapat menahan seruan kaget mereka.

   "Benarkah itu, paman Dibyo Mamangkoro?"

   Sang prabu juga terkejut dan heran.

   "Hamba tidak berkata bohong. Mohon paduka perintahkan apa saja, tentu akan dapat dilakukan murid hamba."

   Sang prabu mengerutkan kening, masih meragu. Benarkah seorang wanita begini muda dapat menandingi kedigdayaan Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Sukar dipercaya. Ia menarik napas panjang lalu berkata,

   "Menjadi senopati bukanlah hal mudah, paman. Tentu saja tentang hal ini paman sendiri yang pernah menjadi senopati besar telah mengerti, bukannya aku tidak percaya kepadamu, akan tetapi melihat muridmu ini hanya seorang wanita muda, memang amatlah.sukar dipercaya kalau tidak ada buktinya. Pada saat kami menghadapi perang besar ini, hanya dua hal yang selalu membuat hatiku selalu khawatir. Pertama, adalah paman Narotama yang kini masih menjadi pertapa di lereng Gunung Bekel. Biarpuri semenjak pembagian Kerajaan, paman Narotama tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, namun aku tahu bahwa diam-diam ia berfihak kepada Panjalu! Sebelum dia mati, hatiku takkan merasa tenteram dan aku selalu masih ragu-ragu untuk mulai perang melawan Panjalu. Ke dua, keadaan di Panjalu kini tertutup, penuh rahasia sehingga sukarlah bagi para penyelidikku untuk mengukur kekuatan mereka. Pernah aku mengutus Ni Durgogini dan Ni Nogogini pergi menyelidik, akan tetapi hampir saja mereka berdua tertawan. Kiranya Panjalu sudah mengumpulkan banyak orang sakti."

   Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak. Suara ketawanya mengumandang di seluruh ruangan yang luas itu.

   "Terbukalah kesempatan bagi murid hamba untuk memperlihatkan kepandaian. Apa yang tidak dapat dicapai oleh dua orang nenek itu, tentu akan dapat diiakukan oleh murid hamba. Eh, Endang muridku yang denok montok, muridku yang ayu manis! Engkau sudah mendengar sabda sang prabu. Beranikah engkau menyelidiki keadaan keratin Panjalu?"

   Sambil mengangkat muka dan membusungkan dada Endang Patibroto menjawab,

   "Mengapa tidak berani? Kapan aku harus berangkat, bapa? Dan apa yang harus kukerjakan di keraton Panjalu?"

   Selagi sang prabu dan para menteri terkejut mendengar jawaban seenaknya ini, Dibyo Mamangkoro tertawa lagi saking girang dan bangga hatinya.

   "Huah-ha-ha! Muridku, kau berhati-hatilah kalau berada di Kotaraja Panjalu. Jangan bertindak sembrono dan jangan sekali-kali membiarkan dirimu terkepung atau tertawan. kau selidiki keadaan di sana, sedapat mungkin kau tangkap pembicaraan antara sang prabu di Panjalu dengan menteri-menterinya, kemudian sebagai tanda kenang-kenangan kau bawa ke sini bendera pusaka yang berkibar di atas keraton Panjaiu. Sanggupkah?"

   "Sanggup, dan aku berangkat sekarang juga, bapa. Hamba mohon diri, gusti!"

   Belum lenyap gema suaranya, gadis remaja itu telah berkelebat secepat kilat dan tahu-tahu sudah lenyap dari ruangan itu!.

   "Jagad Dewa Bathara! Bukan main muridmu itu, paman Dibyo Mamangkorol"

   Sang prabu akhirnya bersabda setelah sejenak terpaku keheranan. Juga para menteri dan hulubalang saling pandang. Menipis keraguan mereka terhadap gadis remaja tadi, menyaksikan gerakan yang sedemikian cepat seakan-akan gadis itu pandai ilmu"menghilang"

   Saja.

   "Sudah hamba haturkan tadi, murid hamba takkan mengecewakan paduka. Akan tetapi, tentu saja untuk berhadapan dengan Narotama, murid hamba kalah gemblengan dan kalah pengalaman. Untuk mengatasi Narotama, hamba sendirilah yang akan maju, gusti. Perkenankan hamba mundur, karena hamba hendak langsung menuju ke Gunung Bekel dan mencari si Narotama, musuh besar hamba!"

   "Apakah engkau tidak membutuhkan pasukan pengawal, paman?"

   "Ha-ha-ha! Tidak perlu, gusti. Hamba sudah mempunyai pasukan sendiri, yang telah hamba beri kabar dan sekarang agaknya sudah menanti di alun-alun."

   Pada saat itu, tiba-tiba terdengar lapat-lapat suara gagak. Dibyo Mamangkoro tertawa,

   "Ha-ha, itulah mereka, gusti, para anak buah hamba telah menanti di alun-alun."

   Semua menteri dan senopati merasa serem. Benar-benar kakek raksasa ini seorang yang menyeramkan. Adapun sang prabu yang merasa girang melihat datangnya bantuan seorang sakti seperti Dibyo Mamangkoro, segera berkata,

   "Baiklah, paman. Berangkatlah, doaku mengiringimu dan biarlah kutunda pesta penghormatan untukmu setelah kau kembali menyelesaikan tugas."

   "Huah-ha-ha Seorang panglima yang baik tidak akan bicara tentang jasa sebelum tugas terlaksana, gusti. Hamba mohon diri!"

   Setelah sang prabu mengangkat tangan kanan memberi perkenan, raksasa tua itu mengundurkan diri dan melangkah lebar menlnggalkan Keraton Jenggala. Benar saja seperti perhitungannya, di alun-alun telah menanti pembantu-pembantunya, yaitu Wirokolo, sepasang Gagak dan sepasukan orang-orang tinggi besar berjumlah tiga puluh enam orang.

   "Hayo, konco, kita berangkat sekarang juga ke Gunung Bekel!"

   Teriak Dibyo Mamangkoro setelah tiba di alun-alun disambut oleh Wirokolo dan sepasang Gagak.

   "Gunung Bekel??"

   Sepasang Gagak bertanya hamper berbareng. Agaknya Gagak Kunto dan Gagak Rudro masih teringat akan pengalaman mereka ketika menyerbu Jalatunda sehingga disebutnya gunung itu membuat mereka jerih.

   "Huah-ha-ha! Sang prabu ingin agar kita lebih dulu membereskan si keparat Narotama!"

   "Na... Narotama...??"

   Gagak Kunto berseru kaget. Juga Gagak Rudro nampak pucat.

   "Huh, kalian takut apa? Bersama kakang Dibyo Mamangkoro, iblis mana yang takkan dapat kita hancurkan?"

   Bentak Wirokolo sambil melototkan mata. Teringat akan hadirnya Dibyo Mamangkoro, sepasang Gagak timbul pula keberaniannya dan tertawa-tawalah mereka ketika rombongan ini bergerak menuju ke Gunung Bekcl.

   "Sekarang ujilah Aji Bojro Dahono pada pohon itu!"

   Terdengar kakek tua yang duduk bersila di atas batu kepada Joko Wandiro yang baru saja selesai berlatih di depan gurunya. Mendengar perintah ini, Joko Wandiro mengerahkan hawa sakti, menyalurkan hawa dari pusar ke arah kedua lengannya, lalu kedua kakinya bergerak, tubuhnya diputar dan kedua lengannya dipukulkan ke depan, ke arah pohon trembesi yang besarnya sepelukan orang dan yang letaknya kurang lebih tiga meter di depannya.

   "Werrrr...!!"

   Tidak terjadi apa-apa pada pohon itu, akan tetapi Joko Wandiro mengeluarkan keringat pada dahinya, tanda bahwa ia telah mengerahkan tenaga. Sehabis melakukan gerak pukulan ini, ia lalu meramkan mata dan menyalurkan pernapasan panjang untuk memulihkan tenaganya.

   "Bagus! Cukup baik, kuat, dan tepat gerakannya. Muridku yang baik, kau dorong roboh pohon itu ke sebelah sana, agar jangan roboh oleh angin dan menimpa pondok kita."

   Joko Wandiro menghampiri pohon trembesi yang dihantamnya dari jarak jauh tadi, lalu perlahan ia mendorong dan... dengan amat mudahnya pohon itu tumbang. Kiranya di sebelah dalam pohon itu sudah hangus seperti dibakar atau seperti disambar geledek! Demikian hebat ilmu pukulan Bojro Dahono (Api Berkilat) yang telah dimiliki Jok"

   Wandiro.

   "Ke sinilah, angger Joko Wandiro, dan dengarlah wejanganku."

   Dengan suara penuh kasih sayang, kakek yang bukan lain adalah Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna itu memanggil Joko Wandiro. Joko Wandiro, kini sudah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah berusia Sembilan belas tahun, cepat menghampiri gurunya, menjatuhkan diri berlutut, menyembah dan bersila di depan kaki gurunya.

   "Hamba siap menanti perintah dan petuah bapa guru yang mulia,"

   Kata Joko Wandiro, sikapnya penuh hormat. Ia amat mencinta gurunya ini yang selama bertahun-tahun telah menggemblengnya, baik dengan ilmu silat yang luar biasa, aji-aji mantera yang hebat, maupun ilmu batin dan filsafat hidup yang tinggi.

   "Angger, Joko Wandiro, muridku. Setelah Bojro Dahono dapat kau lakukan dengan baik, berarti tamatlah sudah pelajaranmu. Tidak ada aji lain yang belum kuberikan kepadamu, Joko. Dan aku merasa puas melihat hasilnya. Engkau sudah menjadi seperti aku ketika masih muda. Sekarang sebelum kita saling berpisah..."

   "Berpisah, bapa guru? Mengapa... mesti saling berpisah...?!"

   Resi Narotama tersenyum dan terbayanglah ketampanannya yang sudah terselimut usia tua.

   "Mengapa? Ha-ha-ha, pertanyaan yang selalu akan timbul dalam hati sanubari manusia. Ya, mengapa selalu ada perpisahan sebagai akhir pertemuan? Mengapa ada kematian sebagai akhir kelahiran? Mengapa ada ketidakadaan sebagai akhir keadaan? Karena memang sudah semestinya demikian, angger! Karena ada pertemuan, maka timbul perpisahan. Karena ada kelahiran, maka timbul kematian dan seterusnya. Hal ini tidak perlu engkau herankan, lebih-lebih tidak boleh kau sesalkan, Joko. Sudah banyak kuwejangkan kepadamu tentang sebab akibat. Sekarang kulanjutkan kata-kataku tadi yang terputus oleh pertanyaanmu. Kuulangi lagi, sebelum kita saling berpisah, kau jawablah lebih dulu pertanyaanku ini. Setelah bertahun-tahun engkau bersusah payah mempelajari segala macam ilmu dan kini telah tamat belajar dengan hasil memiliki ilmu, akan kau pergunakan untuk apakah ilmu yang kau pelajari dengan segala pengerahan jerih payah itu, angger?"

   Joko Wandiro menundukkan mukanya, berpikir dalam-dalam sebelum menjawab. Pertanyaan yang gawat dan pelik ini harus ia jawab dengan hati-hati, maka ia kumpulkan kembali segala wejangan yang pernah ia terima dari gurunya untuk bahan jawaban, kemudian ia menyembah dan menjawab, suaranya lantang,

   

Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini