Badai Laut Selatan 25
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
"Bekerja apa saja hamba sanggup melakukan, gusti. Hamba menyediakan jiwa raga hamba untuk melakukan tugas yang paduka perintahkan."
Sang prabu mengeluarkan suara mengejek.
"Huh, semua orang sebelum diterima bekerja, memberi janji muluk-muluk setinggi langit. Setelah diberi tugas, tidak seorangpun becus memegangnya. Begini banyak perajurlt dan pengawal, seperti tidak ada manusia saja!"
Semua senopati dan hulubalang tertunduk mendengar ini, maklum bahwa kembali sang prabu teringat akan peristiwa sebulan yang lalu.
"Kaupun agaknya hanya pandai berjanji seperti yang lain-lain, Joko Wandiro"
"Hamba siap untuk diuji bila perlu, gusti."
"Engkau berani menghadapi musuh? Melawan maling haguna yang sakti?"
Sejenak Joko Wandiro tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan Raja itu. Akan tetapi ketika melirik ke kanan kiri untuk minta keterangan dari para penghadap, ia melihat bahwa mereka itu memandang kepadanya dengan sinar mata mencemooh, ia segera menyembah.
"Hamba tidak akan mundur, demi menjunjung titah paduka."
Kembali Joko Wandiro melirik ke kanan kiri karena telinganya yang tajam terlatih itu mendengar suara tawa tertahan, suara penuh ejekan yang merupakan dengus dari hidung. Ia. maklum bahwa mereka itu diam-diam memandang rendah kepadanya dan menganggap jawaban tadi seperti sebuah lelucon belaka. Akan tetapi sang prabu, putera mendiang Prabu Airlangga, sedikitnya mewarisi ketajaman mata dan kcwaspadaan ayahnya. Sang prabu melihat sesuatu pada diri pemuda itu, sesuatu yang tidak tampak oleh mata orang biasa. Sang prabu mengerti bahwa pemuda ini bukan pemuda gunung biasa dan bahwa semua ucapannya tadi keluar dari lubuk hati.
"Hemm, Joko Wandiro. Kesanggupan dan kesetiaan saja tanpa kepandaian, takkan ada gunanya. jika sewaktu-waktu Kerajaan kedatangan musuh yang tangguh, beranikah engkau menghadapi dan melawannya?"
"Hamba berani asal mendapat titah paduka."
"Murid siapakah engkau?"
Joko Wandiro sudah mendapat pesan dari Resi Narotama agar jangan menyebut nama kakek itu, apalagi di depan sang prabu di Panjalu.
"Hamba murid seorang pertapa yang tidak mau disebut namanya, gusti Kepandaian hamba tidak ada artinya, akan tetapi dengan kebulatan tekad dan dengan berkah paduka, kiranya hamba akan dapat melaksanakan tugas yang paduka titahkan kepada hamba."
Girang hati sang prabu mendengar kesanggupan ini. Agak jernih wajahnya. Pemuda ini boleh diharapkan, sungguhpun masih amat disangsikan kepandaiannya. Kelihatannya hanya seorang pemuda sederhana, sederhana lahir batinnya. Pada saat itu, terdengar suara rlbut-ribut di luar dan dua orang yang berpakaian prajurit menyerbu masuk, muka mereka pucat sekali dan serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut di depan anak tangga ruangan persidangan itu. Dengan tubuh menggigil mereka menyembah kepada sang prabu. Para senopati dan hulubalang melempar pandang marah kepada dua orang perajurit ini yang dianggap mengganggu.
"Heh, bocah perajurit! Mengapa kalian berani lancang menghadap dan mengganggu persidangan?"
Sang prabu menegur sambil mengerutkan keningnya.
"Mohon diberi ampun, gusti. Hamba berdua berani menghadap tanpa diperintah karena terpaksa, hamba... hamba..."
Dua orang itu tergagap-gagap ketakutan.
"Apakah kalian Ini sudah bosan hidup? Keparat! Hayo bikin laporan yang betul di hadapan gusti prabu!"
Bentak Ki Patih yang sejak tadi sudah memandang dengan mata melotot.
"Kalau tidak, kuhancurkan kepala kalian!"
Melihat sikap Patih ini, kedua orang perajurit menjadi makin bingung dan gugup.
"Hamba... ham..."
Mereka menelan ludah berkali-kali, akan tetapi tetap saja tidak dapat melanjutkan katanya karena leher serasa tercekik. Ki Patih makin marah dan sudah hendak bangkit untuk memberi hajaran.
"Patih Suroyudo, biarkan mereka tenang dan memberi laporan yang betul. Heh, bocah perajurit. Jangan takut dan ceritakan, apa yang terjadi?"
Kata sang prabu.
"Ampun, gusti. Di alun-alun ada dua orang musuh melakukan amuk. Banyak sudah para perajurit dan perwira yang tewas. Mereka berdua amat digdaya dan menyebar maut di antara perajurit. Sepak terjang mereka seperti iblis betina..."
"Apa? Dua orang wanita?"
Sang prabu memotong heran.
"Betul seperti sabda paduka. Dua orang pengamuk itu adalah wanita-wanita cantik."
"Siapa nama mereka?"
Sang prabu memotong.
"Mereka mengaku bernama Ni Nogogini dan Ni Durgogini, gusti.-..."
"Patih Suroyuda, kiranya dua orang iblis itu yang datang lagi mengacau! Bawa pasukan dan kerahkan senopati, tangkap mereka!"
"Paduka jangan khawatir. Hamba akan menangkap mereka!"
Jawab Patih Suroyuda yang segera pamit keluar diikuti para senopati dan hulubalang. Karena sedang pusing menghadapi banyak kekacauan, sang prabu meninggalkan ruangan itu, lupa kepada Joko Wandiro yang masih duduk bersila. Setelah semua orang pergi, barulah Joko Wandiro sadar bahwa ia ditinggalkan begitu saja. Selagi ia bingung, seorang pengawal membentaknya,
"Heh bocah gunung! Mau apa lagi di sini? Hayo keluar!"
"Tapi...! tapi... hamba ingin menghambakan diri kepada sang prabu..."
"Bocah seperti engkau ini mau bekerja apa di sini? Tidak tahukah engkau betapa sang prabu sedang duka? Engkau tidak diterima, tahu? Hayo pergi keluar!"
Joko Wandiro mendongkol sekali, akan tetapi ia menekan perasaannya dan bersikap sabar.
Setelah menarik napas panjang ia lalu keluar dari tempat itu. Diam-diam ia berpikir, andaikata ia mengaku sebagai murid Resi Narotama yang dahulu merupakan seorang Patih junjungan di Kahuripan, agaknya tidak akan begini sikap sang prabu dan para pengawal. Setelah ia tiba di luar istana, ia melihat keadaan kacau dan geger, terutama sekali di alun-alun. Tampak para perajurit berlarian ke sana ke mari membawa tombak. Ada pula perajurit-perajurit yang mengangkut temantemannya yang terluka atau yang telah tewas. Teringatlah Joko Wandiro akan pelaporan dua orang perajurit tadi. Di alun-alun ada dua orang wanita mengamuk, dua orang wanita musuh. Karena adanya pelaporan tentang mengamuknya dua orang wanita inilah sang prabu lalu membubarkan persidangan dan meninggalkannya.
Karena gara-gara dua orang wanita itulah maka ia sampai dilupakan begitu saja sehingga ia ditegur dan diusir pengawal. Joko Wandiro membelokkan kakinya berjalan ke arah alun-alun. Ingin ia melihat siapa gerangan dua orang wanita yang demikian digdaya, berani melawan dan merobohkan para perajurit dan pengawal. Dari jauh sudah kelihatan betapa di tengah alun-alun terjadi pertandingan hebat. Joko Wandiro mempercepat langkahnya dan ketika ia tiba di tempat pertempuran, ia memandang.dengan kaget dan heran. Benar saja laporan tadi. Di situ terdapat dua orang wanita yang mengamuk. Dua orang wanita yang cantik-cantik, mengamuk dengan kaki tangan tanpa senjata. Akan tetapi gerakan mereka hebat sehingga para perajurit yang mengeroyok dan bersenjata itu tidak mampu mendesak mereka.
Bahkan Patih Suroyudo sendiri bersama beberapa orang senopati yang tadi memandangnya penuh ejekan, kini berdiri dengan senjata di tangan dan ikut menyerang. Namun dua orang wanita itu benar-benar hebat dan gesit gerakan mereka. Hanya Ki Patih dan senopati yang baru keluar dari istana saja yang tidak roboh oleh sambaran tangan kedua orang wanita itu. Para perajurit biasa, baru terkena sambaran hawa pukulan saja sudah jatuh tunggang-langgang! Sepasang mata Joko Wandiro yang berpemandangan awas itu melihat hawa yang kotor dari ilmu hitam. Juga kedua wanita itu memiliki wajah cantik yang tidak sewajarnya, dengan kilatan sepasang mata genit dan cabul. Sekali pandang saja Joko Wandiro tahu bahwa dua orang wanita ini bukanlah orang baik-baik.
Diam-diam ia menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita itu. Joko Wandiro memang belum pernah bertemu dengan dua orang wanita ini yang bukan lain adalah Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Mengapa kedua orang wanita sakti ini datang ke Panjalu dan mengamuk di alun-alun? Hal ini ada hubungannya dengan perbuatan Endang Patibroto. Telah kita ketahui betapa Endang Patibroto diajak gurunya, Dibyo Mamangkoro untuk menghadap sang prabu di Jenggala dan di sana kepandaiannya diuji oleh sang prabu. Gadis remaja ini disuruh menyelidiki keadaan di Panjalu dan mencuri bendera pusaka yang berkibar di puncak istana! Gadis remaja yang sakti itu segera berangkat menuju Kerajaan Panjalu dan dengan kepandaiannya yang tinggi, malam hari itu ia berhasil menyelundup ke pekarangan belakang istana.
Dengan cara melompat ke atas genteng istana seperti seekor kucing Candramawa, ia berhasil mencuri bendera pusaka yang sedang berkibar di atas puncak istana tertiup angin malam. Ketika ia melompat turun, Endang Patibroto bertemu dengan dua orang perwira pengawal yang segera menerjang Untuk menangkapnya. Akan tetapi dengan mudah Endang Patibroto merobohkan mereka, menggunakan golok mereka memenggal leher keduanya dan menjambak rambut dua buah kepala itu dibawa kembali ke Jenggala untuk bukti bahwa tugasnya telah terlaksana dengan baik! Tentu saja hal ini menggemparkan Jenggala. Sang prabu di Jenggaia merasa kaget, heran dan juga girang sekali. Tanpa menanti kembalinya Dibyo Mamangkoro lagi, sang prabu lalu mengangkat Endang Patibroto sebagai kepala pengawal istana!
Semua senopati di Jenggala membicarakan hal ini dengan penuh kekaguman, memuji-muji Endang Patibroto setinggi langit, padahal mereka itu seorangpun tidak ada yang pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kesaktian gadis remaja itu. Sudah lajim di dunia ini semenjak jaman dahulu sampai sekarang, setiap ada orang mencapai kemuliaan, sudah tentu ada orang lain yang merasa iri hati dan dengki. Hal ini tidak terluput pada diri Endang Patibroto. Banyak di antara para senopati dan orang-orang sakti yang menghambakan diri di Jenggala merasa iri hati. Masih untung bagi Endang Patibroto bahwa dia adalah murid Dibyo Mamangkoro. Nama gurunya Ini cukup mengerikan sehingga mereka yang merasa iri hati merasa ragu-ragu dan takut untuk mcngganggu murid Dibyo Mamangkoro.
Mereka tidak takut terhadap Endang Patibroto yang mereka buktikan kesaktiannya, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang tidak gentar menghadapi Dibyo Mamangkoro. Di antara mereka yang merasa iri hati kepada Endang Patibroto, juga termasuk mereka yang terkenal sebagai orang-orang sakti yang membantu Kerajaan Jenggaia, yaitu tokoh-tokoh yang sudah lama kita kenal dan yang sejak Sang Prabu Jenggala masih menjadi Pangeran Anom dahulu telah pula membantunya. Mereka ini adalah Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Sebelum Dibyo Mamangkoro dan muridnya, bersama pengikutnya Wirokolo, Sepasang Gagak dan anak buahnya datang ke Jenggaia, mereka adalah orang-orang terhormat yang dianggap sebagai pembantu-pembantu utama.
Kini menyaksikan betapa murid Dibyo Mamangkoro seorang diri sanggup menyerbu Panjalu, berhasil mencuri bendera pusaka, tentu saja mereka merasa kedudukan mereka terancam. Apalagi setelah mendengar betapa sang prabu amat menghormat dan menyambut Endang Patibroto penuh kcgembiraan, memberi gadis remaja itu kedudukan tinggi di dalam istana sebagai kepala semua pengawal pribadi sang prabu, mereka menjadi makin tidak enak. Sudah tentu saja yang merasa paling iri dan tidak enak di antara mereka, adalah Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Bukan hanya karena Endang Patibroto hanyalah seorang gadis remaja, akan tetapi terutama sekali karena mereka berdua pernah berusaha mcncuri bendera pusaka itu dan gagal!.
Usaha Endang Patibroto yang berhasil baik itu merupakan tamparan bagi mereka berdua, maka untuk "Menebus kekalahan"
Dan menebus muka, mereka berdua lalu pergi menyerbu ke Panjalu dan melakukan pengamukan di alunalun! Tentu saja perbuatan mereka ini hanya terdorong hati panas dan untuk mengangkat kembali nama mereka yang jatuh oleh persaingan Endang Patibroto. Mereka berdua, betapapun saktinya, maklum bahwa hanya tenaga mereka berdua saja tidak mungkin dapat melawan perajurit dan pengawal Panjalu yang ribuan orang banyaknya. Merekapun bukan bermaksud untuk menaklukkan Panjalu hanya dengan tenaga mereka berdua, melainkan hanya untuk mengamuk, kemudian kalau kewalahan akan melarikan diri, kembali ke Jenggala dengan perasaan bangga.
Tentu saja sang prabu di Jenggala akan mendengar hal ini dan akan menghargai mereka. Demikianlah, ketika Joko Wandiro yang keluar dari istana Kerajaan Panjalu dengan hati mendongkol menonton keributan di alun-alun, ia melihat dua orang wanita cantik itu tengah mengamuk. Pasukan perajurit Panjalu sama sekali bukan lawan kedua orang wanita sakti ini, seperti mentimun melawan durian saja. Kalau saja perasaan hatinya tidak terpukul oleh penolakan yang dilakukan terhadap dirinya di dalam istana, tentu Joko Wandiro sudah menyerbu dan menghadapi dua orang wanita yang berhawa jahat itu. Akan tetapi karena hatinya masih mendongkol, ia kini hanya duduk di pinggiran, di atas akar pohon waringin yang tumbuh di pinggir alun-alun, menongkrong dan menonton pertandingan.
"Minggir! Biarkan kami menangkap iblis-iblis betina ini!"
Tiba-tiba terdengar bentakan. Para perajurit pengeroyok yang memang sejak tadi sudah gentar sekali, girang mendengar bentakan ini dan cepat-cepat mereka mundur sambil menarik pergi teman-teman yang menggeletak terluka. Joko Wandiro kini terpaksa berdiri agar dapat menonton lebih jelas karena mundurnya para perajurit itu menjadi penghalang bagi penglihatannya. Ia melihat betapa yang melompat maju adalah dua orang senopati yang tadi ikut menghadap sang prabu. Dua orang senopati yang tadi berbisik-bisik ketika ia menghadap. Mereka itu tampak kuat dan sinar mata mereka membayangkan bahwa sedikit banyak mereka memiliki aji kesaktian.
"He, tahan dulu! Dua orang perempuan setan dari mana berani rnernbikin kacau di Panjalu? Mengakulah sebelum kami turun tangan membunuhmu!"
Teriak seorang di antara mereka berdua yang kumisnya sekepal sebelah.
"Bukankah kalian ini yang pernah mengacau pada waktu malam hari beberapa bulan yang lalu?"
Ni Durgogini dan Ni Nogogini berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Mereka tampak gagah dan cantik sekali. Benar hebat dua orang wanita ini. Ni Durgogini yang dahulu pernah menjadi selir terkasih Ki Patih Narotama dan bernama Lasmini adalah seorang wanita yang usianya sudah lima puluh enam tahun, akan tetapi masih tampak muda dan cantik jelita seperti wanita berusia dua puluh enam tahun saja! Demikian pula Ni Nogogini, dahulu bekas selir Sang Prabu Airlangga dan bernama Mandari, usianyapun hanya dua tahun lebih muda daripada Lasmini, akan tetapi juga masih amat muda dan cantik jelita. Semua ini adalah berkat khasiat obat Suket-sungsang, semacam rumput laut yang amat sukar didapat, ditambah dengan ilmu hitam mereka. Ketika Ni Durgogini tertawa, giginya putih indah ber kilat.
"Hi-hik, orang-orang Panjalu! Ketahuilah, aku bernama Durgogini dan ini adikku Ni Nogogini. Beberapa bulan yang lalu kami menyerbu dan kalian sudah merasakan hajaran kami. Hayo, orang Panjalu, keluarkan semua jagomu dan lawanlah kami, dua orang kepercayaan sang prabu di Jenggaia!"
"Ehh, kalian ini dua ekor tikus, lebih baik mundur saja. Suruh senopati yang paling sakti maju. yang kalian andalkan hanya kumis tebal saja, huhhh, menjijikkan!"
Ni Nogogini berkata, kemudian dua orang wanita itu tertawa-tawa geli. Melihat lagak dua orang wanita itu, dua orang senopati muda menjadi tertarik hatinya.
Mereka berdua ini sama sekali tidak tahu bahwa saat itu, Ni Durgogini dan Ni Nogogini telah mengerahkan aji pengasihan Guno Asmoro sehingga dalam pandang mata dua orang senopati itu mereka yang tersenyum-senyum tampak makin cantik jelita seperti dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan! Lebih celaka lagi, mereka berdua adalah laki-laki yang tak dapat menahan nafsu berahi kalau berhadapan dengan wanita cantik. Maka seketika lenyaplah kemarahan mereka, lenyap nafsu mereka untuk menangkap atau membunuh dua orang wanita musuh yang membikin kacau itu. Si kumis tebal mendengar ucapan Ni Nogogini yang menyinggung kumisnya, merasa seperti dipuji, mengira bahwa Ni Nogogini jatuh hati kepadanya. Ia lalu melangkah maju dan dengan cengar-cengir memasang aksi, mengelus-elus dan memilin-milin kumisnya, ia berkata,
"Duhai yayi dewi nan ayu rupawan melebihi bidadari! Sayang nian apabila yayi dewi nan cantik jelita menerima hukuman mati. Lebih baik menyerahlah saja, dewi. Menyerahlah kepada kakanda Diroprono, heh Ni Nogogini. Kakanda yang akan mohon kepada gusti prabu agar adinda diampuni dan menjadi isteri kakanda!"
Bagaikan orang mabok senopati Diroprono merayu-rayu Ni Nogogini yang tersenyum makin manis.
"Hi-hik!"
Ni Nogogini tertawa genit sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri."Engkau ingin memperisteri aku? Diroprono, namamu cukup gagah dan aku suka kepadamu. Akan tetapi..., kumismu itu lho yang nggilani (menjijikkan). Asal kau cukur kelimis dulu kumismu, baru aku mau mempertimbangkan pinanganmu!"
"Heh...? Kumisku dicukur kelimis? Bagaimana ini? Kumisku bagus seperti kumis Raden Gatotkaca kok disuruh buang? Apa kau tidak kecewa nanti, manis? Tapi biarlah, asal engkau yang mencukurnya, aku rela berkorban kumis!"
Setelah berkata demikian, senopati Diroprono melangkah maju seperti orang mabok, mendekatkan mukanya pada Ni Nogogini. Melihat betapa lawannya ini sudah terjatuh ke dalam pengaruh aji pengasihan, Ni Nogogini sambil tertawa lalu menggerakkan tangan mencengkeram ke depan dan sekali renggut saja kumis yang tebal itu telah dicabutnya dari atas bibir.
"Aduhhh...!"
Diroprono mencengkeram bibir atasnya yang robek dan berdarah.
Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan susulan yang dilakukan Ni Nogogini sambil tertawa terkekeh membuat tubuhnya terlempar. Adapun senopati muda yang ke dua, seperti Diroprono, telah mabok oleh kekuasaan aji pengasihan itu dan seketika tubuhnya menjadi lemas, lenyap semua semangat hendak bertandirg dan tanpa disadari lagi ia sudah menjatuhkan diri berlutut hendak memeluk kaki Ni Durgogini! Tentu saja iapun menjadi makanan empuk bagi wanita sakti itu. yang sekali pukul telah berhasil membuat senopati muda itu terjungkal tak dapat bangkit kembali. Joko Wandiro yang menyaksikan semua itu menjadi makin tak senang. seperti itu sajakah perwira Panjalu? Sungguh memalukan sekali. Dan dua orang wanita itu sungguh keji.
"Amuk-amuk! Mana senopati-senopati pilihan di Panjalu? Mana mereka yang beberapa bulan yang lalu telah mengeroyok kami? Hayo keluarlah jago-jago Panjalu! Inilah Ni Durgogini menanti tanding!"
Durgogini bersumbar dengan lagak sombong.
"Bukankah Resi Telomoyo membantu Panjalu? Mana monyet tua itu? Dan juga Pujo dan dua orang isterinya. Hayo keluarlah!"
Teriak pula Ni Nogogini. Mendengar disebutnya ayah aggkat atau gurunya, Joko Wandiro terkejut juga, sungguhpun ia sudah mendengar dari Resi Narotama bahwa guru pertama atau ayah angkatnya itu membantu Panjalu bersama dua orang isterinya.
Ia tidak tahu apakah Pujo berada di Panjalu ataukah masih berada di Bayuwismo di pantai Laut Selatan. Melihat sikap congkak dan tantangan yang ditujukan kepada Pujo, panas juga hati Joko Wandiro. Ia sudah melihat Ki Patih Suroyudo dan beberapa orang senopati tua yang tampaknya memiliki kepandaian berarti, tidak seperti dua orang senopati muda tadi, sudah maju. Akan tetapi Joko Wandiro sudah mendahului mereka, meloncat dengan gerakan sigap sehingga tahu-tahu pemuda ini telah berhadapan dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Ketika dua orang sakti itu memandang, sejenak mereka tertegun. Dengan pandang mata mereka yang awas, kedua orang wanita sakti ini mengerti bahwa pemuda di depan mereka ini bukanlah orang sembarangan. Dengan kagum mereka memandang pemuda itu. Timbul rasa sayang di hati wanita cabul ini.
"Eh-eh, bocah bagus. Siapakah engkau? Pakaianmu bukan seperti seorang ponggawa Kerajaan. Apa kehendakmu maju menghadapi kami?"
Tanya Ni Durgogini sambil tersenyum memikat.
"Bocah sigit, siapakah namamu? Kalau kami pulang nanti, ikutlah kami karena kau mempunyai bakat yang baik sekali untuk menjadi murid kami yang terkasih!"
Kata Ni Nogogini. Kali ini mereka mengerahkan aji pengasihan bukan untuk melumpuhkan dan mengalahkan, melainkan terdorong hati tertarik dan rasa suka. Joko Wandiro tidak biasa bersikap kasar, sungguhpun ia maklum akan hawa mujijat yang seakan-akan menarik dirinya mendekat dan membuat kedua orang wanita itu seakan-akan menjadi makin cantik. Diam-diam ia lalu membaca mantera pelindung diri dari ilmu hitam, kemudian tersenyum menjawab,
"Namaku Joko Wandiro dan aku menghadapi kalian untuk menyambut tantanganmu tadi. Aku mewakili Pujo, guruku dan juga ayah angkatku!"
Dua orang wanita itu tersenyum lebar. Pujo sendiri bukan lawan mereka, apalagi hanya seorang muridnya. Akan tetapi diam-diam mereka terheran bagaimana Pujo dapat mempunyai seorang murid seperti ini. Mereka saling pandang, mulai terheran mengapa pemuda ini belum juga memperlihatkan tanda-tanda terpengaruh Aji Guno Asmoro! Ni Durgogini mengerahkan tenaga batinnya, lalu melangkah maju dengan langkah bergaya, lenggangnya menarik seperti orang menari, matanya disipitkan, hidungnya kembangkempis. Demikian hebat pengaruh Guno Asmoro yang ditrapkan oleh Ni Durgogini pada saat itu sehingga biarpun aji itu ditujukan kepada Joko Wandiro, namun para perwira dan tamtama yang mengepung alun-alun itu ikut terpengaruh dan terpesona menatap wajah cantik jelita dan bentuk tubuh padat menggiurkan itu.
"Joko Wandiro, bocah bagus, mari ke sini, kuberi peluk cium...!"
Suara Ni Durgogini merdu merayu bagaikan orang bertembang.
"Ni Durgogini dan Ni Nogogini, hentikan permainan kotor ini! Ilmu setanmu itu hanya merobohkan hati laki-laki mata keranjang. Bagiku hanya menimbulkan muak dan jijik! Lebih baik lekas minggat kalian dari sini!"
"Aiiihhhh!!"
Ni Durgogini tersentak kaget dan meloncat mundur. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Para senopati yang kini melihat wajah yang tidak diselimuti Aji Guno Asmoro lagi juga kaget karena wajah kedua orang wanita itu kini menjadi beringas. Mereka semua terlongong menyaksikan betapa pemuda yang tadi menghadap sang prabu yang mereka jadikan bahan ejekan, kini dengan penuh keberanian menghadapi dua orang wanita sakti seperti iblis itu.
"Bocah keparat, rasakan pukulan mautku!"
Ni Durgogini berteriak marah.
"Bocah tak tahu disayang, lebih baik mampus!"
Ni Nogogini juga berseru, kedua orang wanita itu lalu meloncat maju dan menyerang Joko Wandiro dengaan tamparan tangan mereka yang ampuh. Gerakan mereka serupa dan ketika mereka berdua menggerakkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka, terdengar suara mencicit nyaring memekakkan telinga.
Itulah aji pukulan Ampak-ampak yang ampuhnya menggila. Joko Wandiro mengerti bahwa ia menghadapi serangan dahsyat. Hawa dingin yang diakibatkan sambaran tangan itu memberi tahu kepadanya bahwa kedua orang lawannya mempergunakan pukulan yang berdasarkan hawa sakti di dalam tubuh, pukulan berhawa dingin yang amat berbahaya bagi tulang-tulangnya. Oleh karena itu, iapun cepat mengerahkan hawa sakti ke arah kedua tangannya, kemudian dengan tabah ia memapaki kedua lawannya ini sambil mengipatkan kedua tangan dengan jari-jari terbuka pula. Untuk melawan hawa dingin yang keluar dari tangan lawan, ia sengaja menggunakan Aji Bojro Dahono dan tangannya digerakkan dengan pukulan Pethit Nogo.
"Plakk... plakkk...!!"
Tamparan kedua orang wanita sakti itu ditangkisnya dan sengaja Joko Wandiro mengadu telapak tangannya dengan telapak tangan mereka.
"Iiiiihhh...!!"
Ni Durgogini dan Ni Nogogini mengeluarkan jerit nyaring ketika tubuh mereka terlempar sampai lima meter lebih seakan-akan dilontarkan tenaga mujijat. Namun sebagai dua orang wanita yang memiliki kedigdayaan, mereka dapat meloncat turun dan tidak sampai terbanting. Kemarahan mereka meluap-luap, bercampur rasa keheranan dan penasaran. Adapun Ki Patih Suroyudo dan para perwira Kerajaan, kini benar-benar berdiri dengan mata. terbelalak lebar dan mulut ternganga.
Andaikata ada lalat memasuki mulut pada saat itu, agaknya mereka tidak merasakannya. Mereka tenggelam ke dalam keheranan yang amat sangat. Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sudah tentu takkan ada yang percaya kalau mendengar bahwa pemuda gunung yang tadi minta pekerjaan di istana, kini dalam gebrakan pertarna sudah sanggup membuat Ni Durgogini dan Ni Nogogini terlempar sampai jauh! Dengan dua kali loncatan, Ni Durgogini dan Ni Nogogini sudah kembali ke hadapan Joko Wandiro. Sepasang mata mereka berkilat-kilat penuh kemarahan, wajah mereka kini cemberut kehiiangan manisnya, kening berkerut. Sinar maut membayang pada mata mereka yang dengan penuh kebencian menentang wajah Joko Wandiro. Pemuda ini tetap tenang, lalu berkata.
(Lanjut ke Jilid 25)
Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "
Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25
"Sesungguhnya aku tidak mencari permusuhan. Andaikata kalian ini tidak melakukan sesuatu yang jahat, tidak nanti aku akan mencampuri urusan kalian. Akan tetapi, melihat kalian mengamuk di alun-alun Kerajaan Panjalu, membunuh banyak orang kemudian malah menantang-nantang semua orang yang terkenal sebagai satria-satria utama, tidak mungkin aku mendiamkannya saja."
"Bocah keparat!"
"Jahanam sialan!"
"Ni Durgogini dan Ni Nogogini, belum terlambat apabila kalian insyaf dan pergi dari sini."
Akan tetapi dua orang wanita itu mana mau berhenti sampai sekian saja? Sambil memekik nyaring, suaranya melengking seperti bukan suara manusia lagi, kakak beradik yang sakti mandraguna ini lalu menerjang Joko Wandiro. Gerakan mereka cekatan sekali, tubuh mereka seperti lenyap dan hanya tampak bayangan mereka menyambar-nyambar di sekeliling Joko Wandiro. Apabila bayangan tangan mereka berkelebat, terdengar angin bersiutan. membuat debu beterbangan daun-daun pohon waringin yang kecil-kecil itu bergoyang-goyang.
Namun Joko Wandiro menghadapi mereka dengan tenang. Gerakannyapun lambat dan tenang, namun kedua tangannya yang bergerak itu membentuk lingkaran-lingkaran hawa sakti yang amat kuat, yang merupakan benteng melindungi tubuhnya daripada terjangan-terjangan lawan. Semua pukulan lawan, sebelum dapat menyentuh tubuhnya telah bertemu dengar lingkaran hawa sakti itu dan membalik. Bagi pandangan para perwira yang kurang tinggi ilmunya, keadaan Joko Wandiro seperti terdesak. Pemuda ini kelihatan menggerak-gerakkan kaki tangan melawan dua bayangnn yang amat cepatnya. Akan tetapi bagi Ki Patih Suroyuda dan mereka yang ahli, terutarna bagi Ni Durgogini dan Ni Nogogini sendiri, mereka amat kagum menyaksikan perlawanan Joko Wandiro yang jelas membuktikan keunggulannya.
"Pergilah!!"
Tiba-tiba Joko Wandiro berseru keras dan tubuh dua orang wanita itu kembali terlempar jauh, melayang seperti daun kering tertiup angin.
Bentakan tadi disertai Aji Dirodo Meto dan kedua tangannya mendorong dengan Aji Bojro Dahono. Demikian dahsyat serangan balasan ini sehingga tidak tertahankan oleh kedua orang lawannya yang mencelat sampai beberapa meter jauhnya. Namun Ni Durgogini dan Ni Nogogini juga bukan orang sembarangan. Biarpun mereka tidak kuat menahan hawa sakti yang mendorong sedemikian dahsyatnya, namun tubuh mereka juga memiliki kekebalan sehingga biarpun terlempar, mereka masih belum terluka karena cepat-cepat mereka tadi rnengerahkan tenaga sehingga ketika terbanting ke tanah, mereka dapat mencelat kembali ke atas dan kini sudah berdiri dengan muka merah saking marahnya.
"Tar-tar-tar!!"
Terdengar ledakan-ledakan nyaring ketika Ni Durgogini menggerakkan dan melecutkan cambuknya di udara. Kiranya dalam keadaan marah sekali wanita ini telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu cambuk Sarpokenoko Juga Ni Nogogini tidak mau ketinggalan.
Ia pun merasa marah dan malu, maka dengan gerakan cepat penuh kegemasan ia telah menghunus pusakanya, yaitu sebuah cundrik yang terkenal ampuh dan mengeluarkan sinar berkilauan. Inilah cundrik Embun Sumilir! Joko Wandiro cepat mengerahkan Bayu Sakti untuk menyelamatkan diri daripada hujan serangan itu. Cambuk Sarpokenoko hebat bukan main. Suaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat, karena suara ledakan-ledakan itu mengandung daya menggetarkan jantung. Dari atas, cambuk itu menyambar-nyambar ganas sekali melingkar-lingkar, ujungnya mematuk-matuk mencari bagian tubuh yang berbahaya atau jalan darah mematikan, seperti seekor ular sakti!
Selain diserang oleh sambaran cambuk dari atas yang sudah amat berbahaya, dari bawah Joko Wandiro diterjang bertubi-tubi oleh Ni Nogogini yang mernpergunakan keris pusakanya Embun Sumilir. Hanya dengan gerakan Bayu Sakti yang luar biasa cepatnya, barulah ia dapat menghindarkan diri dari serangkaian serangan itu lalu melompat ke belakang. Dua orang lawannya berseru garang dan menerjarg maju lagi. Akan tetapi pada saat itu, para senopati dan pengawal yang menonton pertandingan, tiba-tiba menjadi gaduh, menuding-nuding ke arah dua orang wanita itu, berseru kaget dan ada yang menahan ketawa. Hal ini mengherankan hati kedua orang wanita itu sehingga sesaat mereka menunda penyerangan mereka lalu saling pandang. Begitu mereka saling pandang, keduanya menahan jerit, tangan kiri membuat gerakan menutup mulut.
"Aiiiiihh! Mbok-ayu Lasmini...! kau kenapa...? Rambutmu penuh uban, mukamu penuh keriput...!"
Ni Nogogini menegur dengan mata terbelalak.
"Kau... kau... juga, Mandari...!"
Ni Durgogini berkata sambil menudingkan telunjuk kiri ke arah adiknya dan dengan suara terisak. Kedua orang wanita itu lalu sibuk meraba-raba rambut dan wajahnya sendiri. Jelas terasa oleh ujung jari betapa kulit muka yang biasanya halus itu kini menjadi kasar dan kerut-merut berkeriputan. Dan ketika mereka membawa rambut ke depan untuk dilihat, sebagian besar rambut itu membodol (rontok) dan yang masih tinggal bercampur banyak uban!
Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi, mengertilah kedua orang wanita ini Apa yang telah terjadi. Ternyata pukulan pemuda tadi yang mengandung hawa panas seperti halilintar, disertai pekik dahsyat, yang membuat mereka berdua terlempar, telah membuyarkan aji dan khasiat obat Suketsungsang yang membuat mereka menjadi awet muda. Getaran hebat yang hampir mematahkan tungkai jantung, yang tadi menjalar ke seluruh tubuh, telah membuat mereka terluka di sebelah dalam sehingga hawa yang mempengaruhi jalan darah membuat mereka awet muda itu terdorong keluar. Akibatnya, keadaan mereka menjadi badar dan kembali asal, atau menjadi sewajarnya, Rambut mereka beruban, kulit mereka berkeriput, sesuai dengan keadaan semestinya wanita-wanita yang usianya mendekati enam puluh tahun!.
Bagi seorang wanita biasa dan normal, dalam usia hampir enam puluh tahun, kiranya kenyataan ini tidak mempengaruh"
Hatinya, uban dan keriput bukan hal yang mengecilkan hati. Akan tetapi, bagi Ni Durgogini dan Ni Nogogini, kenyataan ini amat hebat. Mereka adalah orang-orang yang telah menjadi hamba nafsu berahi, bagi mereka hidup adalah senang, dan senang hanya dapat mereka nikmati melalui wajah cantik dan tubuh muda menarik. Kini mereka telah sadar dan kenyataan ini bagi mereka terasa lebih menderita daripada luka-luka maut. Wajah mereka menjadi pucat sekall, tubuh gemetaran dan urat syaraf lemas, Kedukaan hati mereka demikian besar, jauh melampaui kemarahan mereka terhadap Joko Wandiro. Terdengarlah ratap tangis mereka.
"Aduh Dewa, cabutlah saja nyawa hamba...!"
Ni Nogogini mengeluh.
"Aduh rama (ayah)..., rama bhagawan..., ketiwasan (celaka), rama...!"
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ni Durgogini menjerit-jerit lalu lari pergi dari tempat itu sambil menyeret cambuknya. Ni Nogogini juga mengikuti kakaknya sambil menangis. Dalam waktu sebentar saja lenyaplah bayangan kedua or"ng wanita sakti itu. Sejenak Joko Wandito berdiri tertegun. Kemudian la menarik napas panjang, hatmya terasa trenyuh. Dia tidak membenci mereka berdua dan hanya menentang mereka berdua karena mereka membuat geger, membunuh banyak orang dan menantang ayah angkatnya. Kini, menyaksikan keadaan mereka, mendengar ratap tangis mereka, hati pemuda ini merasa kasihan dan terharu. Akan tetapi tidak ada rasa sesal di hatinya oleh karena bukan dialah yang membuat mereka berdua menderita. Dia sama sekali tidak ada niat membuat mereka menderita seperti itu dan semua yang terjadi tadi adalah buah daripada perbuatan mereka sendiri.
"Orang muda, kiranya andika adalah seorang satria yang perkasa!"
Terdengar Ki Patih Suroyudo berkata kagum.
"Raden Joko Wandiro, maafkan kami yang tadi kurang hormat kepada andika,"
Kata seorang perwira.
"Marilah, Joko Wandiro. Mari ikut bersamaku menghadap sang prabu, akan kulaporkan tentang kedigdayaanmu dan kau tentu dianugerahi kedudukan yang pantas,"
Kata pula Ki Patih Suroyudo.
Di daiam hatinya, Joko Wandiro merasa senang. Ternyata sekarang bahwa Ki Patih dan para ponggawa keraton ini adalah orang-orang yang baik hati, tidak menaruh iri hati dan dengki kepada orang lain yang berjasa. Kiranya tadi memandang rendah kepadanya karena memang ragu-ragu dan tidak percaya kepada seorang pemuda dari dusun seperti lajimnya sikap para bangsawan terhadap rakyat kecil. Perasaan Joko Wandiro yang halus segera dapat memaklumi hal ini dan dia memang tidak suka memelihara dendam. Akan tetapi, sejak semula ia memang tidak mempunyai hasrat untuk menghambakan diri ke istana. Kalau tadi ia menghadap Raja, hanyalah untuk memenuhi pesan gurunya. Dan ia tadi sudah menghadap, berarti ia tidak mengabaikan pesan gurunya. Kalau ia tidak diterima, itu bukan salahnya. Maka ia cepat-cepat memberi hormat dan berkata,
"Gusti Patih, hamba tidak berani lagi mengganggu gusti prabu. Biarlah lain kali saja hamba datang menghadap."
Setelah berkata demikian, tanpa jawaban lagi, Joko Wandiro sudah melompat jauh ke belakang lalu menggunakan Aji Bayu Sakti lari meninggalkan tempat itu. Ki Patih Suroyudo dan para senopati dan pasukan pengawal, hanya dapat memandang dengan melongo. Mereka semua merasa menyesal sekali mengapa seorang pemuda sakti mandraguna seperti itu kini tidak mau tinggal di Kotaraja karena kekeliruan sikap mereka tadi. Agaknya hanya orang sesakti pemuda itu yang akan mampu menandingi si maling haguna yang telah menggegerkan istana sebulan yang lalu.
Telaga Sarangan di lereng Gunung Lawu itu amat luas dan indah. Air kebiruan menelan bayangan pohon-pohon cemara yang tumbuh di tepinya. Sunyi dan damai keadaan sekelilingnya. Hanya kicau burung dan teriakan-teriakan kera bercanda kadang-kadang terdengar, menambah indah keadaan. Hawa udaranya sejuk bersih. Di pinggir telaga sebelah selatan tampak sebuah pondok kayu berdiri sunyi menyendiri. Para pendeta, pertapa, dan orang-orang yang sudah bosan akan keramaian kota dan dusun, yang ingin menyatukan diri dengan keindahan alam aseli itu, tentu akan mengilar karena kepingin melihat pondok dan suasana di sekitarnya yang hening dan bersih ini.
Dahulu, beberapa tahun yang lalu, pondok ini menjadi tempat tinggal Ki Tejoranu. seperti telah kita ketahui, Ki Tejoranu beberapa tahun yang lalu telah pergi meninggalkan Pulau Jawa, pulang ke tanah asalnya, yaitu Negeri Cina. Pondok itu ditinggalkan begitu saja tak terpelihara dan menjadi rusak. Akan tetapi setahun yang lalu, datanglah seorang laki-laki tinggi kurus bersama isteri dan puterinya. Mereka menemukan pondok kosong ini, memperbaikinya dan selanjutnya merekalah yang tinggal di tempat indah sunyi ini. Mereka bertiga hidup penuh damai dan bahagia.
Siapakah gerangan mereka bertiga yang memilih tempat sunyi sebagai tempat tinggal ini? Laki-laki tinggi kurus berusia lima puluh tahun itu adalah seorang pendekar terkenal. Namanya Ki Adibroto, seorang sakti mandraguna dari Ponorogo. Di Ponorogo iapun terkenal sebagai seorang warok yang gemblengan dan namanya tidak kalah terkenalnya kalau dibandingkan dengan Ki Warok Gendroyono. Akan tetapi, berbeda dengan Ki Gendroyono, Ki Adibroto ini adalah tokoh warok golongan putih yang selalu menentang kejahatan.
Berkat pimpinan Ki Adibroto bersama saudara-saudara seperguruan dan para tokoh warok aliran atau golongan putih inilah maka daerah Ponorogo menjadi aman dari gangguan para warok golongan hitam. Bahkan Ki Warok Gendroyono yang menjadi tokoh utama warok golongan hitam, terdesak dan akhirnya menghilang dari daerah Ponorogo. Tadinya, Ki Adibroto hidup bahagia bersama isterinya dan seorang puteri yang diberi nama Ayu Candra, tinggal di Ponorogo sebagai seorang yang dihormati kawan disegani lawan. Namun, seperti segala Apa di permukaan bumi ini, juga keadaan hidup seseorang tidaklah kekal.
Ketika Ayu Candra berusia satu tahun, ibu anak ini meninggal dunia karena sakit. Hal ini menghancurkan kebahagiaan Ki Adibroto yang tenggelam dalam laut kedukaan. Tidak tahan lagi hati Ki Adibroto untuk tinggal di tempat di mana ia akan selalu terkenang kepada isterinya. Maka ia lalu membawa puterinya yang masih kecil itu pergi merantau. Pada suatu pagi, sambil memondong puterinya, Ki Adibroto berjalan perlahan melewati sebuah hutan di lereng Gunung Lawu sebelah barat. Ia berniat hendak menuruni gunung ini dari barat. Melihat anaknya yang tidur pulas dalam pondongannya, hati pendekar ini amat trenyuh. Anak ini mirip benar dengan ibunya, dan teringat akan isterinya yang sudah meninggal, meninggalkan dia dan puterinya, Ki Adibroto mengeluh dan mengambungi pipi anaknya yang masih tidur pulas.
"Duh Hyang Wiseso yang menguasai jagad semoga hamba diberi kekuatan menahan segala derita ini demi anak hamba Ayu Candra!"
Dua butir air mata menetes di atas pipi anaknya. Pada saat itu muncullah belasan orang perampok yang segera mengurung Ki Adibroto. Kalau saja Ki Adibroto tidak sedang tenggelam dalam duka nestapa, tentu sejak tadi ia sudah tahu bahwa di sekeliling tempat itu terdapat banyak orang.
Kini ia baru sadar bahwa ia telah dikepung, ketika beberapa orang di antara para perampok itu tertawa. Ki Adibroto mengangkat mukanya dan memandang ke sekeliling. Ada tujuh belas orang laki-laki kasar yang mudah diduga dari golongan Apa. Dan di belakang mereka ini, di tempat-tempat tersembunyi, masih ada belasan orang lagi. Di sudut kiri berdiri seorang laki-laki yang mukanya penuh brewok. Melihat pakaiannya, agaknya laki-laki brewokan ini tentulah kepala perampok. Ia berdiri sambil merangkulkan lengan kirinya pada leher seorang wanita yang cantik manis. Heran sekali hati Ki Adibroto melihat seorang wanita cantik dan gerak-geriknya halus seperti itu dapat bersama dengan orang-orang kasar macam ini. Melihat wajah orang-orang kasar yang mengepungnya itu menyeringai, Ki Adibroto menegur,
"Kalian ini mengApa mengepungku?"
"Ha-ha-ha! Lihat mukanya sudah pucat!"
"Heh-heh-heh, tubuhnya menggigil!"
Banyak suara mengejek dan menertawakannya. Kemudian terdengar suara laki-laki brewokan, suara yang parau dan keras,
"Kisanak, tinggalkan semua pakaian, juga perhiasan-perhiasan emas di tubuh anak itu!"
Ki Adibroto penasaran.
"Untuk Apa harus kutinggalkan?"
Kembali muka-muka yang mengerikan itu tertawa bergelak.
"Untuk ditukar dengan nyawamu, tolol!"
Teriak seorang di antara mereka. Si kepala rampok hanya tersenyum-senyum saja, tangannya yang merangkul leher itu kini meraih dagu dan hendak mencium muka yang ayu manis itu. Akan tetapi wanita itu mengeluh, memalingkan mukanya dan keningnya berkerut tanda tidak senang hati. Namun pandang mata wanita itu tidak pernah beralih dari anak dalam pondongan Ki Adibroto.
"Ha-ha-ha-ha, bojoku denok ayu, sudah hampir setahun kau bersamaku, mengapa masih jual mahal? Hayo beri cium...!"
Laki-Iaki brewokan itu menangkap dagu wanita itu, lalu dengan paksa menariknya dan mencium bibirnya dengan kasar sekali. Kembali wanita itu mengeluh dan meronta, namun tak mungkin ia dapat melepaskan diri dari cengkeraman dua tangan kasar dan kuat itu. Para anak buah perampok hanya tertawa-tawa menyaksikan perbuatan tak tahu malu ini.
"Kekasihku yang ayu kuning, denok montok, kau lihatlah Ada rejeki datang, perhiasan emas anak itu akan menghias tubuhmu, manis..."
Kata laki-laki brewokan setelah melepaskan mukanya yang brewokan dari atas muka yang halus itu. Menyaksikan peristiwa ini, dada Ki Adibroto terasa panas. Kemarahan bergejolak dalam hatinya. la dapat menduga kini bahwa wanita cantik itu tentulah seorang wanita yang dipaksa, diperkosa atau diculik oleh kepala perampok itu. Dengan sepasang mata berkilat dan muka merah saking marahnya, Ki Adibroto memandang kepala perampok itu. Agaknya dadanya yang panas terasa oleh anaknya karena tiba-tiba Ayu Candra terbangun dari tidurnya lalu menangis menjerit-jerit!.
"Anakku! Kesinikan anakku!!"
Tiba-tiba wanita cantik itu menjerit dan memberontak dari dekapan kepala perampok. Pengaruh tangisan anak itu sedemikian hebat sehingga agaknya wanita itu memperoleh tenaga mujijat dan ia berhasil merenggutkan diri dan terlepas dari pelukan, lalu lari menubruk Ki Adibroto dengan kedua tangan terbuka, agaknya hendak merampas Ayu Candra.
"Anakku! Kembalikan anakku!"
Berdiri bulu tengkuk Ki Adibroto ketika ia cepat mengelak. Gilakah wanita itu? Ataukah dia sendiri yang gila dan melihat yang bukan-bukan? Ataukah arwah isterinya menyusup kedalam tubuh wanita ini? Akan tetapi, melihat betapa kepala rampok brewokan itu agaknya marah melihat wanita cantik itu melepaskan diri,
Kemudian sekali menggerakkan cambuk panjang kepala rampok itu telah membelit kaki si wanita dengan ujung cambuk dan menarik cambuk sehingga wanita itu roboh terguling, hatinya tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sambil mengeluarkan suara gerengan, Ki Adibroto yang masih memondong anaknya yang menangis menjerit-jerit lalu menerjang ke depan. Tangan kirinya memondong anaknya, namun dengan tangan kanannya ia menyerang. Tubuhnya berkelebat ke arah kepala rampok, tangan kanannya bergerak memukul. Kepala rampok itu berusaha untuk menangkis akan tetapi tangkisan tangannya tidak ada gunanya karena selain tangannya terpental, juga pukulan Ki Adibroto terus meluncur mengenai kepalanya.
"Desss...!!"
Terdengar jerit ngeri dan tubuh kepala rampok yang tinggi besar itu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting ke atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi karena kepalanya sudah pecah berantakan terkena hantaman tangan yang ampuh itu. Para perampok yang terdiri dari orang-orang kasar itu terkejut sekali, akan tetapi mereka kurang cerdik untuk memaklumi bahwa pendekar yang memondong anak kecil itu sama sekali bukanlah tandingan mereka.
Mereka hanya menurutkan nafsu amarah melihat kepala mereka roboh tewas. Sambil berteriak-teriak mereka lalu menyerbu dengan senjata di tangan. Golok, pedang, keris dan tombak berkilauan datang bagaikan hujan menyerbu Ki Adibroto. Tentu saja para perampok kasar itu tidak dipandang sebelah mata oleh Ki Adibroto. Akan tetapi oleh karena ia sedang memondong anaknya, ia lebih mengkhawatirkan keselamatan puterinya itu. Maka cepat ia melolos lepas sabuk dan pinggangnya. Ketika ia menggerakkan sabuk berwarna putih ini di tangan kanannya, terdengar teriakan-teriakan kesakitan. Senjata-senjata lawan beterbangan dan bagaikan membabat rumput saja, tubuh para perampok bergelimpangan.
Ternyata sabuk yang lemas itu ketika disabetkan, dapat memecah kulit meremuk tulang sehingga banyak perampok roboh untuk tak dapat bangun kembali karena telah pingsan. Kini para perampok yang tadinya tinggal di belakang, sudah maju pula. Namun Ki Adibroto mengamuk dan sebentar saja belasan orang perampok sudah roboh. Setelah setengah lebih para perampok roboh bertumpang tindih, baru sisanya sadar bahwa kalau dilanjutkan pengeroyokan itu, berarti mereka semua membunuh diri. Timbul sifat pengecut mereka. Dengan tubuh gemetar mereka melempar senjata lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah-nyembah minta ampun! Ki Adibroto tegak berdiri. Anaknya di pondongan masih menangis. Ia memandang ke arah para perampok yang berlutut, lalu tersenyum masam.
"Kalau menurut sepatutnya kalian harus kubunuh semua. Akan tetapi biarlah aku melihat muka anakku ini dan mengampuni kalian semua!"
Setelah berkata demikian, tanpa menoleh ke belakang lagi Ki Adibroto lalu meninggalkan tempat itu sambil memondong dan mengayun-ayun anaknya yang masih terus menangis. Hatinya bingung dan gelisah sekali. Pendekar ini boleh jadi gagah perkasa dan selalu tenang menghadapi apapun juga. Akan tetapi, semenjak melakukan perjalanan, apabila anaknya menangis dan rewel seperti ini, ia betul-betul bingung dan tak tahu Apa yang harus ia lakukan kecuali mengayun-ayun tubuh kecil lemah ini dengan keringat membasahi dahi dan jantung serasa diremas-remas. Sudah jauh juga ia meninggalkan tempat pertempuran tadi, akan tetapi anaknya masih juga menangis. Saking bingungnya ia lalu duduk di bawah pohon yang teduh, memangku anaknya sambil mengeluh berkali-kali,
"Aduh anakku sayang... angger Ayu Candra, kau diamlah, nak. Diamlah anakku bocah ayu... jangan kau membikin hancur hati ayahmu"!"
Akan tetapi anak kecil itu tetap menangis sampai terisak-isak. Saking bingungnya, tak terasa pula dua butir air mata menetes turun ke atas pipi Ki Adibroto. Pendekar yang baru saja dengan sebelah tangan membikin kocar-kacir pengeroyokan tiga puluh lebih perampok-kasar, kini ingin sekali menangis meraung-raung saking sedih dan bingungnya menghadapi puterinya yang menangis terus!
"Anakk...! Aduh kasihanilah aku, kasihani anakku... mari kembalikan anakku, biar dia kugendong selendang, kubopong kutimang-timang, kutidur-tidurkan"
Ki Adibroto terkejut. Saking bingungnya, ia tidak tahu bahwa sejak tadi, wanita yang tadi bersama kepala rampok telah rnengikutinya. Cepat ia melompat bangur dan memandang. Wanita itu amat cantik. Cantik jelita, akan tetapi wajahnya pucat, rambutnya kusut, pakaiannya sudah robek sana-sini, sebagian membayangkan kulit tubuhnya yang kuning halus. Kini wanita itu memandangnya dengan mata penuh permohonan, mata yang bercucuran air mata.
"Apa... Apa maksudmu...??!!"
Ki Adibroto tergagap."Siapakah engkau?"
"Dia anakku anakku sayang kembalikanlah..."
Kini wanita itu menekuk lutut, mengembangkan kedua lengannya, wajahnya menimbulkan iba.
"Dia anakku, jangan engkau mengaku yang tidak-tidak!"
Ki Adibroto berkata, masih ragu-ragu tidak tahu dengan orang bagaimana ia berhadapan. Gilakah wanita ini? Atau mempunyai niat buruk hendak mencelakai puterinya? Ataukah ataukah berpikir begini kembali bulu tengkuknya meremang, arwah isterinya menyusup ke dalam tubuh wanita ini?
"Kasihanilah dia... ooohhh, betapa kejam hatimu...! Lihat, dia menangis begitu hebat... aduh, bisa putus dan sesak napasnya... dia minta dipondong ibunya... hu-hu-huukk!!"
Wanita itu menangis makin keras sampai tersedu-sedu. Ki Adibroto menundukkan muka memandang puterinya. Benar-benar aneh anak ini. Menangis begini hebat. Kembali bulu tengkuknya meremang. Benarkah anak ini minta dipondong ibunya? Dan wanita itu benarkah arwah isterinya di situ? Tanpa disadarinya lagi ia mengulurkan kedua lengan, memberikan puterinya. Namun seluruh urat syaraf di tubuhnya siap untuk mencegah kalau-kalau wanita itu akan mencelakai anaknya. Dengan teriakan girang sekali wanita itu menerima Ayu Candra yang masih menangis, mendekap anak itu ke dadanya, menciumnya sambil bercucuran air mata dan berbisik-bisik,
"Anakku... anakku... diamlah, nak. Ini ibumu ini ibumu... engkau juntung hatiku, pujaan kalbu, mustika hidupku... ahhh, anakku, Joko Wandiro."
Ki Adibroto memandang dengan mata tcrbelalak. Benar saja. Anaknya mulai berkurang tangisnya, kemudian malah berhenti menangis ketika wanita itu memangkunya, menidurkannya membujur di ruas pangkuan sambil melepas-lepaskan baju dan selimut sarung yang membungkusnya.
"Aduh kasihan engkau, anakku... tentu saja kau menangis karena panas Orang telah berlaku nakal kepadamu manis? Engkau merasa panas? Ah, tentu saja, tapi diamlah, ibu kini menjagamu, nak"
Ki Adibroto melongo. Tahulah ia kini bahwa anaknya tadi menangis sampai begitu kerasnya. Kiranya anak itu merasa gerah, panas tubuhnya dibungkus serapat itu!.
"Nah, ini dia! Engkau digigit semut ini, anakku? Semut kurang ajar. Huh mampus tidak kau sekarang!"
Wanita itu meremas seekor semut angkrang yang tadi rnenempel di paha anak kecil itu. Makin mengertilah kini Ki Adibroto Kiranya hawa panas dan semut angkrangl la mulai merasa girang dan tertarik ke pada wanita itu. Ia memandang jari-jari tangan halus yang cekatan sekali membuka-buka pakaian anaknya dan tiba-tiba wanita itu terbelalak dan berteriak keras,
"Joko anakku kenapa menjadi perempuan...???"
Mengertilah kini Ki Adibroto. Wanita ini sama sekali tidak disusupi arwah mendiang isterinya. Wanita ini terganggu jiwanya, agaknya karena kehilangan puteranya yang bernama Joko Wandiro. Entah hilang karena tewas ataukah hilang karena diculik orang. Akan tetapi agaknya puteranya itu tewas, mengingat bahwa wanita ini sendiri terjatuh ke tangan kepala rampok yang demikian kejam. Naik hawa amarah di dadanya, akan tetapi segera dingin kembali setelah ia ingat bahwa kepala rampok itu telah ia bunuh tadi. Mau rasanya ia membunuh sekali lagi kepala rampok keji itu. Dengan hati penuh iba menyaksikan wajah wanita itu demikian kaget, bingung, dan duka, ia lalu berjongkok di dekatnya dan berkata halus,
"Harap andika jangan kaget. Anak ini adalah anak saya, bernama Ayu Candra. Tentu saja perempuan. Karena itulah tadi tidak saya berikan kepadamu."
Setelah berkata demikian, Ki Adibroto mengambil anaknya dari pangkuan wanita itu dan memondongnya kembali. Wanita itu kini diam saja hanya memandang dengan mata terbuka lebar, mata yang bening dan bagus bentuknya, sayang bersinar layu dan penuh duka. Alangkah akan indahnya mata ini kalau sinarnya penuh bahagia pikir Ki Adibroto.
"Aduh, Jagad Dewa Bathara kenapa tidak dicabut saja nyawa hamba??"
Wanita itu merintih-rintih lalu menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya sambil tetap berlutut. Wanita itu bukan lain adalah Listykumolo, isteri Raden Wisangjiwo, mantu Kadipaten Selopenangkep. seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini wanita yang bernasib malang ini setelah kehilangan anaknya, Joko Wandiro yang dibawa lari Pujo, telah terganggu ingatannya. Oleh suaminya ia dipulangkan kerumah ayahnya yang menjadi lurah Selogiri di lereng Gunung Lawu. Ketika Wisangjiwo sudah insyaf dan menyuruh pasukan menjemput isterinya, ia mendengar bahwa Listyokumolo telah diculik oleh gerombolan perampok, tidak lama setela pulang ke dusun itu, sedangkan dusun Selogiri dibumi hanguskan para perampok!
Memang amat malang nasib wanita ini. ia diculik oleh perampok kasar dan ada baiknya bahwa kepala rampok itu jatuh cinta padanya, biarpun ia memperlihatkan tanda-tanda tidak waras otaknya. Cinta kasih kepala rampok ini menyelamatkan Listyokumolo dari serbuan para perampok yang haus perempuan itu. Namun, ia harus menderita siksaan lahir batin di tangan kepala perampok. Wanita ini seakan-akan mati sekerat demi sekerat. Baiknya Ki Adibroto yang membebaskannya dari siksaan batin itu. Melihat Listyokumolo menangis sedih, hati Ki Adibroto serasa ditusuk. Ia merasa terharu dan kasihan sekali. Apalagi ketika itu anaknya mulai menangis lagi!
"Di manakah rumah andika? Biar saya antar andika pulang."
Akhirnya Ki Adibroto bertanya, suaranya mengandung getaran iba hati. Listyokumolo mengangkat mukanya, memandang. Matanya kemerahan, pipinya basah oleh air mata yang masih terus bercucuran, sangat mengharukan.
"Pulang...? Pulang...? Ke mana pulang? Aku aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai keluarga... aku sebatangkara... tinggal menanti maut datang menjemput. Sungguh tega benar para Dewata membiarkan aku hidup seperti ini..."
Ki Adibroto menarik napas panjang, kembali memandang anaknya. Berkali-kali ia menggeleng kepala, ragu-ragu. Ia amat mencinta isterinya dan seakan-akan merasa berdosa kalau sepeninggal isterinya ia menoleh kepada wanita lain. Ah, tidak, bukan demi aku sendiri, melainkan demi Ayu Candra, demikian akhirnya ia menghibur hatinya dan menekan debar jantungnya sebelum berkata,
"Saya amat kasihan melihat anda. Siapakah nama anda dan Apa yang telah terjadi dengan keluargamu? Mengapa sampai terjatuh ke tangan perampok laknat itu? Harap anda suka ceritakan kepada saya dan percayalah bahwa saya tentu akan menolong anda sekuasa saya."
Semenjak ditimpa malapetaka ketika la dicilik Pujo sampai saat itu, agaknya baru kali ini Listyokumolo mendengar kata-kata yang menyatakan kasihan kepadanya dan baru kali ini ada orang hendak menolongnya. Hal ini menggetarkan jantungnya dan tangisnya makin tersedu-sedu. Akan tetapi ketika ia mengangkat mukanya melihat anak dalam pondongan Ki Adibroto, kembali ia mengulurkan kedua lengannya ke depan dan merintih,
"Kembalikan anakku... berikan anak itu kepadaku..."
Ki Adibroto menarik napas panjang. Kumat lagi wanita ini, pikirnya.
"Sudah saya jelaskan tadi bahwa anak ini bukanlah anakmu yang bernama Joko Wandiro, anak ini adalah Ayu Candra, anak saya yang sudah tidak beribu lagi"
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo