Badai Laut Selatan 26
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
Listyokumolo membelalakkan mata memandang anak itu. Mata yang masih amat indah bentuknya, lebar dengan bulu mata panjang lentik yang membentuk bayang-bayang teduh di bawah mata, dengan biji mata bening dan ujung mata yang meruncing tajam. Mata yang membayangkan berahi. Akan tetapi mata yang diselimuti kesayuan pandang dan dilayukan hati duka.
"Tidak beribu lagi...?"
Agaknya kenyataan ini sejenak menyadarkan Listyokumolo dari keadaan bingung, timbul dari hati iba. Kemudian ia bangkit dan menghampiri Ki Adibroto.
"Biarkan dia kugendong, biarkan aku menjadi pengganti ibunya, aduh kasihan biar aku menjadi pengganti ibunya dan ia menjadi pengganti anakku..."
Kata-kata Ini dikeluarkan dengan suara penuh harap, setengah berbisik, suara yang keluar langsung dari lubuk hatinya. Ki Adibroto sejenak memandang dan tahulah orang sakti ini bahwa sekaligus hatinya terampas oleh wajah yang ayu tapi menyedihkan itu, terampas oleh kepribadian yang menimbulkan cinta kasih akan tetapi sekaligus keharuan dan iba hati. Ia memberikan anaknya dan berbisik pula,
"Aku... aku akan bahagia sekali Kalau anda sudi menjadi pengganti ibunya"
Mungkin makna dari kata-kata Ki Adibroto ini dapat menembus kegelapan yang menyelimuti pikiran Listyokumolo karena tiba-tiba ketika menerima anak itu, kedua pipinya menjadi kemerahan, matanya menunduk dan bibirnya terhias senyum ditahan, senyum malu-malu.
Akan tetapi hanya sebentar saja karena segera wajahnya berubah gembira penuh bahagia ketika ia merasa betapa anak itu bergerak-gerak di dadanya. Sebentar saja anak itupun tertidur setelah didekap oleh dada yang lunak dan hangat. Tanpa pernah membantah sedikitpun, Listyokumolo lalu ikut dengan Ki Adibroto ke manapun pendekar itu pergi. Setelah setiap hari merawat Ayu Candra, mulai teringatlah ia akan keadaan dirinya dan akhirnya iapun sembuh dari gangguan pikirannya. Bahkan hal yang tak dapat dicegah lagi terjadi setelah wanita cantik jelita yang masih muda ini berkumpul dengan Ki Adibroto, pendekar yang juga belum tua yang gagah serta tampan itu, yaitu mereka saling jatuh cinta.
Akhirnya mereka menjadi suami-isteri yang saling mencinta, saling menghormat dan saling mengasihi. Dengan kasih sayang besar mereka berdua mendidik dan membesarkan Ayu Candra sehingga anak ini sama sekali tidak pernah tahu bahwa wanita itu bukanlah ibu kandungnya. Setelah Ayu Candra berusia enam belas tahun, ayah-bundanya pindah dan memilih Telaga Sarangan di lereng Gunung Lawu sebagai tempat tinggal yang baru. Tadinya Ayu Candra yang tinggal bersama orang tuanya di daerah Ponorogo, menyatakan keberatan hatinya mengapa ayahnya ke tempat yang sunyi itu. Akan tetapi mengertilah gadis remaja yang cukup cerdik ini ketika ayahnya menjawab,
"Kita tinggal di tempat aman ini hanya untuk sementara, Candra. Ketahuilah bahwa perang saudara antara Kerajaan Panjalu dan Jenggala sudah hampir pecah. Permusuhan terjadi di mana-mana. Kalau perang pecah, berarti keadaan akan menjadi kacau dan tidak aman. Engkau sudah remaja puteri, tidak akan baik jadinya kalau kita tinggal di tempat ramai. Biarlah kita tidak mencampuri keributan, kita tinggal di tempat yang indah dan aman ini sampai keadaan Negara menjadi aman kembali. Aku sudah bosan akan perang dan keributan, apalagi perang antara saudara sendiri!"
Mereka bertiga hidup tenang dan penuh damai di pinggir telaga. Sampai setahun lebih lamanya mereka bertiga tinggal di tempat yang indah itu. Akan tetapi hanya kelihatannya saja mereka hidup penuh ketenangan dan damai. Sebetulnya ada hal yang mengganggu hati Listyokumolo. Di waktu malam, setelah tidur pulas, seringkali suami-isteri ini berbantahan. Listyokumolo tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya terhadap Pujo!
Dendam ini pula yang membuat ia semenjak menjadi isteri Ki Adibroto, dengan tekun dan rajin bersama puteri tirinya menggembleng diri dengan ilmu silat dan kesaktian. Biarpun ia tidak semaju Ayu Candra, namun setelah lewat enam belas tahun, Listyokumolo yang sekarang bukanlah Listyokumolo belasan tahun yang lalu. Ia kini menjadi seorang wanita yang berkepandaian. Dan setiap malam, ia membujuk suaminya untuk membantunya mencari Pujo, mencari puteranya, Joko Wandiro dan membalaskan dendamnya kepada Pujo. Ki Adibroto adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan karena ia telah mendengar riwayat isterinya, ia dapat menduga bahwa suami-isterinya yang pertama, Raden Wisangjiwo tentu bukan seorang baik-baik sehingga dimusuhi orang yang bernama Pujo. Ia selalu mengingatkan isterinya,
"Engkau sendiri menyatakan bahwa bekas suamimu, Wisangjiwo adalah seorang yang menyeleweng daripada kebenaran. Sangat boleh jadi dia itu melakukan sesuatu yang mendatangkan dendam kepada Pujo."
"Memang begitulah. Agaknya Wisangjiwo telah memperkosa isteri Pujo karena ketika menculikku, Pujo menyatakan hal itu kepadaku. Akan tetapi mengapa dia membalasnya kepadaku dan membawa pergi anakku?"
Listyokumolo penasaran. Ki Adibroto menghela napas panjang.
"Isteriku, orang yang diracuni dendam hatinya menjadi seperti orang buta. Mungkin Pujo melarikan engkau, kemudian menculik anakmu, sama sekali tidak bermaksud sesuatu kepada dirimu pribadi melainkan semua ia tujukan untuk merusak hati bekas suamimu. Sudah kukatakan tadi bahwa dendam membuat orang seperti buta sehingga ia tidak melihat bahwa perbuatannya itu bukan hanya merusak hati Wisangjiwo secara tidak langsung, akan tetapi bahkan secara langsung merusak hatimu dan Joko Wandiro. Akan tetapi, setelah tahu bahwa dendam amat tidak baik, apakah engkau masih mau diracuni dendam terhadap Pujo?'
"Kakang Adibroto, aku tidak akan ngawur seperti Pujo. Aku hanya akan membalas kepadanya, bukan kepada orang lain. Pula, aku harus bertemu dengan dia untuk menanyakan dimana adanya Joko Wandiro. Kalau engkau tidak mau mengantarku, biarlah aku mencarinya sendiri. Biarpun belum tentu aku mampu mengalahkan Pujo, akan tetapi Apa yang telah kupelajari darimu kiranya cukup untuk bekal melakukan perjalanan."
Ki Adibroto yang amat mencinta isterinya, tentu saja tidak dapat membiarkan isterinya pergi seorang diri menempuh bahaya. Akhirnya ia terpaksa menerima permintaan isterinya. Apalagi kalau ia ingat bahwa kini puterinya, Ayu Candra sudah berusia tujuh belas tahun, sudah cukup dewasa untuk menjaga diri sendiri di tempat yang aman itu sampai mereka kembali dari perjalanan. Malah selain memenuhi permintaan isterinya, ia juga ada keperluan lain, yaitu pergi menemui sahabat-sahabatnya untuk mencari dan memilihkan seorang calon suami bagi Ayu Candra!
"Candra, ayah-bundamu ada keperluan penting sekali, akan pergi untuk beberapa pekan lamanya. Engkau harus tinggal sendiri di sini, menanti sampai kami pulang."
Alis yang kecil panjang hitam melengkung itu berkerut.
"Mengapa aku tidak diajak pergi, ayah? Mengapa ditinggal sendiri di sini? Ayah dan ibu hendak ke manakah?"
"Negara sedang kacau, Candra. Permusuhan terjadi di mana-mana dan banyak orang jahat berkeliaran bebas. Engkau seorang wanita muda yang tentu akan menarik perhatian dan menimbulkan pertentangan. Pula, urusan yang akan kami urus adalah urusan kami orang-orang tua, tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Perhatikanlah, jangan kau pergi ke mana-mana, tinggal saja di sini dan tunggu sampai kami pulang."
Ayu Candra memang seorang anak yang taat kepada ayahnya.
Biarpun hatinya amat kecewa dan tidak senang, ia tidak berani banyak membantah lagi. Akan tetapi ketika pagi hari itu ia melihat ayah-bundanya pergi turun dari lereng, ia berdiri termangu-mangu dan memandang ke arah bayangan mereka sampai mereka lenyap di sebuah tikungan. Barulah ia menjatuhkan diri di atas rumput dan menghapus air matanya. Namun, Ayu Candra bukan seorang anak perempuan yang cengeng. Hanya sebentar saja ia melepaskan kekecewaannya dengan menangis Tidak lama kemudian ia sudah bekerja seperti biasa, menyapu pekarangan mengumpulkan daun kering yang memenuhi pekarangan dan membakarnya. Kemudian ia rnelakukan pekerjaan rumah seperti biasa.dan wajahnya sudah cerah kembali.
Beberapa hari kemudian, karena kayu bakar persediaan mereka habis, Ayu Candra pagi-pagi telah meninggalkan pondoknya dan berlari-lari mendaki jalan yang menanjak. Sejak kecil ia sudah dilatih ayahnya untuk melawan hawa dingin pegunungan di waktu pagi dengan berlari-larian. Amat lincah gerakannya, laksana seekor kijang muda ketika ia lari mendaki jalan yang licin dan sukar itu. Namun bagi Ayu Candra tidaklah sukar. Selain untuk melawan hawa dingin, juga pagi itu amat indah, udara cerah dan sinar matahari pagi mulai menerobos rnelalui celah-celah daun pohon membagi cahaya kehidupan ke muka bumi.
Pagi cerah yang menimbulkan rasa gembira di hati Ayu Candra, segembira burung-burung di pohon yang berkicau riang, segembira bajing-bajing yang berloncatan dari cabang ke cabang, kelinci yang lari berkejaran menyusup semak-semak. Baru kali ini Ayu Candra merasa betapa senangnya bebas seperti itu. la merasa bebas, seorang diri di dunia ini setelah ayah-bundanya pergi. Ia masih ingat akan pesan ayahnya agar ia jangan pergi mengunjungi dusun-dusun yang terletak di kaki gunung. Akan tetapi pagi ini ia tidak mengunjungi dusun-dusun itu, ia malah mendaki naik menjauhi dusun dusun, menjauhi manusia. Apa salahnya? Belum pernah ia pergi ke hutan di sebelah puncak kiri itu.
Ia akan mencari kayu bakar di sana sambil melihat lihat keadaan hutan yang belum pernah ia kunjungi. Dari jauh tampak beberapa batang pohon kelapa dan hal ini menambah tertarik hatinya. Sukar mencari pohon kelapa di daerah Sarangan, dan agaknya hanya kebetulan saja di hutan sebelah depan itu terdapat beberapa batang pohon kelapa. Makin girang hatinya setelah dekat ia melihat bahwa sebatang di antara pohon-pohon kelapa itu ada buahnya yang sudah besar. Sudah lama ia tidak pernah makan dawegan (kelapa muda), maka tiga butir buah yang tergantung di pohon tinggi itu merupakan daya penarik yang amat kuat sehingga Ayu Candra mempercepat larinya. Setelah tiba di bawah pohon kelapa, ia segera mengambil batu dan dua kali lontaran saja dengan tangannya yang kuat, ia telah berhasil merontokkan tiga butir kelapa muda itu.
Dengan girang ia mengambil tiga butir buah itu, membayangkan kesedapan air dawegan dan kelezatan dagingnya. Akan tetapi teringat olehnya akan kayu bakar yang habis persediaannya. Ia segera pergi mengumpulkan kayu bakar yang amat banyak terdapat di hutan itu, kemudian setelah mengikat kayu-kayu kering itu ia menggendongnya dan menjinjing tiga butir kelapa, hendak dibawa pulang. Ayu Candra dengan wajah berseri berjalan keluar dari hutan itu. Ia sengaja menahan haus dan baru di pondok nanti akan menikmati air dawegan yang manis dan sedap. Akan tetapi ketika tiba dl pinggir hutan dan melewati sebuah pohon randu alas yang besar sekali karena tiga batang pohon tumbuh menjadi satu, mendadak ia berhenti melangkah karena mendengar suara orang!
"Duh Dewa... kenapa tidak dicabut saja nyawaku? Tidak kuat aku menderita siksaan ini...!"
Ayu Candra adalah seorang gadis yang tidak pernah mengenal takut karena sejak kecil ia telah digembleng ayahnya Akan tetapi, mendengar dengan telinga sendiri betapa pohon randu alas dapat bicara dan mengeluh seperti manusia benar-benar ia merasa ngeri juga dan wajahnya yang cantik jelita itu berubah agak pucat.
Ia tahu bahwa iblis dan setan berkeliaran di atas bumi ini, akan tetapi di waktu malam hari. Sekarang, di waktu matahari masih bersinar seterang-terangnya, menjelang tengah hari, bagaimana ada iblis berani muncul dan memperdengarkan suaranya? Kalau bukan iblis, mustahil ada pohon randu alas benar-benar bisa mengeluh seperti manusia dan menyatakan bosan hidup? Ah tak mungkin, pikirnya. Tentu orang! Akan tetapi kalau ada orangnya, di mana sembunyinya? Ayu Candra merasa curiga dan karena kedua tangannya menjinjing buah buah kelapa, ia lalu melemparkan tiga butir buah kelapa itu ke atas tanah. Kemudian ia mendekati pohon randu alas dan bertanya,
"Siapakah orangnya yang mengeluarkan suara keluhan tadi?"
Sunyi mengikuti pertanyaan ini, seakan akan orang yang mengeluarkan suara tadi merasa kaget. Kemudian terdengar orang merintih, suaranya keluar dari dalam pohon!
"Sudah begini menderita masih ada wanita menggangguku lagi? Ah, Dewata yang Agung, sampai di ambang maut masih haruskah aku berhadapan dengan penggodaku?"
Tiba-tiba "Kulit"
Pohon itu terbuka dari dalam dan seorang laki-laki menggelundung keluar. Kiranya batang pohon itu berlubang dalamnya dan laki-laki ini tadi bersembunyi di dalam pohon.
Melihat keadaan laki-laki ini, Ayu Candra terkejut bukan main. Keadaan laki-laki ini mengerikan. Laki-laki itu usianya tentu empat puluh tahun lebih pakaiannya compang-camping, wajahnya penuh bekas luka. Melihat ke bawah Ayu Candra merasa makin ngeri. Kedua kaki orang itu buntung sebatas lutut! Karena celananya juga compang camping maka tampaklah kaki yang buntung itu yang ujungnya merupakan tulang menjedol keluar dikelilingi daging terbungkus kulit berkeriputan. Laki-laki itu setelah menggelundung keluar, lalu menoleh dan sepasang matanya terbelalak penuh kekaguman memandang wajah cantik jelita dan tubuh yang muda, montok, dan padat. Akan tetapi hanya sebentar saja kekaguman itu terpancar keluar dari sinar matanya. Segera ia mengerang kesakitan dan sinar matanya layu.
"Aduh... mati aku...!"
Ayu Candra memiliki dasar watak yang penuh welas asih seperti watak ayahnya. Melihat keadaana orang itu dan mendengar rintihannya, ia merasa sangat kasihan sekali. Bagaimana ada orang sampai begini sengsara?
"Kasihan sekali engkau paman Mengapa engkau sampai menjadi begini?!."
Laki-laki itu mengerang panjang, tubuhnya yang miring itu terlentang dan ia memandang ke arah wajah yan cantik Jelita itu.
"Aku... aku menderita sakit"
Ohh... tolonglah aaugghhh."
Kembali ia mengerang dan melanjutkan, terengah-engah,"lapar... Haus"
Aduh..."
Ayu Candra merasa hatinya seperti di tusuk-tusuk. Entah bagaimana wajah orang ini mendatangkan iba dalam hatinya. Ia dapat melihat bahwa dahulunya orang ini memiliki bentuk wajah yapg tampan dan pakaiannya walaupun butut, dilihat dari celana, baju, kain dan destarnya, pasti bukan orang dusun biasa. Dan sinar mata itu amat tajam berpengaruh menandakan seorang "Berisi."
"Aku hanya punya kelapa. Maukah kau minum air dawegan?"
Laki-laki itu menggerakkan kepala mengangguk. Ayu Candra lalu berjongkok memungut sebutir dawegan yang tadi ia lemparkan keatas tanah, kemudian menggunakan sepotong batu untuk mengupas kulitnya bagian atas dan membuat lubang.
Hal ini dapat ia lakukan dengan mudah, menggunakan tenaga dalam. Orang biasa saja, biarpun ia laki laki, takkan mungkin mengupas kulit kelapa yang amat liat dan keras itu hanya menggunakan sepotong batu! Hal ini rupanya dimengerti pula oleh laki-laki buntung karena ia kini sudah bangkit duduk sambil memandang dengan mata terbelalak kaget. Kalau saja Ayu Candra tidak sedang asyik membuka kulit kelapa, dan melihat cara laki-laki itu bangkit duduk, tentu ia akan menjadi curiga, Ketika itu, laki-laki buntung itu tidak kelihatan selemah tadi, bahkan sekali tubuhnya bergerak ia sudah dapat bangkit dan duduk. Ketika Ayu Candra membalikkan tubuh membawa kelapa yang sudah terkupas dan terlubang, laki-laki itu kembali kelihatan menyeringai kesakitan, sungguhpun matanya masih terbelalak heran dan kaget.
"Minumlah air kelapa ini, paman. baik untuk kesehatan selain mengurangi haus,"
Kata Ayu Candra dengan suara halus dan penuh perasaan. Makin dipandang, makin kasihan ia terhadap laki-laki itu. Sebaliknya bagi laki-laki itu, makin dipandang, makin luar biasa cantik jelita dan halus budi pekerti gadis itu, membuat ia menelan ludah bukan karena haus.
"Terima kasih. terima kasih"
Katanya menerima dawegan, menyembunyikan debar jantungnya yang berdegupan ketika jari tangannya menyentuh jari tangan yang halus dan hangat. Diteguknya air dawegan itu sampai habis, kemudian diusapnya air yang membasahi ujung bibir dan dagunya.
"Aaahhhh segar sekali. Sudah berkurang peningku. Terima kasih, nak. Engkau sungguh baik sekali."
Tiba-tiba Ayu Candra merasa betapa mukanya menjadi agak panas dan cepat ia membuang muka. Pandang mata orang itu membuat hatinya berdebar. Pandang mata itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hati dan pikirannya. Bukan main tajamnya dan ia merasa aneh. Untuk menghilangkan rasa anehnya ini ia lalu memandang dan berkata,
"Apakah paman mau dahar daging dawegan ini?"
Kembali laki-laki itu mengangguk-angguk, menjilati bibir dengan lidah dan memandang kelapa muda sambil berkata,
"Bagaimana membukanya? Kulihat engkau tidak membawa parang..."
Ayu Candra merasa bahwa di depan seorang tapadaksa itu tidak perlu lagi ia berpura-pura dan menyembunyikan kepandaiannya.
"Tidak perlu pakai parang,"
Katanya singkat sambil mengangkat tangan kanan, dipukulkan pada kelapa muda yang berada di atas telapak tangan kirinya.
"Prakkk!"
Kelapa muda itu pecah menjadi dua, terbelah seperti dibacok kapak tajam saja. Padahal kelapa itu masih terbungkus serabutnya yang liat! Laki-laki itu makin heran sampai melongo, kemudian diam-diam ia mengangguk-anggukkan kepalanya, diterimanya kelapa itu dan dimakanlah daging kelapa muda yang lembut, gurih dan manis dengan lahapnya.
"Mau lagikah, paman? Aku masih punya dua butir..."
Tanya Ayu Candra sejujurnya ketika melihat orang itu sudah makan daging kelapa muda.
"Tidak..., sudah cukup. Terima kasih"
"Di manakah rumah paman? Dan mengapa sampai di tempat. ini dalam keadaan seperti... itu?"
Ia menudingkan telunjuknya ke arah kedua kaki yang buntung. Laki-laki itu memandang kepadanya dan pcrlahan-lahan beberapa butir air mata menetes turun... Trenyuh sekali hati Ayu Candra.
"Apakah paman dicelakai orang? Siapa mereka yang mencelakai paman? Kejam benar mereka!"
Mewarisi watak ayahnya, seorang pendekar besar, Ayu Candra mengepal kedua tinju, merasa marah sekali menyaksikan kekejaman orang terhadap laki-laki buntung ini. Dengan suara pilu laki-laki itu berkata,
"Terima kasih atas perhatianmu, nak. Aku... aku memang seorang yang bernasib buruk. Aku disiksa orang-orang jahat, kedua kakiku dibuntungi dan nyaris dibunuh mereka. Akan tetapi, aku sendiri tidak tahu siapa mereka. Namaku Ki Jatoko dan aku tidak bersanak-kadang, tidak berkeluarga tidak punya tempat tinggal. Aku berusaha mencari pedusunan sambil merangkak-rangkak sedapatnya, sampai di tempat ini terserang sakit dan agaknya Dewata sudah akan mencabut nyawaku. Akan tetapi engkau muncul dan menolongku, ini hanya berarti kematianku agak diperpanjang berikut siksaan dan derita"
Wajah Ayu Candra menjadi pucat. Ia tidak tahu bagaimana harus menolong orang ini. Kalau sekarang ia pulang dan meninggalkan orang ini di sini, tentu orang Ini akan mati. KaJau tidak mati diterkam harimau atau binatang buas lain, tentu akan mati kelaparan dan kehausan. Membawanya pulang? Bagaimana caranya? Dia sudah buntung kedua kakinya. Pula, kedua orang tuanya tidak berada di rumah.
"Sayang. Ayah dan ibu tidak ada di rumah. Entah kapan pulangnya. Kalau ada ayah, tentu dia akan dapat menolongmu, paman. Ayah tidak akan membiarkan orang Iain menderita tanpa menolongnya."
Ayu Candra tidak melihat betapa sinar mata laki-laki itu berkilat ketika mendengar bahwa ayah-bunda gadis itu tidak berada di rumah.
"Siapakan nama ayahmu yang mulia,nak? Dan siapakah namamu?Aku harus tahu nama dewi penolongku"
"Ayah bernama Ki Adibroto. Kini bersama ibu sedang pergi, mungkin masih lama kembalinya karena baru sepekan dan menurut pesan ayah, mungkin sampai berbulan. Aku bernama Ayu Candra."
"Ayu Candra, anak yang baik, engkau telah menyambung nyawaku tadi apakah sekarang engkau tega meninggalkan paman mati kelaparan di sini? Tolonglah aku, nak, tolonglah...biarlah aku ikut mondok di tempat tinggalmu, sampai orang tuamu datang, atau sampai aku sembuh kembali aduuhhh...!"
Laki-laki itu roboh dan bergulingan di atas tanah. Ayu Candra kaget sekali, cepat ia berjongkok dan meraba dahi orang. Amat panas! Terang bahwa orang ini terkena penyakit demam. Bagaimana mungkin ia membiarkan saja orang yang sakit ini di dalam hutan tanpa menolongnya?
"Aku suka menolongmu, paman. Dan aku tidak keberatan kau mondok di pondok kami. Akan tetapi bagaimana kau dapat sampai ke sana? Dari tempat ini agak jauh juga, dan jalannya sukar, naik turun dan licin."
Laki-laki ini mengeluh dan kembali bangkit duduk sambil menekan tanah. Cepat-cepat ia menjawab,
"Jangan khawatir, nak. Keadaanku ini membuat aku terpaksa dapat berjalan menggunakan kedua tanganku. Bertahun-tahun aku melatih jalan dengan kedua tanganku dan aku berhasil. Asal tidak terlalu cepat, agaknya aku akan dapat bersamamu pergi ke pondokmu."
Ayu Candra mengangguk-angguk.
"Baiklah, paman. Dan nanti apabila menemui jalan yang terlalu sukar, aku dapat membantumu."
Laki-laki yang mengaku bernama Ki Jatoko itu kelihatan girang sekali. Dengan menekankan kedua tangan ke Atas tanah, ia bangkit dan"Berdiri"
Di atas kedua kakinya"
Yang buntung. Kemudian ia menggerakkan kedua kaki dan ia dapat berjalan cukup baik, seperti seorang anak kecil.
"Jika aku merasa lelah dan kedua kakiku yang bunting terasa nyeri, aku dapat membantunya dengan kedua tangan seperti ini."
Katanya dan kini ia berjalan dengan"empat kaki,"
Sehingga Ayu Candra yang melihatnya merasa terharu sekali. Melihat keharuan membayang di wajah yang cantik manis itu, Ki Jantoko berkata dengan suara memelas,
"Ayu Candra, bocah ayu yang berhati emas, cantik berbudi seperti Dewi Suprobo, sudikah engkau menolong paman yang sengsara ini? Kalau engkau tidak merasa jijik untuk menggandeng tanganku, agaknya aku akan berjalan lebih cepat, tidak usah merangkak seperti binatang berkaki empat"
Suara itu amat mengharukan hati Ayu Candra yang merasa heran kepada dirinya sendiri mengapa ia begini lemah perasaannya sehingga terhadap laki-laki ini, yang sudah setengah tua, buntung lagi buruk mukanya menjijikkan penuh bekas luka, ia merasa amat kasihan dan juga merasa suka! Betapapun juga, ia memiliki batin yang amat kuat dan masih murni, bersih daripada niat dan pamrih buruk, sehingga andaikata dia tidak merasa amat kasihan kepada Ki Jatoko tentu ia tidak sudi melaksanakan permintaan si buntuhg itu.
"Marilah agar kita cepat sampai di pondokku,"
Katanya mengulurkan tangan kiri kepada Ki Jatoko. Dengan pandang mata penuh haru dan syukur laki-laki itu memegang tangan kiri Ayu Candra dengan tangan kanannya. Di dalam hati laki-laki ini menyebut nama Dewata yang memberi berkah sedemikian besar kepadanya. Jantungnya berdebar-debar ketika kulit tangannya meraba kulit tangan gadis remaja yang halus lunak dan hangat itu. Kehangatan lembut yang seakan-akan menjalar melalui tangannya dan bagaikan embun membasahi hatinya yang mulai melayu sehingga hatinya menjadi segar kembali, semangatnya yang sudah tidur menjadi bangkit kembali.
Kedua kakinya yang buntung tidak terasa sakit lagi ketika ia berlari-lari kecil dalam langkahnya untuk mengimbangi langkah Ayu Candra yang tentu saja lebih lebar daripada langkah kedua kaki buntungnya. Siapakah gerangan laki-laki buntung itu? Benarkah seperti Apa yang ia ceritakan bahwa ia dianiaya oleh orang-orang jahat sehingga kedua kakinya buntung dan mukanya penuh cacad? Ah, kalau saja Ayu Candra tahu siapa dia sebenarnya! Laki-laki itu sama sekali bukanlah orang lemah seperti tampaknya. Dan kedua kaki yang buntung itu tidak lagi terasa sakit seperti yang diperlihatkannya. Tidak, sama sekali tidak. Kaki itu sudah buntung selama lima tahun yang lalu! Dan laki-laki itu sama sekali bukan orang lemah, bahkan dengan kedua kakinya yang buntung itu masih memiliki kesaktian yang hebat. Karena dia ini bukan lain adalah Jokowanengpati!
Ya, kedengarannya aneh, akan tetapi sebetulnya tidak aneh. Tidak ada yang aneh di dunia ini, bahkan di alam semesta, apabila Tuhan menghendaki. Semua sudah wajar dan semestinya demikian, sesuai dengan kehendak Tuhan karena apabila Tuhan tidak menghendaki, tentu tidak akan terjadi demikian! Ketika Jokowanengpati dalam pertandingan melawan pengeroyokan Kartikosari dan Roro Luhito, terjun ke dalam Laut Selatan dan mengejek kedua orang wanita musuh besarnya itu, ia disambar ikan hiu. Dalam pandangan Kartikosari dan Roro Luhito, juga Pujo yang diam-diam menyaksikan babak terakhir pertandingan hebat itu, tentu saja Jokowanengpati tewas karena diseret ikan hiu yang buas dan lenyap ke bawah permukaan air laut.
Mereka ini tidak melihat Jokowanengpati muncul kembali, maka sudah tentu menganggap bahwa musuh besarnya itu habis riwayatnya dikubur ke dalam perut ikan. Akan tetapi sesungguhnya tidak seperti yang mereka sangka dan harapkan. Jokowanengpati adalah seorang yang sakti dan memiliki tubuh yang kebal, juga amat cerdik, licin dan penuh akal. Tadinya ia memang kehilangan akal ketika secara tiba-tiba diserang ikan hiu yang besar dan amat kuat itu. Rasa ngeri dan takut membuat ia menjerit-jerit minta tolong, lupa untuk mempergunakan kecerdikan dan kekuatan sendiri untuk menolong dirinya. Akan tetapi ketika ikan hiu itu membawanya menyelam, menyeretnya sampai jauh di dalam air, dalam keadaan pelik ini, dalam cengkeraman maut yang agaknya takkan dapat dihindarinya lagi, Jokowanengpati menjadi marah sekali.
Marah terhadap ikan itu dan kini seluruh perhatiannya dicurahkan kepada musuh barunya ini, yang mengancam keselamatan nyawanya. Timbul akalnya. yang digigit ikan itu adalah kedua kakinya. Ketika tadi ia meronta, gigitan ikan itu melorot turun dan kini gigi ikan yang seperti gigi gergaji itu tertanam di kedua paha dekat lutut. Kini kedua tangannya dapat menjangkau ke bawah. Jokowanengpati tadi telah menghirup napas sepenuh paru-parunya ketika akan dibawa menyelam, ketika ia melepaskan perlawanannya ketika diseret ke bawah permukaan air laut. Kini, sambil mengerahkan seluruh tenaga ke dalam jari-jari tangan kanannya, ia meraih ke depan, sejauh mungkin sehingga ia mampu mencapai mata ikan.
(Lanjut ke Jilid 26)
Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "
Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26
Ia mengerahkan tenaganya dan... jari-jari tangannya menusuk mata ikan itu dan mengoreknya keluar, lalu cepat tangannya meraih mata yang sebelah lagi. Ikan itu kesakitan dan berkelojotan, membawa tubuh Jokowanengpati ikut pula terbanting-banting dan berputaran di dalam air. Akan tetapi dia berhasil membikin buta mata yang Scbelah lagi. Karena sakit sekali agaknya, ikan itu mengatupkan mulutnya dengan tenaga yang luar biasa dan Jokowanengpati tiba-tiba merasa tubuhnya terlepas dari pada gigitan ikan hiu. Rasa girang berbareng dengan timbulnya harapan membuat tenaganya menjadi berlipat ganda. la menggerakkan kedua tangan menekan air dan tubuhnya mumbul ke atas.
Hari telah menjelang malam dan Jokowanengpati segera menggerakkan kedua tangannya berenang menuju ke pantai yang kelihatan remang remang. Ketika ia berenang dan menggerakkan kaki, ia merasa jantungnya seperti tidak berdenyut lagi. Kedua kakinya! Begitu ringan! la menoleh dan matanya terbelalak lebar. Kedua kakinya tidak ada lagi! Hampir ia pingsan saking kagetnya. Dan sekiranya ia pingsan pada saat itu, tentu akan tamatlah riwayat hidupnya. Akan tetapi Jokowanengpati masih suka hidup dan berenanglah ia tanpa kaki, dengan susah payah menuju pantai.
Ketika tiba di tempat dangkal ia tak dapat berenang lagi, tidak dapat berdiri pula. la lalu merangkak dan pada saat itulah semua rasa nyeri yang hebat menyelubungi tubuhnya. Nyeri pada kedua kaki yang mendenyut-denyut sampai menembus jantung dan tulang sumsum. Nyeri karena perih dan sakit-sakit pada seluruh tubuh, pada mukanya. Nyeri yang tak tertahankan lagi, bagaikan dibetot-betot nyawa dari tubuh. Serasa ditarik-tarik semua urat di tubuhnya. Jokowanengpati tidak kuat lagi dan akhirnya ia roboh pingsan di atas pasir. Saat itulah penentuan mati hidupnya. Dan jelas bahwa Tuhan menghendaki dia hidup. Buktinya, secara kebetulan sekall air laut menjadi surut setelah ia roboh pingsan. Andaikata air laut tidak surut dan sebaliknya malah pasang, tentu ia akan terendam air atau dibawa hanyut ke tengah oleh ombak.
Air laut yang surut membuat Jokowanengpati menggeletak tertelungkup di atas pasir, seperti mayat. Semalarn suntuk ia menggeletak tak sadarkan diri di atas pasir. Kalau saja ia tidak terluka sewaktu berada di dalam air laut, tentu ia akan tewas, bukan saja karena luka akan tetapi juga karena kehabisan darah. Agaknya air laut menjadi obat penawar yang mujijat. Pada pagi harinya, Jokowanengpati siuman dari pingsannya. Dengan merangkak-rangkak ia mendarat. Setelah ia terbebas daripada cengkeraman maut yang mengerikan, biarpun ia harus mengorbankan kedua kakinya, kini ia ingin hidup terus! la belum mau mati dan timbul pula semangatnya untuk hidup. Biarpun harus mernngkak-rangkak, akhirnya ia dapat memasuki sebuah hutan dan merawat luka-lukanya sampai sembuh.
la tidak berani keluar dari dalam hutan-hutan lebat. la maklum bahwa kalau musuh-musuhnya mengetahui bahwa ia masih hidup, tentu mereka akan datang mencarinya dan rnembunuhnya. Dan dalam keadaan seperti itu, tak mungkin ia mampu mengadakan perlawanan seimbang. Karena itulah, Jokowanengpati hidup di dalam hutan-hutan, merawat luka-lukanya dan juga memperdalam ilmu-ilmunya karena la ingin hidup terus. Dan untuk dapat hidup terus ia harus memperdalam ilmu-ilmunya untuk mengatasi kebuntungan kakinya. Untuk menyambung hidupnya di dalam hutan ia tidak khawatir. Biarpun kedua kakinya buntung, namun kedua tangannya masih ampuh. Sekali sambit dengan batu ia mampu merobohkan binatang hutan, baik binatang kelinci, kijang, maupun harlmau.
Demikian, lima tahun lebih ia merantau seperti binatang di dalam hutan-hutan sehingga akhirnya ia naik ke lereng Gunung Lawu. Ia tadinya berniat hendak bertapa dan memperdalam kesaktiannya. Akan tetapi karena selama lima tahun lebih tidak bergaul dengan manusia, ia merasa kesepian dan terutama sekali ia merasa rindu akan seorang wanita. Perasaan sepi dan rindu ini yang membuat ia tergoda dan tersiksa dalam tapanya sehingga ia mengeluh dan merintih ketika secara kebetulan sekali Ayu Candra lewat. Alangkah kaget, heran, dan girang hati Jokowanengpati ketika ia mendengar suara wanita menegur di luar pohon dimana ia bertapa! Hampir ia tidak percaya akan pendengaran telinganya. Suara wanita! Dan begitu merdu, begitu halus.
Telinganya yang sudah hafal akan suara wanita segera dapat menduga bahwa yang berdiri di luar pohon adalah seorang wanita muda, seorang gadis remaja. Maka ia lalu bersandiwara, membuka pintu tempat pertapaannya di dalam batang gerowong, lalu menggelundung keluar. Dengan akal yang cerdik sekali, disertai Aji Asmoro-kingkin yang pernah ia pelajari dari Ni Nogogini, ia berhasil membuat hati gadis itu terharu dan suka kepadanya, ia berhasil mempengaruhinya dan kini dengan hati girang ia ikut gadis remaja yang cantik jelita itu pulang ke pondok! Dapat dibayangkan betapa jantung laki-laki yang sudah bobrok moralnya ini berdebar tidak karuan ketika ia digandeng oleh Ayu Candra yang menaruh kasihan kepadanya.
Akan tetapi, mengingat akan cara gadis jelita ini tadi memecah buah kelapa dengan telapak tangan, kemudian melihat pula cara Ayu Candra mendaki dan menuruni bukit sambil menggandengnya sedemikian cekatan, pula merasa betapa ketika menggandengnya, gadis itu menyalurkan hawa sakti untuk dapat membawanya melompati jurang-jurang kecil, Jokowanengpati yang kini sudah berganti nama Ki Jatoko (Sengsara) itu maklum bahwa Ayu Candra bukanlah gadis sembarangan. Tentu orang tuanya yang bernama Ki Adibroto juga seorang yang memiliki kesaktian. Maka ia berlaku hati-hati dan menahan-nahan hasrat hatinya yang timbul oleh dorongan nafsu berahi melihat gadis yang benar-benar amat jelita ini. Hatinya girang dan lega mendengar bahwa ayah-bunda gadis itu tidak berada di pondok.
Gadis itu berada seorang diri! Calon korban yang mudah dan lunak. Betapapun juga, ia tidak mau berlaku sembrono dan ada sesuatu dalam gerak-gerik dan sikap Ayu Candra yang amat menarik dan yang mengguncangkan hatinya, perasaan yang selamanya belum pernah ia alami. Biasanya, menghadapi setiap orang wanita dari gadis dusun sampai puteri bangsawan, ia memandang dan menganggapnya sebagai setangkai bunga yang menarik hati, yang menimbulkan rangsang dan hasrat untuk memetik, menikmati keindahannya, mencium keharumannya, kemudian melemparkannya bunga yang melayu tanpa perasaan kecewa atau menyesal lagi. Akan tetapi, kali ini tidak demikian. Memang tersentuh berahinya menyaksikan gadis jelita ini, mendorong nafsunya untuk memiliki Ayu Candra,
Akan tetapi berbeda dengan yang sudah-sudah, ia mendapat keyakinan dalam perasaannya bahwa hidupnya akan selalu bahagia apabila ia dapat terus berdampingan dengan gadis ini! Inilah yang membuat hati Ki Jatoko ragu-ragu untuk mempergunakan kekerasan seperti yang seringkali ia lakukan terhadap para wanita korbannya. Inilah yang membuat Ki Jatoko timbul keinginan di hatinya untuk mempersunting Ayu Candra dengan bujuk rayu, ingin dicinta gadis itu sepenuh hati, dan ingin melihat gadis itu menyerahkan diri dan jiwa kepadanya dengan landasan cinta kasih! Menggelikan sekali! Ki Jatoko, atau Jokowanengpati, yang dahulunya seorang pria yang gagah dan tampan, yang tidak pernah jatuh hati kepada wanita manapun juga, yang hanya suka untuk mempermainkannya,
Kini setelah berusia empat puluh tahun lebih, setelah kedua kakinya buntung dan badan serta mukanya penuh cacad, secara mendadak ia jatuh cinta kepada seorang gadis cantik jelita berusia tujuh belas tahun! Sungguh gila! Gilakah Jokowanengpati karena mencinta gadis jelita remaja puteri? Kalau dia dikatakan gila, maka agaknya di dunia ini penuh orang gila!. Betapa banyaknya di dunia ini terdapat orangorang seperti Jokowanengpati, malah banyak yang lebih gila daripada itu. Orang-orang dimabuk cinta, dimabuk benci, dirangsang marah, dibakar dendam, digoda iri dan dengki. Tidak, Jokowanengpati atau Ki Jatoko tidak gila, melainkan lemah. Dia lemah seperti manusia kebanyakan, lemah terhadap nafsu nafsu pribadi, menjadi hamba nafsu dan karenanya menjadi abdi iblis dan setan!
Cinta kasih yang bersemi secara aneh di lubuk hati Ki Jatoko inilah yang membuat Ayu Candra terjamin keamanannya dalam perjalanan pulang itu. Andaikata tidak ada cinta kasih yang ganjil ini tentu ia telah ditubruknya dan diperkosa dengan kekerasan. Dan betapapun pandai gadis itu dalam ilmu silat dan kesaktian, dia bukanlah lawan Ki Jatoko atau Jokowanengpati! Dalam perjalanan pulang ke pondok di Sarangan ini, sambil bergandeng tangan, Ki Jatoko berhasil memancing Ayu Candra menceritakan keadaannya. Gadis ayu yang sama sekali tidak menaruh curiga itu menceritakan bahwa ayahnya, Ki Adibroto, adalah seorang pendekar daerah Ponorogo yang terkenal, seorang"warok"
Golongan putih, yang tidak akan ragu-ragu untuk membasmi kejahatan. Dalam bercerita tentang ayahnya, Ayu Candra merasa bangga.
"Pantas saja engkaupun hebat sekali!"
Ki Jatoko memuji."Aku tadi merasa kagum dan heran ketika engkau memecah buah kelapa dengan tanganmu yang halus lunak ini. Kiranya engkau puteri seorang pendekar perkasa!"
Ayu Candra adalah seorang gadis yang masih hijau dalam pergaulan dan pengalaman. Ia tidak dapat membedakan antara bujuk rayu dan pujian sesungguhnya. Ia merasa bangga dan dengan kedua pipi kemerahan ia berkata,
"Ah, paman Jatoko, kau terlalu memuji. Kepandaianku tidak ada artinya kalau dibandingkah dengan ayah. kau tunggulah sampai ayah pulang, tentu ayah akan menolongmu."
"Aku boleh tinggal bersamamu di pondok? Apakah ayah-bundamu tidak akan marah?"
Ayu Candra masih bodoh. Belum begitu mendalam pengertiannya tentang tata susila antara pria dan wanita. ApaJagi, dalam pandang matanya, Ki Jatoko adalah seorang tua yang bercacad, pantas menjadi pamannya. Apa salahnya kalau mondok di rumahnya? Orang yang berpikiran bersih memang tidak ada syak wasangka yang bukan-bukan.
"Mengapa tidak boleh? Tentu saja mereka tidak akan marah! Siapa orangnya takkan menolong kalau melihat keadaanmu seperti ini?"
"Kau baik sekali... kau baik sekali..."
Entah mengapa, Ki Jatoko menggigil seluruh tubuhnya dan biarpun ia berusaha menekan, tangan Ayu Candra yang menggandeng tangannya merasa betapa tangan laki-laki buntung itu tergetar. Hal ini dianggap oleh gadis itu sebagai perasaan terharu si laki-laki buntung yang merasa amat bersyukur dan berterima kasih. Ia menjadi makin kasihan. Setibanya di pondok, Ayu Candra cepat menanak nasi dan memasak sayuran untuk Ki Jatoko yang duduk di lincak (bangku bambu) depan pondok. Setelah matang, gadis itu mempersilahkan tamunya dahar yang diterima dengan rasa syukur dan girang oleh Ki Jatoko. Malam itu Ki Jatoko bermalam di pondok. Akan tetapi ia menolak ketika oleh Ayu Candra ditawarkan bilik belakang.
"Tidak, anak manis, biarlah di sini saja di atas lincak ini cukuplah."
"Akan tetapi, di luar dingin sekali, paman. Pula, kalau malam nanti datang binatang buas,kan berbahaya?"
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di dalam hatinya, Ki Jatoko mentertawakan. Masa ia takut akan segala binatang buas? Akan tetapi mulutnya menjawab,
"Ah, kiranya tidak akan ada binatang buas yang doyan tubuhku lagi. Pula, biasanya binatang buas tidak berani mendekatl tempat tinggal manusia. Aku sudah biasa tidur di luar, mungkin kalau tidur di dalam pondok malah menjadi gelisah tak dapat tidur."
Ayu Candra tidak memaksa dan malam itu dia segera memasuki biliknya. Betapapun juga, tidak enak hatinya kalau malam-malam bercakap-cakap dengan laki-laki buntung itu, ia merasa canggung juga. Ia tidak tahu bahwa Ki Jatoko memang sengaja tidak mau tidur di dalam pondok karena ada niatnya. Di samping itu, laki-laki yang cerdik ini menjaga kalau-kalau orang tua gadis itu sewaktu waktu pulang. Jika pulang di waktu malam dan melihat dia sebagai seorang pria berani tidur sepondok dengan puteri mereka, tentu mereka akan marah dan menganggap dia tidak tahu aturan. Sungguh dia polos, suci murni dan baik budi Demikian Ki Jatoko termenung memikirkan gadis ayu itu yang tanpa ragu-ragu mempersilahkan dia seorang laki-laki asing, untuk tidur di dalam pondok.
Bagi umum, tentu hal ini dianggap pelanggaran susila, akan tetapi ia tahu betul bahwa gadis itu menawarkan pondok dengan hati bersih daripada segala pikiran yang bukan-bukan. Ki jatoko gelisah sekali. Sampai jauh malam ia tidak dapat tidur, hanya duduk merenung di atas lincak. Bayangan wajah yang cantik jelita, bentuk tubuh yang ramping padat, keindahan dan keranuman usia muda, kulit tangan yang halus lunak dan hangat, semua ini menggoda hatinya, membangkltkan berahi yang makin berkobar. Apalagi kalau ia terkenang akan semua perbuatannya di masa lalu, membanding-bandingkan semua korbannya, yaitu wanita-wanita yang dimilikinya baik secara halus maupun kasar, secara suka rela maupun perkosaan, dalam kenangannya tidak ada yang dapat melawan Ayu Candra!
"Aku harus dapatkan dia! Harus! Matipun takkan penasaran lagi, setiap waktu matipun aku akan rela asal sudah mendapatkan dia. Ah, Ayu Candra bocah ayu denok, kau membikin aku tergila-gila"
Ki Jatoko lalu bersedakap dan matek aji sirep. Sejam kemudian, keadaan pondok dan sekelilingnya sunyi mati, tidak terdengar suara sedikitpun karena terkena pengaruh aji sirep yang ampuh. Ki Jatoko lalu meloncat turun dari lincak dan kini gerakannya amat gesit ketika ia membuka daun pintu pondok dan berjalan biasa menggunakan kedua kaki buntungnya. Berindap-indap ia menghampiri bilik tempat tidur Ayu Candra. Dari dalam bilik bersinar cahaya dian yang menyorot keluar menembus celah-celah anyamam bambu, menyinari wajah Ki Jatoko yang kelihatan mengerikan sekali.
Wajah itu lebih buruk daripada biasanya. Kini berkilat-kilat basah oleh peluh, matanya agak kemerahan dan bersinar-sinar penuh nafsu berahi, mulutnya menyeringai basah, napasnya agak tersendat-sendat tertahan karena gelora nafsu asmara. Dengan tangan gemetar didorongnya daun pintu bilik itu dan di lain saat ia sudah memasuki bilik. seperti terpesona ia berdiri di ambang pintu. Dian itu kecil sumbunya. Api minyak kelapa itu kecil namun anteng dan membuat keadaan bilik remang-remang. Ayu Candra tampak tidur nyenyak. Rambut yang panjang gemuk dan hitam itu terurai, sebagian menutupi muka, terus terurai ke bawah menutupi dada, membuat kulit dada itu tampak makin putih halus di balik kehitaman rambut.
Dada padat membusung itu bergerak perlahan naik turun seirama dengan napas yang halus dan tidak bersuara. Mata yang membuat bulu mata tampak panjang melengkung dan membuat bayang-bayang di bawah mata. Bibir yang merah membentuk gendewa terpentang itu mengulum senyum, manis mengalahkan sari madu. Tubuh yang padat, denok dan ramping, kelihatan panjang ketika tidur telentang. Lengan kiri dara itu ditekuk ke atas, lengan kanan menyilang perut, seperti gerak tari yang amat indah gemulai. Ki Jatoko mengejapkan matanya, menggoyang-goyang kepala. Akan tetapi ketika memandang kembali, tetap saja ia menjadi seperti mabuk. Berkali-kali ia menelan ludah, tubuhnya makin menggigil, dan perlahan-lahan ia mendekati pembaringan.
"Ayu... Ayu Candra... aduhhh alangkah cantik jelita engkau... belum pernah kumelihat wanita secantik engkau, Ayu...!"
Ucapan ini tidak dibisikkannya, melainkan diucapkan. Akan tetapi Ayu Candra yang biasanya peka dan mudah bangun dari tidurnya setiap mendengar suara yang tidak sewajarnya, kini tetap pulas.
Ternyata ia telah terkena pengaruh aji sirep yang ampuh tadi sehingga keadaannya seperti orang pingsan. Jangankan hanya suara manusia, biar suara harimau mengaum dekat telinganya, ia takkan dapat bangun. Andaikata ia diseret turun dari atas pembaringan sekalipun, ia takkan dapat sadar!. Ki Jatoko kini sudah dekat, berdiri di pinggir pembaringan. Harum kembang mawar putih yang tersebar di atas pembaringan membuat ia sejenak memejamkan kedua matanya. Cuping hidungnya tergetar dan napasnya menjadi sesak. Ketika ia membuka matanya kembali, tampak matanya membasah. Keindahan yang tampak di depan matanya begitu mempesona, begitu memikat, begitu indah sampai mendatangkan rasa haru.
"Aduh, dewiku... kalau engkau tidak membalas cintaku, aku tidak mau hidup lagi...!"
Kedua tangan Ki Jatoko terulur, jari-jari tangannya tergetar, ia bergerak memeluk, hendak merangkul. Akan tetapi sebelum jari tangannya menyentuh kulit yang putih halus itu, tiba-tiba ia tersentak kaget dan menarik kembali tangannya.
"Duh Jagad Dewa Bathara! Gilakah aku? Ayu Candra... bocah ayu kuning... bagaimana aku dapat memperlakukannya seperti wanita-wanita lain? Bagaimana aku tega untuk memperkosanya? Tentu dia akan benci kepadaku! Tentu ia akan memandang rendah, akan mengutukku, memusuhiku. Ahhh... tidak boleh begini! Jokowanengpati, engkau sudah gila! Gadis ini benar-benar telah menjatuhkan hatiku. Aku aku cinta kepadanya, tidak boleh ia membenciku. Aduh,... Ayu Candra... engkau maafkan aku, nimas! Aku tidak tega memaksamu, aku akan menanti sampai engkau dengan suka rela menyerahkan diri kepadaku, membalas cinta kasihku...!!"
Lemaslah kedua kaki yang tinggal paha itu dan Ki Jatoko hanya berani mencium ujung rambut yang terurai keluar dari pembaringan. Kemudian dengan pipi basah air mata ia keluar lagi dari bilik menutupkan pintu dan merebahkan diri di atas lincak di depan pondok. Ia gelisah tak dapat tidur, mengeluh panjang pendek, dan akhirnya baru bisa pulas menjelang fajar.
Cinta memang perasaan ajaib. Akibat daripada cintapun banyak macamnya dan aneh-aneh. Orang merasa dirinya dalam surga dunia karena cinta. Akan tetapi dapat juga merasa dirinya dalam neraka dunia karena cinta. Cinta ditempeli nafsu berahi membuat orang lupa akan tata susila. Cinta dicampur cemburu dapat membuat orang menjadi kejam dan suka menyiksa. Cinta dapat merubah seorang baik-baik menjadi seorang yang jahat dan keji. Sebaliknya cinta dapat pula merubah seorang yang biasanya jahat menjadi seorang yang baik dan setia terhadap orang yang dicintainya. Cinta mampu merubah watak domba menjadi watak harimau, sebaliknya watak harimau dirubah menjadi watak domba.
Ayu Candra bangun dari tidurnya, bangkit dengan malas, menggeliat dan menguap di belakang kepalan tangannya. Ia merasa tubuhnya segar. Enak sekali tidurnya malam tadi. Akan tetapi... tiba-tiba ia mengerutkan alisnya yang hitam melengkung. Ia bermimpi malam tadi! Mimpi aneh sekali, dan tiba-tiba ia menggerakkan kedua pundaknya yang telanjang seperti orang jijik. Ia mimpi menggandeng tangan Ki Jatoko seperti kemarin akan tetapi tiba-tiba Ki Jatoko mencium ujung jarinya. Ketika dilepaskan pegangannya, tangan yang dicium itu menjadi busuk dan rusak, seperti orang saklt kusta dan makin lama penyakit itu menjalar makin ke atas, makan jarinya, tangannya, lengannya!
"Ihhh...! Gila, menjijikkan!"
La melompat turun dari pembaringan dan mencoba untuk menghibur diri dengan keyakinan bahwa hal itu hanya terjadi dalam mimpi. Akan tetapi hatinya tetap tidak enak, seakan-akan ada kotoran yang hinggap pada tubuhnya dan harus segera dibersihkan!. Di luar pondok, ayam hutan terdengar berkokok saling sahut. Memang sudah biasa dara ini bangun pagi-pagi sekali. Bangun pagi di waktu ayam berkokok menyehatkan dan menyegarkan badan. Ia lalu meniup padam dian di atas meja, dan berjalan keluar dari bilik. Hati-hati ia membuka pintu depan dan ketika menjenguk keluar, ia melihat Ki Jatoko masih tidur meringkuk di atas lincak.
Kelihatan pendek sekali. Mulutnya terbuka dan dengkurnya kasar. Ayu Candra bergidik teringat akan mimpinya semalam. Makin tak enak perasaan hatinya setelah melihat orang yang kakinya buntung itu tidur mendengkur di atas lincak. Benar menjijikkan sekali. Karena keadaan si buntung itu tidak menderita seperti siang tadi, rasa kasihan menipis di hatinya dan rasa jijik timbul. Sialan, pikirnya. Mimpi saja kok macam itu. Ia jarang sekali mimpi dan mimpi yang sekali ini benar-benar membuat ia tak tenang jiwanya. Ia menutup daun pintu depan lalu melangkah keluar dan ccpat-cepat ia berlari menuju ke telaga. la sengaja jalan memutar dan memilih bagian yang jauh dari pondoknya, yang sunyi dan memang bagian ini menjadi tempat ia mencuci pakaian dan mandi. Bagian ini airnya paling bersih.
Sampai tempat itu, ia duduk di atas batu yang bersih licin. Duduk termenung. Mengapa ayah-bundanya lama amat perginya? Kalau mereka pulang, tentu hatinya akan tenteram. Kini teringat ia betapa sepasang mata orang buntung itu seperti mata setan. Aneh sekali, pikirnya. Orang buntung yang sengsara dan lemah itu memiliki sepasang mata yang memancarkan cahaya aneh dan begitu kuatnya, seakan-akan mampu menjenguk isi hatinya. Mata seperti itu sepatutnya dimiliki seorang yang sakti! Ada persamaan dengan sinar mata ayahnya, hanya kalau sinar mata ayahnya yang tajam itu mengandung kelembutan dan ketenangan, adalah mata orang buntung ini juga tajam akan tetapi mengandung sesuatu yang aneh dan liar tidak tenang.
Ayu Candra tidak segera turun keair. Hari masih terlalu pagi, dan hawa udara amat dingin. Biasanya, ia baru berani terjun ke air kalau matahari sudah muncul sehingga begitu selesai mandi ia dapat berjemur menghangatkan tubuh dan mengeringkan rambut. Apalagi sekarang karena tergesa-gesa hendak segera meninggalkan pondok dan orang buntung itu, ia teiah kelupaan membawa kain pengganti. Ibunya melarangnya mandi bertelanjang, kecuali di waktu malam gelap. Banyak mata laki-laki kurang ajar, kata ibunya. Pernah dibantahnya bahwa di telaga tidak ada orang lain. Siapa tahu, kata ibunya. Di mana-mana dalam dunia ini akan kau jumpai laki-laki kurang ajar yang suka mengintai wanita mandi, apalagi kalau mandi bertelanjang, kata pula ibunya. Ia teringat akan laki-laki buntung.
Apakah mata laki-laki itupun mata kurang ajar? Ayu Candra belum mampu membedakan dengan jelas. Pernah ketika di Ponorogo dahulu, ketika ia pulang dari pasar, lima orang pemuda berandalan menggodanya dengan ucapan ucapan kasar, bahkan tangan mereka berlancang hendak menjamahnya. Mula-mula Ayu Candra melayani mereka bicara, akan tetapi setelah tangan mereka mulai jahil, ia mengeluarkan kepandaiannya dan membuat mereka berlima berjungkir balik dan babak belur. Mulailah ia dikenal orang dan tak seorangpun pemuda berani berkurang ajar kepadanya. Apalagi setelah orang tahu bahwa dia puteri pendekar Adibroto!. Kalau teringat kepada Ki Jatoko dan mimpinya semalam, Ayu Candra masih merasa jijik dan merasa seakan-akan tubuhnya menjadi kotor.
Ia bangkit dari duduknya dan mencari daun pandan dan bunga-bungaan karena ia hendak keramas. Kalau hanya mandi biasa tanpa keramas, ia takkan merasa dirinya bersih kembali. Sementara itu, matahari sudah mulai menyinarkan cahayanya yang lembut dan kemerahan. Lama juga gadis ini duduk termenung tadi. Ayu Candra sama sekali tidak tahu bahwa ketika sedang memetik daun pandan dan bunga-bunga mawar, sepasang mata yang baru bangun tidur menatapnya dari atas sebatang pohon yang besar. Mata itu mula-mula terbuka kaget dan bangun dari tidur ketika Ayu Candra menginjak daun-daun kering, kemudian terbelalak memandang ke bawah, lalu ketap-ketip (berkejap-kejap) dan tangannya menggaruk-garuk kepala, menggosok-gosok kedua mata yang masih sepet, memandang kembali dan sekali lagi melongo.
"Mimpikah aku? Gila benar, ada mimpi begini jelas?"
Tangan itu kini mencubit pahanya sendiri dan mulutnya menyeringai ketika ia merasa nyeri. Ketika memandang ke bawah lagi, ia melihat dara jelita itu yang sudah selesai memetik bunga, kini berjalan pergi. Lenggang yang seenaknya tak dibuat-buat itu seakan-akan mempunyai daya tarik dan membetot-Betot hati laki-laki yang rebah di atas batang pohon besar. Ia bangkit dan duduk di atas cabang pohon, matanya terbelalak memandang pinggul yang menari-nari itu.
"Bukan mimpi! Dia itu peri penjaga hutan atau peri telaga yang kesiangan! Atau bidadari kahyangan hendak mandi! Kalau manusia tak mungkin. Bagaimana seorang dara remaja berada seorang diri dihutan sunyi dan liar ini? Dan kalau manusia tidak ada yang sedemikian eloknya, wajahnya bersinar-sinar seperti mengeluarkan cahaya keemasan, rambutnya seperti awan hitam berarak, kakinya begitu ringan tak menyentuh bumi! Aduh Gusti, benar-benarkah aku melihat bidadari?"
Laki-laki itu menyingkap rambut yang turun ke dahi itu, lalu sekali menggerakkan tubuh ia telah melayang turun dari pohon. Gerakannya amat ringan dan sigap, kedua kakinya menginjak tanah tanpa mengeluarkan suara! Dia seorang laki-laki yang masih amat muda, bertubuh sedang dengan bentuk tegap kuat, wajahnya tampan. Akan tetapi pada saat itu sinar matanya yang tajam berpengaruh itu diselimuti kebingungan yang timbul dari hati yang berdebar-debar. Dengan gerakan yang amat gesit namun sama sekali tidak mengeluarkan suara, ia mengejar ke depan dan mengikuti Ayu Chandra yang berjalan dengan lenggang sewajarnya menuju ke pinggir telaga.
Sinar matahari pagi disambut keriangan burung yang berkicau merdu, tanda bahwa permukaan bumi mulai bangun untuk menyambut kemegahan sang surya. Keadaan yang indah ini agaknya mempengaruhi hati Ayu Candra karena mulutnya mulai tersenyum-senyum, wajahnya berseri dan ia lalu bersenandung.
"Ana pandhita akarya wangsit,
minda kumbang angajab ing tawang,
susuh angin ngendi nggone,
lawan galihing kangkung,
wekasane langit jaladri,
Isining wulung wungwang,
lan gigiring punglu,
tapaking kuntul anglayang,
manuk miber uluke ngurgkuli langit,
kusuma jrahing tawang."
Pemuda yang mengikuti dari belakang itu melongo. Aduhh, pikirnya, tentu bidadari kahyangan. Kalau seorang gadis gunung biasa tak mungkin bertembang seperti itu! Suaranya merdu melebihi burung kenari. Tembang Dandanggendis itu tepat dan indah alunannya seperti nyanyian waranggana istana saja. Dan kata-katanya Mengandung makna yang amat dalam, penuh filsalat kebatinan yang hebat! Selama hidupnya, baru kali ini Joko Wandiro terpesona oleh seorang wanita. Ya! Pemuda itu bukan lain adalah Joko Wandiro. Setelah ia gagal mengabdi kepada Sang Prabu Panjalu, kemudian di alun-alun Kerajaan itu ia berhasil mengalahkan dan mengusir Ni Durgogini dan Ni Nogogini, Joko Wandiro lalu meninggalkan Kerajaan Panjalu.
Ia terus mengembara ke barat karena tujuan hatinya adalah mencari ayah angkatnya dan bibinya di Bayuwismo pantai Laut Selatan. Ia melakukan perjalanan seenaknya, melalui gunung-gunung sambil menikmati pemandangan alam yang indah sehingga akhirnya ia sampai di lereng Gunung Lawu dan bermalan di sebuah hutan tidak jauh dari Telaga Sarangan. Perjumpaannya dengan Ayu Candra benar-benar tak disangkanya sama sekali. Tidak pernah ia menyangka bahwa di tempat sunyi ini tinggal seorang gadis jelita seorang diri sehingga mau ia percaya bahwa gadis itu tentulah sebangsa bidadari penghuni kahyangan. Biarpun Joko Wandiro semenjak kecil digembleng oleh orang-orang pandai, memiliki batin yang amat kuat, namun ia seorang manusia juga.
Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo