Badai Laut Selatan 27
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
Manusia laki-laki yang masih muda, baru berusia dua puluh tahun kurang. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja iapun mempunyai perasaan wajar terhadap wanita, teristimewa kepala wanita yang memiliki daya penarik khas terhadap perasaan dan seleranya. Joko Wandiro bukanlah seorang laki-laki mata keranjang, dan biasanya hatinya acuh tak acuh apabiia ia bertemu dengan wanita muda. Memang setelah dewasa, ia dapat menilai akan cantik tidakhya seorang wanita, namun belum pernah ia merasa tertarik dan boleh dikatakan hatinya selalu dingin.terhadap mahluk jenis lawan ini. Akan tetapi sekali ini lain sama sekali. Begitu melihat Ayu Candra, ia terpesona, jantungnya berdebar-debar tidak karuan dan semangatnya serasa melayang layang.
Tidak ada hasrat lain di hatinya kecuali mengikuti ke manapun juga dara itu pergi! Seperti, seorang linglung kini ia berindap-indap dan mengikuti dara itu yang menuju ke pinggir telaga sambil bertembang amat merdunya. Ayu Candra tidak tahu bahwa dirinya diikuti dan diperhatikan orang. Ia lalu turun ke dalam air, terus ke depan di mana air sampai di pinggangnya. Amat sejuk dan segar. Ia menyelam tiga kali lalu menggosok-gosokkan daun pandan dan bunga-bungaan kepada rambutnya yang terurai basah. Rambut yang hitam gemuk panjang itu mengkilap tertimpa sinar matanari pagi dan kulit yang putih menguning itu seperti kencana muda. Joko Wandiro berindap-indap mendekat pantai. seperti mimpi ia terus mendekat sampai berada di tepi pantai, hanya beberapa meter jauhnya dari gadis itu, lalu bersimpuh di atas rumput.
Kini ia tidak bersembunyi lagi, melainkan duduk menonton di tepi telaga seperti orang tak sadar akan keadaan dirinya. Terpesona ia memandang ke depan, melihat tubuh belakang dara itu. Kain yang basah itu menempel ketat dan mencetak tubuh belakang yang ramping, padat dan gempal. Di bagian pinggul, kain itu seakan-akan hendak pecah, tidak kuat menahan gumpalan daging yang menonjol haus akan kebebasan. Ketika kedua tangan dara itu bergerak-gerak mulai menggosok leher dan dadanya, dari belakang tampak tulang belikatnya bergerak-gerak, membuat punggung yang halus itu bergerak-gerak pula seperti menari. Melihat semua keindahan yang selama hidupnya baru kali ini mengikat perhatiannya, Joko Wandiro menahan napas.
Pandang mata manusia mengandung getaran-getaran yang kuat, apalagi kalau pandang mata itu didorong perasaan. Juga manusia diperlengkapi alat-alat halus untuk menerima getaran ini, menangkap dengan indera ke enam. Makin bersih batin manusia, makin kuat indera ke enam ini sehingga membuat ia mungkin menerima getaran-getaran yang paling halus, memungkinkan ia melihat yang tak terlihat mata, mendengar yang tak terdengar telinga. Ayu Candra yang tadi sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri, sampai-sampai tidak memperhatikan getaran-getaran halus yang semenjak tadi menyerangnya, kini mulai merasakan getaran itu dan membuatnya melakukan gerak otomatis membalikkan tubuhnya secara tiba-tiba ke belakang.
Dua pasang mata bertemu pandang. Dua pasang mata yang bersinar sama tajam, penuh getaran. Sampai lama dua pasang mata itu bergelut pandang, yang satu terpesona yang ke dua kaget dan heran. Menyaksikan tubuh dara itu dari belakang sudah hebat, kini menatapnya dari depan, benar-benar menakjubkan, membuat kerongkongan Joko Wandiro serasa kering tercekik sehingga terpaksa ia berusaha menelan ludah. Kemudian, terdorong oleh keharuan dan perasaan kagum terpikat yang sukar dilukiskan dengan kta-kata, terdorong pula oleh rasa kesadaran bahwa ia telah bersikap tidak sebagaimana mestinya dan melakukan pelanggaran susila yang semenjak ia kecil sudah digariskan oleh guru-gurunya, mendadak Joko Wandiro menunduk dan menyembah!
"Duh sang dewi, hamba mohon ampun akan kelancangan hamba, berani menjatuhkan pandang mata terhadap paduka."
Sejenak Ayu Candra tertegun. Sinar kemarahan yang mulai menyelubungi mukanya, perlahan-lahan lenyap, berganti keheranan, tidak mengerti, kemudian setelah sikap pemuda yang amat aneh itu dapat ia duga maksudnya, ia tersenyum lebar dan menutupkan tangan kiri ke depan mulut menahan ketawa geli.
"Hi-hi-hik! kau sangka aku ini dewi penjaga telaga? Hi-hik!"
Joko Wandiro mengangkat muka memandang dan hampir saja ia terjungkal ke dalam telaga! Setelah kini tersenyum, wajah itu makin hebat! Dan dara itu tertawa dan mengeluarkan kata-kata, ia menjadi sadar akan keadaannya yang tidak sewajarnya, menyeretnya kembali kealam dunia dari alam mimpi. Seketika wajahnya menjadi kemerahan dan rasa malu membuat mukanya terasa dingin panas tidak keruan! Ia hanya bisa memandang dengan mulut melongo dan hal ini kembali mendatangkan kemarahan di hati Ayu Candra karena kembali timbul prasangka bahwa pemuda itu tentu mengintainya dengan sengaja untuk bersikap kurang ajar
"Heh! mau Apa kau di situ? kau mau mengintai orang mandi, ya? Kurang ajar...!"
Joko Wandiro yang telah sadar bahwa ia berhadapan dengan seorang manusia, seorang dara jelita, seakan-akan disiram air dingin. Ia gelagapan, bingung, malu dan gugup. Jelas tertekan dalam benaknya betapa ia telah berlaku terlalu kurang ajar, melanggar tata susila. Dengan gagap-gugup ia menyangkal,
"Tidak... tidak...! Aku tidak berniat kurang ajar...!"
Diam-diam Ayu Candra memperhatikan pemuda itu dan iapun kagum. Pemuda ini amat tampan dan muka seperti itu tak mungkin kurang ajar! Akan tetapi dengan mulut cemberut ia mendesak,
"Kalau tidak mau kurang ajar, mau Apa kau di sini?"
"Aku mau... mau mandi...!"
Ayu Candra membentak,
"Mana ada orang mandi di darat?"
"...Aku... belum...sekarang juga... mandi..."
Dengan gagap dan gugup Joko Wandiro yang hendak menyembunyikan rasa malunya itu bangkit dan segera pergi ke sebelah kanan, terpisah sepuluh meter dari tempat dara itu mandi, kemudian ia melompat ke air tanpa membuka pakaian pula!.
"Eeeeeeh, awas di situ amat dalam...!"
Ayu Candra menjerit kaget, akan tetapi sudah terlambat, pemuda itu sudah ambyur ke air sehingga air muncrat tinggi ketika terdengar suara menjebur. Tubuh pemuda itu tenggelam dan tak tampak lagi sampai permukaan air menjadi tenang kembali dan hanya tampak air berbunyi blekutuk-blekutuk karena ada hawa naik dari bawah.
"Celaka...!"
Ayu Candra berseru kaget Melihat cara pemuda tadi terjun ke air, begitu kaku dan dengan perut lebih dulu, dapat diduga bahwa pemuda itu tidak pandai berenang, kini ternyata pemuda itu tenggelam dan tidak muncul kembali! Gerak gerik pemuda tadi amat aneh. Kalau bukan orang yang miring otaknya tentu orang yang mempunyai penyakit ayan! Menurut ayahnya, penyakit ini hebat sekali dan kabarnya orang yang mempunyai penyakit ayan sama sekali tidak boleh dekat air yang dalam karena sekali tergelihcir ke dalam air di waktu penyakitnya kumat, orang itu tentu akan mati! Teringat akan hal ini, bangkit sikap pendekar dalam diri Ayu Candra.
Bagian di mana pemuda tadi terjun amat dalam, kata ayahnya dalamnya setinggi pohon bambu tua! Ia lalu berenang ke depan, ke bagian telaga yang dalam di mana pemuda tadi terjun, kemudian mengambil napas panjang dan menyelam. Dengan gerakan kedua kakinya disertai tenaga dalam yang amat kuat, Ayu Candra terus menyelam. Ia membuka mata di dalam air dan untung baginya bahwa sinar matahari ada yang menimpa bagian itu dan air amat jernih sehingga ia dapat melihat ke bawah. Tidak jauh di sebelah bawah ia melihat benda hitam bergerak-gerak. Tidak salah lagi, tentulah itu pemuda yang gendeng tadi, atau mungkin sedang sekarat karena penyakit ayannya kumat.
Dengan gerakan kaki dan tangan, Ayu Candra menyelam terus dan setelah dekat, benar saja ia melihat bayangan kepala orang. Menolong orang kalap (tenggelam di air) sekali-kali tidak boleh sembrono, pikirnya, teringat akan nasehat ayahnya. Kalau yang ditolong itu saking takutnya merangkul dan memeluk mencari pegangan, bisa celaka pula orang yang berusaha menolong. Harus dijambak rambutnya, atau dibikin tak berdaya, atau dipukul sekali biar pingsan!. Ayu Candra meragu. Untuk menempiling kepala itu ia khawatir kalau-kalau pukulannya terlalu keras dan yang dipukul akan mampus sama sekali! Ketika tangannya meraih ke depan, jari-jari tangannya mencengkeram muka dan menangkap hidung.
Ia merasa betapa muka itu hangat dan dari hidungnya keluar hawa yang menimbulkan gelembung-gelembung air, maka ia cepat merangkul leher orang itu dan memiting (menjepit) dengan lengan erat erat. Kalau ia meronta dan hendak mencengkeram, kuperkeras jepitanku pada lehernya, hendak kulihat apakah ia takkan tercekik pingsan, pikirnya. Dengan lengan kiri memiting leher, Ayu Candra lalu menjejakkan kedua kaki bergantian ke bawah dan tangan kanannya membantu. Memang hebat tenaga dalam dara ini sehingga dalam waktu singkat, kepalanya sudah tersembul keluar dari permukaan air. Ia mengguncang-guncang kepala dan menghapus air dari muka dengan tangan kanan, kemudian melihat sejenak ke arah yang menempel di dadanya. Orang yang dipiting lehernya itu matanya meram, napasnya terengah-engah akan tetapi tidak mati.
Ayu Candra lalu berenang ke pinggir dan setelah tiba di pinggir, di tempat dangkal, ia melepaskan pitingannya dan menyeret orang itu dengan mencengkeram leher bajunya, menariknya ke darat. Akan tetapi, perut orang itu sama sekali tidak kembung, tidak terisi air seperti biasanya orang yang tenggelam. Bahkan begitu sampai di darat, pemuda itu membuka matanya dan bangkit duduk! Matanya terbelalak lebar, mukanya kemerahan dan pemuda itu memandangnya dengan bengong. Ayu Candra melihat arah pandang mata pemuda itu ditujukan ke dadanya. Cepat ia menunduk dan hampir ia menjerit ketika melihat betapa kainnya telah merosot turun sampai ke pinggang membuka bagian dadanya yang hanya sebagian tertutup rambutnya. Secepat kilat tangan kirinya menarik kainnya ke atas dan tangan kanannya menampar.
"Plakk!!"
Tamparan itu keras sekali dan diam-diam Joko Wandiro kaget bukan main. Tidak disangkanya dara ini memiliki tenaga yang demikian hebatnya. Untung dia memiliki kesaktian, kalau orang biasa menerima tamparan sehebat itu, tentu akan rontok giginya! Akan tetapi, karena tidak menyangkanyangka sehingga ia tidak mengerahkan tenaga, untuk menerima tamparan, pipinya terasa panas dan perih juga. Joko Wandiro mengangkat tangannya, mengusap-usap pipinya yang kena tampar. Ia tidak tahu bahwa dara itu lebih terkejut dan lebih heran daripadanya.
Ayu Candra merasa kaget melihat betapa pemuda yang disangkanya gendeng (setengah gila) atau berpenyakit ayan itu menerima tamparannya seperti orang yang pipinya dihinggapi lalat saja agaknya! Padahal tadi karena malu dan marah ia telah melakukan penamparan yang cukup keras untuk membikin gigi rontok bibir pecah Ataukah tanpa disadarinya ia merasa kasihan dan menampar tidak sekeras yang ia kehendaki semula? Kini Joko Wandiro sudah dapat menentramkan hatinya kembali. Agaknya tamparan tadi mengusir semua sisa kegugupan dan kecanggungan yang masih ada di hatinya. Akan tetapi kalau teringat akan penglihatan yang baru saja terbentang di depan matanya, ia merasa ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut dan kedua pipinya terasa panas. Kini ia bangkit berdiri dan berkata,
"Sungguh aku tidak mengerti sama sekali mengapa engkau begini marah kepadaku. Sudah kuakui kesalahanku tadi yang tidak sengaja datang ke tempat ini dan mendapatkan kau sedang berjalan seorang diri lalu mandi. Aku sudah minta maaf dan akupun hendak mandi, sudah menjauhimu dan..."
"Cerewet! kau orang tak kenal budi, tak tahu terima kasih dan mata keranjang!"
Ayu Candra berkata marah sekali. Joko Wandiro menekan jantungnya yang berdebar keras. Bukan main! Marah-marah malah bertambah manisnya. Heran ia mengapa hatinya berhal demikian. Mengapa ia kini sekali bertemu tergila-gila kepada seorang wanita? Apakah ini yang namanya mata keranjang?
"Benar mata keranjang!"
Joko Wandiro menampar kepalanya dan ia kaget sendiri karena kata-kata dan gerakannya ini di luar kehendaknya. Saking kerasnya berpikir, ia sampai mengeluarkan suara hati melalui mulutnya tanpa disadarinya.
"Apa...kau bilang...?"
Ayu Candra bertanya dengan mata terbelalak lebar, memandang penuh perhatian. Tidak salah lagi. Orang ini otaknya miring! Sayang sekali, muda belia yang tampan sekali ini, yang memiliki sifat gagah juga karena ditampar sama sekali tidak mengeluh, ternyata tidak beres ingatannya. Tentu saja Joko Wandiro makin gagap.
"Ku... kumaksudkan... eh, biarpun mata... eh, sama sekali tidak mata keranjang, tapi aku...aku bukan tidak mengenal budi dan sama sekali tidak berniat kurang ajar, dan..."
Berhenti dan bingung sendiri. Mata gadis itu yang membingungkannya. Matanya begitu lebar, begitu jernih, begitu indah.
"Apa? Engkau hampir mampus di kedung itu, susah payah aku menolongmu. Akan tetapi kau... kau memandang... dengan mata melotot! Apa itu namanya tahu terima kasih, mengenal budi? Apa itu namanya tidak mata keranjang dan kurang ajar?"
"Memandang...? Melotot...?"
"Ya! Biji matamu tadi hampir terloncat keluar, melotot memandang... memandang... hemm, ini!"
Ayu Candra menuding ke arah dadanya dan tiba-tiba pipinya menjadi merah sekali. Kedua pipi Joko Wandiro lebih merah daripada pipi dara itu. Ia menundukkan mukanya dan menjawab,
"Bu... bukan aku yang menyebabkan kain... merosot."
"Tentu saja, akan tetapi matamu memandang!"
Joko Wandiro menjadi penasaran juga. Gadis ini hebat, cantik jelita dan menarik, akan tetapi terlalu galak dan mau menang sendiri.
"Aku tidak sengaja memandang, habis... di depan mata sih. Dan lagi, untuk Apa punya mata kalau tidak untuk memandang? Kalau aku tahu bakal menjadikanmu marah, aku lebih senang meramkan mataku tadi. kau kira aku ini begitu ceriwis untuk memandangi... anu orang?"
Diserang begini, Ayu Candra kewalahan. Bagaimanapun juga, pemuda itu tak dapat dipersalahkan karena begitu membuka mata melihat dadanya terbuka di depannya.
"Mata sih boleh dipakai memandang, tapi kau memandang sampai melotot!"
Wah benar-benar dara yang mau menang sendiri.
"Kuharap engkau sekali lagi suka maafkan aku. Sesungguhnya, ketika kau berada di hutan sana tadi, aku menjadi amat heran dan kaget melihat betapa seorang dara berada di tempat sesunyi ini sendirian saja. Sungguh mati, aku menyangka kau bukan manusia, sebangsa peri atau bidadari kahyangan, maka scperti orang bermimpi aku mengikutimu sampaai di sini. kau lalu mandi dan aku... aku menjadi gugup ketika kau tegur. Akupun hendak mandi..."
"Gila! Mana ada orang mandi berpakaian lengkap begitu, langsung terjun tanpa melihat air itu dalam atau tidak? Nyaris engkau mampus!"
"Hemm, agaknya ada salah pengertian di sini. Aku tadi sudah minta maaf, akan tetapi mengapa engkau tidak membiarkan aku mandi dengan aman? Aku sudah menjauhimu akan tetapi engkau malah mendekat, menyusul ke bawah air dan dengan sewenang-wenang engkau memiting leherku sampai hampir patah, menyeretku ke darat. Belum juga kutegur perbuatanmu ini, baru saja mataku kubuka, kau sudah menamparku. Coba, kalau perbuatanmu terhadapku ini tidak sewenang-wenang, Apa namanya?"
Ayu Candra membelalakkan matanya lagi dan kembali Joko Wandiro merasa jantungnya jungkir balik. Celaka, pikirnya sambil mengalihkan pandang agar ia jangan menentang mata yang sedemikian indahnya. Kalau terlalu sering ia membelalakkan matanya, aku akan gila, pikimya
"Jadi kau... kau tidak gendeng...?"
"Gendeng...?!?"
Joko Wandiro berteriak kaget.
"Ya, gendeng, begini...!"
Ayu Candra menaruh telunjuk di depan dahi, melintang. Aih, aih... orang ini terlalu amat, pikir Joko Wandiro dan kini ia yang melototkan matanya.
"Kukira engkau tadi gendeng atau setidaknya mempunyai penyakit ayan"
"Ayan...? Aku..., ayan...?!?"
Cuping hidung Joko Wandiro mulai kembang-kempis. Dara ini benar-benar lancang mulut. Terlalu amat sangat melewati ukuran! Melanggar batas Kesabarannya.
"Kau jangan main-main, memaki orang seenak perut sendiri saja!"
Ia balas menghardik.
"Habis engkau yang bikin orang mendongkol! Kalau tidak gendeng tidak ayan, kenapa pura-pura tenggelam?"
"Siapa yang pura-pura? Memang aku menyelam. kau kira hanya kau seorang di dunia ini yang pandai berenang dan menyelam? Hayo kita bertaruh, kita berlumba renang atau kuat-kuatan menyelam!"
Joko Wandiro menantang. Akan tetapi Ayu Candra tidak memperhatikan tantangannya. Dara ini agaknya teringat akan sesuatu dan kembali matanya terbelalak. Aduh, jangan lagi! Joko Wandiro mengeluh dalam hati dan mengalihkan pandang.
"Kalau begitu... ketika kau kutolong tadi, ketika kurangkul..."
"Maksudmu kau piting sampai leherku hampir patah tadi?"
"Ketika itu... engkau... tidak pingsan?"
"Siapa bilang pingsan! Baru enak-enak menyelam kau seret saja aku!"
"Kenapa kau pura-pura pingsan? Kenapa kau diam saja? kau sengaja, ya? kau mempergunakan kesempatan selagi aku salah menduga kau tenggelam, kau membiarkan lehermu kurangkul... mukamu... kudekap... kau, manusia kurang ajar!"
Ayu Candra kini marah sama sekali dan ia sudah menerjang dengan kedua tangan dikepal. Melihat kedudukan dara ini memasang kuda-kuda, kembali Joko Wandiro terkejut. Agaknya dara ini selain cantik jelita dan mau menang sendiri, juga memiliki kepandaian pula.
"Eh, eh... sabar dulu! Jangan mau menang sendiri dan jangan kukuh akan kebenaran sendiri. kau memiting leherku erat-erat sampai hampir tercekik. Aku berada dalam air ketika kau tiba-tiba memitingku. Habis Apa yang harus kulakukan ketika itu? Apakah aku harus memberontak dan melawanmu? Kalau kulakukan itu, tentu kita berdua akan celaka. Apakah harus berteriak? Di dalam air mana dapat? kau sendiri yang salah, tanpa periksa lebih dulu tahu-tahu menjatuhkan dugaan aku orang edan atau orang ayan yang akan mampus tenggelam. Maksud hatimu memang mulia akan tetapi pelaksanaannya yang keliru. Betapapun juga, kau telah bermaksud menolong nyawaku dan untuk itu biarlah aku memaafkan maki-makianmu tadi dan aku menghaturkan banyak terima kasih."
"Kau bisa saja membela diri. Lidah memang tak bertulang!"
"Kalau lidah bertulang, tentu sukar bergerak dalam mulut,"
Joko Wandiro membantah karena merasa jengkel juga.
"Kau tidak meronta dan berteriak di dalam air siapa peduli? Akan tetapi ketika sudah tersembul di atas permukaan air, mengapa kau masih enak-enak saja, pura-pura memejamkan matamu?? Hayo jawab, bukankah ini kau sengaja menyalahgunakan pertolongan orang untuk melakukan penghinaan?"
Joko Wandiro menarik napas panjang.
"Agaknya kau berkeras hati untuk memaksa aku mengaku kurang ajar. Apa boleh buat, engkau sudah menamparku, biarlah aku berterus terang. Ketahuilah, ketika kita tersembul di permukaan air, aku memang membuka mata. Baru kuketahui bahwa aku hemm bahwa mukaku tadi ah, bagaimana ini, terus terang saja, aku tidak berani membuka mata atau membuka suara. Aku terlalu bingung, terlalu... ngeri!! Ah, sudahlah. Aku jadi bingung kau desak-desak. Apakah kau tidak mau memaafkan aku?"
Sejenak Ayu Candra membuang muka dengan mulut cemberut. Apa yang harus ia lakukan terhadap pemuda ini?
"Engkau menggigil. Berdiri di sini dengan kain basah tertiup angin dingin, bisa masuk angin. Pulanglah, kalau engkau punya rumah, dan jangan pikir lagi. Aku bersedia minta maaf dan biarlah kuakui lagi kesalahanku."
Suara Joko Wandiro kini amat halus dan penuh kesabaran, jelas ia mengalah. Ayu Candra mengangkat muka memandang. Kini wajah pemuda itu amat tampan dan ia heran melihat pandang mata yang demlkian tajam, seperti mata harimau.
"Aku sudah biasa dengan hawa dingin, tidak apa-apa. Engkau malah yang bisa sakit demam, pakaianmu basah kuyup."
Joko Wandiro tersenyum, girang hatinya. Agaknya dara ini tidak segalak yang ia sangka tadi. Mungkin tadi galak terdorong rasa malunya.
"Akupun sudah biasa melawan hawa dingin atau panas. Engkau baik sekali, dan terima kasih atas kemurahan hatimu yang suka memaafkan aku!"
"Hemm,siapa yang bilang aku sudah memaafkanmu, habis... ada Apa?"
"Tidak apa-apa, hanya setelah kita berjumpa secara kebetulan di sini dan sudah lama juga bercakap-cakap, kalau boleh, aku ingin mengetahui siapa anda ini dan di mana tempat tinggalmu?"
"Namaku Ayu Candra, tempat tinggalku di sana, tak jauh dari tempat ini. Ayah ibuku sedang pergi, aku sendirian saja di pondok, akan tetapi ada..."
Tiba-tiba Ayu Candra menahan kata-katanya. Cuping hidungnya bergerak sediklt. Ia mencium bau wengur, bau seekor harimau berada dekat tempat itu! Ia terkejut, akan tetapi bersikap tenang kembali. Malu kalau memperlihatkan kekagetannya. Pula ia meragu apakah ia harus bercerita sebanyak itu tentang dirinya? Mengapa ia mendadak menaruh kepercayaan yang mendalam kepada pemuda ini yang tadinya ia anggap seorang laki-laki kurang ajar?
"Ada Apa? Mengapa tidak kau lanjutkan?"
Joko Wandiro mendesak.
"Tidak ada apa-apa lagi, sudah cukup keteranganku. kau sendiri, kau orang dari manakah dan di mana tempat tinggalmu?"
Joko Wandiro menarik napas panjang, memandang wajah gadis itu dan sikapnya seolah-olah ia tidak mendengar pertanyaannya. Bukannya menjawab pertanyaan orang, ia melainkan berkata lirih seperti orang melamun,
"Ayu Candra... bukan main indahnya nama ini... memang ayu seperti candra (bulan)"
"Hishh! Ditanya tidak menjawab malah ngaco...!"
Ayu Candra menghardik dan mukanya menjadi merah sekali namun jantungnya berdebar girang!
"O ya, aku tidak punya tempat tinggal tertentu di dunia ini. Rumahku buana bebas, atap rumahku langit biru, dinding rumahku pohon-pohon, lantai rumahku bumi ditilami rumput hijau, batu batu dan akar-akar pohon meja kursiku, ranting-ranting pohon pembaringanku, bintang-bintang di langit pelitaku."
Ayu Candra tertawa mendengar jawaban ini, akan tetapi jantungnya makin berdebar gelisah ketika bau yang wengur makin keras.
"Kau seperti badut saja, suka melucu. Dan namamu...?"
"Namaku Joko..."
Aduh, tertelan kembali lanjutan namanya karena pada saat itu Ayu Candra sudah membelalakkan matanya lagi sehingga Joko Wandiro merasa semrepet (pusing dan gelap mata). Akan tetapi, tiba-tiba Ayu Candra menjerit,
"Joko... awas...!!"
Kedua tangan gadis itu secepat kilat mendorong ke depan, ke arah dada Joko Wandiro. Pemuda ini tentu saja maklum bahwa sejak tadi di dekat situ terdapat seekor harimau, akan tetapi ia memang pura-pura tidak tahu, karena selain tidak suka membikin dara itu terkejut, juga ia tentu saja tidak takut sama sekali. lapun tahu bahwa pada saat itu sang harimau telah meloncat dan menerkam ke arahnya dari belakang.
Karena ia tadi terpesona oleh sepasang mata yang melebar indah, maka ia seperti orang yang kehilangan kesadaran. Begitu dadanya didorong, ia membiarkan dirinya terlempar sampai tiga meter lebih! Seekor harimau yang amat besar telah menerkam dan kini, karena terkamannya luput, harimau itu membalik dan menggereng. Suara geramannya itu amat keras, seakan-akan menggetarkan seluruh permukaan telaga dan menggema di dalam hutan-hutan di sekitarnya. Bibir atas binatang itu bergerak-gerak tertarik ke atas memperlihatkan taring yang runcing kuat, tubuhnya yang panjang merendah sampai perutnya menempel tanah, sepasang matanya tajam penuh kemarahan menatap Joko Wandiro. Pemuda ini yang tadi terlempar oleh dorongan Ayu Candra, sudah bangkit kembali dan menghadapi ancaman harimau dengan sikap tenang sekali.
"Joko jangan bergerak. Biarkan aku melawannya!"
Terdengar Ayu Candra berkata. Gadis itu sudah memasang kuda kuda dan kakinya berindap-indap menghampiri harimau. Melihat gerak-gerik dara itu, Joko Wandiro dapat menduga bahwa Ayu Candra memiliki kepandaian yang tinggi juga. Akan tetapi harimau itu amat besar dan buas. Menghadapi binatang sebuas ini banyak bahayanya bagi Ayu Candra. Biarpun bukan bahaya maut, setidaknya kalau terkena cakaran kaki harimau, tcntu akan menimbulkan luka-luka parah.
"Jangan, Ayu. Biarkanlah, menghadapi harimau macam ini saja, biar ada lima ekor aku tidak gentar."
Jawaban ini membuat Ayu Candra tertegun.
"Kau...? kau... berani... melawannya??"
Joko Wandiro tersenyum bangga. Baru sekali ini selama hidupnya ia merasa bangga akan kepandaiannya. Dan baru sekali ini ia ingin memamerkan kepandaiannya di depan orang lain! Biasanya ia sama sekali tak mengharapkan pujian orang lain, akan tetapi sekali ini, ia bahkan ingin sekali mendengar pujian si dara jelita. Karena itu, tanpa disadarinya sendiri, ia secara sembarangan malah berjalan mendekati harimau yang sudah menggereng-gereng dan siap menerkamnya itu!
"Eh, Joko hati-hatilah harimau ini kelaparan!"
Ayu Candra menjerit kembali ketika Joko Wandiro menghampiri harimau itu sampai dekat sekali. Joko Wandiro kembali tersenyum.
"Tidak ada binatang sebuas manusia, Ayu. Harimau inipun tidak sebuas manusia. Ia hanya akan menerkam mahluk lain kalau perutnya lapar karena ia membutuhkan makan sebagai penyambung hidupnya. Manusia akan menerkam manusia lain hanya untuk memuaskan nafsu-nafsunya."
"Joko awas!!"
Ayu Candra memperingatkan, gelisah juga melihat pemuda itu masih enak-enakan mengobrol dan bahkan membelakangi harimau itu yang kini jaraknya hanya tinggal dua meter di belakangnya. Harimau itu menerkam untuk kedua kalinya. Dahsyat terkamannya, dengan cakar runcing melengkung siap merobek kulit daging dan moncong terbuka lebar siap meremukkan tulang-tulang.
"Joko...!"
Kembali Ayu Candra menjerit dengan muka berubah pucat. jerit penuh kekhawatiran dan kengerian yang terdengar merdu memasuki telinga Joko Wandiro. Dara itu mengkhawatirkan dirinya! Berarti dara itu tidak ingin melihat ia dirobek robek dan dijadikan mangsa harimau.
"Jangan khawatir, Ayu...!"
Katanya sambil menggerakkan tubuhnya. Dengan sebuah gerakan yang indah cekatan sekali Joko Wandiro sudah menghindar dengan amat mudahnya. Kembali harimau itu menerkam tempat kosong. Kini Ayu Candra melongo keheranan.
Gerakan pemuda itu jelas membayangkan bahwa pemuda itu bukan seorang lemah, bukan penyombong seperti gentong kosong. Ketika harimau itu kini menerkam kembali, dan dari jarak dekat dan dengan gerakan yang lebih indah mengagumkan pemuda itu kembali menghindar, mulai berkuranglah kekhawatiran hati Ayu Candra. Mulailah ia mencurahkan perhatiannya dan menonton, tidak cemas lagi seperti tadi, melainkan menonton dengan kagum. Sudah tujuh kali harimau itu menerkam, makin lama makin dahsyat dan makin marah. Akan tetapi selalu terkamannya mengenai tempat kosong karena dielakkan secara mudah dan cepat oleh Joko Wandiro yang tersenyum-senyum dan melirik ke arah Ayu Candra, hatinya berdebar girang melihat sinar kekaguman terpancar keluar dari sepasang mata bintang itu.
"Joko, kenapa main-main dengan dia? Lekas bunuh saja!"
Akhirnya Ayu Candra berteriak karena mengganggap bahwa dengan main kelit pemuda itu membahayakan diri sendiri.
"Ah, bagaimana aku tega?"
Balas Joko sambii mengelak lagi ketika si harimau menerkam dari samping."Dia menyerangku untuk makan. Akan tetapi aku tidak membutuhkan kematiannya. Lihat, Ayu, akan ku akhiri permainannya ini!"
Sebelum harimau itu membalik, Joko Wandiro sudah mendahuiui dengan loncatan cepat sekali ke belakang tubuh harimau dan tangan kanan Joko Wandiro menyambar ekor harimau yang panjang. Harimau itu menggereng keras dan berusaha membalikkan tubuh untuk mencakar orang yang memegang ekornya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terangkat dari atas tanah dan terus tubuhnya itu diputar-putar oleh Joko Wandiro di atas kepalanya, seperti seorang kanak-kanak mempermainkan seekor tikus saja.
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayu Candra terbelalak kagum. Dia sendiri tidak takut menghadapi harimau, malah sanggup mengalahkan binatang itu. Akan tetapi untuk memegang ekornya dan memutar-mutar seperti itu, benar-benar membutuhkan tenaga dahsyat dan keberanian yang luar biasa! Kiranya pemuda ini seorang yang sakti! Dan dia tadi telah menduganya seorang gila, bahkan disangkanya pemuda itu seorang penderita penyakit ayan! Teringat akan hal ini, mendadak kedua pipi dara ini menjadi merah padam.
(Lanjut ke Jilid 27)
Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "
Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 27
Dan dia tadi berusaha menolong Joko dari dalam air! Ah, benar-benar ia telah salah sangka. Pemuda yang tampan dan halus gerak-geriknya itu kiranya memiliki ilmu kesaktian yang mungkin melebihi tingkat kepandaiarmya sendiri. Ayu Candra menggigit bibirnya menahan rasa jengah.
"Lihat, Ayu. Biar dia mandi dan minum air banyak-banyak menghilangkan laparnya!"
Teriak Joko Wandiro dan sekali melernpar, tubuh harimau yang besar dan berat itu melayang ke arah telaga dan terdengarlah suara menjebur ketika binatang itu terbanting kedalam air. Harimau itu mengaum dan menggereng penuh kemarahan dan juga ketakutan. la meronta-ronta dan akhirnya berhasil juga berenang ke pinggir lalu mendarat dengan tubuh basah kuyub. Ketika Joko Wandiro meloncat ke depannya, harimau itu kembali menggereng dan tiba-tiba ia menyelinap ke kiri dan lari sambil menekuk ekornya kebawah di antara kedua kaki belakang.
Ayu Candra dan Joko Wandiro tertawa-tawa melihat harirnau itu lari ketakutan. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka terhenti seketika dan pandang mata mereka terbelalak ditujukan ke arah tubuh harimau yang mendadak terjungkal dan rebah berkelojotan di atas tanah. Dengan beberapa kali loncatan, Ayu Candra dan Joko Wandiro sudah tiba di dekat harimau itu. Keduanya makin terheran ketika melihat sebatang anak panah yang kecil pendek sudah menancap di antara kedua mata binatang itu yang kini berkelojotan dalam keadaan sekarat. yang mengerikan adalah keadaan luka di mana anak panah itu menancap karena di sekitar tempal itu, ialah seluruh muka harimau, menjadi biru kehitaman tanda bahwa anak panah itu mengandung bisa yang amat jahat!.
"Keji...!"
Joko Wandiro berkata, masih tertegun. Juga Ayu Candra marah sekali jelas bahwa harimau itu dikalahkan, bahkan ditaklukkan oleh Joko, diampuni dan dibiarkan lari.
Akan tetapi ada orang lain yang mernpergunakan kesempatan itu untuk membunuh binatang ini secara curang dan kejam sekali. la mencari-cari ke arah dari mana datangnya anak panah dan ketika ia menengadahkan mukanya, ia melihat seorang wanita berdiri di atas cabang pohon yang tinggi. Wanita yang berpakaian indah dan mewah, dengan hiasan terbuat daripada emas permata pada pergelangan tangan, lengan, leher dan rambut. Wanita itu masih muda, sebaya dengan dirinya, amat cantik dan tersenyum-senyum penuh ejekan memandang ke bawah. Sejenak Ayu Candra tertegun dan kagum, akan tetapi ketika melihat betapa kedua tangan wanita itu memegang beberapa batang anak panah kecil yang sebentuk dengan anak panah yang menancap di kepala harimau, timbul kemarahannya.
"lblis betina yang curang!"
Bentaknya sambil menudingkan telunjuk ke arah wanita di atas pohon itu.
"Lihat, Joko! Dialah yang membunuh harimau secara curang!"
Ketika Ayu Candra menoleh ke belakang, ia melihat Joko berdiri dan terbelalak memandang ke arah wanita cantik itu. Pandang mata penuh kagum, kaget, dan heran. Ketika ia mengalihkan pandang ke atas, ia melihat wanita cantik itupun memandang ke arah Joko dengan mulut tersenyum! Rasa panas yang aneh menyelinap dan membakar dada Ayu Candra.
"lblis betina yang curang! kau pengecut sekali, tanpa alasan membunuh harimau secara curang!"
Ia makin marah dan menghardik ke atas. Wanita itu memperlebar senyumnya lalu menjawab, suaranya halus lunak dan merdu,
"Bocah dusun, mengapa kau banyak tingkah? Aku sedang berkuda, mendadak harimau ini menggereng-gereng keras mengagetkan kudaku yang tidak mau berjalan tenang lagi. Aku datang dan menghukum harimau itu, dan kau masih bilang tanpa alasan?"
"Keparat, kau sombong sekali! Harimau ini memang tempatnya di hutan. kau ini wanita sombong mau Apa berkeliaran di sini, mengumbar nafsu mengandalkan kepandaian bermain curang membunuhi binatang hutan?"
Ayu Candra makin marah karena dilihatnya Joko masih diam saja seperti orang terkena pesona, menengadah memandang wanita itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap.
"Turunlah kalau kau berani! Atau aku harus menyeretmu turun...?"
Ayu Candra berteriak marah.
"Ayu..., jangan...! Eh, awas senjata...!!"
Joko Wandiro berseru keras ketika melihat berkelebatnya tiga sinar ke arah dirinya dan tiga sinar lagi ke arah Ayu Candra. Ia cepat menggunakan tenaga saktinya, memutar tangan dengan jari-jari terbuka, memukul runtuh tiga batang anak panah itu dengan hawa pukulannya, dan melanjutkan gerakannya untuk menolong Ayu Candra. Ia berhasil meruntuhkan sebatang anak panah lagi dan Ayu Candra sendiri berhasil mengelak dari sambaran sebatang anak panah, akan tetapi anak panah yang terakhir menyambar, tak dapat dielakkannya dan karena ia berdiri agak jauh dari Joko Wandiro, pemuda inipun tidak sempat menyelamatkannya.
"Bles!"
Anak panah itu menancap di dada kanan Ayu Candra yang mengeluarkan suara rintihan dan terguling roboh!
"Ayu!"
Joko Wandiro berseru kaget. la menoleh dan melihat wanita cantik itu melayang turun dengan gerakan ringan seperti seekor burung, kemudian mulut yang selalu tersenyum manis itu mengeluarkan suara mencemooh dan sekali berkelebat, wanita itu lenyap. Kemudian terdengar suara derap kaki kuda pergi menjauh. Rasa penasaran hampir saja membuat Joko Wandiro meninggalkan Ayu Candra untuk mengejar dan memberi hajaran kepada wanita cantik itu.
Akan tetapi pada saat itu Ayu Candra merintih-rintih dan ia cepat menghampiri dan berlutut. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa anak panah itu menancap di dada dan betapa di sekitar kepala anak panah itu kulit yang tadinya putih kuning tampak menghitam. Anak panah beracun! Masih untung bahwa Ayu Candra bukan seorang wanita biasa. Ketika tadi mengelak kemudian melihat bahwa sebatang anak panah tak mungkin dielakkan, ia mengerahkan tenaga dalam dan hal ini membuat anak panah itu menancap hanya sampai di kepala anak panah saja, tidak terlalu dalam. Namun cukup membahayakan keselamatan nyawanya karena racun di ujung anak panah mulai bekerja.
"Ayu, diamlah saja jangan bergerak, dan maafkan aku. Ini demi keselamatan nyawamu, Ayu."
Tanpa meragu lagi, Joko Wandiro membalikkan tubuh Ayu Candra sehingga terlentang, kemudian sekali mengerahkan tenaga ia mencabut keluar anak panah itu. Darah yang hitam mengalir keluar dari luka di dada. Joko Wandiro lalu mengerahkan tenaga dalam, menyalurkan hawa sakti. Kemudian menunduk. Ia harus mengerahkan kekuatan batin seluruhnya, bukan hanya untuk pengobatan, melainkan terutama sekali untuk menekan guncangan hatinya. Terpaksa ia meramkan mata untuk mengusir bayangan dada yang membusung, kulit yang halus putih ketika ia menempelkan bibirnya pada luka menghitam itu. Dengan mengerahkan tenaga ia menyedot luka itu, menyedot terus sampai darah hitam memenuhi mulutnya. Ia melepaskan mukanya dan meludahkan darah hitam itu keluar. Ketika ia hendak menempelkan mukanya lagi, tiba-tiba Ayu Candra menampar pipinya.
"Plakk...!!"
Berkunang pandang mata Joko Wandiro. Pipi yang ditampar terasa berdenyut-denyut panas. Ketika ia menatap wajah dara itu, ia melihat Ayu Candra menjadi merah sekali kedua pipinya dan dua butir air mata menitik turun. Ia tidak perduli. Luka itu belum bersih betul dari racun. Dengan nekad Joko Wandiro kembali menempelkan mukanya pada dada, mulutnya menyedot luka. Ia merasa betapa tubuh dara itu meronta, mendengar suara dara itu mengeluh dan merintih, akan tetapi ia tidak perduli. Ia cukup maklum betapa keadaan ini amat janggal, betapa perbuatan ini merupakan pelanggaran susila yang hebat, tetapi Apa artinya pelanggaran itu kalau dipikirkan betapa keselamatan nyawa dara ini terancam hebat? Kembali ia meludahkan darah dari dalam mulutnya. Hatinya lega melihat warna hitam di sekitar luka itu telah menipis, tinggal warna hijau.
"Sekali lagi cukup"
Katanya perlahan dan kembali ia menunduk.
"Plakk...!!"
Tamparan di pipi kirinya lebih keras daripada tadi, sampai terasa nanar kepalanya. Kini air mata di kedua pipi dara itu makin banyak. Joko Wandiro maklum akan perasaan dara itu namun keyakinan bahwa Apa yang ia lakukan itu berlandaskan kebenaran dan usaha menolong, ia tidak perduli, terus saja ia membenamkan muka pada dada yang lembut dan menempelkan mulut pada luka, lalu menghisap.
Baru sekarang setelah perasaannya tidak tercekam kegelisahan lagi, ia merasa betapa lembut dada itu, dan jantungnya berdebar seperti hendak meledak. Tiba-tiba ia merasa betapa kedua tangan gadis itu mencengkeram rambut di kepalanya, menjambak-jambak dan betapa Ayu Candra menangis terisak-isak. la melepaskan mukanya dan ketika ia menyemburkan darah dari mulutnya, darah itu sudah banyak yang merah. Ia memandang ke arah luka. Tidak ada warna hijau lagi dan darah mulai mengalir keluar. Bahaya sudah lewat. Akan tetapi Ayu Candra menangis tersedu-sedu, bangkit duduk dan menyembunyikan muka di belakang kedua tangan, pundaknya berguncang-guncang, tangisnya tersedu-sedu.
"Ayu, kenapa kau menangis? kau sudah bebas daripada bahaya maut. Diamlah, Ayu, mengapa kau begini berduka?"
Dara itu tidak menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi, sampai mengguguk sehingga Joko Wandiro menjadi bingung sekali. Dengan gerakan halus ia menyentuh pundak dara itu dan berkata lagi,
"Ayu, aku mengaku salah. Aku... aku telah berlaku amat tidak sopan kau maafkanlah aku, Ayu. Tadipun sebelumnya aku sudah minta maaf. Sekarang, aku minta maaf lagi dan kalau kau mau melampiaskan kemarahanmu, kau pukullah aku, kau bunuhlah aku."
Ayu Candra tiba-tiba menghentikan tangisnya, mengangkat muka dari balik telapak tangan. Mukanya masih merah padam, akan tetapi basah air mata. Hanya sebentar saja ia berani bertentang pandang dengan Joko Wandiro karena ia segera menundukkan muka seperti orang yang merasa malu. Bibirnya bergerak perlahan, berbisik lirih,
"Mengapa kau lakukan itu?"
"Mengapa? Tentu saja untuk menolongmu, Ayu. kaupun maklum bahwa anak panah itu mengandung bisa yang amat jahat. Karena tidak mungkin mendapatkan obat yang bias cepat menyedot racun, jalan satu-satunya terpaksa harus menyedotnya langsung dengan mulut untuk mengeluarkan racunnya. Memang aku lancang... kurang ajar, tapi... kau maafkanlah aku, aku terpaksa"
"Tidak Apa, bukan itu. yang kumaksud, kenapa kau menolongku dan rela melakukan hal semacam itu? Kenapa?"
Joko Wandiro bingung.
"Kenapa aku menolongmu? Ah, Ayu, aku harus menolongmu, biar apapun akibatnya. Andaikata aku akan kehilangan nyawa untuk menolongmu, aku rela."
Kembali Ayu Candra mengangkat muka memandang, kini amat tajam pandangannya, penuh selidik.
"Kenapa begitu? Mengapa kau rela berkorban nyawa untukku? Kita baru saja bertemu, kita bukan apa-apa, bukan sanak bukan kadang. Kenapa kau rela berkorban nyawa untukku?"
Joko Wandiro merasa terpojok. lapun memeras otaknya untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang sama, yang mengaduk hatinya. Memang sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang pendekar untuk menolong sesamanya. Hal ini sudah ia janjikan kepada gurunya. Akan tetapi, mengapa terhadap gadis ini landasan itu berubah? Tidak sekedar sebagai kewajiban lagi, bahkan agaknya ia, akan rela mati berkorban nyawa untuk gadis ini. Mengapa?
"Karena... karena aku tidak ingin melihat kau mati, Ayu. Dan karena bagiku kau bukanlah seorang yang baru saja kukenal. Bagiku, kau seakan-akan sudah selama hidupku kukenal baik, bahkan lebih dari itu. Aku sendirit idak mengerti mengapa begini, Ayu, Semenjak pertemuan kita tadi, aku tidak dapat menguasai hatiku sehingga aku melakukan hal-hal yang tidak patut. Sudah mengintaimu, mengikutimu secara diam-diam sampai-sampai menimbulkan kemarahanmu. Aku sendiri tidak mengerti, Ayu. Selama hidupku baru kali ini aku mengalami hal aneh seperti ini. Agaknya... kalau menurut dongeng... dalam kelahiran dahulu, agaknya kita sudah saling mengenal, tidak asing lagi. Aku malah ingin bertanya kepadamu mengaku kau berhal seperti ini, Ayu Candra."
Dara itu menundukkan mukanya, menyembunyikan senyum! Senyum yang mekar dari hati penuh kebungahan. Ia sendiripun tidak mengerti mengapa hatinya menjadi begini bungah mendengar ucapan pemuda itu. Sedangkan perasaannya sendiri yang aneh ia tidak dapat mengerti artinya, apalagi keadaan pemuda itu. Ia hanya tahu bahwa ia senang sekali dekat dengan pemuda ini, dan bahwa tadi, biarpun ia merasa amat malu dan marah, namun di balik itu ia merasakan kebahagiaan yang amat aneh dalam hatinya.
"Joko"
La sendiri kaget mengapa mulutnya memanggil nama ini. Ia tidak bermaksud memanggil, akan tetapi sebutan dalam hatinya ini menyundul sampai ke mulutnya.
"Ya...? Ada Apa, Ayu?"
"Ahh"
Tidak ada Apa-Apa, Joko. Eh, maksudku, kau baik sekali dan aku berterima kasih atas pertolonganmu tadi. kau telah menyelamatkan nyawaku, Joko."
Girang bukan main hati Joko Wandiro. Dara ini ternyata benar seorang yang amat baik hatinya, tidak seperti yang kadang kadang ingin diperlihatkannya. Saking girang hatinya, ia memegang gadis itu, memegang kedua tangannya.
"Bukan aku yang baik, Ayu, melainkan engkau. Aku hanya membalas, ingat? kau lah yang pertama-tama nekat berusaha menyelamatkan nyawaku dari dalam air. kau lah seorang yang berhati mulia, Ayu."
"Ahh, kau hanya pura-pura tenggelam."
"Betapapun juga, kau mengira aku benar-benar akan mati tenggelam dan kau telah terjun menolongku. Apa bedanya? Aku yang berterima kasih kepadamu."
Sejenak kedua orang remaja itu berdiri dan saling berpegang tangan. Jari-jari tangan mereka saling menggenggam. Hati mereka berdebar aneh penuh kebahagiaan. Mereka sendiri tidak tahu mengapa begitu, tidak tahu Apa artinya perasaan yang menerbangkan semangat mereka ke angkasa ini. Namun jari-jari tangan mereka, digerakkan oleh perasaan halus, lebih tahu. Jari-jari tangan mereka membelai mesra, saling mencurahkan rasa kasih asmara. Akan tetapi hanya sebentar. Kewanitaannya membuat Ayu Candra melepaskan kedua tangannya karena jengah. Mukanya merah sekali, matanya bersinar-sinar, akan tetapi pandang matanya tidak berani langsung menatap wajah Joko Wandiro. Untuk menenangkan dada yang berdebar-debar ia mengalihkan perhatian.
"Joko, siapakah wanita tadi?"
"Entahlah, aku tidak tahu, sungguhpun serasa pernah aku melihatnya, akan tetapi entah di mana."
"Dia cantik sekali."
"Hemmm, agaknya dia berkepandaian hebat, melihat cara ia melayang turun dari pohon. Cara dia melepaskan anak panah tanpa busur, benar-benar membutuhkan tenaga yang hebat. Akan tetapi ia kejam."
"Dia cantik sekali,"
Ayu Candra mengulang.
"Memang cantik dia."
"Lebih cantik daripada aku."
"Lebih cantik daripada engkau? memang, pakaiannya lebih cantik, lebih mewah, akan tetapi orangnya...hemmm, tiada bidadari kahyangan, apalagi manusia biasa, yang menandingi kecantikanmu, Ayu."
Makin merah wajah dara itu, sampai ke leher dan daun telinganya. Akan tetapi giginya berkilat putih di balik bibirnya.
"Bisa saja kau memuji."
"Bukan memuji, melainkan bicara sebenarnya. Dia memang cantik dan kepandaiannya hebat. Hal itu tidak ada artinya. yang mengkhawatirkan, ia amat kejam dan entah mengapa dia memusuhi kita."
"Karena harimau."
"Bukan, Ayu. Tidak mungkin kalau hanya karena harimau tadi ia melepas anak panah untuk membunuh kita. Aku khawatir sekali kalau-kalau ia akan datang kembali ke sini dan mengganggumu. kau katakan tadi bahwa ayah-bundamu sedang bepergian, bukan?"
"Kalau begitu engkau jangan pergi dulu, Joko. kau temani aku sampai ayah-bundaku pulang."
Di balik kata-kata ini ada harapan di hati Ayu Candra agar pemuda ini berkenalan dengan ayah-bundanya!. Joko Wandiro mengangguk-angguk.
"Baiklah, Ayu. Akan tetapi karena engkau hanya seorang diri di pondok, tidak baik kalau aku bermalam di pondokmu. Biarlah aku tinggal di luar pondokmu, menjaga kalau-kalau wanita kejam itu datang kembali."
"Apa engkau mampu melawan dia? Tidak kusangka kau seorang yang sakti, Joko. Kalau kubayangkan betapa tadi kusangka kau seorang..."
Dia menutupi mulut menahan tawa."...seorang gendeng dan berpenyakit ayan...!"
"Kau bocah nakal Aku bukan orang sakti, bukan pula gendeng atau ayan, akan tetapi sedikit-sedikit aku mengerti bagaimana caranya menghadapi orang jahat."
Ketika mereka berjalan menuju ke pondok Ayu Candra, kadang-kadang tangan Joko Wandiro menggandeng tangan dara itu. Mula mula tangan dara itu gemetar, akan tetapi tak lama kemudian, tangan itu menjadi hangat dan mereka bergandengan tangan sambil bercakap-cakap. Ketika Ayu Candra bercerita tentang laki-laki buntung, Joko Wandiro mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak menyatakan sesuatu. Setelah tiba di depan pondok, dari jauh mereka melihat laki-laki buntung duduk di atas bangku depan pondok Mereka saling melepaskan gandengan tangan.
"Ayu Candra! Kalau ayah-bundamu mendengar, bahwa engkau bermain-main dengan seorang pria muda, tentu mereka akan menjadi marah sekali!"
Ayu Candra terkejut mendengar teguran ini. Dan ia merasa heran pula mengapa laki-laki buntung itu kelihatan begitu marah. Menurutkan suara hatinya, ia membentak laki-laki bunting itu, ingin mengatakan agar laki-laki itu tidak mencampuri urusannya. Akan tetapi mengingat bahwa laki-laki itu sudah tua dan buntung pula kedua kakinya, ia hanya menjawab dengan mata bersinar marah,
"Paman Jatoko, dia ini adalah seorang sahabat baruku yang telah menolongku dari maut. Namanya Joko, dan dia akan menemaniku di sini sampai ayah ibuku pulang."
Dalam ucapan yang sifatnya memberi keterangan ini terkandung tantangan dan penandasan bahwa dialah pemilik pondok dan dia pula yang berhak menentukan Apa yang akan dibuatnya. Mendadak sikap Ki Jatoko berubah. Lenyap sinar matanya yang marah, lenyap pula sikapnya yang keras dan kaku. Mulutnya kini tersenyum dan Joko Wandiro mendadak merasa kasihan. Muka yang buruk itu makin jelek kalau tersenyum, Laki-laki yang malang, pikirnya.
"Ahh, lain lagi kalau begitu! Ada terjadi apakah? Aku tadipun mendengar suara harimau menggereng-gereng marah. Saking takut aku tadi masuk ke pondok bersembunyi. Apakah kalian diserang harimau?"
Ayu Candra lalu menceritakan pengalaman mereka. Tentu saja ia tidak bercerita tentang anggapannya semula bahwa Joko adalah seorang gila atau ayan. Ia menceritakan betapa mereka diserang harimau dan betapa Joko telah mengalahkan harimau itu. Ia bercerita pula tentang munculnya wanita keji yang membunuh harimau dan berusaha membunuh mereka pula, dan tentang dirinya yang terkena anak panah, sehingga hampir saja nyawanya melayang.
"Aduh kau terpanah? Ah, kulihat dadamu itu... di situkah yang terpanah?"
Ki Jatoko membelalakkan kedua matanya, kelihatan terkejut dan khawatir sekali.
"Betul, paman. Akan tetapi sekarang sudah sembuh."
Ki Jatoko memandang ke arah Joko Wandiro penuh selidik.
"Kalau wanita itu demikian jahat dan kau hendak melindungi Ayu Candra, hal itu adalah baik sekali. Biarlah aku berganti tempat, kalau malam aku tidur di bilik belakang dan kau boleh tidur di bangku ini, orang muda."
Joko Wandiro menggeleng kepalanya.
"Tidak usah, paman. Biarlah saya akan mencari tempat di luar untuk mengaso. Saya tidak mau mengganggu Ayu dan paman."
"Sesukamulah! Ayu Candra, biarkan hari ini aku yang masak. Aku sudah menanak nasi dan tadi kebetulan sekali ada seekor kelinci yang kudapati terluka dan tidak bisa lari. Mungkin terluka oleh harimau tadi. Aku akan memasaknya."
Tanpa menanti jawaban, Ki Jatoko turun dari bangku dan berjalan terbongkok-bongkok dan sukar sekali ke samping pondok, diikuti pandang mata Joko Wandiro dengan kening berkerut.
"Ayu,"
Bisiknya.
"Kau berhati-hatilah terhadap dia..."
"Apa?!"
Ayu Candra juga berbisik, wajahnya terheran.
"Dia seorang tapadaksa, orang yang lemah dan patut dikasihani"
"Ssttt, aku melihat sesuatu yang tak menyenangkan akan dirinya. Aku tidak percaya kepadanya. kau berhati-hatilah, Ayu."
'Tapi"
Melihat wajah Joko Wandiro yang bersungguh-sungguh, Ayu Candra tidak mau membantah lagi.
"Baiklah, Joko, akan kuperhatikan pesanmu. Akan tetapi... engkau hendak bermalam di mana?"
Pemuda itu tersenyum.
"Mudah bagiku. Kalau perlu biar di atas pohon dekat pondokmu, agar lebih mudah aku menjaga keselamatanmu."
Ayu Candra menyentuh tangan Joko Wandiro yang segera menggenggam tangan yang kecil hangat itu.
"Engkau baik sekali kepadaku, Joko."
"Aku harus baik kepadamu, Ayu. Harus, dan selamanya."
"Siapa mengharuskan?"
"Hatiku."
"lhh, bicaramu aneh sekali, tapi... tapi... hatiku sendiripun mengharuskan aku berbaik dan tunduk kepadamu, Joko."
Kembali kedua tangan itu saling genggam ketika mereka bercakap-cakap sambil berbisik dan baru mereka saling menjauhkan diri ketika Ki Jatoko berteriak memanggil mereka, mengundang mereka untuk makan.
Sia-sia saja Ki Adibroto membujuk-bujuk isterinya agar suka membatalkan niatnya mencari Pujo untuk membalas dendam. Ia sudah berusaha sekuatnya dan melakukan perjalanan secara memutar, tidak langsung menuju ke Sungapan Kali Progo. Dengan dalih mencari sabahat baiknya, ia bahkan mengajak isterinya menyimpang ke kaki Gunung Merbabu untuk mengunjungi Ki Darmobroto, saudara seperguruannya dan sahabat baiknya yang tinggai di dusun kecil.
Perjumpaan dengan kakak seperguruannya ini amat menggembirakan, apalagi ketika Ki Adibroto melihat putera tunggal sahabatnya itu. Seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang tampan dan gagah, bersikap halus dan berkulit putih bersih. Karena kulitnya yang putih sejak lahir itulah maka oleh ayahnya diberi nama Joko Seta. Sebagai seorang putera tunggal yang teiah kehilangan ibunya semenjak kecii, Joko Seta mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan biarpun masih muda, ia merupakan seorang yang sakti mandraguna. Melihat pemuda ini, timbullah rasa suka dalam hati Ki Adibroto dan dengan persetujuan isterinya pula, ia lalu mengajukan usul kepada Ki Darmobroto untuk berbesanan. Ki Darmobroto menerima usul ini dengan penuh kegembiraan.
Biarpun ia menjadi saudara seperguruan yang lebih tua, namun ia sudah cukup tahu akan sepak terjang adik seperguruannya yang mengagumkan, sudah mengenal watak adik seperguruannya ini sebagai seorang pendekar besar yang sakti. Kacang tidak akan meninggalkan lanjarannya, demikian ia berpendapat. Ayahnya seorang pendekar, puterinyapun tentu seorang yang berbudi. Adapun Joko Seta adalah seorang putera yang amat berbakti dan patuh kepada ayahnya. Di lubuk hatinya memang ia kurang puas menerima keputusan itu, menjodohkan dengan seorang dara yang sama sekali belum pernah ia melihatnya. Akan tetapi maklum bahwa penolakannya akan menyusahkan hati ayahnya, maka ia menerima dengan wajah gembira untuk menyenangkan hati ayahnya. Demikianlah, ikatan perjodohan itu diresmikan oleh kedua orang tua.
* * *
Penyimpangan perjalanan ini tidak membuat Listyokumolo berubah niat hatinya. Setelah meninggalkan rumah calon besan itu, ia lalu mengajak suaminya melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, yaitu ke Bayuwismo, bekas tempat tinggal Resi Bhargowo yang diduga menjadi tempat tinggal Pujo dan isterinya sekarang. Sambil menghela napas Ki Adibroto terpaksa meluluskan kehendak isterinya dengari hati penuh kekhawatiran. Dalam percakapannya dengan Ki Darmobroto, ia telah menyinggung tentang Pujo yang dicari-cari isterinya itu dan Apa kata calon besan itu tentang diri Pujo?
"Aku mengenal baik paman Resi Bhargowo dan aku pernah bertemu satu kali dengan adimas Pujo, murid dan mantunya yang gagah perkasa, pendekar yang menjunjung kebenaran dan keadilan."
Jawaban Ki Darmobroto itu menambah kedukaan hati Ki Adibroto. Tepat seperti yang telah diduganya dan ditakutinya. Pujo adalah seorang satria yang perkasa dan tentang permusuhan Itu, tak salah lagi tentulah bekas suami-isterinya, Wisangjiwo, yang memulainya. Betapapun juga, ia merasa tidak setuju dengan sepak terjang Pujo dalam membalas dendam. Kalau Wisangjiwo yang bersalah terhadap pendekar itu, kenapa Pujo membalasnya kepada Listyokumolo dan puteranya yang sama sekali tidak berdosa? Dengan modal pendapat inilah maka ia mengikuti isterinya menuju ke Bayuwismo. Ia hanya akan melihat dan mendengar dan siap membela isterinya daripada marabahaya dan mencegah isterinya melakukan sesuatu yang melanggar kebenaran.
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menjelang senja mereka tiba di Sungapan. Dan kebetulan sekali mereka berdua melihat Pujo berdiri seorang diri di pinggir hutan kering di dekat pantai, di lembah sungai yang menumpahkan airnya ke laut. Begitu melihat laki-laki itu, Listyokumolo segera mengenalnya. Wajahnya menjadi merah, sinar matanya berapi dan ia mendesis.
"Itulah dia, si keparat Pujo!"
Hampir ia berlari menuju ke tempat musuh besarnya berdiri. Namun suaminya sudah memegang lengannya dan berbisik,
"Kau bersikaplah tenang, isteriku. Jangan dibikin mabuk oleh nafsu dendam. kau boleh menemuinya dan bertanyalah secara baik-baik, tegurlah ia akan perbuatannya yang lalu dan tanyakan di mana adanya puteramu. Jangan bertindak terburu nafsu, dan apabila puteramu dalam keadaan baik, kurasa tidak perlu kau melanjutkan permusuhan ini. Aku akan tinggal di sini dan mengamat-amati dari sini, karena aku merasa tidak enak kalau mencampuri urusan ini."
Listyokumolo mengangguk kemudian meninggalkan suaminya yang bersembunyi di balik gerombolan pandan itu. Dengan hati berdebar dan tangan menggigil saking menahan gelora hatinya, wanita itu berlari cepat menghampiri Pujo yang tengah berdiri melamun seorang diri. Pondok kecii di pinggir laut tampak puluhan meter dari tempat itu dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi. Pria itu memang Pujo adanya. Beberapa tahun sudah ia tinggal di Bayuwismo, hidup penuh kebahagiaan dengan kedua orang isterinya, yaitu Kartikosari dan Roro Luhito. Dua orang wanita ini seakan berlumba dalam pencurahan cinta kasih yang mendalam terhadap dirinya sehingga Pujo merupakan seorang pria yang amat bahagia dalam hal ini.
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo