Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 17


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



Sang Adipati Tejolaksono dan bersama Ayu Candra mengamuk seperti banteng-banteng terluka, dan hanya setelah para pimpinan pasukan musuh yang terdiri dari Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Cekel Wi-sangkoro, Sariwuni dan dibantu oleh dua orang Gagak, maju menyambut, barulah Adipati Tejolaksono dan isterinya terde"sak hebat.

   Namun gerak barisan Kalajengking Sakti tidak membiarkan barisan "sengat"

   Ini terdesak.

   Pasukan-pasukan yang merupakan sapit membantu dari kanan kiri dan pasukan inti itu mundur lagi untuk menyusun tenaga baru.

   Setelah hari menjadi petang, perang tanding dihentikan, barisan musuh mundur dan pasukan kadipaten juga kembali me"masuki kadipaten.

   Kedua fihak, bagaikan dua ekor harimau bertanding dan kini menjilat-jilati luka-luka di tubuh masing-masing, kini menghitung-hitung sisa pasu"kan.

   Hebat memang akibat perang sehari itu. Di fihak Selopenangkep kehilangan lima puluh orang lebih perajurit yang tewas dan terluka berat, belum terhitung yang luka-luka ringan. Tiga orang kepala pasukan tewas pula. Akan tetapi di fihak musuh, kerugian yang diderita ternyata lebih besar lagi.

   Lebih dari seratus orang perajurit tewas, tidak terhitung yang terluka, dan Ki Kolohangkoro terpaksa harus beristirahat sedikitnya tiga hari karena dalam perang tanding tadi, ketika ia ikut mengeroyok Adipati Tejolaksono dan beradu lengan yang dipenuhi getaran hawa sakti, ia kalah kuat dan hawa sakti yang dilancarkan lewat pukulannya mem"balik dan melukai isi dadanya sendiri sehingga ia harus beristirahat untuk me"mulihkan tenaga.

   Sungguhpun melihat jumlah korban, dalam pertandingan itu boleh dikatakan fihak Selopenangkep mendapat kemenang"an, namun kenyataannya tidak demikian. Jumlah pasukan Selopenangkep lebih ke"cil, dan dengan jatuhnya korban-korban itu, kini keadaan mereka menjadi makin payah dan lemah. Apalagi, kadipaten sudah dikurung sehingga mereka tidak dapat mengirim permintaan bantuan ke Panjalu. Kalau mereka terus dikurung, tanpa diperangipun mereka akhirnya akan kalah sendiri karena kehabisan ransum.

   Agaknya siasat ini pula dijalankan oleh Cekel Wisangkoro yang menjadi penasehat dalam barisan itu, seorang yang banyak mengerti akan siasat perang karena Cekel Wisangkoro ini dahulunya bekas senopati Kerajaan Cola. Cekel Wisangkoro tidak hanya melakukan pe"ngurungan yang amat ketat dengan menambah jumlah pasukan, bahkan setiap malam ia menyuruh barisan panah untuk menghujankan anak panah ke arah kadi"paten, anak panah yang disertai api se"hingga setiap malam, Kadipaten Selope"nangkep sibuk memadamkan kebakaran dan hanya dapat membalas dengan anak panah ke arah yang mengawur karena fihak musuh selalu berpindah tempat di tengah malam gelap itu!

   Siasat yang dipergunakan musuh itu benar-benar melemahkan keadaan para perajurit Selopenangkep.

   Setelah pengu"rungan dilakukan selama sepekan, keada"an mereka benar-benar dalam bahaya karena beras telah habis tinggal sehari lagi! Menyelundupkan dari luar tidak mungkin karena penjagaan amat ketat dan untuk menyerbu mati-matian keluar, berarti mengosongkan kadipaten.

   Malam itu, sebelum musuh melakukan penyerang"an dengan anak panah berapi seperti biasa, Tejolaksono memanggil semua pembantunya, para perwira dan kepala pasukan.

   Ketika ditanya pendapat mereka,seorang panglima tua mewakili kawan-kawannya berkata dengan suara penuh kegagahan,

   "Gusti adipati, hamba sekalian ber"sedia mempertahankan Selopenangkep sampai titik darah terakhir!"

   Para perwira menyambut pernyataan ini dengan suara bulat, tak seorang pun di antara mereka yang gentar mengha"dapi kematian dalam mempertahankan Selopenangkep. Adipati Tejolaksono ter"haru sekali, akan tetapi suaranya sung"guh-sungguh dan tegas ketika ia berkata,

   "Tidak benar pendapat kalian ini, para Paman dan Kakang senopati. Kita harus mencari siasat untuk mengosongkan kadi"paten dan menyelamatkan diri."

   "Meninggalkan kadipaten, membiarkan kadipaten jatuh ke tangan musuh? Maaf, Gusti adipati! Akan tetapi sungguh-sung"guh hamba tidak dapat menerima pen"dapat ini. Musuh baru boleh menduduki kadipaten, akan tetapi hanya melalui mayat hamba!"

   Bantah panglima tua yang sudah puluhan tahun menjadi hulubalang di Kadipaten Selopenangkep.

   Pernyataan yang gagah ini kembali disetujui semua kawannya.

   Adipati Tejolaksono yang duduk di dekat isterinya, mengangguk-angguk dan berkata kembali ,

   "Aku dapat menghargai kesetiaan kalian, dan jangan mengira bahwa aku sendiri kurang mencinta Kadi"paten Selopenangkep. Aku terlahir di tempat ini, dan sudah menjadi kewajiban"ku untuk mempertahankan Selopenangkep. Akan tetapi, hendaknya andika sekalian mengerti bahwa gerakan musuh ini bukan"lah sekedar untuk memusuhi Selopenang"kep. Sama sekali bukan, Selopenangkep hanya merupakan awalan yang kecil saja. Gerakan mereka merupakan ancaman untuk seluruh Nuswantara, dan tujuan mereka adalah menundukkan Panjalu dan Jenggala. Kalau sekali ini kita kalah, bukan berarti kita kalah perang. Sama sekali tidak, Paman dan Kakang senopati. Kekalahan kita sekarang ini dapat kita tebus kelak dalam pertempuran di lain kesempatan, bukan kalah perang melain"kan hanya kalah dalam suatu pertempur"an karena kalah banyak jumlah perajurit kita. Kita harus mencari siasat dan jalan untuk keluar dari sini dalam keadaan se"lamat."

   "Maaf, Gusti adipati. Sungguhpun benar apa yang Paduka katakan, akan tetapi hamba tetap berpendapat bahwa amatlah tidak layak bagi seorang perajurit untuk tinggalkan gelanggang perang, melarikan diri seperti orang-orang pena"kut dan pengecut! Hamba tidak takut mati di tangan musuh, Gusti. Hamba tidak akan membiarkan musuh menduduki Selopenangkep sebelum hamba mati!"

   Demikian kata panglima tua yang amat setia. Kawan-kawannya mengangguk mem"benarkan.

   Marahlah Adipati Tejolaksono. Dengan pandang mata tajam ia menatap wajah para pembantunya, seorang demi seorang. Demikian tajam berpengaruh pandang mata Adipati Tejolaksono se"hingga mereka itu menundukkan muka tidak berani menentang pandang

   "Andika sekalian terlalu mabuk ke"gagahan sehingga lupa akan tugas teru"tama dan terpenting seorang perajurit. Apakah tugas pertama seorang perajurit? Patuh dan taat akan perintah atasan! Dan sekarang, andika sekalian sudah hendak melanggar tugas pertama ini! Apakah andika semua sudah tidak meng"akui lagi aku sebagai atas kalian?"

   Suara yang marah dan berwibawa ini tidak ada yang membantah. Semua per"wira hanya menundukkan muka dan biar"pun mereka masih merasa penasaran, namun teguran ini membuat mereka me"rasa malu sekali.

   Adipati Tejolaksono menghela napas panjang, lalu berkata,

   "Paman dan Kakang senopati semua. Jangan sekali-kali mengira bahwa aku Tejolaksono takut menghadapi maut dalam perang melawan musuh. Sama sekali tidak, seujung rambutpun tidak! Dan jangan mengira aku mengajak andika semua menyelamatkan diri karena takut kepada musuh, sama sekali tidak! Aku mengambil keputusan ini setelah kuwawas dengan matang, setelah kupertimbangkan semasak-masak-nya. Hanyalah orang bodoh yang berlaku nekad dan membunuh diri tanpa ada manfaatnya. Kita terkepung, jumlah musuh jauh terlalu banyak sehingga kalau kita berkeras melawan, kita akan mem"buang nyawa secara sia-sia belaka. Kita tidak boleh buta akan kenyataan, dan dapat mengetrapkan keberanian kita pada saat yang tepat. Kalau kita berkeras mempertahankan Selopenangkep, akhirnya kita akan tewas semua dan apakah andi"ka kira bahwa kalau kita tewas Selope"nangkep tidak akan diduduki musuh? Sia-sia belaka kita nekat tanpa perhitungan. Sebaliknya, kalau kita dapat menyela"matkan diri membebaskan diri daripada kepungan, benar bahwa Selopenangkep akan diduduki musuh. Akan tetapi kita masih hidup dan tentu saja kita tidak akan tinggal diam. Kita akan menyatukan diri dengan pasukan Panjalu dan kembali ke sini. Nah, saat itulah kita boleh mem"pertaruhkan nyawa dalam perang yang seimbang. Selain itu, jangan andika seka"lian mengira akan mudah saja membe"baskan diri daripada kepungan musuh ini. Sama sekali tidak! Kita harus menerobos dan membuka jalan darah, bertanding mati-matian, mungkin sekali banyak diantara kita akan tewas, akan tetapi se"tidaknya, sebagian daripada kita akan selamat dan kelak akan membalaskan kematian kawan-kawan yang gugur. Kalau kita nekat mempertahankan di sini, kita semua mati. Siapa kelak yang akan mem"balaskan kematian kita?"

   Ucapan sang adipati yang panjang lebar ini menyadarkan para senopati. Mereka mengangguk-angguk dan menyata"kan setuju. Maka diaturlah siasat. Malam itu, kalau para musuh menyerang dengan anak panah, pasukan diharuskan membiar"kan saja dan tidak terlalu membuang tenaga memadamkan api, bahkan lebih baik menyimpan tenaga dan beristirahat sambil berlindung.

   Kemudian, jauh lewat tengah malam, ketika diperkirakan lawan yang lelah itu mengaso, mereka akan menyerbu keluar melalui pintu gerbang sebelah utara.

   Seperti pada malam-malam yang lalu, malam itu fihak musuh juga menghujan"kan panah api. Para perajurit Selope"nangkep, sesuai dengan perintah sang adipati, hanya memadamkan api yang sekiranya berbahaya saja. Mereka lebih sibuk bersiap untuk menyerbu keluar pagi nanti dan beristirahat mengumpulkan tenaga.

   Keluarga para perajurit yang sudah dikumpulkan di kadipaten, berikut anak-anak mereka, telah pula bersiap-siap melarikan diri bersama-sama karena mereka maklum bahwa wanita yang ter"tinggal di situ pasti kelak akan menjadi korban kebiadaban para musuh.

   Daripada tinggal dan terancam bahaya mengerikan, mereka ini lebih suka ikut melarikan diri dengan taruhan nyawa di samping suami dan ayah mereka.

   Lewat tengah malam, serangan dari luar berhenti dan keadaan menjadi sunyi di luar kadipaten. Di sana-sini, di dalam kadipaten, masih ada api menyala. Adi"pati Tejolaksono melakukan persiapan bersama isterinya. Suami isteri ini sama sekali tidak memperdulikan isi gedun kadipaten.

   Hanya keris pusaka yang mereka bawa, di samping benda-benda per hiasan yang kecil-kecil saja. Sedikitpun mereka tidak merasa berduka meninggalkan barang-barang mereka, hanya berduka karena kini mereka terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal mereka berdua saja, sedangkan putera mereka masih belum mereka ketahui keadaannya, juga Pusporini yang diculik musuh.

   Mere"ka berduka menyaksikan kematian Roro Luhito yang begitu mengerikan, tanpa mendapat kesempatan untuk mengurus dan menyempurnakan jenazah orang tua itu.

   Tejolaksono menanti sampai jauh le"wat tengah malam. Setelah mendekati fajar dan diperkirakan fihak musuh se"dang enak mengaso dan tidur, Tejolak"sono memberi isyarat kepada para pem"bantunya. Bergeraklah sisa pasukan Selopenangkep yang berjumlah hanya kurang lebih dua ratus orang itu bersama kelu"arga mereka yang mereka lindungi dan dikumpulkan di tengah-tengah mereka.

   Adipati Tejolaksono dan isterinya, Ayu Candra, keduanya mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam, keris pusaka terselip di pinggang, berjalan berdamping"an paling depan, merupakan pelopor. Sikap mereka yang gagah perkasa dan sedikitpun tidak membayangkan takut dan menambah semangat para perajurit dan di dalam hati setiap orang perajurit ber"sumpah untuk sehidup-semati dengan jun"jungan mereka ini.

   "Kita menyerbu keluar dengan mati-matian! Ketahuilah kalian semua bahwa kalau kita tetap berlindung di kadipaten, akhirnya kita semua akan mati kelaparan atau mati terbakar. Daripada mati ko"nyol seperti itu, adalah lebih baik kalau kita menyerbu keluar dan berusaha me"larikan diri ke Panjalu untuk mencari bala bantuan. Ingat, yang tewas dalam penyerbuan ini adalah perajurit-perajurit gagah perkasa dan setia karena kematiannya adalah demi menyelamatkan seba"gian kawan-kawan dan mereka yang ber"hasil selamat melarikan diri sampai ke Panjalu adalah perajurit-perajurit perkasa pula yang kelak akan membalaskan ke-matian kawan-kawan yang tewas dalam usaha ini. Karena itu, marilah kita ber"tempur mati-matian, demi untuk kesela"matan kita sendiri, teman-teman dan keluarga kita, juga demi nama dan kehormatan kita sebagai perajurit-perajurit Selopenangkep yang lebih baik mati dari"pada menakluk kepada musuh!"

   Demikian pesan terakhir Adipati Selopenangkep itu ketika hendak melakukan penyerbuan keluar.

   Fajar yang sunyi dan dingin sekali itu, secara tiba-tiba dipecahkan suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika para pe"nyerbu dari dalam ini ketahuan. Terjadi"lah perang yang amat hebat, perang kacau-balau karena biarpun fihak pengurung kadipaten jumlahnya jauh lebih ba"nyak, akan tetapi mereka tadi tengah tidur nyenyak dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa sisa perajurit-perajurit Selopenangkep yang sudah diku"rung berhari-hari itu masih ada kemam"puan untuk menyerbu dan menerobos keluar.

   Sepak terjang Tejolaksono dan Ayu Candra amat menggiriskan hati para perajurit musuh. Bagaikan sepasang garu"da sakti saja, suami isteri yang menjadi pelopor terdepan ini mengamuk dan ba"rang siapa berani menghadang di depan mereka, tentu akan terjungkal roboh tak bernyawa lagi!

   Jauh berbeda perasaan suami isteri ini ketika mereka mengamuk dan membabati musuh seperti dua orang penggembala berlumba membabat rumput saja. Semangat Tejolaksono meluap-luap karena sang adipati ini ingin sekali me"lihat sebanyak mungkin perajuritnya da"pat berhasil lolos dari kepungan.

   Adapun Ayu Candra mengamuk berdasarkan do"rongan rasa hati yang sakit, marah dan dendam karena musuh inilah yang menye"babkan pelbagai malapetaka menimpa keluarganya, bahkan yang memaksanya meninggalkan kadipaten tanpa menanti kembalinya puteranya, Bagus Seta, dan Pusporini yang hilang entah ke mana perginya.

   Namun, betapapun jauh bedanya gelora yang bergejolak di hati masing-masing, akibatnya amat celaka bagi lawan yang berani menghadang di depan suami isteri perkasa ini.

   Betapapun gagahnya para perajurit Selopenangkep yang mengamuk sambil bersorak menggegap-gempita, namun jumlah lawan terlalu banyak.

   Di bawah pimpinan Tejolaksono dan Ayu Candra, akhirnya sebelum matahari terbit dan sebelum fihak musuh dapat menghimpun kekuatan dan pulih daripada kekacauan karena penyerbuan, tiba-tiba itu, sebagian kecil prajurit Selopenangkep dan keluarga"nya berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri ke arah Panjalu.

   Dari dua ratus orang perajurit yang dapat lolos hanya lima puluh lebih orang saja, dan keluarga para perajurit hilang tiga per"empatnya! Kematian di fihak mereka banyak, akan tetapi mereka akan berbesar hati kalau dapat menghitung jumlah korban di fihak musuh yang telah mereka roboh dan tewaskan, karena jumlah ini sedikitnya ada tiga kali lebih besar dari"pada jumlah korban mereka!

   Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak membunuh musuh sedikitnya dua orang, dan mereka yang gugur tentu telah me"robohkan lebih banyak musuh pula!.

   Perjalanan melarikan diri ke Panjalu ini amatlah sengsara. Karena khawatir akan pengejaran musuh yang berjumlah besar, mereka melakukan perjalanan siang malam sehingga dalam perjalanan yang dipaksa ini kembali jatuh beberapa orang korban, yaitu di antara mereka yang terluka dalam penyerbuan keluar itu.

   Namun akhirnya, dalam keadaan lelah lahir batin, Adipati Tejolaksono"

   Bersama isteri berhasil juga membawa rombongan pelarian ini sampai ke Kota Raja Panjalu di mana sang adipati de"ngan suara pilu melaporkan segala peris"tiwa yang terjadi kepada sang prabu di Panjalu.

   Bukan main marahnya sang prabu di Panjalu ketika mendengar pelaporan Adi"pati Tejolaksono. Sang prabu masih duduk terhenyak di atas singgasana, akan tetapi jari-jari tangan yang memegang lengan kursi itu menegang dan mengepal-ngepal-kan tinju.

   Wajah yang tampan dan biasa"nya tenang dan agung itu kini menjadi merah, seolah-olah mengeluarkan cahaya berapi, giginya berkerot dan dadanya bergelombang, sepasang mata yang masih tajam berpengaruh itu memandang penuh kemarahan kepada musuh.

   "Babo-babo...... si keparat! Tidak ada habisnya nafsu kemurkaan diumbar oleh Sriwijaya! Begitu buta matanya sehingga tidak melihat bahwa sesungguh"nya agama diciptakan untuk mendatang"kan perdamaian di atas bumi! Akan te"tapi dia malah berani memperalat agama untuk mengumbar nafsu, mempergunakan pendeta-pendeta palsu dan agama-agama sesat untuk mempengaruhi rakyat Panjalu dan untuk menyebar kematian dan keru"sakan! Hei, para senopati dan perwiraku! Jangan kehilangan akal. Kerahkan semua barisan, perhebat gemblengan dan latihan mulai saat ini juga. Aku mengangkat Tejolaksono menjadi senopati perang untuk memimpin barisan Panjalu dengan tugas membasmi sampai habis benalu-benalu yang datang dari Sriwijaya dan Cola!"

   Perang......! Perang......1 Perang

   Tidak ada seorang pun manusia kalau ditanya menjawab bahwa dia suka akan perang. Tidak! Semua orang tidak suka, bahkan membenci perang, karena siapa"kah orangnya yang akan dapat menikmati kesenangan dari perang? Kematian me"rajalela, harta benda mawut, hidup tak terjamin keamanannya.

   Semua orang membenci perang. Akan tetapi kenyata"annya, semenjak dunia berkembang sam"pai sekarang, dunia penuh dengan perang. Berhenti di sini, muncul di sana. Tenang di sana, meletus di sini! Terus-menerus begitu, | abad demi abad, sehingga manu"sia menjadi terbiasa karenanya, seolah-olah perang merupakan hiasan dunia, merupakan keharusan dalam penghidupan manusia. Perang untuk memperebutkan kemenangan!

   Ciri khas mahluk yang dise"but manusia! Dan agaknya, selama ciri ini, yaitu ingin menang sendiri, tidak terhapus daripada watak umum manusia, sampai dunia kiamat sekalipun perang takkan pernah dapat terhapus dari pada lembaran sejarah.

   Perang! Bunuh-membunuh! Perjuangan antara hidup dan mati.

   Mengerikan! Me"ngerikan? Sesungguhnya tidak, karena bukankah pada hakekatnya hidup ini per"juangan antara hidup dan mati? Bukankah hanya ada dua di dunia ini, yaitu hidup atau mati? Yang mati untuk memberi kesempatan kepada yang hidup untuk menggantikan yang mati, apa bedanya? Menang atau kalah, apa nilainya? Panggung sandiwara itu tetap terbuka. Layar itu berulang kali dikerek turun naik.

   Berganti-ganti pelakunya, bertukar sri panggungnya, namun dimulai dan di"tutup dengan naik dan turunnya layar. Yang lama turun yang baru naik. Layar dikerek naik lagi untuk kemudian ditutup kembali.

   Begitu dan begitu seterusnya. Yang tinggal hanya kenangan! Inipun juga akan terhapus. Dunia sebagai panggung! sandiwara lapuk dengan manusia-manusia"nya sebagai pelaku-pelaku yang selalu; haus akan hal baru. Dipertontonkanlah bermacam gaya dan permainan, semuanyal palsu. Drama dan lawak, terutama sekali awak dengan dagelan-dagelan bermacam gaya!

   Perang mengamuk di perbatasan se"belah barat Kerajaan Panjalu. Pasukan-pasukan Kerajaan Panjalu yang amat kuat dan terlatih, mengadakan operasi pembersihan di mana-mana. Tidaklah ringan tugas ini.

   Di mana-mana mereka mendapat sambutan, dan terjadilah pe"rang tanding. Namun pasukan-pasukan Panjalu memang terlatih dan kuat, apa"lagi jumlahnya besar dan di mana-mana mendapat dukungan rakyat. Terutama sekali induk barisan yang dipimpin sendiri oleh Tejolaksono.

   Menggempur sana me"nerjang sini, dan di mana saja pasukan-pasukan liar musuh tentu dibikin kocar-kacir, kalau tidak dibasmi sama sekali.

   Barisan Panjalu terus bergerak ke barat. Banyak sudah pasukan lawan dapat dihancur kan , namun belum pernah idam-idaman hati Tejolaksono terpenuhi, yaitu menangkap atau membunuh tokoh-tokoh yang menggerakkan pasukan-pasukan asing itu.

   Ingin sekali ia dapat berhadap"an dengan anak buah Biku Janapati dan Wasi Bagaspati.

   Ingin sekali ia dapat menangkap Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohang koro, Sariwuni dan kawan-kawan mereka itu. Namun, tak pernah ia berkesempatan bertanding yuda dengan mereka itu yang agaknya bergerak di baiik tabir hitam dan selalu melarikan diri kalau melihat pasukan mmereka terpukul mundur.

   Akhirnya, setelah menghalau pengha"lang-penghalang yang berupa pasukan-pasukan liar musuh, barisan yang dipim"pin Tejolaksono berhasil menduduki kem"bali Selopenangkep.

   Hati sang adipati remuk redam ketika ia menyaksikan keadaan Selopenangkep. Rakyatnya mengalami penderitaan hebat. Banyak wanita diperkosa, laki-laki dibunuh dan mereka semua diharuskan menjadi penyembah-penyembah Durga dan Bathara Kala.

   Keadaan istana kadipaten sendiri rusak dan hancur. Barang-barang berharga sudah lenyap, bahkan sebagian besar bangunannya ambruk dan terbakar. Tejolaksono makin sakit hatinya. Ia terus mengadakan pembersihan di sekitar daerah Selopenangkep, setiap hari memimpin pasukan keluar untuk melakukan pengejaran dan pembersihan.

   Sesungguhnya tidak ringan tugas yang dipikul oleh Tejolaksono dan perajurit-perajurit Panjalu, karena fihak lawan kadang-kadang mengadakan perlawanan hebat sehingga menimbulkan banyak korban pula di fihak Panjalu.

   Ketika pasukan Panjalu mengadakan penyerbuan di Gunung Mentasari yang menjadi markas besar Ni Dewi Nilamanik, pasukan Panjalu menghadapi perlawanan yang luar biasa beratnya dan hampir saja pasukan Panjalu mengalami bencana besar.

   Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Tejolaksono, berjumlah tiga ratus orang, karena menurut para penyelidik, puncak Mentasari itu hanya dihuni oleh wanita-wanita penyembah Durga yang jumlahnya tidak banyak.

   Dan me"mang keterangan para penyelidik ini tidak salah. Puncak Mentasari dijadikan tempat pusat atau markas besar untuk sementara waktu oleh Ni Dewi Nilamanik dan di sini ia mempunyai anak buah sebanyak sembilah puluh sembilan orang,kesemuanya wanita-wanita yang cantik-cantik dan genit-genit.

   Tejolaksono yang selalu bersikap hati-hati dan waspada tidak mau memandang rendah fihak lawan. Selain ini, juga ia ingin sekali dapat menangkap hidup atau mati pimpinan pasukan penyembah Bathari Durga itu, yakni Ni Dewi Nilamanik.

   Maka ia lalu membagi pasukannya menjadi lima , dan mendaki Bukit Mentasari dari lima jurusan. Dari empat jurusan masing-masing terdiri dari lima puluh orang perajurit sedangkan seratus orang perajurit lagi ia pimpin sendiri, mendaki dari jalan biasa, langsung ke puncak.

   Inilah kesalahan Tejolaksono. Ia terlalu hati-hati dan mengambil jalan mengurung, akan tetapi hal ini malah menjadi berbahaya karena berarti bahwa sebagian daripada perajurit-perajuritny terpisah daripadanya.

   Inilah bahayanya Menghadapi perlawanan kasar yang menggunakan kekerasan, tentu saja para perajurit itu sudah terlatih dan tergembleng dan kiranya akan dapat menanggulangi musuh.

   Akan tetapi Menghadapi sambutan halus yang didasari kesaktian ilmu hitam, tentu saja hanya Tejolaksono yang akan dapat menghadapinya.

   Demikianlah, setelah memecah pasukannya menjadi lima, Tejolaksono sendiri lalu memimpin sisa pasukan mendaki Gunung Mentasari yang tidak berapa tinggi itu. Ia sudah memperhitungkan bahwa penghuni gunung itu tentu tidak akan dapat meloloskan diri karena pasukanpasukannya mengepung dan memasuki dari lima jurusan.

   Maka untuk mencapai puncak, ia sengaja membawa pasukannya lambat-lambat saja menuju sarang musuh. setelah hampir tiba di puncak, Tejolaksono menyuruh pasukannya bersembunyi dan menanti tanda rahasia pasukan-pasukan lain yang mengepung puncak. Tanda rahasia itu adalah bunyi emprit gantil yang diulang sampai tiga kali.

   Puncak di mana berdiri bangunan-bangunan para penyembah Bathari Durga tampak sunyi-sunyi saja,sungguhpun asap yang mengepul menjadi tanda bahwa penghuninya masih ada dan mungkin asap itu adalah asap dari dapur mereka.

   Telah lama Tejoiaksono menanti, namun belum juga ada tanda-tanda dari empat pasukannya yang lain. Padahal menurutkan perhitungannya, pasti mereka telah tiba di puncak, atau sedikitnya satu di antara empat tentu sudah sampai.

   Ia menjadi tidak sabar dan juga gelisah. Tidak munculnya empat pasukan kecil itu boleh jadi berarti bahwa mereka mendapatkan bencana yang tak terduga-duga.

   Oleh karena itu, Tejolaksono lalu memberi tanda dan dia sendiri lebih dulu menyerbu naik ke atas Puncak, menuju bangunan-bangunan yang sudah kelihatan dari tempat mereka bersembunyi tadi.

   Pasukannya yang seratus orang banyaknya itupun bersorak dan menyerbu ke puncak.Sudah gatal-gatal tangan mereka dan kesal hari mereka karena sejak tadi bersembunyi dan berdiam diri saja.

   Tiba-tiba dari dalam bangunan itu bermunculan banyak sekali wanita cantik dan........... sorak-sorai para perajurit Panjalu itu seketika terhenti. Sebagian besar di antara mereka terhenyak di tempatnya seperti berubah menjadi arca dengan mata terbelalak memandang ke depan dan mulut ternganga, tidak tahu apa yang harus dilakukan!

   Bermacam-macam perasaan tampak pada wajah para perajurit yang tadinya bersernangat penuh untuk bertanding ini. Ada yang tersipu-sipu malu, ada yang terbelalak dan terpesona penuh gairah, ada yang mengeluarkan kutuk, dan ada pula yang menjadi pucat pasi mukanya.

   Betapa mereka tidak akan tercengang ketika mendapat kenyataan bahwa musuh yang mereka serbu ini ketika muncul merupakan sekumpulan wanita muda cantik dan berpakaian tipis setengah telanjang, yang berlari-lari menyambut mereka dengan rambut panjang terurai lepas, pakaian sutera tipis berkibar setengah terbuka, mata bergerak genit dan mulut tersenyum-senyum memikat penuh daya rangsang.

   Akan tetapi tiga perajurit terdepan yang bergerak maju dengan pandang mata penuh gairah terpikat dan hendak merangkul wanita-awanita itu, tiba-tiba roboh terguling oleh kilatan keris-keris yang berada di tangan wanita-wanita itu dan yang disembunyikan di balik pakaian yang berkibar-kibar

   Menyaksikan keadaan ini, Tejolaksono maklum bahwa fihak lawan mempergunakan pikatan berupa anggautaanggautanya yang muda dan cantik, diperkuat oleh pengaruh ilmu hitam yang melemahkan semangat para perajuritnya.

   Maka ia lalu mengerahkan hawa sakti di dadanya dan mengeluarkan pekik Dirodo Meto yang mempu nyai pengaruh dan wibawa besar dan hebat sehingga sejenak buyarlah kekuatan ilmu hitam guna-guna yang dibawa oleh wanita-wanita setengah telanjang itu dan terkejutlah semua perajurit Panjalu seperti mendengar halilintar di dekat telinga. Karena terkejut, mereka sadar dan sejenak mereka terbebas daripada cengkeraman hawa ilmu hitam yang mempesonakan hati mereka tadi.

   "Semua perajurit perkasa maju! Mereka adalah iblis-iblis betina yang harus dihancurkan!"

   Teriakan Tejolaksono menggema di seluruh puncak bukit itu dan kini semangat para perajurit terbangun kembali.

   Tubuh-tubuh setengah telanjang dan wajah cantik tersenyum-senyum tidak lagi tampak cantik menarik dan lemah gemulai, melainkan tampak seperti wajah Bathari Durga di kala marah,mengerikan dan menjijikkan.

   Seketika mereka serentak maju dan menggerakkan senjata dan terjadilah perang tanding karena kini para penyembah Durga, anak buah Ni Dewi Nilamanik itu maklum bahwa pengaruh ilmu guna-

   (Lanjut ke Jilid 21)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21

   gunanyang disebar guru mereka sudah kehilangan kekuatannya dan mereka tidak lagi dapat mengandalkan ilmu itu, melainkan harus mengandalkan senjata dan ketangkasan.

   Namun, dalam hal ketangkasan bertanding mempergunakan tenaga dan senjata, para anak buah Ni Dewi Nilamanik ini tidak dapat mengimbangi kegagahan para perajurit Panjalu sehingga mulailah terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya wanita-wanita itu.

   Adapun Tejolaksono sendiri setelah dengan hati lega menyaksikan kepulihan semangat para perajuritnya , lalu meloncat ke depan dan langsung ia menyerbu Ni Dewi Nilamanik yang baru muncul keluar dari pintu. Ia tidak mengenal wanita ini, namun melihat pakaiannya yang indah, kecantikannya yang mengagumkan dan mengerikan karena mata batinnya yang waspada dapat melihat betapa kecantikan itu tidak wajar dan di balik kecantikan yang menonjol oleh daya ilmu hitam ini bersembunyi kekejaman

   yang amat luar biasa, dapatlah ia menduga dengan cepat siapa adanya wanita ini. Apalagi melihat betapa wanita itu memegang sebuah pengebut lalat yang terbuat daripada benang semacam serat berwarna, merah dan berbentuk seperti buntut kuda.

   Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menerjang maju, menggunakan sepasang goloknya yang sengaja dibuat oleh adipati ini dan menjadi senjatanya yang ampuh selama ia melakukan tunas pembersihan menghalau

   musuh dari daerah Panjalu.

   Akan tetapi, Ni Dewi Nilamanik pada saat itu menjadi terkejut dan marah ketika memperhatikan anak buahnya.

   Tadi ia telah mempergunakan ilmu hitamnya,meniupkan aji guna-guna kepada para muridnya sehingga setiap orang pria yang bertemu tentu akan luluh semangatnya dan tergila-gila. Bagaimana sekarang muridmuridnya itu dihajar sampai banyak yang roboh tewas oleh para perajurit Panjalu? Kini melihat berkelebatnya tubuh Tejolaksono yang didahului dengan gulungan dua sinar golok berkilauan, Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya sudah melesat ke samping.

   Dalam mengelak ini, Ni Dewi Nilamanik membarengi dengan gerakan pengebutnya. Sinar merah menyambar dari samping ke arah Tejolaksono, mengeluarkan bunyi "Tarrrr....!!"

   Keras sekali.

   Tejolaksono yang sudah menduga akan kesaktian wanita ini, tidak berani memandang rendah dan cepat pergelangan tangannya bergerak memutar, membuat golok kanannya membentuk lingkaran menangkis sinar merah itu.

   Akan tetapi sinar tak kunjung datang dan ketika ia memandang, ternyata wanita itu sudah melesat jauh ke depan dan tangan kiri wanita itu dengan gerakan kuat sekali, melemparlemparkan sesuatu ke atas.

   Seketika tempat itu menjadi gelap oleh debu putih yang disebar oleh Ni Dewi Nilamanik itu dan dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hati Tejolaksono ketika melihat para perajuritnya yang terdepan menjadi terhuyung-huyung dan terengah-engah sehingga mereka ini dengan mudah dapat dirobohkan oleh anak buah Ni Dewi Nilamanik yang tertawa terkekeh-kekeh karena girang hati menyaksikan anak buahnya membunuhi perajurit-perajurit Panjalu.

   "Bedebah, iblis betina!"

   Adipati Tejolaksono berseru marah sekali dan tubuhnya mencelat ke atas, menyambar ke arah Ni Dewi Nilamanik. Sebuah teriakan keras menggema keluar dari mulutnya dan dua gulungan sinar goloknya menyilaukan mata, menyambar dengan gerakan menyilang seperti dua ekor ular naga menukik turun dari angkasa.

   "Heeeiiiiittt............!!"

   Ni Dewi Nilamanik terkejut sekali sehingga tanpa disadarinya ia mengeluarkan jerit ini dan tubuhnya dilempar ke belakang, terjengkang dan rebah terus bergulingan di atas tanah untuk menyelamatkan diri daripada dua gulungan sinar maut yang keluar dari sepasang golok di tangan Tejolaksono. Kemudian dari bawah, sinar merah kebutannya meluncur ke arah perut Tejolaksono dengan kecepatan kilat sehingga pendekar sakti ini terpaksa menghentikan serangannya dan menangkis dengan golok disilang, dengan maksud menggunting putus ujung kebutan.

   Akan tetapi ternyata jurus-jurus yang dimainkan wanita itu penuh tipu muslihat karena kali ini kembali luncuran senjatanya hanya merupakan gerak tipu belaka dan sudah melejit ke bawah.

   Dengan tubuh masih di atas tanah, mendekam, wanita itu kini menyambarkan kebutannya hendak menyerimpung kedua kaki Tejolaksono yang kagum bukan main. Dari keadaan terdesak, ternyata dalam satu dua jurus saja wanita itu sudah membalikkan keadaan, menjadi balas mendesak. Terpaksa Tejolaksono meloncat ke atas dan terjadilah perang tanding yang amat seru dan hebat antara Ni Dewi Nilamanik dan Tejolaksono.

   Sementara itu karena kini didesak Tejolaksono, Ni Dewi Nilamanik tidak dapat lagi mengacaukan para perajurit dan kembali para perajurit Panjalu menerjang para wanita anak buah Ni Dewi Nilamanik sehingga terdengar pekik susulmenyusul yang keluar dari mulut para wanita yang roboh

   oleh senjata para perajurit.

   Melihat keadaan tidak menguntungkan, tiba-tiba Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan teriakan menyayat hati, tangan kanan digerakkan dan........... tiba-tiba semua bulu kebutan yang berwarna merah itu terlepas dari gagangnya dan bagaikan ratusan ekor ular merah yang kecil menyambar ke depan, sebagian ke arah Tejolaksono dan sebagian lagi ke arah perajurit-perajurit yang berdekatan.

   Tejolaksono memutar sepasang goloknya dengan jurus pertahanan dari ilmu Golok Lebah Putih sehingga sepasang goloknya mengeluarkan suara mendengung seperti sekumpulan lebah keluar dari sarang.

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Runtuhlah semua bulu kebutan yang tadi menyambar bagaikan anak-anak panah itu, akan tetapi terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang perajurit yang tubuhnya tertembus oleh bulu-bulu kebutan yang beracun!.

   Tejolaksono yang terkejut memandang anak buahnya,menjadi marah, cepat membalikkan tubuh dan siap menerjang lawan. Akan tetapi ternyata Ni Dewi Nilamanik telah lenyap. Wanita itu mempergunakan kesempatan tadi untuk menyelinap di antara anak buahnya yang mulai terdesak. Tejolaksono mengejar, mengamuk dan merobohkan banyak musuh, namun tidak kelihatan pula bayangan Ni Dewi Nilamanik.

   Kacau-balaulah kini pertahanan anak buah Ni Dewi Nilamanik setelah ditinggalkan pemimpinnya.

   Amukan para perajurit Panjalu makin menghebat dan akhirnya mereka lari cerai-berai, dikejar oleh perajurit-perajurit Panjalu. Di antara sembilan puluh sembilan orang perajurit wanita anak buah Ni Dewi Nilamanik, hanya ada sebelas orang saja yang lolos dan entah lari ke mana, mungkin melalui jalan rahasia bersama pemimpin mereka.

   Yang lain telah tewas sehingga mayat mereka berserakan memenuhi tempat itu, malang melintang bersama mayat-mayat para perajurit Panjalu yang banyak jumlahnya pula.

   Kemudian ternyata oleh Tejolaksono bahwa empat rombongan pasukannya yang mendaki dari lain jurusan untuk mengepung markas musuh itu, ternyata telah berantakan karena disambut oleh pasukan musuh yang mempergunakan ilmu hitam.

   Mereka itu terpikat dan mabuk di bawah pengaruh guna-guna yang amat kuat sehingga di antara dua ratus orang dalam empat rombongan itu, hampir semua tewas, hanya ada dua puluh orang lebih saja yang berhasil menyelamatkan diri.

   Dengan demikian,ditambah dengan jumlah korban dari pasukannya yangmenyerbu tadi, jumlah korban semua dari perajurit Panjalu ada dua ratus orang. Mereka berhasil membasmi pasukan penyembah Bathari Durga dan menewaskan hampir semua anggautanya, namun dengan pengorbanan yang jauh lebih besar!.

   Pembersihan dilakukan terus-menerus oleh Tejolaksono.

   Kadang-kadang pasukannya terancam bahaya besar. Ketika pasukannya bertemu dengan barisan musuh di Kulon Progo (sebelah barat Sungai Progo), juga terjadi perang yang amat hebat.

   Pasukan musuh itu jumlahnya seimbang dengan pasukannya, namun pasukan musuh diperkuat oleh tiga puluh orang raksasa gundul, anak buah Cekel Wisangkoro.

   Pasukan raksasa gundul ini-lah yang amat hebat, membuat para perajuritnya kewalahan, karena mereka ini rata-rata memiliki kekebalan dan tenaga yang dahsyat! Gerakan mereka seperti robot, dan memang keadaan pasukan ini seperti bukan manusia-manusia lagi. Semangat mereka dikendalikan oleh Cekel Wisangkoro dengan pengaruh ilmu hitam.

   Tejolaksono maklum bahwa kalau ia tidak cepat turun tangan, tentu para perajuritnya akan celaka. Maka ia lalu mainkan sepasang goloknya dan tubuhnya sampai lenyap terbungkus dua gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara mbrengengeng seperti ratusan ekor lebah mengamuk.

   Gulungan sinar putih ini seperti tangan maut sendiri,mengamuk di antara orang-orang gundul tinggi besar yang dengan nekat dan tidak mengenal takut mengeroyoknya.

   Lima orang gundul mengeroyok Tejolaksono. Begitu pendekar sakti ini merobohkan mereka dengan kepala remuk dan tubuh terpelanting ke dalam Sungai Progo, lima orang lagi maju menggantikan dan demikianlah, terus menerus Tejolaksono mengamuk, sementara itu pasukannya kocar-kacir karena tidak sanggup menghadapi fihak lawan yang dibantu reksasa-raksasa gundul yang amat tangguh itu.

   Setelah dengan tubuh lelah sekali Tejolaksono akhirnya berhasil menewaskan tiga puluh orang raksasa gundul itu, barulah perajurit perajuritnya yang sudah banyak kehilangan kawan itu bangkit semangatnya dan terjadi perang yang amat dahsyat yang berakhir dengan kemenangan fihak Panjalu.

   Akan tetapi juga dalam perang tanding di pantai Progo ini, Tejolaksono kehilangan banyak perajurit dan dengan kecewa ia tidak dapat menangkap atau menewaskan Cekel Wisangkoro yang berhasil menye lamatkan diri bersama sisa pasukannya.

   -oo0dw0oo-

   Berbulan-bulan lamanya Tejolaksono memimpin pasukan Panjalu menghalau musuh yang ternyata telah menanam kuku di sekitar Selopenangkep, di sebelah barat dan utara.

   Berkat ketekunannya dan kegagahan para perajurit Panjalu, musuh dapat dihalau dan banyak pula yang dapat dihancurkan dan dibasmi.

   Setelah setahun ia memerangi musuh, pada suatu hari ia mendapat keterangan dari penyelidiknya bahwa di sekitar Gunung Merak terlihat gerakan musuh yang terdiri dari para penyembah Bathara Kala, dipimpin oleh Ki Kolohangkoro.

   Tejolaksono mengertak gigi karena di antara para musuhnya, Ki Kolohangkoro ini termasuk tokoh besar yang dicari-carinya. Ia mendengar bahwa Ki Kolohangkoro ini adalah adik tunggal guru dengan Wiku Kalawisesa yang telah membunuh banyak ponggawa Panjalu dan Jenggala dan yang kemudian terbunuh di tangan Endang Patibroto.

   Ia lalu mengumpulkan sejumlah besar pasukan, kemudian memimpin sendiri pasukan Panjalu itu, berangkat ke Gunung Merak untuk membasmi musuh yang ia kira merupakan kekuatan terakhir dari para pengacau.

   Tiga hari kemudian, menjelang senja, sampailah pasukan Panjalu ini di kaki Gunung Merak. Gunung Merak adalah sebuah gunung yang kecil di antara Pegunungan Kidul, dan karena di situ terdapat banyak burung meraknya maka dinamakan Gunung Merak.

   Tejolaksono memerintahkan pasukannya untuk beristirahat di kaki gunung, menyusun tenaga untuk penyerbuan yang akan dilakukan esok hari.

   Malam itu amat gelap dan pasukannya belum mengenal daerah ini, maka amatlah berbahaya untuk menyerbu malam-malam ke atas, apalagi kalau diingat bahwa pasukan lawan yang sekarang dihadapi adalah pasukan penyembah Bathara Kala yang ia duga tentu lebih kuat daripada yang sudah-sudah.

   Dugaan Tejolaksono ini memang benar, akan tetapi ia hanya dapat menduga setengahnya saja. Kalau saja Tejolaksono tahu akan keadaan seluruhnya di puncak Gunung Merak itu, tentu ia akan membawa mundur pasukannya dan baru akan berani menyerbu kalau disertai orang-orang sakti dan pasukan yang amat kuat.

   Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada malam hari itu,puncak Gunung Merak dijadikan tempat bertemuan dan perundingan oleh tokoh-tokoh besar yang menjadi utusan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola! Lengkap hadir semua tokoh besar musuh Panjalu, di antaranya Ni Dewi Nilamanik, Cekel Wisangkoro, Kolohangkoro, Sariwuni dan yang lain.

   Bahkan dua orang tokoh puncaknya yang menjadi puncak pimpinan dan wakil kedua kerajaan, hadir pula.

   Siapakah kedua orang itu? Bukan lain adalah dua orang kakek sakti mandraguna, yaitu Sang Biku Janapati yang mewakili Kerajaan Sriwijaya dan Sang Wasi Bagaspati yang mewakili Kerajaan Cola!.

   "Sadhu-sadhu-sadhu! Sayang sekali bahwa andika masih belum sadar sepenuhnya bahwa kekerasan itu tiada guna,hancur oleh kelemasan, Wasi Bagaspati! Penggunaan kesaktian akan sia-sia belaka di sini adalah gudangnya orang-yang sakti mandraguna, keturunan orang-orang Mataram yang tak mungkin dapat ditundukkan dengan aji kedigdayaan."

   Demikian antara lain Biku Janapati memperingatkan temannya, Sang Wiku Bagaspati. Dua orang pendeta sakti ini memikul tugas yang sama, hanya bedanya kalau Biku Janapati mewakili Kerajaan Sriwijaya, adalah Wasi Bagaspati mewakili Kerajaan Cola.

   Terdapat perbedaan besar dalam sepak terjang mereka menunaikan tugas. Biku Janapati yang bergerak dari utara, menyebar Agama Buddha dengan cara halus dan sama sekali tidak mempergunakan kekerasan, sesuai pula dengan sifat agama itu sendiri yang mendasarkan kasih sayang dan menghapus kebencian dalam tindakannya.

   Sebaliknya,Wasi Bagaspati yang bergerak dari barat, selain dibantu oleh anak buahnya sendiri para penyembah dan pemuja Sang Hyang Shiwa, juga dibantu oleh para penyembah Bathara Kala dan Bathari Durga, seringkali menggunakan kekerasan, bahkan kini secara berterang anak buahnya mengadakan perang terhadap pasukan Panjalu.

   Muka Wasi Bagaspati yang sudah merah itu kini menjadi makin merah, kepalanya digerakkan ketika ia tertawa dan rambutnya yang panjang putih itu berkibar-kibar, tampak makin putih seperti benang-benang perak ketika menyentuh pundak bajunya yang berwarna merah darah.

   "Heh-heh-heh, Sang Biku Janapati! Kekalahan-kekalahan kecil yang diderita oleh anak buahku menghadapi pasukan Panjalu, bukan apa-apa! Semua adalah gara-gara si adipati cilik Tejolaksono, bocah yang masih ingusan itu! Lihat sajalah, dia dan pasukannya sudah tiba,.. besok aku sendiri akan menghancurkannya, kemudian aku sendiri akan memimpin pasukan menyerbu Panjalu!"

   "Wahai........... saudaraku Wasi Bagaspati! "

   Kata Biku Janapati, sepasang matanya terbelalak memandang penuh kekagetan.

   "Sebelum berangkat dari Sriwijaya, kita sudah bersepakat tidak akan menggunakan kekerasan, setidaknya,andika tidak akan turun tangan sendiri. Apakah andika akan melanggar janji kita itu?"

   Sejenak sepasang mata Wasi Bagaspati memandang tajam dan dua orang sakti itu saling bertentang pandang.

   Mereka itu dahulu pernah menjadi lawan, yaitu ketika Kerajaan Cola berperang melawan Kerajaan Sriwijaya. Kini setelah kedua kerajaan itu bersabahat, mereka pun menjadi sahabat, namun watak dan sifat kedua orang ini memang jauh berbeda.

   Biku Janapati suka akan kehalusan dan keramahan, sebaliknya Wasi Bagaspati suka akan kekerasan, suka berkelahi, dan berdarah panas. Namun akhirnya Wasi Bagaspati menghela napas pan jang dan lebIh dahulu menundukkan mukanya.

   IA MAKLUM bahwa tiada untungnya untuk berselisih faham dengan sahabatnya ini dalam keadaan menghadapi lawan kuat seperti pasukan-pasukan Panjalu.

   "Baiklah,, Biku Janapati. Andika tidak perlu khawatir. Aku tidak akan turun tangan sendiri. Pula, betapa rendahnya kalau aku berlawan dengan seorang bocah macam Tejolaksono. Tidak, aku dan andika tidak akan turun tangan, hanya akan menjadi penonton. Biarlah para pembantuku yang akan menghadapi Tejolaksono."

   "Sadhu-sadhu-sadhu............. begitu barulah lega hatiku! Dan perlu sekali lagi kuperingat kan, saudaraku Wasi Bagaspati bahwa tadi andika telah berjanji bahwa selanjutnya kita akan bekerja sama mempergunakan cara halus demi berhasilnya tugas kita. Dan jangan lupa janji kita dengan Ki Tunggaljiwa, orang-orang tua macam kita tidak perlu turun tangan, biarlah kita serahkan kepada yang muda-muda."

   "Ha-ha-ha-ha! Jangan khawatir, sang biku! Murid-muridku sudah banyak, dan manakah murid yang kau ajukan?"

   Pendeta Itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang gundul.

   "Buah yang saya imbu (sekap) masih belum dalu (matang)."

   "Ha-ha-ha-ha! Kuharap saja tidak mengecewakan kelak."

   "Mudah-mudahan begitu, sang wasi."

   Demikianlah antara lain percakapan antara dua orang pendeta sakti mandraguna itu di sebuah pondok di puncak Gunung Merak. Kemudian Sang Wasi Bagaspati memanggil dan mengumpulkan anak buahnya dan berungdinglah kakek ini dengan Cekel Wisangkoro muridnya, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Sariwuni dan beberapa orang pimpinan pasukan yang menjadi anak buahnya. Setelah mengatur siasat untuk menghadapi pasukan Panjalu, Sang Wasi Bagaspati lalu memasuki kamar untuk beristirahat, ditemani oleh si cantik genit Sariwuni.

   Pada keesokan harinya, kokok ayam jantan merupakan pertanda bagi pasukan Panjalu, seperti yang telah direncanakan Tejolaksono, dan mulailah pasukan ini mendaki dituntun sinar matahari yang mulai semburat merah. Karena mereka melakukan penyerbuan dari sisi timur bukit, maka sepagi itu tempat yang mereka lalui sudah kebagian sinar matahari.

   Ketika pasukan-pasukan Panjalu itu sudah tiba di sebuah lereng yang rata dan luas, barulah mereka mendapat sambutan musuh yang turun berbondong-bondong dari puncak. Mereka ini adalah pasukan penyembah Bathara Kala, rata-rata orangnya tinggi besar dan senjata mereka adalah golok-golok besar dan penggada. Mereka itu menyerbu turun, menyambut pasukan Panjalu sambil bersorak-sorak, melompat-lompat dan bergulingan, dengan gerak-gerak kasar seperti barisan raksasa.

   "Serbuuuu!!!"

   Tejolaksono meneriakkan aba-aba ini untuk menambah semangat pasukannya yang begitu kedua fihak bertemu, terjadilah perang tanding yang dahsyat sekali. Fihak barisan Kala ini adalah anak buah Ki Kolohangkoro, rata-rata memiliki tenaga besar dan ilmu tata kelahi yang ganas dan kuat. Akan tetapi pasukan yang dipimpin Tejolaksono pada saat itu pun merupakan pasukan pilihan dari Panjalu, maka pertandingan itu merupakan pertandingan yang amat seru dan seimbang.

   Tejolaksono sendiri menyerbu paling depan dan seperti biasa, sepak terjang orang sakti ini hebat bukan main. Sepasang goloknya menderu-deru, mengeluarkan bunyi berdesingan dan "mbrengengeng"

   Seperti suara sekumpulan lebah mengamuk.

   Celakalah fihak musuh yang berdekatan, karena sepasang goloknya itu tak dapat dihindari lagi, dielak terlalu cepat, ditangkis terlalu kuat sehingga senjata penangkis patah disusul robohnya lawan!

   Akan tetapi tiba-tiba Tejolaksono mengeluarkan seruan marah. Ia melihat banyak anak buahnya roboh secara tidak wajar.

   Ada uap hitam melayang-layang dan bergerak-gerak, keluar dari fihak musuh dan uap hitam yang seperti hidup ini setiap kali menyentuh perajuritnya, perajurit itu tentu roboh pingsan dan tentu saja dengan mudah menjadi korban senjata lawan.

   Tejolaksono lalu meloncat dan sambil meneriakkan pekik Dirodo Meto ia lalu menyerbu ke arah uap hitam. Golok kanannya ia pegang dengan tangan kiri, sedangkan kini tangan kanannya ia hantamkan ke arah asap hitam itu dengan aji pukulan. Bojro Dahono.

   Berkali-kali ia memukul dan asap hitam itu terpukul buyar sampai akhirnya lenyap. Menyaksikan pemimpin mereka yang berhasil melenyapkan asap hitam yang mengerikan, para perajurit Panjalu bersorak dan timbul kembali semangat mereka. Perang menjadi makin dahsyat dan sengit.

   "Tar-tar-tar..............!!"

   Tejolaksono yang pada saat itu berhasil menancapkan sepasang goloknya memasuki perut gendut dua orang musuh, terkejut dan cepat ia merendahkan diri terus menyelinap melalui bawah tubuh dua orang musuh yang roboh.

   Ketika la meloncat bangun, ia melihat betapa hantaman kebutan merah itu yang tadinya menyambar kepalanya, kini mengenai kepala dua orang lawan yang telah ia tusuk.

   Dua buah kepala itu pecah berantakan dan dua batang tubuh roboh tanpa kepala lagi. la bergidik dan memandang kepada Ni Dewi Nilamanik dengan marah.

   "Iblis betina! Kiranya engkau berada di sini pula. Bersiaplah engkau untuk memasuki neraka jahanam!"

   Bentak Tejolaksono.

   Ni Dewi Nilamanik yang tadinya terkejut dan kecewa menyaksikan betapa serangannya yang dahsyat tadi dapat dihindarkan lawan, bahkan mengenai kepala dua orang perajurit anak buah sendiri, kini tersenyum lebar menindas kemarahannya.

   Wanita yang berusia empat puluh tahun ini masih amat cantik, apa-lagi kini ia tersenyum, kecantikannya dapat memabukkan hati pria. Sepasang matanya menyambar penuh kemesraan, seolah-olah ia hendak memikat hati Tejolaksono.

   Pakaiannya yang mewah itu tipis membayangkan bentuk tubuhnya yang masih padat dan ramping. Sesungguhnya, kalau ia teringat akan penyerbuan Tejolaksono belum lama ini di Gunung Mentasari, membunuh hampir semua anak, buahnya dan membasmi sarangnya, hatinya merasa amat mendendam dan sakit hati kepada Tejolaksono. Akan tetapi pada saat itu, Ni Dewi Nilamanik sama sekali tidak memperlihatkan kebenciannya, malah kini ia berkata dengan suara merdu,

   "Tejolaksono, harus kuakui bahwa engkau memang seorang pria yang hebat! Sungguh aku merasa sayang sekali bahwa di antara kita sampai terdapat permusuhan. Tejolaksono, agaknya masih belum terlambat kalau engkau suka menerima uluran tanganku. Untuk apakah mengobarkan permusuhan dan perang, bunuh-membunuh yang tidak ada gunanya? Bukarkkah lebih baik saling mencinta daripada saling membenci? Tejolaksono, kaupandanglah aku. Ni Dewi Nilamanik kalau perlu dapat pula menjadi Dewi Cinta. Masih kurang cantikkah aku? Pandanglah balk-balk.............

   "

   Kata-kata yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik yang berbibir merah itu bukanlah sembarang kata-kata melainkan kata-kata yang diterapkan sebagai bagian daripada ilmu guna-guna sehingga terdengar merayu-rayu dan amat merdu.

   Tejolaksono yang memandang wanita itu, merasakan getaran hebat yang menerjangnya, yang menggetarkan jantung dan yang amat kuat seperti hendak menguasai hati dan pikirannya, yang menciptakan pandangan indah sehingga wanita itu tampak cantik melebihi dewi kahyangan sendiri, yang membuat suara itu terdengar merdu, pendeknya getaran itu menciptakan segala yang serba indah, menyenangkan hati, menghilang}can semua rasa benci dan marah, membangkitkan nafsu berahi!

   Tentu saja sebagai ksatria gemblengan yang sakti mandraguna, dan yang tahu akan seperti ini, Tejolaksono dapat menguasai hatinya dalam beberapa detik saja. Akan tetapi diam-diam ia merasa terkejut dan harus ia akui bahwa kekuatan yang terkandung dalam ilmu semacam aji guna asmara yang dikerahkan wanita ini benar-benar amat mujijat dan kuat.

   Jarang kiranya ada pria, betapapun gagahnya, yang akan dapat menahan diri daripada pengaruh, guna-guna yang hebat ini.

   "Ni Dewi Nilamanik, tidak perlu lagi engkau mengeluarkan aji-ajimu yang kotor dan rendah! Betapapun cantiknya engkau, tetap saja tampak olehku betapa kotor dan hitam hatimu. Kecantikanmu hanyalah bungkus indah yang menyembunyikan sesuatu yang busuk dan kotor!"

   Senyum manis di bibir Ni Dewi Nilamanik perlahan-lahan berubah menjadi seringai yang kejam. Mata yang tadi bersinar-sinar mesra dan redup kini menyala-nyala seperti mengeluarkan api.

   "Tar-tar!!"

   Pengebut merah yang baru karena pengebut yang lama telah rusak ketika ia melawan Tejolaksono di Mentasari, kini bergerak di atas kepala Ni Dewi Nilamanik, mendahului kata-katanya yang terdengar ketus,

   "Tejolaksono! Engkau sudah bosan hidup! Apa engkau kira akan dapat lolos dari tanganku?"

   "Tidak perlu bersombong, iblis betina. Engkaulah yang kini takkan lolos daripada tanganku untuk menebus dosa-dosamu dengan kematian!"

   "Bagus! Hayo kita mencari tempat yang lapang agar dapat menentukan siapa di antara kita yang akan mampusI"

   Sambil berkata demikian, Ni Dewi Nilamanik berkelebat dan tubuhnya dengan gerakan yang amat ringan seperti terbang saja sudah berlari atau setengah melayang mendaki bagian yang lebih tinggi dekat puncak, menjauhi tempat yang telah menjadi medan perang itu.

   Tejolaksono memang ingin sekali merobohkan musuh ini karena ia maklum bahwa robohnya Ni Dewi, Nilamanik akan mempengaruhi kemenangan pasukannya. Maka ia tidak menjadi gentar dan cepat ia pun menggunakan Aji Bayu Sakti untuk mengejar lawannya.

   Setelah tiba di bawah puncak, tiba-tiba Ni Dewi Nilamanik membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak melepaskan jarum-jarum beracun yang berwarna merah pula. Inilah senjata rahasia yang halus sekali, terbuat dat'ipada besi yang besarnya hanya serambut panjangnya setengah jari.

   Namun justru karena kecilnya inilah maka jarum-jarum, ini amat berbahaya, jika dipakai menyerang, disambitkan dengan dorongan hawa sakti tidak tampak namun apabila mengenai tubuh lawan akan menembus masuk kulit daging sehingga sukar untuk dikeluarkan lagi.

   Lebih mengerikan lagi karena jarum-jarum ini sebelumnya telah direndam racun yang dibuat daripada air liur ular bandotan!

   Tejolaksono yang sudah waspada dapat menduga akan datangnya serangan ini, apalagi pandang matanya yang tajam dapat melihat berkelebatnya benda-benda halus yang menyambar ke arahnya itu, juga pendengaran telinganya yang terlatih dapat menangkap suara berdesir, halus dari jarum-jarum. Maka ia cepat memutar goloknya depan tubuh tanpa menghentikan pengejarannya.

   Terdengar suara berdencing dan jarum-jarum itu terpukul runtuh ke kanan kiri.

   Dengan marah dan penuh semangat Tejolaksono meloncat ke depan, mengejar lawannya yang kini sudah berdiri menantinya dengan senyum mengejek dan kebutan merah di tangan. Akan tetapi pada saat itu, muncul tiga orang yang memiliki gerakan gesit dan mereka ini segera berdiri di empat penjuru sehingga

   Tejolaksono terkurung di tengah-tengah. Ketika adipati yang sakti mandraguna ini memandang , ia segera mengenal mereka dan kemarahannya tersinar dari pandang matanya yang tajam. Mereka itu bukan lain adalah Cekel Wisangkoro, Ki Kolohangkoro, dan Sariwuni si wanita cantik genit yang sudah menggodanya.

   "Hemm, bagus sekali! Memang kalian inilah yang menjadi biang keladi dan sudah lama kucari-cari!"

   Kata Tejolaksono sambil mengangkat dada dan siap dengan sepasang goloknya. Ia tahu bahwa empat orang itu bukanlah lawan lemah, dan maklum pula bahwa ia tentu akan dikeroyok, maka ia bersikap tenang dan tidak berani memandang rendah, hanya menanti empat lawannya bergerak.

   "Heh-heh-heh-heh, Tejolaksono, kau sombong benar!"

   Kata Cekel Wisangkoro, kakek berusia lima puluh tahun yang rambutnya terurai penuh uban ini. Karena merasa yakin bahwa kali ini dia dan teman-temannya akan berhasil membunuh Tejolaksono, maka kakek ini tertawa-tawa gembira.

   Seperti biasa rambut kakek yang penuh uban ini terurai sampai ke pinggang. Jubahnya kuning panjang dan kakinya telanjang. Mukanya yang merah itu berkulit halus seperti muka kanak-kanak, dan tubuhnya yang kurus tinggi masih kelihatan kuat. Tongkat hitam berbentuk ular di tangannya mengkilat seperti hidup, dilintangkan depan dada. Dia ini adalah murid yang tekun dari Wasi Bagaspati, maka tentu saja memiliki ilmu yang tinggi.

   

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini