Badai Laut Selatan 29
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
"Aku mendengar, Ayu."
"Joko engkau tahu bahwa kini aku tidak punya siapa-siapa lagi..."
Ia terisak lalu menyambung.
"...Aku sebatangkara di dunia... aku hanya... hanya punya... engkau, Joko. Katakanlah, Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Berdebar jantung Joko Wandiro. Bagaimana ia harus menjawab? la masih tidak tega untuk membuka rahasia yang akan rnenghancurkan hati dara itu. Karena itu ia mengalihkan kepada soal lain.
"Apa yang harus kau lakukan, Ayu? Kurasa sementara ini tidak ada apa-apa. Aku setuju dengan pesan ayahmu bahwa kita... eh, kau tidak perlu mencari musuh, tidak perlu memperbesar permusuhan."
Sebagai murid Ki Patih Narotama, tentu saja Joko Wandiro sudah mendapat gemblengan batin yang hebat sehingga ia dapat mengatasi rasa dendam karena kematian ibunya dibunuh orang. Ayu Candra mengangkat mukanya dari dada Joko Wandiro. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu ia nampak makin jelita sehingga Joko Wandiro mengerutkan kening dan terpaksa ia mengalihkan pandang matanya.
"Hal itu harus kupertimbangkan lebih dulu, Joko. Memang semestinya aku mentaati pesan ayah, akan tetapi bagaimana mungkin aku diam saja karena ayah dan ibuku terbunuh orang? Akan kuselidiki mengapa ayah dan ibu sampai tewas di tangan orang dan Apa pula sebabnya ayah meninggalkan pesan seperti itu..."
"Mungkin karena musuh itu luar biasa saktinya, Ayu. Melihat luka di dada ayahmu, memang pukulan itu amat luar biasa, keji dan hanya dapat dilakukan orang yang sakti mandraguna. Agaknya ayahmu tidak ingin engkau bermusuhan dengan orang sakti itu, demi keselamatanmu sendiri."
"Kalau itu sebabnya, tidak mungkin aku berdiam diri saja!"
Ayu Candra berkata marah, mencabut sebatang rumput dan mengigit-gigit rumput itu di antara kedua baris giginya.
"Kalau sebabnya hanya karena musuh amat sakti, aku tidak takut. Dan aku yakin bahwa engkau akan suka membantuku. Bukankah engkau suka membantuku, Joko?"
"Tentu saja, Ayu. Akan tetapi amatlah tidak baik kalau tidak mentaati pesan terakhir ayahmu sendiri. Ada hal yang lebih penting... lagi"
"Hal Apa lagi? Kalau menurut pendapatmu, aku harus bagaimana?"
"Daripada mencari musuh yang tidak diketahui siapa dan yang dilarang pula oleh ayahmu, lebih baik apabila engkau mentaati pesan ayahmu, pergi mencari Joko Seto tunanganmu, Ayu"
Tiba-tiba Ayu Candra meloncat bangun dan berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak.
"Tidak mungkin!!"
Ia membanting-banting kaki kanannya. Joko Wandiro juga bangkit berdiri, membujuk.
"Mengapa tidak mungkin, Ayu? Ayahmu sudah meninggalkan pesan yang amat jelas. Joko Seto adalah putera Ki Darmobroto di kaki Gunung Merbabu. Biarlah aku membantumu, Ayu. Kita pergi bersama mencari rumah calon mertuamu..."
"Joko...!!!"
Ayu Candra menjerit, sepasang mata yang tadinya bersinar sayu itu kini memancarkan api kemarahan.
"Sekejam itukah hatimu? Seganas itukah engkau hendak menyiksa hatiku? Engkau hendak membalas karena engkau marah mendengar ayah menjodohkan aku dengan orang Iain? Joko, kau tahu bahwa itu kehendak ayah, bukan kehendakku, dan ayah tidak tahu bahwa ada engkau.."
"Ah, engkau salah mengerti, Ayu. Aku bicara dengan hati tulus ikhlas, aku tidak menyindir, tidak ingin merusak hatimu, Ayu, percayalah, sebaiknya kalau aku antarkan engkau mencari tunanganmu...!"
"Cukup!!"
Kembali Ayu Candra menjerit.
"Joko, engkau... engkau tega mengeluarkan kata-kata seperti itu setelah kau tahu bahwa hal itu tidak mungkin kulakukan? kau masih bicara seperti itu padahal engkau tahu bahwa aku"
Aku bahwa kita... ah, Joko, tak tahukah kau bahwa tak mungkin aku menjadi... isteri orang lain? Ataukah... kau kini hendak mengaku bahwa sikapmu yang lalu itu hanya palsu belaka? Engkau sengaja hendak mempermainkan aku?"
Joko Wandiro meramkan kedua matanya. Jantungnya terasa dibetot-betot, ditusuk-tusuk. Ia masih meramkan kedua mata menahan keluarnya air mata ketika menjawab dengan suara gemetar,
"Ayu Candra..., adikku sayang... ketahuilah, hal itu tidak mungkin... antara kita... aku... aku adalah Joko Wandiro, aku... kita kakak adik sekandung... ibumu adalah ibuku, berlainan... ayah"
"Aduh Gusti!!"
Tubuh Ayu Candra menjadi limbung dan tak dapat berdiri lagi, lemas seluruh sendi tulangnya. Ia jatuh berlutut dan menangis, mengguguk di belakang kedua telapak tangannya. Kenyataan yang menjadi pukulan ke dua benar-benar meremukkan kalbunya. Kematian ayah-bundanya membuat ia kehilangan pegangan, sebatangkara di dunia. Namun di sana masih ada Joko yang telah merebut hatinya, orang yang dicintanya sepenuh jiwa raga, yang menjadi pegangan terakhir baginya. Kini pegangan itupun direnggut kenyataan bahwa laki-laki yang dipuja dalam hatinya itu adalah kakak tirinya, sekandung, dan bahwa ia harus ikut dengan laki-laki lain, menjadi isteri laki-laki lain.
"Ayah ibu... kenapa tidak membawaku bersama? Kenapa meninggalkan aku hidup seorang diri menderita siksa ini...?"
Ia merintih di antara tangisnya.
"Jagad Dewa Batara kuatkanlah batin hamba!"
Joko Wandiro berdoa sambil menekan perasaannya, menarik napas panjang beberapa kali. Setelah guncangan batin itu mereda dan kedua matanya tidak terasa panas lagi, ia membuka matanya. Sambil menggeleng-geleng kepala ia memandang dara yang mengguguk dalam tangisnya itu. Beberapa kali ia menggerakkan bibir, namun suara hatinya tak terucapkan. Lalu ia mendekat dan berlutut pula, menyentuh kepala Ayu Candra.
"Ayu, adikku jangan engkau khawatir. Ada kakakmu disini, aku pengganti ayah-bundamu, aku akan mengantarmu mencari Joko Seto tunanganmu."
Ia berkata dengan suara halus menghibur. Tiba-tiba Ayu Candra menghentikan tangisnya, menurunkan kedua tangannya dan wajah yang kini berada di depan Joko Wandiro dan memandangnya, adalah sebuah wajah pucat sekali dengan sepasang mata yang telah lenyap sinar dan semangatnya. Ayu Candra memandang sejenak, lalu meloncat bangun sambil menjerit,
"Tidak! Tidak!!"
Kemudian ia lari meninggalkan Joko Wandiro yang masih berlutut di atas tanah. Joko Wandiro meloncat pula berdiri, akan tetapi mengurungkan niatnya mengejar. Ia menarik napas panjang, wajahnya juga pucat dan ia malah kembali ke pinggir telaga.
Percuma menemui Ayu Candra pada saat itu, pikirnya. Dara itu baru saja mengalami pukulan batin yang luar biasa hebatnya. Sedangkan dia sendiri yang hanya kehilangan ibu kandung yang belum pernah dilihatnya dan mendengar bahwa dara yang dikasihinya itu ternyata adik sendiri, sudah merasa betapa jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Apalagi Ayu Candra yang kehilangan ayah-bunda yang tak pernah berpisah semenjak kecil, yang amat dicintanya, ditambah lagi kenyataan bahwa satu-satunya orang yang diharapkannya ternyata adalah kakak sendiri dan karena itu terpaksa mereka akan berpisah pula karena ia harus menikah dengan laki-laki lain. Penderitaan yang berat, terutama bagi seorang wanita yang perasaannya tentu lebih halus. Pagi hari sampai sore, sehari penuh, Joko Wandiro duduk termenung di pinggir telaga.
Tidak pernah ia berkisar dari tempat duduknya, merenungi nasibnya yang buruk. Dalam renungannya ini, tampaklah jelas-jelas dalam ingatannya betapa tepat sekali wejangan gurunya. Ki Patih Narotama pernah memberi wejangan kepadanya, bahwa sekali hati menikmati kesenangan, maka hati itu pun takkan kebal terhadap kedukaan. Atau, singkatnya, siapa menikmati kesenangan harus siap untuk menderita kedukaan. Sebelum ia bertemu dengan Ayu Candra hatinya kosong, batinnya tenang dan ia berada dalam kebahagiaan, karena sesungguhnya kebahagiaan letaknya di antara susah dan senang, letaknya di tengah-tengah di mana tiada kesenangan dan kesusahan. Akan tetapi, begitu berjumpa dengan Ayu Candra, hatinya jatuh, darah mudanya menuntut dan menggelora, dan ia menikmati perasaan senang yang luar biasa.
Siapa kira, baru beberapa hari saja, saudara kembar kesenangan, ialah kedukaan, muncul dan menggantikan kedudukan dalam hatinya. Lenyap kesenangan, datang kedukaan! Menjelang senja hari itu, batin Joko Wandiro mulai tenang setelah ia teringat akan pelajaran gurunya ini. la bangkit dan merasa heran bercampur kaget melihat bahwa cuaca sudah mulai gelap. Tidak disangkanya bahwa saat itu sudah senja. Tidak terasa waktu terlewat sedemikian cepatnya. Ia teringat akan Ayu Candra dan ia bernapas panjang dengan hati lega. Wejangan gurunya itu menyadarkannya dan kini ia mengenang Ayu Candra dengan hati lega, menganggap dara itu adiknya dan mulailah ia dapat mengganti rasa kasihnya dengan kasih seorang kakak.
"Kasihan Ayu, aku harus menghiburnya...!!"
Ia lalu berjalan perlahan menuju ke pondok. Pondok itu sunyi, sesunyi hati Joko Wandiro. Lebih sunyi lagi hatinya ketika ia memasuki pintu pondok dan mendapatkan pondok itu kosong.
Ke manakah perginya Ayu Candra? Ia keluar lagi dan mencari-cari di sekitar pondok. Tidak hanya Ayu Candra, juga Ki Jatoko tidak tampak! Rasa khawatir menyelinap di dada Joko Wandiro. Ia mulai memanggil-manggil, tiada jawaban. Kemudian ia memasuki pondok, memasuki bilik dara itu. Semua pakaian Ayu Candrapun tidak ada lagi di dalam bilik. Jelas kini bahwa Ayu Candra telah pergi, pergi meninggalkan Sarangan, meninggalkan pondok, meninggalkan dia. Joko Wandiro duduk di atas bangku depan pondok, keningnya berkerut. Kalau Ayu Candra pergi seorang diri, hal itu tidak akan menggelisahkan hatinya benar. Dara itu cukup perkasa, cukup mampu menjaga keselamatan diri sendiri. Akan tetapi, yang benar-benar mencemaskan hatinya adalah lenyapnya Ki Jatoko, laki-laki buntung itu.
Ia tidak percaya kepada Ki Jatoko dan kalau Ayu Candra pergi bersama Ki Jatoko, benar benar membuat hatinya tidak enak. Berpikir demikian, Joko Wandiro lalu meloncat dan lari untuk mencari jejak dan mengejar. Sebentar saja ia telah meninggalkan tempat itu. Memang tepat Apa yang dikhawatirkan Joko Wandiro itu. Ayu Candra bukan pergi seorang diri, melainkan bersama Ki Jatoko. Dan juga kepergiannya atas bujukan Ki Jatoko pula. Ketika tadi ia meninggalkan Joko Wandiro sambil menangis, Ki Jatoko menyambutnya. Dara ini tidak tahu bahwa orang buntung yang kelihatannya lemah itu sesungguhnya berilmu tinggi dan tadipun telah mendengarkan semua percakapannya dengan Joko Wandiro. Ketika dara itu meninggalkan Joko Wandiro dan berlari ke pondok, Ki Jatoko telah mendahuluinya dan kini menyambut dara itu dengan muka serius.
"Kasihan sekali engkau, nini!"
Suara Ki Jatoko menggetarkan keharuan, karena sesungguhnya Ki Jatoko memang menaruh rasa iba yang amat besar terhadap gadis yang diam-diam dicintanya itu.
Ki Jatoko selama hidupnya belum pernah mencinta orang, mencinta dalam arti kata yang semurninya. Biasanya ia mencinta wanita berdasarkan nafsu berahi semata. Kini entah bagaimana, ia betul-betul jatuh cinta dan melihat gadis itu berduka, ia merasa kasihan dan juga ikut menderita. Namun di samping perasaan ini, kelicikan juga membuat ia melihat kesempatan baik sekali untuk melaksanakan maksud dan niat hatinya. Orang yang sedang berduka dan tertimpa malapetaka, apalagi kalau ia wanita, paling tidak kuat mendengar orang yang menyatakan iba hatinya.Mendengar ucapan Ki Jatoko yang menggetar penuh keharuan, makin menggungguk tangis Ayu Candra. Dara ini menjatuhkan diri duduk di atas bangku depan pondok, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis, memanggil-manggil ayah ibunya.
"Ayu Candra, aku mengerti betapa sakit hatimu dan betapa engkaupun bingung karena tidak tahu siapa pembunuh ayah-bundamu. Akan tetapi jangan khawatir, bocah ayu, pamanmu ini jelek-jelek tahu siapa musuh besarmu dan percayalah, aku bersumpah kepada Dewa yang Maha Agung untuk membantumu mencari musuh-musuhmu dan membalaskan sakit hatimu."
Seketika Ayu Candra menghentikan tangisnya. Ia menurunkan tangan dan memandang laki-Iaki buntung itu dengan mata terbelalak kaget.
"Engkau... engkau tahu betul siapa pembunuh ayah-bundaku, paman...?"
Ki Jatoko mengangguk-angguk dan memandang kedua kakinya yang buntung, lalu menarik napas panjang.
"Tidak hanya tahu, bahkan musuhmu itu juga musuh besarku, Ayu Candra. Ketika ayahmu dalam pesannya mengatakan bahwa ibumu adalah ibu Joko Wandiro, maka jelaslah semua bagiku. Bukankah ibumu itu bernama Listyokumolo?"
Lenyap seketika keraguan hati Ayu Candra. Ia ingat betul bahwa selama ini tidak pernah ia menyebutkan nama ibu kandungnya. Dari mana si buntung ini mengetahui nama ibunya kalau tidak memang mengetahui hal ini sejak dahulu? Akan tetapi kalau tahu nama ibunya mengapa tidak mengenal Joko Wandiro? Betapapun juga, peringatan Joko Wandiro kepadanya agar ia berhati-hati terhadap orang buntung ini membuat Ayu Candra berhati-hati. Ia cukup cerdik, maka untuk meyakinkan hatinya, ia bertanya,
"Paman Jatoko, kalau engkau mengenal ibuku, tentu engkau mengenal pula puteranya yang bernama Joko Wandiro."
Ki Jatoko menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku tidak pernah melihat puteranya karena puteranya itu hilang ketlka masih kecil, diculik musuhnya, Ibu kandungmu, kalau benar dia itu ibu Joko Wandiro, tentu bernama Listyokumolo. Dahulu ibumu itu adalah Isteri Raden Wisangjiwo, putera kadipaten di Selopenangkep. Nah, kemudian muncullah musuh besar keluarganya, menculik ibumu dan puteranya yang baru berusla setahun bernama Joko Wandiro. Agaknya kemudian ibumu menikah dengan ayahmu dan mempunyai anak engkau ini. Mendengar ucapan mendiang ayahmu, tidak salah lagi, ibu dan ayahmu tentu pergi mencari Joko Wandiro itu dan bertemu dengan penculik yang menjadi musuh besarnya, kemudian bertanding. Memang musuh besarnya itu amat sakti mandraguna sehingga ibumu tewas dan ayahmu terluka hebat. Tidak bisa salah lagi. Aku sendiri mengalaminya. Kedua kakiku ini buntung karena mereka"
"Mereka...?"
Ki Jatoko mengangguk-angguk.
"Ya, selain dia... sendiri... sakti mandraguna, si keparat itu masih mempunyai dua orang isteri yang juga tinggi ilmunya. Karena itu tidaklah mudah bagimu untuk membalas dendam. Akan tetapi kalau engkau percaya kepadaku, aku dapat membawamu. Asal saja engkau tidak bicara kepada siapapun juga, jangan pula kepada orang muda temanmu itu."
Kini lenyaplah semua syak wasangka di hati Ayu Candra, namun ia masih bertanya lagi,
"Paman Jatoko, bagaimana paman tahu akan hal itu semua?"
"Ayu Candra, engkau masih tidak percaya kepadaku? Aku adalah seorang penduduk Kadipaten Selopenangkep, tentu saja peristiwa yang menimpa keluarga Selopenangkep itu kuketahui jelas. Sekarang, hendak kutanya kepadamu. Apakah kau tidak ingin membalaskan kematian ayah-bundamu?"
Ayu Candra bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya.
"Tentu saja!"
Jawabnya penuh kemarahan dan dendam.
"Bagus! Kalau begitu, hayo kita berangkat sekarang juga."
"Beri tahu saya, paman. Siapa musuhku Itu dan di mana dia?"
Ki Jatoko menggeleng kepalanya.
"Tidak bisa. Mereka itu berpindah-pindah, hanya aku yang akan dapat mencari mereka. Akupun menaruh dendam, akan tetapi aku sudah cacat, sudah buntung. Aku mengharapkan engkau akan dapat membalas mereka, dan aku harus menyaksikannya dan membantumu. Marilah!"
Tanpa disadarinya, Ayu Candra menoleh ke arah telaga. Hatinya berdebar keras. Girang bahwa ia kini mendapat jalan untuk membalaskan sakit hati ayah-bundanya. Akan tetapi teringat kepada Joko Wandiro, ia bersangsi.
"Aku akan memberitahu lebih dahulu kepadanya"
"Apa?? Kepada pemuda itu? kau keliru, rahasia pribadi yang begini penting tidak boleh sekali-kali diberitahukan orang lain."
"Paman Jatoko, hal yang ajaib telah terjadi. Engkau tidak tahu. kau kira siapakah pemuda itu? Dialah Joko Wandiro... kakak kandungku Dialah putera... ibuku."
Tidak dapat ditahan lagi, ucapan yang menusuk perasaannya ini kembali mendorong keluar air matanya. Ki Jatoko benar-benar kaget dan tanpa disadarinya lagi ia lupa bahwa ia sedang bersandiwara, pura-pura menjadi orang tapadaksa yang lemah. Tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali lalu melayang turun bagaikan seekor burung garuda, kedua kaki buntungnya hinggap kembali di atas tanah tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya ringan dan gerakannya tadi cepat. Karena ia menggunakan aji meringankan tubuh Bayu Sakti, tentu saja hebat sekali sehingga Ayu Candra yang tidak menduganya semula, memandang dengan bengong.
"Wah, kiranya engkau berkepandaian hebat, paman Jatoko!"
Serunya terheran-heran. Ki Jatoko menyesal mengapa ia tidak dapat menguasai dirinya sehingga membuka rahasianya sendiri. Ia menghela napas. Sungguh mengagetkan sekali kenyataan bahwa pemuda yang gerak-geriknya tangkas itu adalah Joko Wandiro, putera Wisangjiwo yang dahulu lenyap diculik Pujo.
"Aku mengerti sedikit ilmu, karenanya aku akan membantumu dalam menghadapi musuh kita, Ayu Candra. Akan tetapi, setelah sekarang aku tahu bahwa pemuda itu adalah Joko Wandiro, lebih-lebih lagi kau tidak boleh bicara tentang membalas dendam kepada musuh kita itu kepadanya!"
"Eh, mengapa, paman? Bukankah musuhku berarti musuhnya pula? Pembunuh ibuku berarti pembunuh ibunya pula?"
"Engkau tidak tahu, Ayu Candra. seperti sudah kuceritakan tadi, ketika ibumu diculik oleh musuh besar keluarganya, Joko Wandiro baru berusia setahun. Kemudian ibumu dibebaskan oleh musuhnya, akan tetapi Joko Wandiro tidak dibebaskan bahkan diambil sebagai murid! Nah, pemuda itu semenjak kecil dipelihara dan dididik oleh musuh besar keluarganya. Sudah tentu hatinya lebih berat kepada gurunya daripada kepada ibunya yang semenjak ia berusia satu tahun tidak pernah dilihatnya. Kalau sekarang kau mengatakan bahwa kau dan aku hendak membalas dendam kepada gurunya, kalau dia tidak melawan kita, tentu ia akan memberi tahu kepada gurunya supaya musuh besar kita itu menyembunyikan diri!"
Berkerut kening Ayu Candra. Teringat ia betapa tadi Joko Wandiro juga mengeluarkan kata-kata mencegah ia membalas dendam kepada musuh! Tentu saja Joko Wandiro sudah dapat menduga bahwa yang membunuh ibunya adalah gurunya sendiri, guru yang semenjak ia berusia setahun telah memelihara dan mendidiknya. Kekecewaan hatinya karena laki-laki yang dicintanya itu ternyata saudara sekandung, kini berubah menjadi kemarahan.
"Hemm, dia murid musuh besarku...?"
Ia bersungut-sungut.
"Betul, nini. Kalau saja dia itu bukan putera ibumu sendiri, tentu sekarang juga kuajak engkau menyerangnya!"
Ayu Candra termenung, kemudian ia mengambil keputusan tetap,
"Paman Jatoko, aku ikut bersamamu!"
Demikianlah, tak lama kemudian sambil membawa buntalan pakaiannya, Ayu Candra pergi bersama Ki Jatoko yang kini tidak lagi menyembunyikan kepandaiannya sehingga Ayu Candra makin terkejut dan kagum karena laki-laki itu ternyata dapat berlari lebih cepat daripadanya! Di antara para pangeran dan puteri Kerajaan Jenggala, yang paling suka dan akrab dengan Endang Patibroto hanyalah kakak beradik, putera dan puteri sri baginda dari selir yang ke lima. Pangeran Panjirawit dan adiknya, Puteri Mayagaluh segera menjadi sahabat baik Endang Patibroto setelah dara perkasa ini menjadi kepala pengawal istana Jenggala. Yang menarik kedua orang muda bangsawan itu adalah karena Endang Patibroto seorang yang sakti mandraguna. Di antara putera dan puteri Raja, hanya mereka berdua inilah yang suka akan olah keperwiraan dan ketangkasan.
Ibu mereka yang menjadi selir ke lima sri baginda adalah seorang bekas perajurit wanita, puteri seorang senopati Kahuripan, maka tidak mengherankan apabila puteri tunggalnya suka pula akan ilmu keperajuritan. Kesukaan akan ilmu ini agaknya menurun pula kepada Pangeran Panjirawit dan adiknya sehingga semenjak kecil dua orang putera dan puteri ini suka mempelajari ilmu silat. Di samping kesukaan akan aji kedigdayaan, juga kakak beradik bangsawan ini memiliki watak yang periang, ramah dan tidak sombong seperti putera-putera Raja lainnya. Agaknya hal ini yang membuat Endang Patibroto suka pula kepadanya dan ia tidak menolak ketika mereka menariknya sebagai sahabat dan sering pula ia memberi petunjuk kepada mereka tentang ilmu ketangkasan.
Semenjak dua orang muda bangsawan itu menjadi sahabat baik Endang Patibroto mereka bertiga seringkali keluar dari istana, menunggang kuda dan pergi ke hutan berburu binatang hutan. Akan tetapi selalu Endang Patibroto yang menjadi pimpinan dan kakak beradik bangsawan itu hanya menurut saja ke mana Endang Patibroto pergi. Mereka tidak pula menolak ketika pada suatu hari Endang Patibroto mengajak mereka pergi merantau jauh ke barat sampai ke Telaga Sarangan. seperti telah diceritakan di bagian depan, dalam perjalanan ini, ketika lewat dekat Sarangan, kuda Endang Patibroto terkejut oleh suara gerengan harimau yang bertanding melawan Joko Wandiro.
Endang Patibroto marah dan turun dari kudanya, terus berkelebat lenyap memasuki hutan sampai ke pinggir telaga. Ia membunuh harimau dan melukai Ayu Candra yang dianggapnya kurang ajar kepadanya. Ketika ia bertemu pandang dengan Joko Wandiro, ia merasa seperti kenal pemuda Itu, akan tetapi ia lupa lagi dan ia kagum melihat pemuda itu berhasil menghindarkan diri dari serangan anak panahnya. Padahal biasanya anak panahnya itu seratus kali lepas tiada satupun luput. Namun ia sudah puas melihat dara cantik itu terkena anak panahnya, karena yang kurang ajar kepadanya hanya dara cantik itu saja, maka ia lalu pergi melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Panjirawit dan Puteri Mayagaluh.
Tiga orang muda ini usianya hampir sebaya. Pangeran Panjirawit berusia dua puluh satu tahun, Endang Patibroto berusia delapan belas tahun, dan Puteri Mayagaluh tujuh belas tahun. Mendengar mereka bercakap-cakap dan bersenda-gurau secara bebas sungguh sukar diduga bahwa yang dua adalah putera Raja Jenggala sedangkan yang seorang, wanita lagi, adalah seorang hamba sungguhpun pangkatnya cukup tinggi, yaitu kepala pengawal dalam istana Jenggala. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilihan, namun harus diakui bahwa di antara mereka bertiga, Endang Patibroto yang paling tangkas dan pandai menunggang kuda.
Hal ini adalah berkat kesaktiannya yang jauh berada di atas tingkat putera-puteri Raja itu. Tentu saja kalau bicara tentang latihan, Endang Patibroto kalah terlatih. Putera dan puteri itu sejak kecil sudah biasa menunggang kuda yang besar, sedangkan Endang Patibroto sendiri baru saja, belum genap setahun, melatih ilmu menunggang kuda. Akan tetapi, karena hawa sakti di tubuhnya yang luar biasa, sebentar saja ia menguasai ilmu ini dan malah lebih mahir daripada yang sudah berlatih puluhan tahun. Setiap gerak kedua kakinya, setiap hentakan kendali, demikian bertenaga dan antep. Hal ini terasa oleh kuda yang ditungganginya sehingga kuda itu menjadi penurut sekali. Tujuan perjalanan Endang Patibroto kali ini adalah Bayuwismo di Sungapan! Sudah bertahun-tahun ia rindu kepada ibunya.
Ketika ia berada di Pulau Iblis bersama gurunya, Dibyo Marnangkoro ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mencari ibunya. Bahkan ia tak pernah menyebut-nyebut tentang ibunya di depan gurunya. Sekarang, setelah ia hidup bebas bahkan menduduki pangkat tlnggi dl Jenggala, ia banyak menganggur dan teringatlan ia kepada ibunya. Kesempatan berburu binatang dengan dua orang muda bangsawan itu ia pergunakan untuk terus pergi ke barat, mencari ibunya. Ibunya pernah mengatakan dahulu bahwa kampung halaman ibunya adalah Bayuwismo di Sungapan, di pantai Laut Selatan. Makin dekat dengan Bayuwismo, makin gembira hati Endang Patibroto. Ketika melewati Pegunungan Seribu dan mendengar keterangan dari seorang penduduk bahwa Bayuwismo tidak jauh lagi, ia lalu berkata kepada kedua orang sahabatnya,
"Gusti pangeran dan gusti puteri, tempat tinggal ibuku tidak jauh lagi. Jalan ini terus ke selatan sampai di pantai laut, di sanalah tempat tinggal ibuku. Mari kita berlomba!"
Tanpa menanti jawaban, Endang Patibroto membalapkan kudanya menuju ke selatan.
"Jangan tergesa-gesa..."
Pangeran Panjirawit menegur, akan tetapi melihat Endang Patibroto tidak memperdulikannya, ia menoleh kepada adlknya.
"Mari kita kejar dia!"
Tiga ekor kuda itu membalaplah. Mereka melalui jalan-jalan yang cukup sukar karena Pegunungan Seribu belum juga habis. Selain jalan-jalan sukar juga mereka melalui hutan-hutan kecil yang cukup lebat. Makin lama Endang Patibroto makin jauh meninggalkan dua orang sahabatnya. Pangeran Panjirawit yang sudah berbulan-bulan jatuh hati kepada Endang Patibroto, tidak mau tertinggal jauh, lalu membalapkan kudanya mengejar. Puteri Mayagaluh tentu saja masih kalah oleh kakaknya. Betapapun ia membedal kudanya, la maslh tertinggal dan akhirnya bayangan kakaknyapun lenyap dan derap kaki kuda hanya terdengar jauh di depan. Namun, karena puteri itu bukan seorang lemah, bukan pula penakut dan memiliki jiwa satria, dia mengglglt bibir, membedal kudanya, menjepit perut kuda dengan kedua betisnya yang halus dan putih, terus berusaha mengejar.
Pangeran Panjirawit tetap tak bisa menyusul Endang Patibroto dan akhirnya ia teringat kepada adiknya. la menahan kudanya dan melihat adiknya membalap dengan cepat sekali. Ia tersenyum, membiarkan adiknya lewat kemudian ia yang mengejar dari belakang. Biarpun ia menang mahir dalam hal menunggang kuda, namun ia harus mengakui bahwa kuda yang ditunggangi adiknya itu lebih baik daripada kudanya sendiri. Tidak lama kemudian, kuda tunggangan Pangeran Panjirawit terhuyung-huyung. Pangeran itu terkejut lalu menahan kudanya, dan membiarkan kudanya membereskan napasnya yang sudah hampir putus itu. Ketika napas kudanya mereda dan ia mengejar lagi, ia sudah tidak melihat bayangan adiknya.
Ternyata Bayuwismo yang dikatakan oleh penduduk gunung disebut dekat itu sama sekali tidak dekat. Setelah naik turun gunung dan melalui hutan-hutan, belum juga Pangeran Panjirawit melihat pantai. Mulailah hatinya menjadi gelisah. Ia mengejar terus dan seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika ia berhasil tiba di Bayuwismo setelah berputaran mencari adiknya dan tersesat ke sana-sini, ia tetap tidak bertemu dengan Puteri Mayagaluh. Adiknya itu telah lenyap tidak meninggalkan jejak! Ke manakah perginya Puteri Mayagaluh? Ia memang tersesat seperti juga kakaknya dan lebih daripada itu, ia tertimpa bencana!
Sebagai seorang puteri, biarpun ia seringkali pergi berburu, akan tetapi biasanya ia berteman dan hutan yang didatanginya adalah hutan yang sudah dikenalnya. Kini untuk pertama kalinya ia berkuda seorang diri melalui pegunungan yang asing, ditambah banyak hutan-hutan liar sehingga tanpa disadarinya, ia bukannya membalapkan kuda menuju ke selatan lagi, melainkan ke arah barat! Karena makin lama hutan itu makin lebat dan ia masih juga belum mampu menyusul Endang Patibroto, setelah agak lama timbul kekhawatiran hatinya. Ia memperlambat jalannya kuda untuk menanti kakaknya. Akan tetapi alangkah cemas hatinya ketika ditunggu-tunggu, kakaknya belum juga muncul, bahkan derap kaki kuda kakaknya juga tidak terdengar sama sekali!
Puteri ini memang berhati tabah, akan tetapi setelah malam tiba, hatinya penuh rasa takut juga. Untung baginya, semenjak ia seringkali berburu binatang bersama Endang Patibroto, ia memperoleh banyak pengalaman sehingga ia memberanikan diri naik ke pohon untuk melewatkan malam itu, sedangkan kudanya ia cancang di bawah. Pada keesokan harinya, ia melanjutkan usaha mencari Endang Patibroto atau rakandanya, akan tetapi makin lama ia tersesat makin jauh. Puteri Raja ini berkeliaran seorang diri di dalam hutan. Dapat dibayangkan betapa bingung dan gelisah hatinya setelah berhari-hari ia tidak dapat bertemu dengan dua orang yang dicari-carinya itu, bahkan tidak pernah bertemu dengan seorang manusiapun.
Daerah Pegunungan Kidul adalah daerah pegunungan batu kapur yang tidak subur dan tandus sehingga orang-orang tidak suka tinggal di daerah ini. Itulah scbabnya mengapa Puteri Mayagaluh tak pernah melihat pedusunan. Ia menunggang kudanya, kadang-kadang menuntunnya, berkeliaran, tak tahu bahwa beberapa kali ia kembali ke tempat yang itu-itu juga karena tidak mengenal Jalan. Dalam waktu beberapa hari saja, wajah puteri itu menjadi pucat, tubuhnya kurus dan rambutnya kusut. la hanya makan kalau terlalu lapar saja, makan seadanya sekedar menyambung hidup. Masih untung baginya, banyak pohon kelapa di daerah ini, dan ada pula beberapa ekor binatang seperti kelinci dan kijang yang ia robohkan dengan anak panah dan ia panggang dagingnya.
Setelah kurang lebih sepuluh hari ia berkeliaran di dalam hutan-hutan di daerah Pegunungan Kidul ini, akhirnya Puteri Mayagaluh mengambil keputusan untuk pulang sendiri ke Jenggala, meninggalkan Endang Patibroto dan Pangeran Panjirawit yang tak diketahuinya berada dimana itu. la hanya tahu bahwa Jenggala berada jauh di sebelah tirnur, karena ketika melakukan perjalanan dari Kerajaan, mereka bertiga terus pergi ke barat. Karena inilah, maka setelah bermalam lagi dalam hutan, pada keesokan harinya sang puteri menjalankan kudanya menuju ke arah matahari terbit, yaitu ke timur. Kalau aku terus menuju ke timur, akhirnya tentu sampai ke Jenggala, pikirnya. Di tengah jalan ia dapat bertanya kepada orang yang dijumpainya.
(Lanjut ke Jilid 29)
Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "
Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
Ia sama sekali tidak tahu bahwa Pegunungan Kidul merupakan sebaris pegunungan yang tiada putusnya, pegunungan yang seakan-akan merupakan tanggul yang membendung laut Selatan di sepanjang pantai selatan.
Pegunungan Kidul ini terus berbaris sepanjang pantai selatan sampai jauh di sebelah timur, bahkan sambung-menyambung sampai di pegunungan scbelah selatan Kerajaan Jenggala sendiri! Karena sang puteri mengambil jalan langsung ke timur dari pegunungan, tentu saja la tidak pernah terbebas dari daerah pegunungan sehingga berhari-hari la terus menerus naik turun gunung kecil, melakukan perjalanan yang amat sukar dan lambat. Selama tiga hari ia melakukan perjalanan dan gunung-gunung itu belum juga habis, dusun belum juga ditemukan!. Pada hari ke empatnya, ketika pagi pagi ia sudah menuntun kudanya pada jalan sempit yang amat sukar, tiba-tiba terdengar bentakan orang.
"Orang yang lewat, tinggalkan kuda dan pakaian!"
Dari balik semak-semak belukar meloncat keluar lima orang laki-laki tinggi besar yang berdiri menghadang di dcpan. Mayagaluh kaget sekali schingga mukanya berubah pucat akan tetapi kelirna orang itu lebih kaget dan heran ketika sekarang melihat penuntun kuda yang mereka cegat itu kiranya seorang dara muda yang amat cantik jelita dan berpakaian serba indah!
Tentu saja perampok-perampok ini menjadi girang sekali. Kuda itu amat bagus dan tentu mahal harganya. Pakaian wanita itupun amat mewah dan halus, apalagi perhiasan perhiasan emas permata itu. Disamping ini, wanita itu sendiri amat cantik menarik, seperti dewi kahyangan. Puteri Mayagaluh memandang dengan mata tcrbelalak. Lima orang itu bertubuh tinggi besar dan berwajah galak, terutama sekali orang yang paling muda di antara mereka yang pakaiannya agak berbeda dan agaknya menjadi kepala, bertubuh seperti raksasa dan memandang kepadanya seperti seorang kelaparan nasi. Ia maklum bahwa mereka adalah perampok-perampok, maka ia segera berkata dengan sikap agung seorang putri Raja,
"Jangan kalian mengganggu aku! Aku puteri Raja Jenggala yang kehilangan jalan dan hendak pulang ke Jenggala. Kalau kalian suka, boleh kuhadiahkan gelang dan kalungku."
Sambil berkata demikian, sang puteri meloloskan kedua gelangnya. Akan tetapi, lima orang itu adalah perampok-perampok kasar. Keadaan hidup mereka membuat mereka seakan-akan menjadi Raja dalarn hutan, tentu saja mendengar disebutnya Raja Jenggala, mereka tidak menjadi takut. Akan tetapi pemimpin mereka bukan seorang bodoh. la tahu bahwa seorang puteri bangsawan, apalagi puteri Raja seperti ini, kalau pergi tentu ada banyak pengawal yang mengantarkannya. Kini sang puteri sesat jalan, tentu sedang dicari-cari. Kalau para pengawal muncul, mereka bisa celaka karena ia mendengar bahwa para pengawal memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
"Rampas dulu kudanya,"
Katanya kepada anak buahnya. Dua orang anak buah perampok yang bernafsu sckali untuk segera merampas kuda dan perhiasan serba mahal itu, melompat maju dan dengan kasar bertindak merenngut kendali kuda dari tangan Puteri Mayagaluh.
"Berani kalian merampas kudaku"
Sang puteri membentak marah, kedua kakinya melakukan gerakan menendang bergantian amat cepatnya, mengarah bawah pusar lawan. Irulah ilmu tendangan yang amat keji dan ganas, begitu tepat mengenai sasaran tentu akan menewaskan lawan. Ilmu tendangan ini adalah satu di antara banyak ilmu yang ia pelajari dari Endang Patibroto. Terdengar jerit mengerikan dan dua orang perampok itu terpelanting roboh, berkelojotan dan tak mungkin dapat hidup lebih lama lagi karena anggauta tubuh di bawah pusar pecah terkena tendangan tadi!. Biarpun semenjak kecil mempelajari ilmu silat, akan tetapi selama hidupnya belum pernah Mayagaluh membunuh orang. Kini menyaksikan betapa dua orang yang ditendangnya itu berkelojotan sekarat, ia merasa ngeri.
"Pergilah...! Jangan ganggu aku...!!"
Katanya setengah memohon, wajahnya sudah pucat dan tubuhnya menggigil. Melihat sikap ini, tiga orang perampok itu mengira bahwa tentu tendangan tadi secara kebetulan saja mengenai bagian tubuh yang paling lemah dari kedua kawannya. Kalau gadis itu memang berilmu, tentu tidak ketakutan seperti itu. Kepala rampok yang muda itu lalu membentak kepada dua orang temannya.
"Tangkap kudanya. Masa tidak mampu?"
Dua orang perampok maju bersama. Mayagaluh yang ketakutan itu kini terpaksa menghunus kerisnya, keris kecil yang biasa dipakai para puteri. Kini dua orang perampok itu agak terkejut. Cara puteri itu mencabut dan memegang gagang keris jelas membayangkan bahwa puteri ini mengerti ilmu silat, mahir dalam tata tempur menggunakan keris. Maka mereka bersikap hati-hati dan menubruk dari kanan kiri untuk merampas kendali kuda yang dipegang tangan kiri Mayagaluh. Puteri ini cepat menggerakkan kerisnya, menerima perampok dari kanan dengan tusukan, sedangkan perampok yang menubruk dari kiri ia sambut dengan sebuah tendangan kilat, kini agak tinggi mengarah lambung.
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua orang perampok yang mati tertendang tadi sebetulnya juga bukan orang lemah, melainkan orang-orang kasar yang biasa berkelahi. Tadi mereka sekali tendang roboh oleh Mayagaluh karena mereka memandang rendah dan tidak menduga-duga. Kini, dua orang lagi perampok yang sudah berhati-hati, cepat mengelak dan mengurungkan niatnya merampas kendali kuda ketika melihat sambutan wanita muda itu. Maklum bahwa wanita itu bukan seorang lemah, dua orang perampok ini lalu bergerak menyerang, seorang mencengkeram ke arah pergelangan tangan kanan yang memegang keris, orang ke dua menubruk untuk mencengkeram pundak dan menangkapnya!
Sebetulnya dua orang perampok ini hanya orang-orang kasar yang lebih banyak mengandalkan tenaga dan keberanian daripada mengandalkan gerakan ilmu silat. Mayagaluh dapat melihat dengap jelas dan maklum bahwa sebetulnya ia tidak perlu takut melawan mereka. Akan tetapi dasar kurang pengalaman, melihat dua orang laki-laki menerjang dengan muka beringas, mulut menyeringai, mata melotot lebar, ia merasa serem dan muak oleh bau keringat mereka. Karena jijik ia menjadi gugup, menyelinap untuk menjauhkan diri, akan tetapi perasaan jijik dan ngeri membuat ia ingin cepat-cepat mengakhiri ancaman ini maka kerisnya bergerak cepat sekali ke arah lambung perampok ke dua ketika ia menghindar.
"Capp...!"
Ketika gadis bangsawan ini meloncat sambil mencabut keris, darah muncrat-muncrat dari perut perampok itu yang mendekap perutnya sambil berkaok-kaok seperti kerbau disembelih, lalu roboh dan berkelojotan. Melihat darah muncrat-muncrat ini, hampir saja Mayagaluh pingsan.
"Aduh! Kuminta kepada kalian pergilah, bawa kuda dan perhiasanku semua!"
La mengeluh sambil memandang korbannya dengan mata terbelalak ngeri. Akan tetapi perampok yang melihat kawannya roboh menjadi marah sekali. Ia mencabut goloknya yang besar dan tajam lalu mengayun golok itu, menyerang dengan kemarahan meluap.
'Genjul, jangan bunuh dia!"
Kepala perampok yang muda itu menegur anak buahnya yang tinggal seorang. Akan tetapi si Genjul, perampok itu yang melihat tiga orang kawannya sudah tewas, tak dapat menahan kemarahannya lagi. Goloknya menyambar ganas ke arah leher Mayagaluh. Puteri ini terkejut, cepat ia menekuk lutut miringkan tubuh sehingga golok lawan lewat di atas kepalanya mengeluarkan bunyi "Swingggg!!"
Menyeramkan sekali.
la maklum bahwa kalau ia tidak cepat-cepat merobohkan orang ini, keselamatannya sendiri terancam. Maka melihat lawan membuka lengan ketika membacok, dari bawah kerisnya meluncur pula menusuk lambung. Perampok bernama Genjul ini sudah siap-siap, maka cepat ia meloncat mundur sambil mengayun golok ke bawah. Mayagaluh menarlk kembali kerisnya, tidak mau membiarkan kerisnya dihantam golok yang berat. Ketika perampok itu menerjang lagi, kini membabat pinggang, Mayagaluh sudah mendahului meloncat ke atas sehingga babatan golok itu lewat di bawah kakinya. Dari atas, Mayagaluh yang sudah menaksir bahwa golok itu tentu akan lewat di bawah kakinya, menggunakan kakinya menendang ke depan, tepat mengenai pergelangan tangan yang memegang golok.
"Aduhh...!"
Perampok itu berseru keras, goloknya terlepas dari pegangan. Dan pada saat itu dari atas, tubuh Mayagaluh sudah meluncur dengan didahului kerisnya yang menusuk ke arah leher lawan. Perampok bernama Genjul itu terkejut sekali dan timbul rasa takutnya yang hebat.
Ketakutannya membuat Genjul menjadi nekat dan ia segera mengembangkan kedua lengannya, terus menubruk ke depan, ke arah tubuh puteri yang meluncur turun itu, langsung memeluk pinggang yang ramping! Kalau saja Mayagaluh melanjutkan tusukannya, tentu akan berhasil dan kerisnya akan menembus leher. Akan tetapi melihat betapa laki-laki kasar itu mengembangkan lengannya, Mayagaluh merasa ngeri dan jijik sehingga tangan yang memegang keris seketika menjadi lemas. Ia menjerit ketika merasa betapa pinggangnya dirangkul dan tubuhnya merapat pada tubuh yang tinggi besar dan keras. Hampir saja ia pingsan. Sambil menggigit bibir dan menjauhkan mukanya agar hidungnya tidak dekat dada yang penuh bulu dan keringat, ia menggerakkan tangan kanannya dan...
"Ceppp...!!"
Kerisnya sudah menancap di dada kiri lawannya. Seketika Genjul seperti disambar halilintar, pelukannya terlepas, mulutnya mengeluarkan suara rintihan, tubuhnya lemas dan berkelojotan. Mayagaluh yang berusaha mencabut kerisnya, tidak berhasil. Keris itu menancap dan menyangkut di antara tulang iga sehingga sukar dicabut. Kalau saja puteri ini tidak hampir pingsan oleh rasa jijik dan ngeri, tentu ia akan dapat mencabut kerisnya. Kini ia meloncat ke belakang, melepaskan gagang keris, takut kalau-kalau darah lawan akan muncrat membasahi tubuh dan mukanya.
Tubuh Genjul berkelojotan dan roboh terlentang, kerongkongannya mengorok dan matanya mendelik. Mayagaluh mengkirik. Pada saat itulah, kepala rampok sudah menerjangnya dari belakangnya dan sebuah pukulan dengan tangan miring tepat menghantam tengkuk Puteri Mayagaluh. Puteri ini mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas, matanya meram. la pingsan! Kepala rampok yang berhasil merobohkan Mayagaluh, segera memondong puteri itu dan meloncat ke atas punggung kuda sang puteri, terus membedal kuda membalap karena khawatir kalau-kalau para pengawal sang puteri akan menyusul ke tempat itu. Guncangan-guncangan dan tiupan angin menyadarkan Mayagaluh. Ia membuka rnata dan alangkah kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa dia berada dalam pondongan kepala perampok, dilarikan di atas kuda.
"Tolooongggg... Toloooongggg...!!"
Ia menjerit dua kali, akan tetapi lalu tak dapat mengeluarkan teriakan lagi karena mulutnya didekap tangan kasar dan kepala rampok itu mengancam,
"Sekali lagi kau berteriak, golokku akan memenggal lehermu!"
Seluruh tubuh Mayagaluh menggigil penuh kengerian. La berusaha meronta-ronta dan membentak-bentak,
"Lepaskan aku! Lepaskan! Lepaskan!!"
Namun sia-sia saja dan akhirnya ia tidak berani lagi meronta karena kudanya lari cepat sekali dan apabila ia dapat melepaskan diri, tentu ia akan terbanting dan terseret, mungkin akan terinjak kaki kuda.
"Heh-heh, kau cantik sekali. kau pantas menjadi biniku, sayang!"
Si kepala rampok terkekeh, kemudian menundukkan mukanya hendak mencium muka yang cantik jelita itu. Mayagaluh terkejut dan lupa akan rasa takutnya. Rasa ngeri dan marah mengaduk hatinya dan kembali ia meronta, tangannya menampar ke atas.
"Plakk!."
Muka perampok itu kena tamparan yang cukup keras sehingga kepala rampok itu membatalkan niatnya mencium, mukanya berubah merah dan ia marah sekali. Dengan tangan kirinya, dicekiknya leher Mayagaluh. Sang puteri meronta dan berusaha melepaskan diri namun sia-sia sehingga ia terengah-engah dan tubuhnya menjadi lemas. Setelah Mayagaluh pingsan baru kepala rampok itu menghentikan cekikannya dan terus membalapkan kuda.
Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat cepat sekali laksana kijang melompat. Bayangan ini bukan lain adalah Joko Wandiro! seperti telah kita ketahui, Joko Wandiro mengejar Ayu Candra yang melarikan diri pergi dari pondoknya bersama Ki Jatoko. Akan tetapi karena tidak tahu ke mana perginya dara itu, juga tidak dapat mengira-ngira ke mana gerangan tujuannya, Joko Wandiro mengejar ke jurusan yang berlawanan. Pemuda ini mengejar ke selatan, terus ke selatan sampal akhirnya ia tiba di Pegunungan Kidul dan teringatlah ia akan pesan ayah angkatnya bahwa ayah angkatnya dahulu tinggal di Bayuwismo, di pantai Laut Selatan Karena lapun tidak mempunyai tujuan tertentu, tidak tahu pula ke mana harus mencari Ayu Candra, maka ia lalu membelok ke barat, hendak pergi ke Bayuwismo.
Di dalam hutan itu ia tadi mendengar jerit minta tolong. Mendengar jerit wanita minta tolong ini, hatinya berdebar keras. Jangan jangan Ayu Candra yang tertimpa malapetaka, pikirnya sambil meloncat dan mengerahkan aji kesaktian dan lari bagaikan kijang melompat cepatnya. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul dan ia melihat seorang laki-laki tinggi besar memondong tubuh seorang dara yang tak bergerak-gerak dan lemas, agaknya pingsan, kemarahannya timbul. Ia tidak menegur lagi, terus melompat dan tubuhnya menyambar bagaikan seekor elang Rajawali, sambil mulutnya membentak,
"Bedebah!"
Kepala rampok melihat tiba-tiba ada orang menyambarnya dari atas seperti Raden Gatutkaca terbang menyambar, kaget setengah mati.
Ia melepaskan kendali kuda dan menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga. Tentu saja ia bukan seorang lemah. Tenaganya besar dan ia pandai ilmu silat. Akan tetapi sekali ini ia bertemu batu. Begitu lengannya bertemu dengan lengan Joko Wandiro, tubuhnya terguling dan terlempar dari atas punggung kuda, dan entah bagaimana tahu-tahu tubuh sang puteri telah berpindah tangan, berada di pondongan Joko Wandiro!. Ada rasa kecewa di hati Joko Wandiro ketika ia melirik dan melihat wanita itu, walaupun cantik jelita dan muda remaja, ternyata bukan Ayu Candra. Kemarahannya mereda dan ia berdiri tenang sambil memandang kepala perampok yang kini sudah meloncat bangun sambil mencabut golok.
"Babo-babo, si keparat dari manakah berani merampas tawananku? Hayo kembalikan kalau engkau tidak ingin mampus di tanganku!"
"Kisanak,"
Jawab Joko Wandiro tenang,"namaku Joko Wandiro. Tadi aku mendengar jerit wanita ini minta tolong, lalu melihat engkau melarikannya secara paksa. Tadinya aku ragu-ragu dan tidak tahu siapakah wanita ini dan mengapa kau larikan. Setelah kini aku tahu bahwa dia tawananmu, tentu saja aku tidak boleh tinggal diam saja. Aku harus menolongnya dan dia takkan kukembalikan kepadamu."
"Keparat Joko Wandiro, kalau begitu kau sudah bosan hidup!"
Bentak si perampok sambil menerjang maju dengan ayunan goloknya.
Melihat gerakan golok yang cepat dan bertenaga, Joko Wandiro maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian biasa saja. Ia mengelak dengan tenang, kakinya menyambar dari samping dan perampok itu terbanting roboh! Si perampok kaget setengah mati. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal seperti ini. Ia bergolok. Orang muda itu bertangap kosong. Bukan itu saja, bahkan kedua tangan orang muda itu memondong tubuh sang puteri, tidak ikut bergerak, hanya menggunakan kakinya tapi dalam segebrakan saja ia roboh! Rasa kaget dan heran merubah penasaran dan marah sekali. Kembali ia menerjang setelah meloncat bangun, kali ini terjangannya lebih ganas daripada tadi dan kembali Joko Wandiro mengelak sambil mengangkat kaki dan untuk kedua kalinya perampok itu terbantmg roboh, lebih keras daripada tadi.
Ia tidak tahu bahwa pemuda sakti itu merobohkannya dengan meminjam tenaganya, maka makin kuat ia menyerang, makin keras pula ia terbanting roboh oleh tangannya sendiri. Sampai nanar kepalanya dan sampai kabur pandang matanya sehingga setelah terbanting roboh, ia hanya mampu bangkit duduk dan sejenak ia menggoyang-goyangkan kepalanya untuk rnengusir kepusingan. Dasar perampok ini seorang kasar dan bodoh. Ia masih belum kapok dirobohkan dua kali, bahkan makin penasaran dan marah. Setelah hilang kepusingan kepalanya, ia meloncat bangun dan sambil mengeiuarkan terlakan marah, goloknya diputar-putar, kemudian sambil menubruk maju ia membacokkan goloknya ke arah... sang puteri yang dipondong Joko Wandiro! Pemuda ini terkejut dan marah sekali. Tidak disangkanya bahwa lawan itu akan menggunakan siasat begini keji.
"Manusia jahat!"
Bentaknya, kini tubuhnya bergerak menendang susul-menyusul. Kaki kanan menendang pergelangan tangan lawan yang memegang golok, kaki kiri mendugang ke arah dada.
"Bress! Ngekkk!!"
Tubuh perampok itu terlempar sampai tiga meter ke belakang, goloknya mencelat entah ke mana dan kini ia bangkit duduk sambil terengah-engah dan memegangi ulu hati. Napasnya sesak, perutnya mulas dan ia tidak dapat mengeluarkan suara. Kemudian, matanya jelilatan dan tubuhnya mencelat ke atas, lari ke arah kuda, meloncat ke punggung kuda, dan membalapkan kuda seperti orang dikejar setan!
Joko Wandiro hanya tersenyum-geli melihat tingkah laku perampok itu. Ia mengira bahwa kuda itu kuda tunggangan si perampok, maka ia mendiamkannya saja. Wanita muda dalam pondongannya masih pingsan. Joko Wandiro menduga-duga. Pakaian dara ini amat indah, bukan pakaian sembarang orang. Juga wajahnya yang cantik jelita itu terpelihara, rambutnya halus mengeluarkan ganda harum, terhias emas permata. Siapakah gadis ini? Baru saja ia datang dari timur dan sepanjang pegunungan itu tidak terdapat dusun. Juga di kanan kiri tempat itu merupakan daerah sunyi dan mati. Tak mungkin gadis ini berasal dari tempat ini, dan agaknya tidak mungkin pula gadis ini seorang dusun. Tentu seorang kota, seorang puteri bangsawan. la mengingat-ingat dan timbul dugaan bahwa tempat tinggal gadis ini tentu berada di sebelah barat.
Bayuwismo tak jauh lagi, juga Selopenangkep. Mungkinkah gadis ini tinggal di Selopenangkep? la tidak tahu lagi siapa gerangan kini yang menguasai Selopenangkep, setelah keluarga ayahnya tidak menguasai tempat itu lagi. Berpikir sampai di situ, Joko Wandiro mengambil keputusan untuk membawa gadis ini ke barat, melanjutkan perjalanan dan kalau perlu mengajaknya ke Bayuwismo atau ke Selopenangkep. Maka ia Lalu mempergunakan ilmu lari cepat, memondong dara ayu itu menuju ke barat.
Matahari telah naik tinggi, hawa mulai panas. Joko Wandiro yang memondong puteri itu, mulai merasa gerah. Ia tidak lelah, tubuhnya sudah amat kuat sehingga untuk berlari cepat sehari saja tidak nanti melelahkannya. Akan tetapi, berlari sambil memondong tubuh orang membuat gerakannya canggung. Apalagi tubuh itu mengeluarkan hawa yang hangat, ini menurut perasaannya, ditambah teriknya sinar matahari, membuat peluhnya keluar juga. Berhentilah ia sebentar di bawah sebatang pohon, lalu menyusutkan muka pada pundak bahunya di kanan kiri.
Sebenarnya, Sang Puteri Mayagaluh sudah sadar semenjak tadi! Puteri ini tadi sadar dari pingsannya dan segera tahu bahwa ia tidak lagi dibawa lari di atas kuda, melainkan dipondong dan dibawa lari orang. Ketika ia membuka mata dan memandang, ia terheran heran. Wajah di atas itu sama sekali bukan wajah perampok yang kasar, bengis, dan menyeringai menjijikkan. Tubuhnya bukan tubuh penuh bulu pada dada dan lengan. Wajah ini muda dan tampan sekali, lengannya yang kuat berkulit halus tidak berbulu. Ketika Joko Wandiro berhenti sebentar untuk menghapus peluh di mukanya dengan pundak dan pangkal lengan bajunya, Mayagaluh sudah sadar betul.
Ia mengintai muka orang dan jantungnya berdebar. Dapatlah ia menduga bahwa tadi dalam keadaan pingsan, pemuda ini telah menolong dirinya, telah mengalahkan perampok kemudian membawanya pergi. Ke manakah kudanya? Dan siapakah pemuda ini? Melihat cara pemuda ini mendukungnya, kedua lengannya menyangga bagian punggung, leher dan bawah paha, ia tahu bahwa pemuda ini seorang yang bersusila, tidak seperti perampok tadi yang memeluknya secara kurang ajar. Joko Wandiro yang sedang mengusap keringatnya, tiba-tiba merasa betapa dada orang yang dipondongnya berdetak-detak keras. Dalam keadaan terpondong itu, samping dada gadis itu tentu saja merapat pada dadanya dan kini dari dalam dada gadis itu timbul detakan-detakan yang seakan-akan memukuli dadanya sendiri.
la melirik ke arah muka orang yang dipondongnya. Joko Wandiro menahan senyumnya. Hemm, ternyata gadis itu sudah sadar, pikirnya. Hampir ia tertawa melihat betapa dara jelita itu berpura-pura pingsan, menutup sebelah mata kanan rapat-rapat, akan tetapi mata kiri bergerak-gerak bulu matanya, agaknya sedang mengintainya dari balik bulu-bulu mata yang panjang lentik. Hemmm, bukan main cantiknya gadis ini, pikir Joko Wandiro. Hatinya juga berdebar dan pipinya terasa panas. Timbul rasa kasihan dan juga suka. Entah bagaimana, perasaan mujijat menguasai hatinya dan membuat ia perlahan-lahan menundukkan mukanya dan hidung dan bibirnya menyentuh pipi yang halus dan putih kemerahan itu.
Hanya sebentar dan cepat-cepat Joko Wandiro menjauhkan lagi mukanya sambil memaki diri sendiri dalam hatinya. Ihh! Benar-benar dia telah gila. Setan telah menguasai hatinya. Benarkah ia seorang mata keranjang? Seorang yang gila akan wajah jelita? Kalau tidak demikian, mengapa ia suka sekali kepada gadis ini, suka mendukungnya dan bahkan ingin sekali berdekatan, ingin sekali menciumnya? Makin berdebar jantung Joko Wandiro ketika ia merasa betapa dada gadis itu terengah-engah, betapa detak jantung gadis itu seakan-akan hendak memecahkan rongga dadanya, kemudian melihat betapa warna kemerahan pada wajah yang berkulit halus putih itu kini menjadi makin merah seperti udang dipanggang. Tiba-tiba dara itu meronta, membuka matanya yang lebar dan amat indah, mulutnya menahan isak dan ia merintih perlahan, lalu berkata,
"Lepaskan aku...!"
Joko Wandiro melepaskan dukungannya. Melihat gadis itu berdiri di depannya dengan wajah penuh kemarahan, mata itu memancarkan sinar dan kedua tangan kecil terkepal, Joko Wandiro menundukkan mukanya dan berkata perlahan,
"Maafkan aku, nona. Aku sudah berani... berani memondongmu... karena kau tadi... dilarikan perampok dan kau pingsan,"
Kata Joko Wandiro gagap. Mata gadis itu tidak sehebat mata Ayu Candra, akan tetapi harus ia akui bahwa tidak banyak ia bertemu dengan gadis yang bermata seindah ini. Karena tidak berani berterus terang, Joko Wandiro merasa seperti orang membohong dan mukanya seketika menjadi merah sekali.
"Engkau laki-laki lancang! Engkau sudah berani... hemm... berbuat kurang ajar kepadaku. Apakah kau tahu siapa aku? Aku adalah Puteri Mayagaluh, puteri Raja Jenggalal"
Bukan main kagetnya hati Joko Wandiro. Celaka, pikirnya. Ia telah melakukan dosa besar sekali. Ia telah berani mencium pipi puteri Raja! Dosa yang tak dapat diampuni lagi. Biarpun gurunya berpesan agar ia membantu Kerajaan Panjalu untuk menghadapi Jenggala, namun betapapun juga, Kerajaan Jenggala masih bersaudara dengan Kerajaan Panjalu. Raja Jenggala adalah adik kandung Raja Panjalu, masih keturunan mendiang Sang Prabu Airlangga. Dan ia telah berani mencium pipi sang puteri. Wajahnya seketika menjadi pucat, kedua kakinya lemas dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan mukanya.
"Karena hamba tidak tahu, hamba mohon paduka suka memberi ampun,"
Katanya merendah. Dan karena ia tertunduk itulah, ia tidak melihat betapa wajah sang puteri berseri-seri dan kemerahan, betapa sepasang mata yang jeli itu menatap wajahnya dengan tajam dan senyum simpul menghias bibir merah.
"Sudahlah, tidak mengapa. Karena kau tidak tahu, dan juga karena aku sedang pingsan sehingga aku tidak tahu akan perbuatanmu, biarlah kita jangan bicarakan hal itu pula. Betapapun juga, engkau sudah menolongku dari tangan perampok jahat. Orang muda, siapakah namamu?"
Lega rasa hati Joko Wandiro. Terasa lapang dan kepucatan wajahnya segera terganti warna merah. Ia tahu betul bahwa sang puteri tadi tidak pingsan lagi ketika ia menciumnya, tapi kini sang puteri menyatakan bahwa sang puteri dalam keadaan pingsan ketika ia melakukan "perbuatan"
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo