Badai Laut Selatan 34
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 34
Dewi mengeluarkan kata-kata ini dengan mata berapi-api dan kedua pipinya merah sekali menambah kecantikannya yang aseli. Joko Wandiro dapat menerima alasan ini, sungguhpun hal itu merupakan suatu keganjilan bagi manusia biasa. Karena itu ia menjadi makin bingung, kemudian ia berkata tenang,
"Boleh kalian coba Dewi. Kalau memang sudah menjadi kehendak Dewata bahwa aku mesti mati di tangan kalian, aku akan rela. Akan tetapi kalau belum mestinya mati, kurasa aku akan berhasil melarikan diri tanpa melukai seorangpun di antara kalian!"
Dewi mengeluarkan jerit melengking dan serentak dia mengurung Joko Wandiro dengan empat orang adiknya, sedangkan tiga puluh orang perajurit wanita itupun bergerak dan berlari-lari membuat pagar mengelilingi pemuda itu dengan bambu runcing siap di tangan! Aneh pagar manusia ini karena terus bergerak, berlari-larian mengelilingi Joko Wandiro dari jarak jauh.
"Boleh kau coba, Joko Wandiro! kau takkan dapat pergi dari sini tanpa lebih dulu membunuh kami semua dan andaikata dapat juga, kau takkan pernah terlepas daripada pengejaran kami! kau membunuh kami semua atau kau mati, kalau kau tak mau menerima permintaan kami!"
Joko Wandiro terkejut juga. Kalau sedemikian hebat tekad gadis-gadis ini, memang serba sukarlah baginya. Ia tahu bahwa gadis-gadis ini tidak mempunyai niat buruk, dan setulusnya hati hendak menghambakan diri kepadanya, karenanya ia dapat menduga bahwa andaikata ia dapat lolos, tentu ia akan selalu dicari-cari dan dikejar-kejar kemanapun juga ia pergi. Namun, tugasnya masih belum selesai. Ia harus mencari Ayu Candra, dan iapun harus mencari Endang Patibroto, membujuknya dan kalau perlu menggunakan kekerasan mengalahkannya untuk membawanya ke depan ibu gadis itu di Sempu. Kemudian, setelah ia berhasil mendapatkan kembali adik kandungnya, ia harus mengatur perjodohan Ayu Candra dengan Joko Seto seperti yang dipesankan oleh ayah Ayu Candra.
Setelah itu, ia masih periu menyelesaikan tugas yang dipesankan gurunya, yaitu menghadapi orang-orang jahat yang membikin keadaan makin keruh antara Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Kalau orang-orang jahat yang sakti itu dapat dihalau, agaknya masih ada jalan perdamaian antara dua Kerajaan yang masih bersaudara itu. Hal itu bukan tak mungkin dilakukan, mengingat akan perhubungan dua di antara anak-anak mereka yaitu Pangeran Darmokusumo dan Puteri Mayagaluh. yang bermusuhan adalah si orang-orang tua yang kukuh, sedangkan melihat keadaan orang-orang mudanya, amatlah baik. Ia tidak percaya bahwa orang-orang muda seperti Pangeran Panjirawit dan Pangeran Darmokusumo tidak dapat diajak saling berdamai.
"Joko Wandiro, mengapa kau bengong saja? Apakah kau sudah insyaf dan dapat berlaku bijaksana, menerima permintaan kami?"
Tiba-tiba Dewi menegur dengan suara penuh harap. Joko Wandiro kaget. Ia menggeleng kepala dan menjawab,
"Menyesal sekali, Dewi. Tugasku masih banyak, bagaimana aku dapat tinggal di sini? Aku akan pergi!"
Setelah berkata demikian, tubuh Joko Wandiro tiba-tiba melesat ke atas dalam lompatan yang tinggi. Ia sudah menggunakan Ilmu Bayu Sakti untuk melompat dan lolos melalui atas kepala lima orang gadis yang mengurungnya. Akan tetapi, alangkah herannya ketika ia menurunkan kedua kakinya ke atas tanah, lima orang gadis itu kembali sudah berdiri mengurungnya, dan mereka berlima mengurung sambil menangis! Dewi yang tepat berada di depannya lalu berkata nyaring,
"Kalau begitu, engkau atau kami yang binasa!"
Kata-kata ini disusul terjangan yang hebat juga, dengan kedua lengan diulur ke depan, jari tangan terbuka membentuk cakar elang menyerang ke arah leher dan dada. Sambaran angin serangan ini cukup dapat ditaksir oleh Joko Wandiro sampai di mana tingkat kepandaian gadis ini. Biarpun ia tahu bahwa tingkat kepandaian Dewi dua kali lebih tinggi daripada empat orang adiknya, namun baginya Dewi bukanlah lawan yang sukar untuk dikalahkan. Akan tetapi yang membuat ia kagum adalah cara mereka menyerang dengan teratur. Tadipun ia sudah kaget ketika melompat melalui atas kepala mereka dan turun, tahu-tahu sudah terkurung lagi sedangkan barisan di luar juga tetap berlari-lari membentuk lingkaran.
Ia dapat menduga bahwa biarpun mengenai ilmu silat, ia tidak perlu khawatir terhadap pengeroyokan mereka, namun ia harus berhati-hati terhadap ilmu mereka mengatur dan membentuk barisan. Ayah gadis itu adalah bekas senopati Wengker, seorang ahli perang yang tentu saja pandai mengatur barisan dan agaknya kepandaian ini menurun kepada Dewi. Serangan Dewi tidak ia tangkis, melainkan dengan miringkan tubuh dan menggeser kaki, ia sudah terbebas puia dari kurungan. Akan tetapi pengurung di sebelah kiri, Mini dan Sari, juga ikut melompat mundur dan kembali ke posisi semula sedangkan tiga orang saudaranya mengejar dan daiam sekejap saja Joko Wandiro sudah terkurung kembali.
Kini mereka melancarkan serangan susul-menyusul dan bertubi-tubi. Mereka masih menangis, dan Joko Wandiro melihat betapa serangan mereka itu bersungguh-sungguh, bukan serangan untuk menawan, melainkan serangan untuk membunuh! Ia merasa serba repot. Meloloskan diri dari kepungan lima orang gadis bertangan kosong ini saja bukan hal mudah, apalagi kalau barisan bambu runcing di luar itu turut mengepung! Memang tidak akan sukar kalau ia membuka jalan darah untuk meioloskan diri, akan tetapi justeru ia tidak menghendaki hal ini terjadi. Agaknya Dewi dan kawan-kawannya memang sudah bertekad bulat untuk memenuhi kata-kata Dewi tadi, yaitu, membunuh atau terbunuh!
Sambil memutar otak untuk mencari akal, Joko Wandiro melayani lima orang gadis itu. Ia kini mulai menangkis dengan menggunakan sedikit tenaga karena ia tidak tega untuk melukai atau menyakiti mereka. Dengan gerakan yang amat ringan dan cepat, sekali bergerak ia sudah dapat menangkis dua tiga serangan, karena hawa sakti yang menyambar keluar dari kedua lengannya saja sudah cukup membuat lawan-lawan itu terdorong ke belakang. Segera terdengar jerit-jerit susul-menyusul karena kaget. Akan tetapi begitu terdorong dan hampir roboh, gadis-gadis itu sudah meloncat lagi dan tak pernah merubah posisi pengurungan yang teratur itu. Barisan luar juga terus bergerak menyesuaikan kedudukan mereka dengan kedudukan lima orang pemimpin mereka.
"Dewi, mengapa kau dan adik-adikmu begini keras kepala?"
Joko Wandiro berseru jengkel ketika melihat Dewi sendiri terhuyung dan roboh miring, kini sudah meloncat bangun lagi dan menerjangnya dengan hantaman nekad tanpa memperdulikan penjagaan diri lagi. Kembali hantaman itu mengenai ternpat kosong dan Dewi menjawab dengan suara terisak,
"Boleh jadi kami keras kepala, akan tetapi engkau sama sekali tidak mempunyai hati, Joko Wandiro!"
"Hayo bunuh kami, Joko Wandiro!"
Jerit pula Mini sambil menubruk dengan terkaman seperti seekor harimau kelaparan menubruk kelinci. Serangan ini disusul oleh Lasmi, Sari, Sundari dan Dewi yang memperhebat serangan tanpa perdulikan penjagaan diri. Joko Wandiro mengeluh.
Terpaksa ia mengeraskan hatinya dan kedua lengannya bergerak cepat sekali. Dengan tenaga sedikit ia telah menggunakan Pethit Nogo menampar bahu mereka. Lima orang gadis itu menjerit dan berturut-turut terbanting bergulingan di atas tanah. Sejenak mereka tak dapat bangun seperti orang disambar petir saking hebatnya Aji Pethit Nogo yang dipergunakan Joko Wandiro. Dengan hati penuh kasihan dan penyesalan, Joko Wandiro yang berhasil merobohkan lima orang pengurungnya itu hendak lari, akan tetapi tiga puluh batang bambu runcing mengurungnya dengan gerakan cepat dan juga teratur sekali. Bambu-bambu runcing itu tidak hanya menodongnya, akan tetapi juga menjaga jalan keluar dari atas, bahkan menerobos di antara kaki-kaki merekapun tak mungkin karena di situ telah terjaga ujung-ujung bambu pula.
Tiga puluh orang gadis itu mengurungnya dengan tiga lapis dari sepuluh orang. Begitu rapatnya penjagaan itu sehingga kalau ia mau meloloskan diri, sedikitnya ia harus membuka jalan darah merobohkan sepuluh orang! Celakanya, selagi ia meragu, lima orang gadis yang ia robohkan tadi kini sudah bangkit kembali dan sambii terisak menangis telah menerjangnya dengan hebat, seakan-akan pukulan Pethit Nogo yang hebat tadi sama sekali tidak mereka takuti. Mereka menyebutku tidak berhati! Betulkah ini? Joko Wandiro berpikir-pikir dan mempertimbangkan keadaannya. Kemudian ia berhenti bergerak dan mengangkat tangan kanan ke atas.
"Dewi, berhenti dulu, aku mau bicara!"
Dewi mengeluarkan perintah dan semua anak buahnya berhenti bergerak. Ketika Joko memandang lima orang gadis itu, terpaksa ia meramkan matanya karena pertempuran mati-matian tadi, Apalagi pukulannya Pethit Nogo yang merobohkan mereka, membuat "pakaian"
Mereka dari daun-daun dan bunga-bunga itu rontok berhamburan dan hanya tinggal sedikit yang masih menutupi tubuh sehingga tampaklah bagian-bagian tubuh yang semestinya ditutupi. Setelah sejenak meramkan mata menekan perasaannya yang berdebar, ia membuka mata kembali lalu berkata, suaranya tenang,
"Dewi, engkau dan anak buahmu agaknya sudah bertekad bulat dan mati-matian untuk mempertahankan permintaanmu. Kenekatan kalian ini membuat aku ragu-ragu dan aku mau mempertimbangkan permintaanmu, Dewi."
Wajah lima orang gadis yang tadinya suram dan menangis itu seketika menjadi berseri. Dewi mengeluarkan aba-aba dan mereka semua serentak menjatuhkan diri berlutut di depan Joko Wandiro!
"Joko Wandiro, percayalah bahwa kami sudah bersumpah memilihmu sebagai pemimpin yang kami idam-idamkan semenjak bertahun-tahun. Tidak terhitung banyaknya pria yang hendak merebut kedudukan pimpinan dan menjajah kami, namun semua dapat kami basmi dan kami bunuh. Kami bertahun-tahun menanti saat ini, menanti datangnya seorang yang tepat menjadi pemimpin kami, yang boleh kami jadikan sandaran hidup selamanya, yang akan kami layani dengan seluruh jiwa raga kami. Engkaulah orangnya, Joko Wandiro. Kami sudah bertekad menghambakan diri kepadamu atau... di antara kita harus mati."
Joko Wandiro menarik napas panjang.
"Akan menjadi orang jahatlah aku kalau membalas budi pertolongan kalian kepadaku dengan permusuhan, apalagi harus membunuh seorang di antara kalian. Akan tetapi, permintaan kalian sungguh merupakan hal baru dan janggal bagiku. Dewi, aku suka menerima permintaan kalian untuk menjadi pemimpin kalian. Akan tetapi hanya dengan syarat, dan kalau kalian tidak mau memenuhi syarat ini, biarlah kalian bunuh saja aku untuk menebus budi pertolongan kalian, aku takkan melawan lagi."
Dengan teriakan girang Dewi meloncat berdiri, merangkul leher Joko Wandiro dan... menciumnya! Joko Wandiro gelagapan, mendorong halus tubuh hampir telanjang itu ke belakang lalu berkata,
"Nah, yang beginilah yang tak boleh kau lakukan, Dewi. Bagaimana, maukah kau mendengar syaratku?"
Dewi terdorong ke belakang, mukanya merah dan matanya berkilat-kilat, wajahnya berseri-seri. Ia berlutut kembali dan berkata,
"Katakanlah Apa syaratnya? Andaikata kau minta nyawaku sekarang juga, akan kuserahkan!"
Joko Wandiro merasa lehernya tercekik. Keharuan mencekam hatinya. Biarpun tingkah gadis-gadis ini liar dan ganas, namun harus ia akui bahwa mereka itu benar-benar jujur dan setia, tidak pandai bermanis bibir seperti gadis-gadis kota.
"Tidak, Dewi. Syaratku tidaklah seganas itu. Aku mau menjadi pimpinan kalian, akan tetapi mulai sekarang, kalian tiga puluh lima orang harus tunduk dan taat kepada semua perintahku. Kalau aku merubah peraturan-peraturan yang selama ini berlaku di sini, kalian tidak boleh membantah. Misalnya, peraturan untuk membunuh setiap orang pria yang memasuki wilayah Anjasmoro, inipun akan kurubah. Bagaimana?"
"Hanya itukah?"
Tanya Dewi.
"Itu syarat pertama. Syarat ke dua, sebagai seorang pemimpin, aku tidak mau harus selalu tinggal di sini karena aku masih mempunyai banyak sekali tugas di luar yang harus kuselesaikan. Bahkan aku membutuhkan bantuan kalian untuk tugas-tugasku itu, di antaranya, membantu aku mencari adik kandungku yang bernama Ayu Candra dan yang lenyap di daerah Anjasmoro ini ketika aku bertanding kemarin dulu itu. Ke tiga... eh, ke tiga..."
Sampai di sini Joko Wandiro tak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi merah sekali karena malu dan jengah.
"Apakah syarat ke tiga? Harap beritahukan agar dapat kami pertimbangkan."
"Syarat ke tiga... eh, aku... aku hanya menjadi pemimpin kalian... bukan... bukan suami kalian..."
Setelah menggagap Joko Wandiro dapat menentramkan perasaannya lalu berkata tegas.
"Bukan sekali-kali aku tidak menghargai perasaan kalian, hanya... dalam hal ini tak boleh ada paksaan dan aku... aku masih belum ingin beristeri..."
Lima orang gadis itu saling pandang sambil tersenyum. Kemudian Dewi berkata,
"Syarat pertama kami dapat menerima dan boleh kau merubah semua peraturan di sini, semua akan kami taati. Syarat ke dua, asal kau suka bersumpah lebih dahulu bahwa kau takkan menipu dan membohongi kami, tidak akan meninggalkan kami untuk selamanya dan tidak menggunakan syarat itu untuk membebaskan diri dari kami, juga kami terima. Tentu saja kalau kau melanggar, kami semua akan mencarimu sampai jumpa ke manapun juga kau pergi. Adapun tentang syarat ke tiga bagaimanakah kau dapat mengajukan syarat seperti itu? Joko Wandiro, kami sudah bersumpah menyerahkan jiwa raga kami kepadamu, bersetia sampai mati, hal ini berarti bahwa kami semua adalah milikmu, bagaimana engkau akan mengingkari dan menolak kami? Kepada engkau seoranglah kami menyerahkan perasaan cinta kasih kami, kesetiaan, ketaatan, sehingga engkau merupakan junjungan kami, pemimpin kami, juga suami kami!"
Empat orang gadis lain mengangguk-angguk dan lima pasang mata yang bening itu memandang wajah Joko Wandiro penuh sinar mesra dan kasih sayang. Melihat ini, serasa berputar kepala Joko Wandiro dan ia cepat-cepat menggerakkan kedua tangan yang digoyang-goyangkan ke depan.
Ia sendiri merasa heran mengapa jantungnya berdebar tidak karuan. Mengapa hatinya merasa senang dan bangga, mengapa penyerahan diri gadis-gadis cantik itu mendatangkan perasaan yang luar biasa anehnya dan yang membuat ia merasa tegang sehingga pikirannya menjadi keruh. Teringat ia akan penuturan bibinya, Roro Luhito, tentang kelakuan ayahnya di waktu muda. Ayahnya, menurut penuturan bibinya, adalah seorang yang pernah menyeleweng, mengejar-ngejar wanita, seorang pemuda bangsawan yang mata keranjang, gila perempuan, menjadi hamba daripada nafsu berahi! Teringat akan ini, seketika panas rasanya wajah Joko Wandiro. Cepat-cepat ia membentak,
"Tidak! Aku bukan laki-laki mata keranjang!!"
Bentakannya yang dilakukan dalam keadaan tak sadar itu keras sekali, mengejutkan Dewi dan adik-adiknya. Mereka meloncat berdiri dan memandang. Joko Wandiro sadar dan mukanya makin merah.
"Dewi, ketahuiah bahwa pernyataanmu itu, sungguhpun kau keluarkan dengan hati jujur, iklas, dan terbuka, namun di dalam dunia ramai merupakan sebuah penyelewengan yang tidak semestinya dilakukan orang yang hendak berjalan di atas jalan kebenaran. Aku suka menerima permintaan kalian menjadi pemimpin kalian hanya dengan tujuan menuntun kalian ke jalan benar dan mencegah terjadinya permusuhan di antara kita, sama sekali tidak ada pamrih untuk memetik buah yang berupa kenikmatan dan kesenangan. Jalan untuk bersetia dan taat kepada pimpinan bukan hanya dengan cara menyerahkan diri seperti yang kau maksudkan. Tidak, Dewi. Bukan hanya aku seorang laki-laki di dunia ini dan untuk kalian semua, masih ada jodoh masing-masing yang kelak tentu akan kalian temukan setelah aku merubah peraturan di sini. Aku menghendaki agar kalian masing-masing menemukan jodoh kalian, menemukan pria pilihan hati masing-masing untuk memasuki jenjang perjodohan dan hidup bahagia, tidak lagi menjadi orang-orang buronan dan hidup dengan liar seperti sekarang ini!.!"
Tiba-tiba Dewi menangis dan empat orang adiknya ikut pula menangis. Dewi memegang tangan kanan Joko Wandiro dan empat orang yang lain juga ada yang memegang tangan, ada yang berlutut merangkul kaki.
"Tapi aku... aku sudah menyerahkan hati dan cinta kasihku kepadamu..."
Kata Dewi.
"Aku juga..."
Kata Lasmi.
"Aku juga..."
Sambung Mini, Sari dan Sundari berturut-turut. Joko Wandiro tersenyum dan melepaskan diri dengan halus.
"Kelak akan berubah setelah kalian bertemu dengan pria-pria lain. Sudahlah, hal ini tak perlu kita perbincangkan sekarang. Pendeknya, bukan waktunya sekarang bagiku untuk bersenang dan bicara tentang perjodohan. Aku masih mempunyai banyak tugas dan perlu mendapat bantuan kalian. Mari kita bicara di dalam pondok."
Joko Wandiro dan lima orang gadis itu memasuki pondok di mana pemuda ini duduk di atas bangku bambu dikelilingi lima orang gadis cantik itu yang selalu bersikap mesra kepadanya. Mulailah Joko Wandiro mengeluarkan peraturan-peraturan baru untuk menuntun mereka ke dalam dunia sopan. Melihat betapa mereka ini menyimpan banyak sekali gumpalan emas yang amat berharga,
Joko Wandiro lalu memerintahkan agar dengan emas itu Dewi dan adik-adiknya pergi menemui penduduk di kaki Gunung Anjasmoro, membeli pakaian-pakaian untuk mereka semua sehingga mereka tidak akan menjadi sekumpulan wanita liar setengah telanjang lagi. Kemudian ia mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Dewi dan adik-adiknya cukup baik, terutama sekali ilmu mengatur barisan yang mereka warisi dari mendiang Mamangkurdo ayah Dewi. Karena tingkat kepandaian Joko Wandiro jauh melampaui mereka, maka pemuda ini lalu memberi petunjuk dan menurunkan beberapa ilmu pukulan kepada mereka berlima sehingga mereka menjadi barisan yang makin hebat dan kuat lagi setelah mereka kelak berlatih matang. Tiga puluh lima orang wanita itu menjadi girang sekali dan merasa bahagia mendapat seorang pemimpin seperti Joko Wandiro.
Setiap hari mereka sibuk bersolek dengan pakaian baru mereka, atau berlatih ilmu baru yang mereka dapat, dan waktu selebihnya mereka pergunakan untuk berusaha menyenangkan hati Joko Wandiro. Pemuda ini mengambil keputusan untuk tinggal beberapa hari di sini, memimpin mereka membuat pondok-pondok baru dari kayu dam bambu, menuntun mereka menjadi wanita-wanita yang hidup normal tidak liar lagi. Akan tetapi sikap Dewi dan empat orang adiknya yang mesra, amat dan terlalu mesra terhadapnya, benar-benar menggelisahkan hatinya, bahkan kadang-kadang, entah terdorong oleh Apa, menciumnya begitu saja! Ia sampai tergidik ngeri, bukan karena merasa jijik. Ah, mana bisa jijik kalau mereka itu merupakan dara-dara yang cantik sekali, yang setiap di antara mereka mampu menjatuhkan hati seorang pendeta alim sekalipun?
Ia bergidik karena merasa ngeri, karena merasa takut akan hatinya sendiri. Jantungnya sering kali terguncang, perasaannya terbuai dan ada kalanya ia hampir tak dapat menguasai hatinya untuk tidak membalas belaian mereka. Ia khawatir kalau-kalau pertahanan hatinya runtuh dan ia akan terseret ke dalam kesesatan dan penyelewengan seperti yang pernah dialami ayahnya di waktu muda dahulu. Tidak! Ia tidak akan mencontoh kelemahan ayahnya. Ia tidak akan mengulang kesesatan ayahnya. Akan tetapi berkeras dan menolak penumpahan perasaan mereka itupun sukar sekali. Mereka melakukan hal itu karena wajar, karena dorongan rasa hati mereka. Jalan satu-satunya hanya harus cepat-cepat pergi dari tempat ini.
Ia maklum bahwa betapapun kuat pertahanan hatinya, sekali waktu pasti akan hancur dan bobol. Bayangkan saja. Pada malam ke dua ia tinggal di situ, menjelang pagi ia bangun dari tidur dan alangkah kagetnya meiihat betapa lima orang gadis itu sudah tidur pula di atas pembaringannya sambil bertumpang tindih memeluknya. Kepala-kepala dengan rambut halus hitam panjang dan harum semerbak karena bunga itu terletak di atas dadanya, perutnya, pahanya, bahkan Dewi memeluk lehernya dengan muka yang dekat sekali dengan mukanya sehingga napas halus Dewi meniupi telinganya! Hal seperti inilah yang amat berbahaya. Untung ia masih tak kehilangan akalnya dan masih kuat mempertahankan hatinya. Kalau kelak sudah selesai tugas-tugasnya, dan kalau kelak ia ingin memilih seorang calon jodoh, mungkin saja ia memilih seorang di antara mereka berlima ini.
Mereka ini cantik-cantik, manis-manis, dan sudah pula ia bayangkan betapa akan manis hidup ini kalau ia beristerikan Dewi dengan empat orang selir seperti Lasmi, Mini, Sari dan Sundari itu! Ia sudah menceritakan segala keinginan hati dan tugasnya kepada Dewi. Pertama-tama ia akan mencari Ayu Candra dan hari itu, lima hari setelah ia berada di situ, Dewi dan anak buahnya mulai pergi mencari Ayu Candra disekitar daerah Anjasmoro. Joko Wandiro melihat mereka pergi berpencar dan menyusup-nyusup di antara pohon hutan dengan gerakan ringan dan cepat. Hatinya lega. Dengan pembantu-pembantu seperti itu, agaknya Ayu Candra akan dapat ditemukan. Tentu saja kalau adiknya itu masih berada di sekitar daerah pegunungan ini.
Ia menjadi sedih kalau teringat akan adiknya itu. Dan ia menjadi marah sekali kalau ingat kepada Ki Jatoko. Ia akan memberi hajaran kepada si buntung itu kalau dapat bertemu kembali. Si buntung itulah yang menjadi biang keladinya, menjadi pembujuk Ayu Candra dengan kata-kata berbisa sehingga gadis itu lupa akan pesanan ayahnya. Joko Wandiro berdiri di puncak Anjasmoro, memandang ke sekeiiling untuk melihat kalau-kalau dari tempat itu ia dapat melihat Ayu Candra. Kesunyian. tempat itu dan kekhawatirannya akan nasib adik kandungnya itu membuat pemuda ini melamun dan untuk sejenak kehilangan kewaspadaannya. Karena melamun dan pikirannya melayang-layang, ia sampai tidak tahu bahwa ada sepasang mata memperhatikannya semenjak tadi. Mata seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa.
Mata yang mengenalnya sebagai murid Ki Patih Narotama, sebagai pembunuh Wirokolo, sebagai musuh besarnya. Mata Dibyo Mamangkoro yang makin lama menjadi makin merah saking marah melihat pemuda itu berdiri seorang diri di tempat sunyi. Biarpun tubuhnya sebesar tubuh raksasa, namun Dibyo Mamangkoro yang sakti mandraguna itu dapat bergerak laksana angin cepatnya dan seringan kapas sehingga Joko Wandiro yang sedang dibuai lamunan itu sama sekali tidak tahu. Barulah Joko Wandiro sadar dan terkejut bukan main setelah terlambat. Dua buah Iengan yang besar dan selain berotot juga mengandung hawa sakti yang menggiriskan telah memeluk dan mengempitnya, lengan kiri melingkari pinggang, lengan kanan memiting leher dari belakang. Seketika Joko Wandiro merasa dadanya sesak dan lehernya tercekik, tak dapat bernapas!
"Uhhh...! Siapakah engkau yang securang ini? Lepaskan...!"
Joko Wandiro mengerahkan tenaga meronta-ronta. Namun kempitan itu amatlah kuatnya sehingga usahanya melepaskan diri sia-sia belaka. Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak-gelak sehingga air ludahnya memercik ke atas kepala dan tengkuk Joko Wandiro.
"Huah-hah-ha-ha-hah! Murid Narotama, hayo kau kerahkan semua kedigdayaanmu. Kalau engkau dapat melepaskan diri, benar-benar engkau seorang jagoan. Kalau tidak dapat, bersiaplah untuk mampus sebagai pengganti gurumu. Huahha-ha-ha!"
"Dibyo Mamangkoro!!"
Joko Wandiro berseru kaget ketika ia mengenal suara ini. Tahulah ia bahwa ia berada dalam bahaya maut karena raksasa ini adalah musuh gurunya yang pasti takkan ragu-ragu lagi untuk membunuhnya. Apalagi karena dahulu ia telah membunuh Wirokolo, adik seperguruan dan sekutu raksasa ini. Ia terkejut dan gelisah, namun dengan cepat Joko Wandiro dapat menekan perasaannya dan bersikap tenang. Dengan suara mengejek ia lalu berkata,
"Dibyo Mamangkoro terkenal sebagai bekas senopati besar, siapa tahu hari ini memperlihatkan sikap seorang pengecut yang curang. Kalau engkau memang seorang jantan, hayo lepaskan dan mari kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan ampuhnya kesaktian!"
"Huah-ha-ha-ha! Melawan bocah macam engkau perlu Apa banyak repot? kau lepaskan dirimu, kalau tidak becus, mampuslah!"
Dibyo Mamangkoro memperkuat kempitannya sehingga pemuda itu merasa tubuhnya seakan-akan dihimpit besi-besi baja yang keras dan amat berat. Joko Wandiro menahan napas lalu mengumpulkan hawa sakti di tubuhnya. Hawa sakti itu berputar-putar di sekitar pusarnya, makin lama makin cepat dan terasa panas, lalu ia dorong hawa itu naik, membentuk tenaga dahsyat dan panas yang mendasari usahanya meronta. Ia memekik dahsyat dan meronta.
Bukan main hebatnya tenaga pemuda ini. Pekik tadi adalah pekik Dirodo Meto, dibarengi pengerahan tenaga Bojro Dahono, benar-benar luar biasa dahsyatnya. Andaikata pemuda itu dibelenggu dengan rantai baja sekalipun dengan pekik dan tenaga sakti macam itu, agaknya semua belenggu akan patah-patah dan ia akan terlepas. Dibyo Mamangkoro terkejut bukan main. Tidak disangkanya bocah ini memiliki kesaktian sehebat itu. Untung dia yang mengempitnya, kalau orang lain tentu akan terjengkang dan roboh, mungkin tewas. Cepat iapun mengerahkan tenaga sambil tertawa berkakakan. Bukan sembarang tertawa, melainkan tertawa berisi aji kesaktian untuk melawan pengaruh pekik Dirodo Meto tadi, kemudian iapun menggunakan hawa sakti di tubuhnya untuk disalurkan ke arah kedua lengan yang mengempit.
Keras lawan keras dam keadaan mereka seimbang. Kempitan itu tidak terlepas, hanya akibatnya, Joko Wandiro terengah-engah dan makin sukar bernapas sedangkan wajah Dibyo Mamangkoro menjadi pucat, penuh keringat sebesar kacang tanah. Dada dan lengannya berkilat-kilat licin oleh peluh. Kalau Dibyo Mamangkoro kagum sekali menyaksikan kesaktian pemuda ini, adalah Joko Wandiro yang terkejut bukan main. Ia telah mengerahkan tenaga, namun kempitan itu tidak terlepas, bahkan melonggarpun tidak, malah makin erat. Ia maklum bahwa kalau ia tidak lekas-lekas dapat melepaskan diri, ia akan mati tercekik, mati kehabisan napas dan dengan tulang-tulang iga remuk! Lengan kanan lawan seperti akan mematahkan batang lehernya, sedangkan tangan kiri lawan yang besar seperti hendak mencengkeram dan merobek kulit perutnya.
Joko Wandiro kembali berusaha dengan pengerahan tenaga. Kini hawa murni di tubuhnya bergerak semua, membentuk hawa sakti yang membuat tubuhnya licin bakai belut. Kini pemuda itu menggunakan tenaga lemas, tidak mau menggunakan kekerasan seperti tadi. Tubuhnya menjadi lemas dan licin, tulang-tulangnya seperti lenyap dan tubuhnya seperti berubah menjadi tubuh belut saja! Inilah hasil hawa sakti yang luar biasa. Andaikata pemuda ini dibelit-belit rantai yang kuat sekalipun, dengan aji ini ia tentu mampu meloloskan diri tanpa mematahkan rantainya. Ketika ia mengerahkar tenaga dan tubuhnya bergerak-gerak hampir berhasil melepaskan diri dari kempitan kedua lengan Dibyo Mamangkoro.
"Aiiihhhh...!!!"
Dibyo Mamangkoro berseru keras dan ia kagum sekali, lalu ia cepat-cepat menambah tenaga dalamnya untuk memperhebat kempitan. Ia kagum bukan main. Sebagai seorang tokoh besar yang sakti, ia maklum pula bahwa lawannya yang masih amat muda ini benar-benar memiliki kedigdayaan dan boleh disebut seorang sakti mardraguna yang jarang bandingnya. Maka ia lalu memperhebat tenaganya dan berusaha meremukkan dada mematahkan batang leher pemuda itu. Otot-otot kedua tangannya sampai timbul, mukanya menjadi beringas, mulutnya membusa. Joko Wandiro diam-diam mengeluh dalam batinnya. Lawannya ini terlalu cerdik, juga terlalu sakti.
Dikempit seperti itu, ia benar-benar tidak dapat mempergunakan aji kepandaiannya. Ia dapat mengimbangi tenaga dalam lawan, namun ia kalah kuat dalam tenaga kasar raksasa itu yang memang hebat. Andaikata ia harus menghadapi kakek itu dalam pertandingan, tentu saja ia dapat mempergunakan semua ajinya, dan belum tentu ia akan kalah. Siapa kira, kakek musuhnya ini demikian licik dan curang, menyerangnya secara menggelap dari belakang. Betapapun juga, Joko Wandiro tidak mau menyerah mentah-mentah begitu saja. Ia tidak mau mati konyoi tanpa perlawanan, maka kembali ia meronta-ronta. Karena pemuda ini memang amat kuat, biarpun ia tidak berhasil membebaskan diri, namun setidaknya ia membuat kedudukan kaki lawannya menjadi terhuyung dan membuat lawannya itu mandi peluh dan lelah sekali.
Joko Wandiro merasa penasaran sekali bahwa ia akan mengakhiri hidupnya secara demikian mengecewakan. Ia maklum bahwa takkan lama ia dapat bertahan. Napasnya sudah sesak sekali dan setiap kali ia terpaksa menyedot napas, pertahanan tenaga dalamnya menjadi lemah sehingga kempitan itu makin erat menyesakkan dada yang serasa seperti akan remuk tulang-tulangnya. Terlalu lama ia menahan napas dan telinganya sudah terngiang-ngiang, pandang matanya mulai berkunang kemudian hidungnya sudah mencium bau hangus, di depan matanya membentang lautan merah darah. Akan tetapi ia masih tenang. Memang pemuda ini tidak gentar menghadapi maut. Hal itu menguntungkannya karena ketenangannya serta ketabahannya membuat ia tidak kehabisan akal.
Dalam keadaan kritis dan maut sudah mengintai nyawanya itu, Joko Wandiro masih memutar otak mencari akal. Dalam saat terakhir itu bagaikan nyala sebuah obor, Joko Wandiro dapat melihat dengan jelas jalan keluar untuk menolong dirinya. Ah, mengapa ia sebodoh itu? Mengapa waktu dan tenaganya ia habiskan untuk meronta-ronta secara sia-sia? Mengapa ia mencari jalan sukar, jalan kekerasan, sedangkan di depannya jelas terdapat jalan yang amat mudah tanpa menggunakan kekerasan untuk meloloskan diri? Ia melihat betapa Iengan kanan lawannya itu memiting lehernya, dengan siku ditekuk tepat di depan mukanya, dan betapa tangan kiri lawannya mencengkeram ke depan perutnya. Dan kedua tangannya sendiri bebas!
Teringatlah ia akan semua pelajaran yang ia terima dari Ki Tejoranu yang selain menurunkan ilmu golok, juga memberitahu akan rahasia bagian-bagian tubuh yang lemah. Siku lawan berada di depannya, mudah dicapai tangan kanannya, demikian pula tangan kiri lawan di depan perut itu mudah dicapai tangan kirinya. Karena kini pandang matanya sudah sama sekali menjadi merah dan ia merasa dirinya seperti tenggelam dalam lautan darah, ia meramkan matanya, akan tetapi kedua tangannya mulai bergerak! Sambil mengerahkan tenaga terakhir, pemuda ini menggunakan tangannya mencengkeram sambungan siku kanan lawan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram pusat kekuatan tangan kiri lawan, yaitu di belakang ibu jari, antara telunjuk dan ibu jari. Sekuat tenaga ia mencengkeram dan menggencet, dan ia lapat-lapat pada saat itu terdengar suara nyaring,
"Eyang, lepaskan! Tidak boleh kau membunuh pemimpin kami..."
Joko Wandiro mendengar suara menggereng hebat dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan. Untung ia masih belum pingsan sehingga ia dapat cepat mematahkan tenaga lontaran itu dengan berjungkir balik beberapa kali. Namun tetap saja ia terbanting, sungguhpun tidak terlalu keras. Ketika ia meloncat bangun, mengatur pernapasan memulihkan tenaga dan memandang ke depan,
Ia melihat Dibyo Mamangkoro berdiri dengan mata terbelalak marah sambil memaki-maki Dewi dan ke empat orang adiknya. Ia merasa bersyukur sekali dan mau rasanya ia memberi hadiah ciuman seorang tiga kali kepada lima orang dara yang telah menyelamatkan nyawanya itu! Memang sesungguhnyalah bahwa mati hidup seorang manusia seluruhnya berada di tangan Hyang Maha Wisesa. Jika belum dikehendakiNya, banyak jalan untuk menolong seseorang daripada marabahaya. Secara kebetulan sekali, ketika Joko Wandiro menggunakan usaha terakhir membebaskan diri tadi, muncul Dewi dan empat orang adiknya yang datang berlari-lari setelah mendapat pelaporan seorang anak buah mereka yang menyaksikan betapa Joko Wandiro terancam maut di tangan Dibyo Mamangkoro.
Anak buah itu tentu saja tak berani bergerak karena Dibyo Mamangkoro adalah terhitung kakek Dewi. Dibyo Mamangkoro adalah paman dari ayah Dewi dan biarpun amat jarang, pernah beberapa kali mengunjungi cucunya di Anjasmoro maka dikenal pula oleh anak buah Dewi. Melihat betapa Joko Wandiro terancam bahaya maut, serentak Dewi dan empat orang adiknya datang menolong. Dewilah yang tadi berteriak menegur eyangnya, dan mereka berlima tadi sudah maju dan memukul ke arah punggung Dibyo Mamangkoro! Tentu saja pukulan-pukulan lima orang gadis itu tidak terlalu hebat bagi Dibyo Mamangkoro. Akan tetapi pada saat itu Joko Wandro telah mencengkeram siku kanan dan pusat kekuatan tangan kirinya.
Karena kedua serangan yang secara kebetulan datang berbareng inilah yang membuat Dibyo Mamangkoro terpaksa melemparkan tubuh Joko Wandiro ke depan, Andaikata lima orang gadis itu tidak menyerang di saat itu, jangan harap cengkeraman Joko Wandiro akan dapat membebaskan dirinya karena selain tenaga pemuda ini sudah mulai lemah, juga lawannya tentu akan dapat mengubah posisi. Juga, andaikata Joko Wandiro tidak sedang mencengkeramnya di saat lima orang gadis itu menyerang, tentu serangan dari belakang itu tidak akan dirasanya, bahkan dengan mudah, menggunakan kedua kakinya kakek raksasa ini akan dapat menghalau lima gadis itu. Memang segalanya tiba secara kebetulan dan seperti sudah diatur sebelumnya sehingga hasilnya menyelamatkan Joko Wandiro!
"Setan cilik! Kucing betina! Berani engkau menyerang eyangmu dan menolong musuh?"
"Eyang, dia junjungan kami! Tidak boleh kau bunuh dia!"
Dewi membantah sambil mengangkat dadanya yang membusung, penuh tantangan.
"Bocah goblok! Tidak tahukah kau siapa dia itu? Dia itu murid Ki Patih Narotama, musuh gerotan kita!"
"Tidak, eyang. Dia sudah menjadi pemimpin kami, sudah kami serahkan jiwa raga kami kepadanya."
Kata pula Dewi.
"Bedebah! kau berani berkhianat? Kalau begitu lebih dulu kalian akan kubunuh!"
Dengan kemarahan meluap-luap Dibyo Mamangkoro mengangkat tangan kanan ke atas dan menghantam ke arah Dewi dan empat orang adiknya dengan pukulan jarak jauh yang ampuh. Ia terlalu memandang rendah kepada cucunya maka ia hanya menggunakan sebagian kecil tenaga dalamnya. Terdengar suara angin bersiutan menyambar ke arah Dewi dan empat orang adiknya. Namun lima orang gadis itu sudah terlatih baik dan keistimewaan mereka adalah gerakan yang amat cekatan. Mereka menjerit nyaring saking ngeri dan kaget, namun loncatan mereka berhasil menyelamatkan diri mereka daripada sambaran angin pukulan dahsyat itu.
"Krakkkk... brruuukkkk...!"
Sebatang pohon sebesar manusia yang mewakili mereka, terkena pukulan itu seperti disambar petir, tumbang seketika? Lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Di lain fihak, muka Dibyo Mamangkoro menjadi merah sekali saking penasaran dan marah melihat pukulannya hanya menumbangkan pohon. Ia melangkah tiga tindak ke depan hendak memukul lagi dengan tenaga penuh akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan dan tahu-tahu Joko Wandiro sudah berada di depannya!
"Dibyo Mamangkoro. Lawanmu adalah aku, Joko Wandiro. Bukan segala bocah perawan yang lemah! Dewi, kau dan adik-adikmu menyingkirlah jauh-jauh dan kalian tonton saja betapa pemimpin kalian merobohkan manusia iblis yang kejam ini!"
Karena amat taat kepada Joko Wandiro, biarpun di dalam hati merasa amat gelisah karena maklum betapa sakti mandraguna eyangnya itu, Dewi mengajak empat orang adiknya menjauhkan diri dan menonton dari jauh dengan jantung berdebar.
Mereka diam-diam memberi isyarat kepada semua anak buah mereka, yaitu apabila Joko Wandiro roboh binasa, mereka semua, tiga puluh lima orang wanita banyaknya, akan nekat mengeroyok Dibyo Mamangkoro dan kalau perlu ikut mati bersama pemimpin mereka yang tercinta! Dibyo Mamangkoro merasa betapa dadanya seperti akan meledak saking marahnya. Ia harus mengakui bahwa setelah berkali-kali mencoba, belum pernah ia dapat mengatasi kesaktian Ki Patih Narotama. Akan tetapi kini ia hanya berhadapan dengan muridnya, seorang bocah yang baru berusia dua puluhan tahun! Dan bocah ini sudah berani menentangnya dengan kata-kata yang diang gapnya sombong.
"Babo-babo...! Joko Wandiro, sumbarmu menunjukkan bahwa engkau tentulah murid terkasih Narotama yang sudah mewarisi semua aji kesaktiannya. Bagus! Dengan membunuhmu, sama halnya dengan membunuh Narotama sendiri. Akan puaslah hatiku, tertebus sebagian daripada dendamku kepadanya. Huah-ha-ha-ha!"
Tubuh yang tinggi besar itu bergoyang-goyang, kepalanya menengadah dan dalam keadaan begini, siapa mengira bahwa raksasa tua ini siap menyerang? Di sinilah terletak kelicikan dan kecerdikannya. Joko Wandiro juga tidak mengira bahwa lawannya ini sudah siap bertempur maka iapun belum berjaga-jaga. Namun tahu-tahu, dengan suara ketawanya masih menderu, kakek raksasa itu sudah mencelat ke depan dan mengirim pukulan yang hebat bukan main ke arah dada Joko Wandiro!
"Werrr... dessss...!!!"
Bukan main hebatnya pertemuan kedua lengan ini. Pukulan yang mengandung tenaga dalam yang amat tinggi, datangnya tidak tersangka-sangka, sungguhpun dapat ditangkis oleh Joko Wandiro, namun tangkisan itu kurang tenaga. Akibatnya... tubuh Joko Wandiro mencelat sampai lima meter lebih dan baru berhenti ketika menabrak pohon waru yang menjadi patah seketika!
(Lanjut ke Jilid 34)
Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "
Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 34
"Huah-Ha-Ha-Ha! Hanya sebegitu saja kedigdayaanmu bocah sombong? Ha-ha-ha-ha! Bersiaplah untuk mampus!"
Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak sambil melangkah lebar menghampiri Joko Wandiro yang biarpun tidak terluka namun agak pening dan kini merangkak bangun sambil menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningannya.
"Iblis curang, majulah!"
la menantang, kini waspada dan hati-hati. la tenang saja karena pertemuan tenaga tadi melegakan hatinya. Biarpun hebat tenaga kakek raksasa ini, namun kiranya ia akan dapat menandinginya. Dari gurunya ia maklum bahwa tenaga sakti timbul dari hawa yang murni di dalam tubuh. Hawa murni hanya dapat dihimpun oleh mereka yang hati dan pikirannya bersih, yang tidak menjadi abdi nafsu. Orang yang menyeleweng hidupnya seperti Dibyo Mamangkoro, hanya dapat memperkuat tenaga saktinya dengan ilrnu hitam, namun hawa murni di tubuh makin mengurang dan lemah. Karena inilah, benturan tenaga tadi membuat Joko Wandiro tenang. Akan tetapi, seujung rambutpun ia tidak berani memandang rendang lawannya dan tetap bersikap waspada dan hati-hati.
"Hua-ha-ha, terimalah ini!"
Dibyo Mamangkoro menyeruduk lagi seperti lagak seekor gajah mengamuk. Kedua lengannya yang besar dikembangkan dan kedua kepalan tangannya yang hampir menyamai kepala Joko Wandiro besarnya, menyambar dari kanan kiri, yang kanan menghantam pelipis pemuda itu, yang kiri mencengkeram ke arah lambung.
Dua serangan sekaligus yang amat keji dan berbahaya. Satu saja di antara dua tangan itu mengenai sasaran, akan celakalah Joko Wandiro! Namun kini Joko Wandiro sudah siap siaga. Ia sudah mengisi tubuhnya dengan Aji Bayu Sakti sehingga kedua kakinya seakan-akan dipasangi per yang kuat. Melihat datangnya pukulan, ia mengelak dengan lincah dan mudah sehingga dua tangan raksasa itu hanya mengenai angin kosong. Namun harus diakui bahwa kakek raksasa yang tinggi besar itu tidak selamban gajah gerakannya, melainkan setangkas harimau kelaparan. Begitu serangannya gagal oleh elakan lawan yang melompat ke kiri, ia sudah menubruk lagi ke kiri dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya seperti cakar burung elang menyambar anak ayam.
Sampai bersuitan menyakitkan telinga bunyi angin serangan kedua tangan ini sehingga dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kalau mengenai sasaran. Serangan susulan ini harus diakui amat cepat. Joko Wandiro sendiri menjadi kagum karena memang di luar persangkaan orang betapa tubuh yang tinggi besar ini dapat bergerak secepat dan selincah itu. Karena baru saja kedua kaki Joko Wandiro hinggap di atas tanah ketika melompat menghindarkan diri dari serangan pertama tadi, kini menghadapi serangan ke dua, Joko Wandiro sudah roenggulingkan tubuh ke kanan dan dengan jalan ini, kembali terkaman Dibyo Mamangkoro hanya membuat tanah beterbangan. Joko Wandiro sengaja tersenyum-senyum mengejek.
"Hanya sebegitu sajakah hebatnya seranganmu, Dibyo Mamangkoro?"
Sikap ini merupakan siasat pertempuran yang ia pelajari dahulu dari Ki Tejoranu. Menghadapi lawan tangguh, paling penting harus mencari titik kelemahannya, demikian Ki Tejoranu memberi nasehat.
Dan sebagian besar orang sakti, tentu memiliki kelemahan masing-masing. Kelemahan umum adalah tak pandai mengendalikan perasaan. Buatlah lawan kacau perhatiannya dan untuk mengacau perhatiannya paling baik membangkitkan amarah di hatinya. Makin marah dia, makin kacau perhatiannya dan makin mudah dicari gerakan-gerakan yang dibuatnya karena terlampau marah dan terburu nafsu hendak menang. Akal Joko Wandiro itu berhasil. Tentu saja pemuda ini tidaklah sedemikian sombongnya sehingga ia berani memandang rendah kepada Dibyo Mamangkoro. Ia tahu bahwa kakek raksasa ini sakti mandraguna dan digdaya sekali. Mana ia berani memandang rendah? Dibyo Mamangkorolah yang memandang rendah kepada Joko Wandiro. Hal ini tidak aneh.
Kakek raksasa ini memang seorang yang sakti pilih tanding. Jarang ia mengalami kekalahan dan hanya oleh Ki Patih Narotama saja ia berkali-kali dikalahkan. Kini menghadapi seorang pemuda seperti Joko Wandiro tentu saja ia memandang rendah. Betapa takkan memandang rendah kalau diingat bahwa sebelum pemuda itu terlahir di dunia ia sudah menjadi seorang jagoan yang sukar dikalahkan! Inilah kesalahan Dibyo Mamangkoro, juga kesalahan banyak orang-orang pandai. Setelah pandai, mereka mengira bahwa merekalah yang terpandai di jagad raya ini, menjadikan mereka somborg. Dibyo Mamangkoro tidak insyaf bahwa dia kini telah menjadi tua dan menghadapi Joko Wandiro, dalam banyak hal ia kalah oleh pemuda ini. Pertama-tama kalah muda, ke dua kalah tenang, dan ke tiga kalah bersih hatinya.
"Heh, si keparat! Berani engkau memandang rendah kepadaku? Setan alas, rasakan ini!"
Tiba-tiba tubuh Dibyo Mamangkoro berputar-putar dan bagaikan angin puyuh ia menerjang maju. Hebat bukan main gelombang serangan ini. Tubuhnya berputar-putar sehingga kaki tangannya seakan-akan berubah menjadi banyak sekali yang menyerang tubuh Joko Wandiro dari delapan penjuru! Bertubi-tubi datangnya pukulan, tamparan, cengkeraman, dan tendangan yang dilakukan oleh banyak tangan dan kaki itu. Setiap pukulan pasti mengandung tenaga yang dahsyat! Daun-daun kering yang berada di atas tanah terbawa oleh pusingan angin yang diakibatkan tubuh kakek ra ksasa. yang berputar-putar itu sehingga tubuh keduanya terselimut oleh daun-daun kering dan debu yang membubung ke atas berpusingan!
Hebat bukan main serangan Dibyo Mamangkoro. Namun lebih hebat kegesitan tubuh Joko Wandiro. Tubuh pemuda ini seketika lenyap bagi pandangan Dewi dan adik-adik serta anak buahnya yang menonton dari jauh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tubuh pemuda itu lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat menyelinap di antara tangan dan kaki yang banyak itu. Sungguh merupakan pemandangan yang bagus, aneh, dan menyeramkan. Pertandingan ini jauh lebih hebat daripada pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto. Kalau dalam pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, pemuda ini banyak mengalah, selalu mengelak dan tak pernah membalas dengan sungguh-sungguh, adalah pertandingan sekarang ini dilakukan dengan mati-matian.
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keduanya menyerang dengan serangan maut. Juga Joko Wandiro selalu membalas sedapat mungkin dengan pukulan-pukulan ampuh. Namun karena lawannya menggunakan ilmu silat yang liar dan ganas seperti tanpa diatur lagi, ia terdesak dan hanya dapat membalas satu kali untuk penyerangan lima kali. Makin lama Dibyo Mamangkoro makin penasaran. Sungguh di luar perkiraannya bahwa pemuda ini demikian hebat. Memang ia tahu bahwa murid Narotama ini seorang yang berbakat baik ketika dahulu anak ini mengalahkan Wirokolo, dan ia sudah mengkhawatirkan bahwa muridnya, Endang Patibroto, tentu akan bertemu tanding yang kuat dalam diri anak ini.
Akan tetapi siapa kira bahwa dia sendiri setelah mengerahkan tenaga dan kepandaian, setelah lewat seratus jurus lebih, belum juga berhasil merobohkannya. Dengan gerakan marah ia kembali menubruk, kemudian mengirim pukulan disertai pekik dahsyat. Itulah pekik Sardulo Bairowo (Pekik Harimau) yang disertai pukulan mematikan! Joko Wandiro terkejut. Berbahaya kalau mengelak pukulan ini, karena pukulan ini mengandung hawa yang menghadang semua jalan keluar. Di samping itu, ia harus pula menghadapi getaran hebat dari pekik Sardulo Bairowo. Maka iapun memekik dengan pengerahan Aji Dirodo Meto, kemudian mengangkat tangannya menangkis pukulan itu. Dua buah tangan yang amat kuat, mendorong ke depan dan dua telapak tangan bertemu di udara!
"Bressss...!!"
Kalau tubuh Joko Wandiro yang tampak kecil apabila dibandingkan dengan tubuh lawannya itu terlempar seperti daun kering tertiup angin, hal ini masih tidak mengherankan setelah pertemuan dua tenaga dahsyat itu.
Akan tetapi adalah amat aneh melihat tubuh kakek raksasa itupun terlempar seperti layang-layang putus talinya, tidak kalah jauhnya oleh tubuh Joko Wandiro. Benturan tenaga mujijat itu membuat mereka terlempar ke belakang sampai sepuiuh meter lebih! Bukan main marahnya Dibyo Mamangkoro. Ia merangkak bangun, dadanya turun naik, napasnya menggos-menggos seperti kuda habis membalap, matanya jelilatan merah, mulutnya menyeringai dan ada busa put ih di kedua ujungnya. Joko Wandiro juga sudah melompat lagi. seperti juga lawannya, iapun tidak terluka, namun terkejut oleh kehebatan hawa pukulan lawan. Kini dengan tenang ia berdiri menentang pandang mata lawannya.
"Bocah keparat, boleh juga kepandaianmu. Akan tetapi kau berhati-hatilah terhadap seranganku kali ini!"
Sambil berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggosok-gosok kedua tangannya dan tampaklah asap tebal mengepul dari gosokan kedua telapak tangan itu.
Mula-mula kedua tangan yang besar itu tampak kemerahan sampai ke kuku-kukunya seperti membara, makin lama menjadi makin menghitam dan terasalah hawa panas di sekitar kakek ini. Itulah Aji Wisangnolo yang hebatnya menggila! Untung bagi Joko Wandiro bahwa dia pernah bertanding melawan Endang Patibroto yang seakan-akan merupakan Dibyo Mamangkoro ke dua. Karena itu maka ia mengenal gerakan-gerakan kakek itu, mengenal pula kehebatan Wisangnolo yang berhawa panas. Ia makin berhati-hati dan diam-diam ia membaca mantera dan mengerahkan aji kesaktian Bojro Dahono ke dalam kedua lengan tangannya. Kemudian, untuk memperlihatkan pada lawan bahwa ia sama sekali tidak takut menghadapi kedua tangan yang mengeluarkan asap tebal itu, Joko Wandiro mendahului lawannya melangkah maju!
Setelah jarak di antara mereka tinggal tiga meter lagi, tiba-tiba Dibyo Mamangkoro mengeluarkan pekik dahsyat Sardulo Bairowo dan tubuhnya mencelat ke atas. Bagaikan terbang saja kakek raksasa ini meloncat tinggi dan dari udara ia menyambar turun sambil menghantamkan kedua tangannya berturut-turut ke arah Joko Wandiro. Pemuda ini merasa betapa hawa panas menyambar ke arahnya. Cepat ia meloncat sambil menangkis. Walau tangan mereka tidak bersentuhan dan tubuh mereka mencelat di udara, namun dalam gerakan ini mereka telah saling tangkis dengan ilmu-ilmu pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Keduanya kini terpelanting dan berjungkir balik sehingga dapat berdiri kembali di atas tanah.
Tanpa membuang waktu lagi, keduanya berlomba untuk membalikkan tubuh dan kembali mereka saling serang mati-matian. Gerakan mereka kini tidak secepat tadi, bahkan amat lambat seperti orang sedang latihan atau sedang menari saja. Tidak pernah kedua tangan itu bersentuhan, namun mereka itu ternyata sedang mengadu kesaktian dengan cara mati-matian. Tentu saja kedua pasang tangan itu tak sempat bersentuhan karena didahului oleh hawa pukulan jarak jauh yang amat kuat. Dibyo Mamangkoro adalah tokoh besar Kerajaan Wengker, sebuah Kerajaan yang dirajai oleh manusia siluman, yaitu Prabu Boko yang makanannyapun daging bayi! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, tergolong seorang datuk kalangan hitam yang memiliki bermacam-macam ilmu kesaktian yang aneh-aneh.
Ilmu silatnyapun banyak ragamnya dan kini setelah mendapat kenyataan bahwa lawannya yang muda belia ini ternyata benar-benar sakti mandraguna, Dibyo Mamangkoro menjadi penasaran dan keluarlah semua ajiannya. Berkali-kali kakek raksasa ini menukar gerakannya dengan bermacam ilmu silat yang aneh-aneh. Ia menang latihan dan menang pengalaman sehingga dengan cara ini ia berhasil membuat Joko Wandiro kebingungan. Selain itu, pengalamannya yang luas itu membuat ia mudah mengenal ilmu orang. Setelah lewat puluhan jurus, kakek itu sudah mengenal inti daripada Ilmu Silat Bramoro Seto yang dimainkan pemuda itu, maka pada jurus berikutnya setelah ia tahu bagaimana perubahan selanjutnya dari gerakan lawan, kakek ini mendahului dengan sebuah dupakan yang tepat mengenai pundak kiri Joko Wandiro.
"Blekkk...!!"
Tubuh Joko Wandiro seperti disambar petir, terputar-putar sampai lima kali baru roboh bergulingan di atas tanah. Dari jauh terdengar jerit-jerit mengerikan dari Dewi dan empat orang adiknya. Mereka ngeri menyaksikan orang yang mereka kasihi itu tertendang sampai berputaran dan bergulingan seperti itu. Akan tetapi mereka tidak jadi lari menghampiri ketika melihat betapa pemuda itu sudah melompat bangun lagi dengan sigapnya. Pada saat itu, kaki kiri Dibyo Mamangkoro sudah menyusulkan sebuah tendangan lagi ke arah kepala Joko Wandiro yang dimaksudkan sebagai tendangan maut. Joko Wandiro miringkan kepaia dan jari tangannya yang terbuka dikipatkan ke arah betis lawan.
"Plakkk...! Auuggghhh...!!!"
Kakek raksasa itu berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan sambil mengangkat-angkat kaki kiri yang terasa amat nyeri dan panas karena dicium jari-jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo. Terdengar sorak-sorai Dewi dan empat orang adiknya, diikuti oleh tiga puluh orang wanita anak buahnya. Dibyo Mamangkoro marah bukan main lalu menubruk maju dan kembali ia mengganti gerakan ilmu siiatnya. Kini ilmu siiatnya itu amat aneh karena ia menyerang sambil menggulingkan tubuh ke atas tanah. Sambil bergulingan ia menerjang, mendekati lawan lalu tiba-tiba dari bawah mengirim pukulan, tendangan, atau cengkeraman.
Joko Wandiro kembali dibuat bingung oleh gerakan-gerakan ini. Terpaksa pemuda ini meloncat ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri tanpa mendapat kesempatan untuk membalas serangan lawan. Ia menanti kesempatan untuk balas menyerang dan ketika ia melihat pada suatu saat kakek itu agak lambat menggulingkan diri, ia segera melangkah maju dan menendang punggung kakek itu. Akan tetapi, siapa duga, gerakan melambat itu adalah sebuah pancingan. Begitu Joko Wandiro menendang, kakek itu tiba-tiba mengulur kedua tangan ke depan dan... kaki kanan pemuda yang menendang itu telah tertangkap oleh tangan kiri Dibyo Mamangkoro dan sebelum pemuda itu lenyap kagetnya, kaki kirinya sudah ditangkap pula oleh tangan kanan!
"Hua-ha-ha-ha, kubeset kau menjadi dua potong"
Kakek itu yang masih rebah di atas tanah tertawa sambil mengerahkan tenaga pada kedua lengannya.
Tentu saja Joko Wandiro tidak sudi tubuhnya dirobek menjadi dua seperti orang merobek kedua paha ayam saja. Iapun mengerahkan seluruh tenaga dan mempertahankan kedua kakinya. Celaka baginya, kakek yang amat licik itu tiba-tiba menyentakkan kakinya. Tidak dapat ditahan iagi, tergulinglah Joko Wandiro dengan kedua kaki masih dipegangi lawan! Saat itulah yang amat berbahaya karena kalau tidak kuat-kuat ia mempertahankan tubuhnya tentu akan benar-benar robek menjadi dua! Ia sudah merasa sakit pada selangkangannya, maka cepat-cepat tangannya meraih ke pinggang dan ia sudah mencabut keris pusaka Megantoro, keris lekuk tujuh yang ia dapat dari gurunya, Ki Patih Narotama. Ia menekuk pinggangnya dan keris itu ia ayun ke arah kedua tangan lawan yang masih memegangi kaki.
"Heehhhhh...!"
Dibyo Mamangkoro menggereng dan cepat melepaskan pegangannya sambil melompat bangun. Kembali mereka sudah saling berhadapan. Dibyo Mamangkoro penuh peluh leher dan mukanya. Joko Wandiro agak pucat, dan basah dahinya. Kedua kakinya terasa nyeri dan perih. Biarpun ia sudah berhasil menyelamatkan diri, namun pergelangan kedua kakinya yang tadi kena dicengkeram oleh dua tangan yang mengandung Aji Wisangnolo, kini menjadi merah seperti terbakar!
"Huah-ha-ha! Engkau kewalahan dan memegang pusaka?"
Raksasa itu mengejek.
"Engkau memang digdaya, Mamangkoro. Akan tetapi aku masih belum kalah. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita lanjutkan!"
Jawab Joko Wandiro dengan sikap tenang dan pandang mata penuh keberanian. Dibyo Mamangkoro menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepalanya.
"Hebat! Baru ini seumur hidupku bertemu tanding seorang muda begini hebat. Kalau aku kalah oleh seorang muda seperti engkau, Joko Wandiro, agaknya memang sudah sepatutnya aku lenyap dari permukaan bumi ini."
Setelah berkata demikian, kedua tangannya meraba pinggang dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang sepasang tombak pendek yang dipegang pada tengah-tengahnya. Tombak pendek yang mempunyai dua mata di depan dan belakang itu kini diputar-putar di kedua tangannya dan ia menerjang maju sambil mengeluarkan pekik dahsyat.
Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo