Badai Laut Selatan 6
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Anak hina-dina! kau tak patut hidup!"
Jeritnya dengan suara terpecah dalam tangis, lalu ia... melemparkan anak itu jauh-jauh ke tengah laut yang bergelombang!
Tanpa melihat lagi ia membalikkan tubuh, meloncat turun dari atas batu karang lalu berlarian sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan, kemudian menjatuhkan diri bergulingan di atas pasir sambil menangis. Jantungnya terasa ditusuk-tusuk dan timbul rasa ngeri di hatinya untuk menoleh ke arah laut yang telah menelan bocah yang dilahirkannya dua pekan yang lalu. Suara ombak yang menderu itu masuk memenuhi telinganya, dan kini berubah menjadi suara tangis anak bayinya! Tangis yang amat nyaring sehingga ia tak kuasa menahan lagi, lalu menutupkan kedua tangannya kepada telinga. Namun, betapa keras ia menutupi telinganya, suara tangis itu masih terdengar terus, bahkan makin lama makin nyaring..
"Diam...!! Jahanan! Diamlah...!!"
Ia menjerit-jerit bergulingan di pantai seperti disiksa, akhirnya suara jeritannya menjadi keluh dan rintih mengerang-erang perlahan."...Diamlah..., diamlah, nak... diamlah..."
Dan ia menangis tersedu-sedu. Setelah mereda gelora hatinya, ia memberanikan diri menoleh ke arah laut. Laut masih mengganas, ombaknya besar-besar seakan-akan menjadi marah kepadanya. Ombak laut seperti terbakar, merah tersinar matahari yang hamper tenggelam di langit barat. Ombak merah menggelora, bergulung-gulung panjang seperti naga raksasa mengamuk.
Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat berdiri. Matanya dilebar-lebarkan memandang kepada sebuah benda yang tergolek di tepi pantai, diatas pasir. Ikankah? Ikan mati? Agaknya ikan mati, terdampar oleh ombak ke pantai. Putih berkilat seperti perut ikan, tak bergerak-gerak. Kartikosari bergidik, meremang bulu tengkuknya. Bentuk ikan itu! Aneh sekali! Hitam-hitam di ujungnya. Ekor? Terlalu besar. Dan mulutnya! Mengapa terpecah menjadi dua? Mulut? Mirip kaki. Kaki bayinya!. Benda itu bergerak-gerak, lalu terpecah suara tangis yang melengking. Meremang seluruh tubuh Kartikosari, bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tangis bayi! Tangis anaknya!.
"Anakku...!!!"
Kartikosari menjerit dan berlari cepat sekali seperti terbang ke arah benda putih itu. Ditubruknya bayi yang menangis terkekal-kekal itu, sambil berlutut di atas pasir ia mendekap bayi telanjang bulat itu ke dadanya, ditangisinya sambil terengah-engah, diciuminya, didekap lagi ke dada dan air matanya membanjir, mencuci pasir yang lekat-lekat pada tubuh bayi.
"Aduh, anakku..., anakku...! kau kembali...? kau... kau anak Pujo...? Anakku...! Ampuni ibumu, nak... ampun...!"
Ia tidak perdulikan lidah ombak menjilat-jilat kaki dan lututnya, seperti lidah anjing jinak menjilat-jilat kaki majikannya, rnohon perhatian dan belas kasihan. Direnggutnya kain penutup dadanya sehingga tampak kedua buah dadanya yang montok dan penuh air susu, yang seakan-akan hendak pecah karena kulit yang tipis halus itu tak dapat menampung air susu yang terlalu penuh, dimasukkannya ujung buah dada yang merah itu ke mulut bayinya yang menangis keras. Seketika terhentilah tangis bayi. Tanpa diajari oleh siapapun, manusia kecil itu lantas menghisap air susu dari dada ibunya, menghisap keras-keras dan terpancarlah air kehidupan itu menerjang tenggorokan yang kecil. Bayi itu tersedak dan terbatuk-batuk. Kartikosari melepas buah dadanya dari mulut bayinya, mulutnya berkata halus,
"Pissss...! Pissss...!"
Sambil menebak-nebak dada sendiri perlahan. Setelah anaknya tidak terbatuk-batuk lagi, kembali ia menyusui anaknya, sambil tertawa gembira dan air matanya menitik turun ketika ia berkata,
"Cah ayu..., perlahan-lahan saja menyusu, nak..., ibumu tidak marah lagi... oh, tidak akan marah lagi..."
Dengan air mata mengalir di kedua pipinya, Kartikosari membelai-belai kepala anaknya dengan pipi, merasai betapa halus rambut anaknya tergeser di pipi. Ombak agak besar kini mencapai lutut dan pinggangnya. Kartikosari cepat berdiri agar anaknya tidak terkena air. Ia menoleh ke arah laut dan berkata,
"Terima kasih, ayahku Laut Selatan! Terima kasih! kau telah mengembalikan cucumu kepadaku! Baik, akan kurawat dia, akan kujadikan dia seorang gadis yang patut menjadi cucu Laut Selatan!"
Kartikosari lalu berlari-lari mendukung anaknya yang masih menyusu lahap itu menuju ke dalam guha yang menjadi tempat tinggalnya. Semenjak saat itu, hidupnya mempunyai arah dan tujuan. Tidak hanya untuk membalas dendam kepada Wisangjiwo, akan tetapi juga untuk merawat dan mendidik puterinya. Endang Patibroto! Ya, demikianlah ia memberi nama kepada puterinya. Endang Patibroto. Patibroto berarti setia kepada suami. Ya, memang ia selalu setia kepada suaminya, bahkan terjadinya peristiwa hina di malam jahanam dalam Guha Siluman sehingga menimbulkan akibat seperti yang dideritanya sekarang, semata-mata karena kesetiaannya kepada suaminya. Tak peduli anak siapa bayi itu, ia tetap setia kepada suaminya, setia lahir batin.
Biarlah dunia mengutuknya, biarlah suaminya mengumpat caci dan tidak mempercaya akan kesetiaannya, namun Laut dan Badai tahu! Dia sendiri tahu! Puterinya tahu! Karena itu, puterinya harus bernama Endang Patibroto sebagai bukti dan penguat kesetiaannya. Mulailah Kartikosari memperhatikan kesehatannya, demi puterinya, demi Endang Patibroto. Mulai ia membawa sisa perhiasan emasnya ke dusun dan minta kepada penghuni dusun yang keheranan itu untuk membawa perhiasannya ke kota, menjual dan menukarkan dengan pakaian dan kebutuhan lain. Mulailah ia kini setiap hari mencari sarang burung di tempat-tempat yang sukar, lalu menyuruh penghuni dusun menjualnya ke kota. Di kota banyak terdapat pedagang yang suka berdagang ke kota-kota besar dan kabarnya sarang burung itu dijualnya kepada Bangsa Cina dengan harga tinggi.
(Lanjut ke Jilid 06)
Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "
Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Ia merawat puterinya penuh kasih sayang, penuh perhatian. Di samping ini ia tekun pula bertapa, tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang diperdalamnya, bahkan ia mulai merangkai ilmu-ilmu pukulan sambil meneliti gerakan burung-burung walet dan burung camar (elang laut), merangkai ilmu merayap sambil meneliti gerakan bermacam kepiting dan ilmu meloncat berdasarkan gerakan monyet yang banyak berkeliaran di pantai. Ia menghimpun tenaga, memperdalam ilmu, bukan hanya untuk kelak membalas dendam kepada musuh besarnya, melainkan juga untuk diturunkan kelak kepada Endang Patibroto!.
Mulailah ia melihat matahari bersinar, mulailah sinar gembira bernyala dalam dadanya, karena hidupnya kini ada artinya. Ia berpesan dan disertai ancaman kepada penghuni dusun yang pernah menolongnya agar mereka itu tidak menceritakan keadaan dirinya kepada orang lain. Karena penduduk dusun kini yakin, bahwa puteri cantik ini benar-benar bukan manusia, kalau datang dan perginya bukan berjalan melainkan terbang, tentu saja mereka ketakutan dan mentaati pesan ini. Kartikosari sengaja memperlihatkan kepandaiannya dan bergerak secepat terbang untuk memaksa mereka takut dan percaya kepadanya.
* * *
Kita tinggalkan dulu Kartikosari yang hidup bersunyi dengan puterinya, dan mari kita menjenguk sejenak keadaan Roro Luhito, wanita lain yang juga mengalami nasib buruk akibat perbuatan terkutuk Jokowanengpati. Hanya saja, dibandingkan Kartikosari, Roro Luhito tidaklah menanggung kesengsaraan batin yang terlalu parah. Hal ini adalah karena di lubuk hatinya, gadis puteri Adipati Joyowiseso ini menaruh cinta kepada Pujo! Oleh karena rasa cinta inilah maka peristiwa di malam hari dalam kamarnya itu tidaklah amat disesalkannya, sungguhpun tentu saja ia tidak menghendaki demikian. Namun hal itu telah terjadi, dan kini gadis yang lincah ini melarikan diri dari orang tuanya. Mengapa? Untuk mencari Pujo! Ia telah menjadi milik Pujo, dan ia rela menyerahkan jiwa raganya kepada Pujo. Rela pula andaikata ia hanya menjadi isteri ke dua. Akan tetapi, ke manakah ia harus mencari Pujo? Inilah yang menyusahkan hatinya.
Memang semestinya ia tidak secara membabi buta pergi sendiri mencari Pujo, akan tetapi ia telah mendengar bahwa ia hendak dijodohkan dengan Jokowanengpati dan ia sama sekali tidak menghendaki hal ini terjadi! Andaikata tidak terjadi peristiwa dengan Pujo, agaknya ia tidaklah akan berkukuh benar. Namun, setelah tubuhnya menjadi milik Pujo, bagaimana ia bisa menjadi isteri orang lain? Apalagi isteri Jokowanengpati yang mengetahui akan terjadinya peristiwa itu? Tidak! Ia tentu kelak hanya akan menjadi bahan hinaan dan cemoohan Jokowanengpati belaka. Ia harus mencari Pujo, sekarang juga. Tadinya Roro Luhito hendak mencari ke daerah pantai. Akan tetapi gadis ini membatalkan niatnya ketika ia berpikir bahwa setelah melakukan perbuatan di Kadipaten Selopenangkep, agaknya tak mungkin Pujo akan kembali ke pesisir.
Tentu Pujo juga maklum bahwa adipati akan mengerahkan pasukannya mencarinya di daerah pantai di sekitar Sungapan atau di Guha Siluman. Masa Pujo begitu bodoh akan menanti datangnya serbuan di sana? Pasti orang muda itu sudah berlari ke jurusan lain! Karena pendapat inilah maka Roro Luhito bukannya lari ke selatan melainkan sebaliknya, ia lari ke utara! Selain menduga bahwa Pujo tidak berada di selatan, juga gadis ini ingin menghindari pengejaran ayahnya. Roro Luhito biarpun seorang wanita, namun ia pernah mempelajari olah keprajuritan. Tubuhnya yang ramping padat itu kuat sekali, gerak-geriknya tangkas cekatan. Oleh karena inilah maka perjalanan naik turun gunung itu tidak amat menyukarkan benar padanya.
Beberapa hari kemudian ia telah menyeberangi Gunung Merbabu yang besar dan pada hari Selasa Kliwon menjelang senja, ia telah berada di lereng Gunung Telomoyo yang terletak di sebelah utara Gunung Merbabu. Di dalam hatinya Roro Luhito mulai mengeluh. Sudah banyak bukit kecil ia lalui, bahkan kini gunung yang amat besar berada di belakangnya, menghadapi puncak gunung lain yang kelihatan menyeramkan. Akan tetapi belum kelihatan sedikitpun jejak Pujo! Sering sudah ia bertanya-tanya orang di jalan, setiap dusun ia singgahi, namun tak seorangpun tahu akan Pujo. Dan pada senja hari ini ia kemalaman di dalam hutan di lereng sebuah sebuah gunung yang puncaknya kelihatan serem menakutkan. Ia harus terpaksa bermalam di dalam hutan yang sunyi dan besar, sedangkan malam nanti gelap tiada bulan.
"Sebelum gelap benar, aku harus mencari tempat mengaso yang enak,"
Pikirnya dan mulailah ia mencari-cari. Hutan itu luas, penuh pohon-pohon besar yang sudah ribuan tahun umurnya. Dari dalam hutan itu terdengar suara bermacam binatang buas. Mendengar aum harimau, Roro Luhito bergidik. Ia sebenarnya tidak takut berhadapan dengan harimau buas, dan ia berani melawannya dengan keris di tangan. Pernah ketika di Kadipaten Selopenangkep diadakan keramaian mengurung harimau, ia tidak ketinggalan ikut pula menghadapi kebuasan harimau.
Akan tetapi di dalam hutan sebesar ini, apalagi di waktu malam gelap kalau ia sedang tertidur lalu muncul banyak harimau! Siapa orangnya tidak gentar? Ia menoleh ke atas. Lebih baik aku mengaso di dalam pohon besar, pikirnya. Sebuas-buasnya harimau, tidak mungkin dapat mencapaiku di atas pohon. Akan tetapi pada saat itu, daun-daun besar bergoyang-goyang, terdengar suara cecowetan dan muncullah banyak lutung (monyet hitam) yang besar-besar! Roro Luhito bergidik. Lutung-lutung itu tidaklah sebuas harimau, akan tetapi kalau orang sedang berada di pohon lalu dikeroyok lutung, alangkah ngerinya. Hendak melawanpun bagaimana caranya kalau sedang berada di pohon? Roro Luhito segera mengambil batu-batu kecil dan menyambiti lutung-lutung itu, maksud hatinya hendak mengusir binatang-binatang itu agar pohon besar itu kosong. Sambil menyambit ia membentak,
"Lutung-lutung busuk, pergi dari pohon! Pohon ini tempatku untuk malam ini, kalian tidak boleh mendekat!"
Belasan ekor lutung itu melarikan diri berloncatan sambil mengeluarkan bunyi ramai cecowetan seakan-akan mengumpat caci kepada gadis nakal yang mengganggu mereka. Roro Luhito tertawa geli, kemudian dengan cepat ia mengenjot tubuhnya ke atas, menyambar cabang pohon terendah, lalu mengayun tubuhnya ke atas dan mulailah ia memanjat pohon besar itu.
Dipilihnya cabang yang berdempetan, membabati daun-daun dengan kerisnya, kemudian ia membuat tempat duduk yang cukup enak. Lumayan, pikirnya sambil duduk di atas anyaman ranting di atas cabang. Namun, setelah matahari terbenam dan ia tenggelam pula dalam lautan hitam yang gelap, datanglah gangguan-gangguan yang membuat Roro Luhito semalam suntuk tak dapat tidur dan mengalami kecemasan. Hanya sinar bintang-bintang di angkasa yang menerangi kegelapan. Sinar remang-remang namun cukup bagi Roro Luhito untuk melihat betapa tiga ekor harimau yang besar-besar berkeliaran di bawah pohon. Tiga ekor macan loreng itu berhenti di bawah pohon, mendengus-dengus lalu mengaum seakan-akan kegirangan mencium bau manusia akan tetapi kecewa karena bau itu datangnya dari atas pohon.
Dari atas pohon, Roro Luhito melihat tiga pasang mata macan seperti lampu menyala bergerak-gerak, kuning kehijauan warnanya. Kemudian ia melihat binatang-binatang buas itu berdiri dengan kedua kaki depan menggaruk-garuk batang pohon, agaknya hendak merobohkan pohon agar calon mangsa yang baunya membuat mereka mengilar itu ikut pula jatuh ke bawah. Beberapa jam lamanya tiga ekor harimau itu mendekam di bawah pohon, seakan-akan hendak menanti turunnya orang yang berada di atasnya. Kemudian mereka pergi dengan langkah malas dan legalah hati Roro Luhito. Akan tetapi, kekhawatirannya membuat gadis itu tak dapat tidur, takut kalau-kalau ia akan terjatuh dari atas pohon, atau kalau-kalau dalam keadaan pulas ia diserang binatang buas.
Terutama sekali banyak lutung di sekitar pohon itu mendatangkan gaduh, membuat bising. Beberapa kali ia membentak-bentak mengusir binatang itu, menyuruh mereka diam. Namun sia-sia. Sebentar mereka diam ketakutan, di lain saat mereka sudah cecowetan lagi. Ketika sinar matahari mulai mengusir embun pagi, saking lelahnya Roro Luhito tertidur. Entah berapa lama ia pulas, ia sendiri tidak tahu. Akan tetapi mendadak ia kaget sekali dan tersentak bangun. Lima ekor lutung jantan besar telah berada di sekelilingnya dan memperlihatkan taring. Rofo Luhito terpekik dan meraba kerisnya. Kerisnya tidak ada lagi. Di tempat agak jauh ia melihat seekor lutung betina memegang-megang kerisnya! Celaka, kerisnya telah dicuri lutung-lutung ini di waktu ia pulas. Sambil berpegang kepada dahan pohon, Roro Luhito mengayun kakinya.
"Bukkk!"
Lutung jantan yang berada paling dekat dengannya terpental dan memekik kesakitan, namun tidak sampai terjatuh ke bawah karena tangannya sudah berhasil menyambar ranting pohon.
Lima ekor lutung itu kini meringis-ringis, menggeram-geram dengan sikap mengancam. Melihat gelagat amat tidak baik dan berbahaya bagi dirinya yang sudah tidak memegang senjata, Roro Luhito bertindak cepat. Ia meloncat ke bawah menangkap dahan pohon, lalu meloncat lagi, akhirnya ia tiba di atas tanah. Gerakannya cepat dan tangkas sekali, dan andaikata ia tidak sedang dalam bahaya, belum tentu ia berani menuruni pohon secara itu. Akan tetapi, begitu ia tiba di atas tanah, lima ekor lutung jantan itu telah berada di sekelilingnya dan mulailah binatang-binatang itu memekik-mekik dan menyerangnya. Menyerang secara liar, ganas dan membabi-buta! Roro Luhito meloncat mundur, tidak mau sampai terpegang oleh binatang-binatang liar itu, maka kaki tangannya lalu bergerak, memukul dan menendang.
Namun, betapa pun tangkasnya, Roro Luhito tidak dapat menandingi ketangkasan lima ekor lutung jantan yang besar. Pukulan dan tendangannya semua meleset, tidak mengenai sasaran sedangkan lima ekor lutung itu kini serentak melompat dan menyerbu. Ada yang hinggap di pundak dan menjambaki rambutnya, ada yang memegangi kaki, ada yang menarik dan merobek pakaian. Roro Luhito hampir pingsan karena geli dan jijik, apalagi ketika jari-jari tangan yang panjang berbulu itu mengcengkerami tubuhnya di tengkuk, di dada, di pinggang, mulailah Roro Luhito, puteri adipati yang biasanya merasa gagah perkasa itu, berteriak-teriak minta tolong. Rambutnya awut-awutan, pakaiannya robek-robek dan darah mulai mengucur dari luka-luka gigitan lutung-lutung jantan!
"Toloooonggggg... tolongggg...! Ah... ini... tolonggg...!"
Teriaknya,geli, jijik dan takut. Mendadak terdengar suara gerengan hebat, disusul berkelebatnya bayangan putih menyambar-nyambar dan dalam sekejap mata saja lima ekor lutung itu sudah tidak mengeroyok Roro Luhito lagi, akan tetapi sudah menggeletak di atas tanah dan mati dengan leher berdarah!
Roro Luhito berdiri tertegun, terbelalak matanya memandang kepada seekor monyet putih sebesar anak-anak belasan tahun, monyet berbulu putih bermata merah taringnya tampak merah oleh darah lima ekor lutung yang tadi disambar dan digigit lehernya. Melihat monyet putih itu datang mendekat, Roro Luhito sudah lemas dan menjerit lirih dan pingsan. Tubuhnya tentu akan terbanting ke tanah kalau monyet putih itu tidak cepat menyambarnya, memanggulnya dan membawanya lari berloncatan dari pohon ke pohon. Hebat tenaga monyet putih ini. Memanggul tubuh Roro Luhito yang lebih besar dari padanya, ia kelihatan enak saja dan masih dapat berloncatan dengan tangkas dan ringan, kadang-kadang turun ke tanah dan berlari-lari mendekati puncak Gunung Telomoyo. Di tengah jalan Roro Luhito siuman dari pingsannya.
Akan tetapi begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa ia dibawa berlari-lari meloncat-loncat dari batu ke batu di atas jurang yang curam sekali, tubuhnya dipanggul di atas pundak kera berbulu putih, ia mengeluh perlahan dan pingsan lagi!. Matahari sudah naik tinggi ketika monyet putih itu tiba di puncak bukit yang tertutup halimun. Di tempat sunyi sejuk itu terdapat sebuah pondok sederhana. Ke dalam pondok inilah monyet putih masuk, terus menuju ke ruang dalam. Ruangan ini cukup luas, kosong tidak ada perabot rumahnya. Di sudut kiri terdapat Sebuah arca sebesar satu setengah manusia, arca Sang Kapiworo Hanoman, tokoh besar berujud monyet berbulu putih yang menjadi senopati jaman Ramayana. Di depan arca Hanoman itu duduklah seorang kakek di atas batu yang bentuknya bundar dan halus.
Kakek ini mukanya buruk bentuknya, seperti muka monyet. Hanya bedanya mukanya tidak berbulu seperti muka monyet. Rambutnya sudah putih semua, pakaian yang membungkus tubuhnya yang kurus juga serba putih. Kakek ini adalah seorang pertapa, berjuluk Resi Telomoyo, seorang yang menjadi pemuja Sang Hanoman! Dia seorang pertapa yang sakti mandraguna, akan tetapi mungkin sekali karena ia pemuja monyet sakti Hanoman, gerak-geriknya juga mirip monyet!. Biarpun sedang bersamadhi, suara "Nguk-nguk"
Si monyet putih menyadarkan Resi Telomoyo. Ia membuka matanya, alisnya yang putih bergerak-gerak dan begitu pandang matanya bertemu dengan tubuh Roro Luhito yang menggeletak terlentang di atas lantai, ia berseru keras dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik dan kini ia duduk berjongkok di atas batu yang tadi ia duduki!
"Heh, Wanoroseto (kera putih)! Apa yang kau perbuat ini??"
Kakek itu marah sekali, tubuhnya meloncat-loncat di atas batu, kadang-kadang ia mere-mere (meringkik-ringkik) seperti monyet marah bibirnya bergerak-gerak memperlihatkan gigi yang ompong!. Si monyet putih menjadi ketakutan, lalu mengeluarkan suara ngak-nguk-ngak-nguk dan membuat gerakan seperti menari-nari meniru gerakan lutung-lutung yang mengeroyok Roro Luhito dan menceritakan dengan suara nguk-nguk disertai gerak-gerik lucu. Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya dengan gerakan monyet.
"Ah, lutung-lutung hitam kurang ajar! Akan tetapi kau lebih kurang ajar lagi, Wanoroseto, berani membawa tubuh seorang wanita muda yang begini ayu ke dalam pondokku. Hayo bawa dia keluar! Tak bisa aku menemuinya di dalam pondok!"
Wanoroseto si monyet putih itu sudah hafal akan perintah Resi Telomoyo, cepat ia membungkuk dan mengangkat tubuh Roro Luhito dibawa keluar pondok, lalu meletakkannya di atas tanah, di bawah sebatang pohon jeruk. Kakek itupun mengikuti dari belakang, memandang tubuh Roro Luhito seperti orang takut-takut, kemudian sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melompat ke atas pohon, berjongkok di atas cabang pohon terendah.
Si kera putih juga memanjat pohon dan duduk pula di belakang sang pertapa. Tanpa bergerak dan tanpa mengeluarkan suara kakek dan kera ini menanti, pandang mata mereka menatap tubuh gadis yang rebah miring di atas tanah. Tak lama kemudian Roro Luhito sadar dari pingsannya. Ia membuka matanya dan mengeluh perlahan karena tubuhnya terasa sakit-sakit dan perih bekas gigitan lutung-lutung hitam. Dengan tubuh lemah ia bangun duduk, memandang ke sekeliling dengan terheran-heran. Tak jauh dari situ ia melihat sebuah pondok kayu sederhana. Kemudian ia teringat. Ia dibawa lari seekor kera putih besar. Matanya menjadi terbelalak ketakutan dan kembali ia memandang ke kanan kiri, mencari-cari dan siap melawan bahaya.
"Nguk, nguk, kerrr...!"
Roro Luhito terkejut, cepat ia berdongak memandang ke atas pohon. Hampir ia menjerit kaget ketika melihat kera putih yang tadi memanggulnya ternyata berada di atas cabang pohon, tepat di atasnya dan seorang kakek aneh, lebih mirip seekor kera putih besar memakai pakaian seperti pendeta, tengah sibuk menaruh telunjuk di depan mulut menyuruh diam si kera putih. Ketika kakek itu menoleh ke arahnya, baru Roro Luhito tidak ragu lagi bahwa kakek yang me-thangkrong (jongkok di dahan) itu adalah seorang manusia, tentu seorang pertapa, pikirnya. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sambil berkata,
"Eyang wiku (pertapa) yang budiman, mohon eyang sudi menolong saya!"
Teringat akan penderitaannya, Roro Luhito menangis. Melihat Roro Luhito menangis sedih, monyet putih itu tiba-tiba ikut menangis, sedangkan kakek itu melompat turun dengan gerakan ringan sekali. Dua kali tangannya mendekati pundak Roro Luhito, akan tetapi ditariknya kembali seakan-akan takut tangannya terbakar atau menjadi kotor.
"Anak baik, kau bangkitlah. Tentu aku suka menolongmu."
Suara itu parau akan tetapi diucapkan dengan halus sehingga Roro Luhito hilang takutnya, lalu bangkit dengan hormat.
"Eyang wiku, nasibku amat buruk, hampir aku mati. Agaknya Dewata menolongku dengan kehadiran, eyang..."
"Sudah, jangan menangis. Maafkan aku yang sudah terlalu lama tidak bertemu manusia, apalagi seorang puteri cantik jelita seperti engkau, maka aku menjadi bingung, gugup dan curiga. Bocah manis, siapakah yang mengganggumu? Ceritakan kepada Resi Telomoyo! Ahhh, si jahat itu tentu akan kucekik lehernya!"
Diam-diam Roro Luhito terkejut dan terheran. Sikap dan gerak-gerik kakek ini seperti seorang pertapa, akan tetapi ucapannya mengapa begini ganas? Namun ia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang sakti, maka ia segera bercerita,
"Eyang resi, ketika saya sedang berjalan di hutan, saya diserang lima ekor lutung hitam. Kemudian muncul kera putih itu..."
Ia menuding ke arah kera putih yang masih duduk di atas cabang pohon,"dia...dia itu memanggulku dan membawaku lari! Harap eyang suka menghukum dia!"
"Si Wanoroseto? Ha-ha-ha-ha, lucunya! kau dengar ini, Wanoroseto? kau dituduh jahat, disangka menculiknya. Haha-ha!"
Kakek itu tiba-tiba meloncat ke atas, berjungkir balik kembali dan tahu-tahu sudah berdiri lagi di depan Roro Luhito, masih tertawa terpingkal-pingkal. Celaka dua belas! Roro Luhito menjadi pucat wajahnya. Dasar nasibnya sialan! Bebas dari lutung-lutung hitam terjatuh ke tangan kera putih, kini bebas dari kera putih terjatuh ke tangan seorang kakek yang miring otaknya! Akan tetapi dasar Roro Luhito seorang gadis yang lincah dan pemberani. Memang ia jijik dan geli menghadapi kera-kera liar, akan tetapi menghadapi seorang manusia, ia tidak takut. Tegurnya marah,
"Eyang resi, mengapa eyang malah mentertawakan aku?"
"Ha-ha-ha, ini namanya air susu dibalas air tuba, yang menolong dibalas pentung! Cah ayu (anak cantik), kalau tidak ada Wanoroseto ini, agaknya kau sudah mati di tangan lima ekor lutung hitam! Dia menolongmu dan membawamu ke sini menghadapku, bagaimana kau minta aku menghukum Wanoroseto?"
Roro Luhito terkejut dan memandang ke arah kera putih yang msih duduk di atas cabang pohon.
"Ahhhh..., kalau begitu aku telah salah sangka...!"
Seru Roro Luhito penuh penyesalan."Tadinya kusangka dia seekor kera liar yang ganas."
"Ha-ha, Wanoroseto adalah seekor kera putih, cerdas tidak kalah oleh manusia, bahkan hatinya jauh lebih baik daripada manusia. Dia peliharaanku yang amat setia. Bocah ayu, kau siapakah dan mengapa kau seorang gadis muda sampai berada di dalam hutan liar seorang diri?"
Roro Luhito menangis lagi, menyusuti air matanya dengan ujung kemben. Kemudian ia menuturkan riwayatnya dengan terus terang karena ia yakin berhadapan dengan seorang pertapa sakti yang dapat menolongnya.
"Demikianlah, eyang..."
Ia menutup penuturannya,"Karena saya merasa bahwa diri saya adalah milik Pujo, maka saya bermaksud mencarinya dan akan bersuwito (menghamba) kepada Pujo. Saya rela menjadi isteri ke dua, daripada hidup di kadipaten ayah dan menjadi bahan percakapan orang."
Berkerut-kerut dahi Resi Telomoyo, keningnya bergerak-gerak. Ia membanting-banting kakinya dan tiba-tiba bertanya dengan suara membentak marah,
"Dia sudah beristeri??"
Roro Luhito terkejut.
"Siapa...eyang...?"
Tanyanya gagap.
"Si Pujo itu! Dia sudah beristeri dan masih berani mengganggumu?"
"Sudah, eyang. Kakangmas Pujo adalah murid yang diambil mantu oleh Resi Bhargowo..."
"Resi Bhargowo? Di Sungapan Kali Progo??"
"Betul, eyang resi."
"Jagad Dewa Batara! Tua bangka itu membiarkan saja anak mantunya melakukan perbuatan sewenang-wenang? Jangan kau khawatir, Luhito, biarlah kelak aku yang akan menegur Resi Bhargowo atas perbuatan anak mantunya. Dia harus bertanggung jawab!"
"Terima kasih atas pembelaan eyang resi, akan tetapi eyang, yang saya butuhkan adalah kakangmas Pujo. Saya tidak ingin mencari Resi Bhargowo, melainkan hendak bertemu dengan kakangmas Pujo. Eyang resi, tolonglah saya agar saya dapat bertemu dan bersatu dengan kakangmas Pujo..."
Kini Resi Telomoyo menggaruk-garuk kepalanya dengan kedua tangan dan melihat ini, Wanoro seto si kera putih juga sibuk sekali menggaruki kepalanya.
"Roro Luhito, cah ayu, urusan orang muda aku tidak berani mencampuri. Kalau berurusan dengan si tua bangka Resi Bhargowo, biarlah aku yang akan menegurnya dan kalau dia tidak mau mengurus kejahatan anak mantunya, aku akan menantangnya bertanding selama seratus hari! Akan tetapi untuk mencari Pujo, hal itu adalah urusan dan kewajibanmu. Jadi kau sendirilah yang harus pergi mencarinya. Cuma saja dalam keadaanmu selemah sekarang ini, aku tidak membiarkan kau pergi mencari Pujo karena kau tentu akan mengalami hal-hal yang akan mencelakaimu. kau harus tinggal dulu disini mempelajari ilmu, setelah cukup kuat, baru kau boleh turun gunung mencari Pujo."
Hati Roro Luhito girang mendengar ia akan diajar ilmu, akan tetapi juga kecewa karena ia ingin segera bertemu dengan pria pujaan hatinya.
"Eyang resi, berapa lamakah saya harus belajar ilmu?"
Resi Telomoyo menjelajahi tubuh gadis itu penuh perhatian, lalu berkata,
"Hemm, tergantung kepada bakat dan ketekunanmu. Mungkin sampai lima tahun, mungkin juga kurang..."
"Lima tahun?"
Roro Luhito bertanya kaget. Sang pertapa mengelus jenggotnya yang putih.
"Begini saja. Asal engkau sudah mampu mengalahkan Wanoroseto dalam latihan, kau boleh turun gunung."
Lega hati Roro Luhito. Kera putih itu, betapapun juga hanya seekor binatang, pikirnya. Betapapun besarnya masih jauh lebih kecil daripada manusia. Berapa hebat sih tenaga dan kepandaian seekor kera?
Paling-paling hanya cekatan dan gesit, akan tetapi ia sudah pernah belajar ilmu silat, kalau kini digembleng lagi oleh Resi Telomoyo yang sakti, kiranya dalam beberapa bulan saja ia akan mampu menandingi Wanoroseto!. Hal ini hanya sangkaan dan harapan Roro Luhito saja maka ia cepat-cepat menyatakan setuju dan mengangkat resi itu menjadi gurunya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dalam latihan pertama setelah ia tiga bulan mempelajari ilmu, belum juga lima jurus ia sudah dibikin roboh oleh si kera putih yang kemudian mentertawakannya sambil bertepuk-tepuk tangan! Roro Luhito mendongkol bukan main. Timbul panas hatinya dan ia belajar makin tekun. Bahkan kera putih itu menjadi sahabat baiknya, yang merupakah hiburan dalam kehidupan sunyi itu. Selain sahabat yang pandai menghibur, ternyata Wanoroseto juga merupakan teman berlatih yang hebat.
Biarpun ia maklum bahwa akan makan waktu lama sebelum ia dapat menandingi Wanoroseto, namun diam-diam ia girang sekali karena kini ia merasa makin yakin akan kepandaian gurunya. Melatih seekor kera saja dapat menjadi kera sakti yang kepandaiannya tinggi, apalagi melatih manusia! Gurunya menurunkan dua macam ilmu silat tangan kosong yang disebut Sosro Satwo (Seribu Binatang) dan Kapi Dibyo (Kera Sakti) yang juga meliputi ilmu gerak dan loncat seperti seekor kera, tangkas, cepat dan ringan. Ilmu silat tangan kosong ini dapat dimainkan dengan keris karena setiap pukulan dapat diubah menjadi tikaman keris. Adapun ilmu silat senjata ia diajar menggunakan sebatang tongkat yang dapat diganti dengan ranting pohon, pedang, tombak atau apa saja yang agak panjang.
Kalau perlu, gagang sapu dari bambu juga dapat menggantikan kedudukan tongkat yang dapat dimainkan dengan ampuh! Akan tetapi, untuk mempelajari ini semua dan dapat melatih dengan sempurna, membutuhkan waktu cukup lama dan Roro Luhito harus berlatih dengan tekun dan sabar. Demikianlah, mulai hari itu gadis puteri adipati ini belajar ilmu dari Resi Telomoyo yang sudah bertahun-tahun menyembunyikan diri dan puncak Gunung Telomoyo seakan-akan menjadi terang dan gembira sejak hadirnya Roro Luhito di situ. Dasar gadis ini wataknya Jenaka lincah, maka Wanoroseto si kera putih sering kali memekik-mekik gembira di kala bermain-main dengan Roro Luhito. Bahkan kini pertapa itu seringkali terdengar suaranya terkekeh-kekeh dan wataknya menjadi periang.
"Heh-heh-heh-heh, huh-huh-huh, seorang tua Bangka macam aku ini, mengapa masih dibutuhkan oleh Adipati Joyowiseso, raden? Untuk menghadapi Kerajaan Medang, sepantasnya dibutuhkan orang-orang muda seperti angger, raden. Tua bangka seperti aku ini untuk apa? Huh-huh-huh!"
Yang bicara dengan lagak lagu seperti Bhagawan Durno di zaman Mahabharata itu adalah seorang pertapa tua renta, tubuhnya tinggi kurus agak bongkok, tangannya membawa seuntai tasbih panjang berwarna hitam, pakaiannya seperti seorang cantrik (murid pendeta). Inilah Cekel Aksomolo, seorang pertapa di lereng Gunung Wilis, seorang sakti mandraguna yang puluhan tahun lamanya tidak pernah meninggalkan hutan Werdo di lereng itu. Dia bicara dengan Jokowanengpati, dan ketika ia menyebut Kerajaan Medang, ia maksudkan Kerajaan Mataram. Memang sesungguhnya, sejak permulaan abad ke sepuluh (kurang lebih tahun 928), Kerajaan Mataram dikenal pula dengan nama baru, yaitu Kerajaan Medangkamulan,atau Medang yang dimulai dengan Rajanya yang bernama Empu Sindok (929-947).
"Eyang Cekel terlalu merendahkan diri,"
Kata Jokowanengpati memuji."Siapakah yang tidak tahu bahwa sang pertapa Cekel Aksomolo amat sakti mandraguna, manusia setengah dewa yang sukar dicari tandingnya di seluruh jagat raya ini? Kita bersama telah mengalami penghinaan dari Raja Airiangga, anak Bali itu. Akan tetapi, karena Raja Mataram itu didukung oleh banyak orang pandai, bagaimana kita akan mampu menghadapinya untuk membalas dendam kalau kita tidak bersatu-padu? Oleh karena cita-cita yang murni inilah, eyang!. Maka paman Adipati Joyowiseso mengutus saya menghadap eyang Cekel Aksomolo, mohon bantuan eyang dalam menghadapi orang-orang sakti yang diperhamba oleh Mataram."
"Huh-huh-huh, lucu... lucu...! Bukankah engkau ini murid Bharodo, Raden Jokowanengpati? Dan Empu Bharodo adalah penasehat si putera Bali Raja Mataram! Heh-heh, orang muda, harap kau jangan mempermainkan aku si tua bangka!"
"Ah, tidak... tidak sama sekali tidak, eyang! Bukan baru sekarang eyang mengenal saya, apakah pernah saya membohongi eyang? Mana saya berani? Memang betul bahwa guru saya Empu Bharodo mendukung Mataram, dan karena perbedaan faham inilah maka saya diusir pergi oleh bapa empu. Bapa Empu Bharodo terlalu lemah semangatnya, karena itu pula maka saya bersekutu dengan Adipati Joyowiseso dan mengumpulkan sahabat-sahabat sakti dari empat penjuru untuk menghadapi Mataram! Banyak tokoh sakti sudah menyiapkan diri membantu, di antaranya Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo, Ki Krendoyakso dari Begelen. Ni Durgogini dewi sakti dari Girilimut, dan Ni Nogogini dewi Laut Selatan!"
"Wah-wah, begitu banyak tokoh sakti sudah membantu, mengapa kau masih mencari aku, raden?"
"Bukan begitu, eyang. Betapapun sakti mereka, tanpa bantuan eyang saya rasa akan sukar mengalahkan para senopati dan tokoh Mataram. Apalagi dalam menghadapi Resi Bhargowo, saya benar-benar mengharapkan bantuan eyang. Bahkan kedatangan saya menghadap eyang hari ini adalah untuk mohon bantuan eyang menghadapi Resi Bhargowo untuk merampas kembali cucu paman Adipati Joyowiseso dan seorang puterinya yang telah diculik Resi Bhargowo dan mantunya."
"Uh-uh-uh! Resi Bhargowo sampai berani menculik cucu dan puteri Adipati Selopenangkep?"
"Betul, eyang. Mantunya datang mengamuk di kadipaten, membunuh banyak pengawal dan hampir saja paman adipati juga terbunuh. Untung saya kebetulan berada di kadipaten dan saya berhasil menolong paman adipati, akan tetapi karena Resi Bhargowo membantu mantunya, maka mereka berhasil menculik cucu dan puteri paman adipati."
Akhirnya setelah diberi janji-janji muluk oleh Jokowanengpati, bahwa kelak apabila mereka berhasil menjatuhkan Sang Prabu Airlangga, tentu kakek ini akan diberi hadiah kedudukan tinggi di Kotaraja, Cekel Aksomolo menjadi tertarik dan berangkatlah mereka keluar dari hutan Werdo di lereng Gunung Wilis, melakukan perjalanan ke barat untuk mencari Resi Bhargowo dan Pujo!.
Mereka berdua mampir di Kadipaten Selopenangkep dan tentu saja Adipati Joyowiseso menyambut kedatangan Cekel Aksomolo dengan penuh penghormatan, menjamunya dengan hidangan-hidangan istimewa, bahkan pada malam harinya tamu kakek yang bungkuk dan aneh ini disuguhi tari-tarian yang ditarikan wanita-wanita cantik jelita dan muda genit!. Sambil minum tuwak (minuman keras) Cekel Aksomolo tertawa-tawa dilayani Jokowanengpati dan Adipati Joyowiseso sendiri. Untuk menyenangkan tamu dan tuan rumah Jokowanengpati menceritakan tentang kehetatan ilmu kesaktian pertapa Gunung Wilis itu.
"Paman adipati, biarpun kelihatannya eyang Cekel Aksomolo sudah beryuswa (berusia) lanjut, namun kekuatannya masih luar biasa dan gerakannya cepat sekali. Kalau tidak menyaksikan sendiri tentu tidak percaya. Saya sendiri ketika mengajak beliau ini ke sini dan melakukan perjalanan bersama, harus mengerahkan seluruh ilmu berlari cepat agar tidak ketinggalan, padahal Ilmu Bayu Sakti yang saya pergunakan itu biasanya tidak pernah kalah oleh ilmu lain golongan!"
"Heh-heh-uh-uh-uh, bisa saja Raden Jokowanengpati memuji!"
Si kakek berkata sambil tertawa sedangkan di dalam hatinya terasa bangga sekali.
"Mana aku yang tua mampu menandingi Bayu Sakti? Harap kanjeng adipati jangan percaya akan obrolan seorang muda!"
Adipati Joyowiseso tertawa.
"Biarpun anakmas Jokowanengpati tidak menceritakannya, sayapun sudah mendengar tentang kehebatan ilmu bapa cekel yang sakti mandraguna. Bukannya saya kurang percaya, akan tetapi saya mohon sudilah bapa memberi sedikit petunjuk untuk lebih menggembirakan pesta kecil ini."
"Uh-huh-huh, saya tua bangka ini bisa apa sih? Hanya kulihat tiga orang penari yang denok ayu itu terlalu lambat tariannya. Bagaimana pendapat paduka kalau saya membuat mereka menari lebih cepat lagi?"
Adipati Joyowiseso merasa heran, akan tetapi ia mengangguk tanda menyetujui. Sambil tertawa-tawa kakek pertapa Gunung Wilis itu kemudian menggerak-gerakkan tasbih hitam yang tak pernah terlepas dari tangannya. Terdengarlah bunyi tak-tik-tak-tik yang aneh, tidak keras namun nyatanya dapat menyusup di antara suara gamelan, bahkan makin lama makin menguasai suara dan menelan semua suara gamelan. Anehnya, para penabuh gamelan itu tidak merasa betapa irama lagu kini makin lama makin cepat, terseret oleh arus yang keluar dari suara berketiknya biji-biji tasbih, dan beberapa menit kemudian suara gamelan menjadi cepat menggila, dan hebatnya, para penari kinipun menari cepat sekali seperti kesetanan!
Tentu saja pertunjukan ini menjadi aneh sekali karena para penari itu menari seperti orang kesurupan, membuat gerakan-gerakan yang menggairahkan, membusung-busung dada, memutar-mutar pinggul, menggeleng-geleng kepala, matanya mengeriing ke kanan kiri dan mulut yang tersenyum-senyum itu kini mulai tertawa-tawa!. Mula-mula para tamu, termasuk Adipati Joyowiseso bergelak dan terpingkal-pingkal, tetapi akhirnya mereka memandang dengan khawatir karena di antara para penabuh gamelan ada yang roboh pingsan, sedangkan para penari juga sudah mulai pucat, keringat mereka membuat wajah dan leher sampai ke pundak berkilau, langkah kaki mereka mulai terhuyung-huyung!.
"Bapa Cekel, saya rasa cukuplah, harap bapa menaruh kasihan kepada mereka."
Mendengar permintaan adipati ini, Cekel Aksomolo menghentikan gerakan tasbihnya dan otomatis suara gamelan terhenti karena sudah tidak karuan lagi iramanya. Tiga orang penari itupun dengan tubuh lemas menjatuhkan diri di atas lantai, duduk dan menghapus keringat dengan selendang mereka. Seorang di antara mereka, yang paling muda dan paling cantik, menoleh ke arah Cekel Aksomolo, merengut dan melerok, agaknya tahu bahwa yang main-main tadi adalah kakek tua yang aneh ini. Cekel Aksomolo tertawa.
"Huh-huh, penari-penarimu denok-denok dan ayu, kanjeng adipati, terutama sekali yang berselendang hijau itu. Harap paduka suka menyuruh dia berdiri, saya ingin sekali melihat bentuk tubuhnya... heh-heh-heh."
Adipati Joyowiseso tersenyum. Ia sudah mendengar dari Jokowanengpati bahwa kakek sakti ini mempunyai semacam penyakit, yaitu suka menggodai wanita-wanita muda! Maka ia lalu berkata perlahan,
"Dia memang paling muda dan pandai, bapa, dan selain menari dan bertembang, iapun pandai sekali memijati urat mengusir pegal lelah."
Dengan tangannya sang adipati memberi isyarat.
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penari muda berselendang hijau itu segera bangkit berdiri, tunduk akan perintah junjungannya. Adipati Joyowiseso lalu memberi isyarat supaya gamelan ditabuh kembali dan mengisyaratkan si selendang hijau untuk menari seorang diri. Agaknya penari muda ini dapat menduga pula bahwa kakek itulah agaknya yang minta kepada sang adipati untuk memerintahnya menari lagi, maka sekali lagi ia melempar kerling ke arah Cekel Aksomolo. Dua orang penari lain mengundurkan diri duduk dekat para penabuh gamelan. Agaknya memang penari muda yang banyak disuka ini biasanya dimanjakan orang, maka kali ini ia menumpahkan kemarahan hatinya kepada Cekel Aksomolo. Ketika ia mulai menembang sambil menari mengikuti irama gamelan, ia sengaja memasukkan kata-kata sindiran kepada Cekel Aksomolo yang menimbulkan kemendongkolan hatinya.
"Kakek tuwek untune entek clelak-clelek tur elek, ora melek kok isih arep golek-golek! (Kakek tua giginya habis, menjemukan dan buruk, tak membuka mata masih ingin mencari-cari!)"
"Uuuh-huh-huh, sialan awakku!"
Cekel Aksomolo mengeluh sambil terkekeh."Di cuci habis-habisan oleh si denok ayu!"
"Akan kuhukum dia, bapa...!"
Kata Adipati Joyowiseso, mukanya menjadi merah karena iapun dapat menangkap sindiran yang ditujukan si penari berselendang hijau kepada Cekel Aksomolo.
"Aahhh, jangan, kanjeng adipati. Dia benar! Biarlah nanti saja sehabis menari dia memijat punggungku yang lelah. Uhhuh-huh, sekarang ingin kulihat bentuk tubuhnya..."
Setelah berkata demikian,Cekel Aksomolo menggerakkan tangan kirinya seperti mendorong, kemudian memutarkan tangan itu ke depan.
Terjadilah keanehan. Dari tangan itu menyambar hawa berciutan ke arah si penari dan tiba-tiba pakaian si penari berselendang hijau itu terlepas semua!. Sejenak ia berdiri bengong dalam keadaan telanjang bulat, kemudian ia menjerit-jerit dan dengan gugup menyambar pakaiannya yang sudah terlepas di bawahnya, menarik pakaian itu sedapatnya menutupi tubuhnya lalu ia lari sambil menangis kesamping pendopo yang gelap!. Sejenak orang terkesima, akan tetapi lalu terdengar suara ketawa meledak terkekeh-kekeh. Adipati Joyowiseso memberi perintah agar gamelan dilanjutkan, kini dua orang penari itu yang menari dan menembang bergantian. Jokowanengpati memberi keterangan kepada Adipati Joyowiseso yang mendengarkan penuh kagum.
"Paman, alanglah hebatnya kepandaian eyang Cekel."
"Bukankah itu ilmu sihir?"
Tanya sang adipati.
"Sama sekali bukan, paman. Eyang Cekel Aksomolo terkenal karena senjatanya yang ampuh dan yang juga menjadi nama julukannya, yaitu Aksomolo Ireng (Tasbih Hitam). Baru suaranya ketika digerakkan saja mampu menimbulkan suasana mujijat, apalagi kalau dipergunakan untuk bertanding! Pula, yang menelanjangi penari kewek (genit) tadi bukanlah ilmu sihir, melainkan ilmu pukulan jarak jauh yang sudah mencapai puncak kesempurnaan!"
Makin kagum dan hormatlah Adipati Joyowiseso terhadap tamu agungnya. Malam itu si penari remaja yang denok ayu, penari berselendang hijau itu harus menebus kelancangannya sore tadi dengan penyerahan dirinya kepada si tua bangka!
Tebusan yang amat hebat mengerikan baginya, yang membuat ia pada keesokan harinya seperti orang kehilangan semangat, dan membuat ia pada malam-malam berikutnya sering girap-girap (menjerit-jerit dalam tidur)!. Setelah bermalam selama sepekan di Kadipaten Selopenangkep, berangkatlah Jokowanengpati bersama Cekel Aksomolo menuju Sungapan. Untuk memperkuat tugas mereka sebagai utusan kadipaten, sepasukan perajurit kadipaten terdiri dari dua losin orang mengawal mereka. Kali ini Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati menunggang kuda, juga pasukan perajurit itu semua berkuda. Ketika pondok Bayuwismo yang terletak di depat pantai dan Sungapan Kali Progo sudah tampak dari jauh, Cekel Aksomolo menyuruh dua losin orang pengawal itu berhenti,
"Kalian tak boleh masuk rumah itu, bahkan jangan terlalu dekat. Berhentilah di sini, berjaga-jaga saja menanti perintah."
Kemudian la mengeluarkan dua bungkusan kain kecil dan memberikannya kepada Jokowanengpati.
"Raden, kalau sewaktu-waktu aku terpaksa menggunakan suara tasbih, akan kuberi tanda dan kau harus memasukkan benda-benda ini menutupi kedua lubang telingamu."
Jokowanengpati menerima dan mengangguk, maklum akan keampuhan tasbih itu.
Mereka berdua lalu melangkah mendekati pondok yang bersunyi sendiri tanpa tetangga di tepi pantai. Berdebar juga hati Jokowanengpati. yang sedang ia datangi ini adalah pondok Resi Bhargowo, paman gurunya yang ia ketahui memiliki kesaktian yang sukar dicari tandingnya. Untuk menghadapi Pujo ia tidak takut. Dan untuk menghadapi Resi Bhargowo, kiranya Cekel Aksomolo merupakan lawan setingkat. Akan tetapi ia gentar kalau teringat kepada Kartikosari. Benar bahwa Pujo dahulu menyatakan bahwa Kartikosari seakan-akan sudah mati, akan tetapi betulkah itu? Menghadapi Pujo ia tidak takut, juga tentang ilmu kepandaian Kartikosari, iapun tidak takut. yang membuat ia gelisah adalah jika Kartikosari berada di situ, terdapat bahaya akan terbongkar rahasia perbuatannya di malam badai dalam Guha Siluman itu.
Memang, Kartikosari tidak akan menduganya, namun apabila wanita itu melihat buntungnya kelingking kiri tangannya, tentu akan menimbulkan dugaan dan curiga. Betapapun juga, hati Jokowanengpati menjadi besar lagi kalau ia teringat akan kedigdayaan Cekel Aksomolo dan mereka melangkah terus mendekati pondok sunyi. Selain itu, Pujo sendiri tampak jelas sikapnya bahwa ia tidak tahu akan rahasia itu. Andaikata Kartikosari berada dengan suaminya, tentu wanita itu akan menceritakan tentang buntungnya kelingking tangan dan tentu Pujo sudah akan menyangka dia, atau setidaknya akan bercuriga. Peristiwa itu sudah lewat setahun lebih, dan ia tidak perlu takut-takut lagi, karena andaikata diketahui sekalipun, tetap ia akan menjadi lawan mereka. Sekutunya memiliki banyak orang sakti, takut apa?
Telah kita ketahui bahwa setahun kurang semenjak terjadinya badai Laut Selatan yang mengamuk hebat dan menghancurkan pondok, Resi Bhargowo meninggalkan Bayuwismo di Sungapan, meninggalkan pondok yang sudah dibangun lagi itu kepada para cantriknya, bahkan lalu meninggalkan nama lama, mengganti julukan dengan Bhagawan Rukmoseto dan melakukan perjalanan lelana brata untuk menghibur batinnya yang terguncang hebat setelah menduga bahwa puteri dan mantunya tentu tewas ditelan badai. Pertapa ini meninggalkan pondoknya Bayuwismo di Sungapan dan menyerahkan pondok itu di bawah pengawasan dan dalam pemeliharaan enam orang cantriknya yang dipimpin oleh cantrik Wisudo. Karena pondok itu berdiri si tepi pantai terbuka, maka kedatangan Cekel Aksomolo yang langkahnya terseok-seok dan terbongkok-bongkok bersama Jokowanengpati, segera terlihat oleh enam orang cantrik.
Para cantrik itu sedang sibuk, ada yang memperbaiki perahu bocor, ada yang menambal jala, karena di daerah yang tanahnya tidak subur seperti pantai selatan itu, mereka bekerja sebagai nelayan, mencari ikan di sepanjang pantai dan muara Sungai Progo. Kini mereka meninggalkan pekerjaan masing-masing, berkumpul dan menyambut kedatangan dua orang itu dengan sikap tenang juga heran. Apalagi setelah kedua pendatang itu dekat, cantrik paling tua yang pernah bertemu dengan Empu Bharodo, segera mengenal Jokowanengpati. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka mengenal kakek tua tinggi kurus dan bongkok yang membawa seuntai tasbih hitam itu. Cantrik Wisudo memimpin lima orang saudaranya menyambut di luar pondok, cepat memberi hormat dan berkata,
"Selamat datang di Bayuwismo, Raden Jokowanengpati! Selamat datang saudara tua cantrik, apakah saudara ini seorang cantrik dari Lembah Konta?"
Wisudo menyangka bahwa cantrik tua yang datang bersama Jokowanengpati itu seorang cantrik pengikut Empu Bharodo yang bertapa di lembah Sungai Konta di lereng Gunung Anjasmoro.
"Hoh-hoh-hoh, bukan... bukan!"
Jawab Cekel Aksomolo terkekeh-kekeh."Aku adalah cantrik yang sudah berdikari! Bukan cantrik yang menghamba kepada seorang pendeta, melainkan bekas cantrik yang kini menjadi pertapa. Aku Cekel Aksomolo, pertapa di hutan Werdo. akulah yang mbaurekso (dewa penjaga) Gunung Wilis, huh-huh-huh!"
Cantrik Wisudo dan saudara-saudaranya merasa tak senang mendengar dan melihat sikap pembicaraan Cekel Aksomolo yang jelas membayangkan kesombongan. Akan tetapi mereka juga merasa geli dalam hati melihat persamaan kakek itu dengan tokoh cerita Maha Bharata, yaitu tokoh Begawan Durno! Karena maklum bahwa dia menghadapi seorang kakek yang sombong, Wisudo lalu tidak mau mengacuhkan lagi dan berpaling kepada Jokowanengpati yang sedang mencari-cari dengan pandang matanya ke arah pondok dan sekitarnya.
"Raden Jokowanengpati, ada keperluan apakah raden datang ke tempat sunyi ini? Apakah diutus oleh paman Empu Bharodo?"
"Eh, kakang cantrik Wisudo!"
Pemuda ini berkata tak senang.
"Kami sudah datang ke sini, mengapa engkau tidak lekas-lekas melaporkan kedatangan kami kepada paman Resi Bhargowo? Mengapa engkau lancang mengadakan penyambutan sendiri?"
"Huh-huh-huh, benar... benar..., segala macam cantrik cilik mau tahu saja, heh-heh!"
Panas hati Wisudo dan saudara-saudaranya mendengar ucapan Cekel Aksomolo itu, akan tetapi karena kakek itu datang bersama Jokowanengpati, mereka menahan sabar. Wisudo menjawab.
"Ketahuilah, raden. Baru beberapa hari ini sang resi telah pergi meninggalkan pondok, karena sang resi tidak ada maka saya berani mewakilinya menyambut tamu yang datang."
Jokowanengpati kecewa.
"Paman Resi Bhargowo bepergian? Ke mana...??"
"Raden, sebagai murid terkasih paman Empu Bharodo, bagaimana raden masih mengajukan pertanyaan ini? Kemanakah perginya seorang pertapa? Kemana lagi kalau tidak melakukan lelana brata, melaksanakan tugas suci memberi penerangan bagi yang gelap, mencarikan tongkat bagi yang pincang dan mengulurkan tangan menolong mereka yang memerlukan pertolongan."
"Cukup! Tak perlu kau memberi wejangan! Lalu..., di mana adanya Pujo dan Kartikosari?"
Kembali pandang mata Jokowanengpati liar mencari-cari. Mulai tak enaklah hati para cantrik Bayuwismo, dan makin panas hati Wisudo.
"Merekapun tidak berada di sini, dan harap jangan tanyakan kepada kami ke mana mereka pergi, karena kami sendiri tidak tahu."
Jokowanengpati tampak kecewa sekali. Ia menoleh kepada Cekel Aksomolo dengan keping berkerut.
"Bagaimana ini, eyang? Kedatangan kita sia-sia..."
"Ooohh-hoh, jangan percaya segala cantrik cilik yang omongannya molak-malik. Tentu mereka ini tahu di mana Sembunyinya Resi Bhargowo dan Pujo! Resi pengecut itu bersama mantunya tentu telah melihat kita datang, lalu mereka pergi menyembunyikan diri, dan cantrlk-cantrik penguk ini sengaja membohong."
Jokowanengpati dalam hatinya tidak percaya bahwa orang seperti paman gurunya itu akan lari menyembunyikan diri, akan tetapi dia diam saja, lalu ia berkata,
"Kakang cantrik Wisudo, aku akan melihat apakah benar-benar paman resi tidak berada di dalam pondok!"
Setelah berkata demikian, cepat sekali tubuhnya berkelebat memasuki pondok. Enam orang cantrik Bayuwismo marah melihat kelancangan Jokowanengpati, akan tetapi tak mungkin mereka dapat menghalangi karena pemuda itu mempergunakan Aji Bayu Sakti sehingga gerakannya seperti terbang saja. Oleh karena tidak berdaya menghadapi murid Empu Bharodo yang sakti itu, cantrik Wisudo dan lima orang saudaranya menumpahkan kemarahan hati kepada Cekel Aksomolo!. Cantrik Wisudo melotot memandang kepada kakek itu dan membentak.
"Heh, Cekel Aksomolo! kau ini seorang tua bangka yang tak patut dihormati orang muda. Pekertimu seperti ini sungguh tidak patut, apalagi mengingat pengakuanmu bahwa engkau sudah menjadi pertapa. Kata-katamu berbisa seperti Durno, tingkahmu sombong dan tak tahu malu. Ingatkah kau bahwa kami ini tuan rumah sedangkan engkau hanyalah seorang tamu tak diundang?"
"Wuah-wah, huh-huh, kurang ajar! Bocah cilik kurang ajar! Cantrik okrak-akrik bocah kemarin sore, berani kurang ajar terhadap Cekel Aksomolo? Apakah sudah bosan hidup?"
"Mengapa tidak berani? Bukan usia tua yang kulawan, bukan pula orangnya yang kucela, melainkan pekertinya! Biarpun engkau tua, pekertimu seperti bocah nylelek. Apalagi engkaupun hanya seorang cekel, seorang cantrik, sama dengan kami! Hayo pergi dari sini, tak sudi kami melihat tingkahmu lebih lama lagi!"
Kini Wisudo sudah maju dengan sikap menantang.
"Waduhhh, kalau aku tidak mau pergi bagaimana?"
"Akan kami usir dengan kekerasan!"
Bentak cantrik Wisudo yang sudah marah.
"Uuhhh, uuhh, tidak kajen (terhormat) awakku...! Cantrik cilik kalian minta dihajar, biar kalian rasakan kesaktian Cekel Aksomolo!"
Tiba-tiba kakek ini menggerakkan tasbih hitamnya, diputar-putar di udara dan terdengarlah suara nyaring dan aneh. Tadinya cantrik Wisudo dan lima orang saudaranya menyangka bahwa kakek yang seperti orang gila itu hendak menyerang mereka dengan hantaman tasbih, akan tetapi ternyata tasbih itu hanya diputar-putar di atas kepala dan sama sekali kakek itu tidak menyerang mereka.
Tentu saja mereka merasa heran dan geli, mengira bahwa kakek ini benar-benar miring otaknya. Akan tetapi mendadak cantrik Wisudo merasa betapa suara yang berkeritikan dan aneh itu kini mengaung-ngaung dan menyerang telinga dan menimbulkan rasa nyeri seakan-akan telinganya ditusuk-tusuk lidi! Kagetlah Wisudo, dan lebih lagi kagetnya melihat seorang di antara saudaranya sudah roboh terguling, mengaduh-aduh karena telinga kirinya mengeluarkan darah! Cepat cantrik Wisudo menjatuhkan diri duduk bersila mengerahkan kekuatan batinnya. Saudara-saudaranya juga cepat mencontoh perbuatan Wisudo, hanya seorang cantrik yang masih berdiri, bahkan kini bingung menolong cantrik yang telinga kirinya berdarah.
Cantrik ini adalah cantrik Wistoro. Cantrik Wistoro bingung sekali melihat akibat yang amat hebat, karena biarpun sudah bersila mengerahkan tenaga batin, tetap saja cantrik-cantrik Bayuwismo itu tidak tahan terhadap suara mujijat dari tasbih itu. Memang hebat bukan main akibat suara ini. Para cantrik, kecuali Wistoro, sudah duduk bersila meramkan mata. Namun, seorang demi seorang tak kuat bertahan, mulailah darah menetes-netes keluar dari dalam telinga mereka dan yang paling akhir, cantrik Wisudo sendiri yang ilmunya paling tinggi di.antara saudara-saudaranya, juga tidak tahan lagi dan kedua telinganya mengeluarkan darah dari luka di dalam karena kendangan telinga mereka telah pecah oleh suara mujijat.
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo