Keris Pusaka Sang Megatantra 17
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
"Nimas, engkau berhak untuk tidak memperkenalkan nama padaku, juga engkau boleh saja mengatakan hendak membunuh aku. Akan tetapi sungguh tidak adil kalau engkau tidak memberitahu kepadaku mengapa engkau hendak membunuhku. Bagaimana kalau sampai engkau membunuhku dan aku mati tanpa mengetahui apa sebabnya aku dibunuh orang? Nyawaku tentu akan menjadi setan penasaran dan akan selalu mengejarmu! Karena itu, jelaskan dulu mengapa engkau hendak membunuhku sehingga aku mengetahui apakah memang sudah adil dan benar kalau engkau membunuhku."
Mendengar ucapan ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Benar juga, pikirnya, tidak adil kalau Ki Patih Narotama tidak tahu mengapa ia akan membunuhnya. Juga ia merasa ngeri mendengar ancaman bahwa kalau tidak diberitahu sebabnya, kalau mati Ki Patih Narotama akan menjadi setan penasaran dan akan selalu mengejar-ngejarnya! Ih, ngeri juga membayangkan dikejar-kejar hantu penasaran!
"Aku harus membunuhmu untuk mentaati perintah guruku kepadamu!"
"Hemm, siapa gurumu itu? Dan mengapa dia mendendam kepadaku?"
"Guruku adalah Nyi Dewi Durgakumala."
"Ah, datuk wanita dari Wura-wuri itu? Akan tetapi kenapa ia mendendam kepadaku?"
"Ki Patih Narotama, tidak perlu engkau pura-pura tanya dan hendak menyembunyikan perbuatanmu yang jahat kepadanya!"
Puspa Dewi membentak.
"Lho! Perbuatan jahat kepada Nyi Dewi Durgakumala? Apa maksudmu, nimas?"
"Dulu, engkau pernah membunuh anak yang berada dalam gendongannya! Apa itu bukan perbuatan yang amat jahat dan karenanya engkau pantas dihukum mati?"
Narotama menggeleng kepalanya "Ah, nimas, agaknya engkau belum mengenal betul siapa itu Nyi Dewi Durgakumala."
"Aku belum mengenal siapa ia? hemm, selama lima tahun lebih aku menjadi muridnya, menerima pendidikannya dan menerima budinya. Ia seorang yang bagiku amat baik dan aku harus membalas budinya, la menceritakan kepadaku tentang kejahatanmu, dan mengutus aku untuk membunuhmu! Bersiaplah engkau, Ki Patih Narotama!"
Setelah berkata demikian, Puspa Dewi mengerahkan tenaga saktinya lalu ia mengeluarkan Pekik Guruh Bairawa. Jerit melengking keluar dari mulutnya, mengandung getaran yang dahsyat. Orang yang hanya memiliki kesaktian tanggung tanggung saja dapat roboh dan mungkin tewas menghadapi gelombang suara yang mengandung getaran yang dapat mengguncang isi dada dan kepala ini. Namun Ki Patih Narotama tetap berdiri tenang sambil tersenyum, sama sekali tidak terpengaruh oleh jerit itu laksana angin keras menyerang batu karang dan lewat begitu saja tanpa dapat menggoyang batu karang itu sedikitpun.
Melihat betapa ajinya yang biasanya dapat diandalkan itu sama sekali tidak mempengaruhi Ki Patih Narotama, seolah-olah jeritan itu tidak pernah ada Puspa Dewi menjadi terkejut akan tetapi juga penasaran dan marah. Dalam anggapannya, Ki Patih Narotama adalah seorang yang amat jahat dan sudah sepatutnya dihukum mati. la lalu mulai menyerang dengan kedua tangannya sambil membentak nyaring.
"Aji Guntur Geni!"
Kedua lengannya dipentang seperti burung terbang dara tiba-tiba kedua tangan itu bersatu kedepan dan mendorong ke arah dada Narotama. Ki Patih Narotama mengenal aji pukulan dahsyat, maka dia cepat menghindar dengan loncatan ke samping sehingga pukulan yang mengandung hawa panas seperti api itu lewat di sampingi tubuhnya.
Gadis itu menyerang lagi, lebih ganas daripada tadi, bahkan kini Puspa Dewi menggunakan kuku-kuku jarinya yang mengandung racun untuk menyerang sehingga serangannya menjadi semakin ganas. Wisakenaka (Kuku Beracun) merupakan ilmu sesat yang amat berbahaya, sedikit saja kulit lawan tergurat kuku dan terluka, sudah cukup untuk membunuh lawan.
Ki Patih Narotama adalah seorang sakti mandraguna yang sudah banyak pengalaman. Diam-diam dia merasa iba kepada dara yang masih amat muda ini. semuda itu sudah memiliki ilmu-ilmu yang dahsyat, hanya sayang ilmu-ilmu itu sifatnya sesat dan keji. Padahal, kalau melihat sikap gadis itu, walaupun liar dan ganas, namun gadis ini merasa bahwa tindakannya benar karena ia menganggap dia seorang yang amat jahat, yang telah membunuh anak dalam gendongan Nyi Dewi Durgakumala! Gadis ini tidak memiliki dasar yang jahat, hanya karena menjadi murid seorang datuk wanita yang sesat maka selain mewarasi Ilmu-ilmu sesat, juga mewarisi watak yang ganas, la tidak sadar bahwa ia telah diperalat oleh Nyi Dewi Durgakumala. Menghadapi serangan yang nekat dan ganas itu, dia hanya mempertahankan diri dengan elakan-elakan dan terkadang dia menangkis dari samping yang membuat tubuh Puspa Dewi terhuyung.
Puspa Dewi juga bukan seorang bodoh. Setelah menyerang bertubi-tubi dan terkadang ia sampai terhuyung ketika ditangkis oleh Ki Patih Narotama, iapun maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amal sakti. Pantas saja gurunya tidak pernah dapat mengalahkannya. Akan tetapi ia seorang yang keras hati dan keras kepala, tidak menyadari bahwa sejak tadi Ki Patih Narotama telah banyak mengalah kepadanya.
Karena semua serangannya gagal dan kedua lengannya terasa nyeri setelah beberapa kali bertemu dengan tangkisan tangan Ki Patih Narotama, Puspa Dewi menjadi semakin marah.
"Sambut pusakaku ini!"
Bentaknya dan di tangannya sudah tampak pedang hitam yang amat ampuh itu. la sudah menerjang Ki Patih Narotama dengan pedangnya yang ia gerakkan amat cepat sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menyambar nyambar.
Ki Patih Narotama merasa sudah cukup dia bersabar dan mengalah. Gadis ini perlu diingatkan. Kalau sampai ia dipengaruhi Nyi Dewi Durgakumala, ia dapat melakukan banyak kejahatan yang amat berbahaya tanpa disadari bahwa ia berbuat jahat. Ketika pedang itu menusuk dengan luncuran cepat seperti anak panah ke arah dadanya, dia miringkan tubuh dan ketika sinar pedang hitam itu meluncur lewat samping tubuhnya, dia cepat menggerakkan tangannya dan menangkap pedang itu!
Puspa Dewi terkejut dan hampir tidak percaya ada orang mampu menangkap pusaka Candrasa Langking yang beracun dan amat ampuh itu dengan tangan telanjang. Ia, berusaha menarik pedangnya, akan tetapi sia-sia. Pedang itu seolah telah melekat dengan tangan Ki Patih Narotama. Ia membetot lagi sambil mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba Ki Patih Narotama melepaskan pegangannya pada pedang itu. Tak dapat dihindarkan lagi tubuh Puspa Dewi terjengkang dan terbanting roboh telentang di atas tanah! Sebelum gadis itu bangkit, Ki Patih Narotama cepat berkata dengan suara yang mengandung wibawa kuat sekali karena dia mengerahkan tenaga batinnya.
"Nimas, aku tidak mengenal siapa andika, akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa engkau telah dihasut oleh Nyi Dewi Durgakumala yang telah mendidikmu sebagai murid sehingga engkau tidak menyadari bahwa engkau telah terjatuh ke dalam tangan seorang iblis betina yang amat jahat dan kejam. Ketahuilah bahwa Nyi Dewi Durgakumala adalah seorang datuk wanita sesat dan sesuai dengan namanya, ia adalah seorang penyembah Bathari Durga, ratu para iblis itu.
Ia memang memusuhi aku, akan tetapi bukan karena aku membunuh anaknya. Sama sekali bohong ceritanya itu. Ia tidak pernah mempunyai anak akan tetapi entah sudah berapa banyak anak laki-laki yang menjadi korban kekejiannya. Ia pernah bertemu denganku dan membujuk agar aku mau menerimanya sebagai isteri. Sungguh tidak tahu malu. Sungguhpun ia masih tampak cantik, akan tetapi sesungguhnya ia jauh lebih tua dariku. Aku menolak dan ia marah lalu ingin membunuhku. Akan tetapi beberapa kali usahanya itu gagal dan ia selalu kalah olehku. Ini yang membuat ia mendendam sakit hati dan sekarang membujukmu untuk membunuh aku. Mustahil engkau sebagai muridnya tidak tahu akan watak dan perbuatannya yang jahat dan keji tidak tahu malu itu!"
Puspa Dewi sudah bangkit dan berdiri mematung dengan pedang masih di tangan. Ia mendengarkan semua ucapan Narotama dan hatinya mulai meragu dan bimbang. Memang ia tahu bahwa gurunya memiliki watak yang memalukan, suka menculik dan mempermainkan pemuda pemuda remaja.
Beberapa kali perbuatan itu ia gagalkan dan ia sudah menegur sifat gurunya yang memalukan itu. Juga ketika mau diambil permaisuri oleh Adipati Bhismaprabhawa dari Kerajaan Wura wuri, gurunya itu menuntut agar Gendari selir sang adipati, dibunuh. Untung Ia masih dapat mencegahnya sehingga Gendari tidak jadi dihukum mati, melainkan dipulangkan kekampung halamannya. Melihat betapa tampan dan gagah Ki Patih Narotama, maka cerita Ki Patih ini lebih patut dipercaya daripada cerita gurunya. Akan tetapi ia sudah berhutang banyak budi kepada Nyi Dewi Durgakumala dan ia harus membalas budi itu Gurunya hanya memberi dua tugas, yang pertama merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta dan yang kedua membunuh Ki Patih Narotama. Tugas pertama terpaksa ia batalkan apakah tugas kedua inipun harus gagal. Ia menjadi ragu dan serba bingung "Akan tetapi, bukankah seorang murid harus tahu membalas budi gurunya? Bukankah seorang murid harus setia dan berbakti kepada gurunya?"
Pertanyaan ini sebetulnya ia lontarkan untuk dirinya sendiri, akan tetapi terucapkan sehingga seolah-olah ia bertanya kepada Ki Patih Narotama.
"Di atas guru, bahkan di atas orang tua, masih ada yang lebih patut kita taati, yaitu Sang Hyang Widhi Wasa. Yang Maha Kuasa itu juga Maha Besar dan Maha Suci, dan menaatinya merupakan kewajiban utama di atas segala macam kewajiban bagi manusia. Menaati Yang Maha Benar berarti harus menjunjung tinggi dan melaksanakan kebenaran dan keadilan, yang berarti melaksanakan kebaikan. Karena itu, hanya tugas yang baik dan benar saja yang harus kita laksanakan, karena itu berarti menaati perintah Yang Maha Kuasa. Biarpun yang memberi tugas kepada kita itu guru atau orang tua sekalipun, kalau tugas itu berlawanan dengan kebenaran dan kebaikan, berarti melawan perintah Yang Maha Benar. Dan pelaksanaan perintah yang tidak benar adalah kejahatan! Nah, kalau engkau sudah memahami ini semua akan tetapi hendak melaksanakan perintah Nyi Dewi Durgakumala yang tidak baik dan jahat itu, lakukanlah. Ini dadaku dan aku tidak akan mengelak atau menangkis!'
Ki Patih Narotama membusungkan dadanya, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, seolah dia sudah menyerah untuk dibunuh! Puspa Dewi terbelalak memandang kearah wajah Narotama. Pandang mata mereka bertemu. Pandang mata Narotama tenang penuh pengertian, sebaliknya pandang mata Puspa Dewi gelisah dan bingung. Ia melihat betapa mudahnya melaksanakan perintah kedua gurunya. sekali tusuk ia akan dapat membunuh Ki Patih Narotama seperti yang dikehendaki gurunya. Tangan kanannya bergerak, pedang itu sudah diangkat, siap ditusukkan ke dada ki patih. Seluruh urat syarafnya menegang, dan tangan yang memegang pedang hitam itu gemetar. Kemudian, ia melangkah maju sehingga tiba dekat dan getaran di tangannya makin menjadi-jadi.
Getaran itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan tak lama kemudian seluruh tubuhnya gemetar. Ia memaksa tangannya hendak menusuk, akan tetapi tidak jadi. Ia menggeleng kepala keras-keras dan tubuhnya terguncang, lalu kedua kakinya lemas dan ia terkulai dan jatuh berlutut melepaskan pedang hitam ke atas tanah dan Puspa Dewi menangis!
Ki Patih Narotama tersenyum. Dia telah memperoleh kemenangan besar, menang tanpa menalukkan dengan kekerasan. Tentu saja dia tidak ingin membunuh diri dengan nekat ketika mengucapkan kalimat terakhir untuk menerima serangan pedang hitam di tangan gadis itu tanpa menangkis atau mengelak. Memang, dia tidak akan menangkis atau mengelak, dan merasa yakin bahwa kekebalannya akan mampu menahan bacokan atau tusukan pedang, dan seandainya dia terkena hawa beracun pedang itu, iapun tidak khawatir karena dia membawa tongkat pusakanya, Tunggul Manik, yang dapat menyembuhkan segala keracunan badan. Dia terlindung oleh kekebalan kulitnya dan keampuhan pusaka Tunggul Manik.
Kini melihat gadis itu duduk mendeprok di atas tanah sambil menangis, dia merasa semakin kasihan. Anak ini membutuhkan bimbingan, pikirnya. Pada dasarnya, anak ini berjiwa bersih dan dengan mudah dapat melihat kebenaran.
"Nimas, sudahlah jangan menangis. Engkau sudah mampu mengalahkan nafsu daya rendah di dalam dirimu sendiri, hal itu semestinya disambut tawa gembira dan bersyukur kepada Sang Hyang Widhi, bukan dengan menangis."
"Tapi..... tapi..... aku tak dapat melaksanakan perintah guru, aku..... aku menjadi murid yang tidak berbakti.... huhu-huuu!"
Puspa Dewi masih menangis
"Nimas yang baik, dengarlah. Berbakti kepada guru atau orang tua ada dua macam. Pertama, melaksanakan segala perintah guru yang berlandaskan kebenaran dan kebaikan, dengan taat dan dengan taruhan nyawa sekalipun. Ke dua, mencegah guru melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran dan keadilan, membujuknya agar ia menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan benar. Itulah yang dimaksudkan dengan kebaktian bukan menaati segala perintahnya dengan membuta sehingga dapat menyeret kita ke dalam kejahatan."
Puspa Dewi menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan timbul kagum dan hormat dalam hatinya yang keras terhadap pria itu. la sudah dapat melihat kenyataan bahwa laki-laki yang dianggap jahat oleh gurunya itu sesungguhnya merupakan seorang yang gagah perkasa, sakti mandraguna dan bijaksana. Kalau tidak bijaksana, tentu ia yang tadinya ingin membunuh orang itu, kini sudah menggeletak mati atau setidaknya terluka. Akan tetapi Ki Patih Narotama sama sekali tidak melakukan itu, dia mengalahkannya tanpa melukainya sama sekali! Dan semua ucapannya itu membuka hati dan pikirannya dan membuat ia dapat melihat dengan jelas siapa yang benar dan siapa yang salah. Akan tetapi ia menjadi bingung sekali. Apakah mungkin ia harus menentang gurunya, berarti menentang pula Adipati Wura-wuri yang menugaskannya untuk menentang Kahuripan?
"Aduh, gusti patih....."
Keluhnya.
"lalu apa yang harus saya lakukan? Hidup ini begini membingungkan, semuanya serba berlawanan. Berilah petunjuk, gusti patih, dan saya..... Puspa Dewi akan berterima kasih sekali."
Senyum di bibir Narotama semakin berseri.
"Baiklah, Nimas Puspa Dewi. Betapapun sukar pelaksanaannya, akan tetapi ada baiknya kalau pelajaran ini dapat tertanam dalam batinmu untuk mengemudikan jalan hidupmu. Segala macam kebajikan itu tidak ada gunanya kalau hanya menjadi hapalan, hanya dipikir dan diucapkan. Yang penting itu prilakunya karena prilaku merupakan bukti, merupakan persembahan, merupakan ibadah. Usahakanlah untuk melangkah dalam kehidupan melalui jalan kebenaran dengan pedoman seperti berikut :
Pertama :
Dharma atau prilaku kebajikan, semua pikiran, kata dan perbuatan yang didasari kasih sayang kepada sesama manusia, bahkan sesama mahluk hidup di dunia ini.
Ke dua :
Satya, yaitu kesetiaan yang didasari keadilan dan kebenaran, siap membela kebenaran dan keadilan dengan setia.
Ke tiga :
Tapa, berarti dapat mengekang dan mengalahkan nafsu daya rendah yang berada dalam diri sendiri, mengembalikan kedudukan segala macam nafsu itu menjadi hamba kita, bukan sebagai majikan kita.
Ke empat:
Dama, yaitu sikap menghormat, sopan santun lahir batin terhadap sesama manusia, rendah hati.
Ke lima :
Wimatsari-twa atau tidak menaruh iri hati terhadap keberhasilan orang lain, ikut merasa bahagia melihat orang lain berbahagia dan ikut prihatin melihat orang lain prihatin.
Ke enam :
Rih atau mengenal rasa malu, malu terhadap Yang Maha Kuasa, malu terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri atas kesesatannya.
Ke tujuh :
Titiksa, yaitu dapat menguasai nafsu amarah.
Ke delapan :
Hanasuya, yaitu tidak membalas dendam kepada orang lain dengan cara menyakitinya.
Ke sembilan :
Yadnya, artinya tekun memuja dan mengagungkan Yang Maha Agung.
Ke sepuluh :
Dana, yaitu suka mengalah, berkorban dan beramal.
Ke sebelas :
Drati, berarti selalu tenang, membersihkan isi hati dan pikiran.
Ke dua belas :
Ksama, yaitu memaafkan kesalahan orang lain, teguh dan tidak berputus asa.
Demikianlah, Nimas Puspa Dewi, sifat manusia yang berbudi luhur."
"Aduh, betapa sukarnya! Apakah ada manusia yang mampu melaksanakan semua itu, gusti patih?"
Puspa Dewi tertegun karena baru sekarang ia mendengarkan pelajaran seperti itu.
"Ha-ha-ha, pertanyaanmu itu tepat sekali. Memang tidak mudah menemukan seorang manusia yang dapat melaksanakan itu semua. Manusia itu tidak sempurna, bahkan dewa sekalipun tidak sempurna. Yang Maha Sempurna hanya Sang Hyang Widhi Wasa! Akan tetapi setidaknya pengertian itu dapat kita jadikan obor, andaikata kita tidak dapat melaksanakan sepenuhnya, ya sebagian kecil saja sudah cukup baik dan dapat mengurangi dosa kita."
Hati Puspa Dewi menjadi lega.
"Terima kasih, gusti patih. Saya akan berusaha untuk mengikuti jalan kebenaran itu. Terima kasih dan maafkan sikap dan perbuatan saya tadi."
"Sebaiknya semua rasa terima kasih dan maaf itu kita panjatkan kehadiran sang Hyang Widhi, bukan kepada sesame manusia, Puspa Dewi."
"Selamat tinggal, gusti patih dan sekali lagi terima kasih."
Entah apa yang mendorongnya, baru pertama kali dalam hidupnya, Puspa Dewi memberi hormat dengan sembah kepada Ki Patih Narotama. Bahkan kepada dipati Wura-wuri saja ia tidak pernah memberi hormat dengan sembah.
"Selamat berpisah, Puspa Dewi, mudah mudahan kita dapat bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik."
Kata Ki Patih Narotama.
Puspa Dewi lalu melompat dan mempergunakan kesaktiannya, berlari cepat bagaikan seekor kijang muda meninggalkan tempat itu. Ki Patih Narotama mengikuti bayangan itu sampai lenyap, lalu menghela napas panjang, tersenyum dan menggeleng kepalanya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Puspa Dewi adalah Sekar Kedaton atau puteri Adipati Wura-wuri satu di antara kerajaan-kerajaan yang memusuhi Kahuripan.
Puspa Dewi memasuki kota raja Kahuripan. Selama beberapa hari dalam perjalanan ini, hati dan pikirannya mengalami guncangan hebat. Peristiwa berturut-turut yang dialaminya, pertama kali bertemu dengan Nurseta dan tugas pertamanya merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta gagal lalu disusul gagalnya melaksanakan tugas kedua, yaitu membunuh Ki Patih Narotama, mengguncang hatinya dan membuatnya menjadi bingung.
Namun perlahan-lahan ia dapat mencerna nasihat Patih Narotama dan ia dapat menghibur hati sendiri. Gurunya atau ibu angkatnya Nyi Dewi Durgakumala memang bersalah. Kedua macam tugas yang diperintahkannya itu memang mengandung maksud yang tidak sehat dan tidak benar. Pertama, ia disuruh merampas keris pusaka Megatantra yang sama sekali bukan hak milik gurunya, melainkan hak milik Sang Prabu Erlangga dan ini berarti bahwa tugas itu menyuruh ia menjadi perampok atau pencuri! Kemudian tugas kedua, ia disuruh membunuh Ki Patih Narotama yang sama sekali tidak berdosa dan sifat tugas itu adalah pembalasan dendam yang angkara murka. Gurunya itu memang seorang wanita sesat, hal ini ia sendiri sudah mengetahuinya. Apakah ia harus pula menjadi seorang sesat, menjadi seorang penjahat? Tidak, ia bukan keturunan penjahat!
Akan tetapi sebagai seorang yang sudah diangkat menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri, ia harus melaksanakan perintah Adipati Wura-wuri dan ia harus membela Kerajaan Wura-wuri. Ia ditugaskan membantu dua orang puteri Parang siluman Laut Kidul yang kini menjadi selir Sang Prabu Erlangga dan selir Ki Patih Narotama, membantu untuk menentang Kerajaan Kahuripan. Ia memilih menghubungi Puteri Mandari saja yang menjadi selir Sang Prabu Erlangga. la tidak berani menghubungi Puteri Lasmini yang menjadi selir Ki Patih Narotama karena ia tidak berani bertemu lagi dengan ki patih yang tentu akan mencurigainya. Pula, biarpun ia membantu usaha Kerajaan Wura-wuri untuk menentang Kerajaan Kahuripan, iapun tidak akan melakukannya dengan membuta. Ia tidak mau melakukan perbuatan yang sifatnya jahat.
Para perajurit penjaga di pintu gerbang kompleks istana Kahuripan mula mula memandang dengan heran, kagum dan juga penuh curiga ketika menghadapi Puspa Dewi yang mengatakan bahwa ia ingin menghadap Sang Puteri Mandari. Heran melihat seorang gadis muda begitu berani seorang diri hendak memasuki kompleks istana, kagum melihat kecantikan dara itu, dan curiga melihat Puspa Dewi membawa sebatang pedang tergantung di punggungnya. Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis itu hendak menghadap Sang Puteri Mandari, mereka tidak berani menolak. Puteri Mandari memang telah mereka kenal sebagai selir terkasih sang prabu dan selir itu adalah seorang yang sakti
(Lanjut ke Jilid 19)
Keris Pusaka Sang Megatantra (seri ke 01 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
mandraguna, juga seorang yang galak dan tentu akan menghukum berat mereka kalau mereka menghalangi gadis ini. Siapa tahu gadis ini masih ada hubungan dekat dengan sang puteri. Maka sikap mereka segera berubah setelah Puspa Dewi menyebut nama Puteri Mandari. Tadinya, di antara mereka ada yang cengar cengir seperti biasa sekumpulan orang lelaki kalau melihat gadis cantik jelita, apalagi gadis itu datang seorang diri. Kini mereka bersikap hormat, tidak berani main-main.
"Silakan andika ikut petunjuk jalan menemui pengawal istana keputren,"
Kata komandan jaga.
Puspa Dewi lalu diantar dua orang perajurit menuju ke istana bagian keputren yang terletak di sebelah kiri bangunan induk istana. Setelah tiba dipintu bagian keputren, dua orang penjaga dari depan itu menyerahkan Puspa Dewi kepada empat orang perajurit pengawal yang berjaga di situ. Kembali di sini Puspa Dewi harus memperkenalkan diri dan menjelaskan keperluan kunjungannya. Seperti juga para penjaga di depan tadi, ketika para perajurit pengawal mendengar bahwa Puspa Dewi ingin menghadap Puteri Mandari, merekapun bersikap hormat dan tidak berani melarang.
Akan tetapi ternyata tidak terjadi seperti tadi. Puspa Dewi tidak diantar oleh perajurit yang berjaga di pintu gapura itu ke dalam. Seorang perajurit memberi isyarat ke dalam dengan memukul perlahan kentungan kecil. Tak lama kemudian muncullah dua orang pengawal wanita, berlarian dari sebelah dalam. Mereka berdua adalah wanita wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tegap dan berpakaian ringkas, di pinggang mereka tergantung sebatang pedang.
Keduanya mendapat laporan dari perajurit pria yang berjaga di pintu gapura keputren tentang Puspa Dewi mereka mengamati Puspa Dewi penuh perhatian. Seperti juga yang lain, disebutnya nama Puteri Mandari yang hendak dikunjungi Puspa Dewi membuat dua orang pengawal wanita ini bersikap hormat. Mereka semua takut belaka kepada sang puteri dan hal ini mulai diketahui Puspa Dewi melalui sikap mereka itu. La menduga bahwa keputren itu tentu memiliki pasukan pengawal wanita, sedangkan pasukan pengawal pria hanya menjaga di luar gedung, dibagi menjadi dua, yaitu pengawal luar dan pengawal dalam. Ketika seorang di antara pengawal wanita yang berkulit hitam manis melihat pedang yang menempel di punggung Puspa Dewi, ia lalu berkata dengan nada hormat.
"Maafkan kami, mas ayu. Di sini terdapat peraturan bahwa tamu yang datang berkunjung tidak diperkenankan membawa senjata. Oleh karena itu, harap andika menitipkan dulu pedang andika itu kepada kami. Nanti kalau andika hendak meninggalkan istana, tentu akan kami serahkan kembali."
Kalau pengawal wanita itu bicaranya kasar, tentu Puspa Dewi marah mendengar pedangnya diminta. Akan tetapi karena bicaranya sopan, maka ia tidak marah, hanya mengerutkan alisnya dan berkata sambil tersenyum mengejek.
"Aku mau menitipkan pedangku kepada kalian, akan tetapi apa hendak dikata, pusakaku Candrasa Langking ini tidak mau berpisah dariku."
"Apa maksud andika, mas ayu?"
Tanya pengawal wanita hitam manis itu dan kawannya juga memandang heran.
Puspa Dewi tersenyum dan ia mengambil pedang hitamnya, melepaskan talinya yang tergantung di punggung lalu menyerahkan pedang bersama sarungnya itu kepada pengawal wanita hitam manis itu.
"Kalau mau tahu, nah, buktikan sendiri dan terimalah pusakaku ini."
Dengan ragu pengawal itu menerima pedang. Akan tetapi begitu pedang dipegangnya, tiba-tiba saja pedang itu meluncur lepas dari tangannya seperti ada yang merenggutkan dan pedang ini melayang ke arah Puspa Dewi yang menyambutnya dengan tangan kiri.
"Nah, andika telah membuktikan sendiri!"
Kata Puspa Dewi yang tadi mempergunakan kekuatan sihirnya untuk menerbangkan pedangnya kembali kepadanya. Tentu saja ia tidak akan melakukannya kalau berhadapan dengan seorang yang sakti.
Pengawal wanita hitam manis itu terkejut sekali dan menjadi bingung, juga kawannya terbelalak heran dan kaget. Empat orang perajurit pengawal pria yang berjaga di luar gapura juga menyaksikan peristiwa itu dan merekapun terheran-heran!
"Ah, bagaimana baiknya ini?"
Kata pengawal wanita ke dua kepada kawannya.
Si hitam manis berkata.
"Cepat panggil Mbakayu Kanthi ke sini, biar ia yang menangani urusan ini."
Kawannya mengangguk lalu berlari masuk dan si hitam manis berkata kepada Puspa Dewi.
"Harap mas ayu suka menanti sebentar, kami panggilkan pelayan pribadi Gusti Puteri Mandari untuk mengantar andika menghadap Gusti Puteri."
Puspa Dewi mengangguk dan menanti dengan sikap santai, diam-diam merasa geli melihat pengawal wanita dan pengawal pria itu melirik kepadanya dengan pandang mata jerih. Tak lama kemudian pengawal wanita itu datang bersama seorang wanita dan Puspa Dewi segera memandang wanita itu dengan penuh perhatian. Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berpakaian sebagai emban pelayan, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya burik sehingga tampak jelek. Wanita ini adalah Kanthi dan ia bukanlah wanita lemah. Kanthi dan Sarti yang tinggi besar sengaja didatangkan oleh Mandari dan Lasmini. Sarti menjadi pengawal pribadi Lasmini dan Kanthi menjadi pengawal pribadi Mandari. Karena kedua orang wanita itu datang dari Kerajaan Parang Siluman, maka tentu saja mereka menjadi orang-orang kepercayaan kedua orang puteri itu. Dan mereka berdua juga merupakan orang-orang yang memiliki kesaktian, walaupun tidak setinggi kesaktian kedua orang puteri itu.
Setelah berhadapan dengan Puspa Dewi, mata Kanthi yang tajam dapat melihat bahwa gadis muda belia itu, memang seorang yang sakti. Hal ini dapat ia lihat pada sinar mata Puspa Dewi yang mencorong penuh kekuatan batin. Ia tadi sudah mendengar cerita pengawal wanita yang memanggilnya tentang pedang milik tamu wanita itu. Ia lalu berkata dengan hormat kepada Puspa Dewi.
"Mas ayu, saya Kanthi, pelayan Gusti Puteri Mandari. Saya mengerti bahwa seseorang memang tidak dapat berpisah dari senjata pusakanya. Akan tetapi kalau andika menghadap Gusti Puteri dengan membawa pedang, tentu menimbulkan prasangka yang tidak baik. Oleh karena itu, marilah andika saya antar menghadap Gusti Puteri dan biarlah saya membawakan pedang andika itu sampai menghadap Gusti Puteri. Kalau nanti Gusti Puteri berkenan, tentu akan saya kembalikan pedang itu kepada andika disana juga."
Mendengar ucapan itu, Puspa Dewi tersenyum dan mengangguk. Ia tidak mau menggunakan sihir lagi karena kalau wanita pelayan ini ternyata mampu menolak sihirnya, maka ia akan mendapat malu.
"Baiklah, engkau boleh membawakan pusakaku ini dan mari kita menghadap Gusti Puteri."
Katanya sambil menyerahkan pedang hitamnya. Kanthi menerima pedang itu sambil mengerahkan kekuatan batinnya, kalau kalau pedang itu akan "terbang", akan tetapi tidak terjadi sesuatu sehingga hatinya lega. Dua orang pengawal wanita dan empat pengawal pria itupun memandang dengan hati tegang, akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan mereka hanya dapat mengikuti dengan pandang mata mereka ketika Kanthi, sambil membawa pedang, mengantar Puspa Dewi masuk ke dalam.
Mandari yang dikabari bahwa ada seorang gadis bernama Puspa Dewi mohon menghadap padanya, menerima gadis itu di dalam ruangan pribadinya. Dari seorang mata-matanya yang berada di Wura-wuri Puteri Mandari telah mendengar bahwa Adipati Bhismaprabhawa dari Wura-wuri telah mengutus puterinya Sekar Kedaton yang bernama Puspa Dewi untuk membantunya di Kahuripan. Oleh karena itu, mendengar laporan bahwa Puspa Dewi kini telah dating menghadap, ia merasa girang sekali dan cepat menyambutnya sendiri di ruangan pribadinya.
Ketika Kanthi mengiringkan Puspa Dewi memasuki ruangan itu dan menutupkan kembali daun pintunya, Mandari telah duduk menanti diatas kursi, la memandang kagum, la sudah mendengar bahwa Sekar Kedaton Wura-wuri ini adalah murid dan puteri angkat Nyi Dewi Durgakumala yang sakti mandraguna, yang kini menjadi permaisuri Wura-wuri. Ternyata Puspa Dewi seorang gadis remaja yang cantik jelita.
Kanthi berlutut dan menyembah dengan hormat kepada majikannya. Puspa Dewi tetap berdiri dan memandang kepada Puteri Mandari dengan kagum. Tak disangkanya sang puteri itu sedemikian cantiknya dan tampaknya masih muda sekali. Ia mendengar bahwa puteri ini berusia sekitar dua puluh dua tahun lebih, akan tetapi tampaknya bahkan lebih muda dari pada ia yang baru berusia sembilan belas tahun! Melihat pedang di tangan pelayannya, Mandari tersenyum dan berkata,
"Kanthi, serahkan pedang itu kepada Gusti Puteri Puspa Dewi."
Kanthi terkejut dan menoleh kepada Puspa Dewi yang masih berdiri.
"Gusti ..... Gusti Puteri .....?"
Katanya bingung.
"Benar, Kanthi. Ia adalah Gusti Puteri Sekar Kedaton dari Kerajaan Wura-wuri."
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Mandari.
"Sekarang haturkan kembali pedang itu lalu keluarlah. Jaga agar jangan ada yang mendengarkan kami bicara di dalam."
"Sendika, gusti."
Kata Kanthi lalu dengan hormat sekali ia menyerahkan kembali Candrasa Langking kepada Puspa Dewi, menyembah lalu keluar dari ruangan itu lalu menutupkan kembali daun pintunya.
Setelah Kanthi keluar, Mandari lalu menunjuk ke arah sebuah kursi di depannya dan berkata.
"Puspa Dewi, duduklah. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa."
Puspa Dewi memasang kembali pedangnya di punggung lalu duduk dan berkata,
"Gusti Puteri...."
"Ah, Puspa Dewi, kita sama-sama puteri istana. Aku puteri Kerajaan Parang Siluman dan engkau puteri Kerajaan Wurawuri. Jangan bersikap merendah dan jangan menyebut aku Gusti Puteri!"
"Hamba mergerti. Akan tetapi karena hamba datang bukan sebagai Puteri Wura-wuri dan hendak membantu paduka dengan diam-diam dan rahasia, maka sebaiknya kalau mulai saat ini hamba membiasakan diri bersikap sebagai seorang pembantu paduka agar rahasia hamba tidak sampai bocor"
"Baiklah kalau begitu, Puspa Dewi. Tidak kusangka engkau yang semuda ini sudah dapat bersikap cerdik. Aku sudah banyak mendengar tentang dirimu dari pembantuku. Sebagai murid dan juga anak angkat Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi Permaisuri Wura-wuri, aku yakin engkau memiliki kesaktian yang boleh diandalkan Aku girang sekali engkau bersedia untuk membantuku. Dengan adanya engkau di sini dan Linggajaya di kepatihan membantu Mbakayu Lasmini, kedudukan kita menjadi lebih kuat. Kukira engkau sudah tahu tentang Linggajaya."
Puspa Dewi mengangguk.
"Hamba telah mengenalnya dengan baik."
Katanya tanpa menjelaskan bahwa Linggajaya adalah kakak tirinya.
"Sekarang harap paduka jelaskan, bantuan apakah yang dapat hamba lakukan di sini dan tugas apa yang dapat hamba kerjakan?"
"Aku sedang memikirkan hal itu. Aku sudah mendengar bahwa engkau diutus oleh Adipati Wura-wuri untuk membantu kami, akan tetapi tidak kusangka bahwa engkau hari ini akan datang menemui aku. Kedatanganmu yang tiba-tiba ini membuat aku harus berpikir-pikir dulu, tugas apa yang dapat kuserahkan kepadamu. Sementara ini, sebaiknya engkau menyamar sebagai seorang dayang pelayan pribadiku membantu Kanthi yang menjadi pelayan bawaan dan kepercayaanku. Dengan menjadi pelayan pribadiku, kita dapat mudah berhubungan dan tidak seorang pun berani menentangmu. Nanti perlahan-lahan kita atur apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Akan tetapi sebagai pelayan pribadi, tidak baik dan akan mencurigakan sekali kalau engkau membawa pedangmu. Maka, sebaiknya engkau sembunyikan pedangmu itu dalam kamar yang akan disediakan untukmu."
"Baik, akan hamba laksanakan."
Kata Puspa Dewi.
"Puspa Dewi, engkau harus berhati-hati. Ingat bahwa didalam istana ini banyak orang yang diam-diam menentangku. Terutama sekali terhadap Sang Prabu Erlangga, engkau harus berhati-hati sekali. Beliau adalah seorang yang amat sakti mandraguna, sebaiknya kalau engkau tidak muncul di depannya, kecuali kalau terpaksa dan jangan memperlihatkan sikap mencolok agar beliau tidak menaruh curiga kepadamu."
Demikianlah, mulai hari itu Puspa Dewi tinggal di dalam istana bagian keputren dan menyamar sebagai seorang dayang pelayan pribadi Puteri Mandari. Ia memakai pakaian seperti yang dipakai para dayang istana dan menyimpan pusaka Candrasa Langking dalam kamarnya. Kehadirannya tidak mencolok, tidak mencurigakan karena di istana memang terdapat banyak dayang, gadis-gadis muda yang rata-rata memiliki wajah yang ayu dan manis. Dan seperti yang dikatakan Puteri Mandari, para dayang dan pelayan yang lain bersikap segan dan hormat kepada Puspa Dewi setelah mereka mendengar bahwa dara itu adalah pelayan pribadi Puteri Mandari.
Senopati Sindukerta adalah seorang senopati sepuh (tua) yang sudah menjadi senopati sejak muda, di bawah pimpinan mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Ketika Erlangga menjadi raja menggantikan kedudukan mendiang Teguh Dharmawangsa, dia mengikut-sertakan bekas punggawa ayah mertuanya itu dan di antaranya dia memberi kedudukan yang sama kepada Senopati Sindukerta.
Senopati Sindukerta tinggal dalam sebuah gedung di kota raja bersama keluarganya. Usianya sudah enam puluh tahun lebih, namun dia masih tampak sehat dan gagah. Biarpun sudah tergolong tua, namun Senopati Sindukerta masih disegani karena dia pandai mengatur barisan, pandai memimpin pasukan dalam perang dan sudah banyak jasanya menghadapi musuh-musuh Kerajaan Mataram sejak dia masih muda dulu. Tidak mengherankan kalau Sang Prabu Erlangga menaruh kepercayaan kepadanya sungguhpun kini tugasnya lebih banyak sebagai penasihat yang memberi petunjuk dan pelajaran kepada para senopati muda.
MALAM itu terang bulan. Bulan purnama amat indahnya bertahta di angkasa raya. Bintang-bintang menjadi suram bahkan banyak yang tidak tampak terhalang sinar bulan yang terang keemasan. Bulan purnama bulat penuh dan di langit yang cerah itu tampak lingkaran putih di sekeliling bulan. Bulan ndadari, bulan kalangan, begitu indahnya sehingga menciptakan suasana sejuk gembira di muka bumi. Banyak orang betah berada di luar rumah karena sinar bulan memandikan segala sesuatu yang berada di permukaan bumi dengan sinarnya yang menenteramkan hati, membuat semua tampak gemilang dan indah, juga aneh penuh rahasia. Segala sesuatu seperti diselimuti cahaya keemasan. Kanak-kanak memenuhi pelataran rumah dan bermain-main dengan bertembang riuh rendah. Orang-orang tua bercengkerama di luar rumah. Banyak pula yang menggelar tikar di pelataran dan bercakap-cakap membicarakan masa lalu.
Bulan purnama mendatangkan kenangan lama yang indah-indah. Para muda juga bergembira ria. Sinar bulan agaknya mengobarkan gairah dan semangat hidup mereka. Terutama sekali mereka yang sedang dimabuk asmara dan mengadakan pertemuan dengan kekasih mereka dibawah sinar bulan purnama. Pada saat seperti itu, kekasih mereka tampak lebih cantik, lebih tampan, lebih menarik dan menggairahkan.
Senopati Sindukerta duduk seorang diri di dalam taman bunganya yang cukup luas. Harum bunga melati yang tumbuh di sekeliling kolam ikan memperindah suasana. Akan tetapi Senopati Sindukerta yang duduk tak jauh dari kolam ikan, di atas bangku panjang, sama sekali tidak tampak gembira.
Bahkan berulang kali dia menghela napas panjang dan wajahnya tampak muram, seolah dia menanggung derita kesedihan yang mendalam. Di atas sebuah meja kecil didepannya terdapat sebuah poci dan sebuah cangkir. Tadi pelayan datang menghidangkan air teh panas manis itu dan dia suruh pelayan itu pergi meninggalkannya dan berpesan agar jangan ada yang datang mengganggunya di dalam taman karena dia ingin bersendirian di situ. Wajahnya yang masih memperlihatkan bekas ketampanan itu berkerut. Tidak ada kumis dan jenggot di wajahnya. Rambutnya sudah banyak yang putih. Tubuhnya sedang, akan tetapi tampak kurus. Dari keadaan jasmaninya dapat diduga bahwa Senopati Sindukerta banyak mengalami penderitaan batin. Tentu saja hal ini tidak disangka orang. Dia adalah seorang senopati tua yang berkedudukan tinggi, cukup kaya, terhormat dan tidak kekurangan sesuatu. Bagaimana mungkin seorang punggawa tinggi seperti dia hidup mengalami penderitaan batin?
Senopati Sindukerta duduk di situ sejak tadi, sudah lebih dari dua jam dia duduk melamun seorang diri. Sementara itu bulan purnama naik semakin tinggi. Keadaan di luar gedung senopati itu sudah mulai berkurang keramaiannya. Anak-anak sudah disuruh masuk dan tidur. Hanya tinggal beberapa orang tua saja yang masih tinggal di luar. Malam mulai larut. Senopati Sindukerta mulai merasa kedinginan. Makin tinggi bulan purnama naik, makin larut malam, makin dinginlah hawa udara. Pada saat dia merasakan kedinginan dan minum air teh dari poci dituangkan ke cangkir dan air teh itu masih hangat, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu-tahu di depannya, dalam jarak tiga meter, telah berdiri seorang pemuda.
Senopati Sindukerta terkejut dan meletakkan kembali cangkirnya di atas cawan, lalu menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut. Dia terkejut, akan tetapi sama sekali tidak takut, hanya merasa heran bagaimana ada seorang pemuda yang begitu berani datang mengganggunya, dan kemunculannya begitu tiba-tiba.
"Siapa engkau? Mau apa engkau menggangguku, dating tanpa diundang?"
Bentak Senopati Sindukerta sambil menatap tajam wajah tampan pemuda yang pakaian dan sikapnya sederhana itu. Pemuda itu memberi hormat dengan membungkuk, lalu bertanya dengan suara lembut dan hormat.
"Maafkan saya, apakah saya berhadapan dengan Senopati Sindukerta?"
"Hemm, benar aku Senopati Sindukerta. Siapa engkau?"
"Maafkan saya. Nama saya Nurseta dan saya sengaja menghadap paduka untuk menanyakan sesuatu yang teramat penting dan hanya paduka saja yang dapat menjawab pertanyaan saya Itu, Kerut alis Senopati Sindukerta semakin mendalam.
"Sungguh engkau seorang pemuda yang tidak tahu aturan. bagaimana engkau berani kurang ajar menemui aku malam-malam begini dan memasuki tamanku seperti seorang pencuri?"
"Sudah dua kali saya minta maaf kalau saya mengganggu. Akan tetapi, pertanyaan saya ini penting sekali dan saya harap paduka tidak menolak untuk menjawabnya."
"Sudahlah, coba katakan, apa yang ingin kauketahui dariku?"
"Saya ingin bertanya, apa yang paduka ketahui tentang orang yang bernama Dharmaguna?"
Senopati Sindukerta terbelalak dan dia bangkit berdiri dengan cepat.
"Keparat"
Telunjuknya menuding ke arah Nurseta.
"Kiranya engkau ini suruhan si jahanam Dharmaguna? Mampuslah!"
Tiba-tiba Senopati Sindukerta menendang meja kecil di depannya dan meja itu meluncur ke arah Nurseta. Poci dan cangkir tadi terlempar jauh.
Nurseta menggerakkan tangannya, menangkap kaki meja yang menyambar ke arahnya dan menaruh meja itu di atas tanah, di sampingnya. Akan tetapi Senopati Sindukerta sudah mencabut kerisnya dan melompat maju, menyerang Nurseta dengan tusukan kerisnya. Agaknya dia marah sekali mendengar disebutnya nama Dharmaguna tadi.
"Wuutt ..... tukk!"
Senopati Sindukerta terkejut setengah mati ketika keris yang dia tusukan itu mengenai dada pemuda itu, dia merasa betapa kerisnya itu bertemu dengan benda yang lunak namun kenyal dan kuat sekali sehingga kerisnya membalik dan tidak dapat menembus. Sebelum hilang rasa kagetnya tahu-tahu keris itu telah direnggut lepas dari pegangannya dan pemuda itu melangkah mundur sambil berkata ejekan lembut
"Harap paduka bersabar dan tenang Saya sama sekali tidak datang untuk memusuhi paduka, melainkan hanya untuk minta keterangan. terimlah kembali pusaka paduka ini."
Nurseta menjulurkan tangan dan menyerahkan keris itu kepada pemiliknya. Senopati Sindukerta terkejut bukan main. keris pusakanya itu bukan keris biasa, melainkan pusaka ampuh sekali. Akan tetapi pemuda itu memiliki kekebalan yang luar biasa, membuktikan bahwa dia seorang yang sakti mandraguna. Maka mendengar ucapan Nurseta, dia menerima keris, mundur lalu duduk kembali ke atas bangku, mengawasi pemuda itu penuh perhatian.
"Orang muda. sebetulnya apakah yang kaukehendaki? Siapa namamu tadi?"
"Nama saya Nurseta dan saya hanya ingin mengetahui mengapa paduka memusuhi Dharmaguna, mengapa paduka membencinya dan di mana adanya dia sekarang?"
Senopati Sindukerta memandang heran.
"jadi engkau bukan suruhan dia? Engkau juga menanyakan di mana dia? Ah, kalau saja aku tahu di mana dia, si keparat itu!"
"Harap paduka suka menceritakan kepada saya mengapa paduka begitu membencinya."
"Engkau mau tahu mengapa aku membencinya? Huh, dia sudah merampas kebahagiaan kami sudah dua puluh dua tahun ini dia membuat aku selalu merasa berduka. Bawalah meja itu dekat sini dan duduklah di atas meja kalau engkau ingin mendengarkan persoalannya."
Nurseta menurut. Dia mengambil meja, membawanya ke depan Senopati Sindukerta lalu duduk di atas meja kecil yang rendah itu. Senopati Sindukerta lalu bercerita dan Nurseta mendengarkan dengan penuh perhatian. Senopati Sindukerta menghela napas panjang lalu berkata,
"Peristiwa itu telah lama terjadi, kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, akan tetapi rasanya baru kemarin saja terjadinya."
Kemudian senopati tua itu lalu bercerita.
Senopati Sindukerta telah menjadi senopati pada waktu Teguh Dharmawangsa menjadi raja. Senopati yang setia ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Endang Sawitri. Pada waktu itu Endang Sawitri berusia delapan belas tahun, la terkenal sebagai seorang dara yang selain cantik jelita, juga baik budi bahasanya dan berbakti kepada ayah ibunya. Tidak mengherankan kalau Senopati Sindukerta dan isterinya merasa amat sayang kepada Endang Sawitri. Tentu saja, seperti para orang tua lainnya Senopati Sindukerta dan isterinya mengharapkan agar puteri mereka itu mendapatkan suami yang tinggi kedudukannya, kaya raya, dan baik budi serta bijaksana. Dengan demikian maka selain puteri mereka itu akan hidup bahagia juga mereka sebagai orang tuanya akan merasa senang dan terangkat derajat dan martabatnya. Akan tetapi, dalam kehidupan ini, lebih sering harapan manusia tidak terpenuhi, kenyataan yang terjadi sering berlawanan dengan apa yang diinginkan, apa yang diharapkan, sehingga banyak kekecewaan dan duka melanda kehidupan manusia.
Pada suatu pagi, seorang tamu yang di hormati dating berkunjung ke rumah Senopati Sindukerta. Sang senopati dan isterinya menyambut kedatangan tamu ini dengan ramah dan hormat karena tamu itu adalah seorang pangeran yang terkenal gagah perkasa. Dia adalah Pangeran Hendratama yang pada waktu itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Seorang pria yang tampan dan gagah, apalagi karena pakaiannya amat indah, mewah dan mentereng. Sebagai seorang pangeran, putera Sang Prabu Teguh Dharmawangsa yang beribu seorang wanita berkasta rendah, Pangeran Hendratama tentu saja mempunyai hubungan baik dengan para pamong-praja dan juga mengenal baik Senopati Sindukerta.
"Selamat datang, Pangeran."
Sambut Senopati Sindukerta ramah. Isterinya juga menyambut dengan senyum ramah.
"Silakan masuk, kita duduk di ruangan dalam agar lebih leluasa bercakap-cakap."
"Terima kasih, paman senopati dan bibi."
Kata Pangeran Hendratama dengan sikap halus.
Mereka memasuki ruangan dalam dan dua orang selir sang senopati juga menyambut dan memberi hormat kepada pangeran itu, akan tetapi mereka segera mengundurkan diri, tidak berani mengganggu. Pangeran Hendratama hanya duduk berhadapan dengan Ki Sindukerta dan garwa padminya.
"Paman dan bibi, di mana diajeng Endang Sawitri ? Tanpa kehadirannya, rumah paman ini tampak sepi."
"Endang sedang sibuk di dapur, membantu para abdi mempersiapkan makan, Pangeran."
Kata Nyi Sindukerta.
"Begitukah? Sayang, saya ingin sekali melihatnya, walaupun sebentar saja, bibi."
Nyi Sindukerta lalu memanggil pelayan dan memberi perintah agar pelayan Itu memberitahu kepada puterinya bahwa Pangeran Hendratama datang berkunjung.
"Minta kepada Den Ajeng Endang agar keluar dan menemui Gusti Pangeran Hendratama sebentar!"
Perintahnya.
Pelayan itu menyembah lalu pergi. Tak lama kemudian, selagi Pangeran Hendratama bercakap-cakap dengan Ki Sindukerta dan isterinya, muncullah seorang gadis cantik jelita mengiringkan seorang pelayan wanita yang membawa baki terisi makanan dan minuman yang dihidangkan di atas meja.
Gadis itu berusia sekitar delapan belas tahun, cantik jelita dan manis merak ati, dengan sikap dan gerak-gerik lembut menawan. Itulah Endang Sawitri, puteri tunggal Senopati Sindukerta yang terkenal sebagai seorang di antara para puteri yang cantik di kota raja. Bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum memancing datangnya banyak kumbang, Endang Sawitri juga membuat banyak pemuda bangsawan maupun bukan bangsawan tergila gila.
Akan tetapi Endang Sawitri tidak menyambut rayuan mereka, bahkan menolak pinangan beberapa orang pemuda bangsawan. Semua ini karena dara jelita itu sudah mempunyai pilihan hati sendiri, yaitu seorang pemuda bernama Dharmaguna. Akan tetapi Senopati Sindukerta marah-marah dan melarang puterinya melanjutkan pergaulannya dengan pemuda itu. Bukan karena pemuda pilihan puteri mereka itu kurang tampan. Sebaliknya, Dharmaguna adalah seorang pemuda yang tampan dan lemah lembut, baik budi pekertinya.
Akan tetapi dia hanya putera seorang pendeta yang miskin, sudah tidak beribu lagi karena ibunya sudah meninggal dunia. Dharmaguna hanya tinggal di padepokan ayahnya, sebuah bangunan yang reyot. Bagaimana mungkin sang senopati dan isterinya mau menyerahkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal kepada seorang pemuda miskin, tidak memiliki kedudukan apapun? Mereka mengidamkan seorang mantu yang berpangkat tinggi dan kaya raya! Ketika Endang Sawitri muncul. Pangeran Hendratama segera bangkit dari tempat duduknya dan tersenyum memandang kepada dara yang telah mengobarkan gairah berahinya itu.
"Diajeng Endang Sawitri .....!"
Sapanya, tanpa menyembunyikan kekagumannya walaupun ayah ibu gadis itu berada di situ.
"Selamat datang, Gusti Pangeran. Hamba menghaturkan hormat."
Kata gadis itu dengan sikap hormat.
"Ah, diajeng Endang! Jangan menyebut gusti padaku, sebut saja Kakangmas Pangeran!"
"Hamba..... tidak berani....."
Kata gadis itu sambil menundukkan mukanya, ngeri melihat pandang mata pangeran itu yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.
"Kenapa tidak berani? Takut? Aku bukan harimau yang perlu ditakuti, diajeng. Mari, duduklah. Aku ingin meyampaikan suatu berita kepada orang tuamu dan engkaupun perlu mendengarkan dan menyaksikan berita yang amat menggembirakan ini."
Endang Sawitri meragu. Ia sudah lama merasa tidak senang dan tidak aman kalau pangeran itu datang berkunjung Biarpun pangeran itu tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan bahkan sangat ramah kepadanya, namun pandang mata pangeran itu seiaiu seolah menggerayangi seluruh bagian tubuhnya. la menoleh kepada orang tuanya dan Senopati Sindukerta mengangguk kepadanya.
"Duduklah, Endang."
Kata ayahnya.
Terpaksa gadis itu mengambil tempat duduk di dekat ibunya. Ibu yang menyayang puterinya ini lalu merangkulnya.
"Sebetulnya, kepentingan apakah yang hendak paduka sampaikan kepada kami sekeluarga, pangeran?"
Tanya senopati itu dengan hati merasa tidak enak karena sungguh aneh kalau untuk kepentingan kerajaan misalnya, puterinya diharuskan menjadi saksi.
"Apakah paduka membawa perintah dari Gusti Prabu?"
"Sesungguhnya memang saya membawa surat dari Ramanda Prabu, paman."
"Tugas apakah yang diperintahkan Sribaginda kepada hamba?"
Pangeran Hendratama tersenyum.
"Sebetulnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan tugas pemerintahan, paman. Ini adalah urusan pribadi saya. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya menaruh hati, jatuh cinta kepada puteri paman, yaitu Diajeng Endang Sawitri. Akan tetapi saya menunggu sampai ia menjadi dewasa. Setelah sekarang Diajeng Endang Sawitri dewasa, maka saya datang untuk mengajukan pinangan kepada paman dan bibi atas diri Diajeng Sawitri."
"Ahh .....!"
Seruan tertahan ini keluar dari mulut Endang Sawitri yang menjadi pucat wajahnya dan gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di pundak ibunya.
Di dalam hatinya, tentu saja Senopati Sindukerta tidak rela kalau puterinya dikawin pangeran ini, bukan karena pangeran ini kurang tinggi kedudukannya atau kurang kaya. Sama sekali tidak! Pangeran Hendratama adalah putera Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, biarpun bukan putera mahkota namun tentu saja kedudukannya cukup tinggi dan diapun kaya raya. Andaikata sang pangeran itu masih perjaka, atau setidaknya belum mempunyai garwa padmi (isteri sah) tentu dia dan isterinya akan merasa girang mempunyai mantu seorang pangeran!
Akan tetapi kenyataannya, Pangeran Hendratama itu telah mempunyai garwa padmi, bahkan mempunyai banyak garwa ampil (selir), maka tentu saja mereka merasa keberatan. Endang Sawitri tentu hanya dijadikan garwa ampil, itupun entah yang ke berapa! Melihat suami isteri itu saling pandang dengan alis berkerut, tampak tidak gembira menyambut pinangannya, Pangeran Hendratama lalu mengeluarkan segulung surat.
"Paman Senopati Sindukerta, ini saya dititipi surat dari Kanjeng Rama untuk paman!"
Melihat surat dari Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, tergopoh-gopoh dengan sembah sang senopati menerimanya lalu membacanya. Isinya merupakan pernyataan mendukung pinangan itu dan sang prabu mengharapkan agar Senopati Sindukerta menerima pinangan itu sehingga menjadi besan sang prabu!
Setelah membaca surat itu, Ki Sindukerta menghela napas. Kalau Sribaginda sendiri turun tangan, tentu tidak mungkin baginya untuk menolak! Kemudian, dia memandang kepada Pangeran Hendratama dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Pangeran, kami merasa berbahagia dan mendapat kehormatan besar sekali bahwa paduka bermaksud meminang puteri kami yang bodoh. Akan tetapi ....."
Senopati itu tidak berani atau meragu untuk melanjutkan kata-katanya.
"Akan tetapi, apa, paman?"
Tanya Pangeran Hendratama sambil mengerutkan alisnya yang tebal.
"Akan tetapi, maafkan sebelumnya, pangeran. Kami sebagai ayah ibu Endang Sawitri, terus terang saja merasa kurang marem (puas) kalau puteri kami hanya dijadikan garwa ampil. Kami sejak dahulu berkeinginan agar puteri kami menjadi garwa padmi yang dihormati..... maafkan kami, pangeran. Bukan sekali-kali kami menolak pinangan paduka, hanya..... bukankah paduka telah mempunyai garwa padmi?"
Pangeran Hendratama yang sudah tergila-gila kepada Endang Sawitri tidak menjadi marah, malah tertawa.
"Ha-ha..hal itu jangan dirisaukan, paman. Kala paman dan bibi sudah menerima pinangan saya, hari ini juga saya akan pulangkan garwa padmi saya itu kepada orang tuanya dan Diajeng Endang Sawitri saya angkat menjadi garwa padmi!"
Tentu saja hati Senopati Sindukerta menjadi lega. Bagaimanapun juga, tidak mungkin dia berani menolak pinangan sang pangeran yang sudah diperkuat oleh surat Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Surat itu saja berarti sebuah perintah yang tidak mungkin dapat ia tolak. Kalau puterinya diangkat menjadi garwa padmi pangeran, biarpun di dalam hatinya dia tidak begitu suka kepada pangeran ini ia boleh merasa puas karena dia akan menjadi besan Sang Prabu Teguh Dharmawangsa! Derajatnya akan naik tinggi sekali Dia menoleh kepada isterinya dan ternyata isterinya juga tersenyum dengan wajah berseri. Sang senopati mengerutkan alisnya ketika dia melihat puterinya menangis tanpa suara di pundak isterinya.
"Bagaimana jawaban andika, paman senopati?"
Tiba-tiba senopati itu terkejut mendengar pertanyaan pangeran itu. Dia cepat menoleh dan memandang wajah Pangeran Hendratama.
"Oh, baik, Pangeran. Hamba sekeluarga menerima pinangan paduka dengan gembira!"
Tiba-tiba terdengar isak dan Endang Sawitri lalu melepaskan rangkulannya dari pundak ibunya dan ia berlari masuk ke ruangan dalam meninggalkan ruangan itu. Terdengar isaknya ketika ia melarikan diri itu. Pangeran Hendratama mengerutkan alisnya.
"Mengapa diajeng Endang Sawitri menangis, paman?"
"Oh, maaf, Pangeran. Maklum puteri kami itu masih amat muda, tentu ia merasa malu-malu. Biarlah nanti hamba berdua yang akan membujuknya agar ia tidak takut-takut dan malu-malu lagi."
Pangeran Hendratama tersenyum lega mendengar ucapan senopati itu.
"Baiklah, paman dan bibi. Saya mohon pamit dulu, akan saya urus perceraian saya dengan isteri saya. Besok saya akan mengirim utusan untuk membicarakan tentang perayaan pesta pernikahan saya dengan Diajeng Endang Sawitri."
"Terima kasih, pangeran, dan selamat jalan."
Kata sang senopati yang mengantar pangeran itu sampai ke pelataran rumahnya.
Sementara itu, Nyi Sindukerta memasuki kamar puterinya dan ia mendapatkan puterinya rebah menelungkup di atas pembaringan dan membenamkan mukanya pada bantal. Nyi Sindukerta lalu duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak puterinya.
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo