Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 37


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 37



Akan tetapi, dua orang roboh yang maju ada belasan orang, menubruknya dari kanan kiri, depan dan belakang. Joko Pramono mengeluarkan suara bentakan keras, tubuhnya berkelebat mengelak dan menangkis, bahkan senjata yang berhasil mengenai tubuhnya hanya merobek pakaiannya saja karena kulitnya kebal oleh pengerahan hawa sakti tubuhnya, kemudian ia merobohkan lagi empat orang pengeroyok.

   Pada saat itu menyambar sesosok bayangan yang amat lincah. Sekali terjang, bayangan ini sudah merobohkan dua orang pengawal yang mendekati Setyaningsih yang masih duduk setengah rebah di atas tanah dan kelihatan bingung. Bayangan itu ternyata adalah Pusporini yang cepat menyambar tubuh Setyaningsih, dikempit dengan lengan kiri sedangkan tangan kanan dara perkasa ini menghajar roboh berturut-"turut dua orang pengawal lain.

   Joko Pramono yang dikeroyok banyak pengawal, melihat munculnya Pusporini segera berseru,

   "Bagus, Rini. Kau bantu aku membasmi jahanam"jahanam ini!"

   "Cih, laki-laki ceriwis, cabul dan mata keranjang!"

   Pusporini memaki dan tubuhnya berkelebat pergi membawa Setyaningsih yang hanya mengeluarkan suara keluhan panjang.

   Joko Pramono kaget sekali, cepat ia mengerjakan tangannya dengan cepat sekali dan kembali enam orang pengawal roboh terpelanting. Melihat ini, Pangeran Kukutan yang sejak tadi pun telah bersembunyi di situ berteriak,

   "Hayo maju semua, bunuh keparat itu!"

   Makin banyak lagi pengawal berdatangan dan melihat gelagat buruk ini, Joko Pramono mengeluarkan suara pekik keras tubuhnya agak merendah, kedua tangannya didorong ke depan dan hawa pukulan seperti angin lesus menyambar ke depan, membuat belasan orang pengawal yang berada terdepan, terjengkang dan terpelanting.

   Ketika para pengawal memandang ke depan, pemuda perkasa itu ternyata telah lenyap dari tempat itu. Joko Pramono telah mempergunakan Aji Cantuka Sekti untuk memukul roboh para pengeroyoknya, kemudian ia meloncat dan pergi secepatnya menyusul Pusporini yang telah lebih dulu membawa Jari Setyaningsih.

   Pangeran Kukutan menjadi penasaran sekali ketika melihat Joko Pramono dapat meloloskan diri, terutama sekali Setyaningsih dan Pusporini. Dia sudah mendapat janji dari Suminten bahwa kalau siasat mereka berhasil dan empat orang muda itu terjatuh ke tangan mereka, dia boleh memiliki dua orang wanita muda jelita itu!

   Setyaningsih dan Pusporini! Betapa dia sudah tergila-gila, kalau malam sering bermimpi memangku dua orang wanita itu, dan kalau dikenang membuat ia mengilar. Kini, dikepung oleh puluhan orang pengawal pilihan, dua orang wanita itu dan Joko Pramono masih dapat lobos! Ah, dia dan Suminten terlalu memandang rendah mereka. Terlalu memandang rendah Joko Pramono dan Pusporini yang ternyata benar-benar amat sakti. Kalau mereka tahu betapa hebat kesaktian dua orang muda itu, tentu Pangeran Kukutan sudah minta bantuan Ki Patih Warutama sehingga malam itu dapat diundang beberapa orang sakti dari luar untuk membantu.

   Karena penasaran, Pangeran Kukutan lalu mengerahkan barisan pengawal, sedikitnya ada lima losin jumlahnya, melakukan pengejaran di malam terang bulan itu.

   Akan tetapi, ilmu berlari cepat kedua orang murid Sang Resi Mahesapati ini jauh lebih tinggi daripada Pangeran Kukutan dan para pengawalnya sehingga para pengejar itu tertinggal jauh sekali. Dua orang muda perkasa itu maklum bahwa fihak istana pasti takkan membiarkan mereka pergi seenaknya, maka mereka pun tak pernah berhenti berlari dan semalam suntuk itu Pusporini yang berlari di depan sambil memondong tubuh Setyaningsih, telah jauh meninggalkan kota raja, memasuki hutan besar dan baru menjelang pagi, ia menghentikan larinya dan melepaskan tubuh Setyaningsih ke atas tanah yang bertilam rumput.

   "Pusporini......... aduhh......... kepalaku........."

   Setyaningsih mengeluh akan tetapi ia segera terguling lemas dan tertidur pulas!

   "Hemm.........kau lemah dan keji terhadap suamimu,Setyaningsih!"

   Kata Pusporini, nada suaranya marah dan tiba-tiba gadis yang keras hati, yang gagah perkasa dan yang tak pernah mengenal takut itu menangis tersedu-sedu sambil berjongkok di dekat Setyaningsih yang tidur nyenyak.

   "Rini......... engkau mengapakah? Mengapa menangis? Dan mengapa pula kau tadi marah-marah dan memaki"maki aku tidak karuan?"

   Pertanyaan Joko Pramono ini diajukan dengan suara halus karena dia melihat gadis itu menangis, akan tetapi mengandung rasa mendongkol dan penasaran karena ia merasa betapa dia dimaki-maki tidak karuan tanpa salah.

   Mengapa Pusporini secara tiba-tiba memaki dia ceriwis, cabul, dan mata keranjang? Maki"makian keji yang dilontarkan di depan orang banyak pula. Bahkan gadis ini tidak mau membantunya yang dikeroyok banyak pengawal. Apakah sebabnya?

   Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba Pusporini mencelat bangun dan serta-merta menerjangnya dengan pukulan maut tanpa mengeluarkan suara ba atau bu lagi! Pukulan dengan tangan kanan yang ditujukan ke arah dada Joko Pramono dengan penuh tenaga terdorong kemarahan dan kebencian!

   "Eiiiitttt.........sembrono kau, Rini!"

   Joko Pramono terkejut sekali dan cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sampai jauh. Hanya dengan cara itulah ia dapat menyelamatkan diri dari hantaman maut yang amat dahsyat itu.

   Pusporini yang memang berwatak keras dan tidak pernah mau kalah, menjadi penasaran dan terus menerjang lagi dengan dahsyatnya, tanpa memberi kesempatan kepada Joko Pramono untuk bicara atau balas menyerang, bahkan ia tidak hendak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk bernapas! Dia ingin membunuh pemuda ini yang telah menyakitkan hatinya malam tadi!

   Mengapa Pusporini secara tiba-tiba marah kepada Joko Pramono? Memang tidak mengherankan kalau diketahui apa yang diucapkan Ki Mitra malam tadi ketika kakek ini menghadap dara perkasa ini.

   "Paduka harus cepat-cepat menolong, Raden Ayu......... kalau tidak, akan celakalah semua "

   Kata kakek itu dengan muka pucat dan berkeringat.

   "Ki Mitra......... ada apakah?"

   Pusporini bertanya kaget

   Kakek itu menghela napas panjang, menghapus peluhnya, kemudian menggeleng-geleng kepala dan berkata.

   "Ah, kalau orang muda......... kaduk wani kurang dugo (menonjolkan keberanian tanpa perhitungan), semua ini gara-gara Raden Joko mengadakan pertemuan rahasia dengan Gusti Puteri Setyaningsih............

   "

   "Apa......... Apa kau bilang.........? Jaga baik-baik mulutmu, Ki Mitra!"

   Pusporini marah sekali dan tangannya sudah gatal-gatal hendak menampar kakek itu kalau saja ia tidak ingat bahwa kakek ini adalah orang yang setia dan tentu ada sebabnya mengapa mengeluarkan kata-kata seperti itu.

   "Hamba tidak menyalahkan paduka. Memang, biasanya yang terdekat malah tidak mengetahui. Sudah beberapa kali mereka berdua mengadakan pertemuan rahasia, ahh.........hamba tidak heran, yang puteri cantik jelita yang putera tampan perkasa. Akan tetapi sekali ini mereka terkena jebakan, mengadakan pertemuan di pondok dalam taman sari milik gusti selir dan mereka ketahuan, tertangkap basah! Mereka kini telah dikurung pasukan pengawal.........

   "

   Demikianlah, mendengar ucapan ini, tanpa menanti sampai habis penuturan Ki Mitra, tubuh Pusporini sudah berkelebat dan ia berlari cepat memasuki taman sari itu. Dan apa yang dilihatnya? Sama dengan yang dilihat Pangeran Panji Sigit! Ia melihat betapa pria yang dicintanya itu sedang memondong tubuh Setyaningsih dan wanita itu, kakak tirinya yang amat dikasihinya, yang ia kagumi dan yang ia anggap sebagai seorang wanita sejati, seorang wanita yang patut dijadikan tauladan, dengan mesra membelai rambut kepala Joko Pramono, bersikap mesra penuh gelora nafsu berahi yang amat memalukan dan memuakkan perutnya!

   Ketika para pengawal keluar menyerbu, Pusporini membatalkan niatnya menyerang Joko Pramono, sebaliknya ia lalu menyambar tubuh Setyaningsih dan membawanya pergi karena betapapun juga, dia tidak mungkin dapat membiarkan kakak tirinya itu tertimpa aib dan malu, tertangkap basah melakukan perjinahan dengan Joko Pramono.

   Tentu saja, dalam kedukaan dan kecewanya, dalam penderitaan akibat hancurnya kebahagiaan cinta kasihnya dengan Joko Pramono yang sekaligus dihancurkan oleh penglihatan di taman sari tadi, begitu melihat Joko Pramono, dara perkasa ini tak dapat menahan kebencian dan kemarahan nya lagi dan langsung menerjang dan menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan maut secara bertubi-tubi!.

   "Wah......... heiiitt......... berhenti dulu! Aihhhh.........!"

   Joko Pramono yang hanya menangkis dan mengelak itu akhirnya kena diserempet pundaknya sehingga ia roboh terpelanting. Baiknya ia memiliki tubuh yang terlatih dan kebal sehingga sebelum kaki Pusporini yang melayang datang itu sempat menghajar dan meremukkan kepalanya, Joko Pramono sudah menekankan kedua tangan ke atas tanah, mendorong dan tubuhnya mencelat jauh sehingga terhindar dari tendangan maut.

   "Rini, jangan......... , berhenti dulu dan mari kita bicara.........!"

   "Keparat, manusia tak berbudi, tidak perlu bicara lagi. Engkau atau aku yang harus mati!"

   Bentak Pusporini yang terus menyerang sehingga kembali Joko Pramono yang terheran-heran itu dan yang selalu mengalah, terdesak hebat dan tamparan Pusporini menyerempet pipinya sehingga pinggir bibir pemuda itu pecah berdarah. Melihat darah, Pusporini seperti menjadi semakin buas dan serangannya makin ganas.

   "Pusporini.........! Eh, Joko Pramono.........! Mengapa kalian berkelahi? Berhenti......... berhentilah......... , apakah yang terjadi.........??"

   Setyaningsih yang telah sadar dari tidurnya, tadi sejenak terbelalak menyaksikan betapa Pusporini menyerang dan mendesak Joko Pramono. Kemudian ia melompat bangun dan cepat melerai mereka, menghadang di depan Pusporini yang sudah seperti seekor hari-mau betina direbut anaknya itu.

   Pusporini dengan alis berdiri memandang Setyaningsih, napasnya terengah dan dua titik air mata membasahi pipinya.

   "Engkau......... engkau hendak membela kekasihmu ini.........??"

   Ucapan ini bagi Setyaningsih dan Joko Pramono merupakan tuduhan yang amat mengejutkan, bagaikan halilintar menyambar di atas kepala mereka.

   "Rini.........! Apa yang kau katakan ini.........??"

   Teriak Joko Pramono.

   Wajah Setyaningsih menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak memandang adik tirinya.

   "Pusporini adikku......... ,! mengapa kau mengeluarkan ucapan sekeji itu? Apakah yang telah terjadi.........? Mengapa aku berada di sini......... dan.. dan mengapa kalian bertempur...?"

   Muka Pusporini menjadi makin merah, dadanya menjadi makin bergelombang karena rongga dadanya dibakar api kemarahan.

   "Hemmm, sungguh tak tahu malu dan pengecut! Sudah berani berbuat tidak berani mengaku! Kedua mataku sendiri telah melihat betapa engkau dalam pondongannya mengerang-erang manja dan penuh nafsu. Mataku belum buta! Semalam kumelihat sendiri dan sekarang kalian berdua masih berpura-pura lagi? Aduh,sungguh kasihan Kakangmas Pangeran Panji Sigit........ , dikhianati isteri dan sahabat palsu.........!!"

   Pusporini lalu menangis terisak.

   Setyaningsih memandang kepada Pusporini, lalu kepada Joko Pramono berganti-ganti dengan muka pucat, kemudian ia berkata setengah menjerit.

   "Di mana suamiku? Mengapa aku berada di sini? Apa yang terjadi? Lekas ceritakan, kalian berdua. Lekas ceritakan......... ah, aku bisa menjadi gila karena gelisah.........!!"

   Pusporini menghentikan tangisnya dan ia memandang wajah kakak tirinya itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. Ia mulai meragu akan kebenaran dugaannya. Pada saat itu, Joko Pramono berkata,

   "Ah, tidak salah lagi. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, dan kita semua telah masuk perangkap keji. Pusporini, harap kau bersabar dan lebih baik kita secara terang-terangan saling menceritakan pengalaman malam tadi. Kalau kemudian terbukti bahwa aku telah melakukan hal keji terhadap Ayunda Setyaningsih seperti yang kau tuduhkan, biarlah aku memberikan leherku untuk kau penggal!"

   Pusporini memandang kepada pria yang dicintanya akan tetapi sekarang dibencinya itu dengan mata penuh amarah, alisnya tetap berkerut, dan ia tidak menjawab. Hatinya masih terlalu sakit dan rongga dadanya masih terlalu panas penuh hawa amarah.

   "Adinda Joko, ceritakanlah apa yang telah terjadi.........

   "

   Setyaningsih berkata dengan suara penuh permohonan sambil merangkul pundak Pusporini untuk mencegah adiknya yang galak ini menyerang lagi pemuda itu.

   Joko Pramono menghela napas panjang, kemudian memandang lagi kepada Pusporini lalu bercerita,

   "Malam tadi, selagi saya duduk sendiri dalam kamar bersamadhi, datanglah Ki Mitra yang menceritakan dengan muka penuh kekhawatiran bahwa Ayunda Setyaningsih sedang diajak makan minum oleh selir Suminten dan bahwa Ayunda akan diracun. Ki Mitra minta kepada saya agar cepat menolong Ayunda, yang katanya setiap saat terancam dan bahwa Ayunda bersama selir Suminten berada di taman sari. Dia mencegah saya memberitahukan kepada Pusporini atau Rakanda Pangeran karena dia khawatir tidak akan keburu dan berjanji bahwa dialah yang akan memberitahu kepada Pusporini dan Rakanda Pangeran. Karena saya percaya kepadanya, saya lalu bersicepat memasuki taman sari. Di dalam taman sari itu amat sunyi dan saya melihat Ayunda seorang diri di dalam pondok merah. Saya terkejut melihat keadaan Ayunda karena Ayunda terhuyung-huyung dan hampir roboh.. Saya mengira bahwa tentu Ayunda telah keracunan, maka cepat saya menyambar dan memondong tubuh Ayunda untuk saya bawa pergi kembali ke tempat Rakanda Pangeran agar dapat dlusahakan pertolongan. Akan tetapi pada saat itu, saya diserbu puluhan orang pengawal. Terpaksa saya menurunkan tubuh Ayunda dan pada saat itu......... Pusporini muncul akan tetapi hanya menyelamatkan Ayunda dan tidak membantu saya, bahkan memaki saya! Tentu saja saya menjadi penasaran dan mengejar terus. Siapa kira, begitu tiba di sini, dia bersungguh-sungguh hendak membunuh saya.........!"

   Joko Pramono menghapus darah yang masih keluar dari ujung bibirnya yang kini menjendol.

   Wajah Pusporini yang tadinya merah kini perlahan-lahan berubah menjadi pucat. Kemarahan yang membayang di matanya mulai terganti keraguan kemudian kegelisahan, dan tatapan matanya pada Joko Pramono menjadi gugup dan bingung. Ia memegang pundak Setyaningsih dan mendesak,

   "Ayunda......... , ceritakanlah......... apa yang telah terjadi dengan Ayunda di taman itu.........!"

   Pusporini membayangkan betapa Setyaningsih ketika dalam pondongan Joko Pramono, kelihatan begitu penuh nafsu berahi, jari -jari tangannya membelai muka dan rambut pemuda itu, mukanya diangkat-angkat hendak mencium!

   Setyaningsih yang rambutnya kusut dan wajahnya masih pucat itu memijit-mijit pelipisnya.

   "Aku sendiri, tidak mengingat sesuatu.........kepalaku masih pening sekali. Hanya sedikit yang kuingat. Malam tadi aku duduk berdua dengan suamiku, lalu datang seorang pelayan ibunda selir yang mengundangku untuk menemaninya makan minum sambil menikmati terang bulan di taman sari. Aku dan suamiku merasa sungkan untuk menolak, terpaksa pergi juga bersama pelayan itu. Di dalam taman sari, di pondok merah itu, aku menemani ibunda selir makan minum. Kemudian ibunda selir menyuguhkan secangkir anggur. Aku menolak, akan tetapi katanya anggur itu amat baik untuk seorang isteri muda yang belum mempunyai anak. Aku didesak, lalu dikatakan apakah aku takut diracun sehingga terpaksa untuk menghilangkan kecurigaan aku minum anggur itu yang rasanya manis dan berbau harum sekali. Setelah itu......... aku seperti dalam mimpi yang kacau......... seperti hanya berdua dengan Kakangmas Pangeran......... ah, aku tidak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tahu-tahu aku sadar dan telah berada di sini, berbaring di atas tanah dan melihat kalian berdua berkelahi seperti kemasukan setan!"

   "Aha! Sudah mulai kelihatan belangnya sekarang!"

   Tiba-"tiba Joko Pramono berkata sambil menepuk pahanya sendiri. 'Pusporini, ceritakanlah pengalamanmu agar kita dapat membandingkan!"

   Dengan suara trenyuh karena ia pun mulai dapat menduga akan jalannya tipu muslihat musuh dan hatinya penuh keharuan karena sikapnya tadi terhadap Joko Pramono, Pusporini lalu bercerita,

   "Ki Mitra datang kepadaku malam tadi dan mengatakan bahwa Ayunda dan......... Joko......... mengadakan......... eh, pertemuan rahasia......... di taman sari, bahkan Ayunda dan Joko sudah lama mengadakan hubungan percintaan dan malam tadi bertemu di taman sari akan tetapi tertangkap basah dan akan ditangkap para pengawal yang dikerahkan oleh......... perempuan iblis itu.........! Aku datang ke sana dan melihat Ayunda......... dalam pondongan......... ahhh, sudahlah......... , aku memang bersalah......... mataku seperti buta.........!"

   Pusporini menangis, kini tangisnya sukar dikatakan, apakah tangis itu karena menyesali perbuatannya ataukah tangis girang bahwa Joko Pramono tidak jadi direbut orang, ataukah kedua-duanya!

   "Wah, jelas sudah sekarang! Ini tentu tipu daya keji Suminten yang jahanam itu! Sengaja diatur, mungkin sudah lama diaturnya dan dicari kesempatan ini. Siasat untuk memecah-belah di antara kita dan sekaligus menghancurkan kita dengan dalih pelanggaran susila dan melawan para pengawal! Dan hampir saja siasatnya berhasil."

   Kembali pemuda ini meraba bibirnya yang menyendol dan pecah pinggirnya.

   "Kalau tidak cepat-cepat aku menghindar, tentu kepalaku telah pecah sekarang dan andika berdua hanya akan menangisi sebuah mayat tiada gunanya lagi!"

   "Joko.........!!"

   Pusporini menubruk pemuda itu dan menangis sesenggukan di atas dadanya. Joko Pramono mengejap-ngejapkan matanya menahan dua butir air matanya yang akan menitik turun saking terharu dan girangnya hati.

   Pusporini yang penuh penyesalan, seperti lupa diri, lupa bahwa di situ terdapat Setyaningsih yang memandang dengan mata basah air mata. Dia mengangkat mukanya dan dengan terisak-isak ia meraba pinggir bibir yang pecah itu, meraba dan membelainya, kemudian mengecup luka di bibir dengan halus.

   "Joko, maafkan aku, Joko.........maafkan aku dan kau pukullah aku sebagai hukuman.........!"

   Joko Pramono tersenyum lebar dan mendekap muka itu ke dadanya, erat-erat seolah-olah ia hendak menyimpan kepala dan wajah yang amat dicintanya itu ke dalam dadanya, dan takkan diperbolehkan keluar lagi.

   Kemudian ia mencium dahi Pusporini dan memegang dagu gadis itu, diangkatnya muka yang basah itu menghadap mukanya, lalu ia berkata,

   "Engkau? Dihukum pukulan? Wah, eman-eman (sayang).....! Kalau aku tadi tahu upahnya akan sebesar ini, mau rasanya aku menerima sebuah pukulanmu lagi......

   "

   "Kau memang ceriwis!"

   Pusporini berkata, akan tetapi dengan sikap manja dan tangannya menampar lirih ke arah pipi Joko Pramono. Pemuda itu tertawa dan menunduk, dengan mesra dan sepenuh cinta kasih hatinya ia mengambung pipi kiri Pusporini dengan hidungnya.

   Sejenak Pusporini terlena dalam belaian mesra ini, akan tetapi tiba-tiba ia melepaskan diri dan mencela,

   "Ihhh......... , tak tahu malu. Ada ayunda melihat kita!"

   Joko Pramono yang sadar dari buaian asmara yang memabukkan, seakan-akan baru timbul dari keadaan tenggelam ke dalam perasaan bahagia yang tadi membuatnya lupa akan segala.

   Cepat ia menghadapi Setyaningsih dan berkata,

   "Maafkan kami, Ayunda, karena terharu kami sampai lupa diri, lupa akan kegawatan keadaan. Kita semua telah menjadi korban siasat buruk Suminten, dan sungguh mengkhawatirkan kalau mengingat akan keadaan Kakangmas Pangeran yang masih tertinggal di sana."

   "Aku akan kembali ke sana dan membantu Kakangmas Pangeran lolos keluar istana!"

   Pusporini yang agaknya ingin menebus kesalahan, kini mengajukan diri dengan suara tetap dan tabah.

   "Biarkan aku saja yang pergi, Rini, engkau perlu menjaga dan menemani Ayunda di sini........."

   kata Joko Pramono yang sebetulnya tentu saja merasa khawatir kalau Pusporini dibiarkan pergi sendirian memasuki tempat yang penuh dengan musuh-musuh itu dan yang ia tahu amat berbahaya.

   Sebaliknya, Pusporini juga mengkhawatirkan keselamatan pria yang dicintanya karena tadi malam pun para pengawal hendak membunuh Joko Pramono. Kalau pemuda itu kembali ke istana, bukanlah sama halnya dengan menyerahkan nyawanya?

   "Tidak, Joko. Mereka semalam memusuhimu, belum tentu akan memusuhi aku!"

   Melihat betapa kedua orang muda itu berebut, Setyaningsih menghela napas, merangkul leher Pusporini sambil berkata,

   "Kalian berdua tidak boleh kembali ke sana lagi setelah berhasil lolos. Karena suamiku berada di sana, maka akulah yang akan kembali ke sana. Aku harus berada di samping Kakangmas Pangeran, dalam keadaan bagaimanapun juga. Kalian berdua sebaiknya lekas pergi ke Panjalu dan memberi laporan kepada Rakanda Patih Tejolaksono dan Pangeran Dar mokusumo."

   (Lanjut ke Jilid 45)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 45

   "Ah, berbahaya sekali, Ayunda!"

   Joko Pramono berseru keras.

   "Setelah iblis betina itu melakukan siasat fitnah keji, tentu dia tidak akan segan-segan melakukan hal yang lebih jahat lagi. Siapa tahu, Kakangmas Pangeran juga terjeblos ke dalam perangkap seperti kita, dan celakanya kalau Kakangmas Pangeran juga tertipu seperti halnya Diajeng Pusporini tadi. Jangan -jangan dia akan......... akan menganggap Ayunda tidak setia.........

   "

   Setyaningsih menggeleng kepala dan tersenyum penuh keyakinan.

   "Suamiku tidak akan meragukan kesetiaanku seujung rambut pun. Kakangmas Pangeran percaya penuh akan cinta kasih yang kami pupuk bersama."

   "Yunda, aku akan ikut kembali ke sana karena aku tidak terima, aku akan menghancurkan kepala perempuan iblis Suminten!"

   Kata Pusporini penuh amarah dan dendam terhadap selir raja yang amat cerdik dan keji itu.

   "Benar, Ayunda. Biarkan kami ikut, selalu menemani dan mengawal Ayunda, juga kita bersama akan dapat lebih kuat melindungi dan membela Kakangmas Pangeran di sana. Selain itu, aku harus pula menangkap Ki Mitra yang entah mengapa telah menjadi palsu laporannya itu!"

   Baru Pusporini teringat akan hal ini.

   "Ki Mitra! Ah, dia tentu menjadi kaki tangan iblis betina itu, dan telah berkhianat! Aku pun ingin membagi sebuah tamparan di kepalanya!"

   "Dia bukan Ki Mitra.........

   "

   Suara ini terdengar tiba-tiba dari batik semak-semak, kemudian muncullah dua orang dari balik semak-semak itu. Mereka adalah seorang pria setengah tua yang gagah perkasa dan seorang wanita muda yang berwajah manis.

   Setyaningsih tidak mengenal mereka ini, akan tetapi Joko Pramono dan Pusporini berseru kaget dan girang,

   "Paman Wiraman dan Widawati.........!!"

   Ki Wiraman lalu melangkah maju bersama Widawati dan bekas pengawal pilihan dari Jenggala ini cepat memberi hormat:

   "Harap maafkan kami berdua. Sebetulnya telah lama kami berdua berada di balik semak-semak itu, memimpin belasan orang anak buah penyelidik. Akan tetapi melihat betapa andika berdua tadi bertanding hebat, kami tidak berani melerai dan baru setelah mendengar percakapan, hati kami lega dan berani keluar."

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, tidak mengapa, Paman. Paman Wiraman, apa artinya ucapanmu tadi bahwa dia bukan Ki Mitra?"

   Juga Pusporini memandang penuh pertanyaan, sedangkan Setyaningsih juga memandang penuh per hatian.

   Ki Wiraman sebagai seorang pejuang yang banyak pengalaman tidak segera menjawab, melainkan memandang kepada Setyaningsih dengan sinar mata meragu dan penuh kecurigaan.

   Dia tidak mengenal puteri cantik ini dan dia harus berhati-hati untuk menceritakan rahasia yang diketahuinya.

   "Jangan khawatir, Paman. Ini adalah Ayundaku, Setyaningsih, isteri dari Rakanda Pangeran Panji Sigit yang kini masih tertinggal di istana Jenggala."

   "Ah, maafkan keraguan hamba,"

   Kata Ki Wiraman sambil menyembah dengan hormat, diturut pula oleh Widawati.

   SEBAGAI cucu puteri mendiang Ki Patih Brotomenggala, tentu saja Widawati segera menghormat ketika mendengar bahwa puteri cantik ini adalah isteri Pangeran Panji seorang mantu sang prabu!

   "Ayunda, dia ini adalah Paman Wiraman yang telah kuceritakan padamu."

   Pusporini memperkenalkan bekas, pengawal itu kepada Setyaningsih.

   Setyaningsih memandang ke arah Widawati yang menundukkan mukanya sambil berkata.

   "Dan dia ini tentulah Widawati, cucu kepatihan Jenggala yang bernasib malang itu?"

   Widawati mengangkat mukanya dan dengan pandang mata sayu is menyembah dan menjawab.

   "Tepat seperti dugaan paduka, hamba adalah Widawati........

   "

   Wiraman menarik napas panjang dan berkata,

   "Sungguh berbahaya sekali keadaan paduka bertiga, dan masih untung dapat meloloskan did. Ketika saya mendengar paduka menyebut-nyebut nama Ki Mitra, maka yakinlah saya bahwa paduka telah ditipu karena Ki Mitra telah tewas beberapa bulan yang lalu. Hanya para penyelidik saya yang mengetahui bahwa Ki Mitra telah dibunuh oleh kaki tangan Pangeran Kukutan dan mayatnya dikubur dalam hutan. Mereka mengira bahwa tidak ada orang yang mengetahui rahasia itu!"

   "Ahh........!!"

   Hampir berbareng Setyaningsih, Pusporini dan Joko Pramono berseru kaget. Kalau mereka ingat betapa mereka mengajak Ki Mitra bicara tentang rahasia perjuangan mereka! Kiranya Ki Mitra itu adalah Ki Mitra palsu! Kaki tangan Pangeran Kukutan dan Suminten!

   Terbukalah mata mereka kini bahwa sesungguhnya, semenjak menginjakkan kaki di Kerajaan Jenggala, mereka telah berada dalam cengkeraman Suminten dan sekutunya! Mengerti bahwa semua yang terjadi telah direncanakan oleh Suminten yang licin bagai belut dan cerdik bagai setan itu!

   "Wah, kalau begitu, Kakangmas Pangeran terancam bahaya........"

   Suara Setyaningsih mengandung isak tertahan karena gelisahnya memikirkan keselamatan suaminya.

   "Kita harus kembali ke sana sekarang juga untuk menolong Rakanda Pangeran!"

   Kata Pusporini.

   "Tidak ada lain jalan! Kita mengamuk di istana Jenggala!"

   Kata pula Joko Pramono.

   "Hendaknya paduka bertiga bersabar,"

   Kata Ki Wiraman dengan suara tenang dan penuh pengertian.

   "Memang hanya orang-orang sakti seperti paduka bertiga yang agaknya akan dapat memasuki kota raja dan istana Jenggala, akan tetapi hendaknya bersabar dan jangan menggunakan kekerasan. Di sana selain banyak pengawal, juga hamba tahu banyak terdapat pembantu-pembatu rahasia yang sakti mandraguna. Kalau. menggunakan kekerasan, selain paduka akan menghadapi perlawanan yang kuat dan berbahaya, juga hal ini akan membahayakan keadaan Gusti Pangeran Panji Sigit. Sebaiknya dilakukan secara diam-diam dan di waktu malam."

   "Apakah tidak akan terlambat, Paman? Kami hams menyelamatkan Rakanda Pangeran dan tangan mereka,"

   Bantah Joko Pramono.

   "Hamba kira tidak begitu. Gusti Sinuwun amat cinta kepada Gusti Pangeran Panji Sigit Sehingga mereka tidak akan begitu sembrono untuk mencelakai Gusti Pahgeran. Selain itu........ hemmm........ harap maafkan hamba, hamba sudah tahu bahwa Suminten menaruh hati kepada Gusti Pangeran. Sebaiknya malam nanti saja paduka bertiga menyelundup ke dalam kota raja dan diam-diam mengusahakan agar Gusti Pangeran Panji Sigit dapat lolos dari sana. Adapun hamba akan berjaga di luar kota raja dan mengirim laporan mengenai paduka sekalian ke Panjalu."

   Mereka mengadakan perundingan dan tiga orang muda yang perkasa namun dalam hal pengalaman dan siasat tentu saja tidak dapat menang dari Ki Wiraman itu selalu mendengarkan nasehat dan pendapat Ki Wiraman.

   Bahkan mereka banyak mendengar tentang keadaan Jenggala dari bekas pengawal ini dan terkejutlah hati mereka ketika mendengar bahwa sesungguhnya bukan hanya Pangeran Kukutan, Suminten dan Ki Patih Warutama yang menguasai Jenggala, melainkan kekuasaan-kekuasaan dari Sriwijaya dan Cola. Ketika mereka bertanya kepada Ki Wiraman tentang Nini Bumigarba, Ki Wiraman menarik napas panjang dan berkata,

   "Sungguh kasihan kalau hamba mengingat akan nasib Gusti Patih Tejolaksono dan keluarganya. Dua orang puteranya, Bagus Seta dan Retna Wilis, pergi dibawa orang maha sakti, entah berada di mana dan sampai kini tiada berita. Banyak orang pernah mendengar nama Nini Bumigarba, dan hamba sendiri pernah mendengar nama yang dihubungkan dengan nama Ni Dewi Sarilangking, seorang wanita iblis yang sudah terkenal semenjak jaman Mataram dahulu. Akan tetapi siapakah orang yang pernah melihatnya? Agaknya hamba kira tak mungkin nenek sakti itu ada hubungannya dengan mereka yang mencengkeram Jenggala, bahkan hamba masih ragu-ragu apakah wanita yang sudah terkenal di jaman Mataram itu benar-benar sekarang masih hidup! Tentu dia sudah berusia tidak kurang dari dua ratus tahun!"

   Hari itu jugs, Ki Wiraman mengutus beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke Panjalu dan membawa laporan-laporannya mengenai peristiwa yang terjadi di Jenggala yang dialami oleh empat orang muda perkasa itu.

   Malamnya, sebelum bulan muncul dan keadaan masih gelap, Setyaningsih, Pusporini, dan Joko Pramono menyelundup masuk ke kota raja melalui dinding tembok, mempergunakan kesaktian mereka melompati dinding tembok yang tinggi. Adapun Ki Wiraman dan Widawati memimpin sisa anak buah mereka mengadakan penjagaan di luar kota raja sambil terns menghubungi anak buah mereka yang mereka selundupkan sebagai mata-mata di dalam kota raja untuk mendengar apa yang terjadi dengan tiga orang muda yang berusaha menolong Pangeran Panji Sigit itu.

   Dengan tubuh lemas dan semangat terbang, Pangeran Panji Sigit di malam hari itu melihat betapa Setyaningsih yang dipondong Pusporini dapat lolos, demikian pula Joko Pramono dan melihat betapa Pusporini, Joko Pramono bersama isterinya itu dapat keluar dari istana, dikejar-kejar oleh para pasukan pengawal yang dipimpin oleh Pangeran Kukutan sendiri.

   Ia terlalu marah untuk dapat mengeluarkan suara, terlalu heran dan kaget menyaksikan adegan antara isterinya dan Joko Pramono sehingga is seolah-olah sejak melihatnya telah berubah menjadi sebuah arca, tak dapat bergerak sama sekali, tubuhnya lemas kakinya menggigil. Sampai keadaan di dalam taman sunyi kembali karena suara pengawal yang melakukan pengejaran sudah terlalu jauh untuk dapat didengar dari situ, Pangeran Panji Sigit masih saja berdiri termenung dengan hati dan tubuh lemas.

   Tiba-tiba sebuah tangan yang halus dan lemas, menyentuh pundaknya dengan mesra, dan bisikan suara Suminten menyusup ke dalam telinga kirinya.

   "Pangeran, jangan khawatir, orang-orang jahat yang menyakiti hatimu itu pasti akan dapat tertangkap dan diseret di depan kakimu, Pangeran........"

   Suara bisikan yang lembut basah ini memasuki telinganya, mula-mula seperti air sewindu yang amat dingin, kemudian seperti ujung pisau runcing menusuk jantungnya, membuat Pangeran Panji Sigit tersentak kaget dari lamunannya dan ia cepat menoleh lalu membentak,

   "Tidak........! Aku tidak percaya........ Ini semua tentu siasatmu........! tentu perbuatanmu........! Aku tidak percaya isteriku akan berbuat keji dan hina........!

   Bibir merah semringah itu tersenyum di belakang punggung Pangeran Panji Sigit yang sudah membuang muka membelakangi wanita itu. Karena senyum itu tidak sewajarnya timbul dari kegembiraan hati, maka bukan tersenyum lagi, melainkan menyeringai dan andaikata pangeran itu dapat melihatnya tentu akan makin curiga hatinya.

   Akan tetapi hanya sebentar, karena Suminten sudah berkata lagi, kini tidak berbisik karena dia ingin memaksa kata-katanya agar dapat sejelas mungkin menusuk kedua telinga pangeran yang tampan dan yang setiap kali ia temui membuat api dalam tubuhnya menggelora dan nafsunya menyengat-nyengat.

   "Pangeran, mengapa andika tidak mau melihat kenyataan? Wanita adalah makluk lemah yang mudah tergoda. Lihatlah aku! Aku mencinta sang prabu, akan tetapi begitu melihat andika yang lebih gagah, aku tergila-"gila dan bertekuk lutut terhadap gelora nafsu cintaku! Apalagi Setyaningsih yang masih muda belia! Dan Joko Pramono adalah seorang jantan muda yang memiliki daya tarik luar biasa sekali. Mungkin dalam hal ketampanan, dia tidak dapat mengatasimu, Pangeran. Akan tetapi, dia lebih gagah, tubuhnya lebih kuat seperti seekor banteng muda! Dan Setyaningsih adalah seorang wanita muda yang sejak kecil hidup bersama Endang Patribroto! Andika mangenal siapa Endang Patibroto! Isteri rakandamu Pangeran Panji Rawit dan belum lama ditinggal mati suaminya sudah menjadi kekasih Tejolaksono! Mana mungkin kesetiaannya dapat dipercaya? Andika baru melihat dia membelai Joko Pramono dan merangkul mesra, sayang keburu datang para pengawal dan Pusporini perempuan setan itu. Kalau tidak, tentu andika akan dapat menyaksikan adegan yang lebih mesra lagi antara Setyaningsih dan Joko Pramono........ ahhh, kalau saja andika dapat melihat apa yang kusaksikan sendiri........ mereka berkasih-kasihan di luar taman, di atas rumput seperti dua ekor menjangan muda, bergelut mesra bercumbu-cumbuan........"

   "Diam........!! Diammmmm.........!! Diammmm........!!!"

   Pangeran Panji Sigit berteriak-teriak seperti orang gila, menubruk ke depan dan menggunakan kepalan tangan kanannya menghantam batang pohon tanjung yang tumbuh di taman sari itu sehingga pohon itu berguncang dan daun"daun kuning rontok.

   Akan tetapi karena ia memukul batang pohon karena kemarahan dan sakit hati, tanpa mengerahkan aji kesaktiannya, maka kulit tangannya pecah-pecah berdarah dan tangannya membengkak.

   Kemudian pangeran ini terisak-isak dan menyandarkan dahinya pada batang pohon, mulutnya berteriak-teriak lemah seperti berbisik-bisik,

   "Tidak......... , tidak........ tidak.......!!!"

   Akhirnya pangeran itu terkulai lamas dan roboh pingsan. Pukulan batin itu terlalu hebat baginya.

   Betapa pun ia menggunakan kekuatan batinnya untuk menolak dan tidak percaya bahwa isterinya akan berbuat serong, berjina dengan Joko Pramono, namun kedua matanya menyaksikan sendiri isterinya membelai-belai Joko Pramono, dan andaikata ada keraguan, maka keraguan ini disapu hilang oleh teriakan Pusporini yang memaki Joko Pramono ceriwis, cabal, dan mata keranjang!

   Pangeran Panji Sigit tidak tahu betapa dalam keadaan pingsan itu, bibir dan seluruh mukanya diciumi oleh bibir Suminten yang sudah tak dapat menahan nafsunya, kemudian wanita ini dengan muka mangar-mangar kemerahan bertepuk tangan. Muncullah empat orang pelayan wanita kepercayaannya dan ia lalu memerintahkan mereka menggotong tubuh pria yang membuatnya tergila-"gila ini ke dalam kamarnya.

   Malam telah lama lewat dan hari telah menjelang siang ketika Pangeran Panji Sigit siuman dari pingsannya dan ia mendapatkan dirinya telah rebah di atas sebuah pembaringan yang lunak harum di dalam kamar yang indah dan........ sebuah lengan yang lunak. halus melintang di atas dadanya, pernapasan yang halus terdengar di sebelah kanannya.

   Ketika ia menoleh ke arah si pemilik lengan dan si pembuat napas, kiranya Suminten yang memeluknya dalam keadaan pulas!

   Suminten dengan wajahnya yang manis, rambut terurai lepas merupakan satu-satunya alat penutup tubuh, sama dengan keadaan dirinya sendiri yang hanya berselimut kain merah.

   Raden Panji Sigit mengerutkan kening, teringat akan semua peristiwa semalam, tahu bahwa dia telah di bawa ke dalam kamar Suminten, dan tidur sepembaringan dengan ibu tirinya itu, pembaringam yang biasanya ditiduri ramandanya! Ia menjadi muak dan cepat menurunkan lengan yang melintang di atas dadanya, kemudian melompat turun,menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaian tergesa-"gesa.

   Suminten menggeliat, mengeluarkan suara seperti seekor anak kucing manja dan mau tidak mau Pangeran Panji Sigit hams memandang tubuh yang amat indah dan memiliki daya tarik menggairahkan dan merangsang nafsu berahi itu. Namun ia menekan semua gelora batinnya yang mulai bangkit ini dengan kesadaran betapa jahat, keji, dan berbahayanya selir ramandanya ini.

   Suminten membuka mata, dimulai dengan berkejapnya bulu mata yang lentik itu, kemudian matanya terbuka dan seperti seorang kaget wanita ini bangkit duduk, membiarkan rambutnya yang panjang menjadi tirai jarang di depan dadanya yang telanjang sehingga mencipta penglihatan yang dapat meruntuhkan hati setiap orang pria.

   "Ouhhhh........Pangeran, andika sudah siuman? Syukurlah.......aduhh, andika amat mencemaskan hatiku........ semalam suntuk kujaga di sini belum juga siuman, sampai akhirnya aku tertidur di sampingmu. Marilah ke sini, Pangeran...."."

   Pangeran Panji Sigit mengerutkan keningnya dan menggeleng.

   "Terima kasih, saya akan pergi...."."

   "Ehhh, jangan pergi, Pangeran. Andika masih perlu istirahat. Ke sinilah, mari rebah di sini, lupakan segala kesedihan. Suminten akan menghiburmu, Pangeran, Suminten mencintamu dengan seluruh jiwa raganya, dengan seluruh hatinya, setiap helai bulu di tubuhnya mencintamu, Pangeran""."

   Pangeran Panji Sigit bergidik. Bukan main wanita ini. Siapa yang terjerat oleh wanita seperti ini, yang memiliki wajah cantik manis, memiliki tubuh yang menggairahkan, memiliki suara yang merangsang nafsu, kiranya takkan mudah dapat melepaskan diri lagi.

   Suminten sudah turun dari pembaringan sehingga kini tidak ada bagian tubuhnya yang tertutup selimut. Ia lari menghampiri dan memeluk pinggang pangeran itu dengan kemanjaan yang memikat hati.

   "Pangeran, tak tahukah engkau betapa siang malam Suminten selalu merindukanmu? Marilah........ bersikaplah manis kepadaku, Pangeran, dan Suminten akan mencipta surga untukmu."

   Ia meraih ke atas, berdiri jinjit untuk mencapai bibir Pangeran Panji Sigit dengan mulutnya.

   Pangeran itu membuang muka dan mendorong pundak Suminten sehingga wanita ini terjengkang dan jatuh terlentang di atas pembaringan.

   "Tak perlu andika merayuku! -Aku sudah tahu siapa dan orang macam apa andika ini! Aku akan pergi dari istana terkutuk ini, sekarang juga!"

   Sambil berkata demikian, tanpa menoleh lagi Pangeran Panji Sigit sudah melangkah menuju pintu untuk keluar.

   "Engkau kasar sekali, Pangeran! Tak tahu dicinta orang! Hi-hik, apa kaukira aku tidak tahu akan segala tugas rahasiamu? Engkau mata-"mata Panjalu, mengkhianati kerajaan ramamu sendiri! Hihi"hik, kaukira akan mudah saja keluar dari sini? Ratusan orang pengawal sudah mengurung dan siap menanti tanda dariku untuk menyambutmu dengan seratus batang anak panah, seratus buah golok dan seratus batang tombak!"

   Pangeran Panji Sigit telah tiba di pintu dan dibukanya daun pintu kamar itu. Ia melihat betapa tak jauh dari situ,di luar gedung telah berdiri barisan pengawal yang mengurung gedung itu dengan senjata lengkap di tangan! Wanita ini tidak membohong. Tak mungkin dia dapat lobos dari tempat ini dan agaknya untuk menerobos penjagaan demikian ketat merupakan hal yang berbahaya sekali. Ia menoleh dan melihat betapa Suminten sudah mengenakan pakaiannya, kini sedang memasang hiasan daun telinga sambil miringkan muka yang manis itu, yang memandangnya dengan kerling tajam dan senyum mengejek. Betapa ayu dan luwesnya wanita ini! Kalau bukan selir ramandanya dan bukan seorang wanita yang berwatak iblis!

   Tiba-tiba Pangeran Panji Sigit tersenyum dan sinar matanya berkilat. Sekali melompat dia telah berada di dekat wanita itu yang memandangnya dengan mata terbelalak. Agaknya Suminten dapat melihat sinar mata itu dan terkejut.

   "Engkau........ mau apa""..?"

   Tanyanya dengan mata terbelalak.

   "Tidak apa-apa, hanya akan keluar dengan aman dari istana ini, bahkan dari Kerajaan Jenggala, dan engkau yang akan menjadi pengawalku sampai aku terbebas dari ancaman orang-orangmu!"

   "Apa...."..?"

   Akan tetapi seruan Suminten terpaksa berhenti karena Pangeran Panji Sigit telah menjabak rambutnya , rambut yang halus hitam dan panjang, yang amat lemas mengkilap karena setiap hari dikeramasi air bunga dan diminyald yang harum dan selalu dikagumi setiap orang pria yang pernah merasai kenikmatan menemani wanita ini di kamarnya. Kini rambut itu dijambak dengan kasar dan hampir Suminten tak dapat percaya akan kenyataan ini. Seluruh tubuhnya telah ia sediakan, dengan rela hendak ia serahkan kepada pemuda tampan ini, tubuhnya yang dapat meruntuhkan kerajaan yang ia yakin akan diperebutkan oleh laksaan orang pria.

   Akan tetapi sekali ini sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap pangeran yang mengingatkannya akan Pangeran Panji Rawit ini, yang sekaligus merampas hatinya, merampas cinta kasihnya yang selamanya belum pernah ia jatuhkan kepada seorang pria kecuali kepada mendiang Pangeran Panji Rawit. Baru sekali ini, semenjak Pangeran Panji Rawit, ada pria yang menolak tubuhnya, namun yang sekaligus malah membangkitkan gairahnya karena penolakan itu.

   "Tidak perlu ribut-ribut. Mungkin kalau engkau berteriak, para anjing pengawalmu itu akan mengeroyokku sampai tewas, akan tetapi sebelum mereka sempat melakukan hal itu, lebih dulu aku akan memukul pecah kepalamu! Engkau menurut saja, kawal aku sampai lolos dari kerajaan dan aku tidak akan membunuhmu, biarpun engkau sudah sepatutnya dibunuh!"

   Sambil berkata demikian, Pangeran Panji Sigit lalu menggandeng tangan Suminten keluar dari kamar itu. Suminten yang maklum bahwa kalau ia melawan, tentu pangeran ini tidak akan segan-segan untuk membunuhnya, menjadi pucat mukanya, menggigit bibirnya dan mendesis,

   "Engkau kejam, engkau tak tahu dicinta orang. Ada jalan ke surga, mengapa memilih neraka?"

   "Tak usah banyak rewel. Surgamu merupakan jalan menuju neraka bagiku!"

   Jawab Pangeran Panji Sigit sambil menarik tangan ibu tirinya itu keluar dari gedung.

   "Pangeran Panji Sigit, engkau dikhianati isterimu dan sahabatmu, mau apa engkau pergi dari sini? Apakah engkau hanya ingin dijadikan bahan tertawaan dan ejekan orang? Tinggal saja di sini sebagai seorang pangeran terhormat dan kalau engkau ingin menjadi pangeran pati...."."

   "Cukup, tak usah banyak cakap lagi dan jangan mencoba untuk melawan. Aku tidak main-main dan engkaulah orangnya yang akan tewas lebih dahulu, kalau ada yang menghalangi aku."

   Suminten mengeluarkan isak tertahan dan tidak bersuara lagi. Para pengawal yang melihat Suminten keluar bergandeng tangan dengan Pangeran Panji Sigit, tidak menjadi heran karena memang selir muda ini sudah biasa menggandeng para pangeran muda yang tampan.

   Akan tetapi keadaan dua orang muda itu yang mengherankan para pengawal. Pakaian mereka kusut, rambut juga belum disisir, bahkan agaknya baru bangun tidur. Wajah dua orang itu sama sekali tidak membayangkan kemesraan, bahkan kelihatan kaku dan keruh. Namun para pimpinan pengawal tidak berani bertanya, hanya memimpin anak buahnya untuk memberi hormat kepada selir muda yang sesungguhnya menjadi junjungan pertama mereka itu.

   "Jaga di sini baik-baik, aku hendak pergi berjalan-jalan sebentar dengan puteranda pangeran,"

   Kata Suminten, suaranya tenang dan biasa sungguh pun mukanya keruh. Pangeran Panji Sigit menarik napas lega. Ia tadi sudah siap untuk memukul pecah kepala wanita ini lebih dulu sebelum mengha dapi pengeroyokan. Akan tetapi, ucapan Suminten itu membuka jalan ke arah kebebasan baginya dan ia terus menggandeng tangan wanita itu yang mulai terasa dingin, keluar dari lingkungan istana.

   Akan tetapi Pangeran Panji Sigit terlalu memandang rendah Suminten dan anak buahnya. Biarpun tadi Suminten mengeluarkan kata-kata yang membuka jalan kebebasan baginya, namun tanpa ia ketahui, Suminten telah membuat gerakan dengan jari tangannya yang dilihat oleh pimpinan pengawal. Gerakan jari tangan yang merupakan isyarat bahwa ada sesuatu yang tidak beres sehingga begitu Suminten dan pangeran muda itu lewat, pemimpin pengawal segera lari menemui Pangeran Kukutan dan melaporkan hal itu.

   "Hamba khawatir sekali, gusti. Kepergian beliau agaknya bukan sewajarnya, melihat dari wajah beliau yang keruh,"

   Demikian pengawal itu menutup pelaporannya.

   Pangeran Kukutan mengerutkan keningnya. Hatinya sebetulnya sudah merasa tidak senang sekali melihat betapa Suminten mengeram Pangeran Panji Sigit dalam kamarnya.

   Dia bukan seorang pecemburu. Tidak, terhadap Suminten dia tidak bisa merasa cemburu lagi.

   Mereka sudah saling mengenal dan saling bersepakat untuk mendapat kebebasan sepenuhnya dalam memilih kekasih. Setiap malam wanita itu boleh saja berganti pria yang menemaninya. Akan tetapi Pangeran Panji Sigit ini lain lagi. Bukankah pangeran muda itu satu-satunya pangeran yang amat disayang ramandanya? Bukankah sebelum ia diangkat menjadi pangeran pati, sebetulnya ramandanya lebih condong untuk memilih Pangeran Panji Sigit menjadi pangeran pati atau, pangeran mahkota?

   Kini Suminten merayu pangeran yang menjadi musuh utama atau menjadi saingan terberat baginya itu. Setelah berhasil memecah-belah empat orang itu, mengapa tidak turun tangan menangkap Pangeran Panji Sigit? Saatnya tepat, kesempatan terbuka untuk menjatuhkan tuduhan bahwa pangeran itu mempunyai niat memberontak dan berkhianat kepada kerajaan, dengan bukti terbunuhnya banyak pengawal di tangan Pusporini dan Joko Pramono! Juga banyak saksi-saksi, di antaranya yang terpenting adalah pembantunya yang menyamar sebagai Ki Mitra, yang telah mendengar akan siasat mereka sebagai pembantu-pembantu Darmokusumo dan Tejolaksono dari Panjalu, menjadi mata-mata menyelidiki keadaan kerajaan ramandanya sendiri!

   "Biar kukejar dan tangkap keparat itu"

   Pangeran Kukutan berkata lalu cepat pergi, tentu saja bukan untuk menangkap dengan kedua tangan sendiri karena dia merasa jerih terhadap Pangeran Panji Sigit yang kini telah menjadi seorang pria yang amat sakti itu. Dia pergi menemul Cekel Wisangkoro yang kebetulan sekali malam tadi datang berkunjung secara diam-diam dan kini berada di dalam kamar yang disediakan untuk tamu-tamu rahasia yang dihormati.

   Dengan mudah Pangeran Panji Sigit dapat lobos keluar dari istana, akan tetapi barn saja ia menggandeng Suminten keluar dari pintu gerbang lapis ke tiga, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan kuning dan dari atas pintu gerbang itu menerjangnya dengan sebatang tongkat yang berbentuk ular hitam. Serangan ini cepat sekali datangnya, tongkat berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan suara mengaung sebagai tanda betapa cepat dan kuatnya tongkat digerakkan menghantam ke arah kepala Pangeran Panji Sigit!

   "Pengecut!"

   Pangeran muda itu mengelak dan menjatuhkan diri ke belakang terus berjungkir balik dan meloncat agak jauh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut itu. Ketika ia berdiri tegak memandang, ia melihat Pangeran Kukutan sudah menggandeng tangan Suminten, dan di depannya menghadangi seorang kakek tinggi kurus bermuka halus kemerahan, akan tetapi hidungnya seperti paruh kakaktua, rambutnya yang penuh uban terurai panjang sampai di pinggangi jubahnya kuning baru dan bersih akan tetapi kakinya telanjang dan tongkat hitam yang berbentuk ular itu memang sesungguhnya seekor ular besar yang sudah dikeringkan! Di sebelah kanan kakek mi berdiri Ki Patih Warutama yang tersenyum mengejek sehingga Pangeran Panji Sigit menjadi marah sekali.

   "Ah, kiranya persekutuannya telah lengkap sekarang!"

   Kata Pangeran Panji Sigit.

   "Aku ingin sekali mendengar apa yang akan dikatakan ramanda sinuwun. kalau dapat menyaksikan selirnya, patihnya, dan puteranya untuk menjatuhkan aku, dibantu oleh seorang pendeta palsu!"

   "Pangeran Panji Sigit, memang akan menarik sekali kalau andika mendengar perintah sang prabu yang baru saja dijatuhkan kepada saya, yaitu bahwa saya diberi wewenang untuk membasmi dan membunuh andika dan tiga orang sekutu andika yang telah berkhianat dan menjadi mata"mata yang menyelidiki Kerajaan Jenggala!"

   "Omongan keji dan bohong! Andaikata kanjeng rama mengeluarkan perintah seperti itu pun hanya karena fitnah yang kalian jatuhkan! Kalian adalah persekutuan busuk yang hendak merampas Kerajaan Jenggala dengan cara keji dan halus, membunuhi para ponggawa setia, menjauhkan kanjeng rama dari hamba-hamba setia agar dapat kalian kuasai! Aku tahu! Ya, aku tahu akan semua kepalsuan kalian!"

   "Keparat bermulut lancang kau!"

   Pangeran Kukutan memaki.

   "Paman patih dan Paman Cekel, harap lekas turun tangan membunuh pengkhianat ini!"

   Cekel Wisangkoro, kakek itu, terkekeh dan kembali ia menerjang maju dengan tongkat ularnya. Pangeran Panji Sigit yang sudah menjadi marah dan nekad sekali melakukan perlawanan, mengelak ke kiri sambil balas memukul dengan sebuah tamparan ke arah kepala kakek itu. Namun, Cekel Wisangkoro adalah murid yang sakti dari Wasi Bagaspati, sambil terkekeh ia menangkis pukulan itu dengan tangan kirinya sehingga kedua lengan itu beradu,membuat sang pangeran terjengkang ke belakang sambil terhuyung, sedangkan kakek itu hanya mundur dua langkah.

   "Heh-heh, Pangeran Muda, lebih baik menyerah dan siap menerima hukuman!"

   Kata kakek itu dengan nada memandang rendah.

   "Paman Cekel, bunuh saja!"

   Bentak Ki Patih Warutama yang telah berunding dengan Pangeran Kukutan dan mendapatkan kata sepakat untuk membunuh Pangeran muda yang berbahaya ini.

   Dia sendiri sudah menerjang maju, gerakannya seperti kilat menyambar, bahkan ki patih ini sekali maju telah mencabut kerisnya yang mengeluarkan sinar kehijauan, yaitu keris pusaka Naga-kikik yang berluk tujuh.

   Melihat sambaran sinar hijau ini, Pangeran Panji Sigit terkejut dan kembali ia terpaksa membuang diri ke belakang dan melakukan loncatan berjungkir-balik. Namun ban' saja ia berdiri tegak, sinar hitam tongkat Cekel Wisangkoro sudah menyambar dari arah samping.

   Biarpun pangeran ini cepat mengelak, namun ujung tongkat itu masih menciumnya, membuatnya jatuh terguling. Betapa pun juga, pangeran muda ini bukan seorang lemah dan memiliki keberanian yang didorong kenekadan luar biasa. Ia mengerti bahwa lawan-lawannya akan mengirim serangan maut, maka begitu tubuhnya terjatuh, ia menggunakan kedua tangan menekan tanah dan sambil mengeluarkan teriakan keras, ia mencelat ke atas mengirim tendangan ke arah lawan terdekat, yaitu Ki Patih Warutama!

   Serangan ini tidak terduga-duga datangnya sehingga biar pun ki patih yang sakti itu cepat miringkan tubuh, pahanya masih saja kena didupak sehingga ia pun terpelanting jatuh berbareng dengan terpelantingnya tubuh Pangeran Panji Sigit yang kembali kena dihantam pundaknya dengan tongkat ular di tangan Cekel Wisangkoro!

   Dengan gemas Pangeran Kukutan meloncat maju dengan pedang di tangan, siap ditabaskan ke batang leher adik tirinya, akan tetapi tiba-tiba terdengar jerit Suminten,

   "Jangan bunuh! Tangkap saja dia! "

   Suara selir raja ini amat berpengaruh sehingga pada saat itu, tiga orang yang sudah siap dengan senjata di tangan itu, menarik kembali senjata mereka dan Ki Warutama menubruk ke depan, menelikung kedua lengan Pangeran Panji Sigit yang masih merasa lumpuh tangannya karena pukulan tongkat pada pundaknya.

   Ia dibelenggu dan digiring kembali di dalam istana, kemudian atas perintah Suminten, pemuda bangsawan itu dijebloskan ke dalam kamar tahanan bawah tanah yang tersedia di dalam lingkungan istana.

   Atas perintah yang sangat dari Suminten, pangeran muda itu biarpun menjadi seorang tawanan namun is ditempatkan di dalam sebuah kamar di bawah tanah yang cukup indah dan menyenangkan, sama sekali bukan sebagai kamar tahanan, melainkan sebuah kamar tidur yang lengkap dengan pembaringan indah dan sutera-sutera berkembang menghias kamar.

   Akan tetapi, untuk mencegah pangeran muda yang berani dan nekat ini memberontak dan melarikan din, kaki dan tangannya dibelenggu dengan belenggu baja, bahkan lehernya juga dibelenggu sehingga biarpun Pangeran Panji Sigit dapat bergerak bebas dalam kamar, namun sukarlah baginya kalau hendak mencoba melarikan diri.

   Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pangeran Panji Sigit termenung di dalam kamar tahanan itu. Hidangan dan minuman lezat yang disuguhkannya tidak disentuhnya. Ia duduk termenung di atas pembaringannya dengan wajah pucat dan Pandang mata yang suram, kening berkerut. Ia tidak merasa susah karena menjadi tawanan, bahkan menghadapi kematian pun ia tidak akan gentar.

   Ia merasa bahwa lebih baik mati daripada hidup menanggung siksa bath yang hebat. Isterinya, Setyaningsih yang amat dicintanya, telah berjina dengan Joko Pramono! Ia terlalu mencinta isterinya dan setelah kini ia renungkan, ia rela mengalah, ia rela tersiksa asal isterinya berbahagia. Kalau isterinya menemukan kebahagiaan dengan Joko Pramono, biarlah ia yang mundur dan jalan terbaik untuk mundur mengalah adalah mati!

   Kalau ia mati, berarti tidak akan ada kesukaran dan halangan lagi bagi Setyaningsih untuk melanjutkan hasrat hatinya berlangen-asmoro (bermain cinta) dengan Joko Pramono dan dia pun tidak akan menderita batin lagi karena kematian akan membebaskannya dari segala derita. Akan tetapi, sebagai seorang satria, tentu saja la tidak boleh mati begitu saja. Masih banyak sekali tugas menanti, terutama sekali menyelamatkan ramandanya dan Kerajaan Jenggala dari cengkeraman oknum-oknum jahat.

   "Duhai Adinda Setyaningsih, betapa tega hatimu........

   "

   Ia mengeluh panjang dan pada saat itu masuklah sesosok bayangan melalui pintu yang dikunci dari luar. Di dalam kamar itu mulai gelap karena Pangeran Panji Sigit tidak menyalakan lampu, sedangkan senja telah mendatang. Maka ia menjadi kaget ketika kamar itu tiba-tiba menjadi terang oleh lampu yang dibawa masuk orang. Ia cepat menengok dan kembali ia membuang muka ketika melihat bahwa yang datang adalah Suminten!.

   Malam itu Suminten berusaha benar-benar untuk mengambil hati Pangeran Panji Sigit. Ia bersolek dengan teliti dan pada saat itu ia tampak amat cantik. Kulitnya yang halus hitam manis itu kelihatan seperti keemasan, halus lembut dan seolah-olah kehangatan terpancar keluar dari balik kulit itu.

   Ketika ia melangkah masuk, kamar itu serta merta penuh dengan keharuman yang amat sedap dan seolah-olah segala macam bunga yang harum dikumpulkan dan sarinya berada di tubuh wanita ini.

   Rambutnya yang hitam panjang dan halus mengkilap itu disisir rapi, sebagian disanggul dan dihias pengikat rambut dari emas bertabur batu permata, ujung rambut masih terurai panjang sampai ke pinggulnya.

   

Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini