Ceritasilat Novel Online

Nurseta Satria Karang Tirta 10


Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Mengapa, Ibu? Mengapa Ibu menolak, diboyong Ayah ke kota raja? Bukankah Ibu amat mencinta Ayah?"

   Di antara tangisnya, Nyi Lasmi berkata.

   "Justeru karena aku amat mencintai dan menghormatinya, aku tidak bisa dan tidak boleh menerima ajakannya itu. Bahkan aku tidak boleh bertemu muka dengan Kakang Prasetyo....!"

   Tangisnya semakin mengguguk.

   Puspa Dewi melompat turun dari atas kuda dan menurunkan Ibunya. Nyi Lasmi mendeprok di atas rumput sambil menangis sedih. Puspa Dewi merangkulnya.

   "Ibu, katakan, mengapa Ibu berpendapat begitu? Apakah Ibu tidak percaya omonganku bahwa mereka semua amat baik dan ramah, semua mengharapkan Ibu tinggal serumah dengan mereka sebagai anggauta keluarga? Sesungguhnya, Ibu. Aku sama sekali tidak berbohong!"'

   "Ohh.... aku tidak berharga lagi, Puspa Dewi. Aku tidak pantas bertemu muka dengan Ayahmu! Aku sudah kotor dan hina Bagaimana mungkin aku sanggup bertemu muka dengan Kakang Prasetyo? Kalau dia tahu bahwa aku pernah menjadi selir Ki Suramenggala yang jahatl Ah, kalau keluarga Tumenggung Hayatanu, kalau Isteri Kakang Prasetyo tahu, betapa maluku! Mereka tentu akan mencemooh dan menghinaku habis-habisan! Tidak, Puspa Dewi, lebih baik aku mati daripada menghadapi semua penghinaan itu. Aku tidak sanggup menghadapinya....!"

   Puspa Dewi mengusap air mata yang membasahi muka ibunya.

   "Mereka tidak akan memandang rendah kepadamu, Ibu. Apa Ibu mengira aku berdiam diri saja kalau ada orang menghina dan memandang rendah kepada Ibu? Mereka sama sekali tidak menyalahkan Ibu, mereka bahkan merasa kasihan sekali kepada Ibu yang hidup menderita. Ayah dan semua keluarga sudah tahu, Ibu. Aku sudah memberitahu kepada mereka, menceritakan semua pengalaman Ibu. Ayah tidak menyalahkan Ibu, bahkan semakin menyesali sikapnya sendiri dulu. Semua akan menerima Ibu dan menghormati Ibu. Aku yakin akan hal Ini. Mereka sekarang sedang menanti di Karang Tirta."

   "Apa....? Mereka..Ayahmu.... sudah tahu bahwa aku pernah menjadi selir Suramenggala?"

   "Benar, Ibu. Aku sudah menceritakan semuanya dan mereka sama sekali tidak menyalahkan Ibu. Semua keluarga mengikuti aku datang ke Karang Tirta dan ketika kami mendengar bahwa Ibu diculik dan keluarga Paman Lurah Pujosaputro dibunuh penjahat, mereka semua marah sekali dan aku tidak tahu apa yang sekarang mereka lakukan karena aku meninggalkan mereka di sana untuk mengejar dan mencari Ibu. Marilah, Ibu. Aku yang menanggung bahwa tidak akan ada seorang pun di antara mereka yang akan menghina Ibu."

   Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki banyak kuda dating ke arah mereka. Puspa Dewi siap siaga.

   "Ibu, duduklah di bawah pohon itu dan jangan takut. Aku akan menghajar mereka yang berani mengganggumu!"

   Gadis itu dengan gagah berdiri di tengah jalan, menanti munculnya rombongan berkuda Itu.

   Senopati Yudajaya atau Prasetyo yang memimpin selosin orang perajurit pengawal itu menahan kudanya dan mengangkat tangan memberi isarat kepada pasukannya untuk berhenti ketika dia melihat Puspa Dewi berdiri tegak di tengah jalan.

   "Puspa Dewi....!"

   Serunya dan dia melompat turun dari atas kudanya dan lari menghampiri gadis itu.

   "Ayah....!"

   Puspa Dewi berseru, lega melihat bahwa rombongan berkuda itu adalah perajurit pengawal yang dipimpin Senopati Yudajaya.

   "Puspa Dewi, bagaimana hasil pengejaranmu?"

   Puspa Dewi hanya menjawab dengan gerakan ibu jarinya menuding ke arah ibunya.

   "Diajeng Lasmi.....!"

   Senopati Yudajaya berseru ketika dia melihat Lasmi duduk di bawah pohon dan wanita itu menangis. Dia lalu berlari menghampiri dan sudah berlutut dekat Nyi Lasmi.

   "Diajeng Lasmi, bertahun-tahun aku mencarimu...."

   Kata Yudajaya dengan suara terharu dan dia memegang kedua tangan bekas isterinya itu.

   "Jangan....!"

   Nyi Lasmi melepaskan kedua tangannya dan bangkit berdiri.

   "Kakang Prasetyo...., jangan sentuh aku... aku.... aku tidak pantas..."

   "Hushh, Diajeng. Jangan bicara begitu, tak baik didengar para perajurit. Mari, mari kita ke Karang Tirta, semua keluarga menantimu. Di sana nanti kita bicara, Diajeng."

   Puspa Dewi menghampiri mereka.

   "Ayah benar, ibu. Mari kita berangkat sekarang ke Karang Tirta."

   Nyi Lasmi hanya mengangguk dan ketika beradu pandang dengan bekas suaminya, Nyi Lasmi merasa jantungnya berdebar. Betapa ia amat mencinta suaminya. Bahkan sampai sekarangpun! Memandang wajah suaminya yang kini Nampak kurus dan tua itu, ia merasa kasihan dan terharu sekali. Akan tetapi ia juga melihat dengan jelas betapa sinar mata Prasetyo masih seperti dulu kalau memandangnya, masih mengandung penuh kasih sayang.

   Puspa Dewi tetap memboncengkan Ibunya dan rombongan itu lalu melakukan perjalanan ke Karang Tirta dengan cepat. Senopati Yudajaya yang menunggang kuda di samping Puspa Dewi bertanya kepada gadis itu.

   "Puspa Dewi, apakah engkau tidak melihat Nlken Harnl?"

   "Niken? Aku tidak melihatnya. Ia ke manakah, Ayah?"

   "Hemm, itulah yang merisaukan hati. Ketika mendengar engkau pergi melakukan pengejaran terhadap para penculik dari Wengker itu, Niken Harni pergi tanpa pamit. Kami semua menduga bahwa ia tentu melakukan pengejaran pula untuk membantumu menghadapi orang-orang Wengker."

   "Ah, mengapa ia begitu sembrono?"

   Puspa Dewi berseru kaget.

   "Di Wengker terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna! Sungguh amat berbahaya kalau ia melakukan pengejaran memasuki Kadipaten Wengker!"

   "Hemm, Niken Harni memang anak yang keras hati dan tidak mengenal takut. Aku khawatir sekali akan keselamatannya. Puspa Dewi, lalu bagaimana baiknya sekarang? Apakah aku bersama seregu pengawal ini akan melanjutkan saja ke Wengker mencari Niken Harni?"

   Senopati Yudajaya memberi isarat untuk berhenti. Semua kuda berhenti. Mendengar ini, Nyi Lasmi berkata kepada puterinya.

   "Puspa Dewi, sebaiknya engkau yang memiliki kesaktian dan dapat menjaga diri, segera pergi mencari Adikmu Niken Harni."

   "Dan bagaimana dengan Ibu?"

   Tanya Puspa Dewi.

   "Ibumu akan kembali ke Karang Tirta bersama kami. Atau, kau pikir aku membawa seregu perajurit ini membantumu? Kalau begitu, biar dua orang perajurit mengantar Diajeng Lasmini pulang ke Karang Tirta dan aku bersama para perajurit pengawal ikut denganmu mencari Niken Harni."

   "Ah, tidak, Ayah. Aku lebih leluasa kalau pergi sendiri. Aku akan mencari Adik Niken sampai dapat kutemukan dan kami akan segera pulang. Sebaiknya sekarang Ayah dan Ibu kembali ke Karang Tirta dan langsung saja pulang ke kota raja. Aku hanya titip Ibuku, agar ia dapat berbahagia bersama Ayah dan semua keluarga di kota raja. Nah, aku pergi, Ayah. Ibu, aku pergi mencari Niken Harni."

   Nyi Lasmi merangkul puterinya.

   "Hati-hatilah, Puspa Dewi, dan cari Adikmu sampai dapat ditemukan dengan selamat."

   Puspa Dewi meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda menuju ke arah yang berlawanan. Setelah bayangan gadis dan kudanya lenyap di tikungan, Senopati Yudajaya menghampiri Nyi Lasmi.

   "Aku kira anak kita Puspa Dewi sudah menceritakan semua kepadamu tentang kami sekeluarga."

   Nyi Lasmi mengangguk.

   "Kalau begitu, Diajeng. Mari kita segera kembali ke Karang Tirta, di sana keluarga kita telah menanti dengan hati gelisah."

   Melihat para perajurit berada ditempat yang agak jauh dari situ, Nyi Lasmi berbisik.

   "Akan tetapi, Kakang Prasetyo, aku sudah tidak berharga, aku pernah menjadi selir Suramenggala...."

   "Kami semua sudah mengetahui akan hal itu, Diajeng. Dan kami sama sekali tidak menganggap engkau tidak berharga. Engkau melakukan hal itu dalam keadaan terpaksa ketika Puspa Dewi hilang diculik orang. Sudahlah, Diajeng, bagi kami, terutama bagi aku, engkau tetap Diajeng Lasmi yang dulu. Aku berjanji untuk menebus semua kesalahanku dahulu dengan membahagiakanmu, Diajeng. Tenangkan hatimu dan percayalah. Dyah Mularsih dan orang tuanya juga amat menantikanmu, mereka akan berbahagia sekali menerimamu karena hal itu akan membuat mereka merasa bebas dari kesalahan terhadap dirimu."

   Lega rasa hati Lasmi mendengar ucapan suaminya yang dikeluarkan dengan nada sungguh-sungguh dan bukan hanya sekedar bermanis bibir untuk menghiburnya itu. Timbul keberaniannya untuk bertemu dengan madunya, Dyah Mularsih dan keluarga madunya Itu. Ia pun tidak merasa canggung atau malu-malu lagi ketika ia diboncengkan suaminya duduk di atas punggung kuda dan berangkatlah suami isteri Ini, dikawal dua belas orang perajurit menuju ke Karang Tirta.

   Mula-mula, karena dilihat selosin orang perajurit, ada juga rasa sungkan dan malu diboncengkan Prasetyo duduk berhimpitan di atas punggung kuda, akan tetapi setelah ia menyadari bahwa yang memboncengkannya itu adalah Prasetyo, suaminya yang sah, rasa sungkannya perlahan-lahan menghilang dan perasaan bahagia yang amat mendalam membuat ia tidak dapat menahan mengalirnya berbutir-butir air mata ke atas pipinya.

   Senopati Yudajaya atau Prasetyo menyentuh pundak Lasmi dengan tangan kirinya. Sentuhan lembut lalu terdengar pertanyaannya dengan suara lembut pula.

   "Diajeng Lasmi, mengapa engkau menangis?"

   Dia tidak mendengar tangisan yang bersuara, akan tetapi dari guncangan pundak Nyi Lasmi membuat dia menjenguk dan melihat betapa kedua pipi isterlnya basah oleh air mata yang menetes-netes dari kedua mata wanita itu.

   Nyi Lasmi meletakkan tangan kirinya di atas tangan suaminya yang menyentuh pundaknya dan menggunakan tangan kanannya untuk mengusap air mata dari kedua pipinya, dan ia tersenyum.

   "Kakang.... aku.... aku merasa berbahagia sekali...."

   Tangan Prasetyo meremas lembut pundaknya, kemudian melepaskannya untuk memegang kendali kuda dan dia membalapkan kudanya. Dua belas orang perajurit yang mengiringkan di belakangnya juga membedal kuda mereka.

   Akan tetapi setelah memasuki Dusun Karang Tirta dan kuda mereka menuju ke rumah Ki Lurah Pujosaputro yang bersama keluarganya telah dibantai gerombolan penjahat, kembali Nyi Lasmi merasa sungkan dan malu sehingga jantungnya berdebar penuh ketegangan. Rasanya ia sungkan dan khawatir sekali harus berhadapan muka dengan Tumenggung Jayatanu, Nyi Tumenggung, dan Dyah Mularsih. Ia merasa begitu rendah, seorang dusun bertemu dengan keluarga bangsawan, seorang miskin bertemu dengan keluarga kaya, dan ia bahkan pernah menjadi selir laki-laki lain pula! la merasa rendah dan tak berharga. Prasetyo merasa betapa tubuh yang duduk di depannya itu gemetar.

   "Engkau mengapa, Diajeng?"

   "Kakang..... aku.... aku malu, aku takut...."

   "He-heh, mengapa malu dan takut, Diajeng? Engkau isteriku dan mereka semua akan menyambutmu dengan gembirai Engkau akan diterima dengan hormat. Percayalah, kalau mereka tidak akan bersikap demikian, tentu aku tidak berani mengajakmu pulang ke sini."

   UCAPAN suaminya ini agak membangkitkan keberanian Nyi Lasmi dan ketika kuda mereka memasuki halaman rumah mendiang Ki Lurah Pujosaputro, ia pun turun dan dengan tabah ia melangkah di samping suaminya menuju ke pendopo rumah kelurahan itu.

   Agaknya mereka yang berada dalam rumah mendengar derap kaki kuda di halaman depan karena ketika Nyi Lasmi dan Senopati Yudajaya memasuki pendopo, berbondong-bondong keluar dari dalam rumah itu Dyah Mularsih, Tumenggung Jayatanu, dan Nyi Tumenggung. Nyi Lasmi tertegun memandang tiga orang yang dari pakaiannya saja sudah mudah diketahui bahwa mereka

   adalah keluarga bangsawan. Dyah Mularsih maju ke depan menyambut suaminya.

   "Diajeng Lasmi, inilah Diajeng Dyah Mularsih, ibu Niken Harni. Dyah Mularsih, ini Diajeng Lasmi, ibu Puspa Dewi."

   Nyi Lasmi tertegun dan merasa canggung dan rendah melihat wanita cantik bersikap lembut yang berdiri di depannya dan yang memandang kepadanya dengan sepasang mata yang mengandung perasaan iba dan menyesal itu. Inilah isteri Prasetyo dan tidak aneh kalau Prasetyo jatuh cinta kepada wanita seperti ini. Ia pun isteri Prasetyo, akan tetapi sekarang ia sudah kotor dan hina, sudah menjadi selir Suramenggala selama beberapa tahun la merasa tidak pantas berada di antara keluarga inil

   Dyah Mularsih juga memandang penuh perhatian. Ia melihat seorang wanita yang cantik manis, akan tetapi sinar mata Nyi Lasmi begitu penuh penderitaan, sayu dan kehilangan cahayanya, wajahnya agak pucat dan kurus, mulutnya seperti hendak menangis. Tiba-tiba ia merasa bersalah besar sekali terhadap wanita ini. Ialah yang menjadi penyebab wanita Ini menderita, berpisah dari suaminya dan hidup sengsara bersama anak nya, terlunta-lunta sampai jatuh ke tangan seorang laki-laki yang jahat.

   "Mbakayu Lasmi....!"

   Ia mengeluh lalu menubruk dan merangkul Nyi Lasmi sambil menangis.

   Nyi Lasmi terkejut dan heran, tak mengira madunya akan merangkulnya seperti itu. la hanya balas merangkul tanpa dapat mengeluarkan separah kata pun dan ia bingung harus berbuat dan berkata apa.

   "Mbakayu Lasmi.... aku telah menyebabkan Andika.... menderita sengsara bertahun-tahun.... Mbakayu, maukah Andika mengampuni aku....?"

   Mendengar ucapan yang tersendat-sendat bercampur isak dari Dyah Mularsih yang merangkulnya itu, Nyi Lasmi merasa terharu bukan main dan tak dapat ditahan lagi ia pun menangis. Ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa madunya akan bersikap seperti inil Saking terharunya, ia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata dan hanya dapat sesenggukan.

   Nyi Tumenggung juga memegang tangan Nyi Lasmi dan mengguncang-guncangnya.

   "Aduh Anakku Lasmi...., kami orang-orang tua yang telah bersalah terhadapmu. Kami yang dulu merampas suamimu untuk kami jodohkan dengan anak kami. Kami merasa menyesal sekali telah menyebabkanmu hidup merana, Angger...! Maafkan kami, Lasmi...."

   Tangis Nyi Lasmi semakin mengguguk mendengar ucapan Nyi Tumenggung itu. Dua orang wanita yang merangkulnya itu sungguh merupakan orang-orang yang amat baik budi. Benar kata puterinya, Puspa Dewi. Mereka adalah orang-orang yang bijaksana, sedangkan ia sendiri.... ah, ia merasa semakin rendah.

   "Kanjeng Bibi.... jeng Dyah.... mohon jangan berkata begitu.... sesungguhnya sayalah yang harus minta maaf.... kedatangan saya hanya akan mengganggu kebahagiaan keluarga yang terhormat ini.... saya.... saya.... tidak berharga untuk menjadi anggauta keluarga ini.... saya.... orang hina dina.... biarkan saya pergi....I"

   Nyi Lasmi meronta lepas dan hendak berlari keluar.

   "Mbakayu Lasmi....!"

   Dyah Mularsih menjerit dan mengejar lalu merangkul madunya. juga Nyi Tumenggung kini merangkul Nyi Lasmi. Tiga orang wanita Itu bertangis-tangisan.

   Kini Tumenggung Jayatanu melangkah menghampiri. Suaranya yang besar berkata dengan lembut dan tenang.

   "Wah, kalian bertiga ini bagaimana sih? Sepantasnya pertemuan ini mendatangkan tawa bahagia, akan tetapi sebaliknya kalian malah bertangis-tangisan dengan sedih? Sudahlah, tidak perlu dan tidak ada sajah menyalahkan di antara kita semua. Ketahuilah, Lasmi, sejak Andika pergi, kami sekeluarga tiada hentinya berusaha mencari dan menemukan Andika untuk kami ajak hidup bersama kami sekeluarga. Namun kami tidak berhasil menemukan Andika, baru setelah cucuku Puspa Dewi datang ke sini, kami mencarimu di Karang Tirta ini. Sekarang kita sudah bertemu dan berkumpul, kita sepatutnya berbahagia. Puspa Dewi sudah menceritakan seluruhnya tentang penderitaanmu dan kami sama sekali tidak menyalahkanmu, sama sekali tidak memandang rendah padamu. Bahkan kami merasa kasihan kepadamu dan kami ingin melihat Andika hidup berbahagia bersama suamimu dan kami di dalam keluarga kami. Mari kita semua masuk dan bicara di dalam."

   Dengan digandeng Dyah Mularsih, Nyi Lasmi ikut masuk dan hatinya merasa terharu, akan tetapi juga berbahagia sekali. Tadinya ia masih ragu walaupun Puspa Dewi sudah memberitahu akan kebaikan sikap keluarga Dyah Mularsih, bahkan pertemuannya dengan Prasetyo semakin memberi keyakinan dalam hatinya bahwa ia akan diterima dengan baik.

   Namun setelah kini ia mengalami sendiri dan merasakan kebaikan dan ketulusan hati Dyah Mularsih dan ayah ibu madunya itu, barulah ia merasa lega dan berbahagia sekali. Bahkan setelah mereka berdua malam Itu berada sekamar dan melihat Dyah Mularsih tampak gelisah memikirkan Nlken Harni, Nyi Lasmi menghiburnya.

   "Tenangkan hatimu, Adik Dyah Mularsih. Kalian sekeluarga adalah orang-orang yang baik budi. Aku yakin bahwa Niken Harni tentu akan mendapatkan perlindungan dari Sang Hyang Widhi. Mari kita mendoakan saja semoga Sang Hyang Widhi selalu melindungi Niken Harni, kita berserah diri dan menerima dengan tulus Ikhlas apa yang telah ditentukan oleh Dia Yang Maha Kuasa. Juga, aku percaya bahwa anak kita Puspa Dewi akan mampu menemukan dan menyelamatkannya."

   "Terima kasih, Mbakayu Lasmi. Aku pun mengharap demikian. Baru akan lega dan berbahagia sepenuhnya rasa hatiku kalau Niken Harni dan Puspa Dewi sudah berada bersama kita sehingga keluarga kita utuh seluruhnya dan berkumpul dalam ketumenggungan di Kahurlpan."

   Pada keesokan harinya, keluarga Itu naik kereta kembali ke Kahuripan, dikawal oleh sepasukan perajurit.

   Nurseta berjalan santai menuruni bukit. Sudah berhari-hari dia melakukan perjalanan di sepanjang Bukit Seribu, deretan bukit di selatan. Matahari pagi amat cerahnya. Sinarnya yang penuh daya hidup itu menghangatkan kulit. Pagi itu cerah, namun rupanya tidak cukup cerah bagi hati dan pikiran Nurseta yang melangkah seenaknya. Pemuda ini sedang termenung, mengenang perjalanan hidupnya yang telah lalu. Dia ingat bahwa sejak kecil dia tinggal di Karang Tirta bersama Ayah dan Ibunya. Ayahnya bernama Dharmaguna dan ibunya bernama Endang Sawitrl. Sejak dia berusia sepuluh tahun dia telah ditinggal ayah ibunya yang pergi begitu saja tanpa dia ketahui ke mana. Dia telah melakukan penyelidikan dan ketika dia dapat bertemu dengan kakeknya, yaitu ayah dari ibunya,

   Senopati Sindukerta, baru dia ketahui mengapa ayah dan ibunya melarikan diri dan meninggalkannya. Senopati Sindukerta menceritakan segala hal mengenal ayah ibunya. Ibunya, Endang Sawitri, menolak dijodohkan pria lain karena ibunya Itu ketika gadis telah saling mencinta dengan Dharmaguna. Akan tetapi karena Dharmaguna hanya putera seorang pendeta miskin yang bernama Ki Jatimurti, maka Senopati Sindukerta menentangnya. Sebagai seorang bangsawan tinggi, Senopati Sindukerta tidak setuju puterinya menikah dengan seorang pemuda putera pendeta miskin. Lalu ayah ibunya melarikan diri, dikejar-kejar anak buah Senopati Sindukerta yang menghendaki puterinya kembali. Akan tetapi ayah ibunya dapat meloloskan diri dan kemudian dia dilahirkan dan sejak bayi ikut terbawa lari-lari bersembunyi menjadi buruan Senopati Sindukerta yang kehilangan puterinya dan yang selalu mencari puterinya yang merupakan anak tunggal yang amat dikasihi.

   Akhirnya, ayah ibunya menetap di Karang Tirta. Ketika dia berusia sepuluh tahun, ayah ibunya meninggalkannya dan lari karena ada yang melapor kepada Senopati Sindukerta bahwa suami isteri itu berada di Karang Tirta. Dan semenjak mereka jadi pelarian ketika dia berusia sepuluh tabun, sampai sekarang dia berusia hampir dua puluh tiga tahun, selama belasan tahun Itu orang tuanya menghilang dan dia tidak pernah berhasil menemukan mereka. Dia hanya berhasil bertemu dengan kakek dan neneknya, yaitu Senopati Sindukerta dan isterinya yang menjadi orang tua ibunya. Akan tetapi dia tidak pernah dapat menemukan jejak orang tuanya. Inilah yang mengganjal hatinya. Dia akan selalu merasa penasaran sebelum dapat bertemu dengan orang tuanya. Bahkan ketika dia bertemu Sang Bhagawan Ekadenta dan menerima gemblengan selama tiga bulan, dia pun bertanya kepada kakek sakti mandraguna itu setelah menceritakan tentang orang tuanya. Sang Bhagawan Ekadenta tersenyum dan hanya berkata.

   "Segala sesuatu hanya dapat terjadi apabila dikehendaki oleh Sang Hyang Widhi, Angger. Namun sudah menjadi kewajiban manusia untuk berikhtiar, berusaha sekuat tenaga untuk mencapai apa yang diinginkan."

   Hanya itulah nasihat Sang Bhagawan Ekadenta ketika dia menceritakan keinginannya untuk dapat bertemu dengan orang tuanya yang telah meninggalkannya tiga belas tahun yang lalu. Nurseta merasa prihatin sekali. Kalau ayah ibunya masin hidup, di mana tempat tinggal mereka dan mengapa pula mereka itu masih saja menyembunyikan diri setelah hampir dua puluh empat tahun melarikan diri dari Kahuripan? Dan seandainya mereka sudah meninggal pun, dia harus mengetahui di mana kuburnya.

   Dia harus dapat menemukan orang tuanya. Akan tetapi kemana dia harus mencari mereka? Hatinya mulai merasa penasaran. Nurseta adalah seorang pemuda gemblengan yang mendapatkan bimbingan mendiang Empu Dewamurti yang bijaksana, kemudian malah mendapat gemblengan pula dari Bhagawan Ekadenta yang sakti mandraguna. Dia telah memiliki batin yang amat kokoh dan dapat menguasai semua nafsu dan perasaannya. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia seorang manusia biasa dan rasanya tidak mungkin bagi seorang manusia untuk dapat sepenuhnya bebas dari perasaan suka duka, puas kecewa, dan sebagainya. Memang lebih kuat dari orang biasa, lebih tenang, namun di lubuk hati Nurseta tetap saja terdapat perasaan silih berganti itu.

   Kini Nurseta mempercepat langkahnya. Melihat betapa di situ sunyi, tidak tampak orang lain, dia lalu mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat cepat mendaki bukit lain yang sudah menanti di depannya setelah dia menuruni bukit tadi. Dengan Aji Bayu Sakti, tubuhnya ringan dan dapat berlari cepat seperti terbang sehingga sebentar saja dia tiba di puncak bukit itu.

   Setelah tiba di puncak, Nurseta merasa betapa lelah dan lemas tubuhnya. Baru dia teringat bahwa dia semalam melakukan perjalanan tanpa berhenti mengaso sebentar pun. Malam tadi terang bulan dan dia melakukan perjalanan sambil menikmati malam yang indah itu. Sekarang, setelah matahari mulai naik tinggi, dia merasa betapa tubuhnya lelah dan perutnya lapar. Maka, melihat sebatang pohon randu alas di puncak Itu, dia lalu berhenti mengaso dan duduk bersila di bawah pohon yang cukup dapat melindunginya dari sengatan sinar matahari.

   Kalau tadi dia tenggelam dalam kenangan masa lalu, kini pikirannya melayang memikirkan kembali pencarian yang sedang dia lakukan terhadap orang tuanya. Hatinya mulai tertekan kepedihan karena dia merasa tidak berdaya. Dia tidak tahu harus mencari ke mana. Tidak ada petunjuk sama sekali ke mana kiranya ayah ibunya berada. Selama ini, sejak berpisah dari Sang Bhagawan Ekadenta yang telah menggemblengnya selama tiga bulan, dia hanya ngawur saja menurutkan hati dan kakinya dalam pencariannya. Mengingat akan keadaan ini, hatinya tertekan dan dalam keadaan prihatin itu, dia lalu duduk bersila dan batinnya mengeluh sedih, memohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi.

   Entah berapa lama dia duduk tepekur dalam samadhinya itu. Matahari naik semakin tinggi. Hawa mulai panas, namun terdapat angin semilir yang mengurangi hawa panas. Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara orang bicara. Suara itu terbawa angin mencapai telinganya, terdengar cukup jelas, suara seorang laki-laki.

   "Eyang, mengapa hidup ini penuh penderitaan? Hanya sedikit kesenangan dan lebih banyak kesusahan?"

   Jawaban pertanyaan ini agaknya keluar dari mulut seorang yang sudah amat tua, karena gemetar dan agak parau, dalam.

   "Angger, putuku bocah bagus! Apakah engkau melihat Eyangmu ini menderita?"

   "Saya seringkali merasa heran mengapa Eyang tidak pernah kelihatan susah, ayem-ayem saja biarpun terkadang makan terkadang tidak, hidup miskin dan papa."

   Nurseta merasa tertarik sekali dan tak lama kemudian dia sudah duduk bersembunyi di balik batu besar, tak jauh dari dua orang yang suaranya terbawa angin dan terdengar olehnya tadi. Mereka adalah seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan seorang kakek tua renta yang sukar ditaksir usianya, akan tetapi tentu sudah lebih dari delapan puluh tahun Mereka itu duduk di atas bangku bambu reyot di depan sebuah gubuk reyot pula yang berdiri di lereng bukit itu. Melihat keadaan pakaian dan sikap mereka yang lugu, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dusun yang hidupnya sederhana.

   Nurseta semakin tertarik. Orang-orang dari dusun biasanya kalau bicara ceplas-ceplos terbuka, apa yang keluar dari mulut langsung keluar dari hati mereka, tidak munafik seperti orang kota terutama para bangsawan yang berusaha mati-matian untuk menyembunyikan keburukan mereka dan menonjolkan kebaikan. Selalu mementingkan kulit daripada Isi, sehingga orang-orang itu seolah-olah memakai topeng yang elok untuk menyembunyikan semua keburukan dan cacat mereka. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Heh-heh!"

   Kakek itu terkekeh dan tampak mulutnya yang sudah ompong, tak bergigi lagu "Kita hidup berdua di sini. Engkau dan aku berkeadaan sama, tidak ada yang lebih baik dan enak, tidak ada yang lebih buruk dan tidak enak. Akan tetapi engkau merasa dirimu banyak menderita, sedangkan aku tidak. Jelas bahwa bukan keadaan yang membuat seseorang menderita, melainkan cara dia menerima dan menghadapi keadaan itu. Aku ikhlas menerima kenyataan ini, maka aku tidak merasa menderita. Engkau sebaliknya menerima kenyataan hidup ini sebagai penderitaan, maka tentu saja engkau merasa menderita!"

   "Akan tetapi, Eyang. Saya melihat bahwa semua orang miskin hidupnya susah dan semua orang kaya hidupnya senang! Bukankah kenyataannya begitu?"

   "Itu pun hanya merupakan persangkaan saja, Angger. Kita saling memandang dan saling menilai tanpa mengetahui keadaan masing-masing yang sebenarnya. Aku sudah lama hidup, Cucuku, sudah mengenal banyak orang dan mengalami banyak kenyataan hidup. Aku sudah melihat banyak orang kaya yang hidupnya dipenuhi penderitaan seperti yang engkau rasakan. Mereka selalu khawatir kalau hartanya habis, mereka bosan dengan segala kemewahan yang mereka miliki. Hidup mereka tidak tenang, merasa terancam karena mereka kaya. Biarpun harta mereka bertumpuk, dapatkah mereka senang kalau tubuh mereka sakit? Atau isteri, atau anak atau keluarga mereka ada yang sakit berat? Aku melihat banyak orang yang menderita batinnya karena harta mereka menjadi rebutan anak-anak mereka. Jadi jelasnya, bukan kaya dan bukan miskin yang membuat orang menderita susah atau senang, melainkan bagaimana dia menerima kenyataan dirinya."

   "Akan tetapi, Eyang. Kalau orang karena miskinnya hanya makan singkong setiap hari, itu pun tidak kenyang, apakah itu bukan susah namanya?"

   "Diterima dengan susah, tentu saja susah. Akan tetapi kalau diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat diubah lagi, mungkin dapat mendatangkan rasa bersukur karena masih ada yang dapat dimakan. Menerima suatu keadaan dengan perbandingan yang menimbulkan penilaian sehingga mendatangkan rasa susah adalah suatu kebodohan. Kesusahan tidak akan dapat mengubah keadaan. Kewajlban kita manusia hidup hanya untuk berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki keadaan."

   "Eyang, kalau orang hidup kaya raya, setiap hari makan sekenyangnya dengan makanan yang mewah, pakaiannya indah-indah bertumpuk, rumahnya gedung besar dan indah. Apakah itu namanya bukan hidup serba enak, menyenangkan dan bahagia?"

   "Memang, alangkah baiknya hidup dalam keadaan serba kecukupan. Akan tetapi, aku masih sangsi apakah mereka yang memiliki segalanya itu pun menikmati segalanya Itu, apakah benar semua kemewahan itu mendatangkan kesenangan. Sudah lama aku hidup, mengalami banyak keadaan, pernah serba lebih dan pernah pula serba kurang. Akan tetapi aku mendapat kenyataan bahwa yang dapat menikmati sesuatu adalah orang yang tidak memiliki sesuatu itu, Cucuku. Sebaliknya yang telah memiliki sesuatu itu, sudah tidak lagi dapat menikmatinya, bahkan menjadi bosan."

   "Ah, aku tidak percaya, Eyang! Bagalmana mungkin orang tidak dapat menikmati segala kemewahan yang serba enak dan serba nikmat itu dan menjadi bosan!"

   "Aku tidak berbohong, Cucuku. Begini contohnya. Siapa yang berkata bahwa makan daging ayam itu lezat? Tentu yang berkata itu mereka yang tidak pernah atau jarang sekali makan daging ayam. Akan tetapi kalau engkau bertanya kepada orang yang setiap hari makan nasi dengan daging ayam, dia akan berkata bahwa dia tidak merasakan lezatnya daging ayam, bahkan telah bosan dan dia mungkin saja ingin makan nasi dengan sayur asem dan tempe! Demikian pula, dengan segala macam kelebihan atau kemewahan yang lain. Yang dapat membayangkan nikmat dan senangnya hanya mereka yang belum memilikinya. Akan tetapi yang telah memilikinya, hanya menikmati untuk sementara waktu saja, kemudian menjadi bosan dan tidak dapat merasakan kenikmatannya lagi. Merasa kurang merupakan penyakit yang sukar disembuhkan. Sekali merasa kurang, walaupun kemudian keadaannya sudah berlebihan dan berlimpah, tetap saja dia akan merasa kurang dan tidak mengenal kepuasan. Sebaliknya, orang yang merasa cukup, bagaimanapun keadaannya akan merasa cukup dan dapat menikmati apa adanya dengan puji sukur kepada Sang Hyang Widhi Yang Maha Kasih."

   "Wah, Eyang! Kalau begitu, apakah kita harus menerima saja keadaan miskin seperti sekarang ini? Kalau begitu, sejak lahir sampai mati nanti keadaanku tetap tidak akan berubah, tetap miskin kekurangan sandang pangan papan dan hidup sengsara!"

   Orang muda itu memprotes. Kakek itu tertawa memperlihatkan gusi yang tak bergigi lagi.

   "Ha-ha-ha-ha, bukan begitu, Cucuku! Jangan mencampuradukkan antara kebutuhan jiwa dan raga. Kita ini terdiri dari jiwa dan raga. Raga membutuhkan dicukupinya keperluannya sehingga dapat menjadi senang. Jiwa membutuhkan ketenteraman agar menjadi bahagia. Untuk mencukupi kebutuhan raga, kita harus berupaya sekuatnya, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan papan bagi raga kita. Adapun jiwa kita haruslah selalu berdekatan dengan Sang Hyang Widhi, dengan penyerahan, dengan ikhlas menerima apa saja yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi kepada kita, menerima apa adanya sebagai hasil usaha kita dengan puji sukur kepada-Nya. Berserah diri berarti dekat dengan Sang Hyang Widhi dan inilah satu-satunya kenyataan yang dapat mendatangkan ketenteraman dan membuahkan kebahagiaan. Jadi, kita berusaha ya lahir ya batin. Tanpa membanding-bandingkan keadaan dengan siapa pun, tanpa menilai keadaan yang bagaimanapun, selalu bersyukur akan apa yang kita dapatkan, selalu merasa KECUKUPAN. Rasa cukup Ini bukan terletak pada banyaknya harta benda, melainkan terletak dalam hati yang sudah berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Orang seperti inilah yang dalam keadaan bagaimanapun juga, tidak pernah merasa kekurangan dan selalu memuji syukur kepada Sang Hyang Widhi, maka dia akan merasakan kebahagiaan karena jiwanya tenteram."

   "Walah, sulit sekali itu, Eyaig! Bagaimana kalau kita sudah bekerja mati-matian, hasilnya tetap saja sedikit sekali dan tidak mencukupi kebutuhan hidup?"

   "Hemm, kalau engkau sudah merasa sulit sebelum engkau mulai melakukan, berarti engkau telah gagal sama sekail! Kalau usahamu tidak berhasil, pasti ada yang salah dalam usahamu itu! Jangan hanya mengeluh kepada Hyang Widhi, dan jangan menyalahkan setan! Sudah pasti ada yang salah dalam usahamu itu, carilah kesalahan sendiri itu dan perbaiki. Jangan pula mengendurkan penyerahan dirimu kepada kekuasaan-Nya, agar semua langkahmu diberi bimbingan oieh-Nya. Dua hal ini, yaitu berusaha sekuat tenaga, dan berserah diri agar mendapatkan bimbingan Sang Hyang Widhi, tidak boleh dipisahkan, kalau engkau ingin mendapatkan hasil baik lahir dan batinmu."

   "Bagaimana itu maksudnya, Eyang?"

   "Begini, Angger. Kalau engkau berusaha sekuat tenaga mencari uang untuk kebutuhan hidupmu tanpa bimbingan Sang Hyang Widhi, tanpa penyerahan kepada-Nya, maka besar kemungkinan nafsu daya rendah yang akan membimbingmu dan nafsu setan Itu akan menyeretmu melakukan usaha secara sesat. Bimbingan setan dalam usaha mencari uang itu menyeret orang melakukan kejahatan menipu, mencuri, merampok dan sebagai-nya untuk mendapatkan uang sebanyaknya! Sebaliknya kalau engkau hanya berserah diri kepada Sang Hyang Widhl tanpa berusaha sekuat tenaga, juga tidak akan berhasil. Berkah Sang Hyang Wldhi kepada kita sudah berlimpah, namun semua berkah itu harus dipadukan dengan usaha kita yang tekun dan rajin."

   "Misalnya bagaimana, Eyang?"

   
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lihat, Sang Hyang Wldhl telah melimpahkan berkahnya kepada kita di antara yang teramat banyak itu adalah sinar matahari, hawa Udara, air, tanah, bibit padi dan sebagalnya. Kesemuanya Itu tidak dapat kita bikin. Semua Itu sudah tersedia untuk kita, namun semua berkah Itu tidak akan ada gunanya kalau tidak dipadukan dengan pengolahan usaha tenaga kita. Kita yang harus mencangkul tanah, mengairi, menanam dan merawat. .Baru menghasilkan bahan makanan. Jelas bahwa berkah yang berlimpah dari Sang Hyang Widhi harus dipadukan dengan usaha manusia. Keduanya merupakan dwl-tunggal yang tidak boleh dipisahkan."

   "Terima kasih, Eyang. Biarpun semua keterangan Eyang tadi sungguh amat sukar dimengerti dan lebih sukar pula dilakukan, aku akan mencoba untuk menghayati. Sekarang ada satu lagi pertanyaan, harap Eyang suka menjelaskan."

   "Apa itu, Angger?"

   "Sebetulnya, apa sih tujuan hidup ini?"

   Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. Nurseta yang sejak tadi mendengarkan, semakin tertarik. Semua yang dikatakan kakek itu bukan hal asing baginya karena dia dengar dari mendiang Empu Dewa-murti gurunya yang pertama. Hanya kakek ini bicara dengan bahasa yang amat sederhana seperti yang biasa dipergunakan penduduk dusun di pegunungan. Kini dia ingin sekali mendengar apa jawaban kakek dusun itu tentang tujuan hidup seperti yang ditanyakan tadi.

   Setelah terkekeh-kekeh, kakek itu berkata.

   "Aeh, Cucuku, pertanyaanmu ini lucu dan aneh. Seluruh yang ada dan yang hidup di dunia ini, manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, kita semua ini hidup dan ada di dunia bukan atas kehendak kita sendiri! Kita ini ada karena ada yang mengadakan, kita hidup karena ada yang menghidupkan. Karena sejak semula hidup kita ini bukan atas kemauan kita, melainkan ada yang menghidupkan, maka tentu saja yang mempunyai rencana dan tujuan adalah DIA YANG MENGHIDUPKAN itu! Kalau kita mempunyai tujuan atau cita-cita, maka sudah pasti tujuan kita itu muncul dari keinginan badan kita yang selalu haus akan kesenangan dan kenikmatan. Dan tujuan kita itu pasti bukan tujuan SANG MAHA PENCIPTA itu!"

   "Lalu apa tujuan Sang Hyang Widhi dengan menciptakan kita hidup di dunia ini, Eyang?"

   "Wah, kita manusia mana mungkin mengetahui apa yang menjadi rencana Sang Hyang Wldhl? Terlalu Jauh, terlalu tinggi terlalu dalam Akan tetapi kita dapat melihat di sekeiiilng kita. Semua mahluk, yang hidup maupun yang mati, semua itu berguna bagi pihak lain. Bahkan rambut saja berguna menghidupi hewan-hewan yang memakannya. Sampah pun dapat menyuburkan tanah. Semua itu ada gunanya, semua itu mempunyai sifat untuk mamayu hayunlng bawono (mengusahakan kesejahteraan hidup di dunia). Nah, sekarang kita sendiri sebagai salah satu mahluk hidup. Apakah kita ini berguna bagi orang lain? Apakah hidup kita ini sudah ikut mamayu hayuning bawono? Kurasa itulah kewajiban hidup kita, bukan tujuan hidup, melainkan kewajiban, yaitu mamayu hayuning (Lanjut ke Jilid 12)

   Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12

   bawono, berguna bagi orang lain dan bagi lingkungan, melakukan segala kebalkan untuk ikut menyejahterakan kehidupan di muka bumi Ini."

   Percakapan itu terhenti dan Nurseta lalu meninggalkan tempat persembunyiannya, pergi dari situ dan merasa pikirannya melayang-layang seperti seekor burung garuda di angkasa. Semua pembicaraan tadi masih terngiang di telinganya, indah dan merdu seperti suara gamelan dari Lokananta (sorga tanpa akhir). Entah bagaimana, percakapan dua orang dusun sederhana tadi menghilangkan semua kesedihan hatinya yang tadi timbui karena dia memikirkan usahanya mencari orang tuanya yang belum juga dapat dia temukan jejaknya. Tiba-tiba, pikirannya yang kosong, terisi bayangan kampung halamannya, yaitu Dusun Karang Tirta dimana dahulu ayah ibunya meninggalkannya ketika dia berusia sepuluh tahun. Dia pun menujukan langkahnya ke arah Karang Tirta!

   Nurseta berdiri termenung di depan rumah tua itu. Semua kenangan masa lalu, ketika dia masih kecil, terbayang dalam ingatannya. Rumah itu masih seperti dulu, walaupun ada perbaikan di sana-sini karena lapuk, diganti anyaman bamboo baru, namun bentuknya masih sama dengan belasan tahun yang lalu. Rumah bekas milik orang tuanya itu dahulu diambil oleh Ki Lurah Suramenggala, katanya untuk membiayai kebutuhan hidup Nurseta selama mondok di rumah Ki Lurah Suramenggala selama enam tahun. Dia bertanya-tanya dalam hatinya apakah rumah itu kini masih dikuasai Ki Suramenggala?

   Tiba-tiba pintu depan rumah itu terbuka dan Nurseta cepat menyelinap di balik batang pohon johar yang tumbuh di tepi jalan, di luar rumah itu. Dari dalam rumah itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh satu tahun. Dia mengenal baik orang itu dan tanpa ragu dia muncul dari balik batang pohon johar dan berjalan cepat memasuki halaman rumah yang tak berapa luas itu.

   "Paman Tejomoyo!"

   Tegurnya.

   Orang tua itu mengangkat muka dan memandang pemuda yang kini telah berdiri di depannya.

   "Ohh,.... Anakmas Nurseta....!"

   Dia berseru sambil tersenyum gembira ketika mengenal pemuda itu. Dengan kagum dia mengamati pemuda yang sudah amat dikenalnya Itu. Dia mengenal Nurseta sejak dia masih kanak-kanak, mengenal orang tua Nurseta, bahkan menjadi tetangga mereka. Kemudian dia mengikuti perkembangan Nurseta ketika tumbuh dewasa, sejak berusia sepuluh tahun ditinggal orang tua dan hidup sebatang kara, menjadi bujang di rumah Ki Lurah Sura-menggala. Kemudian dia mendengar tentang Nurseta yang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, bahkan telah berjasa besar terhadap Kahuripan. Dia mengamati pemuda Itu. Tubuhnya sedang dan tegap, kulitnya agak gelap namun bersih dan halus. Wajahnya tidak terlalu tampan namun juga tidak jelek. Sepasang mata yang tajam lembut dan senyumnya yang ramah penuh pengertian itu membuat wajah pemuda itu menarik dan menimbulkan rasa suka di hati yang memandangnya.

   "Paman Tejomoyo, siapakah penghuni rumah Ini sekarang?"

   "Aku sendiri yang diserahi menjaga rumah ini, Nurseta. Mari, masuklah, kita bicara di dalami"

   Dengan ramah Ki Tejomoyo mempersilakan pemuda Itu masuk. Setelah memasuki ruangan depan, Nurseta melihat betapa prabot dalam ruangan Itu telah bertambah. Tentu Ki Lurah Suramenggala yang menambahnya. Akan tetapi sebuah meja jati yang tebal, dengan dua buah kursi yang dulu menjadi tempat duduk Ayah Ibunya, masih berdiri di pojok ruangan itu. Dia lalu menghampiri dan duduk di atas sebuah dari dua kursi Itu, yaitu di kursi yang kiri, yang dahulu biasa diduduki ibunya. Hatinya terharu. Serasa masih hangat kursi itu bekas diduduki Ibunya! Ki Tejomoyo lalu duduk di kursi kedua, berhadapan dengan Nurseta, terhalang meja jati yang tebal.

   "Paman, bagaimana Paman kini dapat tinggal di sini? Apa saja yang telah terjadi di Karang Tirta ini?"

   Tanya Nurseta.

   "Wah, banyak sekali yang telah terjadi, Anakmasl Sejak engkau datang ke sini dan menghajar Ki Lurah Suramenggala Itu, telah terjadi banyak hal yang mendatangkan perubahan besar di Karang Tirta."

   "Ceritakanlah, Paman. Aku ingin sekali mendengarnya."

   "Engkau tentu telah mengetahui bahwa Nyi Lasmi, ibu Puspa Dewi, telah menjadi selir Ki Suramenggala. Puspa Dewi telah pulang ke sini dan dia telah menjadi seorang gadis yang digdaya. Juga putera Ki Suramenggala yang bernama Linggajaya itu telah pulang dan dia pun menjadi seorang pemuda yang sakti. Akan tetapi dua orang muda yang sakti itu tidak lama berada di sini. Mereka pergi lagi dan sampai lama sekali tidak terdengar beritanya tentang mereka. Kemudian, semenjak puteranya pulang dan menjadi seorang pemuda digdaya, Ki Lurah Suramenggala menjadi semakin galak, kejam dan merajalela di dusun ini. Lalu pada suatu hari dating Gusti Patih Narotama."

   "Gusti Patih Narotama? Datang ke Karang Tirta?"

   "Benar, Anakmas. Dan terjadilah perubahan hebat yang membuat semua penghuni Karang Tirta bergembira. Karena sikap dan ulahnya yang jahat, Gusti Patih Narotama marah dan mencopot Ki Suramenggala dari kedudukannya sebagai lurah. Bahkan Ki Suramenggala yang sudah mati kutu dan takut kepada Gusti Patih Narotama, diusir keluar dari Karang Tirta oleh penduduk. Dia pergi meninggalkan dusun ini bersama keluarganya. Hanya Nyi Lasmi yang tidak mau ikut dan tetap tinggal di sini. Sebagai penggantinya, oleh Gusti Patih Narotama diangkat lurah baru, yaitu Ki Lurah Pujosaputro yang kemudian bersama keluarganya tinggal di rumah kelurahan, menggantikan Ki Suramenggala. Keluarga ini juga menampung Nyi Lasmi yang tinggal mondok di sana."

   "Wah, perubahan yang baik sekali itu, Paman! Gusti Patih Narotama telah melakukan kebijaksanaan yang menggembirakan sekali!"

   "Memang sesungguhnya begitu, Nurseta. Kami semua hidup tenteram. Semua kekayaan Ki Suramenggala disita dan tanah-tanah yang dulu dirampasnya dari penduduk, dikembalikan kepada pemiliknya dahulu. Rumah orang tuamu ini juga disita dan aku ditugaskan untuk menjaganya sampai engkau datang untuk diserahkan kembali kepadamu."

   "Hemm, terima kasih, Paman. Untuk sementara biarlah Paman yang menempati rumah ini. Sekarang aku hendak menghadap Ki Lurah Pujosaputro yang kukenal dengan baik."

   "Ah, Anakmas. Telah terjadi malapetaka besar menimpa keluarga Ki Lurah Pujosaputrol"

   "Eh, apa yang terjadi?"

   "Sebaiknya kulanjutkan ceritaku tadi. Setelah Ki Lurah Pujosaputro memimpin dusun ini, kehidupan rakyatnya menjadi tenteram dan sejahtera. Akan tetapi pada suatu hari muncul Linggawijaya Dia mengamuk dan hendak membunuh Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, akan tetapi muncul Puspa Dewi yang menandinginya. Penduduk juga menyerbu hendak mengeroyok Linggajaya sehingga dia melarikan diri."

   "Baik sekali kalau begltul"

   Kata Nurseta, ikut merasa lega,

   "Akan tetapi lalu terjadilah malapetaka itu. Puspa Dewi pergi ke kota raja, untuk mencari Ayah kandungnya dan muncullah orang-orang jahat suruhan Ki Suramenggala. Mereka itu ganas dan jahat sekali. Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya berikut para pelayan di rumah kelurahan itu mereka bunuh, hanya seorang pelayan saja yang lolos dari maut, sedangkan Nyi Lasmi dilarikan!"

   "Ahh....! Gerombolan itu suruhan Ki Suramenggala?"

   "Benar, Anakmas. Agaknya Ki Suramenggala membalas dendam, menyuruh bunuh lurah baru sekeluarganya dan menculik Nyi Lasmi. Kebetulan pada waktu Itu, Puspa Dewi bersama rombongan Ayah kandungnya beserta Ibu tirinya sekeluarga datang ke Karang Tirta."

   "Ayah kandung Puspa Dewi?"

   "Benar. Ayahnya adalah Senopati Yudajaya yang dating bersama istennya yang ke dua dan puterinya, juga Ayah dan Ibu mertuanya. Ayah mertua Senopati Yudajaya itu adalah Tumenggung Jayatanu. Mendengar malapetaka yang menimpa keluarga Lurah Pujosaputro dan tercullknya Nyi Lasmi, Puspa Dewi melakukan pengejaran. Kemudian Adik tiri Puspa Dewi yang bernama Niken Harni juga melakukan pengejaran, disusul pula oleh Senopati Yudajaya yang membawa selosin perajurlt pengawal."

   "Bagaimana hasilnya? Apakah mereka dapat menyelamatkan Nyi Lasmi?"

   "Nyi Lasmi berhasil ditemukan dan diselamatkan. Ia pulang kesini bersama suaminya, yaitu Senopati Yudajaya dan menurut berita yang aku dengar, ternyata Nyi Lasmi diselamatkan oleh Gusti Patih Narotama sendiri. Kemudian, rombongan keluarga Senopati Yudajaya itu, termasuk pula Nyi Lasmi, meninggalkan Karang Tirta dan kembali ke Kahuripan."

   "Sukurlah kalau begitu, keluarga Puspa Dewi dapat bersatu kembali dalam keadaan selamat."

   "Tapi masih ada sebuah hal yang membuat keluarga itu khawatir, Anak mas Nurseta, yaitu Puteri Senopati Yudajaya yang merupakan Adik tiri Puspa Dewi itu."

   "Yang bernama Niken Harni?"

   "Ya, mendengar Adik tirinya mengejar gerombolan yang menculik Nyi Lasmi dan belum tampak kembali, Puspa Dewi lalu pergi mencarinya sedangkan semua keluarga bangsawan itu kembali ke Kahuripan."

   "Hemm, dan sekarang, siapa pengganti lurah yang tewas itu?"

   "Urusan ini akan dilaporkan Tumenggung Jayatanu ke Kahuripan, dan untuk sementara beliau menyarankan agar penduduk mengadakan pilihan sendiri dan mengangkat seorang lurah baru. Kami telah memilih Anakmas Prawiro, keponakan mendiang Ki Pujosaputro yang tadinya membantu pamannya sebagal carik, untuk menjadi lurah sementara sebelum ada keputusan dari Kahuripan."

   "Terima kasih atas semua keterangan-mu itu, Paman. Sekarang, aku hendak menyampaikan keperluanku sendiri. Aku datang berkunjung kepadamu untuk minta tolong, Paman. Dulu Paman pernah menceritakan kepadaku tentang orang tuaku dan dari keterangan Paman itu aku sudah berhasil bertemu dengan Kakekku, yaitu Ayah dari Ibuku. Beliau adalah Eyang Senopati Sidukerta di Kahuripan. Akan tetapi Eyang juga sedang mencari-cari Ayah Ibuku itu dan sampai sekarang aku belum berhasil menemukan mereka...."

   "Wah. sejak tadi aku sudah ingin menyampaikan hal ini. akan tetapi didahului bicara tentang malapetaka yang terjadi di Karang Tirta sehingga aku hampir lupa menceritakan padamu. Anakmas Nurseta. Kurang lebih sebulan yang lalu sebelum terjadi malapetaka itu, pada suatu senja aku kedatangan seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia mengaku bernama Pakem dan datang dari Dusun Singojajar yang berada di kaki Gunung Semeru. Dusun ini termasuk daerah Kadipaten Wura-wuri. Si Pakem ini dating untuk bertanya tentang dirimu, Anakmas Nurseta. Dan dia ternyata diutus oleh.... Dharmaguna, Ayahmu...."

   "Wah, Paman Tejomoyo! Mengapa tidak Andika ceritakan dari tadi?"

   Nurseta berseru sambil memegang pergelangan tangan Ki Tejomoyo sehingga orang tua itu mengaduh.

   "Aduh, sakit....!"

   "Ah, maafkan aku, Paman!"

   Kata Nurseta sambil melepaskan pegangannya.

   "Saking kaget mendengar kejutan ini aku terlalu kuat memegang lenganmu. Lanjutkan ceritamu, Paman!"

   "Tentu saja aku juga girang mendengar bahwa Si Pakem itu utusan Dharmaguna. Aku lalu menceritakan tentang dirimu, semua yang sudah kuketahui dan kudengar tentang dirimu. Aku juga mendengar dari Pakem itu, yang ternyata adalah seorang pembantu setia Ki Dharmaguna yang hidup sebagal petani, bahwa orang tuamu berada dalam keadaan sehat dan selamat."

   "Aduh.... terima kasih kepada Sang Hyang Widhi...., ah Paman Tejomoyo, Andika tidak tahu betapa membahagiakan hati mendengar ceritamu ini!"

   "Aku tahu, Anakmas! Aku sendiri pun gembira sekali mendengar pengakuan Pakem itu. Akan tetapi agaknya orang tuamu itu masih merasa khawatir dan Pakem itu tidak berani bercerita banyak. Ketika aku bertanya tentang Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, dia mengatakan tidak tahu banyak tentang mereka, hanya mengatakan bahwa Ki Dharmaguna adalah seorang petani yang tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Bahkan dia lalu tergesa-gesa pergi setelah mendengar keterangan tentang dirimu, tidak mau menginap di sini walaupun kubujuk-bujuk."

   "Wah, keterangan itu sudah lebih dari, cukup, Paman! Sekarang aku pamit, Paman!"

   "Eh? Mengapa tergesa-gesa, Anakmas? Tinggalkan di sini, setidaknya menginaplah di sini. Ini sekarang telah dikembalikan kepadamu. Rumah ini milikmu."

   "Lain kali saja, Paman. Terima kasih, aku harus pergi mencari orang tuaku di Singojajar sekarang juga!"

   "Akan tetapi, tempat itu termasuk daerah Wura-wuri, Anakmas! Berbahaya sekali!"

   Nurseta tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.

   "Ayah Ibuku berada di sana juga tidak apa-apa, Paman Tejomoyo. Sekali lagi, aku sungguh merasa amat berterima kasih kepadamu. Paman telah memberi kabar yang teramat penting bagiku dan amat membahagiakan hatiku. Nah, aku pergi, Paman!"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Nurseta sudah lenyap dari depan Ki Tejomoyo sehingga orang tua itu mengejar ke depan, akan tetapi sudah tidak melihat lagi bayangan Nurseta. Dia hanya berdiri terlongong dan kagum.

   Nurseta memasuki wilayah Kerajaan Wura-wuri setelah melakukan perjalanan cepat dari Karang Tirta. Dia ingin sekali segera tiba di kaki Gunung Semeru, mencari ayah ibunya yang kabarnya tinggal di dusun Singojajar. Dia sudah membayangkan betapa akan bahagianya bertemu dengan ayah dan ibunya. Dia masih dapat membayangkan wajah ayah dan ibunya. Walaupun dua belas tahun lebih telah lewat sejak mereka meninggalkan dia, dia pasti akan mengenal mereka. Mungkin mereka akan tampak lebih tua, akan tetapi dia masih Ingat benar. Ayahnya, Dharmaguna, adalah seorang laki-laki yang berwajah tampan, berkulit bersih walau agak hitam, dan gerak-gerik serta tutur sapanya lembut halus.

   Ibunya, Endang Sawitri, adalah seorang wanita cantik berkulit putih, seingatnya bertubuh ramping padat dan ibunya dahulu pandai menunggang kuda dan pandai pula menggunakan anak panah dan memiliki kegagahan. Ibunya pernah menceritakan betapa di waktu muda ibunya juga pernah mempelajari aji kanuragan. Tentu saja kini dia mengerti. Sebagai puteri seorang senopati, tentu saja ibunya juga sedikit banyak memiliki kegagahan.

   Nurseta juga maklum akan bahayanya memasuki wilayah Wura-wuri. Wura-wuri adalah musuh bebuyutan Kahuripan dan beberapa tahun yang lalu pernah mencoba menyerang Kahuripan bersama para sekutunya. Namun penyerangan itu gagal: Karena dia sendiri terlibat dalam pertempuran itu, maka dia tentu dikenal oleh para tokoh Kerajaan atau Kadipaten Wurawuri. Kalau hal lni terjadi, tentu dia akan mengalami kesulitan untuk dapat bertemu dengan ayah ibunya, bahkan bukan itu saja bahayanya, melainkan lebih buruk lagi orang tuanya dapat terseret dan diganggu orang-orang Wura-wuri.

   Dengan hati-hati Nurseta melakukan perjalanan menuju Gunung Semeru yang merupakan perbatasan antara Kadipaten Wurawuri dan Kerajaan Kahuripan. Dia memasuki daerah Wurawuri dari selatan maka perjalanan menuju Gunung Semeru masih cukup jauh. Dia selalu waspada. Kalau hanya bertemu penduduk biasa, dia tidak khawatir dikenal orang. Akan tetapi kalau bertemu dengan pasukan atau orang-orang berpakaian bangsawan atau perwira, dia selalu menyelinap agar tidak terlihat.

   Pada suatu hari Nurseta keluar dari sebuah dusun dan berjalan di atas jalan umum di samping hutan. Dia merasa kagum juga melihat keadaan Kadipaten Wura-wuri. Keadaan rakyatnya tidaklah sengsara benar, dan orang-orang Wurawuri tampak tampan dan cantik. Dia memang pernah mendengar bahwa penduduk Wura-wuri memiliki wajah yang elok, sebaliknya orang-orang Wengker sebagian besar buruk rupa.

   Selagi dia berjalan dengan santai dan waspada, tiba-tiba dia mendengar langkah kaki banyak kuda dari arah belakangnya. Cepat Nurseta menyelinap di balik pohon-pohon besar di tepi jalan dan mengintai untuk melihat siapa mereka yang berkuda itu. Tak iama kemudian dia melihat banyak orang berkuda menjalankan kuda mereka dengan santai. Agaknya mereka sengaja menjalankan kuda mereka perlahan-lahan karena kuda-kuda itu telah mandi keringat, agaknya telah melakukan perjalanan jauh yang melelahkan dan sekarang dijalankan perlahan untuk memberi kesempatan istirahat kepada kuda-kuda itu.

   Ketika rombongan tiba dekat, Nurseta terkejut. Yang menunggang kuda di depan adalah seorang wanita dan seorang pria. Wanitanya berpakaian gemerlapan mewah sekali, usianya sekitar dua puluh delapan tahun, tubuhnya ramping padat, wajahnya cantik jelita akan tetapi mata dan mulutnya membayangkan kegenitan, kulitnya agak hitam manis. Dia tidak mengenal wanita itu. Akan tetapi tentu saja dia mengenal laki-laki yang menunggang kuda di dekat wanita itu. Resi Bajrasakti, dia tak salah lagi. Biarpun sudah sekitar enam tahun dia tidak melihat kakek tinggi besar dan mukanya penuh brewok, kulitnya hitam dan wajahnya kasar dan bengis itu, dia tidak dapat melupakannya. Resi Bajrasakti ini yang dulu bersama Nyi Dewi Durgakumala hendak merampas keris pusaka Megatantra dan mereka berdua dikalahkan gurunya, mendiang Empu Dewamurti.

   Begitu mengenal Resi Bajrasakti, Nurseta teringat akan pesan Sang Bhagawan Ekadenta, agar dia berhati-hati terhadap Wengker karena permaisuri Wengker yang bernama Dewi Mayangsari diambil murid Nini Bumigarbo. Resi Bajrasakti adalah tokoh Wengker, maka wanita cantik yang pakaiannya amat mewah ini mungkin sekali Dewi Mayangsari permaisuri Wengker yang diambil murid Nini Bumigarbo itu! Di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, sebanyak dua losin orang perajurit. Tidak salah lagi, mereka itu tentu para perajurit Wengker yang mengawal permaisuri Wengker dan Resi Bajrasaktl itu. Akan tetapi mengapa orang-orang penting Kadipaten Wengker memasuki daerah Wura-wuri? Tidak aneh, pikirnya. Memang dua kadipaten besar itu bersama kadipaten-kadlpaten kecil seperti Kerajaan Parang Siluman dan Kerajaan Siluman Laut Kidul mempunyai hubungan dan mereka pernah bekerja sama untuk memusuhi Kerajaan Kahuripan.

   Dia tetap bersembunyi sampai rombongan itu lewat. Dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti hendak berkunjung kepada Raja Wura-wuri, entah dengan maksud apa. Diam-diam dia memikirkan apa yang terjadi dengan adik perempuan tiri Puspa Dewi yang bernama Niken Harni yang melakukan pengejaran terhadap mereka yang menculik Nyi Lasmi. Mungkin sekali Niken Harni mengejar ke daerah Wengker karena bukankah para penculik itu orang-orang dari Wengker? Dan tentu saja Puspa Dewi yang mencari adiknya itu pun besar kemungkinan pergi ke Wengker. Apakah kepergian para tokoh Wengker ke Wura-wuri ini ada hubungannya dengan Puspa Dewi dan Niken Harni?

   Nurseta melanjutkan perjalanan menuju Gunung. Semeru. Karena yang dia datangi merupakan daerah yang asing baginya, maka perjalanannya tidak dapat cepat. Dia harus bertanya-tanya dalam perjalanan dan untuk bertanya pun dia harus memandang orangnya, karena kalau bertanya kepada orang yang keliru, dapat menimbulkan kecurigaan yang hanya akan mengganggu pencariannya.

   Kita tinggalkan dulu Nurseta yang sedang melakukan perjalanan mencari orang tuanya dan kita tengok keadaan di dusun Singojajar yang berada di kaki Pegunungan Semeru. Singojajar merupakan sebuah dusun yang tanahnya subur sekali sehingga kehidupan penduduk dusun sebagai petani cukup sejahtera, walaupun sederhana namun bagi mereka cukup adil dan makmur. Adil karena di antara mereka tidak ada yang kekurangan dan setiap kali ada yang didesak kebutuhan mendadak, mereka yang kelebihan selalu siap mengulurkan tangan membantu. Dan makmur bagi orang-orang bersahaja itu karena mereka telah dicukupi tiga kebutuhan pokok mereka, yaitu sandang pangan dan papan.

   

Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini