Ceritasilat Novel Online

Nurseta Satria Karang Tirta 3


Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Ibu, jangan mendekat"

   Teriak Puspa Dewi ketika melihat Ibunya mendekati tempat yang berbahaya bagi Ibunya itu.

   Akan tetapi ia harus mencurahkan perhatiannya kepada para pengeroyoknya karena sedikit saja ia membagi perhatiannya tadi, nyaris pundaknya terkena sambaran ruyung di tangan Kala Teja. Cepat ia mengelebatkan pedangnya menangkis karena serangan ruyung itu diikuti tusukan keris di tangan Kala Muka.

   "Trangg.... cringgg....!"

   Kala Teja dan Kala Muka terhuyung karena tangkisan pedang hitam itu kuat bukan main. Akan tetapi terdengar bunyi mendesing pedang Ki Candarwo sudah menyambar dengan bacokan ke arah lehernya dari belakang. Puspa Dewi memutar tubuh dan. karena pedangnya tidak keburu menangkis, ia menggunakan tangan kiri untuk menampar pedang yang menyambarnya itu.

   "Wuuuttt.... plakk!"

   Ki Gandarwo juga terhuyung ke belakang.

   "Rrrik-tik-tik-tik....!"

   Tasbeh di tangan Cekel Aksomolo kini menyambar ganas, diikuti tikaman klewang di tangan Kala Manik.

   Puspa Dewi kini sudah sempat mengelebatkan pedangnya yang sekaligus menangkis dua senjata itu.

   "Trakk-tranggg...!"

   Dua senjata lawan itupun terpental dan selagi Puspa Dewi hendak membalas serangan, tiba-tiba ia mendengar ibunya menjerit.

   "Ouhhh...., lepaskan aku, keparat!"

   Puspa Dewi cepat melompat ke belakang dan memutar tubuh memandang. Ia marah sekali melihat ibunya sudah diringkus Ki Gandarwo. Nyi Lasmi mencoba untuk melepaskan diri dengan meronta-ronta, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu berkutik melawan Ki Gandarwo yang kuat, kedua tangan Nyi Lasmi ditelikung ke belakang dan pergelangan kedua tangannya dicengkeram tangan kiri Ki Gandarwo yang menggunakan pedang di tangan kanannya untuk mengancam Nyi Lasmi dengan menempelkan pedangnya di leher wanita itu. Sepasang mata Puspa Dewi berkilat. Suaranya terdengar mengandung kekuatan dahsyat.

   "Jahanam pengecut! Lepaskan Ibuku!"

   "Puspa Dewi, menyerahlah dan aku akan melepaskan Ibumu."

   Kata Ki Gandarwo, tegang dan gentar hatinya beradu pandang mata dengan gadis itu.

   "Lepaskan atau kubunuh kamu!"

   Kembali Puspa Dewi membentak dan pedang hitam di tangannya sudah bergetar.

   "Mungkin aku mati di tanganmu, akan tetapi Ibumu akan lebih dulu mati!"

   Kata Ki Gandarwo sambil menempelkan pedangnya lebih ketat di leher Nyi Lasmi.

   "Dewi, jangan mau menyerah! Tidak mengapa dia membunuhku. Ibumu tidak takut mati!"

   Nyi Lasmi berteriak. Ki Gandarwo tentu saja menjadi panik mendengar ini.

   "Puspa Dewi, sekali lagi menyerahlah dan aku akan melepaskan Ibumu!"

   Kala Muka lalu berkata.

   "Gusti Puteri, sebaiknya Paduka menyerah saja dan membiarkan kami membawa Paduka menghadap Gusti Adipati."

   Puspa Dewi merasa bingung dan tidak berdaya. Lalu la berpikir cepat. Yang terpenting sekarang adalah agar ibunya selamat. Biarlah ia menyerah dan ditangkap, karena kalau ibunya selamat ia sendiri nanti akan dapat mencari jalan untuk melepaskan diri.

   "Baiklah, aku menyerah. Lepaskan Ibuku."

   "Ho-ho-hi-hik, tidak mudah begitu saja Andika menipu kami, Puspa Dewi!"

   Kata Cekel Aksomolo sambi! tertawa.

   "Jangan lepaskan dulu wanita itu, Gandarwo. Kalau ia dilepaskan, Puspa Dewi tentu akan melawan lagi. Puspa Dewi, kalau benar engkau mau menyerah,. lepaskan dulu pedangmu dan biarkan aku mengikat kedua tanganmu! Kalau engkau tidak menurut, terpaksa Ibumu kami bunuh dulu!"

   Puspa Dewi maklum, bahwa percuma saja berbantahan dengan mereka. Ia benar-benar ingin menolong ibunya, maka ia melepaskan pedang Candrasa Langking sehingga pedang hitam itu jatuh ke atas tanah. Kemudian ia merangkap kedua tangan di belakang tubuhnya, menyerah untuk diikat!

   Sambil terkekeh Cekel Aksomolo berkata kepada adik seperguruannya.

   "Gandarwo, hati-hati, jangan sampai wanita itu terlepas sebelum Puspa Dewi kuikat kedua tangannya. Kalau ia menyerang jangan ragu-ragu, bunuh saja Ibunya itu lebih dulu!"

   SETELAH berkata demikian, Cekel Aksomolo melolos sebatang sabuk lawe kuning dari ikat pinggangnya dan mengikat kedua pergelangan tangan Puspa Dewi di belakang tubuhnya. Puspa Dewi tidak berdaya, tidak mau membahayakan keselamatan Ibunya. Akan tetapi ia juga merasa bahwa tali yang dipergunakan mengikat kedua pergelangan tangannya itu bukan tali biasa, melainkan sabuk lawe yang sudah dirajah, yaitu di-manterai dan diisi dengan kekuatan sihir sehingga tidak akan mudah ia dapat melepaskan diri. Setelah kedua tangannya terikat, Puspa Dewi berseru kepada Ki Gandarwo.

   "Sekarang bebaskan Ibuku!"

   Akan tetapi Ki Gandarwo tertawa.

   "Ha ha ha, kami tidak mau terancam bahaya engkau mengamuk lagi, Puspa Dewi. Ibumu akan kami bawa pula agar kalau dalam perjalanan engkau membuat ulah, kami dapat membunuhnya!"

   Ki Gandarwo lalu mendorong Nyi Lasmi.

   "Hayo kau ikut dengan kami!"

   Nyi Lasmi lari menghampiri dan merangkul Puspa Dewi.

   "Ah, Dewi, mengapa engkau menyerah? Kini malah kita berdua yang tertawan. Mereka ini orang-orang yang licik dan curang!"

   Tiba-tiba puluhan orang dusun penduduk Karang Tirta berduyun-duyun memasuki pekarangan itu sambil berteriak-teriak menuntut agar Puspa Dewi dan Nyi Lasmi dilepaskan. Sikap mereka marah dan mengancam, bahkan ada yang mengacung acungkan parang, pisau, tongkat dan lain-lain.

   Melihat ini, Tri Kala menyambut mereka dengan tamparan dan tendangan. Belasan orang kocar-kacir, berpelantingan dan yang lain menjadi Jerih lalu mundur. Akan tetapi ada seorang kakek yang tidak ikut mundur, bahkan dia melangkah maju dengan tenang. Semua orang, termasuk Puspa Dewi, memandang ke arah kakek itu. Sinar bulan ditambah sinar lampu dari pendopo cukup terang sehingga Puspa Dewi dapat melihat wajah kakek itu dengan jelas. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi agaknya sudah lebih dari enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap dan masih tegak, langkahnya juga tegap, walaupun lembut dan perlahan.

   Pakaian kakek itu berupa jubah berwarna kuning yang potongannya amat sederhana. Rambutnya panjang dan hampir putih semua, dibiarkan terurai di atas pundak dan punggungnya, yang di atas dibelah tengah. Dahinya lebar, mata seperti mata kanak-kanak, bening lembut dan mata itu juga tampak gembira, sesuai dengan mulutnya yang selalu mengembangkan senyum. Wajah kakek ini termasuk tampan dan gerak-geriknya lembut.

   Melihat ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Kakek itu mencari mati, pikirnya, ia tidak mau kalau ada orang lain sampai menjadi korban karena hendak membelanya. Maka ia cepat berseru dengan lantang.

   "Eyang, pergilah jangan mendekat, jangan mencampuri umsanku. Berbahaya sekali bagimu. Pergilah, Eyang!"

   Kakek itu memandang kepadanya dan senyumnya mengembang dan ketika pandang mata mereka bertemu, Puspa Dewi terkejut dan tertegun. Ia pernah melihat pandang mata seperti itu dan ia teringat. Yang memiliki pandang mata seperti itu adalah Ki Patih Narotama, Sang Prabu Erlangga, dan Nurseta! Akan tetapi, pandang mata mereka, bahkan sinar mata Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama sekalipun, tidak sekuat dan sehebat sinar mata kakek ini yang membuat ia tertegun dan seolah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang dengan terbelalak. Kini kakek itu sudah tiba di depan Tri Kala. Kala Muka membentak marah,

   "Heh, pergi kamu! Apakah kamu ingin pula kupukul?"

   "Shanti shanti shanti...!"

   Kakek itu berkata lirih namun suaranya terdengar oleh semua orang, begitu jelas terdengar walaupun lirih, bahkan terdengar oleh penduduk dusun yang berada di luar pekarangan.

   "Aku tidak ingin dipukul, akan tetapi kalau Andika ingin memukulku, silakan."

   Kata-katanya diucapkan dengan lembut dan bukan merupakan tantangan, lebih seperti orang menyerah.

   Mendengar jawaban ini, Kaia Muka menjadi marah. Tadi dia tidak segera menampar atau menendang karena dia melihat orang itu tampak ringkih dan pakaiannya bukan seperti orang dusun, lebih mirip pakaian seorang pertapa atau pendeta. Kini, mendengar ucapan itu, dia melompat ke depan dan melayangkan tangan kanannya untuk menampar dada orang itu sambil membentak marah.

   "Pergilah kamu!!"

   Semua orang memandang dengan hati tegang dan ngeri. Kakek itu tentu akan terpental dan terbanting keras seperti mereka yang tadi terkena tendangan atau tamparan tiga orang itu. Akan tetapi, semua orang terbelalak ketika melihat bahwa yang terjengkang bukan kakek yang dipukul, melainkan Kala Muka sendiri! Padahal, semua orang melihat bahwa tamparan itu belum sampai menyentuh dada kakek itu. Kakek itu tersenyum dan wajahnya yang bersih, tanpa jenggot tanpa kumis itu, tampak sabar.

   "Shanti-shanti-shanti..., Andika memetik buah perbuatan Andika sendiri, Ki Sanak."

   Ucapan yang maksudnya menasihati itu diterima oleh Kala Muka sebagai ejekan. Dia melompat berdiri dan kini dia menyerang lagi, menggunakan kedua tangannya, memukul dengan dorongan penuh tenaga sakti ke arah dada kakek itu. Akibatnya lebih parah lagi. Tubuh Kala Muka terpental sampai tiga tombak dan terbanting keras. Padahal serangannya tadi belum menyentuh dada lawannya!

   Kini tiga orang Kala itu maklum bahwa kakek itu bukan orang biasa, melainkan seorang yang memiliki kesaktian. Maka, dengan marah mereka bertiga mengeluarkan senjata masing-masing. Kala Muka mencabut kerisnya, Kala Manik mengeluarkan klewangnya dan Kala Teja mengeluarkan ruyungnya. Kakek ini harus dibunuh dulu agar jangan menjadi penghalang.

   Seperti dikomando, ketiganya menerjang ke depan. Kala Muka menusukkan kerisnya ke arah perut, Kala Manik membacokkan klewangnya ke arah leher dan Kala Teja menghantamkan ruyungnya ke arah kepala. Kakek itu masih diam saja, berdiri santai dengan mulut tersenyum. Semua orang merasa ngeri bahkan banyak yang memejamkan mata, tidak tega melihat tubuh kakek itu menjadi bulan-bulanan tiga macam senjata itu. Akan tetapi kembali mereka terbelalak heran ketika melihat betapa sebelum senjata itu menyentuh tubuh kakek itu, Tri Kala terpental ke belakang dan terbanting jatuh sampai terguling-guling.

   Melihat ini, lima orang itu terkejut bukan main. Kini mereka menyadari sepenuhnya bahwa kakek itu bukan hanya sakti biasa saja, melainkan sakti mandraguna.

   "Orang tua, kalau Andika masih menentang kami, terpaksa kubunuh wanita ini!"

   Kata Gandarwo. Dia menekan pedangnya lebih kuat ke leher Nyi Lasmi. Akan tetapi kakek itu menuding ke arahnya dan tiba-tiba Ki Gandarwo terjengkang sehingga Nyi Lasmi terlepas dari pegangannya. Nyi Lasmi berlari menghampiri Tuspa Dewi, akan tetapi Cekel Aksomolo menghadangnya dan hendak menangkapnya. Kembali kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah Cekel Aksomolo dan laki-laki yang seperti Pendeta Durna ini terpelanting! Melihat semua ini, Kala Muka yang sudah mendapat pesan Adipati Bhismaprabhawa bahwa kalau tidak dapat menangkap Puspa Dewi lebih baik gadis itu dibunuh saja, lalu menggunakan kesempatan itu untuk membawa kerisnya dan lari menghampiri Puspa Dewi, langsung menusukkan kerisnya ke arah lambung gadis itu!

   Biarpun kedua lengannya diikat ke belakang tubuhnya, namun Puspa Dewi masih dapat bergerak dengan lincah. Ia mengelak dari tusukan keris itu dengan loncatan ke samping, kemudian ia memutar tubuhnya dengan cepat dan kakinya mencuat, merupakan tendangan kilat yang menyambar ke arah tubuh Kala,Muka.

   "Wuuuttt... desss!"

   Tubuh Kala Muka terlempar dan jatuh berdebuk di atas tanah. Melihat keadaan mereka kini terancam bahaya, tanpa dikomando lagi lima orang itu segera melarikan diri meninggalkan pekarangan dan sebentar saja mereka lenyap ditelan kegelapan malam.

   Nyi Lasmi berusaha untuk melepaskan ikatan pada kedua pergelangan tangan puterinya, akan tetapi, tidak berhasil. Ikatan itu kuat bukan main.

   "Mari kubantu melepaskan ikatan itu,"

   Terdengar suara lembut. Nyi Lasmi menengok dan ia melihat kakek tadi sudah berdiri di dekatnya.

   "Ah, terima kasih, Paman. Tolonglah, ikatan itu kuat bukan main dan saya tidak dapat membukanya."

   Kakek itu tersenyum dan tangannya menyentuh ikatan sabuk lawe itu. Tiba-tiba saja ikatan itu putus dan kedua tangan Puspa Dewi bebas! Puspa Dewi tadi melihat kesaktian kakek iru, dan kini kembali memperlihatkan kesaktiannya. Ikatan yang demikian kuat sekali sentuh saja sudah putus! Maka tanpa ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki orang tua itu dan menyembah.

   "Kanjeng Eyang, banyak terima kasih atas pertolongan Eyang. Saya berhutang budi dan nyawa kepada Eyang. Saya mohon, sudilah kiranya Eyang menerima saya menjadi murid Eyang agar saya mendapat kesempatan untuk melayani Eyang."

   "Sadhu-sadhu-sadhu...! Hanya Sang Hyang Widhi Maha Penolong dan hanya kepada Dia-lah kita mengucapkan syukur dan terima kasih. Shanti-shanti-shanti....'"

   Kakek itu lalu memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.

   "Kanjeng Eyang....!"

   Puspa Dewi bangkit dan hendak mengejar.

   "Dewi...!"

   Nyi Lasmi mengejar dan merangkul puterinya.

   "Engkau hendak ke mana, Nak?"

   "Ibu, Ibu melihat tadi betapa saktinya Kakek itu. Aku harus berguru kepadanya, Ibu, agar kelak dapat melawan orang-orang jahat itu. Sebaiknya Ibu tinggal di rumah Paman Lurah sini dulu dan menunggu sampai saya pulang. Saya harus berguru kepada Kakek itu lalu saya akan pergi mengunjungi Ayah Prasetyo!"

   Setelah berkata demikian, sekali melompat Puspa Dewi sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

   "Dewi....!"

   Akan tetapi teriakan dan panggilan Nyi Lasmi itu tidak mendapatkan jawaban. Ki Lurah Pujosaputro dan keluarganya yang sejak tadi mengintai dan tidak berani keluar, kini berlari menghampiri Nyi Lasmi yang menangis. Mereka menghibur Nyi Lasmi dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Para penduduk juga bubaran dan kembali ke rumah masing-masing, tiada hentinya membicarakan peristiwa yang mereka tonton tadi.

   Hati Puspa Dewi merasa girang karena akhirnya ia dapat melihat bayangan kakek itu. Untung bulan tidak terhalang mendung sehingga ia dapat melihat bayangan itu. la segera mengerahkan tenaganya untuk mengejar, tidak berani memanggil-manggil karena khawatir akan mendatangkan kesan lancang atau kurang ajar. Akan tetapi, Puspa Dewi tertegun dan membelalak-belalakkan kedua matanya untuk memandang lebih jelas menembus cuaca yang remang-remang itu. Ia mengerahkan tenaga saktinya untuk berlari cepat, diseling loncatan-loncatan jauh, akan tetapi sungguh aneh bukan main, karena jarak antara ia dan kakek itu tetap sama! Ia tidak pernah dapat mendekati, padahal ia mengerahkan ilmu berlari cepat dan kakek itu tampaknya hanya berjalan seenaknya, melangkah satu-satu. Puspa Dewi menjadi penasaran sekali dan terus melakukan pengejaran ke manapun bayangan kakek itu pergi.

   Ternyata kakek itu tidak pernah berhenti sejenak pun! Dia terus saja melangkah, tampak santai namun kenyataannya, Puspa Dewi yang mengerahkan tenaga sakti untuk berlari cepat sama sekali tidak pernah dapat menyusulnya. Puspa Dewi sudah merasa lelah sekali karena selama lebih dari setengah malam ia terus berlari cepat yang menggunakan banyak tenaga. Sampai matahari fajar mulai menyingsing, kakek itu tidak pernah berhenti, bahkan kini mendaki bukit-bukit dari Pegunungan Seribu. Makin payahlah Puspa Dewi melakukan pengejaran karena sekarang ia harus berlari mendaki bukit dan menuruni jurang!

   Setelah matahari naik agak tinggi, Puspa Dewi tidak kuat lagi dan ia pun roboh terguling. Ia bangkit lagi, akan tetapi terguling lagi karena kedua kakinya sudah tidak kuat lagi menyangga tubuhnya! Ia merasa nelangsa sekali, akan tetapi tidak berani memanggil kakek itu. Selain takut dianggap kurang ajar, ia pun mempunyai harga diri, bahkan ketinggian hati. Ia memang mohon dijadikan murid, akan tetapi untuk minta-minta, nanti dulu! Maka, ia kini merebahkan tubuhnya dan membiarkan tubuh yang berdenyut-denyut karena penat itu mengaso.

   Alangkah nikmtnya rebahan beglnil Bau tanah terasa sedap harum, bahkan bau daun-daun yang membusuk terasa sedap. Dan sinar matahari yang terpecah-pecah oleh celah-celah daun pohon itu tampak amat indah.

   "Sadhu-sadhu-sadhu....!"

   Bagaikan mendapat semangat dan tenaga baru, Puspa Dewi bangkit duduk dan ternyata kakek tadi kini sudah berdiri di depannya sambil tersenyum lebar. Betapa ramah senyum itu, dan betapa sabar penuh pengertian sinar mata yang lembut itu!

   Puspa Dewi lalu menyembah.

   "Eyang, sekiranya Eyang berkenan, sudilah kiranya Eyang menerima saya sebagai murid."

   "Bocah manis, sungguh besar sekali tekad dan semangatmu. Jarang ada seorang bocah, apalagi seorang wanita, memiliki tekad dan semangat seperti yang telah engkau perlihatkan. Aku akan menjadi seorang berhati keras dan kejam kalau tidak menuruti keinginanmu yang amat besar itu."

   "Aduh Eyang, terima kasih.... terima kasih....!"

   Puspa Dewi menyembah-nyembah dan.... ia menangis saking girang hatinya.

   Kakek itu lalu duduk di atas batu di bawah pohon, berhadapan dengan Puspa Dewi yang duduk bersimpuh di depannya. Semua rasa lelah tadi kini lenyap, tak terasa lagi oleh Puspa Dewi.

   "Anak baik, siapakah namamu?"

   "Nama saya Puspa Dewi, Eyang."

   "Siapa orang tuamu dan di mana mereka? Apakah di dusun tadi?"

   "Ibu saya bernama Nyi Lasmi dan tinggal di dusun Karang Tirta tadi, Eyang. Akan tetapi Ayah saya bernama Prasetyo dan tinggal di kota raja Kahuripan."

   Puspa Dewi sudah merasa bimbang apa yang harus ia ceritakan kalau kakek itu bertanya mengapa ayah dan ibunya berpisah. Akan tetapi agaknya kakek itu tidak hendak bertanya tentang hal itu.

   "Puspa Dewi, aku melihat bahwa engkau telah memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh walaupun agak liar. Akan tetapi sukurlah, sifat aji-ajimu itu tidak nempengaruhi jiwamu. Dari siapakah engkau mempelajari semua ilmu itu?"

   "Guru saya adalah Nyi Dewi Durgakumala yang sekarang menjadi permaisuri di Kerajaan Wura-wuri, Eyang."

   "Nyi Dewi Durgakumala? Shanti-shanti-shanti....! Pantas ilmumu seperti itu sifatnya. Akan tetapi sungguh engkau patut bersukur kepada Hyang Widhi bahwa watak Nyi Durgakumala tidak menurun kepadamu. Sekarang jawablah, mengapa engkau ingin sekali menjadi muridku7"

   "Saya melihat Eyang seorang yang sakti mandraguna dan saya ingin mempelajari ilmu yang lebih tinggi agar kuat untuk menghadapi semua tantangan orang-orang yang jahat seperti yang tadi menyerang saya. Saya pun ingin menggunakan tenaga saya untuk berbakti kepada Kahuripan. Sesungguhnya, guru saya, Nyi Durgakumala telah mengakui saya sebagai puteri angkatnya dan saya bahkan diangkat menjadi Sekar Kedaton di Wura-wuri. Akan tetapi karena saya melihat watak orang-orang Wura-wuri yang sesat dan saya .melihat kebijaksanaan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, maka saya mengambil keputusan untuk membela Kahuripan karena sebagai penduduk dusun Karang Tirta saya adalah kawula Kahuripan Eyang,"

   "Memang engkau berjodoh dengan aku, puspa Dewi. Akan tetapi, melihat tingkat kepandaianmu, aku hanya ingin memoles saja dan mencoba untuk melenyapkan sisa-sisa sifat liar dari ilmumu. Dan untuk itu, aku hanya dapat membimbingmu selama tiga bulan dan selanjutnya, Sang Hyang Widhi sendiri yang dengan kemahakuasaan-Nya akan menjadi guru dan pembimbingmu"

   ''Terima kasih, Eyang. Saya akan menaati semua bimbingan dan petunjuk Eyang"

   ''Sekarang karena aku sedang melakukan perjalanan dan tidak mempunyai tempat tinggal, carikan sebuah tempat tinggal yang baik untuk kita berdua tinggal selama tiga bulan, yang terpencil dan tidak berdekatan dengan orang lain."

   "Baik, Eyang. Silakan Eyang menunggu di sini, saya akan mencarikan tempat tinggal yang Eyang kehendaki itu."

   Setelah berkata demikian, biarpun tadi kedua kakinya demikian lelahnya sampai berdiri pun ia tidak mampu, kini timbul semangat yang demikian besarnya sehingga semua kelelahan itu tidak terasa lagi dan Puspa Dewi lalu mencari-cari sebuah tempat yang baik seperti yang dikehendaki kakek itu. Sambil mencari-cari di sekitar bukit-bukit Pegunungan Kidul, Puspa Dewi masih merasa kagum dan heran akan kesaktian kakek itu. Baru teringat olehnya bahwa ia belum mengetahui siapa nama kakek yang kini menjadi gurunya itu. Nanti saja, pikirnya, sekarang yang terpenting mencari tempat tinggal yang dibutuhkan gurunya itu.

   Akhirnya setelah matahari mulai condong ke barat, ia menemukan sebuah guha yang cukup luas dan bersih, lantainya juga merupakan batu datar sehingga cukup enak untuk dijadikan tempat tinggal. Juga guha itu terletak di sebuah bukit yang jauh dari dusun karena dari atas ia hanya melihat sebuah dusun kecil di kaki bukit. Guha itu terletak sejauh bukit dari tempat di mana ia meninggalkan kakek itu. Dengan girang Puspa Dewi siap untuk kembali ke tempat tadi dan memberitahukan gurunya bahwa ia sudah menemukan tempat tinggal yang baik. Akan tetapi baru saja ia keluar dari dalam guha yang diselidikinya tadi, kakek itu telah duduk bersila di atas sebuah batu besar yang berada tepat di depan guha!

   "Eyang Guru....!"

   Puspa Dewi berseru dengan girang, heran dan kagum sambil bersimpuh dan menyembah di depan batu yang diduduki kakek itu.

   Kakek itu tersenyum dan wajahnya berseri.

   "Bagus, Puspa Dewi, tempat yang kautemukan ini cukup indah, bersih dan hawanya sejuk sekali. Aku suka tempat ini, Puspa Dewi."

   "Saya bersyukur sekali, Eyang. Perkenankan saya mencari kayu-kayu, untuk membuat api unggun di waktu malam pengusir nyamuk dan mimik (kutu terbang kecil yang suka menggigit), dan rumput kering untuk tilam Eyang mengaso."

   Gurunya mengangguk dan dari wajah yang lembut itu dapat dilihat bahwa dia suka sekali kepada murid baru ini. Puspa Dewi lalu pergi lagi. Tanpa mengenal lelah ia mengumpulkan kayu dan rumput kering, lalu menggotongnya ke dalam guha. Kayu-kayu kering itu ia tumpuk di ujung guha dan rumput kering yang sudah ia pilih, yang benar-benar kering dan bersih dari tanah, ia tumpuk dan rapikan di atas bagian yang paling tinggi dari lantai guha itu. Tempat itu memang yang paling enak untuk berbaring atau duduk. Ia sendiri menaburkan rumput kering di sudut yang lain untuk tempat ia mengaso. Setelah selesai, ia mempersilakan gurunya memasuki guha. Kakek itu masuk ke dalam guha dan tersenyum-senyum melihat tumpukan kayu dan rumput kering itu.

   "Ini saya persiapkan untuk tempat Eyang mengaso."

   Katanya menunjuk ke arah tumpukan rumput di lantai yang paling tinggi itu. Gurunya mengangguk-angguk, lalu naik dan duduk bersila di atas tumpukan rumput kering.

   "Nyaman di sini."

   Katanya memuji.

   "Eyang, sekarang perkenankan saya mencari semua kebutuhan untuk makan dan minum Eyang. Saya akan turun bukit pergi ke dusun di bawah sana. Saudara-saudara di dusun itu pasti dapat menyediakan semua kebutuhan kita."

   "Hemm, bagaimana caranya engkau akan mendapatkan dari mereka? Orang-orang dusun itu hidupnya sudah serba sederhana bahkan kekurangan. Bagaimana mungkin mereka memberikan sebagian dari milik mereka yang sedikit itu kepadamu?"

   "Eyang, tentu saja saya tidak tega minta kepada mereka. Akan tetapi saya mempunyai perhiasan-perhiasan dari emas ini untuk ditukar dengan kebutuhan kita. Mereka dapat menjual emas ini di kota dan dapat membeli keperluan mereka yang lebih banyak."

   Puspa Dewi memperlihatkan perhiasannya berupa gelang kalung, cincin dan lain-lain yang amat mahal harganya kepada gurunya. Ia mendapatkan semua perhiasan yang amat indah dan mahal Itu dari Adipati Wura-wuri ketika ia berada di istana Wura-wuri sebagai Sekar Kedaton.

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Bagus, memang sepatutnya begitu. Para Saudara di dusun itu perlu diberi bantuan, bukan dimintai bantuan. Akan tetapi jangan pergi sekarang, Puspa Dewi. Sebentar lagi malam tiba. Besok saja pagi-pagi engkau cari semua kebutuhan itu. Yang penting sekarang cobalah cari dimana adanya air jernih untuk membersihkan badan dari debu. Pergilah ke sana."

   
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kakek itu menunjuk dengan tangan kirinya ke arah selatan.

   Puspa Dewi lalu keluar dari guha dan menuju ke arah yang ditunjuk gurunya. Dan... belum jauh ia pergi, ia melihat sumber air mancur dari sebuah batu besar. Sejenak ia berdiri tertegun memandang air mancur itu, seolah terpesona dan tidak percaya. Dewakah kakek guru-nya itu? Banyak keajaiban dilakukan kakek itu. Cara kakek itu membuat lima orang penyerangnya melarikan diri ketakutan karena semua serangan membalik dan memukul penyerangnya sendiri sebelum senjata penyerang itu menyentuh tubuhnya.

   Kemudian ketika ia melakukan pengejaran, kakek yang jalan santai itu tidak dapat ia susul padahal ia lari dengan pengerahan tenaga saktinya. Setelah itu, ketika ia mencari guha dan menemukannya, tahu-tahu gurunya telah berada di depan guha! Dan sekarang, gurunya itu seolah sudah tahu bahwa di sebelah selatan guha, tidak jauh dari situ, terdapat air yang dibutuhkan. Segera ia berlari memasuki guha dan menghadap gurunya,

   "Eyang, betul terdapat sebuah pancuran air jernih di sana!"

   "Bagus, biar aku membersihkan badan lebih dulu,"

   Kata kakek itu dan dia lalu bangkit berdiri dan melangkah perlahan keluar dari guha menuju pancuran itu. Puspa Dewi duduk termenung, masih terpesona oleh rasa kagum dan heran terhadap gurunya. Tampaknya demikian ringkih, namun tubuh yang tampak ringkih itu ternyata mengandung kekuatan yang amat hebat!

   Tak lama kemudian kakek itu memasuki guha kembali. Wajahnya segar dan basah, demikian pula tangan dan kakinya Dia tertawa lembut kepada Puspa Dewi

   "Sekarang giliranmu membersihkan badanmu, Puspa Dewi. Cepatlah sebelum keburu gelap."

   Dengan hati gembira Puspa Dewi mandi di pancuran. Biarpun ia tidak dapat berganti pakaian karena kepergian-nya secara mendadak sehingga tidak sempat membawa pakaian pengganti, namun tubuhnya terasa segar bukan main. Juga rasa lelahnya lenyap ketika ia minum air pancuran yang amat jernih itu.

   Ketika ia kembali ke dalam guha, dalam keremangan cuaca senja ia melihat gurunya duduk bersila di atas tumpukan rumput dengan kedua mata terpejam. Puspa Dewi tahu bahwa kakek itu sedang tenggelam dalam samadhi, maka ia tidak mau mengganggunya. Malam mulai gelap, bulan belum muncul. Ia membuat api unggun di mulut guha, lalu duduk dekat api unggun yang menghangatkan badan dan mengusir nyamuk.

   Puspa Dewi duduk melamun dekat api unggun. Karena melamun, Puspa Dewi lupa akan waktu. Seperti biasa, kalau dilupakan, waktu melesat cepat sekali tanpa terasa. Sesekali gadis itu menambah kayu kering agar api unggun itu tidak padam, la merasa perutnya menagih nasi, berkeruyuk seperti ayam hutan bersahut-sahutan.

   "Puspa Dewi, engkau lapar?"

   Puspa Dewi tersentak dan sadar dari lamunannya. Cepat ia menengok dan gurunya sudah berdiri di situ. Ia cepat bangkit berdiri dan mukanya terasa panas. Tentu mukanya berubah merah karena malu mendengar pertanyaan gurunya. Apakah gurunya itu mendengar bunyi dari dalam perutnya yang berkeruyuk tadi? Ia memandang wajah gurunya dan ikut tersenyum lalu mengangguk.

   "Benar, Eyang."

   "Ha-ha-ha."

   Kakek itu tertawa lembut.

   "Bagus sekali, Puspa Dewi. Memang orang tidak perlu munafik menyembunyikan kelemahannya. Bukan engkau saja, perutku ini pun menagih karena sudah tiga hari tiga malam tidak menerima makanan. Akan tetapi, kita tahan malam ini lagi. Besok engkau boleh mencari makanan untuk perut kita. Sekarang, padamkan api unggun itu. Sinarnya mengganggu keindahan sinar bulan yang sudah muncul. Mari kita duduk di atas batu depan guha."

   Mereka berdua duduk berhadapan di atas batu depan guha. Sejenak mereka berdiam diri dan sinar bulan membuat suasana seperti dalam dongeng atau seperti dalam dunia lain, penuh keindahan ajaib, mengandung rahasia keagungan yang meresap melalui udara yang sejuk sampai ke tulang sumsum.

   "Nah, sekarang kita sempat bercakap-cakap, Puspa Dewi. Engkau belum menceritakan semua pengalamanmu sampai engkau dikeroyok lima orang itu. Akan tetapi sebelum itu, adakah sesuatu yang ingin kau tanyakan kepadaku?"

   Kembali Puspa Dewi tertegun. Kakek ini seolah dapat menjenguk isi hatinya. Memang sejak siang tadi ia ingin sekali bertanya siapa adanya kakek yang luar biasa ini. Kini ia diberi kesempatan bertanya, maka ia segera berkata.

   "Mohon maaf, Eyang. Kalau saya boleh bertanya, siapakah asma (nama besar) Eyang? Eyang datang dari mana dan hendak ke mana? Maafkan kalau pertanyaan saya ini lancang."

   "Ha-ha, sama sekali tidak lancang, Puspa Dewi. Sudah sewajarnya seorang murid mengetahui nama gurunya. Aku adalah Resi Satyadharma, pertapaanku di Gunung Agung, Bali-dwipa. Aku sedang mengadakan perjalanan berkunjung ke Kahuripan dan kebetulan bertemu denganmu, maka aku menunda kunjunganku selama tiga bulan untuk membimbingmu."

   Nama itu tidak berkesan apa-apa dalam hati Puspa Dewi karena ia memang belum pernah mendengarnya. Ia tahu bahwa di Nusa Bali memang terdapat banyak orang-orang sakti.

   "Nah, sekarang ceritakanlah tentang pengalamanmu dan mengapa engkau tadi dikeroyok orang-orang itu."

   "Mereka berlima itu adalah para senopati Wura-wuri yang hendak memaksa saya kembali ke Wura-wuri, Eyang. Karena saya telah bersalah terhadap Wura-wuri dan saya tahu bahwa Guru saya Nyi Dewi Durgakumala pasti marah dan tidak mau mengampuni saya, maka saya menolak ketika diajak ke Wurawuri. Selain itu, juga saya telah mengambil kepastian untuk memutuskan semua hubungan saya dengan Nyi Dewi Durgakumala dan Kerajaan Wura-wuri."

   "Mengapa engkau dimusuhi mereka, Puspa Dewi?"

   "Karena saya telah mengkhianati Kerajaan Wura-wuri, Eyang."

   Kakek itu tersenyum lebar. Dia senang melihat betapa gadis itu amat jujur. Mudah dan enak saja mengakui bahwa ia telah menjadi pengkhianat!

   "Hemm, begitukah? Coba ceritakan."

   Puspa Dewi menceritakan betapa sebagai anak angkat Nyi Dewi Durgakumala ia menjadi Sekar Kedaton di Wura-wuri, kemudian ia diberi tugas oleh Sang Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala untuk mewakili Wura-Wuri dalam persekutuan dengan para kadipaten lain, membantu gerakan Pangeran Hendratama yang memberontak kepada Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi, setelah berhasil diselundupkan ke dalam istana Kerajaan Kahuripan, Ia membalik, membantu Kahuripan dan menentang persekutuan yang hendak menjatuhkan Sang Prabu Erlangga.

   "Demikianlah, Eyang. Karena saya telah mengkhianati Wura-wuri, maka saya tidak mau kembali kesana menerima hukuman."

   Kakek itu mengangguk-angguk setelah mendengarkan cerita Puspa Dewi yang panjang lebar itu.

   "Aku senang melihat kejujuranmu, Puspa Dewi. Akan tetapi katakan, mengapa engkau mengkhianati Wura-wuri di mana engkau telah diangkat menjadi Sekar Kedaton?"

   "Arnpun, Eyang. Tadinya memang saya hendak membela Wura-wuri karena saya telah menjadi Sekar Kedaton. Akan tetapi setelah berada di Kahuripan dan bertemu dengan Nurseta, Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga, saya menyadari akan kesalahan saya. Pertama, saya sesungguhnya adalah kawula Kahuripan. Ke dua, saya melihat betapa para pimpinan Kahuripan itu bijaksana sekali, sebaliknya saya melihat betapa persekutuan itu terdiri dari orang-orang jahat. Ketiga, saya memang sejak dulu selalu menentang perbuatan Nyi Dewi Durgakumala yang amat keji, walaupun ia menjadi guru saya. Karena semua itulah saya lalu membalik, membela Kahuripan dan menentang persekutuan jahat itu, Eyang.",

   "Sadhu-sadhu-sadhu, bersyukurlah kepada Sang Hyang Widhi yang telah memberimu kesadaran itu, Puspa Dewi sehingga engkau tidak terseret ke dalam kesesatan. Engkau telah berjasa besar untuk Kahuripan, mungkin pertemuanmu dengan aku ini merupakan imbalan jasamu. Ketahuilah, Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang telah kau bantu itu, mereka adalah murid-muridku, Puspa Dewi."

   "Ahhh....!"

   Puspa Dewi menyembah.

   "Sungguh merupakan anugerah besar sekali Eyang sudi menerimaku sebagai murid."

   Gadis itu merasa girang sekali. Pantas kakek ini demikian sakti mandraguna! Kiranya guru dari Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang amat sakti itu!

   Pada keesokan harinya, Puspa Dewi menuruni bukit dan mendapatkan semua kebutuhannya untuk makanan dan pengganti pakaiannya. Juga ia mendapatkan pakaian untuk pengganti pakaian gurunya. Sejak hari itu, Puspa Dewi mendapat gemblengan dari Sang Resi Satyadharma. Bukan hanya semua aji kesaktiannya yang dipoles oleh Sang Resi itu sehingga hilang sifat liar dan kejamnya, dan ia menerima pula ji pukulan yang dahsyat, latihan menghimpun tenaga sakti. Akan tetapi lebih daripada itu, Puspa Dewi menerima penggemblengan batin sehingga ia mampu menerima sentuhan kekuasaan Sang Hyang Widhi Wasa.

   Sang waktu meluncur dengan cepat sekali sehingga tanpa dirasakan dan disadari oleh Puspa Dewi, tahu-tahu tiga bulan telah lewat semenjak ia tinggal di gua bukit Pegunungan Kidul itu bersama Maha Resi Satyadharma. la baru menyadari ketika pada malam bulan purnama yang amat indah itu, Resi Satyadharma mengajaknya duduk di luar guha.

   "Nini, rupanya engkau tidak menyadari bahwa sudah tiga bulan kita berada di tempat ini."

   Kata Kakek itu setelah mereka seperti biasa, duduk saling berhadapan di atas batu-batu depan guha.

   Hati Puspa Dewi terkejut sekali menyadari bahwa saatnya tiba ia harus berpisah dari gurunya yang selama tiga bulan ini telah memberi banyak sekali kepadanya. Bukan hanya aji-aji kesaktian, akan tetapi terutama sekali kesadaran yang mengubah sama sekali keadaan batinnya sehingga ia menyadari betapa selama ini ia berdekatan dengan segala kesesatan yang dilakukan Nyi Dewi Durgakumala dan para tokoh lain. Akan tetapi, kekejutan itu sama sekali tidak tampak pada wajahnya, juga tidak membuatnya berduka karena ia menyadari sepenuhnya bahwa memang sudah seharusnya demikian. Ketika gurunya menerimanya sebagai murid, gurunya telah mengatakan bahwa dia hanya membimbingnya selama tiga bulan.

   "Benar, Eyang. Saya hampir melupakan waktu. Saya hanya mohon doa restu Eyang agar saya akan mampu menerapkan dalam kehidupan saya selanjutnya apa yang telah Eyang ajarkan selama ini."

   "Bagus, Puspa Dewi. Sekarang, pada saat terakhir kita berkumpul ini, aku ingin mengajakmu bercakap-cakap tentang kehidupan ini. Kalau ada hal-hal yang merisaukan hati dan membuatmu penasaran, tanyakanlah padaku, Nini. Aku akan mengajakmu bersama-sama meneliti, mempertimbangkan dan menyelidiki sehingga semua hal itu akan dapat kita mengerti dengan jelas."

   Puspa Dewi mengingat-ingat.

   "Memang banyak hal yang membuat saya merasa penasaran karena saya melihat ketidak-adilan terjadi di mana-mana, Eyang. Saya melihat banyak rakyat, terutama di dusun-dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Wura-wuri, hidup di bawah garis kemiskinan. Pemerintah Kerajaan Wura-wuri memungut pajak dan pungutan-pungutan iain yang besar kepada rakyat, menganjurkan rakyat Wura-wuri agar hidup seadanya karena Wura-wuri sedang membangun, yang katanya untuk kepentingan rakyat jelata pula. Akan tetapi apa yang saya lihat di istana Sang Adipati Bhismaprabawa dan juga gedung-gedung para pamong praja yang tinggi kedudukannya, kehidupan mereka serba mewah dan kaya raya. Rakyat tidak ada yang berani memprotes, karena perbuatan ini pasti mengakibatkan dia ditangkap, disiksa dan dihukum dituduh sebagai pemberontak. Eyang, bagaimana bisa terjadi seperti itu?"

   Sang Maha Resi Satyadharma menghela napas panjang.

   "Hal seperti itu selalu terjadi dalam kerajaan yang dipimpin orang-orang yang menjadi budak budak nafsunya sendiri, Nini. Nafsunya sendiri yang memperbudaknya sehingga dia tidak segan untuk menipu rakyat untuk memperkaya diri sendiri, menggunakan kekuasaannya sehingga sewenang-wenang, menerapkan aji mumpung (selagi ada kesempatan), menganggap diri sendiri yang paling berkuasa, lupa bahwa ada Yang Maha Kuasa yang menyaksikan setiap kejahatannya yang terselubung sikap manis membujuk bujuk itu. Lupa hahwa harta dan kekuasaan itu hanya merupakan embel

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   embel sementara saja, sewaktu-waktu harta dan kekuasaan akan meninggalkannya atau dia yang akan meninggalkan harta dan kekuasaan itu dan mempertanggung jawabkan semua perbuatannya di depan Sang Hyang Widhi yang Maha Adil dan Maha Kuasa."

   "Akan tetapi, Eyang. Mereka itu, dari yang paling tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah, adalah orang-orang pandai! Bahkan saya melihat banyak orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pendeta dan pertapa, ahli-ahli pengetahuan, ahli-ahli agama, melakukan banyak perbuatan yang buruk dan jahat. Tidak mungkin kalau mereka itu tidak tahu bahwa perbuatan mereka itu jahat. Bagaimana ini, Eyang?"

   "Itulah kuatnya pengaruh nafsu daya rendah, Nini. Nafsu jauh lebih kuat daripada pengetahuan. Hal ini sudah terbukti di mana-mana. Bahkan di jaman dahulu, dalam cerita Ramayana, yang bernama Sang Prabu Rahwana atau Dasamuka itu adalah seorang maharaja yang juga terkenal sebagai ahli weda, pengetahuannya tentang agama sudah lengkap. Akan tetapi dia pun terkenal sebagai seorang yang jahat dan kejam. Apakah dia tidak tahu bahwa segala kekejamannya itu berdosa dan jahat, berlawanan dengan pelajaran dalam kitab-kitab Weda? Tentu saja dia tahu! Juga buktinya di jaman sekarang, apakah para pamong praja yang melakukan pemerasan, kesewenang-wenangan dan pencurian harta itu tidak tahu bahwa perbuatan mereka jahat? Apakah para maling tidak tahu bahwa mendiri itu jahat? mereka semua itu tahu belaka, akan tetapi nafsu daya rendah menguasai hati akal pikiran mereka. Nafsu memberi iming-iming (umpan penarik) berupa kesenangan, yang enak-enak dan kenikmatan sehingga manusia tidak kuasa melawan kuasa daya rendah yang digerakkan iblis itu. Bahkan nafsu daya rendah dengan pandainya menjadi pembela dan membenarkan semua perbuatan jahat itu dengan alasan-alasan yang kedengarannya masuk akal."

   "Waduh, kalau begitu bagaimana baiknya bagi manusia untuk dapat menghindarkan diri dan mematikan nafsu daya rendah, Eyang?"

   "Ha-ha-ha, menghindarkan diri dan mematikan nafsu daya rendah? Tidak mungkin, Puspa Dewi! Nafsu-nafsu daya rendah itu sudah disertakan kepada kita sejak kita lahir! Nafsu merupakan abdi yang melayani kehidupan kita di dunia ini, yang mendatangkan segala keindahan pada panca indera kita, mendatangkan segala kenikmatan hidup sehingga kita dapat bersyukur dan selalu Ingat akan Kasih-sayang Sang Hyang Widhi kepada kita. Akan tetapi, justeru pelayan kita yang amat berguna bagi hidup kita itu akan menjadi sumber kesesatan yang akan menyeret kita ke dalam dosa kalau Iblis mempergunakannya. Karena ingin mengejar kesenangan yang dijadikan umpan oleh Iblis, kita menjadi lemah dan diperbudak oleh nafsu kita sendiri. Citalah yang menjadi budak dan melakukan apapun juga demi memperoleh kesenangan yang kita kejar-kejar. Nafsu adalah sebagian dari diri kita, tidak mungkin kita hindarkan atau matikan. Nafsu harus tetap menduduki tempatnya yang semula dan wajar- yaitu menjadi pelayan kita, barulah kehidupan kita dapat sesuai dengan kehendak Sang Hyang Widhi, yaitu berusaha untuk menyejahterakan dunia, bukan menyejahterakan diri pribadi, si-aku dan keluargaku, sahabatku, golonganku dan segala yang berbuntut dengan ku lainnya."

   "Lalu, apakah dalam kehidupan ini kita tidak boleh merasakan kesenangan. Eyang?"

   "Tentu saja boleh! Kesenangan itu merupakan berkat dari Sang Hyang Widhi. Sudah sejak Jahir kesenangan itu dianugerahkan kepada kita, melalui panca indrya kita dan diterima oleh hati sehingga kita merasa senang. Kesenangan yang wajar datangnya kita terima dengan penuh rasa syukur kepada Sang Pemberi rasa kesenangan itu. Akan tetapi kaiau kita sudah mengejar-ngejarnya karena diiming-imingi rasa serba enak dan nikmat, kita terperangkap ke dalam jebakan iblis. Untuk mengejar kesenangan kita lalu menggunakan segala macam cara, tidak memakai lagi pertimbangan dan tidak sungkan melakukan kejahatan yang merugikan orang lain."

   "Akan tetapi bagaimana caranya untuk dapat menundukkan nafsu daya rendah sehingga tetap menjadi pelayan kita dan tidak menjadi majikan kita, Eyang?"

   "Dengan hati akal pikiran, akan teramat sulit untuk dapat menundukkan nafsu. Akan tetapi dengan berserah diri lahir batin sepenuhnya kepada Sang Hyang Widhi, yaitu Sang Maha Pencipta yang juga menciptakan nafsu daya rendah sebagai peserta kita, maka seperti juga Raden Werkudara yang membuka pintu hatinya dan membiarkan Sang Dewaruci (Roh Suci) bertahta dalam dirinya, maka kita akan dibimbingnya dan dengan sendirinya nafsu daya rendah akan tunduk dan menduduki tempatnya yang semula, yaitu menjadi hamba manusia."

   "Terima kasih atas semua petunjuk Eyang. Akan tetapi ada satu hai lagi yang ingin saya ketahui, Eyang. Bagaimana caranya agar rakyat jelata hidup makmur?"

   "Satu-satunya syarat agar rakyat dapat hidup sejahtera adalah mutu para pemimpinnya. Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama telah menaati semua petunjukku. Mereka adalah pemimpin Kerajaan Kahuripan yang bijaksana. Kalau rajanya bijaksana, pamong-pamongnya tentu juga mengikuti tauladannya. Seorang raja dapat menjadi raja karena dipilih rakyatnya. Tanpa rakyat, apa artinya raja, apa artinya penguasa? Karena itu, seorang pemimpin harus menjadi suri tauladan. Kalau dia bijaksana, bawahannya pasti tidak berani melakukan penyelewengan karena raja tentu akan bertindak menghukumnya. Akan tetapi kalau rajanya sendiri menyeleweng, bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan? Raja yang bijaksana otomatis membuat para pamong menjadi bijaksana pula dan kebijaksanaannya itu juga dapat mengatur sehingga kehidupan rakyat menjadi sejahtera."

   "Kalau begitu, tidak ada lagi golongan rakyat yang kaya raya berlebihan dan tidak ada yang melarat dan miskin sekali, Eyang?"

   Kakek itu tersenyum.

   "Tentu saja bukan begitu, Puspa Dewi. Sudah semestinya ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang berhasil dalam usahanya yang jujur dan wajar sehingga menjadi kaya dan ada pula yang kurang berhasil. Akan tetapi kalau para pemimpin pandai mengatur, tidak akan ada rakyat yang demikian melaratnya sehingga tidak mendapatkan sandang pangan papan yang layak. Yang kaya harus mengangkat keadaan yang miskin dan mempergunakan modalnya untuk membuka lapangan kerja, membagikan sebagian keuntungannya kepada karyawannya sebagai imbalan karena itu merupakan hak mereka, adapun yang tidak kaya dan menjadi karyawan dapat menyumbangkan tenaga dan ketrampilannya untuk bekerja dengan jujur dan setia sehingga apa yang diusahakan dari perpaduan ini akan mengalami kemajuan untuk keuntungan mereka bersama. Kerajaan, seperti yang dilakukan Sang Prabu Erlangga, harus mengerahkan segala kemampuan untuk berbuat atas dasar kebenaran dan keadilan, mengangkat mereka yang lemah, membagi kesejahteraan secara adil sehingga semua orang merasa diperlakukan dengan adil dan akibatnya, seluruh rakyat mendukung pemerintah raja itu. Karena itu, bagi sebuah kerajaan, yang paling penting dan harus diutamakan adalah pembangunan watak dan budi pekertinya, terutama di kalangan para pamong prajanya. Kalau watak dan budi pekerti mereka sudah sehat, pembangunan apapun juga yang dilakukan pemerintah, pasti akan berjalan mulus dan baik tanpa ada gangguan. Mengertikah engkau, Puspa Dewi."

   "Akan tetapi, semua orang percaya akan Sang Hyang Widhi Wasa, semua orang beragama, akan tetapi mengapa begitu banyaknya orang yang mengaku beragama masih melakukan kejahatan, Eyang?"

   "Itulah, Nini, yang memprihatinkan. Agama hanya menjadi bahan pemikiran dan perdebatan belaka, hanya sampai dan berhenti di pikiran, tidak menyentuh jiwa. Bukan orang beragama yang melakukan kejahatan, akan tetapi pelaku kejahatan itu adalah seorang penjahat yang mengaku beragama' Kalau dia benar-benar beragama, menaati semua petunjuk agamanya, sudah pasti dia tidak akan melakukan kejahatan karena hal itu dilarang oleh agamanya. Maka, seperti telah kau rasakan sendiri setelah engkau membuka pintu hatimu dan membiarkan Kekuasaan Hyang Widhi memasuki sanubarimu, jiwamu terbimbing dan otomatis nafsu daya rendah akan tetap menjadi peserta dan pelayan. Nah, kurasa sudahi cukup jelas bagimu. Kini sudah tiba saatnya kita berpisah, Puspa Dewi."

   "Sekarang, Eyang? Bukankah besok pagi..."

   "Tidak, sekarang juga, Nini. Sudah tiba saatnya aku harus pergi. Jaga dirimu baik-baik."

   Kakek itu lalu bangkit berdiri.

   Sebelum Puspa Dewi sempal bicara lagi, Sang Maha Resi Satyadharma berkata.

   "Selamat tinggal dan selamat berpisah, Nini!"

   Dan tiba-tiba ada halimun putih yang menyelimuti tubuhnya sehingga dia tidak tampak lagi. Ketika halimun itu melayang seperti terbawa angin malam, kakek itu sudah tidak berada di situ lagi. Dengan hati terharu Puspa Dewi lalu menyembah penuh khidmat dan berbisik,

   "Eyang Guru, selamat jalan dan banyak terima kasih saya haturkan...."

   Puspa Dewi menghormati kepergian gurunya itu dengan duduk bersamadhi di situ sampai keesokan harinya. Barulah ia membersihkan badan di pancuran, berganti pakaian lalu membawa buntalan pakaiannya dan meninggalkan guha itu, meninggalkan semua kenangan selama tiga bulan hidup bersama Sang Maha Resi Satyadharma di guha itu.

   Pemuda itu berjalan dengan santai mendaki Gunung Arjuna. Usianya sekitar dua puluh dua tahun. Wajahnya sederhana namun ada sesuatu yang menarik hati dan menimbulkan rasa suka pada orang yang memandangnya. Mungkin sinar mata yang lembut dan senyumnya yang ramah penuh kesabaran itulah yang membuat orang tertarik. Tidak tampan seperti Arjuna, akan tetapi juga tidak buruk. Kulitnya agak gelap akan tetapi bersih. Tubuhnya sedang namun tegap dan jalannya tegak, lenggangnya seperti seekor harimau.

   Pemuda ini adalah Nurseta. Dia mendaki gunung itu karena tertarik akan keindahannya dan ingin sekali menikmati keindahan alam pegunungan itu. Dia berjalan perlahan sambil mengenang semua pengalaman hidupnya yang penuh liku-liku. Ketika kecil dia tinggal di dusun Karang Tirta bersama Ayah Ibunya. Akan tetapi, ketika dia berusia sepuluh tahun, tiba-tiba saja Ayah dan Ibunya pergi meninggalkan dia hidup seorang diri di dusun Karang Tirta. Dia hidup sebagai kacung dan pelayan pada Lurah dusun Karang Tirta itu, baru kemudian dia ketahui Ki Lurah itu jahat dan curang. Semua harta peninggalan orang tuanya diambil lurah itu. Ketika dia berusia sekitar enam belas tahun, dia diambil murid oleh seorang pertapa yang amat sakti, yaitu Empu Dewamurti dan diajak ke lereng Gunung Arjuna yang kini dia daki. Selain ingin menikmati keindahan alam, dia pun mengunjungi bekas tempat dia tinggal menjadi murid Empu Dewamurti selama kurang lebih lima tahun.

   Nurseta melanjutkan kenangannya. Setelah Empu Dewamurti wafat karena luka-luka setelah dikeroyok tiga orang datuk senopati Wura-wuri bernama Tri Kala (Tiga Kala) yang terdiri dari Kala Muka, Kala Manik dan Kala Teja, bersama Resi Bajrasakti datuk Kerajaan Wengker, dan Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul, dia memperabukan jenazah gurunya dan menyebarkan abunya di permukaan lereng Gunung Arjuna seperti yang dipesan gurunya sebelum wafat. Akan tetapi gurunya itu wanti-wanti (dengan tegas) meninggalkan pesan kepadanya agar dia jangan membalas dendam kepada orang-orang dari kerajaan itu. Tentu saja dia boleh membela Kahuripan dan menentang tiga kerajaan itu kalau mereka mengganggu Kahuripan dan boleh menentang mereka, akan tetapi tidak berdasar balas dendam.

   Setelah itu dia mengalami banyak suka duka dalam hidupnya, membela Kahuripan dan mengembalikan Keris Pusaka Megatantra, yang dia temukan di tegal Karang Tirta, kepada Sang Prabu Erlangga yang berhak karena keris itu adalah keris pusaka Mataram. Dia juga membela Kahuripan dari pengeroyokan kerajaan-kcrajaan kecil yang bersekutu dengan pemberontak Pangeran Hendratama sehingga semua pemberontak dan sekutunya dapat dipukul mundur.

   Dia telah bertemu dengan Senopati Sindukerta di kota raja. Senopati ini adalah kakeknya, ayah dari ibunya yang bernama Endang Sawitri. Ternyata dahulu, Senopati Sindukerta tidak setuju kalau puterinya itu menjadi isteri Dharmaguna, seorang sastrawan putera seorang pendeta miskin. Akan tetapi karena sudah saling mencinta, Endang Sawitri dan Dharmaguna melarikan diri berdua. Senopati Sindukerta menyuruh para perajurit mencari, namun tidak berhasil. Akhirnya suami isteri itu mempunyai seorang anak, yaitu dirinya. Mereka masih terus berpindah-pindah dalam pelarian mereka sampai akhirnya bersama Nurseta mereka tinggal di dusun Karang Tirta sampai dia berusia sepuluh tahun. Setelah dia menjadi dewasa dan menyelidiki, dia tahu bahwa orang tuanya pergi meninggalkan dia karena mereka dilaporkan oleh Ki Lurah Suramenggala yang jahat. Dia mendengar semua itu dari kakeknya, Senopati Sindukerta.

   Kini dia melakukan perjalanan untuk mencari ayah ibunya yang melarikan diri. Berbulan-bulan dia merantau, namun belum juga dia dapat menemukan mereka. Pada pagi hari ini, ketika lewat di kaki Gunung Arjuna, dia melihat pemandangan yang indah lalu teringat kepada mendiang Empu Dewamurti. Maka dia lalu mendaki gunung itu dengan santai sambil menikmati pemandangan alam yang dilewatinya. Tentu saja dia masih ingat akan jalan pendakian yang paling mudah karena dia sudah hafal. Selama lima tahun dia tinggal di lereng gunung itu dan seringkali naik turun melalui jalan pendakian itu.

   Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara melengking nyaring. Suara itu demikian tajam dan kuatnya sehingga dia harus cepat mengerahkan tenaga saktinya karena suara itu menyerang pendengarannya dan langsung menyerang jantung! Dia terkejut bukan main karena maklum bahwa siapa pun orangnya yang mengeluarkan lengkingan yang membawa getaran sehebat itu, tentu seorang sakti mandraguna! Dia lalu berlompatan mendaki lereng Gunung Arjuna, ke arah suara melengking yang mengeluarkan gaung panjang seolah suara setan penunggu jurang menyambut lengkingan tadi.

   Karena dia mempergunakan Aji Bayu Sakti, maka tubuhnya seolah melayang cepat sekali dan tak lama kemudian dia sudah mendekam di balik semak-semak memandang ke depan dengan jantung berdebar. Di depannya terbentang lapangan rumput yang landai dan di sana dia melihat dua orang saling berhadapan. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu berusia sekitar lima puluh tiga tahun, tubuhnya tinggi kurus, wajahnya masih memperlihatkan bekas ketampanannya. Jenggotnya panjang dan pakaiannya yang hanya kain putih dibelit-belitkan di tubuhnya itu menunjukkan bahwa dia seorang pertapa atau seorang pendeta. Gerak-geriknya lembut dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi pada saat itu, kedua matanya mengeluarkan sinar berkilat yang ditujukan kepada nenek yang berdiri di depannya dengan jarak kurang lebih lima tombak.

   Nurseta kini memandang ke arah nenek itu. Nenek itu berusia sekitar lima puluh satu tahun, masih tampak cantik, rambutnya panjang dan masih hitam, agak berombak dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Mulut yang bibirnya masih merah itu tersenyum mengejek matanya mencorong liar. Pakaiannya serba hitam! Tiba-tiba nenek itu membuka mulut dan terdengarlah lengkingan yang tinggi dan dahsyat sekali. Nurseta yang bersembunyi sejauh sepuluh tombak itu merasa jantungnya terguncang biarpun dia sudah melindungi dirinya dengan pengerahan tenaga saktinya.

   Akan tetapi kakek berpakaian putih itu sama sekali tidak tampak terpengaruh walaupun lengkingan itu merupakan serangan hebat yang langsung diarahkan kepadanya. Dia malah tersenyum dan setelah suara melengking itu berhenti, tinggal gaungnya saja yang menggema di bawah sana, kakek itu berkata, suaranya lembut namun dapat terdengar jelas oleh Nurseta.

   "Sudahlah, Gayatri, mengapa selama puluhan tahun engkau masih memelihara kebencian di dalam hatimu? Mengapa engkau membiarkan racun dendam itu merusak batinmu? Sadarlah bahwa kekuatan Setan bagaimanapun hebatnya tidak akan mampu menandingi Kekuasaan Sang Hyang Widhi. Pertentangan antara yang benar dan yang salah akhirnya akan dimenangkan oleh yang benar karena Sang Hyang Widhi selalu membimbing mereka yang benar. Sadar dan bertaubatlah, Ga-yatri, dan aku yakin bahwa Yang Maha Kasih dan Maha Pengampun tentu akan mengampuni dan membimbingmu ke arah jalan yang benar."

   "Ekadenta manusia sombong! Jangan mengira bahwa setelah aku kalah dahulu itu, aku tidak berani lagi menantangmu. Selama ini aku terus memperdalam ajianku dan sekali ini aku pasti akan dapat menebus semua kekalahanku yang sudah-sudah."

   "Gayatri, semangatmu itu memang mengagumkan. Engkau tidak pernah menyerah dan putus asa. Alangkah baiknya kalau semua orang memiliki semangat seperti yang kau miliki. Hanya sayang sekali, Gayatri, semangatmu itu kau pergunakan untuk tekadmu untuk membalas dendam yang merupakan keangkara-murkaan!"

   "Tidak perlu memberi wejangan padaku, Ekadenta! Sekarang dengar omonganku. Aku tidak akan melanggar janjiku yang dulu, yaitu aku pribadi tidak akan mengganggu Erlangga dan Narotama kalau aku kalah olehmu. Sebaliknya kalau engkau yang kalah, aku dapat melakukan apa saja sesuka hatiku!"

   "Hemm, engkau tidak akan dapat menang, Gayatri, karena nafsu dendam kemarahanmu meracuni dirimu sendiri dan membuatmu lemah."

   "Andaikata aku kalah juga, aku masih dapat melampiaskan dendamku kepada Erlangga dan Narotama, dua orang murid Resi Satyadharma itu! Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepada para pimpinan Kerajaan Wengker, aku akan membentuk pasukan siluman yang akan menghancurkan Kahuripan!"

   "Engkau boleh mencobanya, Gayatri. Engkau tidak akan dapat mengubah apa yang telah digariskan Sang Hyang Widhi Wasa. Engkau akan menyesal kelak. Sadar dan bertaubatlah, Gayatri, aku dengan senang hati akan membimbingmu dan menemanimu."

   "Tidak! Kecuali kalau engkau mau mengambil aku sebagai isterimu..."

   "Gayatri, mengapa engkau masih menginginkan hal itu? Kita bukan orang muda lagi."

   "Huh, engkau selalu saja menolak, karena itu sebelum dendamku kepada murid-murid Resi Satyadharma terlaksana, aku akan selalu hidup dalam penasaran."

   "Sekali lagi, sadarlah, Gayatri. Yakinlah bahwa kasih sayangku kepadamu tidak pernah hilang."

   

Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini