Ceritasilat Novel Online

Nurseta Satria Karang Tirta 7


Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Hemm, licik sekali. Anakmu itu memang telah berbalik membela Kahuripan dan menentang Wura-wuri di mana dia telah dijadikan Sekar Kedaton karena gurunya yang telah menjadi ibu angkatnya, Nyi Dewi Durgakumala telah menjadi permaisuri di Wura-wuri. Kalau engkau menjadi tawanan di Wura-wuri, bukan tidak mungkin Puspa Dewi akan menyerahkan diri untuk menyelamatkanmu Teruskan ceritamu, Nyi Lasmi."

   "Ketika hamba dibawa dengan paksa oleh gerombolan dari Wengker itu, muncul Ki Tejoranu dan Kim Lan ini. Mereka menolong hamba dan membuat gerombolan Wengker melarikan diri. Lalu kakak beradik ini hendak mengantarkan hamba kembali ke Karang Tirta, akan tetapi setelah tiba disini, muncul orang-orang Wengker dan orang-orang Wura-wuri mengeroyok mereka. Hamba ditangkap dan dilarikan Wirobento dan Wirobandrek, senopati Wengker itu dan Paduka membebaskan hamba."

   Kembali Narotama mengangguk-angguk.

   "Setelah aku mendengar semua yang telah terjadi, mari kita semua pergi ke Karang Tirta. Kalian juga, Ki Tejoranu dan Nona Kim Lan, karena aku ingin mendengar bagaimana kalian kakak beradik dapat berkumpul."

   Berjalanlah empat orang itu meninggalkan tempat itu menuju ke Karang Tirta. Dalam perjalanan itu, Ki Tejoranu dan Kim Lan secara bergantian menceritakan pengalaman mereka sampai mereka dapat saling bertemu. Setelah mereka selesai bercerita, Ki Patih Narotama berseru gembira.

   "Ah, jadi kalian juga baru saja saling berjumpa, yaitu ketika menolong Nyi Lasmi? Sungguh menggembirakan, aku ikut merasa gembira melihat kalian kakak beradik dapat berkumpul kembali."

   Hening sejenak dan mereka berjalan terus, tidak terlalu cepat karena di situ terdapat Nyi Lasmi yang lemah. Beberapa kali Kim Lan mengerling ke kanan, ke arah Ki Patih Narotama yang melangkah sambil menundukkan mukanya. Gadis ini merasa kagum bukan main kepada Ki Patih Narotama, bukan hanya karena tadi ia melihat betapa sakti mandraguna ki patih ini, akan tetapi juga melihat wajah dan sikapnya yang demikian agung penuh wibawa, pandang matanya yang lembut penuh pengertian namun mengandung ketajaman yang seolah dapat menjenguk ke dalam hatinya, dan senyumnya yang membuat wajah Ki Patih itu tampak demikian jantan dan gagah.

   Belum pernah selamanya ia bertemu dengan seorang pria seperti Ki Patih Narotama ini dan seketika, pada pertemuan pertama tadi, hati gadis ini sudah terkagum-kagum dan timbul perasaan mesra terhadap pria perkasa ini. Ki Patih Narotama berjalan sambil menundukkan mukanya. Dia sendiri tadi beberapa kali bertemu pandang dengan gadis ini dan diam-diam dia terkejut karena dia melihat betapa pandang mata gadis asing ini mengandung kagum dan cinta! Setelah ragu-ragu dan hatinya maju mundur beberapa lamanya, akhirnya Kim Lan memberanikan diri membuka mulut dan berkata dengan suara agak gemetar.

   "Gusti Patih Narotama..."

   Ki Patih Narotama menoleh ke kiri dan mereka saling bertemu pandang. Sejenak pandang mata bertaut, akan tetapi Kim Lan segera menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Wajah itu menjadi semakin manis ketika la menunduk malu-malu dengan kedua pipinya menjadi kemerahan seperti buah tomat masak.

   "Engkau ingin bicara apakah, Nona Kim Lan?"

   Tanya Narotama dengan sikap sabar ketika dia melihat gadis itu tersipu.

   Dengan hati panas karena amarah, Puspa Dewi berlari secepat terbang menuju ke Kadipaten Wengker. Ia bukan seorang gadis yang bodoh, bukan gadis yang nekat dan hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri. Ia tahu benar betapa besar bahayanya mendatangi Kadipaten Wengker di mana terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna. Baru Linggajaya yang kini menjadi Adipati Linggawijaya seorang saja sudah merupakan lawan yang amat tangguh baginya, ia sudah mendengar pula bahwa Dewi Mayangsari, isteri mendiang Adipati, Adhamapanuda yang kini menjadi permaisuri Linggawijaya, juga memiliki kesaktian yang tinggi. Belum lagi di sana terdapat Resi Bajrasakti guru Linggawijaya. Baru tiga orang ini saja kalau maju bersama mengeroyoknya, kecil sekali harapannya untuk dapat menang. Apalagi Kadipaten Wengker memiliki pasukan perajurit yang banyak jumlahnya.

   Pendeknya, memasuki Kadipaten Wengker amat berbahaya bagi keselamatannya. Ia bukan Puspa Dewi setahun yang lalu sebelum digembleng oleh Maha Resi Satyadharma. Kini ia adalah seorang gadis yang waspada dan tidak menuruti nafsu hati saja. Ia memang harus menolong ibunya, kalau perlu berkorban nyawa. Akan tetapi kalau ia nekat begitu saja menyerbu kadipaten, sebelum bertemu ibunya ia akan dikeroyok dan kalau ia tewas, berarti ibunya tidak akan tertolong!

   Kalau terjadi demikian, pengorbanannya tidak ada artinya sama sekali. Ia tidak mau mengambil resiko itu. Ia harus dapat menjaga diri agar ia dapat menolong ibunya. Maka, Puspa Dewi melakukan penyelidikan di luar kota raja Kadipaten Wengker. Di malam hari, dalam gelap, ia menangkap seorang perajurit Wengker, menyeretnya di belakang semak-semak yang gelap lalu memaksanya mengaku di mana adanya Nyi Lasmi.

   Karena ketakutan, perajurit itu mengaku bahwa Nyi Lasmi ditahan di rumah Tumengung Suramenggala. Akan tetapi penjagaannya rapat sekali karena Tumenggung Suramenggala takut kalau kalau puteri Nyi Lasmi yang bernama Puspa Dewi akan datang menolong ibunya. Bahkan di situ telah dipasang jebakan-jebakan untuk menjebak Puspa Dewi, demikian perajurit itu membuat pengakuan, sama sekali tidak mengira bahwa yang menangkapnya itu adalah Puspa Dewi sendiri!

   Tentu saja Puspa Dewi berlaku hati-hati. Hatinya masih tenang mendengar ibunya dalam keadaan selamat dan ditahan di rumah Tumenggung Suramenggala yang menurut keterangan perajurit itu akan menjadi selir Suramenggala lagi. Setelah mengorek keterangan dari perajurit jaga itu. Puspa Dewi melepaskannya dan tidak mengganggunya karena dia hanya seorang perajurit jaga yang tidak tahu menahu tentang penculikan atas diri Ibunya. Setiap malam ia menangkap seorang perajurit jaga. Pada malam ke tiga, ketika ada penjaga sedang meronda, Puspa Dewi berkelebat dekat dan sekali tampar perajurit jaga itu terpelanting pingsan. Puspa Dewi menyeretnya ke tempat gelap dan setelah orang itu siuman ia menghardik dengan suara yang dibuat besar seperti suara laki-laki.

   "Kalau engkau ingin hidup, hayo katakan dengan sebenarnya di mana adanya Nyi Lasmi yang ditawan oleh Tumenggung Suramenggala!"

   Perajurit penjaga yang merasa tubuhnya menjadi setengah lumpuh dan kini lehernya merasa ditempeli pedang yang tajam, tentu saja menjadi ketakutan.

   "Ampunkan saya..."

   Katanya dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.

   "Nyi Lasmi... tadi siang dibawa pergi... tidak berada di sini lagi..."

   "Apa? Jangan bohong kau!"

   Kini Puspa Dewi tidak meniru suara pria karena terkejut, Suaranya terdengar seperti biasa, suara wanita. Pedangnya menempel semakin ketat dan orang itu menjadi semakin ketakutan.

   "Ampun... saya tidak berbohong. Saya melihat sendiri... Nyi Lasmi dibawa pergi, dikawal Senopati Wirobento dan Wirobandrek yang memimpin selosin perajurit..."

   "Hayo katakan ke mana ia dibawa!"

   "Saya... saya hanya mendengar bahwa ia akan diserahkan kepada... Kadipaten Wura-wuri..."

   "Ke Wura-wuri...??"

   Puspa Dewi menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram lengan orang itu sehingga dia berteriak kesakitan.

   "Katakan yang benar, Jangan bohong! Mengapa ia dibawa ke Wura-wuri!"

   "Saya... saya tidak tahu... saya hanya mengetahui dari teman-teman. Ketika siang tadi saya melihat Nyi Lasmi dikawal empat belas orang itu keluar dari kadipaten, saya bertanya dan teman-teman yang bilang bahwa ia akan diserahkan kepada Kadipaten Wura-wuri..."

   Puspa Dewi menampar dengan tangan kirinya ke arah leher orang itu yang seketika pingsan. Ia segera meninggalkan tempat itu dan langsung saja ia meninggalkan daerah Wengker dan menuju ke arah Kadipaten Wura-wuri. Ia kini dapat menduga mengapa ibunya akan diserahkan kepada Kadipaten Wura-wuri. Ia dapat membayangkan apa yang akan dilakukan gurunya yang juga ibu angkatnya, Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi permaisuri Wura-wuri.

   GURUNYA itu tentu akan mempergunakan ibu kandungnya sebagai sandera untuk memaksa ia datang menghadap! Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Nyi Dewi Durgakumala terhadap dirinya kalau ia terpaksa datang menghadap. Gurunya yang telah menganggap ia sebagai anak sendiri itu amat menyayangnya. Hal ini ia ketahui benar. Akan tetapi ia telah mengkhianati Wura-wuri dan tentu saja hal ini membuat gurunya itu marah sekali dan ia tidak akan merasa heran kalau gurunya itu membencinya karena pengkhianatannya ini. la tidak dapat membayangkan mana yang lebih kuat antara rasa sayang dan rasa benci yang terkandung dalam hati Nyi Dewi Durgakumala terhadap dirinya.

   Seperti juga kalau ia memasuki Wengker, memasuki Wurawuri juga berarti memasuki sarang harimau. Seorang diri saja, tidak mungkin ia dapat melindungi dirinya sendiri, terutama diri ibunya kalau ia berada di kota raja Wura-wuri dan dianggap sebagai musuh dan dimusuhi. Akan tetapi, bagaimana pun juga masih ada harapan, yaitu rasa kasih dalam hati gurunya terhadap dirinya. Mungkin gurunya akan mengajukan dua pilihan, yaitu mengabdi kepada Wura-wuri dengan setia, atau ia dan ibunya akan dibunuh!

   Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya karena berbeda dengan di Wengker, di Wura-wuri ia masih mempunyai harapan besar mengingat akan kasih sayang Nyi Dewi Durgakumala terhadap dirinya. Dengan cepat Puspa Dewi lalu melanjutkan perjalanannya tanpa ragu lagi menuju ke Wura-wuri. Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya. Yang penting, ibu kandungnya harus dapat diselamatkan!

   "Aku harus menyelamatkannya!"

   Ucapan ini berulang kali dibisikkan mulut yang manis itu dan kedua kakinya yang mungil melangkah dengan cepat. Gadis itu bertubuh ramping, tingginya sedang, rambutnya panjang terurai sampai di pungggung, rambut yang hitam berombak. Rambut yang hitam itu membuat kulit lehernya tampak lebih putih mulus. Wajahnya bulat telur, matanya lebar bersinar terang penuh semangat, hidungnya mancung, ujungnya agak menjungat memberi kesan lucu, mulutnya berbentuk indah dan bibirnya menggairahkan. Pakaiannya dari sutera halus dan di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan gagang dan sarung terukir indah.

   "Aku harus menyelamatkan Ibu Lasmi untuk menebus kesalahan ayah sehingga selama belasan tahun Ibu Lasmi hidup menderita! Aku yang akan membawanya pulang!"

   Demikian, Niken Harni, gadis itu, berkata kepada dirinya sendiri. Niken Harni adalah seorang gadis yang pemberani. Ketika muncul Puspa Dewi sebagai kakak tirinya dan mendengar cerita tentang Nyi Lasmi, isteri ayahnya yang pertama, diam-diam ia sudah merasa penasaran kepada ayahnya dan merasa iba kepada Nyi Lasmi. Maka, ketika rombongan keluarga mereka tiba di Karang Tirta dan mendengar musibah yang menimpa Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, dan hilangnya Nyi Lasmi diculik orang-orang Kadipaten Wengker, ia marah sekali. Ketika mendengar bahwa Puspa Dewi sudah pergi melakukan pengejaran ke Wengker, ia pun diam-diam pergi tanpa pamit untuk menyusul Puspa Dewi dan berusaha untuk membebaskan Nyi Lasmi. Ia sengaja tidak pamit karena kalau ia pamit, tentu ayah dan kakeknya akan melarangnya!

   Bagaikan seekor anak harimau yang baru pertama kali keluar dari sarang orang tuanya, Niken Harni

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   sama sekali belum berpengalaman dan ia hanya mengandalkan keberaniannya saja, juga ia merasa bahwa ia telah memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh. Ayahnya sendiri yang menggemblengnya sejak kecil mengatakan bahwa ia berbakat besar dan saat itu semua ilmu ayahnya telah ia kuasai sehingga menurut ayahnya, tingkat ketangguhannya tidak berada di bawah ayahnya sendiri! Ia memiliki kepercayaan yang besar sekali akan kemampuannya sendiri, maka ketika akhirnya pada suatu siang ia tiba di kota raja Wengker, dengan berani ia memasuki pintu gerbang kadipaten yang dijaga belasan orang perajurit Wengker seperti memasuki rumah sendiri!

   Ia sama sekali tidak mengira bahwa mbakayunya, Puspa Dewi, kemarin malam telah meninggalkan Wengker, tidak tahu bahwa para pimpinan Wengker, yaitu Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, Resi Bajrasakti, dan Tumenggung Suramenggala baru saja pagi tadi mendapat berita yang membuat mereka terkejut dan marah sekali. Wirobento dan Wirobandrek pulang dan memberi laporan bahwa usaha mereka mengantar Nyi Lasmi ke Wura-wuri telah gagal karena muncul Ki Patih Narotama yang melindungi wanita itu!

   "Hei, berhenti!"

   Tiba-tiba Niken Harni mendengar bentakan dan tahu-tahu ada dua belas laki-laki berpakaian seragam telah menghadang di depannya, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang mukanya hitam sekali, kumisnya sekepal sebelah dan matanya melotot lebar. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh. Juga anak buah mereka yang terdiri dari laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu rata-rata bertubuh besar dan kokoh, akan tetapi wajah mereka tidak ada yang tampan!

   Memang sudah terkenal bahwa orang-orang Kadipaten Wengker bertubuh jelek dan sikapnya kasar. Agaknya kegagahan, kekasaran, dan kekuatan, bukan ketampanan yang menjadi kebanggaan mereka. Kalau wanitanya biasa-biasa saja, ada yang cantik dan ada juga yang buruk. Kalau gadis biasa, menghadapi dua belas orang laki-laki yang menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar dan pandang mata beringas itu, tentu sudah menjadi takut dan lemas, seperti seekor anak domba dikepung srigala. Akan tetapi Niken Harni bukan anak domba, melainkan anak harimau! Harimau muda yang belum mengenal takut! Melihat mereka menyeringai menjijikkan dan menghadangnya, ia berdiri tegak, kedua kakinya agak ter-pentang, kedua tangannya bertolak pinggang, kepala dikedikkan, matanya mencorong, hidungnya kembang kempis, semua ini pertanda bahwa Niken Harni sedang jengkel atau marah.

   "Huh, kalian ini segerombolon anjing srigala mau apa menggonggong dan menghadang perjalananku?"

   Dua belas orang penjaga itu bukan marah, melainkan terkejut dan heran sekali melihat gadis yang asing, gadis muda belia yang cantik jelita ini, berani bersikap dan bicara seperti itu terhadap mereka! Pimpinan mereka yang berkumis tebal itu tertawa bergelak menoleh kepada anak buahnya yang berada di belakangnya.

   "Hua-ha-ha-ha-ha! Kawan-kawan, kalian lihat dan dengar ini? Lucu sekali!"

   Dua belas orang itu tertawa semua. Kalau bukan gadis muda cantik jelita yang memaki mereka segerombolan srigala, tentu mereka sudah marah sekali dan mungkin mereka akan langsung membunuhnya.

   "Eh, bocah denok montrok-montrok, ayu kuning manis merak ati! Kalau kami segerombolan srigala, memang kami sedang kelaparan dan kebetulan sekali engkau, seekor domba betina muda berdaging lunak dan berdarah hangat. Hemhmm...!"

   Si Kumis Tebal itu menjilat-jilat bibirnya dan Niken Harni melihat betapa dua belas orang laki-laki kasar itu semua menjilati bibir mereka sendiri, seolah mereka itu memang segerombolan srigala yang mengilar untuk merobek-robek tubuh domba, megunyah dagingnya dan menjilati darahnya! Mengkirig (meremang) juga ia, akan tetapi ia makin marah.

   "Kalian jahanam bosan hidup! Hayo kembalikan Ibu Lasmi kepadaku!"

   Dan tiba-tiba gadis itu sudah menerjang dan mengamuk. Bagaikan lesus (angin puting beliung) tubuhnya berputaran, kedua pasang kaki tangannya menyambar-nyambar dan dua belas orang itu berteriak dan berpelantingan!

   Mereka itu hanyalah perajurit-perajurit biasa dari Wengker yang hanya mengandalkan penampilan angker dan tenaga kasar belaka, maka menghadapi terjangan Niken Harni yang memainkan ilmu silat yang cukup tangguh, tentu saja mereka kocar-kacir. Apalagi mereka sudah terkejut dan nyali mereka terbang mendengar gadis itu menuntut dikembalikannya ibunya, yaitu Nyi Lasmi. Tak salah lagi, ini tentu gadis yang kemunculannya ditakuti Tumenggung Suramenggala, yang kabarnya sakti mandraguna, puteri Nyi Lasmi.

   "Puspa Dewi...!"

   Dua belas orang yang semua telah merasakan tamparan atau tendangan gadis itu yang membuat mereka terpelanting berseru ketakutan lalu melarikan diri untuk melapor kepada Tumenggung Suramenggala!

   "Huh, tikus-tikus pengecut!"

   Niken Harni mengejek sambil tersenyum dan membusungkan dadanya yang sudah menonjol itu dengan bangga karena di situ terdapat banyak juga orang yang menyaksikan sepak terjangnya itu. Ia lalu memasuki kota raja Wengker dengan niat mencari rumah Tumenggung Suramenggala karena ia mendengar di Karang Tirta bahwa biang keladi penculikan itu adalah Tumenggung Suramenggala.

   Mendengar laporan para perajurit jaga bahwa Puspa Dewi memasuki Kadipaten Wengker, tentu saja Tumenggung Suramenggala menjadi terkejut dan ketakutan. Ia tahu betapa saktinya puteri Nyi Lasmi itu, maka cepat dia berlari ke istana Adipati Linggawijaya dan dengan muka pucat dan napas terengah-engah melapor kepada puteranya tentang munculnya Puspa Dewi yang ditakuti.

   "Aha, ia berani datang? Bagus, kebetulan sekali, Kanjeng Rama, aku tinggal menangkapnya saja!"

   Kata Adipati Linggawijaya yang sekarang memanggil ayahnya dengan sebutan "kanjeng rama"

   Seperti lajimnya keluarga "bangsawan". Harta dan pangkat biasanya memang mempengaruhi sikap orang sehingga ucapan dan gerak- geriknya berubah sama sekali, disesuaikan dengan harta atau pangkatnyat.

   "Puspa Dewi berani datang ke sini? Hemm, seperti ia sendiri saja wanita sakti di dunia ini! Kakangmas Adipati, biarlah aku yang akan membunuh gadis sombong itu!"

   Kata Dewi Mayangsari kepada suaminya.

   Linggawijaya tersenyum maklum. Ia maklum akan kesaktian isterinya. Akan tetapi dia tidak yakin isterinya akan mampu mengalahkan Puspa Dewi. Pula, dia tidak ingin Puspa Dewi dibunuh. Teringat akan kejelitaan Puspa Dewi, timbul berahinya.

   "Tidak, Diajeng. Tidak pantas kalau untuk menangkap scorang gadis pengacau saja engkau yang harus turun tangan sendiri, seolah-olah di Wengker sudah tidak ada yang mampu melawan Puspa Dewi! Biarlah, aku akan memimpin seregu perajurit pengawal istana untuk menangkapnya."

   "Bunuh saja dia!"

   Dewi Mayangsari berseru karena diam-diam ia membenci Puspa Dewi yang kabarnya cantik dan sakti, apalagi gadis itu telah menjadi satu di antara sebab utama gagalnya persekutuan yang menentang Kahuripan setahun yang lalu.

   "Sabarlah, Diajeng. Aku sendiri juga membencinya dan aku sendiri yang akan membunuhnya kalau saatnya tiba. Akan tetapi kita tidak boleh melupakan kenyataan bahwa ia adalah Sekar Kedaton Kadipaten Wura-wuri karena Nyi Dewi Durgakumala, permaisuri kerajaan itu adalah gurunya yang amat menyayangnya sehingga ia diangkat menjadi puterinya. Akan tetapi lebih menguntungkan kalau kita menangkapnya dan menyerahkannya kepada Wura-wuri."

   Dewi Mayangsari menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, ia mengerti bahwa ucapan suaminya itu memang benar. Kebencian pribadi memang kalau perlu harus dikesampingkan demi kepentingan kadipaten yang harus menggalang persatuan dengan para kadipaten lain agar kedudukan mereka kuat untuk melawan Kahuripan.

   "Sesukamulah, Kakangmas."

   Katanya.

   Adipati Linggawijaya lalu membawa seregu pasukan pengawal sebanyak dua belas orang. Tumenggung Suramenggala yang ingin melihat sendiri gadis yang ditakutinya itu tertangkap ikut pula menyertainya. Tidak ketinggalan Wirobento dan Wiroban-rek yang baru dating melaporkan bahwa Nyi Lasmi dirampas dan dilindungi Ki Patih Narotama. Empat belas orang ini bergegas pergi mencari gadis yang baru saja memasuki kota dan merobohkan dua belas orang penjaga di gapura itu. Pada waktu itu, Resi Bajrasakti tidak berada di kadipaten, maka dia tidak tahu akan urusan itu. Linggawijaya sengaja tidak memberitahu kepada guru dan penasehatnya itu, karena dia khawatir kalau-kalau kakek itu akan memperkuat pendapat istrinya, yaitu bahwa Puspa Dewi sebaiknya dibunuh saja.

   Sementara itu, Niken Harni yang bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan, mendapat keterangan dimana rumah Tumenggung Suramenggala. Cepat ia menuju ke rumah itu. Melihat tempat tinggal orang yang dicarinya itu merupakan gedung besar dan di gapura pekarangan yang luas depan gedung itu terdapat empat orang perajurit yang berjaga, ia langsung saja melangkah masuk!

   "He, siapakah Andika? Tidak boleh sembarangan masuk ke sini tanpa ijin!"

   Bentak kepala jaga yang tubuhnya tinggi kurus. Empat orang penjaga itu sudah berdiri menghadang di depan Niken Harni dengan sikap galak. Niken Harni yang dihadang mengerutkan alisnya, berdiri tegak bertolak pinggang dengan kedua tangan lalu bertanya.

   "Ijin siapa?"

   "Ijin dari kami tentu saja!"

   Bentak Si Tinggi Kurus.

   "Hemm, memangnya kamu yang mempunyai rumah ini?"

   Kepala jaga itu tertegun juga dan sejenak dia bingung tak dapat menjawab. Seorang temannya yang menolongnya, menjawab.

   "Rumah ini milik Gusti Tumenggung Suramenggala. Andika siapakah dan apakah Andika ingin menghadap Gusti Tumenggung?"

   Penjaga ini khawatir kalau-kalau gadis yang membawa pedang di punggungnya ini mempunyai hubungan dengan Tumenggung Suramenggala sehingga kalau mereka bersikap kurang hormat, mungkin saja akan di marahi majikan mereka. Mendengar ucapan ini, kemarahan Niken Harni mereda.

   "Bagus, kalau begitu cepat engkau melapor kepada Tumenggung Suramenggala, suruh dia keluar sekarang juga untuk menemui aku. Aku ingin bicara dengan dia!"

   Mendengar ucapan yang amat meremehkan Sang Tumenggung itu, kepala jaga yang tinggi kurus menjadi penasaran sekali.

   "Eh, Andika ini siapakah, berani memandang rendah Gusti Tumenggung dan menyuruh beliau keluar?"

   Niken Harni yang sejak tadi memang sudah jengkel dan tidak senang terhadap kepala jaga tinggi kurus itu, membentak,

   "Kamu tidak pantas mengenal namaku!"

   Si Tinggi Kurus marah, akan tetapi Niken Harni menggerakkan tangan kirinya sambil menghardik,

   "Pergilah,tikus busuk!"

   "Plakk...!"

   Si Tinggi Kurus mengaduh dan terpelanting roboh, lalu bangkit duduk terengah-engah sambil meraba pipinya yang membengkak.

   "Hayo, mau tidak kalian menyuruh Suramenggala keluar? Atau minta kutampari semua?"

   Seorang penjaga berkata.

   "Akan tetapi...beliau tadi keluar..."

   "Hemm, kamu tidak bohong?"

   "Tidak sungguh mati, saya bersumpah, beliau tidak berada di rumah...

   "

   "Kalau begitu, beritahu di mana adanya Nyi Lasmi!"

   Niken Harni membentak.

   "Nyi Lasmi...?"

   Orang itu terbelalak.

   "Saya... saya tidak tahu...

   "

   "Bohong...!"

   "Kami tidak tahu.....Nyi Lasmi tidak berada di sini...

   "

   "Plak-plak-plak...!"

   Niken Harni menyerang dengan cepat dan tiga orang itu pun terpelanting seperti orang pertama.

   "Biar aku cari sendiri!"

   Kata Niken Harni sambil melangkah menyeberangi pekarangan menuju gedung besar itu. Akan tetapi, baru saja ia tiba di bawah anak tangga pendopo, dari dalam berlarian keluar dua belas orang perajurit pengawal dipimpin oleh seorang perwira pasukan pengawal yang berusia sekltar empat puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan mukanya penuh bopeng (bekas cacar).

   "Berhenti!"

   Bentak perwira itu sambil mencabut goloknya. Dua belas orang anak buahnya berdiri di belakangnya dan sudah siap pula dengan senjata golok mereka.

   "Dari mana datangnya seorang gadis liar yang berani mengacau di sini? Siapa namamu?"

   "Katakan dulu siapa namamu!"

   Kata Niken Harni sambil memandang angkuh.

   Perwira pengawal itu memandang ringan kepada gadis cantik itu dan dia ingin menyombongkan dirinya, apalagi di depan dua belas orang anak buahnya. Bagaimana pun juga, dia terkenal kuat di antara para pengawal Tumenggung Suramenggala.

   "Mau tahu namaku? Aku Jayeng, dikenal dengan julukan Sardula Krastala (Macan Kuat)! Menyerahlah, daripada aku menggunakan kekerasan!"

   Hayo mengaku siapa namamu!"

   "Namamu Macan Cebol? Ketahuilah, aku disebut Liman Sakti (Gajah Sakti)! Nah, apakah seekor harimau cebol berani berlagak di depan seekor gajah sakti?"

   Niken Harni tersenyum mengejek.

   Disebut macan cebol, perwira yang bernama Jayeng itu marah sekali. Melihat gadis itu tidak memegang senjata, dia pun ingin memperlihatkan kegagahannya dan menyarungkan kembali goloknya.

   
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bocah kurang ajar!"

   Setelah membentak marah dia lalu melompat dan menerkam ke arah Niken Harni. Dia benar-benar melakukan gerakan menerkam, agaknya hendak pamer bahwa dia pantas mendapat julukan Macan Kuat. Niken Harni bergerak cepat, menggeser kaki ke kiri sambil mencondongkan tubuhnya sehingga tubuh pendek gendut yang menubruknya itu lewat di sampingnya dan sekali mendorong dengan tangan kirinya ke punggung lawan, perwira itu terbanting menelungkup.

   "Bresss...!"

   Tubuh pendek gendut itu terbanting keras dan ketika dia bangkit dengan marah, darah mengucur keluar dari hidungnya. Agaknya ketika terbanting menelungkup, hidungnya menghantam tanah berbatu dan mimisen (mengeluarkan darah)! Makin marahlah Jayeng. Kini dia tidak ingin menangkap dan main-main lagi, sambil mengeluarkan bentakan nyaring dia menyerang dengan pukulan yang kuat ke arah dada Niken Harni. Kembali gadis itu menggunakan kecepatan gerakannya untuk menghindar ke kanan dan secepat kilat kakinya mencuat ke arah perut yang gendut itu,

   "Wuuuutt... ngekk!"

   Yang berbunyi ngek itu adalah hawa yang keluar dari mulut Jayeng ketika perutnya yang gendut disambar kaki mungil namun amat kuat itu. Kini tubuhnya roboh terjengkang, dan dia bangkit sambil memegangi perutnya yang terasa mulas! Akan tetapi kemarahannya memuncak membuat dia tidak merasakan lagi kenyerian itu.

   "Srattt...!"

   Dia mencabut goloknya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang gadis yang bertangan kosong itu dengan bacokan golok ke arah leher Niken Harni! Serangan ini cukup berbahaya bagi Niken Harni. Gadis Itu tidak berani main-main mellhat betapa cepat dan kuatnya serangan golok itu. Ia melompat menghindar ke belakang dan cepat mencabut pedangnya. Jayeng yang merasa penasaran dan marah sekali karena merasa dipermainkan dihina di depan anak buahnya, melihat gadis itu melompat ke belakang, mengira bahwa lawannya itu mulai ketakutan. Maka dia pun mengejar dan memutar goloknya dengan buas.

   "Trangg...!"

   Golok bertemu pedang dan Jayeng tersentak kaget karena tangannya yang memegang golok tergetar. Akan tetapi dia menyerang lagi lebih hebat, mengerahkan semua tenaganya.

   "Cringgg...!"

   Kembali pedang di tangan Niken Harni menangkis dari samping, tidak langsung sehingga gadis itu tidak terlalu banyak menggunakan tenaga namun sudah membuat bacokan lawan melenceng. Niken Harni membalas dengan cepat dan Jayeng menjadi kewalahan. Terpaksa dia memutar goloknya membentuk perisai melindungi tubuhnya.

   Perkelahian menjadi semakin seru. Setelah Jayeng mempergunakan golok, ternyata Niken Harni tidak mudah mengalahkannya. Hal ini karena adalah memang ayahnya, Prasetyo atau Senopati Yudajaya, lebih menekankan pelajaran silat tangan kosong, terutama kecepatan gerakan kepada puterinya karena ilmu itu dimaksudkan untuk dapat membela diri. Bukan untuk menyerang atau membunuh lawan.

   Betapapun juga, karena gadis ini memang memiliki gerakan yang jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan lawannya, maka Jayeng yang merasa repot dan dia hampir tidak mendapat kesempatan untuk menyerang. Serangan gadis itu datang bertubi-tubi, pedangnya menjadi sinar bergulung-gulung membuat Jayeng merasa pusing.

   "Pergilah!"

   Bentak Niken Harni dan ketika pedangnya berkelebat ia tidak menyerang ke arah tubuh lawan, melainkan ke arah tangan Jayeng yang memegang golok.

   "Singgg... cratt!"

   Punggung tangan Jayeng terluka berdarah dan goloknya terlepas. Dia cepat membungkuk untuk mengambll goloknya, akan tetapi Niken Harni mengangkat lutut kanannya ke arah perut lawan.

   "Ngekk!"

   Jayeng mengaduh dan membungkuk, menekan perutnya dan pada saat itu, tangan kiri Niken Harni menyambar ke arah tengkuknya.

   "Kekk!"

   Tubuh pendek gendut itu terguling dan seketika klenger (pingsan)!

   Melihat pemimpin mereka roboh tak bergerak lagi, barulah dua belas orang perajurit pengawal Itu serentak mengepung dan menyerang Niken Harni. Tadi mereka diam saja karena selain mereka mengira bahwa Jayeng akan dapat mengalahkan gadis itu, juga Jayeng tidak memberi aba-aba kepada mereka untuk mengeroyok. Kini, mereka menghujani Niken Harni dengan bacokan golok mereka. Niken Harni mengamuk. Pedangnya menyambar-nyambar dan tangan kiri dibantu kakinya membagi-bagi tamparan dan tendangan.

   Delapan orang pengawal roboh dan yang empat orang lagi menjadi gentar. Mereka masih hendak menyerang, akan tetapi begitu Niken Harni menggerakkan pedang, diangkat ke atas mengancam, empat orang itu lari lintangpukang! Mereka yang ter-luka juga saling menolong dan meninggalkan pekarangan di depan pendopo. Jayeng juga sudah dipapah anak buahnya meninggalkan tempat itu. Niken Harni melompat ke dalam pendopo dan terus memasuki pintu depan gedung. Ketika melihat beberapa orang wanita berpakaian pelayan, ia menghardik.

   "Hayo katakan, di mana Nyi Lasmi?"

   "Hamba... hamba tidak tahu, Den Ajeng...

   "

   Kata mereka ketakutan.

   "Hemm, biar kucari sendiri!"

   Gadis itu dengan berani terus memasuki gedung dan memeriksa semua ruangan dan kamar.

   Setiap kali bertemu pelayan wanita, ia bertanya, akan tetapi jawaban mereka selalu tidak tahu. Akhirnya ia memasuki ruangan dalam yang luas dan di situ berkumpul isteri dan para selir Tumenggung Suramenggala. Para wanita ini tadi sudah ketakutan karena mendengar bahwa Puspa Dewi mengamuk dan mencari ibunya. Ketika Niken Harni memasuki ruangan itu, mereka semua merasa heran karena mereka sama sekali tidak mengenal gadis ini. Bukan Puspa Dewi yang tentu saja sudah mereka kenal baik, melainkan seorang gadis lain yang belum pernah mereka lihat. Niken Harni yang merasa jengkel karena tidak menemukan Nyi Lasmi yang juga belum pernah dilihatnya, melihat para wanita yang berpakaian mewah itu.

   "Hei, apakah kalian ini keluarga Suramenggala?"

   "Benar, kami adalah keluarganya, isteri-isterinya...

   "

   Niken Harni menggerakkan tangannya ke arah sebuah meja dari kayu yang berada di sudut ruangan.

   "Wuutt... brakkkkk!"

   Semua wanita menjadi ketakutan.

   "Hayo katakan, di mana adanya Nyi Lasmi? Kalau kalian tidak mau mengatakan, bukan meja yang akan kupukul pecah!"

   Para wanita itu menjadi pucat melihat betapa meja dari kayu tebal itu pecah berantakan terkena pukulan tangan yang mungil Itu.

   "Sungguh mati, kami tidak tahu. Kami hanya tahu bahwa Nyi Lasmi dibawa keluar dari rumah ini."

   Kata Isteri pertama Ki Suramenggala.

   "Dibawa ke mana?"

   "Kami tidak tahu. Hanya Tumenggung Suramenggala yang mengetahuinya."

   "Mana dia Si Suramenggala?"

   "Dia sedang keluar. Kalau nanti dia sudah kembali, tanyakan saja kepadanya."

   Kata isteri Ki Suramenggala yang mengharapkan suaminya segera datang membawa bala bantuan untuk menghadapi gadis yang liar dan galak ini.

   "Sebaiknya Andika menunggu di sini sebentar. Tak lama lagi dia tentu pulang."

   Niken Harni tidak menjawab, dan setelah menggeledah semua kamar dan tidak menemukan wanita yang mengaku bernama Nyi Lasmi, ia lalu keluar dan duduk di atas kursi yang berada dl pendopo! Ia duduk dengan tenang dan santai, benar-benar hendak menanti kembalinya Tumenggung Suramenggala untuk dipaksa mengakui di mana adanya Nyi Lasmi! Karena pendopo itu luas menghadap pekarangan, maka semilir angin mendatangkan kesejukan, ditambah lagi ia merasa lelah setelah berkelahi, maka begitu berhembus angina semilir, ia mulai mengantuk. Ia sendiri puteri seorang senopati, cucu seorang tumenggung Kahuripan, maka ia sudah terbiasa dengan gedung-gedung besar seperti itu dan merasa seperti di rumah sendiri!

   Beberapa orang pelayan wanita dan pengawal berindap-indap ke pintu dan mengintai. Mereka terheran-heran melihat gadis yang galak itu duduk di atas kursi, menyandarkan mukanya di atas meja di depannya, berbantalkan kedua lengannya dan jelas tampak sedang tidur! Niken Harni memang lelah dan mengantuk sekali. Selama dalam perjalanan dari Karang Tirta ke Wengker, ia hampir tidak pernah mengaso dan kurang sekali tidur. Lapar, lelah, dan ngantuk membuat ia cepat dapat pulas dengan enaknya walaupun sambil duduk!

   Biarpun ia tertidur, tangan kanannya masih memegang pedangnya yang diletakkan di atas meja. Para pengawal yang melihat ini, tetap saja tidak berani sembarangan turun tangan. Apalagi menyerang, bahkan mendekat pun mereka tidak berani. Tadi mereka masih beruntung karena di antara mereka tidak ada yang dibunuh gadis galak ini, hanya dilukai saja. Kalau gadis itu marah, mungkin saja ia mengamuk dan membunuh siapa saja yang mengganggunya.

   Para pengawal dan penghuni gedung tumenggungan itu merasa lega ketika mereka melihat Tumenggung Suramenggala dan serombongan orang itu memasuki pekarangan. Apalagi rombongan perajurit pengawal kadipaten itu dipimpin sendiri oleh Sang Adipati Linggawijaya! Seorang pengawal segera berlari menyambut dan melaporkan bahwa gadis yang mengamuk itu kini tertidur di dalam pendopo.

   "Tertidur...?"

   Adipati Linggawijaya bertanya heran.

   "Benar, Gusti. Gadis itu tertidur pulas di pendopo."

   Kepala pengawal yang gendut pendek, Jayeng, melapor.

   Adipati Linggawijaya lalu melangkah menuju ke pendopo menyeberangi pekarangan itu. Tumenggung Suramenggala yang takut terhadap Puspa Dew! Itu mengikuti dari belakang. Dua belas orang perajurit pengawal pillhan dari kadipaten juga mengikuti dari belakang dengan siap siaga. Setelah tiba di anak tangga pendopo, Linggawijaya memandang terheran-heran kepada gadis yang tertidur di atas kursi itu. Gadis itu sama sekali bukan Puspa Dewi! Juga Ki Suramenggala memandang heran.

   "Bukan ia..."

   Bisiknya.

   Adipati Linggawijaya mengangguk dan tersenyum. Menghadapi Puspa Dewi, dia masih meragukan apakah dia akan mampu mengalahkan gadis yang dia tahu amat sakti itu, maka dia membawa seregu pengawal pilihan. Akan tetapi gadis itu bukan Puspa Dewi dan tentu saja dia memandang rendah. Dan timbul kegembiraan hatinya melihat rambut hitam panjang terurai berombak dan kulit yang putih mulus itu.

   Wajah gadis itu belum tampak akan tetapi dia merasa hamper yakin bahwa gadis itu tentu cantik sekali. Dia memberi isarat kepada Tumenggung Suramenggala dan selosln perajurit agar tinggal saja di bawah anak tangga. Lalu dia mendaki anak tangga dengan ringan memasuki pendopo. Dengan jalan mengitari meja itu dia dapat melihat wajah Niken Harni dan jantung Adipati Linggawijaya berdebar. Cantik manis dan masih amat muda, lebih muda daripada Puspa Dewi!

   "Nimas yang ayu merak ati, bangunlah!"

   Ucapan Adipati Linggawijaya mengandung getaran kuat sehingga Niken Harni yang pulas itu seperti disentakkan dan ia terbangun. Sebagai seorang gadis puteri senopati yang terlatih, begitu terbangun dia sudah melompat berdiri dan siap melintangkan pedangnya di depan dada. Sebagian rambutnya yang terurai menutup mukanya sebelah kiri dan Adipati Linggawijaya terpesona. Cantik menggairahkan nian gadis ini!

   Dengan alis berkerut, mata mencorong tajam walaupun masih ada bekas kantuk di matanya, Niken Harni menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Linggawijaya.

   "Engkau Suramenggala?"

   Linggawijaya menggeleng kepala sambil tersenyum melihat sikap galak seperti kuda liar ini. Melihat pria Itu menggeleng, Niken Harni menyambung,

   "Ah, benar juga. Ki Suramenggala itu sudah tua dan engkau masih muda! Lalu siapa engkau?"

   Baru sekarang Niken Harni mendapat kenyataan bahwa laki-laki muda yang berdiri di depannya ini mengenakan pakaian yang amat mewah dan indah, lebih mewah daripada pakaian kakeknya yang tumenggung. Dan wajah itu tampan gagah sekali!

   "Aku? Aku adalah Linggawijaya, Adipati Wengker."

   Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbelalak sehingga sisa kantuknya menghilang.

   "Adipati Wengker? Hemm, tampan juga!"

   Kini Linggawijaya yang melebarkan matanya. Tidak salah dengarkah dia? Gadis itu begitu saja memuji ketampanannya.

   "Nimas, terima kasih atas pujianmu bahwa aku tampan!"

   Katanya gembira.

   "Wih! Jangan ge-er (gede rasa), ya? Aku sama sekali tidak memuji, hanya terheran. Aku mendengar bahwa pria di Wengker, itu rata-rata buruk mukanya, akan tetapi engkau yang jadi adipatinya tidak buruk!"

   Wajah Linggawijaya agak kemerahan, akan tetapi dia tidak marah, bahkan merasa betapa lucunya gadis yang bersikap galak dan ugal-ugalan ini.

   "Nimas, engkau cantik manis merak ati, juga gagah dan lucu sekali. Bolehkah aku mengetahui, siapa nama Andika dan mengapa Andika membikin ribut di Wengker?"

   Pertanyaan itu lembut, bahkan merayu.

   Niken Harni cemberut.

   "Namaku Niken Harni. Sesungguhnya aku tidak ingin membikin ribut. Akan tetapi mereka itu tidak mau mengatakan di mana adanya Nyi Lasmi, maka terpaksa kuhajar!"

   "Niken Harni, nama yang indah sekali, sesuai benar dengan orangnya. Kalau orang-orangku bersikap tidak semestinya, aku yang mintakan maaf, Nimas Niken. Akan tetapi mengapa Andika mencari Nyi Lasmi?"

   "Mengapa aku mencari Nyi Lasmi? Tentu saja aku mencarinya! Ia adalah Ibuku yang dibawa lari orang-orang Wengker yang jahat!"

   Linggawijaya terbelalak heran. Apakah Puspa Dewi mempunyai adik? Mustahil! Setahunya Nyi Lasmi hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Puspa Dewi!

   "Anak Nyi Lasmi? Benarkah ia itu Ibumu? Bagaimana mungkin?"

   "Eh, engkau tidak percaya, Adipati Linggawijaya? Kaukira aku berbohong? Selama hidupku aku tidak pernah berbohong kecuali... kecuali dulu ketika masih kecil!"

   "Hemm, ketika kecil suka bohong, ya?"

   "Tentu saja! Kalau aku melakukan kesalahan, aku berbohong agar jangan dihukum Ayah."

   "Akan tetapi, Nimas Niken Harni. Setahuku, Nyi Lasmi tidak mempunyai anak lain. Puterinya hanya seorang saja, yaitu Puspa Dewi."

   "Mbakayu Puspa Dewi itu kakakku, Kakak tiriku."

   "Tidak mungkin!"

   "Heh, Adipati Wengker, jangan main-main engkau! Aku tidak berbohong. Aku memang anak tiri Nyi Lasmi!"

   "Nimas, aku bilang tidak mungkin bukan tidak percaya kepadamu, aku hanya merasa bingung dan heran sekali karena aku mengenal benar Nyi Lasmi itu. Ia adalah Ibu tiriku!"

   "Eh? Ibu tirimu? Mana mungkin...!"

   "Hemm, agaknya Mbakayumu Puspa Dewi belum menceritakannya kepadamu. Ketahuilah bahwa Nyi Lasmi pernah menjadi isteri Ayah kandungku selama lima tahun."

   "Benarkah? Siapa itu Ayah kandungmu?"

   "Ayahku adalah Tumenggung Suramenggala!"

   "Jadi engkau anak Suramenggala yang jahat itu? Kebetulan sekali kalau engkau anak Suramenggala. Hayo katakan dimana adanya Nyi Lasmi yang diculik Suramenggala!"

   "Tenanglah, Nimas Niken Harni. Agaknya engkau tidak mengetahui persoalannya dan hanya mendengarkan satu pihak saja yang menjelek-jelekkan kami. Sarungkan pedangmu. Engkau berhadapan dengan sahabat, bukan musuh. Mari kita bicara dari hati ke hati dan kuperkenalkan engkau kepada Ayah kandungku."

   Ucapan Linggawijaya demikian lembut dan mengandung bujukan kuat sehingga biarpun tadinya ia ragu-ragu, akan tetapi akhirnya Niken Harni menyarungkan pedangnya.

   "Baik, aku akan mendengarkan apa yang hendak kau bicarakan."

   Adipati Linggawijaya lalu menoleh dan memberi isarat kepada Ki Suramenggala untuk memasuki pendopo. Para pengawal tinggal di bawah. Setelah Tumenggung Suramenggala berada di situ, Adipati Linggawijaya memperkenalkan.

   "Nimas Niken Harni, inilah Ayahku, Tumenggung Suramenggala, suami Nyi Lasmi. Kanjeng Rama, ini adalah Nimas Niken Harni yang mengaku sebagai anak tiri Ibu Lasmi."

   "Ah, benarkah?"

   Tumenggung Suramenggala yang tadi sudah mendengarkan percakapan mereka, memandang gadis itu dengan senyum ramah.

   "Niken Harni, bagaimana ceritanya bahwa Andika adalah anak tiri Diajeng Lasmi?"

   "Nimas, mari kita duduk dan bicara dengan enak dl ruangan dalam."

   Ajak Linggawijaya dengan suara lembut dan sikap halus.

   Niken Harni yang masih hijau dan sama sekali belum berpengalaman, hanya melihat sikap dan kata-kata orang untuk menilai baik buruknya orang itu, semakin tertarik dan ia menganggap pemuda yang telah menjadi Adipati Wengker itu seorang yang amat baik dan ramah, sopan pula. Maka bagaikan seekor domba yang tidak menyadari bahwa ia digiring memasuki rumah jagal, ia mengikuti ayah dan anak itu masuk ke ruangan dalam. Setelah berada di ruangan dalam yang cukup mewah dari gedung tumenggungan itu, Niken Harni dipersilakan duduk menghadapi sebuah meja besar dan dua orang ayah dan anak itu duduk di seberang meja.

   "Nah, apa yang hendak engkau bicarakan dengan aku, dan katakan di mana adanya Nyi Lasmi sekarang!"

   "Sabar, Nimas. Mari kuceritakan dari permulaannya agar engkau mengetahui duduknya perkara. Kurang lebih enam tujuh tahun yang lalu, Ayahku ini menjadi lurah di Karang Tirta. Nyi Lasmi ketika itu tinggal dl Karang Tirta sebagai seorang janda dengan seorang anak, yaitu Puspa Dewi. Kami saling mengenal dengan baik karena tinggal sedusun. Kemudian, Nyi Lasmi menjadi isteri Ayahku, maka dengan sendirinya Nyi Lasmi adalah Ibu tiriku. Selama lima tahun Nyi Lasmi menjadi anggota keluarga kami sampai setahun lebih yang lalu terpaksa Nyi Lasmi berpisah dari kami."

   "Hemm, aku sudah mendengar. Ki Suramenggala dicopot sebagai lurah oleh Gusti Patih Narotama dan diusir keluar dari Karang Tirta, bukan?"

   "Benar, akan tetapi peristiwa itu terjadi karena ayahku difitnah oleh beberapa orang dusun yang iri hati dan hendak merampas kedudukannya sebagai Lurah. Mereka itu antara lain Ki Pujo-saputro yang kemudian berhasil menjadi lurah. Ayahku difitnah sehingga Ki Patih Narotama tertipu dan mengusir Ayah dan sekeluarga kami. Atas bujukan Ki Pujosaputro pula, Ibu tiriku, Nyi Lasmi, tidak ikut keluarga kami yang plndah ke sini. Nah, tentu saja Ayahku merasa sakit hati kepada Ki Pujosaputro dan setelah Ayahku menjadi tumenggung di Wengker ini, Ayah lalu mengirim orang-orang untuk membalas dendam, membunuh Ki Pujosaputro sekeluarga dan mengajak Ibu Lasmi ke sini karena ia memang isteri Ayah."

   Mendengar cerita yang diucapkan Linggawijaya dengan gaya meyakinkan itu, Niken Harni menjadi ragu.

   "Kalau begitu, benar Ibu Lasmi berada di sini? Di mana ia? Aku ingin bertemu dan menanyakan kebenaran ceritamu itu kepadanya!"

   "Nanti dulu, Nimas. Ceritaku belum selesai. Sudah kuceritakan tadi bahwa Ibu Lasmi mempunyai seorang puteri, yaitu Puspa Dewi. Nah, ketika guru Puspa Dewi yang bernama Nyi Dewi Durgakumala menjadi permaisuri di Wurawuri, Puspa Dewi dengan sendirinya menjadi Sekar Kedaton (Puteri Istana) karena ia telah dianggap anak sendiri oleh Nyi Durgakumala. Maka, ketika terjadi perang antara Wura-wuri bersama kadipaten lain termasuk Wengker ini, Puspa Dewi sebagai Sekar Kedaton Wura-wuri menjadi wakil Wura-wuri untuk bekerja sama dengan kadipaten lain dalam usaha kami merobohkan Kahuripan. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa Puspa Dewi telah membalik, membela Kahuripan dan mengkhianati persekutuan kami, terutama mengkhianati Kerajaan Wura-wuri."

   "Hemm, sudah sepantasnya kalau Mbakayu Puspa Dewi membela Kahuripan karena ia adalah seorang kawula Kahuripan!"

   "Engkau benar, Nimas. Akan tetapi jangan lupa bahwa ia sudah diangkat menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri dan menjadi wakil Wura-wuri untuk menentang Kahuripan. Akan tetapi kemudian ia membalik dan ini berarti pengkhianatan bagi Wura-wuri. Tentu saja gurunya, Nyi Dewi Durgakumala marah sekali dan ia sudah mengancam akan menangkap murid atau anak angkat yang berkhianat itu untuk dihukum. Maka, setelah Ibu Lasmi berada di sini dan mendengar akan ancaman dari Wura-wuri terhadap puterinya Itu, Ibu Lasmi gelisah sekali. Akhirnya, setelah kami sekeluarga merundingkannya, Ibu Lasmi lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Wura-wuri, menemui Nyi Dewi Durgakumala, disertai surat dari aku dan Kanjeng Rama Tumenggung Suramenggala, dan mintakan maaf untuk Puspa Dewi. Nah, begitulah ceritanya, Nimas."

   "Jadi sekarang ini Ibu Lasmi tidak berada di sini?"

   "Beliau sedang pergi ke Wura-wuri, dikawal oleh sepasukan perajurit."

   "Wah, kalau begitu aku akan menyusul kesana!"

   "Nanti dulu, Nimas. Kami kira, hal itu amat tidak tepat dan bahkan dapat membahayakan Ibu Lasmi. Kalau engkau pergi ke Sana lalu terjadi kesalahpahaman, tentu usaha Ibu Lasmi mintakan maaf atas kesalahan Puspa Dewi menjadi gagal dan bukan mustahil beliau sendiri akan dijatuhi hukuman."

   "Eh, lalu bagaimana baiknya?"

   "Nimas, menurut perhitungan kami, dalam satu dua hari ini Ibu Lasmi pasti pulang ke sini. Sebaiknya kalau engkau menanti saja kemballnya di sini. Bagaimanapun juga engkau bukan orang lain bagi kami, masih terhitung sanak keluarga. Kita berdua sama-sama anak tiri Ibu Lasmi, bukan?"

   "Hemm.... kau pikir begitu sebaiknya?"

   "Tidak ada jalan lebih baik, Nimas. Mari kita makan dan selagi menanti para pelayan mempersiapkan makanan, kami ingin sekali mendengar tentang hubunganmu dengan Ibu Lasmi. Bagaimana duduknya perkara sehingga beliau kau sebut sebagai Ibu tirimu?"

   Niken Harni sudah benar-benar terpengaruh oleh sikap dan kata-kata Lingga-wijaya. Tumenggung Suramenggala sejak tadi hanya mendengarkan dan tidak mau ikut bicara, khawatir kalau-kalau dia salah omong. Dia mendengarkan dan merasa girang dan kagum sekali akan kecerdikan puteranya.

   "Begini ceritanya. Ibu Lasmi dulu adalah isteri dari Ayahku. Ketika itu, Ibu Lasmi tinggal di dusun dan Ayah bekerja di kota raja Kahuripan. Di kota raja Ayah menikah lagi dengan Ibuku. Hal ini membuat Ibu Lasmi meninggalkan dusun bersama puterinya, yaitu Mbakayu Puspa Dewi. Ayahku, dan seluruh keluarga Ibuku mencari-carinya tanpa hasil. Baru setelah Mbakayu Puspa Dewi datang mencari Ayah, kami tahu bahwa Ibu Lasmi berada di Karang Tirta. Kami semua pergi ke Karang Tirta dan ternyata terjadi peristiwa hilangnya Ibu Lasmi. Mbakayu Puspa Dewi melakukan pengejaran, dan aku menyusulnya. Apakah Mbakayu Puspa Dewi belum tiba di

   Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   sini?"

   Linggawijaya sudah mendengar pelaporan para perajurit yang dipaksa mengaku oleh Puspa Dewi dan perajurit terakhir yang ditangkap gadis itu melaporkan bahwa dia terpaksa memberitahu bahwa Nyi Lasmi dikawal pasukan ke Wurawuri. Maka, Linggawijaya dapat menduga bahwa tentu Puspa Dewi langsung melakukan pengejaran ke Wura-wuri. Bagaimanapun juga, Puspa Dewi merupakan ancaman dan kalau sekarang dia dapat menahan Niken Harni, dia dapat mempergunakan gadis ini sebagai sandera.

   "Ya, Puspa Dewi adikku itu sudah sampai di sini dan mendengar bahwa ibunya pergi ke Wura-wuri, ia menjadi khawatir dan pergi menyusulnya. Maka dari itu, Niken Harni, adikku yang manis, engkau menunggu saja di sini. Aku yakin besok atau lusa, Ibu Lasmi dan Adik Puspa Dewi tentu akan datang ke sini. Baru engkau dapat melihat sendiri betapa baik dan akrabnya hubungan kami satu sama lain."

   Niken Harni mengangguk-angguk. Memang dalam hatinya ia merasa bingung. Kalau menurut cerita mbakayu-nya itu, Ki Suramenggala dan Linggawijaya ini adalah orang-orang jahat. Akan tetapi sekarang ia melihat kenyataan bahwa pemuda ini sungguh halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, tampan menarik pula. Mana yang benar?

   "Biarlah aku menanti di sini dan melihat bagaimana hubungan antara kalian."

   Katanya seperti menjawab pertanyaan hatinya sendiri.

   Bukan main girangnya hati Linggawijaya dan Suramenggala. Tumenggung itu memesan para isterinya dan para pelayan untuk bersikap ramah dan baik terhadap Niken Harni, kemudian dia memperkenalkan keluarganya itu kepada Niken Harni. Tentu saja gadis ini semakin senang melihat keramahan mereka dan menganggap bahwa keluarga ini benar-benar baik hati. Sebuah kamar yang indah disediakan untuknya, dan keluarga itu mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan gadis ini.

   Gembira juga hati Niken Harni diajak makan minum semeriah itu. Kemudian, setelah makan minum sampai puas, ia di persilakan membersihkan diri mandi, lalu diberi kesempatan untuk mengaso, tidur di kamar yang disediakan untuknya. Karena memang ia merasa lelah dan lapar, juga pakaiannya dan tubuhnya kotor oleh debu, maka sekarang setelah makan dan mandi, sebentar saja Niken Harni sudah tertidur pulas dalam kamar itu!

   Menjelang sore hari Niken Harni terbangun. Ia merasa tubuhnya segar. Seorang Isteri selir Tumenggung Suramenggala memasuki kamar dan menaruh seperangkat pakaian di atas meja. Ia melangkah dengan hati-hati agar jangan membangunkan gadis itu. Akan tetapi Niken Harni sudah terbangun dan ia cepat bangkit duduk.

   "Bibi, apakah itu?"

   Tanyanya kepada wanita yang tadi sudah diperkenalkan kepadanya sebagai seorang di antara isteri-isteri Tumenggung Suramenggala.

   Wanita itu terkejut karena tidak mengira gadis itu sudah terbangun.

   "Ah, engkau sudah bangun?"

   Katanya sambil mengambil pakaian tadi dari atas meja.

   "Nak Niken Harni, ini kami sediakan pakaian pengganti untukmu. Mandi dan berganti pakaianlah agar engkau merasa segar. Hari telah hampir senja."

   "Wah, terima kasih, Bibi. Sungguh Andika sekalian di sini amat baik kepadaku, membuat aku menjadi sungkan."

   "Mengapa sungkan, Niken? Bagaimana pun juga, biarpun bukan langsung, engkau masih terhitung sanak keluarga kami. Nah, sekarang mandi dan bertukar pakaianlah. Kami menantimu di ruangan makan."

   "Makan lagi?"

   Seru Niken Harni.

   Wanita itu tersenyum. Manis sekali walaupun usianya sudah hampir empat puluh tahun.

   "Tentu saja, Niken. Tadi kita makan siang, dan nanti makan malam."

   "Wah, sudah setengah hari aku tertidur?"

   Niken Harni berseru kaget dan ia lalu berlari ke kamar mandi sambil membawa pakaian pengganti itu.

   Selir Ki Sura-menggala itu tertawa dan diam-diam ia merasa suka kepada gadis yang lincah dan bersikap polos itu. Tak lama kemudian, dengan pakaian yang baru dan bersih, dan rias wajah sederhaha, hanya rambut panjang yang habis dikeramas itu disisir dan digelung, kulit muka yang putih mulus itu dilapisi bedak tipis dan bibir yang merah alami tanpa gincu itu hanya dibasahi dengan lidah, sinom (anak rambut) halus melingkar di pelipis dan dahi, Niken Harni tampak cantik manis bukan main!

   Semua orang, terutama Linggawijaya yang sudah datang lagi setelah tadi pulang ke kadipaten, memandang kagum. Kalau dibiarkan, mungkin Linggawijaya akan mengilar seperti seekor srigala kelaparan melihat seekor domba muda yang dagingnya lembut dan darahnya hangat! Sambil tersenyum manis kepada semua orang yang sudah berkumpul di ruangan dalam depan kamarnya, Niken Harni memasuki ruangan itu.

   Adipati Linggawijaya bangkit berdiri menyambut Niken Harni dan berkata dengan ramah dan lembut.

   "Diajeng Niken Harni, mari kita makan malam bersama, sejak tadi sudah disediakan untuk kita."

   "Sang Adipati....

   "

   "Ahh, mengapa engkau menyebut aku begitu? Kita ini bagaimanapun juga masih terhitung kakak beradik, bukan? Engkau anak tiri Nyi Lasmi, akupun juga, maka engkau adalah Adikku dan sepatutnya engkau menyebut aku kakangmas!"

   Tegur Linggawijaya.

   "Hemm, baiklah, Kakangmas Adipati Linggawijaya!"

   Kata gadis itu sambil tersenyum lucu, seolah-olah ucapannya itu hanya gurauan saja.

   "Akan tetapi, Kakang-mas, mengapa semua anggota tidak ikut makan seperti siang tadi?"

   Katanya ketika melihat bahwa Linggawijaya hanya mengajak ia sendiri memasuki ruangan makan.

   "Tidak, Diajeng. Siang tadi kami memang sengaja mengadakan penyambutan kepadamu sehingga seluruh keluarga hadir dan ikut dalam perjamuan makan. Akan tetapi malam ini, aku ingin kita makan berdua karena banyak yang ingin kubicarakan denganmu."

   Niken Harni tidak membantah lagi karena tentu saja ia sebagai tamu hanya menurut saja kepada apa yang telah diatur oleh pihak tuan rumah. Dan Linggawijaya bukan tuan rumah sembarangan, melainkan Adipati Wengker, orang nomor satu di kadipaten itu!

   Biarpun dia ingin sekali memiliki tubuh gadis ini, namun Linggawijaya tidak mau mempergunakan pembius. Dia ingin agar Niken Harni menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela. Dia tahu bahwa gadis ini masih hijau, tentu akan mudah dia jatuhkan dengan rayuan mautnya!

   Mereka makan minum sambil bercakap-cakap.

   "Diajeng Niken, tadi engkau sudah menceritakan tentang hubunganmu dengan ibu kita Nyi Lasmi. Akan tetapi engkau belum menceritakan dengan jelas siapa nama Ayahmu dan siapa pula Ibu kandungmu. Mengingat bahwa kita masih saudara, maka sudah sepatutnya kalau aku mengetahui lebih banyak tentang orang tuamu."

   Sambil makan Niken Harni menceritakan keadaan orang tuanya.

   "Ayahku adalah senopati muda Kahuripan bernama Senopati Yudajaya, sebelum menjadi senopati bernama Prasetyo. Adapun Ibu kandungku bernama Dyah Mularsih, Puteri dari Eyang Tumenggung Jayatanu di Kahuripan. Kami semua tinggal di kota raja."

   "Wah, kiranya engkau keturunan senopati dan tumenggung! Pantas saja engkau begini cantik, agung, dan sakti!"

   Linggawijaya memuji.

   Niken Harni tersenyum, senang menerima pujian itu. Gadis mana yang tidak akan berbunga-bunga hatinya kalau mendapat pujian, apalagi pujian yang keluar dari mulut seorang pemuda yang selain tampan dan sakti, juga seorang adipati?

   "Ih, Kakangmas, bisa saja memuji orang. Engkau sendiri seorang raja, seorang adipati, yang berkuasa penuh di Wengker. Aku telah mengenalmu sebagai kakak, akan tetapi engkau belum memperkenalkan aku kepada keluargamu. Kakangmas Adipati. Isterimu tentu cantik jelita seperti bidadari!"

   "Ah, jauh dari persangkaanmu, Diajeng. Isteriku yang bernama Dewi Mayangsari sudah tua, dibandingkan dengan engkau, ia jauh kalah cantik!"

   Kedua pipi Niken Harni berubah kemerahan. Pujian ini sudah terlalu, pikirnya. Masa ia dipuji lebih cantik dari isteri adipati itu?

   "Hemm, jangan bohong, Kakangmas."

   "Tidak, Diajeng. Dewi Mayangsari permaisuriku itu sudah janda, usianya sudah hampir tiga puluh tahun sedangkan usiaku baru dua puluh satu tahun!"

   "Akan tetapi selir-selirmu tentu masih muda-muda dan cantik jelita!"

   "Salah lagi, Diajeng. Aku sama sekali tidak mempunyai seorang selir pun!"

   "Ihh! Mana mungkin? Engkau seorang adipati! Sedangkan ayahmu yang hanya seorang tumenggung saja begitu banyak selirnya! Jangan bohong, ah!"

   "Sungguh, Diajeng. Aku berani sumpah. Aku sungguh tidak mempunyai seorang pun selir. Siapa sih yang mau menjadi selir seorang seperti aku ini?"

   "Wah, jangan terlalu merendahkan dirimu, Kakangmas. Siapa yang mau menjadi selirmu? Engkau seorang adipati, masih muda, tampan dan gagah perkasa! Aku yakin, setiap orang gadis akan senang sekali menjadi selirmu!"

   

Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini