Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 44


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 44



Akan tetapi Ki Walangkoro adalah orang kasar. Dia hanya terbelalak dan merasa heran mengapa dadanya seperti didorong angin badai yang dahsyat tadi. Dia tidak mau mengerti bahkan menjadi marah karena malu. Dengan suara menggereng seperti harimau terluka ia menubruk maju, maksudnya hendak mencengkeram Retna Wills akan tetapi ia disambut oleh pukulan tangan Adiwijaya ke arah dadanya.

   "Desss!!"

   Ki Walangkoro menangkis dan kedua lengan yang amat kuat bertemu, akibatnya tubuh Adiwijaya terlempar ke belakang sedangkan Ki Walangkoro terhuyung saja.

   "Huah-ha-ha-ha! Adiwijaya, sedemikian saja kekuatanmu dan engkau berani menantang Ki Walangkoro?"

   Raksasa itu terbahak dan anak buahnya juga tertawa-tawa girang karena dalam gerakan pertama ini jelas tampak bahwa pemimpin mereka lebih besar tenaganya.

   Namun Retna Wills memandang tenang dan diam-diam ia merasa kagum dan senang terhadap pembantunya ini. Dalam pertemuan tenaga tadi, ia pun maklum bahwa dalam hal tenaga kasar, Ki Walangkoro memang kuat, akan tetapi biarpun tubuh pembantunya mencelat ke belakang,bukan sekali-kali karena terpental, melainkan karena sengaja pembantunya itu menggunakan tenaga lawan untuk meloncat ke belakang sehingga mematahkan daya pukulan lawan.

   Sebaliknya, Ki Walangkoro yang menerima pukulan itu dengan tangkisan yang didasari tenaga kasar, biarpun kelihatannya hanya terhuyung bahkan mengeluarkan ucapan mengejek, sebetulnya di dalam dada raksasa ini terasa sesak dan perutnya mual.

   "Tertawalah, Ki Walangkoro. Akan tetapi aku belum kalah!"

   Adiwijaya menjawab dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan amat cepatnya, kemudian begitu kaki tangannya bergerak, dia sudah mengirim pukulan bertubi"tubi dengan kedua tangan disusul tendangan kakinya mengarah lambung.

   "Eh-eh.......!"

   Ki Walangkoro mendengus, agak bingung menyaksikan lawannya bergerak begitu cepat sehingga tubuh lawannya seolah-olah menjadi empat.

   Dia menggerakkan kedua lengannya yang panjang dan kekar itu untuk menangkis, juga untuk balas menyerang dengan cengkeraman dan pukulan.

   Akan tetapi ia kalah cepat dan ketika ia terlambat menangkis, perutnya terkena tendangan Adiwijaya sehingga terdengar suara "bukkk!"

   Yang keras.

   Amat mengherankan ketika terlihat oleh para penonton akibat tendangan ini karena tubuh Adiwijaya sendiri yang terlempar ke belakang! Perut itu amat keras dan kuat, dan memang tubuh Ki Walangkoro memiliki kekebalan yang mengagumkan.

   "Ha-ha-ha! Mampuslah kau, Adiwijaya!"

   Ki Walangkoro kini menubruk maju seperti seekor gajah menggulingkan din. Baru terhimpit tubuh raksasa itu saja sudah akan cukup membuat tubuh Adiwijaya gepeng. Akan tetapi dengan cekatan sekali tubuh Adiwijaya bergulingan dan Ki Walangkoro menubruk tanah sehingga debu mengebul tebal.

   "Desss!"

   Sebelum Ki Walangkoro sempat mengelak ketika ia menerkam tanah tadi, Adiwijaya yang bergulingan sudah cepat menghantam ke arah tubuh raksasa itu sambil bergulingan. Gerakan ini tidak tersangka-sangka, bahkan Retna Wilis sendiri memandang kagum.

   Baru sekali ini ia melihat gaya yang sedemikian anehnya dalam pertempuran, mengelak sambil bergulingan akan tetapi dalam bergulung-"gulung ini dapat menyerang lawan. Ternyata cara bergulingan itu bukan sembarang mengelak, melainkan bergulingan dengan teratur, seperti langkah-langkah yang diperhitungkan.

   Retna Wills tidak tahu bahwa itulah Aji Trenggilingwesi yang memang menjadi keahlian Adiwijaya atau Raden Sindupati. Seperti pernah diceritakan dahulu, Adiwijaya ini dahulunya seorang perwira Jenggala yang sebetulnya sudah mendapat kepercayaan sang prabu dan menjadi pengawal istana.

   Ketika ia berani mengganggu seorang puteri, maka ia melarikan diri ke Balidwipa dan di sana dalam perantauannya, dia mempelajari bermacam ilmu kepandaian sehingga ia menjadi seorang sakti. Setelah memiliki kepandaian, dia menghambakan diri kepada Adipati Blambangan yang kemudian hancur oleh serbuan bala tentara gabungan dari Jenggala dan Panalu, yang dipimpin oleh Endang Patibroto dan Pangeran Darmokusumo.

   Kembali Raden Sindupati menjadi seorang kelana dan setelah berganti nama menjadi Warutama ia berhasil menduduki pangkat patih di Jenggala, menjadi sekutu Suminten dan Pangeran Kukutan.

   Kini, kembali dia berganti nama Adiwijaya, mukanya telah berubah, jenggotnya yang rapi dan gemuk menutupi luka di dagu, kumisnya pendek, sikapnya berubah sama sekali dan memang Raden Sindupati memiliki kepandaian menyamar. Kalau perlu, dia dapat menyamar sebagai seorang wanita!

   Kepandaian seperti ini pada waktu itu disebut aji mencala"putera-mencala-puteri.

   Pukulan Adiwijaya yang mengenai tengkuk Ki Walangkoro amat hebatnya. Biarpun raksasa ini terkenal kebal dan kuat, namun pukulan yang datangnya tak tersangka-sangka dan disertai tenaga sakti yang kuat, juga mengenai tengkuknya, membuat ia terjungkal dan beberapa lamanya dunia ini seperti diombang-ambingkan ombak besar baginya dan di slang hari itu turun hujan bintang!

   Ki Walangkoro bangkit dan menggoyang-goyang kepalanya yang besar, seperti seekor harimau menggoyang badannya yang basah, kemudian matanya menjadi merah saking marahnya ketika ia memandang Adiwijaya yang berdiri tenang di depannya sambil bertolak pinggang.

   Ia menggereng, kemudian menerjang maju seperti badai mengamuk. Kedua lengannya yang panjang menyambar dan sebelum Adiwijaya sempat mengelak, ia sudah kena ditangkap pinggangnya, diangkat dan dibanting.

   "Brukkkk.....!!"

   Tubuh Adiwijaya dibanting, debu mengebul dan Adiwijaya hanya gelayaran (terhuyung) saja karena ketika dibanting dia telah dapat menggunakan kegesitannya sehingga dapat meloncat lagi ke atas.

   "Engkau kuat sekali, Walangkoro!"

   Kata Adiwijaya dan pada saat Walangkoro menubruk lagi, dia sudah melesat ke samping, menyambar lengan raksasa itu dari kanan dan memutar lengan, terus mengangkat dan membanting.

   "Bresss...!!"

   Debu mengebul lebih tebal dan tubuh raksasa yang terbanting itu sejenak tak dapat bergerak.

   Kepala Ki Walangkoro pening dan setengah merangkak, barn ia dapat bangun kembali. Keheranan mulai terbayang di sepasang matanya yang lebar.

   Tanpa menjawab ia lalu maju memukul Adiwijaya yang hendak memperlihatkan kedigdayaannya kepada Retna Wills, sengaja mengerahkan tenaga dalam dan menerima pukulan lawan. Dadanya terpukul, tubuhnya bergoyang dan kakinya mundur dua langkah, akan tetapi mulutnya tetap tersenyum. Kemudian ia balas memukul dan sekali ini agaknya Ki Walangkoro juga ingin memamerkan kekebalannya.

   Ketika kepalan tangan Adiwijaya mengenai dadanya, tubuhnya hanya bergoyang, ia tidak melangkah mundur, akan tetapi napasnya menjadi sesak dan tanpa dapat ditahannya lagi ia menggunakan kedua tangan menekan-nekan dadanya!

   Para anak buah kedua pihak bersorak-sorak menyaksikan pertandingan hebat ini. Dan bagaikan dua ekor ayam jantan, dua orang perkasa ini lalu saling menerjang lagi, lebih dahsyat daripada tadi.

   Mereka saling pukul, saling tendang, bergumul, piting-memiting, banting-membanting sehingga debu mengebul tinggi. Diam-diam Retna Wills yang memperhatikan jalannya pertandingan, menjadi girang dan kagum. Dia maklum bahwa keduanya dapat menjadi pembantu -pembantunya yang cakap, maka dia tidak ingin melihat seorang di antara mereka tewas.

   Ketika melihat betapa makin lama Ki Walangkoro makin terdesak, makin sering menerima pukulan dan sudah terhuyung, ia mengerti bahwa kalau dilanjutkan, raksasa yang amat berani dan pantang mundur itu tentu akan tewas.

   "Cukuplah Paman Adiwijaya!"

   Ia berseru.

   Mendengar ini, Adiwijaya yang sudah hampir menang itu cepat meloncat ke belakang. Ia pun seorang cerdik, maklum bahwa junjungannya yang baru ini ingin menarik raksasa itu sebagai pembantu. Ia pun maklum bahwa dalam menyusun kekuatan, makin banyak pembantu yang digdaya makin baik, maka ia mundur sambil tersenyum dan berkata kepada Ki Walangkoro,

   "Walangkoro, andika mengagumkan sekali! Andika seorang yang digdaya!"

   Ki Walangkoro berdiri dengan napas terengah-engah dan tubuhnya yang besar dan kokoh seperti batang pohon beringin itu penuh keringat. Ia pun memandang kagum kepada Adiwijaya. Biarpun dia seorang yang kasar, namun dia tidak bodoh dan dia mengenal orang pandai, harus mengaku bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, dia tidak akan kuat bertahan lagi.

   Adiwijaya terlampau kuat baginya. Pukulan Adiwijaya tidak terlalu keras, akan tetapi mengandung tenaga mujijat yang seakan-akan menggetarkan isi dadanya. Selain itu, juga Adiwijaya memiliki kecepatan gerakan yang sukar ia lawan sehingga dalam pertandingan itu, dia lebih banyak menerima pukulan daripada memukul.

   "Heemmm....... harus kuakui bahwa andika amat digdaya. Kalau andika yang hendak merampas kedudukan di Wilis, aku suka mengalah dan suka menjadi pembantu andika karena jelas bahwa aku akan kalah kalau pertandingan dilanjutkan. Akan tetapi kalau dia ini....... hemmm, bagaimana seorang laki-laki perkasa macam kita ini harus menghambakan diri kepada seorang wanita yang masih bocah?"

   "Ha-ha, Walangkoro, sungguh percuma saja menganggap dirimu digdaya dan berpengalaman kalau matamu masih begitu buta tidak dapat melihat seorang sakti mandraguna,"

   Kata Adiwijaya sambil tertawa.

   Melihat kepala gerombolan Wilis itu agaknya belum mau tunduk kepadanya, Retna Wilis lalu melangkah maju dan berkata,

   "Paman Walangkoro, kalau dalam segebrakan saja aku dapat merobohkan engkau, apakah engkau masih belum percaya akan kesaktianku?"

   "Apa? Andika akan merobohkan aku dalam segebrakan saja? Wahai, puteri muda belia yang suaranya nyaring melebihi halilintar, yang bicaranya tinggi mengatasi puncak Wilis! Kalau betul demikian, aku Ki Walangkoro akan menyembah telapak kaki andika!"

   Kata Ki Walangkoro sambil menyeringai, tidak percaya akan ada orang yang sanggup merobohkannya dalam segebrakan saja, apalagi seorang wanita setengah dewasa seperti Retna Wilis.

   Retna Wilis tersenyum, akan tetapi senyumnya hanya sedetik, cemerlang seperti menyambarnya kilat di angkasa.

   "Kalau begitu, mari kita coba, Paman Walangkoro. Seranglah aku!"

   Walangkoro dapat mengerti bahwa kalau tidak memiliki kesaktian yang hebat, tidak nanti dara remaja ini berani menantang seperti itu. Dia tahu bahwa dara ini tentu digdaya sekali dan agaknya dia tidak akan dapat menang, buktinya Adiwijaya yang demikian sakti pun menjadi hambanya.

   Akan tetapi, kini dia tidak mengharapkan menang, melainkan hendak mempertahankan diri agar tidak sampai roboh dalam segebrakan. Betapapun juga, dia tetap penasaran tidak dapat percaya bahwa dara ini betapapun saktinya, akan mampu merobohkannya dalam segebrakan.

   Maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, memusatkan perhatiannya dan bersiap menjaga diri sekokoh mungkin dengan memasang aji kekebalannya di seluruh tubuh sambil menjaga bagian tubuh yang tak dapat ia tembusi dengan aji kekebalan.

   "Jaga serangan!!"

   Ia berseru keras untuk mengguncang ketenangan lawan, tubuhnya yang tinggi besar menerjang ke depan seperti serudukan seeker banteng.

   Terjangan ini kuat dan cepat, lengan kanan yang panjang dipergunakan untuk mendorong atau memukul ke arah perut Retna Wilis, sedang lengan kiri tetap menjaga depan tubuh sendiri, kedua kaki kokoh kuat menjaga segala kemungkinan.

   Pendeknya, dalam penyerangan ini, Walangkoro hanya mempergunakan setengah bagian -tenaga dan perhatiannya untuk menyerang karena yang setengahnya lagi ia pergunakan untuk menjaga diri agar jangan sampai kena dirobohkan lawan dalam segebrakan.

   Retna Wills memandang lagak lawan dan mulutnya mengembangkan senyum tipis. ia tetap tenang menghadapi terjangan lawannya sambil mengukur jarak. Setelah tubuh lawan yang menerjangnya

   cukup dekat, hanya satu meter lagi di depannya, dara perkasa ini menggerakkan tangan kirinya seperti orang menampar dari kiri.

   Akan tetapi gerakan ini bukanlah tamparan biasa saja karena dara ini telah mengerahkan hawa sakti dari tubuhnya, menyalurkan tenaga mujijat ke dalam tangan yang menampar dcngan Aji Pancaroba.

   Kekuatan yang terkandung dalam aji ini seperti taufan mengamuk dan memang daya pukulan jarak jauh ini seperti hembusan angin taufan yang dahsyat sekali. Ketika kena disambar angin pukulan Pancaroba, seketika tubuh raksasa itu terpelanting, tak kuasa lagi kedua kakinya menahan tubuhnya dan ia roboh bergulingan!

   Terdengar Adiwijaya tertawa bergelak dan diam-diam ia memuji diri sendiri yang berpemandangan awas, sudah percaya dan yakin akan kesaktian luar biasa dari dara ini, tidak seperti Walangkoro yang hendak mengujinya. Diam-"diam Adiwijaya selain merasa kagum juga ngeri menyaksikan betapa seorang dara semuda itu telah memiliki kesaktian sehebat itu!

   Akan tetapi Walangkoro adalah seorang yang bodoh dan kasar. Dia merasa terlalu aneh dapat dirobohkan benar"benar oleh gadis itu dalam segebrakan saja dan hal ini membuatnya penasaran sekali. ia meloncat bangun dengan mata merah saking marah dan penasaran.

   "Wahai puteri yang sakti mandraguna! Andika menggunakan aji setan!"

   "Hemm, bagaimanakah kehendakmu, Paman Walangkoro?"

   "Coba andika merobohkan aku dengan tenaga, dengan tebalnya kulit dan kerasnya tulang!"

   "Andika keras kepala! Majulah!"

   Retna Wilis menantang.

   Walangkoro mendengus dan meloncat ke depan, kini ia menggunakan kedua lengannya yang sebesar kaki manusia biasa itu untuk memukul sambil mengerahkan tenaganya. Retna Wilis menyambut dengan tenang, mengangkat kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menangkis kedua pukulan tangan lawan itu, tangannya yang miring menebas ke arah kedua lengan lawan yang besar dan kuat.

   "Wuut-wuut krek-krekkk!"

   Walangkoro menggereng kesakitan dan terhuyung ke belakang, kedua lengannya tergantung di kanan kiri dengan tulang patah ia terbelalak, tidak merintih, memandang kepada Retna Wilis dengan mata terbelalak penuh keheranan, kekagetan, dan kekaguman yang mendalam.

   Kemudian, kedua kakinya bertekuk lutut dan ia menggerakkan kedua lengannya yang sudah patah tulangnya, berusaha menyembah kaku karena lengannya seperti lumpuh, mulutnya berkata,

   "Hamba Walangkoro menghaturkan sembah kepada Gusti Puteri Retna Wilis yang mulai, saat ini menjadi junjungan dan sesembahan hamba."

   Retna Wilis tersenyum girang melihat Walangkoro yang berlutut menyembahnya, di belakang raksasa ini semua anak buah gerombolan Wilis juga berlutut dan menyembah dengan muka membayangkan rasa takut.

   "Baiklah, Paman Walangkoro. Aku menerima engkau dan semua anak buahmu menjadi pasukanku. Engkau membantu Paman Adiwijaya, adapun para Paman Wilis ketiganya menjadi pembantu-pembantumu. Sekarang mari kita naik ke puncak."

   Berangkatlah mereka semua mendaki puncak Wilis setelah Walangkoro dibantu oleh Adiwijaya membalut kedua lengannya yang patah tulangnya dan oleh Adiwijaya diberi obat daun-daun yang mempunyai khasiat mempercepat penyambungan tulang patah.

   Mulai hari itu, Retna Wilis menjadi pemimpin pasukan yang jumlahnya hampir dua ratus orang terdiri dari bekas-"bekas anak buah pasukan Jenggala dan anak buah Padepokan Wilis yang ditambah anak buah gerombolan Wilis.

   Akan tetapi Retna Wills tidak mempergunakan nama padepokan, apalagi gerombolan, dia kini mendirikan sebuah "kerajaan"

   Kecil, yang disebut Kerajaan Wilis.

   Adapun Retna Wilis sendiri menjadi ratunya yang oleh para anak buahnya disebut Gusti Puteri Retna Wilis. Mulailah dara remaja yang amat luar biasa ini menghimpun kekuatan dan mulailah ia memimpin sendiri anak buahnya untuk menaklukkan seluruh daerah yang termasuk wilayah.

   Banyak sekali gerombolan perampok ia taklukkan dan dijadikan anak buahnya, bahkan dusun-dusun di kaki Wilis mulai ia serbu, yang menentang dibunuh, yang takluk dijadikan anak buahnya sehingga dalam waktu beberapa bulan saja.

   "kerajaan"

   Wilis memiliki pasukan yang besar jumlahnya, ribuan orang, dan di lereng-lereng Wilis kini dibangun dusun-dusun baru yang dijadikan tempat tinggal para anak buahnya beserta keluarga mereka.

   Retna Wilis sendiri hanya memiliki kesaktian yang luar biasa. Tentu saja dalam hal memimpin orang sedemikian banyaknya sebagai seorang ratu, ia tidak mempunyai pengalaman sama sekali.

   Tidaklah mudah memimpin orang-orang yang terdiri dari pelbagai macam golongan itu, bahkan amat sukar menundukkan orang-orang yang tadinya adalah gerombolan perampok yang ganas.

   Akan tetapi, dengan bantuan Adiwijaya yang berpengalaman sebagai Patih Jenggala, dan Walangkoro yang sudah biasa memimpin gerombolan perampok, Kerajaan Wilis ini dapat berjalan dengan maju pesat.

   Bukan saja dapat mempergunakan tenaga para rakyatnya, juga dapat mendatangkan kesejahteraan.

   Sudah terlalu lama rakyat tertindas oleh pembesar-pembesar lalim, apalagi ketika Jenggala mengalami kesuraman, dan banyak terjadi perang selama beberapa tahun ini. Kini mereka menyaksikan kemajuan Kerajaan Wilis, timbul harapan mereka untuk dapat hidup baik dan makin banyaklah rakyat dari daerah-"daerah yang agak jauh berdatangan untuk mencari perlindungan di bawah pimpinan gusti puteri yang dikabarkan sebagai penjelmaan seorang Dewi yang turun dari kahyangan dan, yang bertugas mendatangkan kebahagian, bagi kehidupan mereka yang tertindas!

   Dalam waktu beberapa bulan saja nama Kerajaan Wilis yang dipimpin oleh puteri sakti mandraguna itu menjadl terkenal sampai jauh dari Wilis. Daerah yang jauh di sekeliling Wilis menjadi geger dan gempar karena munculnya puteri jelita dengan pasukannya yang tidak berapa besar itu memang hebat sekali, setiap kali keluar pasti menaklukkan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya dari kabar tentang kesaktian yang luar biasa dari Puteri Retna Wilis ditambahi bumbu-bumbu yang berlebihan mengagetkan semua orang yang mendengarnya.

   Di antara daerah yang agak jauh, hanya daerah Ponorogo yang masih belum takluk kepada Kerajaan Wilis.

   Daerah-daerah lain, yang lebih jauh sekali pun dari Ponorogo, banyak yang takluk tanpa diperangi.

   Akan tetapi Ponorogo lain lagi. Daerah ini memang merupakan daerah yang kuat dan yang sejak dahulu juga tidak tunduk kepada Kerajaan Mataram lama. Hal ini adalah karena Ponorogo mempunyai banyak orang sakti dan kerajaan-kerajaan besar menganggap lebih aman untuk menarik Ponorogo sebagai kerajaan sahabat daripada sebagal musuh atau taklukan.

   Andaikata ditaklukkan sekali pun, sifat tokoh-tokohnya yang selalu tidak mau ditundukkan akan mengadakan pemberontakan setiap ada kesempatan. Warok-warok Ponorogo memiliki kesaktlan yang menggiriskan dan Bala tentaranya amat kuat.

   Pada waktu itu, yang menjadi adipati di Ponorogo adalah Adipati Diroprakosa, seorang yang berusia empat puluh tahun lebih, selain sakti mandraguna, juga pandai mengatur pemerintahan.

   Sang adipati ini berhubungan baik sekali dengan Kerajaan Panjalu dan karena maklum akan kejayaan Panjalu, maka sungguhpuri tidak secara resmi,namun Adipati Diroprakosa menganggap Panjalu sebagai kerajaan induk, atau sebagai kerajaan yang menjadi atasannya. Apalagi setelah ia menikah dengan puteri Ki Patih Suroyudo, hubungan antara Kadipaten Ponorogo dengan Panjalu menjadi makin baik.

   Seperti keadaan Ponorogo semenjak dahulu, pada waktu itu Ponorogo juga mempunyai banyak sekali jagoan-jagoan yang membantu kadipaten, bahkan mereka itu, warok-"warok yang digdaya, menjadi tulang punggung yang menegakkan ketenaran nama Kadipaten Ponorogo.

   Yang mengepalai para warok yang menjadi tokoh yang berpengaruh adalah Ki Warok Surobledug. Bukan karena dia yang paling sakti di antara para warok, sama sekali tidak karena masih ada yang lebih sakti daripada Ki Surobledug, akan tetapi karena Ki Surobledug adalah paman sang adipati, maka tentu saja dia berpengaruh dan berkuasa.

   Di samping ini, Surobledug seorang yang bijaksana dan pandai bersiasat di samping banyak sekali sahabat-sahabatnya di antara para orang sakti.

   Pada waktu itu, Adipati Ponorogo dan para warok sudah mendengar akan nama kerajaan baru di puncak Wilis, dan mengikuti perkembangan kerajaan itu dengan penuh perhatian.

   Ki Surobledug sudah berkali-kali berunding dengan sang adipati dan para tokoh lain dan mulailah Kadipaten Ponorogo mempersiapkan din untuk menanggulangi Kerajaan Wilis yang makin lama makin meluas wilayahnya itu. Penjagaan diperkuat, pasukan-"pasukan dipersiapkan di perbatasan yang menjadi wilayah Ponorogo, setiap pasukan diperkuat oleh beberapa orang warok yang memiliki ilmu kedigdayaan.

   "Dahulu Wilis dipimpin oleh Sang Puteri Endang Patibroto dan pada saat Padepokan Wilis masih berdiri, kita tidak pernah bentrok dengan Padepokan Wilis. Bahkan kita mengalami bantuan-bantuan para ksatria Wilis yang membersihkan perampok-perampok yang mengacau di perbatasan,"

   Demikian Adipati Diroprakosa berkata.

   "Kemudian terdengar berita bahwa Sang Puteri Endang Patibroto yang namanya sudah terkenal di kolong langit meninggalkan Wilis, kemudian Wilis dikuasai oleh gerombolan liar yang dipimpin oleh seorang yang bernama Ki Walangkoro. Kita sudah mendengar akan keganasan mereka, akan tetapi karena mereka itu yang menamakan diri Gerombolan Wilis tidak pernah berani mengganggu wilayah kita, maka kita pun mendiamkan saja. Sekarang, terjadi perubahan besar di sana dan telah didirikan kerajaan yang menaklukkan banyak daerah. Agaknya mereka itu tentu akan menyerang kita, hanya menanti saatnya saja."

   "Benarlah demikian, Puteranda Adipati,"

   Kata Ki Warok Surobledug.

   "Kabarnya yang memimpin Kerajaan Wilis juga seorang puteri, malah kabarnya masih remaja akan tetapi memiliki kesaktian yang dahsyat. Sungguh mengherankan dan saya ingin sekali menyaksikan sampai di mana kebenaran kabar-kabar yang kita dengar."

   "Kakang Suro, aku mendengar bahwa puteri itu memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia, seperti siluman, bisa menghilang dan kalau membunuh lawan tidak usah menyentuh tubuh lawan itu!"

   Kata Ki Warok Dwipasakti, seorang warok yang bertubuh kecil kurus akan tetapi sesungguhnya warok ini amat sakti karena dia adalah murid pertama dari Ki Ageng Kelud, seorang panembahan yang sakti mandraguna.

   Biarpun usianya masih muda, akan tetapi warok kurus ini sesungguhnya memiliki kedigdayaan yang melebihi Ki Surobledug sendiri.

   "Hemm, berita-berita seperti itu sukar dipercaya, suka dilebih-lebihkan. Betapapun pandainya seorang manusia kalau dia melakukan hal-hal yang tidak benar, akhirnya tentu dia akan jatuh. Kita tidak perlu takut,"

   Kata Ki Surobledug penasaran.

   "Wawasan Paman Suro benar dan tepat sekali,"

   Kata Adipati Diroprakosa.

   "Memang kita tidak usah gentar menghadapi kekuasaan yang sewenang-wenang. Apalagi Kerajaan Panjalu tentu tidak akan tinggal diam kalau kekuasaan itu makin merajalela. Betapapun juga, kita tidak boleh lengah dan sebaiknya kalau kita mengadakan penyelidikan ke sana."

   Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya para tokoh Ponorogo itu ketika penyelidikan dilakukan, mereka mendengar bahwa sang puteri yang kini menguasai Wilis, yang menjadi ratu di sana dan bernama Puteri Retna Wilis, adalah puteri dari Endang Patibroto!

   "Ajaib!"

   Seru Ki Surobledug ketika sang adipati mengadakan persidangan lagi.

   "Puteri Endang Patibroto adalah seorang puteri sakti mandraguna dan bijaksana, yang mendirikan Padepokan Wilis dan anak buahnya adalah satria Wilis, akan tetapi mengapa kini puterinya menjadi ratu yang menaklukkan seluruh daerah sekitarnya dan kabarnya amat ganas membunuh orang-orang yang tidak mau tunduk kepadanya?"

   "Mengherankan,"

   Kata sang adipati.

   "Akan tetapi kita harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Sebaiknya kalau saya mengirim utusan ke sana, selain untuk memperkenalkan diri juga untuk mengajukan penawaran persahabatan. Kalau memang benar Kerajaan Wills adalah puteri Endang Patibroto, sekali-kali kita tidak boleh memusuhinya. Apalagi mengingat bahwa puteri Endang Patibroto yang kita hormati itu adalah seorang tokoh Jenggala dan Panjalu."

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar,"

   Ki Surobledug mengangguk mempenarkan.

   "Malah kabarnya dalam perang yang dilakukan oleh Panjalu untuk menundukkan kekuasaan jahat di Jenggala, Puteri Endang Patibroto juga ikut berjasa."

   "Sekarang begini, Paman Surobledug. Paman sendiri memimpin pasukan kecil pergi mendaki puncak Wilis, menghadap sang ratu untuk menyelidiki sendiri, membawa salam perkenalan dan hormat dari saya disertai beberapa barang hadiah sebagai tanda persahabatan."

   Demikianlah, sebuah pasukan terdiri dari dua losin orang dibentuk dan pada keesokan harinya, berangkatlah Ki Warok Surobledug sendiri memimpin pasukannya pergi ke Wilis. Baru saja tiba di perbatasan, mereka telah dihadang oleh pasukan Wilis yang pakaiannya serba hijau, terdiri dari orang-orang kasar yang kelihatannya kuat.

   Melihat pasukan yang terdiri dari lima puluh orang yang berpakaian serba hijau itu, Ki Surobledug lalu memberi tanda kepada pasukannya yang berpakaian serba hitam untuk berhenti, kemudian ia melangkah maju dan memberi hormat kepada komandan pasukan Wilis.

   "Hei, pasukan dari manakah ini berani melanggar wilayah kami? Apakah tidak tahu bahwa wilayah ini adalah perbatasan yang dikuasai Kerajaan Wilis dan tidak boleh ada orang asing memasukinya tanpa izin?"

   Berkata komandan pasukan yang masih muda dan berkumis tebal.

   Biarpun komandan pasukan yang berkumis tebal itu termasuk seorang laki-laki gagah yang tinggi besar bentuk tubuhnya, namun dibandingkan dengan Ki Warok Surobledug, ia masih kelihatan kecil! Ki Surobledug menjawab dengan suara halus akan tetapi dengan sikap gagah,

   "Kami adalah pasukan utusan sang adipati di Ponorogo, bermaksud naik ke puncak Wilis untuk menghadap Sang Ratu Wilis."

   Pasukan berpakaian hijau itu mengeluarkan suara berisik ketika mendengar bahwa pasukan pakaian hitam ini adalah pasukan Pcnorogo yang terkenal. Kemudian perwira berkumis itu berkata,

   "Hemm, ada keperluan apakah pasukan Ponorogo hendak menghadap ratu junjungan kami?"

   Ki Surobledug mengerutkan alisnya yang tebal.

   "Eh, kisanak. Aku adalah seorang utusan adipati. Sebagai utusan, hanya kepada sang ratu di Wilis sajalah aku dapat menyampaikan apa yang ditugaskan oleh sesembahan kami. Hendaknya andika mengerti akan peraturan itu dan suka membawa kami menghadap sang ratu di Wilis."

   Perwira itu berpikir sejenak. Dia tidak berani bertindak sembarangan, apalagi ratunya amat bengis terhadap anak buah yang salah tindak, sungguhpun di lain kesempatan ratunya itu amat ramah dan murah tangan terhadap anak buahnya.

   Ia tahu pula bahwa biarpun ada desas-desus bahwa ratu mereka merencanakan untuk menyerbu Ponorogo, namun kalau belum ada perintah, tidak berani ia berlancang tangan memusuhi pasukan Ponorogo yang berpakaian hitam dan rata-rata anak buahnya bertubuh tinggi besar dan bersikap angker ini.

   "Hamm, baiklah, akan tetapi bersumpahlah bahwa kalian menghadap gusti puteri kami dengan itikad baik!"

   Ki Warok Surobledug tertawa bergelak.

   "Andika ini lucu sekali, kisanak! Tanpa bersumpah sekali pun mudah dilihat bahwa kami membawa maksud baik dari junjungan kami. Kalau dengan niat buruk, masa kami hanya datang dengan dua losin perajurit yang membawa tiga buah peti besar berisi barang-barang berharga untuk dipersembahkan kepada ratu kalian?"

   Perwira muda itu mengangguk-angguk dan matanya ditujukan kepada tiga buah peti berukir yang digotong oleh perajurit-perajurit berpakaian hitam itu.

   "Baiklah, mari kalian ikut bersama kami."

   Di sepanjang perjalanan menuju ke gunung Wilis, rombongan perajurit berpakaian hitam itu menjadi tontonan orang dan mereka ini lebih tertarik lagi ketika mendengar bahwa mereka adalah pasukan Ponorogo yang terkenal digdaya. Namun berkat kawalan pasukan Wilis yang menjaga perbatasan, perjalanan mereka mendaki gunung Wilis berjalan dengan lancar tanpa gangguan.

   Diam-diam Ki Surobledug memperhatikan keadaan di sepanjang perjalanan, dan melihat dusun-dusun baru yang dibangun sepanjang jalan dari kaki sampai ke lereng Wilis, diam-diam ia kagum dan memuji kebijaksanaan ratu kerajaan baru ini.

   Ketika Retna Wilis mendengar dari pelaporan para penjaga bahwa serombongan utusan Kadipaten Ponorogo mohon menghadap, dia cepat mempersiapkan penyambutan di pendopo istananya yang baru dibangun, bahkan yang belum selesai dibangun dan diperbaiki.

   Selain dia sendiri, juga Ki Adiwijaya yang ia angkat menjadi patih, dan Ki Walangkoro yang menjadi patih muda, ikut pula hadir menyambut rombongan dua losin perajurit yang dikepalai seorang warok tua yang bertubuh tinggi besar.

   Sebagai seorang yang tahu akan tata susila, Ki Warok Surobledug menghadap Ratu Wilis dengan sembah sujut dan penuh hormat tanpa berani mengangkat muka memandang wajah sang ratu. Ia akan mencari kesempatan nanti untuk memandang dan mengenal wajah junjungan baru di Wilis yang dikabarkan saki mandraguna seperti siluman itu.

   Di lain pihak, dialah yang menjadi pusat perhatian dan begitu Retna Wilis memandang wajah warok itu, dia mengerutkan kening. Dia merasa kenal kakek tinggi besar ini, akan tetapi dia telah lupa lagi entah di mana dia pernah berjumpa dengannya.

   Adapun Adiwijaya dan Walangkoro memandang warok itu dan diam-diam harus mengakui bahwa kakek ini akan merupakan lawan yang berat. Kalau banyak tokoh Ponorogo seperti kakek ini, benarlah berita bahwa Ponorogo memiliki banyak tokoh sakti.

   "Paman, andika siapakah dan apa maksudmu membawa pasukan menghadap padaku?"

   Retna Wilis bertanya dan diam-diam Ki Surobledug tercengang mendengar suara yang halus, merdu dan sama sekali tidak seperti suara orang-orang sakti mandraguna itu.

   Namun ia menyembah dan menjawab,

   "Hamba pemimpin pasukan ini sebagai utusan gusti hamba adipati di Ponorogo dengan membawa salam persahabatan dan barang-barang persembahan untuk dihaturkan paduka, Gusti. Hamba Ki Surobledug menghaturkan sembah."

   Sambil berkata demikian, Ki Surobledug menyembah dan menggunakan kesempatan itu untuk menengadah dan memandang wajah sang ratu yang demikian menggegerkan daerah Wilis.

   Retna Wilis dan Ki Surobledug mengalami guncangan hati pada saat yang sama.

   Ketika mendengar nama Ki Surobledug, teringatlah Retna Wilis kepada kakek ini.

   Di lain pihak, begitu menyaksikan wajah sang ratu, Ki Surobledug menjadi pucat wajahnya karena dia segera mengenal wajah dara perkasa yang dahulu membunuh empat orang anak murid Panembahan Ki Ageng Kelud, dan pernah merobohkannya, bahkan yang hampir saja membunuh dia dan Ki Ageng Kelud!

   Kiranya murid Nini Bumigarba yang menjadi ratu di Wilis! Kenyataan ini membuat ia termangu penuh kegentaran hati. Pantas saja dianggap sebagai seorang dara yang memiliki ilmu kepandaian seperti siluman, kiranya dara siluman itu sendiri yang menjadi ratu di sini!

   Akan tetapi, sebagai utusan kadipaten ia tidak berani mencampurkan urusan pribadinya dan ia pura-pura tidak mengenal ratu itu.

   Retna Wilis tersenyum dan suaranya mengandung hawa dingin ketika ia berkata,

   "Hemm, Ki Surobledug. Kiranya andika yang menjadi utusan Ponorogo. Hemm, aku menerima baik uluran tangan Adipati Ponorogo untuk bersahabat. Akan tetapi persembahan hanya dapat kuterima sebagai persembahan Kadipaten Ponorogo yang tunduk dan mengakui Kerajaan Wilis sebagai kerajaan terbesar, mengakui kedaulatanku sebagai Ratu Wilis. Jika Kadipaten Ponorogo suka mentaati semua permintaanku, aku akan menganggapnya sebagai kadipaten yang membantu dan sepatutnya dijadikan sahabat. Pertama-tama aku akan mengajak barisan Kadipaten Ponorogo untuk membantuku menaklukkan semua kerajaan kecil dan kadipaten di sebelah timur sampai di Kerajaan Panjalu."

   "Wah, ini tidak mungkin!"

   Ki Surobledug berseru kaget.

   "Hemm, apanya yang tidak mungkin, Ki Surobledug? Lanjutkan ucapanmu."

   Kini Ki Surobledug yang kaget sekali mendengarkan ucapan ratu itu, tidak ragu-ragu lagi memandang wajah cantik jelita dan masih remaja itu, dan sinar mata mereka saling menentang. Ki Surobledug merasa betapa tengkuknya menjadi dingin ketika bertemu pandang, akan tetapi dengan penuh semangat ia berkata,

   "Ampunkan hamba, Gusti Puteri. Hamba tahu betul bahwa tidaklah mungkin bagi Kadipaten Ponorogo untuk menyerang kadipaten-kadipaten dan kerajaan-kerajaan kecil di sebelah timur, untuk membantu kerajaan paduka. Oleh karena daerah itu adalah termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Panjalu. Tidak mungkin bagi Kadipaten Ponorogo untuk menyerang daerah Panjalu, karena Kerajaan Panjalu merupakan Kerajaan yang dijunjung tinggi oleh Ponorogo. Tidak mungkin Gusti."

   Tiba-tiba terdengar suara Ki Walangkoro yang besar dan nyaring.

   "Apa yang tidak mungkin bagi gusti puteri kami? Tidak ada hal yang tidak mungkin! Engkau lancang mulut, heh, utusan gemblung!"

   Ki Surobledug menoleh dan sejenak kedua orang tinggi besar itu bertemu pandang. Kemudian terdengar suara Ki Patih Adiwijaya yang tegas dan mantap,

   "Heh, utusan Ponorogo! Andika hanya seorang utusan. Tahukah andika kewajiban seorang utusan? Hanya menyampaikan pesan junjunganmu dan menerima balasan dari kerajaan yang kau kunjungi. Mengapa kini andika lancang sekali berani mengemukakan pandapat pribadi andika?"

   Merah wajah Ki Surobledug ketika ia menatap wajah Adiwijaya. Merah karena malu. Tentu saja ia maklum bahwa memang sikapnya tidak dapat dikatakan benar, bahkan melanggar peraturan yang lajim. Menurut aturan, seorang utusan tidak boleh diganggu sama sekali, akan tetapi juga sebagai utusan sama dengan benda mati, hanya menyampaikan pesan dan menerima balasan.

   Kini diserang oleh ucapan Adiwijaya yang tepat, ia menjadi bingung, tidak tahu hams menjawab bagaimana. Tadi ia kelepasan bicara saking kaget dan marahnya mendengar Ratu Wilis menganggap Ponorogo sebagai kerajaan yang lebih rendah dan mengajak, atau memerintahkan dengan halus, untuk mengkhianati Panjalu!

   "Ki Surobledug, apa jawabmu?"

   Tiba-tiba Retna Wilis bertanya, suaranya tetap halus namun mengandung desakan yang tak mungkin dapat ditangkis lagi.

   Ki Surobledug menahan napas panjang. Tidak ada jalan lain baginya untuk mengelak dan menarik kembali kata"katanya dan karena ia merasa benar, ia tidak menjadi takut lalu berkata,

   "Mohon ampun, Gusti Puteri. Sesungguhnya hamba pun mengerti akan tugas dan kewajiban hamba sebagai utusan, mengerti bahwa sebagai utusan hamba tidak boleh bicara mengemukakan pendapat pribadi hamba. Akan tetapi, hamba yakin bahwa pendapat hamba ini juga menjadi pendapat gusti adipati di Ponorogo. Kadipaten Ponorogo mengulurkan tangan kepada Kerajaan Wilis, apalagi mengingat bahwa kabarnya paduka adalah puteri dari Sang Puteri Endang Patibroto yang kami hormati, dan tentu saja Kadipaten Ponorogo mengakui kedaulatan paduka sebagai ratu di Wilis. Akan tetapi, kalau Kadipaten Ponorogo diajak untuk diajak menyerang daerah Kadipaten Panjalu, hal ini sama sekali tidak mungkin dapat dilakukan oleh Kadipaten Ponorogo."

   Hening sejenak setelah ki warok itu bicara dengan suara lantang. Semua orang menjadi ngeri.

   Belum pernah ada orang berani menentang keputusan atau perintah sang ratu, karena menentang sedikit saja berarti mati dalam keadaan mengerikan. Semua orang menanti, dan mereka tidak akan heran kalau pada saat itu sang ratu menggerakkan tangan, sekali bergerak saja membunuh utusan itu dengan hawa pukulan tangannya. Akan tetapi, hanya terdengar Retna Wilis menarik napas panjang dan berkata,

   "Ki Surobledug, apakah andika tidak mengenalku?"

   Ki Surobledug mengangguk.

   "Hamba mengenal paduka, Gusti Puteri yang sakti mandraguna."

   "Engkau tahu betul bahwa sekali ada niat di hatiku, membunuhmu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku?"

   Kembali Surobledug mengangguk.

   "Hamba mengerti, Gusti."

   Suara Retna Wilis meninggi, penuh wibawa,

   "Kalau begitu, andika tentunya tidak buta untuk melihat bahwa Kadipaten Ponorogo tidak mungkin dapat menolak perintahku, tidak mungkin dapat menentangku? Menentangku berarti hancur lebur, Ki Surobledug!"

   "Hamba mengerti, Gusti. Akan tetapi, negara yang besar harus memiliki pendirian sebagai seorang satria yang juga menjadi pendirian Sang Adipati Ponorogo. Kami adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kesetiaan. Biarpun hancur lebur, kalau Ponorogo tetap setia Panjalu, berarti hancur sebagai sebuah kerajaan besar. Apakah artinya hidup kalau menjadi pengkhianat? Ponorogo takkan pernah menjadi pengkhianat, Gusti."

   "Eh, Ki Surobledug. Apakah pangkatmu di Ponorogo?"

   "Hamba hanya seorang penasehat saja yang mengepalai warok-warok di Ponorogo."

   "Bagaimana andika begitu yakin bahwa pendirian Adipati Ponorogo sama dengan pendirianmu?"

   "Sang adipati adalah keponakan hamba dan pendiriannya dalam hal ini tidak ada bedanya dengan pendirian hamba."

   "Wah-wah-wah, si keparat Surobledug! Gusti Puteri, perkenankan hamba menghancurkan kepala warok sombong ini!"

   Tiba-tiba Ki Walangkoro berkata dengan mata melotot.

   Retna Wilis mengangkat tangan menyuruh patih muda itu diam, kemudian ia berkata kepada Surobledug,

   "Alangkah mudahnya bagiku untuk membunuh andika dan anak buah andika, Surobledug. Dan alangkah mudahnya bagiku untuk menyerbu dan menghancurkan Ponorogo. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu dan aku masih memberi kesempatan kepada Ponorogo untuk mempertimbangkan perintahku. Aku kagum akan keberanianmu, akan tetapi juga geli hatiku menyaksikan kebodohanmu."

   "NAH, sekarang pulanglah, andika, dan sampaikan kepada junjunganmu, juga keponakanmu, sang

   (Lanjut ke Jilid 54)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 54

   adipati di Ponorogo bahwa aku memberi waktu kepadanya selama satu bulan, dia sendiri harus datang menghadap padaku dan menyatakan ketaatannya akan perintahku, mempersiapkan bala tentara yang harus membantuku menaklukkan kadipaten-kadipaten lain di sebelah timur. Kalau dalam waktu sebulan dia tidak menghadap, berarti dia menentang dan jangan tanya tentang dosa kalau aku akan membikin Ponorogo menjadi karang abang (lautan api). Nah, pergilah engkau, bawa kembali barang-barangmu karena aku tidak membutuhkan persembahan orang yang tidak mau tunduk kepadaku!"

   Surobledug maklum bahwa bicara lagi tidak akan ada gunanya, bahkan sama dengan bunuh diri, maka ia menyembah lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengangkat kembali barang-barang persembahan sebanyak tiga peti itu dan keluar dari halaman istana dan kembali menuruni lereng Wilis, kembali ke Ponorogo.

   Setibanya di Ponorogo, Ki Surobledug langsung menghadap kadipaten dan betapa kagetnya sang adipati dan para tokoh Ponorogo ketika mendengar laporan Ki Surobledug yang berkata dengan suara cemas,

   "Waduh, celaka, Puteranda Adipati! Kiranya siluman betina itu benar-benar siluman murid Nini Bumigarba! Sungguh mengherankan bagaimana puteri dari Sang Puteri Endang Patibroto menjadi siluman betina seperti itu!"

   Dia lalu menuturkan semua pengalamannya ketika menghadap Ratu Wilis dan menutup penuturannya dengan kata-kata,

   "Kita pasti akan digempur dan agaknya amatlah sukar mencari orang yang akan sanggup menandingi kesaktian Retna Wilis!"

   Sang Adipati Diroprakosa mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang.

   "Kita harus berusaha. Sikapmu benar sekali, Paman. Memang bagiku sendiri, lebih baik mati bersama kadipaten ini yang dihancurkan daripada hidup menjadi pengkhianat yang menyerang daerah Panjalu. Tidak ada lain jalan lagi, kita harus mempersiapkan barisan, menjaga kuat-kuat Kadipaten Ponorogo dan kita harus mencari bala bantuan orang-orang sakti."

   Demikianlah, Ponorogo lalu sibuk mengatur persiapan untuk menanggulangi ancaman bahaya hebat yang datangnya dari Kerajaan Wilis yang baru itu.

   Utusan-"utusan dikirim ke pelbagai tempat untuk minta bantuan orang-orang sakti, di antaranya Panembahan Ki Ageng Kelud, para pertapa-pertapa dan orang-orang sakti lainnya. Juga ada utusan yang dikirim ke Kerajaan Panjalu untuk mencari bala bantuan, disertai surat dari Adipati Diroprakosa sendiri yang hams disampaikan secara pribadi kepada Ki Patih Tejolaksono karena menurut pendapat para tokoh Ponorogo, kiranya hanyalah Ki Patih Tejolaksono sajalah orangnya yang akan cukup kuat untuk menandingi Retna Wilis.

   Ki Patih Tejolaksono bam saja kembali dari Jenggala bersama kedua orang isterinya dan dengan Bagus Seta. Setelah kekacauan di Jenggala dapat ditundukkan, Pangeran Panji Sigit diangkat menjadi raja di Jenggala dan pesta perayaan untuk menobatkan raja bam ini dimeriahkan dengan pesta pernikahan antara Joko Pramono dengan Pusporini.

   Joko Pramono diangkat menjadi patih di Jenggala! Setelah pesta selesai, Joko Pramono yang menjadi patih tinggal di Jenggala, di kepatihan.

   Permaisuri Jenggala yang tadinya diasingkan, kini kembali ke keraton sebagai ibu suri yang dihormati. Berbahagialah penghidupan Pangeran Panji Sigit yang kini menjadi Prabu Jenggala bersama Setyaningsih yang menjadi permaisurinya dan Joko Pramono yang menjadi patih di samping Pusporini.

   "Nah, sekarang barulah lega hatiku,"

   Kata Tejolaksono ketika ia bersama Endang Patibroto, Ayu Candra, dan Bagus Seta duduk di ruangan belakang kepatihan Panjalu.

   Tejolaksono menghela napas panjang dan kelihatan gembira sekali.

   "Setelah urusan di Jenggala beres, lapang dadaku dan kehidupan keluarga kita akan aman dan tenteram. Hanya sayang, anakku Retna Wills belum juga dapat diketahui di mana adanya."

   Endang Patibroto mengerutkan keningnya.

   "Setelah keadaan beres, aku sendiri akan pergi mencarinya."

   Ayu Candra memegang lengan madunya dan berkata membujuk,

   "Adinda Endang Patibroto, baru saja kita dapat berkumpul dalam keadaan damai dan tenteram, mengapa engkau hendak pergi lagi? Janganlah, Adinda. Biar nanti kita menyebar orang untuk mencari Retna Wills. Setelah keadaan aman kembali, kiraku tidak akan begitu sukar lagi mencarinya. Hendaknya Adinda dapat memenuhi permintaanku ini agar keluarga kita dapat berkumpul dan kebahagiaan yang baru sekarang dapat kita kenyam ini tidak akan menjadi hambar."

   Endang Patibroto memandang madunya, memandang suaminya dan memang hatinya merasa berat kalau dia disuruh berpisah lagi. Melihat keadaan orang-orang tua itu, Bagus Seta berkata,

   "Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berdua. Bagi mereka yang belum dapat membebaskan diri daripada belenggu, dunia ini penuh dengan suka duka. Penuh dengan kedukaan bagi mereka yang mau berduka, dan penuh dengan kesukaan bagi mereka yang mau bersuka. Suka dan duka timbul dari hati pribadi. Suka duka merupakan mata rantai yang sambung-menyambung dan tidak kunjung putus. Kalau kita sudah mau bersuka, kita harus siap untuk menerima duka. Segala peristiwa di dunia ini sudah diatur oleh hukum karma yang menjadi belenggu. Hanya mereka yang sudah sadar dan bebas barulah dapat melenyapkan pengaruh hukum karma atas dirinya. Saya harap Rama dan Ibu berdua suka selalu waspada, di samping ikhtiar, kita harus selalu menyandar kan segalanya kepada kekuasaan Maha Tinggi yang sudah mengatur semuanya. Tidak ada pertemuan tanpa perpisahan, sebaliknya tidak ada pula perpisahan tanpa pertemuan. Karena ada persatuan maka timbul perpisahan, juga persatuan timbul dari perpisahan. Saya percaya akan datang saatnya kita semua bertemu dengan adinda Retna Wilis. Marilah kita sama berprihatin dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa semoga segala kekeliruan-kekeliruan kita diampuni dan semoga kita selalu diperingatkan agar tidak menyeleweng daripada Darma."

   Tejolaksono memegang tangan puteranya dan memandang penuh keharuan.

   "Ucapanmu memang benar, Puteraku. Akan tetapi, duh puteraku Bagus Seta, engkau masih begini muda akan tetapi seolah-olah sudah menjauhkan duniawi, Bagus Seta, apakah engkau tidak ingin menikmati kesenangan hidup di dunia ini?"

   Ayu Candra juga memandang wajah puteranya dengan penuh iba. Ia mengerti akan maksud kata-kata suaminya, juga Endang Patibroto mengerti.

   Mereka bertiga memandang Bagus Seta yang masih begitu muda akan tetapi yang sudah mencapai taraf hidup seperti pendeta linuwih.

   Bagus Seta tersenyum menyaksikan pandang mata penuh keprihatinan dan iba dari ketiga orang tua itu.

   "Wahai, Kanjeng Rama dan kedua Ibunda yang tercinta! Tentu saja saya dapat menikmati kebahagiaan hidup. Akan tetapi saya tidak ingin karena keinginan menimbulkan kekecewaan dan siapa mengejar kesenangan akan bertemu dengan kesusahan. Betapapun indahnya api, kalau kita sudah tahu bahwa api itu panas membakar, mengapa kita hendak menjangkau dengan tangan? Saya tidak menjauhkan diri dari duniawi, Kanjeng Rama, karena saya sendiri adalah isi duniawi. Kalau sudah menjadi satu, mengapa dicari lagi? Mengapa mengejar bayangan yang menjadi satu dengan badan?"

   Tiga orang itu mendengarkan dengan takjub, tak tahu harus berkata apa karena terpesona oleh ucapan-ucapan yang begitu dalam maknanya, yang sukar dimengerti oleh pikiran namun yang dapat menyentuh RASA.

   "Duhai Puteraku Bagus Seta. Jawablah dengan sesungguhnya pertanyaanku ini dan aku akan puas sudah. Adakah engkau berbahagia, Anakku?"

   Bagus Seta tersenyum lebar, lalu menjawab.

   "Kanjeng Rama, apakah. bahagia itu? Aku tidak butuh akan bahagia itu, Kanjeng Rama."

   Mendengar jawaban ini, Tejolaksono seperti diingatkan dan bangkit berdiri dari tempat duduknya, merangkul puteranya dan berkata dengan suara menggetar,

   "Aduh, Puteraku.........jawabanmu mengingatkan aku akan jawaban petani sederhana dahulu itu....... Ah, tentu engkau sudah lupa. Ketika engkau masih kecil, kuajak berburu binatang, di tengah jalan aku bertemu dengan seorang petani di tepi sawah. Ketika kutanya apakah dia berbahagia, dia juga menjawab sepertimu tadi. Tidak membutuhkan bahagia!"

   Bagus Seta memimpin tangan ayahnya agar duduk kembali, kemudian is berkata dengan wajah sungguh-"sungguh,

   "Dan dia itu benar, Kanjeng Rama! Berbahagialah manusia yang tidak membutuhkan bahagia! Berbahagialah manusia yang tidak membutuhkan apa-apa! Mengapa butuh? Mengapa mengharapkan sesuatu? Mengapa menginginkan sesuatu? Barang apa yang diinginkan memang indah, akan tetapi sekali terdapat akan lenyap keindahannya. Yang tidak membutuhkan sesuatu berarti sudah mendapatkan semuanya, Kanjeng Rama! Adakah manusia yang lebih suci dan lebih bahagia daripada seorang bayi? Karena bayi tidak menginginkan sesuatu, tidak membutuhkan sesuatu, dialah manusia paling bahagia. WAJAR itullah BAHAGIA! HIDUP itulah BAHAGIA! Kalau saya ditanya apakah saya senang atau susah, dengan segala kesungguhan hati saya akan menjawab bahwa saya tidak senang juga tidak susah, tidak duka juga tidak suka. Segala peristiwa yang terjadi adalah wajar dan sudah semestinya. Untuk menghadapi setiap peristiwa, kita dianugerahi akal budi dan pikiran yang boleh kita pergunakan sebagai hak kita: Menghadapi urusan yang tidak benar boleh kita benarkan dengan alat dan panca indera kita, dan ini menjadi kewajiban kita. Kalau ada orang yang suka menikmati kesenangan, boleh saja karena kesenangan yang dapat dinikmatinya itu pun merupakan anugerah, hanya dia pun harus siap pula merasakan kesusahan yang menjadi saudara kembar kesenangannya. Ah, kiranya Kanjeng Rama dan Kanjeng lbu berdua sudah cukup maklum akan pengertian ini, karena saya sendiri pun hanya mengulang saja."

   Tejolaksono dan kedua orang isterinya adalah orang-"orang yang selain sakti mandraguna, juga sudah banyak mempelajari soal-soal kebatinan, maka tentu saja mereka dapat mengerti ucapan putera mereka itu dan dapat menyelami isinya.

   Mereka menjadi kagum sekali dan sedikitpun tidak dapat menyalahkan pendirian putera mereka.

   Dan ternyata kemudian bahwa ucapan putera mereka itu selain mengandung filsafat yang mempunyai makna amat dalam, juga mengandung ramalan atau peringatan yang tepat.

   Hal ini ternyata ketika tiba utusan dari Ponorogo yang minta bantuan Panjalu karena kadipaten itu terancam oleh Kerajaan Wilis.

   "Kerajaan Wilis?"

   Endang Patibroto berseru kaget ketika mendengar berita itu.

   "Apa artinya ini? Wills adalah wilayah Padepokan Wilis, tidak ada kerajaan di sana!"

   "Sudah terlalu lama Adinda meninggalkan Wilis, siapa tahu akan perubahan yang terjadi di sana? Akan tetapi kurasa surat dari Adipati Diroprakosa yang ditujukan secara pribadi kepadaku ini akan membuka rahasia itu."

   Tejolaksono membaca surat itu, dipandang oleh Bagus seta yang bersikap tenang sekali dan oleh kedua orang isterinya yang memandang dengan rasa ingin tahu benar. Kedua orang wanita itu kaget sekali ketika melihat betapa wajah suami mereka berubah, sebentar pucat dan sebentar merah. Setelah selesai membaca surat itu, terdengar ki patih mengerang perlahan dan kemudian seolah-olah menekan hatinya ia menarik napas panjang dan memandang kedua orang isterinya dengan mata seperti orang bingung.

   "Apakah yang terjadi?"

   Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Endang Patibroto bertanya.

   "Apakah isi surat itu?"

   Ayu Candra juga bertanya.

   "Kalian bacalah sendiri, hanya kuminta agar engkau bersikap tenang dan kuatkan hatimu, Adinda Endang Patibroto "

   Endang Patibroto adalah seorang yang berwatak keras dan penuh semangat yang menyala-nyala. Mendengar ucapan suaminya itu, secepat kilat ia menerima surat itu dan membacanya bersama Ayu Candra.

   Ketika ia membaca penuturan Adipati Diroprakosa yang minta bantuan Tejolaksono karena Ponorogo terancam bahaya hebat dari Wilis yang kini merupakan kerajaan yang dikepalai oleh Ratu Wilis yang bernama Puteri Retna Wilis, wajah Endang Patibroto menjadi merah sekali, sedangkan Ayu Candra membaca dengan wajah pucat, kemudian memandang suaminya dengan mata terbelalak.

   "Bedebah nenek siluman itu!"

   Endang Patibroto mengepal tangannya dengan wajah mangar-mangar (kemerahan).

   "Dia telah merusak anakku, menyeratnya ke dalam kesesatan!"

   "Hemm, harap jangan marah dulu, Diajeng. Kita belum menyaksikannya dengan mata sendiri. Andaikata benar terjadi seperti laporan itu, yaitu bahwa Retna Wilis membentuk kerajaan di Wilis dan hendak menaklukkan seluruh kadipaten dan kerajaan yang ada, tentu ada sebab-"sebabnya. Sebaiknya mari kita semua berangkat ke Wilis dan menemuinya. Kurasa setelah bertemu dengan engkau dan aku, setelah mendengar nasehat-nasehat kita, dia akan mengubah kemauannya yang aneh itu."

   "Tidak, Kakanda. Biarlah sekarang juga saya berangkat sendiri ke Wilis. Wilis adalah tempatku, dan anak buah di sana semua tunduk kepadaku. Biar kudatangi Retna Wilis dan kubawa dia ke sini!"

   Tejolaksono yang belum pernah melihat puterinya, mengangguk-angguk karena dia belum tahu akan watak puterinya itu, akan tetapi melihat watak ibunya, agaknya watak Retna Wilis tidak akan jauh bedanya, tentu keras hati dan keras kepala. Kalau mereka semua datang, mungkin akan menimbulkan rasa malu sehingga bangkit wataknya yang keras dan nekat!

   Watak Endang Patibroto dahulu juga begitu, kalau dilarang dengan kekerasan, siapapun akan ditantang!

   "Bagaimana pendapatmu, puteraku Bagus Seta?"

   Biarpun pemuda itu puteranya, namun Tejolaksono maklum bahwa di antara mereka semua, Bagus Seta inilah merupakan orang yang paling boleh diandalkan pendapatnya.

   "Ibunda Endang Patibroto benar sekali kalau Ibunda saja yang pergi membujuk adinda Retna Wilis. Ada akibat tentu ada sebabnya, dan perbuatan adinda Retna Wilis membangun kerajaan dan membangkitkan perang tentu ada sebab-sebabnya pula."

   Dengan hati tidak karuan rasanya, kemarahan yang ditahan-tahan dan juga kegirangan tersembunyi karena akan bertemu dengan puterinya yang hilang, Endang Patibroto berangkat ke Wills.

   Dia melakukan perjalanan cepat dengan menunggang seekor kuda yang besar dan baik. Tidak ada seorang pun pengikut dibawanya karena dalam keadaan seperti itu, Endang Patibroto kembali menjadi seorang pendekar wanita yang perkasa.

   Biarpun usianya sudah makin tua, sudah empat puluh lima tahun, namun ketika wanita ini menunggang kuda dan membalapkan kudanya ini, wajahnya masih halus tanpa keriput dan kemerah-merahan, rambutnya berkibar panjang dan masih hitam mulus, dari jauh ia tampak seperti seorang wanita muda yang selain cantik jelita, juga gagah perkasa!

   Saking hebatnya gelora dalam hatinya mendengar bahwa puterinya yang hilang, yang selama ini membuat hidupnya merana, kini telah kembali ke Wilis dan menjadi ratu yang hendak menaklukkan semua kerajaan, Endang Patibroto tidak lagi mau berhenti untuk mencari berita.

   Terus saja ia membalapkan kudanya menuju ke gunung Wilis.

   Hatinya penuh dengan rasa rindu, kegirangan yang bercampur dengan kemarahan sehingga ia lupa pula bahwa kudanya, betapapun baiknya, tidak memiliki daya tahan seperti tubuhnya yang terlatih.

   Setelah kudanya itu roboh terguling barulah Endang Patibroto teringat bahwa ia telah membalapkan kudanya selama sehari semalam tanpa henti. ia meloncat ketika kudanya terguling dan melihat bahwa kuda itu tak dapat tertolong lagi.

   Akan tetapi gairah hatinya membuat ia enggan menghentikan peijalanannya karena kuda ini. Ia menyambar buntalan bekal pakaiannya lalu melanjutkan perjalanan dengan menggunakan aji kesaktian herlari secepat kijang.

   Dua hari kemudian tibalah Endang Patibroto di kaki gunung Wilis. Hari masih pagi sekali dan dia merasa tubuhnya amat lelah, akan tetapi karena keinginan hatinya untuk segera berhadapan dengan puterinya, ia tidak berhenti dan terus mendaki gunung itu.

   Ketika ia berlari sampai ke lereng bukit, ia bertemu dengan sepasukan perajurit Wilis. Sungguh sial bagi nasib pasukan yang jumlahnya sepuluh orang ini karena mereka adalah perajurit-perajurit barn yang tidak mengenal Endang Patibroto.

   Ketika mereka melihat seorang wanita cantik berjalan cepat mendaki lereng, mereka lalu menghadang dan seorang di antara mereka berseru,

   "Heh, engkau ini wanita dari mana dan siapa berani mendaki lereng Wills?"

   Endang Patibroto memandang penuh perhatian. ia melihat sepuluh orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hijau yang gagah, akan tetapi sikap mereka jauh sekali bedanya dengan anak buahnya dahulu.

   Dahulu ia menanamkan watak satria, melarang keras anak buahnya dengan ancaman hukuman mati bagi anak buahnya yang berani mengganggu wanita. Akan tetapi sepuluh orang ini memandangnya dengan sinar mata penuh nafsu dan gairah.

   

Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini