Si Rajawali Sakti 14
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
Tiba-tiba seorang gadis remaja menyebrang jalan sambil membawa sebuah keranjang berisi telur. Agaknya ia tergesa-gesa hendak mengantarkan sekeranjang telur itu kepada warung langganannya dan karena ada pasukan hendak lewat, ia mendahului menyeberang. Karena tergesa-gesa ini, dua butir telur menggelinding dan jatuh ke atas jalan. Gadis remaja itu terkejut dan otomatis ia berjongkok seolah hendak memungut dua butir telur. Tentu saja sia-sia karena telur itu telah pecah. Karena berjongkok itu maka perwira yang menunggang kuda paling depan tahu-tahu telah berada di dekatnya. Kuda yangg ditunggangi perwira itu kaget dan meringkik sambil mengangkat kedua kaki depan ke atas. Hampir saja perwira itu jatuh akan tetapi dia segera dapat menguasai dan menenangkan kudanya. Marahlah dia karena kalau sampai dia tadi terjatuh, dia tentu akan menjadi tertawaan para penonton.
"Gadis jahat Apa kau sudah gila."
Cambuknya melecut ke arah gadis itu
"Tar-tar"."
Gadis remaja itu menjerit, keranjang itu terlepas dari tangannya yang berdarah dan tentu saja beberapa puluh butir telur dalam keranjang itu pecah semua!
"Hai, jangan pukul anakku!"
Terdengar seorang laki-laki setengah tua berlari kedepan kuda sang perwira dan menudingkan telunjuknya menegur perwira sambil merangkul puterinya.
"Minggir kau. pengemis busuk!"
Perwira itu kini marah sekali dan kembali cambuknya meledak-ledak, kini tubuh dan muka petani itu yang dijadikan sasaran. Petani Itu mengaduh-aduh, akan tetapi Sang Perwira melanjutkan lecutan cambuknya.
"Pergi kalian!"
Bentaknya.
Tiba-tiba cambuknya yang melecut Itu tertahan dan ketika dia memandang ternyata ujung cambuknya itu telah ditangkap oleh seorang pemuda tinggi besar yang membawa tongkat. Pemuda tadilah yang segera menolong ayah dan anak Itu dengan menangkap ujung cambuk.
"Bangsat, lepaskan cambukku!"
Perwira itu menarik-narik dengan sekuat tenaga. Akan tetapi cambuknya tetap tertahan oleh tangan yang kuat dari pemuda tinggi besar itu.
"Paman, bawalah anakmu minggir, biar aku yang menghajar anjing ini!"
Katanya. Petani itu merangkul anaknya dan terseok-seok mereka melangkah ke tepi jalan raya.
"Jahanam busuk, berani engkau memaki aku anjing? Engkau bosan hidup"
Perrwira Itu marah sekali dan kini dengan sekuat tenaga dia menarik cambuknya. Tiba tiba pemuda itu melepas ujung cambuk dan mengarahkannya kepada muka perwira itu.
"Syuuut..... plakkk"
Muka perwira itu dihantam cambuknya sendiri sehingga tampak bilur merah melintang di wajahnya. Orang-orang yang melihat ini rnenjadi geli dan mereka tertawa, biarpun sambil menahan suara tawa mereka sih tampak mulut mereka terbuka menyeringai! Perwira Itu bagaikan kesetanan. Sambil memaki-maki, kembali cambut melecut ke arah kepala pemuda itu.
Ketenangan pemuda itu luar biasa sekali. Dia menanti sampai ujung cambuk menyambar dekat lalu tangan kirinya memegang tongkat dia angkat sehingga ujung cambuk perwira Itu mengenai toya dan melibat, kemudian tangan menjangkau ke depan, menangkap kaki perwira itu dan sekali tarik dengan sentakan kuat tubuh perwira itu tertarik jatuh dari atas kuda dan cambuknya yang melibat toya juga telah dapat dirampas lepas dari tangannya. Sebelum tubuh perwira Itu dapat bangkit kembali, pemuda Itu memegang gagang cambuk dengan tangan kanannya lalu dia mencambuki perwira itu sambil berseru.
"Ini untuk gadis remaja tadi tar... tar"
Tar""! Ujung cambuk meluncur dan merobek lengan baju berikut kulit lengan sang perwira.
"lni untuk ayah gadis tadi..... tarr..tarrr...!!"
Kini ujung cambuk memecut muka dan dada sehingga perwira berkaok-kaok kesakitan.
"Dan ini untuk pengganti telur-telur yang pecah..... tar-tar-tar-tar.....!"
Baju perwira itu robek-robek dan melihat banyaknya darah berlepotan di bajunya dapat diketahui bahwa kulit tubuhnya tentu pecah-pecah tersayat cambuk. Kejadian itu berlangsung cepat sekali sehingga para perajurit hanya bengong, akan tetapi kini melihat perwira mereka bergulingan dan merintih-rintih di atas tanah, mereka segera maju menyerbu setelah melompat turun dari kuda mereka. Tanpa di komando mereka sudah mencabut golok dan mengeroyok pemuda itu.
Para penonton kini berlarian menjauhi, takut terlibat. Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum dan setelah para penyerbu dekat, dia mengamuk, menggunakan cambuk perwira tadi membagl-bagikan lecutan. Ketika pengeroyok semakin banyak, dia melemparkan cambuknya dan memainkan toyanya yang berat itu dengan dahsyat. Ke manapun ujung toya menyambar, tentu ada seorang pengeroyok terjungkal dengan tulang patah atau muka bengkak matang biru!
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring "Tahan semua, berhenti jangan berkelahi"
(Lanjut ke Jilid 14)
Si Rajawali Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
Mendengar bentakan suara ini, perajurit yang belum roboh segera menahan senjata mereka dan cepat mundur sambil membantu para kawan mereka yang terluka sehingga kini pemuda berdiri berhadapan dengan orang yang mengeluarkan bentakan tadi. Dia melihat seorang laki-laki tinggi besar gagah usia lima puluh tahun lebih, mengenakan pakaian panglima yang gemerlapan, dengan kumis dan jenggot pendek terpelihara rapi, turun dari atas kereta berada di dekat situ.
"Hemmm, ada apa ribut-ribut ini Apa yang telah terjadi?"
Tanya panglima yang bukan lain adalah Jenderal Chou Ban Heng itu kepada seorang perajurit terdekat. Perajurit itu memberi hormat dan menjawab.
"Lapor, Jenderal! Pemuda ini telah memukuli Perwira Tong, maka kami lalu mengeroyoknya!"
Jenderal Chou Ban Heng tadi sudah hat kehebatan ilmu silat pemuda itu. memandang penuh perhatian lalu bertanya.
"Pemuda gagah, siapakah engkau dan mengapa engkau memukuli perwira tadi sehingga pasukan lalu mengeroyokmu?"
Melihat sikap panglima yang gagah itu pemuda itu bersikap tegak dan hormat.
"Thai-ciangkun (Panglima Besar), saya bernama Bu Eng Hoat. Saya tidak akan berani memukul orang kalau tidak ada alasannya yang kuat. Ketika saya lewat di sini, saya melihat perwira itu mencambuki seorang gadis remaja yang menyeberang dan telurnya terjatuh pecah sehingga gadis itu berdarah lengannya semua telur dalam keranjangnya pecah. Ayah gadis itu hendak melarang, akan tetapi dia pun menjadi korban cambukan yang sewenang-wenang dari perwira itu. Tentu saja saya tidak dapat membiarkan dia bersikap seperti itu, kejam dan sewenang-wenang menindas rakyat kecil, maka terpaksa saya melerai. Akan tetapi dia malah melecuti saya maka saya melawan dan memberi hajaran kepadanya. Akan tetapi anakbuahnya lalu mengeroyok saya. Demikianlah, ciangkun."
Chou Ban Heng menoleh kepada ajudannya, seorang perwira yang masih muda "Tangkap Perwira- Tong dan anak buahnya, masukan ke sel. harus diberi hukuman berat telah bertindak sewenang-wenang kepada rakyat!"
"Baik, Jenderall"
Perwira Itu memberi hormat dan pergi.
"Bu Eng Hoat, aku merasa kagum kepadamu yang muda dan gagah perkasa. Mari, naiklah ke dalam keretaku, aku ingin bicara denganmu."
Bu Eng Hoat mengangguk dan mengikuti jenderal itu memasuki kereta. Kita pernah bertemu dengan Bu Ei Hoat ketika dia menyerang Ang Niocu Lai Cu Yin akan tetapi kemudiian Liu Cin yang belum mengenal orang macam apa adanya Ang Hwa Niocu membela wanita Itu sehingga Bu Eng Hoat terpaksa meninggalkan mereka karena tidak mungkin dapat mengalahkan mereka berdua. Pemuda ini adalah murid Thong Leng Losu, pendeta Lama Tibet yang dahulu bersama Tiong Gi Cinjin dan Louw Kang Tojin, pernah mengadakan pertemuan di puncak Bukit Naga Kecil dan di sana mereka bertiga yang memperbincangkan soal agama dan lain-lain bertemu dengan Thai Kek Siansu. Hal itu terjadi kurang lebih sebelas atau dua belas tahun yang lalu. Tiga orang sakti dari tiga agama itu tertarik ketika melihat Thai Kek Siansu mempunyai seorang murid.
Mereka bertiga lalu masing-masing ingin mencari seorang murid. Thong Leng Losu yang mengembara mencari murid bertemu dengan seorang anak laki-laki yatim piatu berusia sebelas tahun bernama Bu Eng Hoat. Dia mengambil anak itu sebagai murid dan setelah dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepada Bu Eng Hoat selama kurang lebih sepuluh tahun, lalu menyuruh muridnya itu turun gunung dan terjun ke dunia ramai, bertindak sebagai pendekar. Dia Juga memberikan sekantung uang emas simpanannya kepada pemuda itu dan memesan agar di manapun dia berada, Bu Hoat selalu mempertahankan dan membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Demikianlah, Bu Eng Hai merantau, membawa toyanya dan di sepanjang perjalanannya dia selalu menentang kejahatan dan membela mereka yang lemah tertindas.
Dia melihat betapa dunia penuh dengan manusia-manusia sesat yang hanya mementingkan sendiri, mengumbar hawa nafsu mengejar kesenangan tanpa pantang melakukan segala cara yang jahat demi memperoleh apa yang mereka inginkan. Banyak sudah gerombolan penjahat yang dia basmi sehingga dalam waktu kurang setahun saja namanya terkenal sebagai seorang pendekar muda yang baru muncul di dunia kangouw. Permainan toyanya yang amat kuat disegani banyak orang sehingga dia memperoleh julukan Sin-tung Eng-hiong (Pendekar Tongkat Sakti) Setelah duduk di dalam kereta bersama Jenderal Chou Ban Heng, barulah Bu Eng Hoat mengetahui bahwa dia berhadapan dengan seorang jenderal yang kedudukan tinggi. Dia merasa kagum ketika panglima itu mengecam para petinggi yang suka bersikap sewenang-wenang.
"Mereka Itu menjemukan sekali"
Demikian antara lain Jenderal Chou Ban Heng berkata.
"Sayang aku tidak mempunyai kekuasaan untuk bertindak terhadap mereka. Hanya Kaisar yang mampu menindak mereka akan tetapi mereka itu pandai bermuka-muka sehingga Kaisar menganggap mereka itu pejabat-pejabat yang bijaksana dan baik. Terutama sekali Wang She Liong yang menjadi Menteri Kebudayaan itu, sungguh, membikin hatiku muak dan jengkel sekali kalau mengingat akan kelalimannya"
Jenderal Chou Ban Heng mengerutkan alisnya yang tebal dan mukanya berubah merah.
Bu Eng Hoat tertarik.
"Apa yang dilakukan Menteri She Liong itu, Thai-ciangkun?"
"Hemmm, biarpun seorang pendekar seperti engkau tidak akan dapat mengusiknya, orang muda. Dia Itu menjadi kepercayaan Kaisar, gedungnya terjaga ketat. Entah berapa banyaknya sawah ladang milik para petani di luar kota raja yang dia rampas, dan entah banyak anak gadis orang yang dia paksa menjadi penghiburnya. Ah, pendeknya tidak ada satu pun bentuk kejahatan yang tidak pernah dia lakukan! Hemm, kalau saja aku menjadi seorang muda dan memiliki kesaktian, tentu sudah lama jahanam itu kubunuh!"
"Jahanam Itu patut diberi hajaran"
Kata Bu Eng Hoat dengan hati panas.
"Hemmrn, jasamu terhadap negara bangsa akan besar sekali kalau engkau dapat memberi hajaran kepada jahanam Liong Itu sehingga dia tidak akan mampu mengganggu rakyat lagi"
Kata Jenderal Chou Ban Heng "Bu Eng Hoat, apakah engkau belum mendapatkan tempat menginap? Bagaimana kalau engkau sementara tinggal di rumahku?"
Bu Eng Hoat belum mengenal keadaan jenderal itu, dan gurunya pernah berpesan kepadanya agar dia berhati-hati kalau berkenalan dengan para bangsawan karena mereka itu biasanya suka memanfaatkan tenaga orang kangouw untuk kepentingan mereka sendiri. Maka melihat keramahan jenderal ini yang mengajaknya naik keretanya, kemudian menawarkan tempat tinggal di rumahnya, ia menolak.
"Terima kasih, Thaii-ciangkun, saya akan bermalam di rumah penginapan saja agar lebih leluasa dan tidak merasa sungkan "
"Baiklah, kalau begitu."
Jenderal BanHeng lalu memerintahkan kusir keretanya untuk menuju ke rumah penginapan Lok Koan yang merupakan sebuah di antara rumah-rumah penginapan besar dan mewah di kota raja.
Rumah penginapan Lok Koan Itu memiliki rumah makan di bagian depan dan juga memiliki sebuah po-koan (tempat perjudian) di sebelah kirinya. Karena biaya penginapan disitu mahal, maka yang menginap hanyalah tamu-tamu hartawan dari luar kota, pedagang-pedagang atau pembesar daerah yang datang ke kota raja.
"Kita tunggu di kereta sebentar"
Kata jenderal itu kepada Bu Eng Hoat lalu kepada kusirnya dia mengutus agar si kusir memesankan kamar untuk Bu Eng Hoat.
Kusir Itu pergi dan tak lama kemudian dia datang kembali dan melapor bahwa kamar untuk pemuda itu sudah tersedia yaitu kamar nomor lima di loteng. Bu Eng Hoat mengucapkan terima kasih ia turun dari kereta dan menuju ke rumah penginapan itu karena kereta itu berhenti di tepi jalan raya di depan halaman rumah penginapan Lok Koan.
Begitu memasuki pendapa yang di samping rumah makan, Bu Eng Hoat mulai merasa ragu. Rumah penginapan itu besar dan mewah. Tentu sewanya mahal sekali, pikirnya. Dia harus menghemat uang bekal pemberian gurunya karena kalau sampai kehabisan bekal akan merepotkannya. Akan tetapi seorang pelayan tergopoh-gopoh keluar menyambutnya. Melihat pemuda itu berpakaian sederhana dan hanya membawa sebatang tongkat dan sebuah buntalan dari kain kasar yang digendongnya , pelayan itu termangu heran, akan tetapi memaksa diri tersenyum menyambut.
"Selamat datang, Kongcu. Kami merasa terhormat dan senang sekali menyambut kedatangan Kongcu."
Bu Eng Hoat tercengang. Dalam perjalananya merantau selama ini, belum pernah ada yang menyebutnya Kongcu (Tuan Muda). Ada yang menyebutnya eng-hiong atau Thai-hiap (sebutan para pendekar) setelah dia melakukan sesuatu yang sifatnya menentang para penjahat menolong orang. Sekarang pelayan yang pakaiannya bahkan lebih bagus daripada pakaiannya sendiri, tentu saja dia menjadi sungkan. Dia memandang pelayan setengah tua itu lalu berkata ragu sambil berhenti melangkah dan memandang ke arah pendopo yang mewah, yang menjadi indah dengan adanya lukisan-lukisan indah, tirai-tirai sutera dan pot-pot bunga besar terukir indah.
"Ah, Paman, agaknya saya telah salah masuk. Rumah penginapan ini terlalu megah bagi saya. Saya hendak mencari kamar di rumah penginapan yang sederhana dan murah saja."
Setelah berkata demikian dia membalikkan tubuhnya hendak keluar lagi. Akan tetapi pelayan lari mendahului dan menghadangnya sambil menjura dengan hormat.
"Maaf, Kongcu, kalau penyambutan kami kurang baik. Saya akan melapor kepada kepala pengurus rumah penginapan Lok Koan untuk menyambut sendiri....
"
"Ah, jangan Paman! Bukan begitu maksudku... hanya... rumah penginapan ini terlampau mahal bagiku...
"
Tiba-tiba pelayan itu tertawa.
"Ah, harap Kongcu tidak main-main. Kongcu tidak usah membayar sekeping pun dan boleh tinggal di rumah penginapan Lok Koan berapa lama pun, kami akan layani sebaik mungkin dan Kongcu hendak pesan makan apa akan kami persiapkan dengan baik"
Bu Eng Hoat memandang bengong. Gilakah pelayan ini? Ataukah dia yang sedang mimpi? "Apa....apa maksudmu, paman? Aku tidak mengerti ".
"Kongcu, tadi yang terhormat Jenderal Chou Ban Heng mengutus kusirnya, memerintahkan agar kami menyambut kongcu dengan baik, memberi kamar termewah dan menyediakan semua keperluan Kongcu, berapa lama pun Kongcu tinggal disini."
"Tapi...., biayanya tentu besar sekali tidak akan terbayar olehku."
"Aih, Kongcu main-main! Kalau Jenderal Chou yang memerintahkan, siapa yang tidak akan menaati? Soal biaya, Apapun tentu akan dibayar oleh beliau. Harap kongcu tidak usah khawatir. Mari, kongcu silakan"
Barulah Bu Eng Hoat mengerti dan diam-diam dia merasa senang. Siapa yang tidak senang mendapatkan kamar di hotel mewah berikut makan setiap hari, untuk waktu yang tidak terbatas lamanya, tanpa membayar sekeping pun? Akan tetapi di samping perasaan senang Ini, ada perasaan curiga dan khawatir. Apa maunya jenderal itu bersikap demikian baik dan royal terhadap dirinya? Apa maunya? Dia teringat akan pesan gurunya dan dia bersikap waspada dan hati-hati sekali. Akan tetapi setelah dua malam tinggal di hotel Lok Koan, tidak terjadi sesuatu dan jenderal itu pun tidak menganggu, bahkan tidak pernah menghubunginya. Pada malam ke tiga, Bu Eng Hoat duduk termenung di dalam kamar nomor lima yang mewah dan letaknya di loteng rumah penginapan Lok Koan ini.
Jendela kamarnya dia buka dan dari dalam kamar dia dapat melihat jajaran genteng-genteng di rumah di dekat itu. Teringat dia akan percakapannya , dan Jenderal Chou Ban Heng dalam kereta. Menteri Kebudayaan Liong! Tiba dia teringat akan pejabat tinggi she Liong yang amat jahat, tukang peras dan tindas rakyat, suka mempermainkan gadis orang, kejam dan sewenang yang. Kalau dia sudah mendengar berita seperti itu tidak turun tangan memberi hajaran kepada pejabat lalim itu, percuma saja dia belajar ilmu silat bertahun-tahun kepada gurunya. Gurunya, Thong Leng Losu yang gagah perkasa tentu akan merasa malu dan marah kepadanya! Kemarin siang dia sudah berjalan-jalan mencari tahu di mana letak gedung tempat tinggal Menteri Liong. Ternyata gedung besar itu tidak terlalu ketat, tidak seperti yang digambarkan Jenderal Chou. Baginya, tidak akan menyusup masuk ke dalam gedung dilihatnya hanya dijaga belasan perajurit di gardu penjagaan, di gerbang halaman gedung itu. Dia teringat akan ucapan Jenderal Chou yang gagah perkasa itu.
"Kalau saja aku menjadi seorang muda dan memiliki kesaktian tentu sudah lama jahanam itu kubunuh. Demikian jenderal itu berkata, bagaimana dengan dia? Apakah dia akan diamkan saja pejabat tinggi yang itu mengganggu rakyat? Bagaimana ada di antara pesan gurunya, Thong Losu, kepadanya ketika dia hendak berangkat mengembara?"
"Wi bin wi kok, hiap ci tai cia (berjuang demi rakyat dan negara, itu yang paling utama)!"
Dan sekarang terbuka kesempatan baginya untuk melaksanakan perintah suhunya itu.
Membunuh Menteri Liong yang lalim berarti telah berjuang demi kepentingan rakyat dan negara! Setelah berpikir demikian.Bu Eng Hoat lalu berkemas, mengenakan pakaian yang ringkas, kemudian sambil membawa toyanya dia keluar dari jendela kamarnya, menutupkan daun jendela dari luar setelah meniup padam lampu dalam kamarnya, kemudian dari loteng itu dia melayang ke atas genteng rumah sebelah, kemudian dia mempergunakan ginkang berlompatan dari wuwungan sebelah rumah ke wuwungan rumah di depan. Dia berlompatan dengan cepat dan ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan berlari-larian menuju ke rumah Menteri Liong!
Setelah tiba di dekat gedung yang dikelilingi pagar tembok itu, dia mendekam di tempat gelap dan mengamati sekelilinginya. malam itu sudah agak larut dan suasananya ,sunyi sekali. Seperti dugaannya, penjagaan gedung itu tidaklah terlalu ketat. Hanya ada beberapa orang perajurit tampak duduk di atas bangku panjang di luar gardu dekat itu gerbang, ada pula beberapa orang yang agaknya bermain kartu di dalam gardu. Ada pula yang meronda mengelilingi gedung membawa lentera.
Dia menanti sampai bagian di belakang gedung itu dilewati petugas ronda, kemudian sekali melompat dia telah berada atas pagar tembok. Melihat ke dalam, ternyata di bagian belakang gedung itu terdapat sebuah taman bunga yang tidak terlalu besar. Dia cepat melompat turun dan sejenak bersembunyi di balik segerombolan Kui-hwa (Bunga mawar). Dari jauh datang dua orang peronda. Mereka meronda dengan santai saja. Agaknya memang mereka sama sekali tidak mencurigai sesuatu dan merasa aman. Setelah dua orang peronda itu lewat jauh, mulailah Bu Eng Hoat bergerak mendekati gedung.
Setelah yakin keadaannya aman dia melompat ke atas wuwungan gedung merangkak dengan hati-hati, mulai mengintai ke bawah mencari di mana adanya Menteri Liong Setelah agak lama mencari-cari dan hanya menemukan kamar-kamar di mana penghuninya telah tidur, dan dia tidak dapat membedakan mana yang menjadi kamar Pembesar Liong, akhirnya dia melihat cahaya lampu menyinari lubang jendela sebuah kamar. Cepat dia mengintai dan dia melihat bahwa kamar itu adalah sebuah ruangan baca, semacam perpustakaan karena di sana terdapat rak buku di almari, ruangan yang luas di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja yang lebar. Seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dengan jenggot dan kumis terpelihara rapi, pakaianan santai sebagaimana biasa pakaian untuk tidur, wajahnya membayangkan kelembutan akan tetapi biarpun wajahnya belum keriput, rambutnya sudah hampir putih semua. Laki-laki itu sedang membaca kitab di bawah penerangan lampu meja yang cukup besar. Bu Eng Hoat mendengar laki-laki itu membaca dengan suara yang cukup kuat sehingga dapat terdengar jelas olehnya.
"Kun-cu souw ki wi ji neng, Put goan houw ki gwe!"
Eng Hoat mengenal bacaan itu sebagai pelajaran dalam kitab Tiong Yong dari Guru Besar Khong Cu yang berarti :
"Seorang Budiman bertindak sesuai dengan kedudukannya, dia tidak menginginkan apa-apa bukan menjadi bagiannya."
Kemudian laki-laki setengah tua melanjutkan bacaannya.
"Dalam keadaan kaya atau miskin senang atau susah, dia selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya Karena itu seorang Budiman selalu hidup tenteram bahagia dan dapat menerima apa adanya."
Laki-laki itu berhenti sejenak, agaknya dia ingin mendalami maksud pelajaran itu, kemudian melanjutkan.
"Berkedudukan tinggi dia tidak menghina bawahannya. Berkedudukan rendah dia tidak menjilat-jilat atasannya, memperbaiki diri sendiri dan tidak mengharapkan mendapat apa-apa dari orang lain. Karena itu, dia tidak pernah membenci siapa pun. Ke atas dia tidak menuntut Tuhan, ke bawah dia tidak menyalahkan orang lain."
Kembali dia merenungkan pelajaran itu lalu melanjutkan.
"Maka dari itu seorang Budiman senantiasa berada dalam keadaan tegak dan tenteram menanti Thian Beng (Karunia Tuhan). Sebaliknya seorang Siauw-jin (Manusia berbudi rendah) senantiasa melakukan perbuatan jahat membahayakan orang lain mendapatkan apa-apa yang bukan menjadi haknya!"
Laki-laki itu kini bersandar di kursinya dan menghela napas panjang, termenung seolah mengenang kembali apa telah dibacanya, yaitu sebagian dari Kitab Tiong Yong fasal 14. Biarpun gurunya seorang Pendeta Lama Tibet, beragama Buddha dan dia mendapat pelajaran tentang agama itu, namun gurunya juga memberinya kitab-kitab lain untuk dibacanya, di antaranya, kitab Tiong Yong yang mengandung pelajaran dari Guru Besar Khong Cu, sehingga Bu Eng Hoat dapat mengenal apa yang dibaca oleh laki setengah tua itu.
Laki-laki itu menghela napas panjang.
"Hayaaa "
Dia mengeluh.
"Siapa yang tidak tahu akan semua pelajaran budi pekerti dalam segala agama? Siapa-orangnya yang tidak tahu bahwa mengganggu, menyakiti, merugikan orang lain adalah perbuatan jahat dan menolong menyenangkan, dan menguntungkan orang lain adalah perbuatan baik? Siapa yang tidak tahu bahwa dalam hidupnya setiap orang manusia harus mengharamkan perbuatan jahat dan memperbanyak perbuatan baik? Akan tetapi sungguh celaka, di mana-mana orang melakukan perbuatan jahat! Di mana sih terdapat manusia yang pantas disebut Kuncu (Budiman) sekarang ini? Aku melihat di empat penjuru dipenuhi orang-orang yang menjadi hamba nafsunya sendiri dan segala tindakannya hanya menyebar kejahatan!"
Kembali dia menghela napas.
Eng Hoat merasa heran dan diam-diam dia bertanya-tanya siapa gerangan orang setengah tua ini. Mendengar semua ucapannya, tidak mungkin orang seperti ini berwatak jahat! Dia mulai teringat akan niatnya mengunjungi tempat itu, Dia harus menemukan Menteri Liong yang kabarnya lalim dan jahat itu. Tiba-tiba dia mendengar daun pintu ruangan itu diketuk dari luar. Laki setengah tua itu menoleh ke arah pintu dan bertanya dengan suara bernada kesal karena keasyikannya terganggu.
"Siapa itu?"
"Saya, Loya (Tuan) "
Jawab suara wanita.
"Masuk!"
Daun pintu dibuka dan seorang wanita pelayan memasuki ruangan dengan sikap hormat lalu berjongkok memberi hormat.
"Ada apa?"
Tanya laki-laki itu, suaranya lembut dan sabar.
"Loya, saya diutus Hujin (Nyonya) untuk mengingatkan Paduka bahwa malam telah larut, agar Loya beristirahat karena kata Hujin besok pagi Loya harus menghadiri persidangan para menteri di istana Sribaginda Kaisar."
"Hemmm, tidak perlu diingatkan aku tidak akan melupakan kewajiban itu. Sudah, keluarlah dan katakan kepada Hujin bahwa aku sedang membaca kitab."
"Baik dan ampunkan kalau saya mengganggu, Loya."
"Sudahlah, engkau tidak bersalah, hanya diutus Hujin. Pergilah."
Pelayan itu memberi hormat lalu keluar dari ruangan dan menutupkan daun pintu.
Diam-diam Bu Eng Hoat terkejut. Kiranya laki-laki inilah Menteri Lio Tidak salah lagi. Siapa lagi kalau bukan Menteri Liong yang besok pagi harus menghadiri persidangan para menteri istana? Inikah Menteri Liong yang katanya lalim dan jahat itu? Akan tetapi rasanya tidak mungkin! Ucapannya tadi penuh kebijaksanaan, dan sikapnya terhadap pelayan wanita tadi juga lembut dan penuh kesabaran. Orang yang begini rasanya lebih banyak baiknya daripada buruk budinya. Tiba-tiba daun pintu ruangan itu terbuka lagi, kini terbuka dengan sentakan dan sesosok bayangan hitam berkelebat masuk. Eng Hoat melihat seorang yang berpakaian hitam, mukanya ditutupi kain hitam pula, memegang sebatang tongkat baja dan dengan kecepatan luar biasa dia menyerang Menteri Liong!
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menteri jahanam, mampus kau!"
Bentak suara laki-laki di balik kain hitam itu dan tongkat bajanya sudah menyambar dahsyat. Menteri itu mencoba untuk mengelak, namun kalah cepat.
"Wuuuttttt bukkk!!"
Dia terpukul tubuhnya roboh terbanting dengan orang itu menangkis, Eng Hoat merasa betapa toyanya terpental dan kedua tangannya yang memegang toya terasa panas.
"Dukkk!"
Pada saat dia terkejut itu, dari arah belakangnya menyambar hawa pukulan dahsyat. Eng Hoat membalik dan mengelak, akan tetapi dia melihat penyerangnya, juga seorang yang memakai topeng kain hitam, menjauh dan pada saat itu si pemegang toya yang tadi menyerang Liong Taijin menghantamkan toyanya demikian kuat ke pangkal lengannya sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi, toya di tangan Bu Eng Hoat terlepas! Eng Hoat cepat melompat dan melawan dengan tangan kosong. Penyerangnya dari belakang tadi sudah melompat pergi dan kini dia menghadapi pembunuh yang memegang toya. Ternyata lawannya itu bukan hanya miliki tenaga yang amat besar, akan tetapi juga memiliki ilmu silat yang aneh dan tangguh sekali. Bu Eng Hoat harus mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya untuk melawan dengan tangan kosong. Dia sama sekali tidak sempat untuk mengambil toyanya kembali karena senjata itu terpental dan menggelinding sudut ruangan.
Agaknya suara gaduh itu menarik perhatian para perajurit yang berjaga malam itu. Terdengar langkah banyak kaki berlarian menuju ke ruangan itu dan terdengar suara mereka. Daun pintu ruangan itu didorong terbuka dari luar dan belasan orang perajurit menyerbu masuk, melihat ini, pembunuh bertopeng kain hitam itu melompat keluar dari ruangan menyusul temannya yang sudah pergi lebih dulu. Bu Eng Hoat menjadi bingung. Para perajurit kini menyerbu kepadanya. Diapun maklum bahwa memberi penjelasan. kepada mereka adalah tidak mungkin dia tidak dapat menghindarkan lagi pengeroyokan atas dirinya. Maka dia cepat melompat keluar dari jendela itu berlari cepat menghilang dalam kegelapan malam memasuki taman. Beberapa orang perajurit masih mengejarnya, akan tetapi setelah dia melompat pagar tembok di belakang taman, para pengejar itu terpaksa berhenti karena mereka tidak mengetahui ke arah mana Bu Eng Hoat melarikan diri.
Dengan jantung berdebar tegang Bu Eng Hoat kembali ke dalam kamar nomor lima di loteng hotel Lok Koai duduk di atas pembaringan dan termenung. Dia merasa bingung dan juga penasaran bercampur penyesalan. Tentu dia disangka sebagai pembunuh Menteri Liong itu karena dia terlihat berada di kamar itu. Adapun pembunuhnya malah lari lebih dulu, apalagi dia mengenakan! topeng kain hitam. Dia merasa menyesal karena kini dia merasa sangsi apakah sudah sepatutnya Menteri Liong dibunuh?! Benarkah dia seorang pembesar lalim yang jahat? Tidak ada buktinya untuk itu, bahkan melihat sikapnya ketika membaca kitab, rasanya sukar membayangkan menjadi seorang pembesar yang sewenang-wenang dan jahat! Karena malam itu telah larut, hampir pagi, dan dia merasa lelah, pangkal lengan kanannya yang tadi terkena hajaran toya terasa nyeri, maka Eng Hoat merebahkan diri dan jatuh pulas.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sepasang orang muda memasuki halaman hotel Lok Koan. Mereka adalah Liu Cin dan Ong Hui Lan. Ketika kembali ke kota raja, Hui Lan teringat akan nasib buruk yang menimpa dirinya ketika ia tinggal di istana Jenderal Chou Ban Heng, di mana ia diperkosa oleh Chou Kian Ki setelah terbius. Kalau menuruti gejolak perasaan dendam kebenciannya, ingin ia segera mendatangi gedung itu dan membunuh Chou Kian Ki untuk membalas dendamnya. Akan tetapi Hui bukan seorang gadis yang bodoh, la tahu bahwa Chou Kian Ki merupakan seorang lawan yang sakti dan sukar dikalahkan.
Ia sendiri sekarang mendapatkan ilmu baru, akan tetapi ilmu Thian-te Im-yang Sin-kun itu baru akan mencapai puncak kehebatannya kalau dimainkan bersama pasangannya ketika berlatih, yaitu Liu Cin. Untuk dapat mengalahkan Chou Kian Ki, ia harus melawan bersama Liu Cin. Selain itu, juga ia mengetahui bahwa di gedung Jenderal Chou Ban Heng itu terdapat orang-orang yang tinggi ilmunya. Ia tidak boleh gegabah kalau tidak ingin gagal. Pula, kalau ia terburu nafsu, tentu akan menimbulkan kecurigaan hati Liu Cin. Pemuda itu belum tahu bahwa kebenciannya kepada Chou Kian Ki bukan hanya karena ia tidak sudi menjadi istennya, melainkan karena pemuda itu telah memperkosanya. Tidak mungkin ia menceritakan malapetaka yang menimpa dirinya itu kepada orang lain, apalagi kepada Liu Cin yang ia tahu dan merasa bahwa pemuda itu jatuh cinta kepadanya dan sebaliknya ia pun tertarik, kagum dan suka sekali kepada Liu Cin. la bahkan hampir berani menguji bahwa ia juga jatuh cinta kepada pemuda yang telah berulang kali menolong dan membelanya itu.
Karena ia tidak ingin dikenal orang, apalagi dikenal anak buah Jenderal Chou Ban Heng, maka pagi itu Hui Lan mengajak Liu Cin untuk mencari kamar di lotel Lok Koan. Seorang pelayan setengah tua cepat menyambut mereka, pelayan itu kagum melihat pasangan ini. Pemudanya berusia sekitar dua puluh dua tahun, berpakaian serba kuning sederhana namun bersih dan rapi, tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya gagah. Dari dua batang tongkat pendek yang tergantung di punggungnya, pelayan itu dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar kangouw. Gadisnya juga mengagumkan sekali. Wajahnya bulat, matanya lembut namun tajam, tubuhnya ramping terbungkus pakaian yang sederhana pula, tampak pendiam, dan di punggungnya tampak tergantung sebatang pedang dengan ronce-ronce berwarna hijau. Sungguh seorang gadis yang cantik dan gagah tentu seorang pendekar wanita.
"Selamat datang dan selamat pagi Tuan dan Nona!"
Sambut pelayan itu ramah.
"Jiwi (Anda berdua) hendak menyewa sebuah kamar?"
Jelas bahwa pelayan itu menganggap mereka sepasang suami isteri maka menawarkan sebuah kamar untuk mereka berdua. Dengan wajah berubah kemerahan Lan berkata singkat.
"Kami butuh dua buah kamar!"
"Ah, maafkan saya. Baiklah, Tuan Nona, kami masih ada beberapa beberapa kamar di loteng. Mari, silakan!"
Dua orang muda itu mengikuti pelayan dan mereka mendapatkan dua buah kamar di atas loteng, di bagian ujung dari deretan kamar loteng yang berjumlah dua belas buah itu. Karena mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak malam tadi, keduanya lalu mandi, sarapan pagi dan mengaso dalam kamar masing-masing. Mereka berjanji akan keluar dari kamar setelah cukup beristirahat melepaskan lelah dan kantuk.
Sementara itu, pagi-pagi sekali para pejabat tinggi gempar karena berita tentang terbunuhnya Menteri Kebudayaan Liong tersiar cepat. Pangeran Chou Kuan Tian menjadi marah dan merasa penasaran kali. Banyak terjadi pembunuhan terhadap para pejabat setia, akan tetapi pembunuhan terhadap Menteri Liong ini sungguh membuatt dia terkejut dan marah. Menteri Liong terkenal, bukan saja setia terhadap kaisar, akan tetapi juga sebagai seorang g bijaksana dan budiman, diakui oleh semua orang. Siapa yang begitu kejam membunuh seorang yang baik budi seperti menteri Liong?
Seperti kita ketahui, Song Kui Lin kini berada di istana dan membantu Pangeran Chou Kuan Tian menjaga keamanan istana. Pagi itu, Kui Lin sudah menghadap Pangeran Chou Kuan Tian, memenuhi panggilannya. Setelah duduk berhadapan dengan pangeran itu, Kui Lin berkata.
"Paduka tentu memanggil saya karena berita tentang pembunuhan terhadap Menteri Liong itu, bukan?"
"Hem, engkau juga sudah mendengar akan berita itu?"
"Semua orang dalam istana membirakan berita itu, Pangeran."
"Akan tetapi belum ada yang mengetahui soal ini."
Pangeran Chou Kua Tian mengambil sehelai kertas dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Kui Lin.
"Tadi aku terbangun oleh suara di jendela dan ketika aku membuka jendela ada pisau dengan surat ini tertancap di daun jendela. Bacalah!"
Kui Lin membaca tulisan di atas kertas itu. Tertulis denganhuruf yang rapi dan garis serta lekukannya indah, tandabahwa penulisnya seorang ahli sastra Surat itu pendek saja.
PEMBUNUH MENTERI LIONG TINGGAL DI HOTEL LOK KOAN KAMAR NOMOR LIMA DI LOTENG
"Pangeran, siapa yang mengirimkan surat ini?"
Pangeran Chou Kuan Tian menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu. Akan tetapi pagi tadi perwira penyelidikku sudah melapor bahwa Menteri Liong terbunuh oleh pukulan benda keras dan di kamar itu terdapat sebuah toya, mungkin milik pembunuh yang entah bagaimana dapat ditinggalkan di sana. Sekarang, aku mengutusmu untuk menyelidiki siapa yang berada di kamar nomor lima di loteng Hotel Lok Koan itu, Kui Lin. Tangkap dia dan bawa pasukan pengawal!"
"Pangeran, saya lebih suka bekerja sendiri daripada harus membawa pasukan pengawal yang hanya membuat saya repot saja."
Pangeran itu menatap wajah Kui Lin. Dia sudah mengenal gadis yang berwatak lincah, keras dan pemberani serta juga memiliki ilmu silat yang tinggi itu.
"Baiklah, pergi tangkap orang itu. Akan tetapi berhati-hatilah, Kui Lin, karena kalau benar dia pembunuhnya, dia tentu merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya."
Kui Lin mengangguk dan cepat ia keluar dari istana. Para pengawal istana sudah mengenal siapa gadis berpakaian serba hitam yang cantik ini. Mereka bahwa Song Kui Lin adalah seorang pendekar wanita yang biarpun masih muda namun sangat lihai dan galak sehingga tak seorang pun di antara para perajurit istana berani bersikap kurang ajar padanya. Apalagi mereka semua tahu bahwa gadis itu adalah orang kepercayaan Pangeran Chou Kuan Tian. Dengan cepat Kui Lin menuju Hotel Lok Koan. Karena hari itu pagi, maka baru sedikit di antara tamu yang sudah bangun dan sebagian makan di rumah makan bagian depan hotel. Seorang pelayan setengah tua yang tadi melayani dan menyambut kedatangan Liu Cin dan Ong Hui Lan, berlari menyambut. Dia merasa gembira bahwa sepagi itu dia telah menyambut dua orang gadis yang cantik jelita.
"Selamat datang dan selamat pagi Nona!"
Dia memberi hormat sambil membungkuk.
"Apakah Nona ingin menyewa sebuah kamar?"
Kui Lin mengerutkan alisnya. Gadis ini memang paling tidak suka melihat orang bersikap merendah dan bermanis muka buatan. Ia menilai sikap orang yang menjilat-jilat itu palsu dan hanya dipakai sebagai topeng belaka. Orang seperti itu berbahaya. Gadis itu tidak tahu bahwa sikap orang seperti itu tidak semua palsu, melainkan terdorong oleh perasaan rendah diri (minder).
"Aku memang mencari kamar, yaitu kamar nomor lima di loteng hotel ini!"
Katanya tegas.
Pelayan itu mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, Nona. Kamar nomor lima itu sudah ada yang menyewa!"
Lalu disambungnya cepat.
"Dia malah agaknya belum bangun dari tidurnya."
"Hemmm, siapa dia? Orang macam apa dia?"
Kui Lin bertanya tidak sabar.
"Dia seorang pemuda gagah dan tampan, Nona "
"Cepat bawa aku ke kamar itu! Aku ingin bertemu orangnya!"
Pelayan itu meragu.
"Akan tetapi saya tidak berani mengganggu tamu yang sedang tidur, Nona. Apakah Nona ini saudaranya, sahabatnya, atau kek.. Pelayan itu tidak melanjutkan kata kekasihnya"
Ketika melihat betapa sepasang mata yang indah itu tiba-tiba mencorong.
"Apa katamu? Hayo lanjutkan! Apakah itu kek... kek...?"
"Eh, maksud saya... kek... apa Nona keponakannya?"
"Ngawur! Cerewet! Hayo cepat tunjukkan padaku di mana kamar nomor lima di loteng itu!"
Kui Lin membenak dan menyambar lengan pelayan itu. Merasa betapa pergelangan lengannya seperti dijepit besi sehingga tulangnya terasa nyeri, pelayan itu menyeringai.
"Baik baik ampunkan saya..."
Dan dia lalu bergegas melangkah ke arah tangga yang menuju ke loteng setelah Kui Lin melepaskan lengannya.
Setelah tiba di depan pintu kamar nomor lima, pelayan itu mengetuk daun pintu. Selama menjadi pelayan belum pernah dia berani mengganggu tamu hotel itu yang berada dalam kamar. Akan tetapi sekarang karena dia takut kepada Kui Lin yang pegangan jari-jari tangan yang mungil itu seperti cepitan besi, dia memberanikan diri.
"Tok-tok-tok!"
Pada saat itu, Bu Eng Hoat masih tidur pulas karena memang baru menjelang fajar tadi dia dapat tidur pulas. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang peka, ketukan di pintu kamarnya itu cukup untuk membangunkannya. Dia bangkit duduk, seketika sadar sepenuhnya ini pertama kali melihat bahwa dia tidur dengan pakaian lengkap berikut sepatunya dia segera teringat akan peristiwa semalam. Dia menjadi waspada dan memandang ke arah pintu kamar itu.
"Ya, siapa di luar?"
Tanyanya dengan suara tenang.
"Saya, Kongcu, pelayan hotel. Ini ada seorang nona ingin bertemu dengan Kong-cu!"
Mendengar ini, hati Eng Hoat menjadi lega dan lebih tenang, walaupun tentu saja dia merasa heran bagaimana di tempat asing ini ada seorang nona hendak bertemu dengan dia! Karena baru saja bangun tidur dan yang akan menemuinya adalah seorang nona, maka otomatis tanpa disengaja kedua tangannya merapikan pakaian dan rambutnya. Setelah rapi dia lalu melangkah ke pintu membukanya. Bu Eng Hoat tercengang ketika buka pintu dia melihat seorang g cantik manis berdiri di depannya dengan pandang mata tajam penuh selidik! tidak mengenal gadis ini dan saking herannya dia sampai tidak dapat bersuara. Dia mengira bahwa tentu gadis itu salah alamat dan mengira dia orang lain.
"Siapa namamu?!"
Kui Lin membentak dengan galak. Sebetulnya ia sendiri tercengang ketika melihat munculnya seorang pemuda tinggi besar berpakaian sederhana dan berwajah ganteng, jantan dan bersih. Tadinya ia mengira berhadapan dengan seorang laki-laki tampang pembunuh yang menyeramkan. Bentakannya yang galak sebagian untuk menyembunyikan rasa herannya. Kalau tadinya Eng Hoat merasa kagum kepada gadis yang cantik manis itu, kini dia mengerutkan alisnya. Ada apa dengan gadis ini, pikirnya. Belum mengenalnya akan tetapi sikapnya begini galak!
"Nona, mengapa engkau menanyakan namaku? Kita tidak saling mengenal dan kenapa engkau yang mengganggu tidurku, sepatutnya kalau engkau yang memperkenalkan namamu kepadaku."
"Mengapa? Jangan berpura-pura bodoh, engkau pembunuh!" "Aku tidak membunuh siapapun juga."
"Bohong! Engkau semalam membunuh Menteri Kebudayaan Liong!"
Bu Eng Hoat tertegun. Kiranya urusan pembunuhan atas diri Menteri Liong? Bagaimana gadis ini dapat mendakwanya?
Apakah gadis ini semalam melihat dia ada di ruangan perpustakan Menteri membunuh menteri itu. Pada saat itu tampak belasan orarg menaiki tangga dan yang paling depan adalah seorang perwira yang segera menghampiri Kui Lin dan berkata.
"Lihiap, inilah toya yang ditemukan di ruangan pembunuhan."
Dia adalah perwira dari istana yang disuruh Pangeran Chou Kuan Tian menyusul Kui Lin dan mengajak sepasukan perajurit dan membawa bukti toya yang diterima oleh pangeran itu dari penyelidiknya. Kui Lin menerima toya itu, memegangnya di kedua tangannya lalu menatap wajah Bu Eng Hoat.
"Engkau jelas berbohong. Hayo kan, toya ini milik siapa?"
Eng Hoat menggangguk mantap.
"memang milikku!"
Dia menjulurkan kedua tangan untuk mengambil senjatanya dari tangan Kui Lin. Akan tetapi Kui cepat mengelak dengan sikap memasang kuda-kuda dan siap menyerang.
"Heiittt! Jangan main-main! Hayo jawab, ke mana semalam engkau pergi Hayo jawab!"
Bu Eng Hoat menggaruk-garuk kepalanya. Bukan main gadis ini, bertanya dengan nada seorang hakim memeriksa terdakwa, atau seorang isteri menuntut suaminya. Dia merasa geli juga, membayangkan dirinya menjadi suami gadis ini menjadi isterinya yang memeriksa ingin mengetahui ke mana sema suaminya pergi!
"Aku..... aku....."
Sukar dia menjawab
"Alaaaaa , akui saja sejujurnya Semalam engkau pergi ke gedung Menteri Liong, bukan? Engkau membunuh Menteri Liong dan ini toyamu tertinggal di ruangan itu. Hayo mengaku saja, bukti sudah jelas!"
Bu Eng Hoat menghela napas panjang
"Tidak akan kusangkal. Aku memang tadi malam pergi ke gedung Merteri Liong akan tetapi aku tidak membunuhnya".
"Bohong lagi! Malam-malam ke sana membawa senjata bahkan senjatanya tertinggal di sana dan Menteri Liong tewas Kalau engkau tidak membunuhnya, apakah engkau datang ke sana mau jalan-jalan lalu tersesat, begitu? Hayo menyerah, atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan menghajarmu lebih dulu!"
Bu Eng Hoat mengerutkan alisnya yang tebal. Hatinya mulai merasa panas Gadis ini menuduhnya secara keras tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk mberi keterangan. Watak pemuda ini memang keras.
"Heh, gadis sombong! Kamu ini siapa sih, lagakmu seperti seorang hakim! Ada hak apakah engkau hendak menangkapku?"
Dia bertanya marah.
"Eh-eh, aku ditugaskan oleh Istana untuk menjaga keamanandan menangkap penjahat dan pembunuh macam kamu!"
"Engkau menuduh aku bohong, engkau sendiri yang bohong! Tidak mungkin Istana mempunyai petugas seorang anak prempuan kecil macam kamu!"
"Keparat! Aku adalah Hek I Lihiap Song Kui Lin, kepercayaan Keluarga istana, tahu? Hayo engkau menyerah, atau harus kupatahkan dulu kedua kakimu?"
"Siapa takut kepadamu? Mau tangkap aku? Cobalah kalau engkau mampu!"
Bu Eng Hoat tiba-tiba menyerang dengan maksud untuk merampas toya dari tangan gadis itu. Gerakannya cepat dan kedua tangannya mendatangkan angin yang cukup kuat. Namun Kui Lin yang sudah siap cepat mengelak. Kesempatan itu dipergunakan Eng Hoat untuk melompat dan menuruni loteng itu.
"Bangsat, jangan lari!"
Kui Lin juga melompat dan melayang turun mengejar. Akan tetapi setelah tiba di halaman yang luas dari hotel itu, Eng Hoat berhenti dan menanti Kui Lin.
"Siapa hendak lari? Aku bukan pengecut. Aku tidak lari melainkan mencari tempat yang luas. Nah, engkau boleh maju mengeroyokku. Aku tidak bersalah dan aku tidak sudi menyerah!"
Mendengar ini, Kui Lin menoleh mengangkat tangan kirinya menyetop para perajurit pengawal yang sudah berlari turun dari loteng.
"Kalian tidak boleh melakukan pengroyokan. Biarkan aku sendiri yang menangkap pembunuh ini!"
Teriaknya perwira itu lalu memberi isarat kepada anak buahnya untuk mengepung saja halaman itu agar si pembunuh tidak dapat melarikan diri.
Kini Kui Lin yang berhadapan dengan Bu Eng Hoat berkata sambil tersenyum mengejek.
"Nah, aku tidak akan melakukan pengeroyokan! Sebaiknya engkau menyerah saja sebelum aku mematahkan kedua kakimu!"
"Bocah sombong! Aku tidak bersalah, aku bukan pembunuh, maka aku tidak akan menyerah kepadamu!"
Lalu dia menambahkan dengan senyuman mengejek,
"Engkau boleh menggunakan senjataku itu, aku akan melawanmu dengan tangan kosong!"
Kui Lin semakin marah.
"Ini tongkat pengemismu, aku tidak butuh!"
Lalu setelah melemparkan tongkat itu yang diterima oleh Bu Eng Hoat, Kui Lin meloloskan pedang sabuknya dan tampak cahaya pedang itu berkilauan.
"Hemmm, dengan pedangku ini, mungkin bukan hanya kedua kakimu yang patah, melainkan lehermu yang akan putus. Maka, sebelum terlanjur mampus, katakan siapa namamu!"
"Aku tidak pernah menyembunyikan nama. Aku Bu Eng Hoat yang selalu akan menentang segala bentuk kejahatan termasuk wanita galak sewenang-wenang seperti kamu!"
Bu Eng Hoat sudah siap dengan tongkatnya.
"Haaaiiittttt!!"
Tiba-tiba Kui Lin mengeluarkan pekik melengking dan mulai menyerang. Tubuhnya bergerak cepat, dan pedangnya sudah meluncur ke depan menusuk ke arah dada lawan. Pedang sabuk milik Song Kui Lin ini ada pemberian gurunya, Louw Keng Tojin. Tampaknya hanya sebatang pedang tipis sekali sehingga dapat dilipat sebagai sabuk. Pedang itu lemas dan lentur, akan tetapi setelah dipegang oleh Kui Lin pedang itu seolah menyatu dengan tangannya sehingga dengan penyaluran tenaga saktinya, ia dapat membuat pedang itu menjadi kaku dan kuat seperti baja tebal yang mampu menembus batu karang dan mematahkan besi! Melihat tusukan yang secepat kilat itu, Bu Eng Hoat segera menangkis dengan tongkatnya.
"Tranggggg!"
Pertemuan antara pedang dan tongkat itu membuat keduanynya tergetar. Diam-diam mereka terkejut karena dari pertemuan pertama mereka itu saja mereka sudah dapat mengetahui bahwa lawan mereka memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Kembali Kui Lin menyerang, kini pedangnya membacok dari atas ke arah kepala lawan, lalu kaki kirinya menyusulkan tendangan ke arah perut lawan. Serangan ini amat berbahaya karena lawan terpancing perhatiannya untuk menghadapi serangan pedangnya yang datang dari atas sehingga tendangan susulan itu yang merupakan serangan inti pada saat lawan sedang mencurahkan perhatiannya ke atas.
Akan tetapi dengan tangkas sekali Eng Hoat menggerakkan tongkatnya dengan jurus "Menyangga Langit Menekan Bumi", ujung tongkat kirinya menangkis pedang lawan dari bawah dan ujung tongkat kanannya menangkis tendangan kaki lawan dengan cara menekan.
"Cringgg dukkk'"
Kembali serangan Kui Lin gagal, bahkan kaki kirinya yang bertemu dengan tongkat terasa agak nyeri. la marah sekali dan makin mempergencar serangannya. Akan tetapi Bu Eng Hoat tidak tinggal diam. Karena maklum bahwa gadis muda itu benar-benar amat hebat dan ganas, maka selain mengelak dan menangkis, dia mulai membalas dengan dahsyat. Terjadilah pertarungan yang amat seru hebat, membuat mereka yang menyaksikannya menjadi bengong dan kagum, demikian cepatnya gerakan dua orang muda yang sedang bertanding itu sehingga badan mereka tidak tampak jelas. Yang tampak hanya dua sosok bayangan terbungkus gulungan sinar pedang dan sinar tongkat! Bagi mereka yang ilmu silatnya belum mencapai tingkat tinggi, tebtu tidak dapat mengikuti jalannya pertandingan dan tidak tahu siapa di antara mereka yang menekan atau tertekan. Apalagi mereka yang tidak paham ilmu silat bahkan mungkin melihat pertandingan itu sebagai sepasang penari yang sedang menari saja!
Akan tetapi Liu Cin yang berada situ pula dengan Hui Lan, terbangun suara gaduh itu dan ikut menonton, rasa khawatir. Liu Cin maklum bahwa orang yang bertanding itu memiliki ilmu silat yang tinggi dan keadaan mereka seimbang. Bukan tidak mungkin seorang di antara mereka akan roboh terluka berat atau bahkan tewas. Tentu saja dia tidak menghendaki hal ini terjadi. , begitu tiba di pekarangan itu dia rasa mengenal pemuda yang memainkan sepasang tongkat itu. Pemuda yang pernah dia temui ketika pemuda itu menyerang Ang Hwa Niocu Lai Cu Yin! Setelah dia bergaul dengan Ang Hwa Niocu Cu Yin dan mengetahui orang macam apa adanya wanita itu, baru dia tahu bahwa pemuda itu berada di pihak benar. Pemuda itu adalah seorang pendekar yang mendengar akan kejahatan Ang Hwa Niocu membunuhi para pemuda maka berkeras hendak membunuh wanita iblis itu.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hui Lan, pemuda itu bukan pembunuh. Aku mengenal dia sebagai seorang pendekar yang menentang kejahatan."
Bisik Liu Cin.
"Hemmm, kalau begitu, gadis itu tidak boleh membunuhnya. Kita harus melerai perkelahian itu dan memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk membela diri dan memberi keterangan."
Biarpun Liu Cin dan Hui Lin bukan suami isteri. bahkan bukan sepasang kasih resmi karena sampai kini Hui masih belum berani mengaku bahwa ia mencintai Liu Cin, namun di antara dua orang itu terdapat hubungan batin yang amat erat. Mereka amat peka satu sama lain dan hal ini terjadi setelah mereka berdua melatih ilmu Thian-te Im-yang Sin-kun bersama-sama. Maka sedikit kata-kata tadi sudah merupakan kesepakatan dan keduanya lalu melompat ketengah halaman di mana Bu Eng Hoat dan Song Kui Lin sedang bertanding seru.
"Kalian berhentilah berkelahi!"
Liu Cin dan Hui Lan hampir berbarengan Liu Cin menghadang di depan Bu Eng Hoat sedangkan Hui Lan menghadang Kui Lin. Terpaksa dua orang yang sedang bertanding itu menahan senjata masing-masing dan berlompatan mundur. Melihat dua orang yang tidak dikenalnya akan tetapi yang memiliki gerakan ringan itu melerai. Kui Lin mengira bahwa mereka tentu merupakan teman-teman si pembunuh. Maka ia cepat berseru
"Tangkap mereka!. Mereka tentu kawan si pembunuh ini!"
Perwira tadi cepat mengerahkan para perajurit untuk menyerang Bu Eng Hoat, Liu Cin, dan Song Hui Lan sehingga terpaksa tiga orang ini membela diri dan menangkisi senjata para perajurit yang mulai mengeroyok. Bu Eng Hoat sendiri tidak mengenal Hui Lan, akan tetapi begitu melihat Liu Cin, dia segera teringat. Inilah pemuda yang dulu membela Ang Hwa Niocu, iblis betina pembunuh banyak pemuda itu ketika dia menyerangnya. Tentu saja dia merasa heran karena tadinya mengira bahwa tentu Liu Cin merupakan seorang sesat pula maka membela iblis betina seperti Ang Hwa Niocu. Akan tetapi mengapa sekarang muncul bersama seorang gadis cantik membelanya?
Karena Liu Cin dan Hui Lan tidak bermaksud menentang para perajurit maka mereka berdua hanya melindungi diri saja. Akan tetapi segera lebih banyak perajurit datang mengepung, memenuhi halaman hotel itu. Mereka tadinya menonton sudah bubar melarikan dan menjauhkan diri karena khawatir terlibat. Tiba-tiba terdengar suara lembut namun berpengaruh karena mengandung getaran kuat.
"Tahan semua senjata! Lin-moi, hentikan perkelahian!!"
Mendengar suara Han Lin, Kui Lin segera berhenti, memutar badan memandang kepada kakak angkatnya itu dengan cemberut.
"Lin-ko, engkau ini bagaimana sih. Mengapa menahan kami menangkap pembunuh ini? Semestinya engkau membantu kami menangkap mereka!!"
Sementara itu, melihat Han Lin, Cin dan Ong Hui Lan juga menjadi girang sekali.
"Han Lin!"
Mereka berseru dengan berbareng. Hui Lan lalu menghampiri Han Lin dan berkata.
"Han Lin, kami ini bukan pembunuh dan tidak melakukan kejahatan. Kami berdua hanya ingin melerai dan mencegah orang ini disakiti atau dibunuh karena menurut keterangan Lui Cin, orang ini tidak bersalah dan bukan pembunuh."
Menteri Liong dan aku telah diberi tugas oleh Pangeran Chou Kuan Tian untuk menangkapnya, tapi dihalangi dua orang ini! Lin-ko, engkau harus membantuku menangkap mereka bertiga."
"Nanti dulu, Lin-moi. Agaknya ada kesalah pahaman di sini. Suruh para perajurit itu mundur dan mari kita semua masuk ke ruangan rumah makan yang kosong itu untuk membicarakannya. Di sana kita lihat, kalau memang ada yang salah baru ditangkap, dan sebagai orang gagah, yang merasa bersalah harus berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya!"
Ucapan Han Lin yang lembut namun tegas dan sikapnya yang halus itu tidak ada yang membantah. Kui Lin menyuruh perwira tadi menarik mundur pasukannya dan mereka berlima lalu masuki ruangan rumah makan yang kosong karena semua tamunya tadi melarikan diri. Bahkan tidak ada seorangpun pelayan tampak karena mereka semua juga pergi bersembunyi. Mereka segera mengambil tempat duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang kosong.
"Nah, sekarang mari kita bicara dengan sejujurnya. Lin-moi, engkau bercerita, mengapa engkau hendak menangkap saudara ini."
Han Lin menuding kepada Bu Eng Hoat. Song Kui Lin cemberut, akan tetapi ia bercerita juga.
"Lin-ko, semua orang tahu semalam telah terjadi peristiwa yang menggemparkan, yaitu Menteri Liong yang bijaksana terbunuh dalam kamar gedungnya. Menurut penyelidikan, si pembunuh ketinggalan toyanya di dalam ruangan perpustakaan di mana Menteri Liong terbunuh. Kemudian Pangeran Chou Kuan Tian menerima surat pemberitahuan bahwa si pembunuh berada di kamar nomor lima di loteng hotel ini. Beliau mengutus aku untuk menangkap si pembunuh. Ketika aku datang si pembunuh Bu Eng Hoat ini, maka aku hendak menangkapnya akan tetapi dia melawan, maka kami berkelahi."
"Hemmm, adikku. Boleh saja engkau mencurigai orang, akan tetapi sebelum menyatakan dia bersalah, engkau harus yakin betul dan harus memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri. Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, Bu Eng Hoat, harap engkau sejujurnya menceritakan apakah engkau membunuh Menteri Liong dan apa alasanmu maka engkau pergi mengunjunginya dan toyamu tertinggal di ruangan rumahnya?"
Katanya sambil menatap tajam wajah Bu Eng kiat.
Mendengar cerita gadis cantik manis yang galak itu, mengertilah Bu Eng Hoat bahwa gadis itu memang benar utusan Pangeran Chou Kuan Tian dan memang tidak dapat disalahkan kalau gadis itu merasa yakin bahwa dia pembunuhnya karena memang toyanya tertinggal di tempat pembunuhan!
"Baik, aku akan bercerita sejujurnya. Terserah kalian mau percaya atau tidak. Memang dunia ini aneh, terkadang cerita yang sesungguhnya tidak dipercaya orang seperti pernah kualami beberapa waktu yang lalu,"
Bu Eng Hoat berhenti sebentar memandang kepada Liu Cin. Liu Cin tersenyum mengangguk maklum karena dulu pun dia lebih percaya cerrita Ang-hwa Niocu yang bohong dan jahat daripada cerita pemuda ini yang sebenarnya. Bu Eng Hoat melanjutkan.
"Aku adalah seorang perantau yang memenuhi perintah guruku untuk menentang kejahatan di dunia kangouw. Ketika aku memasuki kota raja aku mendengar bahwa Menteri Kebudayaan Liong ada seorang pejabat tinggi yang lalim, korup suka menindas rakyat mengandalkan kekuasaannya, menumpuk kekayaan, memeras rakyat dan mempermainkan banyak anak gadis orang. Nah, mendengar ini malam tadi aku sengaja mengunjungi gedungnya. Akan tetapi ketika aku mengintai di ruangan perpustakaan, aku lihat dia membaca kitab-kitab suci melihat kata-katanya sendiri, aku menjadi ragu karena ucapannya yang keluar adalah ucapan seorang yang bijaksana, tentu saja aku tidak gegabah menyerang atau membunuhnya sebelum aku tahu dengan jelas dia itu manusia bagaimana. Pada saat itu, tiba-tiba seorang yang berpakaian hitam dan mukanya ditutupi kain hitam melompat ke dalam ruangan lalu dan dengan toyanya dia menyerang dan membunuh Menteri Liong. Aku terkejut, akan tetapi terlambat menolongnya. Ketika aku melompat ke dalam dan menyerang pembunuh itu, dia menangkis dan dalam perkelahian singkat, aku harus mengakui bahwa dia memiliki kepandaian yang hebat. Tenaganya kuat sekali sekali sehingga dia mampu membuat toyaku terlepas dan terlempar ke sudut ruangan. Pada saat itu terdengar suara gaduh dan para perajurit pengawal berdatangan. Melihat pembunuh itu melarikan diri, akupun terpaksa melarikan diri dengan niat mengejarnya. Namun dia lenyap dan aku pun terpaksa pulang ke kamar hotel ini dan merasa amat menyesal karena aku tidak mampu menyelamatkan Menteri Liong. Nah, itulah ceritaku, terserah kalian mau percaya ataukah tidak."
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo