Si Rajawali Sakti 2
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Petunjuk-petunjuk dan upacara-upacara saja tidak akan menolong, Thong Leng Losu. Harus ada peraturan yang melaksanakan, harus ada hukum, yaitu hukum siapa yang melanggar peraturan. Kalau peraturan hukum dilaksanakan dengan baik dan sebagaimana mestinya, akan terdapat ketertiban."
Kata Tiong Gi Cinjin mempertahankan teorinya berdasarkan pelajaran dari Agama Khong-kauw yang dianutnya.
"Ha-ha-ha, kalian berdua hanya bicara tentang peraturan. Manusia tidak akan dapat membuat kehidupan menjadi baik, dengan mengadakan peraturan yang ba-imanapun. Lihatlah, matahari bulan dan Bintang tidak diatur manusia namun selalu berjalan dengan tertib. Burung-burung terbangan di udara, ikan-ikan berenang dalam air, mereka itu tidak mempunyai akal pikiran seperti manusia, namun tidak kekurangan makan, tidak mengerti sengsara karena mereka semua itu hidup
(Lanjut ke Jilid 02)
Si Rajawali Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
sesuai dengan To. Alam mengatur segala sesuatu dengan tertib, akan tetapi aturan perbuatan manusia malah menimbulkan kekacauan. Biarkanlah Alam bekerja tanpa campur tangan manusia, karena Alam bekerja tanpa tujuan tanpa pamrih tidak seperti manusia yang mementingkan tujuannya daripada caranya."
Kata Lou Keng Tojin mempertahankan teori agamanya.
Tiga orang itu mulai berdebat, mula-mula mereka mempertahankan teori kebenaran agama masing-masing. Akan tetapi perdebatan itu mendatangkan suasana panas yang mempengaruhi hati akal pikiran mereka sehingga akhirnya mereka saling mencela! Yang beragama buddha dicela karena dikatakan menyembah benda mati berupa arca. Tiong Gi Cinjin yang pendeta Agama Khong-kauw dicela karena hanya mengurus soal manusia dan duniawi. Louw Keng Tojin dicela karena agamanya hanya mengurus hal-hal yang tidak nyata, mengkhayal dan seperti mimpi, sama sekali tidak mempedulikan urusan manusia hidup di dunia.
Perdebatan yang dimulai memamerkan kebaikan dan kebenaran masing-masing berlanjut kepada saling mencela sehingga akhirnya tiga orang itu turun dari atas batu, berdiri dengan muka merah mata bersinar penuh kemarahan!
"Hemmm, kalian mencela pelajar Agama Khong-kauw kami, hal itu berarti kalian menentang kami dan siapa yang menentang kami berarti musuh kami teriak Tiong Gi Cinjin yang sudah hilangan kesabarannya. Dia mencabut pedangnya dan tampak sinar hijau ber kelebat, lalu sinar itu menyambar-nyambar kearah batu yang tadi diduduki Tiong Gi Cinjin. Hanya terdengar sedikit suara, akan tetapi ketika sinar hijau itu kembali ke tangan Tiong Gi Cinjin, batu itu runtuh dan berantakan, telah terpotong-potong seperti mentimun dirajang pisau yang amat tajam!
"Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak macam itu tidak ada artinya!"
Terdeng Louw Keng Tojin berkata. Dia lalu melempar kebutannya ke atas dan tiba-tiba bagaikan benda hidup, kebutan itu melayang turun ke arah batu yang tadi diduduki dan kebutan itu menyambar cepat. Terdengar ledakan keras dan batu itu terpukul bulu kebutan pecah berhamburan dan kebutan itu sudah "terbang"
Kembali ke tangan Louw Keng Tojin memang pendeta To ini selain lihai ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir.
"Omitohud, kalian telah melanggar larangan membunuh dalam agama kami. Menghancurkan batu-batu itu sama dengan membunuh. Sungguh tidak memiliki belas kasihan."
Kata Thong Leng Losu dan hwesio tinggi besar ini menghampiri lima buah batu yang sudah pecah berantakan itu, memungutinya dan dia menempel-nempelkan pecahan batu-batu itu sehingga melekat kembali dan menjadi utuh. Inilah hasil tenaga sakti yang amat hebat!
Kini tiga orang yang lelah berdebat sengit tadi, berdiri saling berhadapan. Mereka semua adalah pendeta-pendeta yang sudah mempelajari agama masing-masing secara mendalam, hafal akan semua pelajaran dalam kitab-kitab suci mereka. Mereka siap untuk membela agama masing-masing dengan mati-matian, kalau perlu berkorban nyawa! Akan tetapi mereka masih dapat menenangkan diri tidak membiarkan diri hanyut oleh nafsu amarah karena maklum bahwa itu ditentang atau dilarang oleh agama mereka masing-masing.
Karena mereka sama-sama menahan diri, tidak mau mendahului melakukan serangan, maka mereka bertiga hanya berdiri saling berhadapan dengan muka merah. Thong Leng Losu sudah siap dengan tongkatnya dari baja biru. Tiong Cinjin juga sudah memegang pedangnya dan Louw Keng Tojin memegang kebutannya. Di dalam hati mereka terjadi konflik sendiri, sebagian terdorong penasaran dan marah hendak menyerang lawan, sebagian lagi menaati pelajar agama masing-masing tidak mau melakukannya.
Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Datangnya dari bawah puncak dan suara itu terdengar tenang dan sayup-sayup, namun dapat terdengar jelas semua kata-katanya.
Intinya adalah Api Suci
yang selalu membakar dan menerangi
Mengapa yang dipersoalkan asap
dan abunya
yang hanya mengaburkan
pandangan mata?"
Biarpun suara nyanyian itu terdengar lebih sayup-sayup, akan tetapi tiga orang yang berilmu tinggi itu dapat merasakan getarannya yang kuat dan penuh kewibawaan lembut mengusap perasaan hati mereka, menghapus kemarahan dari hati. Tahulah mereka bertiga bahwa akan muncul seorang manusia yang luar biasa dan seperti dengan sendirinya mereka tunduk dan menanti dengan sikap hormat.
Kemudian tampaklah Thai Kek Siansu melangkah ke puncak itu, memandang mereka bertiga, tersenyum lalu menghampiri, berdiri berhadapan dengan mereka sehingga mereka berempat kini menduduki titik-titik segi empat.
"Ho-ho, tiga manusia utama memperebutkan Kebenaran! Kebenaran yang dapat diperebutkan jelas bukan kebenaran lagi namanya. Kebenaran yang dapat diperebutkan adalah kebenaran yang mempunyai lawan, yaitu ketidakbenar Padahal, Kebenaran tertinggi tidak mepunyai lawan. Segala sesuatu tercakup dalamnya!"
Thai Kek Siansu lalu duduk bersila begitu saja di atas tanah berumput. Anehnya tanpa dia mengatakan sesuatu, tiga orang itu otomatis lalu duduk bersila di atas tanah seperti yang dilakukan Thai Kek Siansu! Tiga orang itu mengenai kakek itu dan mereka bertiga merangkapkan kedua tangan depan dada sambil mengucapkan salam hampir bersamaan.
"Selamat datang, Thai Kek Siansu!"
Thai Kek Siansu membalas salam mereka dengan ucapan lembut.
"Selamat berjumpa, Sam-wi Suhu (Ketiga Guru) dari Sam Kauw (Tiga Agama)!"
Mereka berempat duduk bersila tiga orang pertama memandang kepada Thai Kek Siansu yang menundukkan mukanya sambil tersenyum dan kedua mukanya terpejam. Kemudian, bagaikan orang bermimpi, dia kembali menyanyikan syair yang amat terkenal di antara para tokoh agama dan para sastrawan di Zaman itu. Syair itu adalah karya Sikong Tu (837 - 908), seorang penduduk Daerah Yong-ji di Propinsi Shan-si. Dalam usia muda dia sudah lulus ujian negara. Ketika orang Chao menyerang ibukota Kerajaan Tang dia mengungsi. Dalam usia lima puluh lima tahun dia mengundurkan diri bertapa. Ketika Dinasti Tang jatuh, dia menolak pemberian pangkat oleh Kaisar Dinasti yang baru. Thai Kek Siansu menyanyikan syair itu dengan suara lembut.
"Dia tinggal dalam keheningan, dalam kesederhanaan,
Ilham adalah lembut sekali, cepat menghilang.
Dia minum dari Sumber Keselarasan Agung,
Terbang bersama burung bangau terpencil di atas.
Lembut seperti desahan napas angin lalu
Yang semilir menyentuh baju panjangmu.
Atau desir pohon-pohon bambu yang tinggi
Yang keindahannya selalu engkau rindukan.
Kalau kebetulan bertemu, agaknya mudah dicapai
Pada saat engkau hampir, Dia mundur,
Dan ketika engkau menjangkau merangkapnya,
Dia menggelincir dari tanganmu hilang!"
Setelah Thai Kek Siansu menghentikan nyanyiannya, suasana sejenak menjadi hening, akan tetapi segera terisi oleh suara alami yang terdengar demikian menghanyutkan perasaan. Desir angin antara batu-batu air yang memancur menimpa batu, diselingi bunyi burun burung yang melayang lewat puncak. Akan tetapi semua suara dari luar di yang tidak mampu menghilangkan suara keheningan dalam diri yang tidak pernah berhcnti akan tetapi hanya dapat didengar orang yang benar-benar tidak lagi mempengaruhi kebisingan hati akal pikiran, suara itu terdengar di telinga yang paling dalam. Orang yang mendengarnya mungkin tidak sama daya penangkapnya dengan orang lain. Ada yang mengatakan seperti gemersiknya angin bergurau dengan daun-daun, atau seperti gelora air lautan yang dahsyat, atau seperti ombak berkejaran.Telinga luar tidak mempengaruhi pendengaran itu, biar telinga ditutup, tetap saja suara itu berbunyi. Suara keheningan, suara kehidupan, membahagiakan manusia yang dapat mendengarnya
Thong Leng Losu pendeta Buddha dari Tibet itu tak sabar lagi untuk tinggal diam.
"Omitohud, Thai Kek Siansu, kebetulan sekali engkau datang pada saat kami bertiga sedang mengadakan pertemuan. Kami bertiga ingin membahas tentang keadaan rakyat jelata dan kerajaan yang silih berganti, selalu terjadi perebutan kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami memperbincangkan semua itu dan juga agama kami masing-masing, bagaimana kami akan dapat menanggulangi semua itu dan mendatang kedamaian dan kesejahteraan bagi manusia, khususnya bangsa kita yang terpecah belah oleh perebutan kekuasaan. Mohon petunjuk dari Siansu yang telah kami dengar akan kebijaksanaannya."
Thai Kek Siansu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya, namun mulutnya tersenyum, senyum penuh pengertian dan kesabaran.
.
"Tiga orang sahabatku yang baik, untuk dapat mengerti tentang kehidupan mengapa kita harus mendengar petunjuk orang lain? Kita bersama adalah manusia, kehidupan ini sama-sama kita alami. Siapa yang berhak memberi petunjuk dan kepada siapa? Kita tidak membutuhkan petunjuk orang lain, karena apa pun juga yang kita percaya dan lakukan, kalau menurut petunjuk orang lain, adalah palsu. Bagaimana kalau petunjuk itu salah. Maka, karena kita berempat sama-sama mengalami kehidupan ini, apakah tidak lebih baik kalau kita sama-sama pula mengamati dan mempelajarinya?"
Tiong Gi Cinjin berkata.
"Tak dapat dibantah kebenaran ucapan Siansu Itu. Akan tetapi untuk melakukan penyelidikan kami bertiga yang tadi tidak mendapatkan kesepakatan, perlu seorang yang tidak berpihak untuk membuka jalan dan kami harap Thai Kek Siansu yang suka memulai dengan pengamatan dan penyelidikan ini, agar kami bertiga tidak saling bertumbukan."
Thong Leng Losu dan Louw Keng Cinjin mengangguk-angguk dan menyatakan setuju.
Louw Keng Tojin berkata.
"Thai Kek Siansu, mari kita bicara dan menyelidiki tentang Agama lebih dulu. Tadi kami bertiga berselisih paham mengenai kebenaran dalam Agama dan karena kami Mempertahankan kebenaran dalam Agama kami masing-masing, maka terjadi salah faham. Sekarang, bagaimana kita dapat melihat kenyataannya, siapa di antara kami bertiga yang benar?"
"Sam-wi (Anda Bertiga) berdebat tentang Kebenaran? Kebenaran yang diperdebatkan bukanlah kebenaran lagi karena Dia ditinjau dengan pandangan yang dan terselubung tirai penilaian agama masing-masing. Mari kita amati tanpa tirai itu. Apakah sebenarnya Agama itu Yang dapat dibuktikan, Agama ada pelajaran untuk menuntun manusia arah jalan hidup yang baik. Bukan demikian? Semua Agama mengajar kebaikan dan tidak ada sebuah pun Agama yang mengajarkan agar umatnya melakukan tindakan jahat. Intinya ada agar manusia di waktu hidupnya berbuat kebaikan menjauhi kejahatan sampai akhir hayatnya. Akan tetapi Agama juga memiliki sejarah dan upacara-upacara masing-masing yang tentu saja diakui benarannya secara mutlak oleh umat Sayang sekali, seperti yang Sam-wi perlibatkan tadi, Sam-wi tidak melihat kesamaan intinya atau apinya, yaitu hidup dalam kebaikan, melainkan Sam-wi bersitegang membela upacaranya yang berbeda. Mengapa Sam-wi tidak menggunakan persamaan intinya itu untuk diajarkan kepada umat masing-masing sehingga semua pemeluk agama yang berbeda itu dapat hidup berdampingan secara rukun karena sama-sama memperjuangkan kebaikan dalam kehidupan manusia di dunia
"Omitohud! Biarpun ucapan Siansu membuka mata kami untuk melihat kebenaran, akan tetapi bagaimana dengan kenyataan yang dapat disaksikan betapa umat beragama lain, misalnya ada orang beragama To tetapi menjadi seorang penipu dengan ilmu sihirnya?"
Kata Thong Leng Losu.
"Siancai! Enak saja Hwesio ini mencela orang lain! Pinto juga melihat banyak sekali orang beragama Khong-kauw yang menjadi penjahat!"
Seru Louw Keng Tojin membela agamanya.
"Bukan hanya itu, siapa yang tidak tahu berapa banyaknya orang beragama Budha yang menjadi pembunuh?"
Suasana menjadi tegang, akan tetapi suara tawa Thai Kek Siansu seolah dapat mendatangkan suasana dingin karena suara itu lembut sekali.
"Mari kita lihat dan pertimbangkan, Sam-wi. Kalau seorang beragama To kauw menipu, jelas dia itu bukan orang beragama To-kauw, melainkan seorang penipu yang mengaku beragama To! karena kalau dia benar-benar seorang agama To, dia tidak berani menipu dilarang oleh agamanya itu! Juga kalau ada penjahat mengaku beragama Khong kauw, dia adalah seorang penjahat juga hanya mengaku-aku saja dan bukan orang Khong-kauw sejati. Kalau dia benar-benar beragama Khong-kauw, tidak akan berani berbuat jahat karen hal itu dilarang oleh agamanya. Demikian pula, seorang pembunuh mengaku agama Buddha, sebetulnya dia hanya palsu dan mengaku-aku saja karena kalu dia benar seorang Buddhis, sudah pasti dia tidak berani membunuh karena itu dilarang keras oleh agamanya! Nah, kiranya sudah jelas. Bukanlah agama yang tidak benar, melainkan orangnya Tidak perlu dan tidak benarlah kalau Agama saling menyalahkan, karena tidak ada agama yang benar atau salah menurut pandangan orang-orang yang pecah belah melalui agama. Agama adalah Kebenaran itu sendiri karena datang dari Kebenaran Yang Satu."
Tiga orang pendeta itu termenung, Tiong Gi Cinjin menghela napas lalu berkata.
"Siansu, aku mulai melihat kebanaran dalam keterangan ini. Akan tetapi mengapa hampir seluruh rakyat meengaku beragama, dan semua agama mengajarkan kebaikan agar kita hidup melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, Akan tetapi kenyataannya, mengapa selalu terjadi perang, permusuhan, kejahatan dan kekacauan yang menyengsarakan rakyat?"
Thong Leng Losu dan Louw Keng Tojin juga tertarik oleh pertanyaan ini dan mereka bertiga memandang kepada Thai Kek Siansu dengan penuh perhatian.
"Pertanyaan yang baik sekali dan hal ini patut kita pertanyakan dan kita renungkan. Mengapa demikian? Kenyataannya adalah bahwa umat beragama sekarang ini hanya mementingkan sejarah dan upacara masin-masing yang saling berbeda, dan jarang yang mendapatkan Api atu inti Agama masing-masing yang sesungguhnya sama dan hanya satu. Apakah inti dari semua pelajaran itu?"
Kata Thai Kek Siansu.
"Inti semua pelajaran tentu saja menurut pelajaran agama masing-masing yang menuntun manusia untuk berbuat kebaikan!"
Kata Tiong Gi Cinjin dan seorang pendeta lainnya mengangguk menyetujui.
Pada saat itu, tiba-tiba ada sinar-sinar hitam menyambar bagaikan kilat arah empat orang itu! Kiranya sinar-sinar itu adalah empat batang anak panah berwarna hitam yang dilepas dengan kekuatan dahsyat menyerang empat orang yang sedang bercengkerama.
"Sing-sing-sing-sing..........!!"
Sebatang anak panah menyambar arah tengkuk Thong Leng Losu. Akan tetapi hwesio ini diam saja, tidak tahu ataukah memang sengaja diam saja, tidak mengelak maupun menangkis.
"Tukkk!!"
Anak panah itu tepat mengenai tengkuk dan patah menjadi dua, jatuh di belakang tubuhnya!
Sebatang anak panah lain menyambar ke arah lambung kanan Tiong Gi Cinjin. Pendeta Khong-kauw ini pun seolah tidak mengacuhkannya. Tangan kanannya hanya bergerak ke kanan tanpa menengok dan ditang anak panah itu telah terjepit di antara jari tengah dan telunjuknya!
Sebatang anak panah lain menyambar kepala Louw Keng Tojin. Pendeta To ini menoleh dan meniup ke arah sinar hitam itu dan anak panah itu tiba-tiba menyimpang dan meluncur ke atas, terputar-putar di atas. Louw Keng Tojin mengikat tangan kirinya menggapai dan bagaikan hidup anak panah itu melayang turun ke arah tangan tosu itu yang mengkapnya!
Adapun sebatang anak panah yang menyambar ke arah dada Thai Kek Siansu tampaknya seperti akan tepat mengenai kisaran, akan tetapi setelah dekat sekali dengan dadanya, anak panah itu jatuh ke tanah seolah-olah tertahan sesuatu yang tdak tampak!
Empat orang tua yang amat lihai itu memungut anak panah dan mengamatinya.
"Omitohud, bangsa Khitan selalu berusaha menguasai negeri ini dan mamerkan kepandaian mereka memanah kata Thong Leng Losu mengamati anak panah yang tadi mengenai tengkuk dan patah menjadi dua.
"Orang-orang yang melakukan penyerangan secara curang adalah pengecut-pengecut dan orang-orang seperti tidak ada harganya, sebangsa Siauw-Jin (Orang Rendah). Sepantasnya kalau diberi hajaran agar mereka itu sadar dan kembali ke jalan kebenaran."
Kata Tiong Cinjin dengan suara dan sikap keren namun tetap tenang.
"Ha-ha-ha, harimau-harimau tidak akan mempedulikan ulah para tikus kata Louw Keng Tojin.
Sementara itu, Thai Kek Siansu diam saja, hanya tersenyum karena dia ingin melihat apa yang akan dilakukan tiga orang tokoh agama yang berbeda itu terhadap orang-orang yang menyerang dengan curang itu. Dia hanya memandang ke empat penjuru karena maklum bahwa puncak di mana mereka berempat duduk itu telah dikepung banyak orang!
"Saudara-saudara yang datang, kalau ada urusan dengan kami berempat, mengapa tidak langsung naik saja ke sini dan bicara dengan kami?"
Kata Thai Kek Siansu dengan suara lirih, namun suaranya dapat terdengar orang yang berada di kaki bukit sekalipun karena gelombang udara yang didukung tenaga sakti dari batin yang kuat itu memiliki gelombang yang dahsyat.
Kini bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, lalu mereka berkumpul di depan Thai Kek Siansu. Tiga orang pendeta itu pun menggunakan tenaga sakti mereka sehingga tanpa menggerakkan tubuh, mereka yang duduk bersila itu berputar menghadap ke arah para pendatang itu. Sedikitnya ada tiga puluh orang Khitan berdiri di situ dan di depan mereka terdapat lima orang yang agaknya menjadi pimpinan mereka.
Yang pertama adalah seorang suku bangsa Khitan. Hal ini jelas tampak pada pakaiannya. Dia memang seorang di antara para kepala suku Khitan bernama Kailon, berusia lima puluh tahun, ber tubuh tinggi besar, di punggungnya tergantung sebuah busur dan belasan batang anak panah, di pinggangnya tergantung sebuah golok dan di lengan kirinya menempel sebuah perisai. Kailon tampak gagah perkasa sebagai seorang panglima perang yang kokoh kuat.
Agaknya yang menjadi juru bica rombongan yang datang itu adalah Ce In Hosiang karena diaJah yang menjaw didahului tawa yang membuat perutn yang gendut itu bergoyang-goyang.
"Ha-ha-ha-ha, Thai Kek Siansu, sungguh merupakan kejutan besar yang mengherankan dan menyenangkan dapat bertemu denganmu di tempat ini. Terus terang saja, kami naik ke bukit ini karena mendengar akan adanya pertemuan antara Thong Leng Losu, Tiong Ci Ci jin, dan Louw Keng Tojin. Siapa tahu sini kami bertemu dengan Thai Kek Sia su yang kami sangka sebelumnya bahkan seorang manusia sepertimu ini tidak akan pernah muncul di dunia ramai! Kalau datang untuk menjumpai tiga orang tokoh besar ini karena pada saat ini bangsa kita membutuhkan semua tenaga orang sakti untuk mengakhiri semua perang saudara dan perebutan kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami ingin minta bantuan mereka bertiga agar mendukung pemerintahan baru yang kokoh, kuat dan yang akan menyejahterakan kehidupan rakyat jelata. Akan tetapi Saudara Kailon kepala-suku Khitan ini yang menjadi sekutu kami dan yang akan membantu bangsa kami, masih menyangsikan kemampuan mereka bertiga. Maka kami setuju bahwa dia akan menguji kalian dengan serangan anak panah karena kami yakin hal itu tidak akan membahayakan kalian. Dan ternyata dugaan kami benar. Serangan anak panah itu tidak ada artinya. Kalian benar-benar sakti dan orang-orang seperti kalian inilah yang kami butuhkan untuk mendukung dan memperkuat perjuangan kami."
Thai Kek Siansu mengangguk-anggukan kepalanya.
"Ah, kiranya kalian berempat termasuk golongan orang-orang yang mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan sendiri dan merupakan pejuang-pejuang. Kalau pilihan kali seperti itu, baik-baik saja. Akan tetapi kalau Su-wi ingin mengajak orang lain, sudah sepatutnya kalau orang yang diajak itu sependapat dan mau. Maka, aku persilakan kepada mereka bertiga ini untuk menjawab ajakan kalian tadi."
Thong Leng Losu memandang kcpada Ceng In Hosiang, lalu tertawa dan berkata.
"Ha-ha, Ceng In Hosiang, sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, apakah engkau tidak menyadari bahwa mendukung pemerintahan baru juga sama dengan menyulut api peperangan antara bangsa sendiri dan perang adalah pencetusan dari dendam kebencian? Tentu engkau tidak lupa akan sabda Sang Buddha bahwa "Kebencian takkan pernah dapat dihentikan oleh kebencian pula dalam dunia Ini. Kebencian hanya dapat dihentikan dengan Kasih. Ini adalah hukum yang berlaku sejak dahulu kala. Nah, apakah kini engkau akan menyebarkan kebencian hingga timbul perang dan bunuh membunuh antar bangsa sendiri? Pinceng jelas tidak mau ikut!"
Tiong Gi Cinjin juga berkata kepada para pendatang itu.
"Aku pun tidak bisa ikut! Semua orang adalah saudara kita sendiri, apakah kita harus saling membunuh hanya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan? Kalau kalah, kita yang hancur, kalau menang, para pemimpinlah yang akan memetik buah kemenangan itu yang berupa kemakmuran dan kesenangan duniawi. Tidak, aku tidak mau ikut!'
"Siancai! Dua orang sahabatku ini berpendirian cocok dengan pinto! Bertindak kejam dan dalam hati mengandung kebencian, itulah syarat orang untuk perang. Bunuh membunuh tidaklah cocok dengan agama dan kepercayaanku. Pinto juga tidak mau ikut!"
Empat orang pendatang itu saling pandang dan mengerutkan alisnya. Kemudian terdengar suara tawa yang aneh dan tawa itu disambut suara menggelegar di udara! Hong-san Siansu Kwee Cin Lok agaknya mendemonstrasikan kedahsyat tenaga saktinya.
"Ha-ha-ha-ha, sepanjang yang kami dengar, tiga orang pendeta yang bertemu di puncak ini, biarpun dari tiga macam agama, namun mereka adalah orang-orang Pribumi Han yang gagah perkasa, yang berjiwa patriot pahlawan bangsa. Sekarang, kalian bertiga menolak untuk berjuang membantu berdirinya kerajaan yang akan melenyapkan semua perang saudara ini dan menyejahterakan rakyat melihat hadirnya Thai Kek Siansu di sini, kami mengerti bahwa tentu kalian bertiga telah terpengaruh olehnya. Thai Kek-Siansu, tepat dan benar bukan penilaianku ini?"
Thai Kek Siansu tersenyum.
"Hong-Siansu Kwee Cin Lok, boleh saja engkau berpendapat sesuka hatimu. Akan tapi jelas, tiga orang saudara yang kaliaan bujuk itu tidak setuju dan tidak mau membantu kalian. Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat sendiri dan engkau tidak boleh memaksanya, engkau adalah Hong-san pangcu (Ketua Hong-san-pang), ketua sebuah perkumpul-tentu saja ingin memajukan perkumpulannya dan memiliki cita-cita besar hingga apa yang kau putuskan dan lakukan tentu berdasarkan pamrih mencapai cita-cita itu. Silakan saja, akan tetapi jangan memaksa orang lain!"
"Thai Kek Siansu, sudah lama aku mendengar namamu sebagai seorang yang tidak mau mencampuri urusan dunia. Kalau engkau yang menolak campurtangan dalam urusan mendirikan kerajaan baru yang akan memimpin rakyat dengan bijaksana ini, kami dapat mengerti. Akan tetapi kalau engkau mempengaruhi orang-orang lain, itu merupakan perbuatan dosa terhadap rakyat!"
Kata Hong-san Pangcu marah.
"Aih, Pangcu (Ketua), siapakah rakyat itu dan siapa pula aku ini? Aku rakyat. Setiap pejuang menggunakan rakyat sebagai alasan, semua mengatar demi rakyat jelata, akan tetapi apa kenyataannya? Selama lima abad ini, berganti-ganti ada kerajaan baru sampai lima kali dan mereka semua ketika sedang berjuang merebut kekuasaan mengunakan nama rakyat, demi kesejahtera rakyat, akan tetapi lihat, apa buktinya? Yang jelas semua itu demi kesejahteraan para pimpinan pemberontak itu sendiri. Setelah perjuangan berhasil, para pimpinan itu hidup makmur, berkuasa, dan kaya raya sedangkan rakyat jelata tetap miskin sengsara."
"Thai Kek Siansu, engkau keterlaluan. Agaknya engkau menjadi sombong karena merasa hebat dan sakti sendiri, tidak ada yang akan berani mengganggumu? Hendak iihat sampai di mana kehebatan dan kesaktianmu!"
Kata Hong-san Pang-cu Kwee Cin Lok garang dan dengan muka merah karena marah.
"He-he, Hong-san Pang-cu, agaknya engkau lupa bahwa tidak ada manusia yang sakti di dunia ini. Aku tidak sakti, engkau juga tidak sakti, kalau engkau memiliki sedikit kemampuan, hal itu adalah karena engkau diberi oleh Yang Maha Mampu. Engkau mendapat kesaktian karena berkat Yang Maha Sakti, akan tetapi kalau kau pergunakan dalam kesesatan, berarti engkau menjadi alat Yang Maha Sesat atau Setan. Tenang dan buang semua api kemarahan yang membutakan mata hatimu itu."
Mendengar teguran dari Thai Kek Siansu ini, Kwee Cin Lok ketua Hong-San-pang ini menjadi semakin marah.
"Manusia sombong, sambutlah ini kalau engkau memang sakti!"
Ketua Hong-san-Pang itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning dan begitu dia melontarkan pedang itu ke atas, pedang itu seakan-akan hidup dan terbang menuju ke arah Thai Kek Siansu yang masih duduk bersila. Pedang itu berputar-putar di sekitar atas kepala kakek itu, semakin cepat sehingga berubah menjadi sinar kuning. Ketika Kwee Cin Lok menggerakkan tangannya ke arah pedang terbangnya. itu, sinar kuning meluncur dan menyerang kepala Thai Kek Siansu!
Thong Leng Losu, Tiong Ci Cinjin dan Louw Keng Tosu hanya duduk bersila dan menonton saja. Mereka juga ingin menyaksikan kehebatan Thai Kek Siansu yang sudah lama mereka dengar akan kesaktiannya.
Akan tetapi Thai Kek Siansu diam saja, tidak membuat gerakan untuk melawan atau menghindarkan diri. Dia hanya memejamkan kedua matanya mulutnya tersenyum. Ketika sinar kuning itu meluncur turun menghujam kepalan dan tinggal beberapa senti jaraknya tiba-tiba pedang itu terpental seolah tertolak oleh tenaga yang lembut kuat sekali. Akan tetapi sungguh aneh, pedang itu seperti dipegang dan digerakkan oleh tangan yang tidak tampak, menyerang lagi secara bertubi dengan tusukan dan bacokan ke arah seluruh tubuh Thai Kek Siansu. Namun hasilnya sia-sia, bagian tubuh manapun yang diserang tidak dapat disentuh pedang itu yang selalu terpental.
Ilmu ini merupakan puncak tenaga Liku karena bukan tenaga yang dikerahkan oleh Thai Kek Siansu, melainkan ada tenaga lain yang seolah melindunginya. Orang dapat menggunakan semacam ilmu sihir untuk mendapat perlindungan seperti itu, akan tetapi tenaga yang melindungi itu ditimbulkan oleh sihir itu hanya kuat menahan serangan orang yang lebih rendah tingkat kepandaiannya atau dari serangan senjata biasa yang tidak ampuh. Akan tetapi, yang menyerang Thai Kek Siansu adalah seorang tokoh besar, ketua Hong-san-pang, yang terkenal memiliki Imu silat dan ilmu sihir yang tinggi, juga pedangnya bukan pedang biasa, melainkan pedang pusaka yang terbuat dari logam yang ampuh.
Akhirnya pedang kuning itu terbang kembali ke tangan Hong-san Pang karena ditarik kembali oleh pemiliknya. Hong-san Pangcu Kwee Cin Lok atau yang berjuluk Hong-san Siansu ini segera maklum bahwa dia berhadapan dengan orang tingkat kepandaiannya amat tinggi mungkin lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang gurunya sendiri. Maka dia lalu menyimpan pedangnya dan menjura dengan hormat.
"Thai Kek Siansu ternyata memang amat bijaksana dan sakti. Kami mengaku kalah dan amat kagum. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dan maafkan kalau kami mengganggu ketenteraman di sini Setelah berkata demikian, Kwee Cin Lok membalikkan tubuh dan menuruni puncak itu. Tiga orang temannya, Ceng In Hosiang, Kwan In Su, dan Im Yang Tosu juga tahu diri. Mereka tahu bahwa antara mereka, yang paling lihai dan boleh diandalkan adalah Hong-san Pangcu. Melihat teman yang lihai ini sama sekali tidak berdaya melawan Thai Kek Siansu, mereka maklum bahwa mereka semua pun tidak akan ada yang mampu mengalahkan Thai Kek Siansu, apalagi disitu masih ada tiga orang datuk lain yang juga lihai. Maka setelah menjura sebagai permintaan maaf, mereka pun mengikuti jejak Kwee Cin Lok meningkalkan tempat itu menuruni bukit.
Akan tetapi Kailon, tokoh Khitan itu, mengerutkan alisnya dan dia tidak ikut pergi seperti empat orang datuk yang datang bersamanya di puncak itu. Dia masih merasa penasaran dan menganggap empat orang tokoh kangouw itu penakut, mereka, bersama beberapa orang pimpinan daerah yang berambisi, telah bersekutu dan berniat menggulingkan Dinasti Chou yang dipimpin Kaisar Chou Ong yang sudah tua dan lemah, dan mendirikan Kerajaan baru. Akan tetapi dalam usaha mereka untuk menghubungi dan menarik para datuk dunia persilatan, baru saja mereka mulai di puncak itu, setelah gagal dan empat orang itu bahkan m elarikan diri! Betapa pengecutnya! Sebagai seorang yang biasa berperang, Kailon tidak akan pergi sebelum bertempur.
"Hemmm, kalian berempat tidak mau membantu, berarti tentu kelak hanya akan menentang kami! Yang tidak membantu berarti musuh yang harus binasakan!"
Setelah berkata demikian, memberi aba-aba kepada tiga puluh orang anak buahnya. Mereka lalu menerjang sambil berteriak-teriak dengan garang. Kailon sendiri sudah maju dan menyerang Thai Kek Siansu dengan goloknya yang besar dan berat. Sedangkan tiga puluh orang anak buahnya menyerbu dan menyerang tiga orang pendeta yang masih duduk bersila itu dengan senjata mereka.
Thong Leng Losu tertawa dan memutar tongkatnya. Tampak sinar biru menyambar-nyambar dan terdengar bunyi nyaring ketika senjata para penyerang bertemu sinar biru dari toya yang dipegang Thong Leng Losu. Senjata mereka terpental dan terlepas dari tangan sehingga mereka terkejut apalagi merasa betapa telapak tangan mereka nyeri panas dan lecet-lecet. Mereka yang menyerang Tiong Gi Cinjin juga disambut sinar hijau menyambar-nyambar dan senjata patah-patah bertemu dengan pedang sinar hijau itu. Demikian pula mereka yang menyerang Louw Keng Tojin. Senjata mereka bertemu kebutan dan dilibat lalu direnggut lepasl dari tangan mereka. kemudian, tiga orang pendeta itu mendorong-dorongkan tangan mereka dan tiga puluh orang itu terjengkang dan terguling-guling seperti daun-daun kering disapu angin.
Sementara itu, Kailon sudah menyerangkan goloknya kearah tubuh Thai kek Siansu. Akan tetapi seperti halnya anak-anak panah tadi, juga seperti yang terjadi pada pedang terbang Hong-san Pag-cu, golok Kailon tidak dapat menyentuh kulit. Makin kuat Kailon membacokkan goloknya, semakin kuat pula golok itu terpental dan akhirnya, begitu Thai Kek Siansu menggerakkan tangan menolak, tubuh tokoh Khitan ini terjengkang jauh ke belakang dan terbang roboh. Baru dia menyadari bahwa i tidak akan mampu mengalahkan kakek itu dan melihat betapa semua anak buahnya juga kehilangan senjata dan bergelimpangan, dia lalu memberi aba-aba kepada mereka dan larilah mereka seri turun puncak bukit.
Setelah mereka semua pergi, Thong Leng Losu, Tiong Ci Cinjin, dan Lo Keng Tojin tertawa, sedangkan Thai Kek Siansu hanya tersenyum namun mengeleng-gelengkan kepalanya.
"Terbuktilah bahwa segala macam perbuatan, yang disebut baik maupun buruk, apabila keluar dari hati akal pikiran, sudah pasti menyembunyikan pamrih demi kesenangan dan keuntungan sendiri."
Katanya.
Tiong Gi Cinjin memandang kepada Thai Kek Siansu dan dua orang lainnya juga memandang. Kini bertiga mendapat kenyataan betapa tingginya ilmu dari Thai Kek Siansu sehingga mereka merasa kagum sekali.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siansu,"
Kata Tiong Gi Cinjin.
"mari kita lanjutkan pembicaraan kita yang terputus oleh gangguan tadi. Kita bica tentang Inti semua pelajaran Agama aku mengatakan bahwa inti semua pelajaran itu sama, yaitu menuntun manusia untuk berbuat kebaikan."
Thai Kek Siansu menghela napas panjang.
"Kalau sudah diakui bahwa semua pelajaran Agama adalah sama, yaitu mengajarkan agar semua umatnya berbuat kebaikan, mengapa di antara Agama masih ada saling menyalahkan dan membenarkan pihak sendiri? Kita mulai dengan Kebenaran. Apakah Kebenaran itu? apakah yang dinamakan Kebaikan itu? Kalau ada yang disebut kebenaran, tentu ada kesalahan. Kalau ada kebaikan, tentu ada kejahatan. Baik dan benar untuk sefihak, mungkin saja jahat dan salah untuk pihak lain. Karena itu, kebaikan yang dilakukan menurut hati akal pikiran, sesungguhnya bukan kebaikan lagi, melainkan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mendapat imbalan. Imbalan itu supaya kesenangan atau keuntungan untuk si pelaku perbuatan, bentuknya macam-macam. Pamrih itu bisa berupa imbalan jasa dan balasan, atau puji dan sanjungan, atau perasaan bangga diri, atau imbalan yang dijanjikan berupa kemuliaan dan kesenangan di akhir kehidupan. Pamrih apa pun juga, pada hakekat sama, yaitu melakukan sesuatu dengan pamrih agar mendapat imbalan sesuatu yang menyenangkan dan menguntung Maka, perbuatan kebaikan seperti hanya merupakan jual beli belaka, sama sekali bukan kebaikan lagi karena kalau imbalannya ditiadakan, maka perbuatan baik itu pun belum tentu dilakukan. Semua mengajarkan perbuatan baik, akan tetapi disertai janji-janji yang menyenangkan sebagai upahnya sehinngga perbuatan-perbuatan baik itu menjadi palsu, didasari keinginan untuk akhirnya mendapatkan kesenangan atau keuntungan. Karena inilah maka terjadi perebedaan, yaitu memperebutkan hak memperoleh segala macam hadiah yang dijanjikan itu."
Tiga orang itu saling pandang. Baru sekarang mereka mendengar uraian seperti itu dan mendengar uraian itu, diam-diam mereka terkejut dan menyadari mengapa para umat beragama seringkali saling bermusuhan. Mereka tidak dapat membantah apa yang dikatakan Thai Kek Siansu karena mereka merasa ditelanjangi dan melihat kenyataan yang sebenarnya.
"Siancai! Kalau begitu kenyataannya, lalu apakah yang dinamakan kebaikan itu, Siansu?"
Tanya Louw Keng Tojin dan dua orang lainnya mendengarkan dengan penuh perhatian karena mereka pun ingin mendengar jawaban Thai Kek Siansu atas pertanyaan yang amat penting ini.
Thai Kek Siansu berkata lembut.
"Sam-wi harap menaruh perhatian yang sungguhnya. Seperti telah kukatakan, Kalau Sam-wi hanya mendengar kemudian menurut apa yang kukatakan, maka Sam-wi tidak akan menemukan Kebenaran Sejati. Aku pun bukan guru yang harus diturut atau dicontoh. Mari kita bersama, dengan pikiran kosong dan tidak menggunakan tirai dengan warna kepercayaan kita masing-masing agar pandangan kita sama dan seperti apa adanya, tanpa praduga dan prasangka, tanpa penilaian. Nah, seperti yang telah kita dapatkan dalam percakapan kita tadi, perbuatan baik yang datang dari pelajaran menimbulkan pamrih demi kesenangan, kebaikan, atau keuntungan diri sendiri. Kalau kita berbuat sesuatu dan kita menilai sendiri sebagai kebaikan, maka kebaikan itu condong palsu dan menyembunyikan pamrih. Akan tetapi perbuatan apa juga yang berlandaskan Inti dari semua yang dinamakan pelajaran kebaikan, adalah perbuatan yang berlandaskan Kasih. Kasih tidak dapat dipelajari, tidak dapat disengaja, dapat dibuat-buat! sungguhnya, Inti dari semua Agama adalah Kasih ini, bukan cinta berahi, bukan cinta terhadap sesuatu atau seseorang yang menyenangkan hati, karena cinta seperti itu bukan yang dimaksudkan dengan Kasih itu! Cinta mempunyai kebalikan, yaitu Benci. Namun Kasih cinta mempunyai kebalikan, tidak memilih tidak disengaja, tidak dibuat! Dapatkah Sam-wi melihat ini? Dapatkah Sam-wi melihat kenyataan tentang palsunya cinta dalam hati manusia, cinta pada umumnya disanjung dan dipuja manusia pada dewasa ini?"
"Omitohud, pinceng dapat melihatnya dan jelas, Siansu. Cinta adalah suatu perasaan yang ditujukan kepada benda atau orang yang dapat menyenangkan atau menguntungkan diri kita. Biasanya, Kalau engkau menyenangkan atau menguntungkan aku, engkau kucinta. Sebaliknya kalau engkau menyusahkan atau merugikan aku, engkau kubenci!"
Kata Thong gi Losu.
"Memang pada umumnya tak dapat disangkal demikian,"
Kata Tiong Gi Cinjin.
"Akan tetapi ada cinta yang. sejati, yang mungkin ini yang disebut Kasih oleh Thai Kek Siansu, yaitu cinta seorang ibu kepada anaknya. Siapa dapat menyangkal kemurniannya cinta seorang ibu kepada anaknya?"
Kata Tiong Gi Cinjin.
"Karena, pelajaran terpenting agama kami prialah Hauw (Bakti). Seorang anak haruslah berbakti kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya!"
"Cinta seorang ibu memang lebih murni daripada cinta-cinta manusia yang lainnya,"
Kata Thai Kek Siansu.
"Akan tetapi bagaimanapun juga, walaupun tipis, teorang ibu masih memiliki pamrih, memiliki harapan agar anaknya itu berbakti kepadanya, menyenangkan hatinya masih terdapat kemungkinan cinta berubah menjadi benci kalau si anak kelak menjadi jahat kepadanya. Ada Kasih yang lain lagi, yang tidak dapat samakan dengan cinta manusia yang timbul dari hati akal pikiran, karena sedikit banyak itu mengandung pamrih."
"Siancai!"
Kata Louw Keng Tojin "Pinto menjadi penasaran sekali, Thai Kek Siansu. Mari kita selidiki bersama apa sesungguhnya Kasih yang maksudkan itu?"
Thai Kek Siansu memejamkan mata sejenak sebelum menjawab dengan halus "Mari kita sama-sama mengamatinya. Kita lihat bunga-bunga mawar dan bunga teratai, mereka memberi keharuman dan keindahan yang dapat dinikmati siapapun juga, yang terpelajar tinggi maupun yang tidak, yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah, yang kaya maupun yang miskin, pendeta maupun penjahat, kaisar maupun pengemis. Keharuman dan keindahan diberikan kepada siapapun juga tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih, tanpa pamrih mendapatkan imbalan! Mari me lihat matahari yang memberi daya hidup, kehangatan, penerangan, kepada siapa saja dan apa saja tanpa pilih bulu, juha tanpa pamrih apa pun. Kalau kita mau membuka mata melihat di seluruh permukaan bumi dan di langit maupun di dalam tanah, akan tampaklah semua itu, yang memberi tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih. Bukankah itu indah sekali? itulah Kasih yang sejati. Kasih itu Penyalur berkat. Kasih itu memberi tanpa menuntut imbalan. Kasih itu merupakan pohon yang banyak sekali buahnya, dan buahnya inilah yang disebut kebajikan atau perbuatan baik. Kalau ada Kasih dalam diri kita, maka perbuatan apa pun yang kita lakukan, sudah pasti baik dan benar! Karena segala macam perbuatan baik itu merupakan buah dari Kasih. Dapatkan orang melakukan hal yang menyengsarakan orang lain kalau ada Kasih? Kasih itu menjauhkan segala macan dengki, iri, cemburu, marah, dendam, angkara murka, dan Kasih itu melebur si-aku yang selalu ingin menang sendiri. Nah, bukankah Inti atau Api yang dibutuhkan manusia pada umumnya itu Adalah Kasih ini? Kalau ada Kasih bersemayam dalam diri, orang tidak perlu diajar untuk berbuat baik lagi karena Kasih akan membuahkan segala perbuatan baik. Kasih tidak merusak, melainkan membangun."
Tiga orang pendeta itu memejamkan mata dan mengerutkan alisnya masing-masing dan termenung.
"Omitohud, satu di antara pelajaran dalam agama pinceng juga mengajarkan agar ada Kasih di hati kita. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa semua perbuatan, kalau tidak didasari Kasih adalah perbuatan yang tidak baik dan kalau pun ada yang kelihatan baik, kebaikan itu hanya palsu belaka?"
"Aku tidak mengatakan begitu, Thong Leng Losu. Mari kita lihat saja bersama. Aku hanya melihat dengan jelas bahwa kalau ada dalam hati sanubari kita, maka perbuatan kita itu wajar bahwa si pelaku yang sudah disemayami kasih itu tidak akan melihat perbuatan itu sebagai suatu kebaikan, melainkan kewajaran. Siapa yang telah memiliki jiwa yang bersatu dengan Kasih, maka kita akan memandang semua orang dengan tidak membeda-bedakan, akan selalu merasa ikut bahagia kalau melihat orang lain, siapa saja, berbahagia. Akan tetapi akan ikut bersedih dan merasa kasihan kalau melihat orang lain, siapa saja, menderita sehingga rasa kasihan dari Kasih ini akan menggerakkannya untuk menolong orang yang sedang menderita Itu."
"Hemmm, sekarang aku dapat melihat lebih jelas, Siansu. Akan tetapi bagaimana mungkin kita mendapatkan Kasih itu tanpa campur tangan hati dan akal pikiran?"
Tanya Tiong Gi Cinjin.
"Kalau menurut Agama pinceng, degan jalan bersamadhi akan dapat mencapai keadaan itu."kata Thong Leng Losu.
"Kalau menurut Agamaku, dengan hidup selaras dengan Tao, selaras dengan hukum Alam, karena Kasih yang engkau maksudkan itu bukan lain adalah Tao itu sendiri, Siansu!"
Kata Louw K engTojin.
"Aku ingat bahwa yang dimaksudkan itu cocok dengan pelajaran Tokau (Agama To/Tao), bahwa Kasih itu tentu dengan sendirinya ada setelah orang mengosongkan diri dan tidak mempun kehendak pribadi. Beginilah pelajara itu."
Louw Keng Tojin lalu memejamkan mata dan menyanyikan atau mendeklamasikan sajak pelajaran dalam Kitab Tao te-cing (To-tek-khing).
"Langit dan Bumi itu Abadi
karena mereka tidak hidup untuk diri sendiri.
Inilah sebabnya orang bijaksana
membelakangkan dirinya karena itu dirinya tampil ke depan
Dia mengesampingkan dirinya
karena itu dirinya menjadi utuh.
Karena dia tidak mempunyai kehendak Pribadi
maka pribadinya menjadi sempurna."
"Ah, aku jadi teringat akan ayat pertama dari Kitab Agama kami yaitu Kitab Tiong-yong,"
Kata Tiong Gi Cinjin tertengan wajah berseri.
"Yang dimaksudkan Thai Kek Siansu dengan Kasih itu menurut perkiraanku adalah Seng, watak aseli karunia Thian (Tuhan) yang diberikan kepada manusia."
Pendeta Khong-kauw ini lalu membacakan ujar-ujar dalam Kitab Tiong-yong.
"Karunia Thian adalah Seng (Watak Aseli),
bertindak selaras dengan Seng itulah Tao
berbuat menurut aturan Tao ialah Agama."
Thai Kek Siansu mengangguk-angguk.
"Semua pendapat itu boleh-boleh saja, yang penting Sam-wi benar-benar mengerti dan menghayatinya, bukan hanya merupakan teori pelajaran belaka. Tidak ada artinya sama sekali menghafal semua filsafat di dunia ini tanpa mempraktekkannya dalam kehidupan. Jauh lebih baik membiarkan diri dituntun dan dibimbing oleh Kasih yang pasti tidak menyimpang dari apa yang dikehendaki Thian."
"Akan tetapi bagaimana cara mendapatkan kasih itu?"
Tiga orang itu bertanya dengan berbareng.
"Tidak ada cara untuk mendapati Kasih itu,"
Kata Thai Kek Siansu.
"Dia datang sendiri apabila kita selalu berserah diri kepada Yang Maha Kuas berserah diri sepenuhnya, bukan hanya lahiriah berupa pengakuan belaka, melainkan dengan seluruh jiwa. Kalau Kasih sudi bersemayam dalam jiwa kita, maka Kasih yang juga dapat disebut Kekuasaan Thian itu akan membimbing kita. Nafsu Daya Rendah atau Setan akan kehilangan pengaruhnya terhadap jiwa kita dan Kasih merupakan karunia yang akan menyelamatkan jiwa kita dari kehancuran dan penyelewengan. Dengan adanya Kasih dalam hati, maka apa pun yang kita lakukan bukan dikemudikan oleh si-aku (ego) yang mencengkeram hati akal pikiran kita, melainkan merupakan buah dari Kasih sehingga langkah kita dalam hidup merupakan berkat bagi orang-orang lain."
"Akan tetapi bagaimana kita tahu bahwa sudah ada Kasih dalam hati kita, kasih yang sejati dan bukan dari hati akal pikiran?"
Tanya Tiong Gi Cinjin.
"Hanya kalau hati mudah tergetar penuh iba kepada orang lain yang menderita, hati sudah amat peka sehingga lupa merasakan penderitaan orang lain tanpa orang itu mengatakannya, selalu siap terdorong oleh perasaan kasihan untuk membantu dan mengangkatnya dari penderitaan, tanpa diboncengi pamrih tertentu, tanpa ingin diketahui orang, tidak merasa bahwa perbuatannya itu baik, dan merasa bahagia melihat orang lain bahagia dan dapat merasakannya, maka itu merupakan satu di antara tanda-tanda yang paling mudah diketahui bahwa Kasih mulai bersemayam dalam jiwanya."
"Omitohud, dalam keadaan seperti itu, manusia telah mencapai tujuan terakhir."
Kata Thong Leng Losu.
"Seseorang akan benar-benar menjadi seorang Kuncu (Budiman) yang bijaksana kata Tiong Gi Cinjin.
"Kalau semua orang memiliki Kasih seperti itu, dunia akan menjadi indah tiada kebencian, tiada permusuhan, tiada perang, semua manusia saling mengasih, Sorga dapat dirasakan di dunia dalam kehidupan sekarang!"
Kata Louw Keng Tojin.
Tiba-tiba terdengar suara bercuit dari atas, hanya sayup-sayup suaranya Thai Kek Siansu tersenyum.
"Ah, Tiauw-cu (Rajawali) agaknya datang mencari dan menjemputku."
Katanya.
Tiga orang pendeta itu memandang keatas dan tampak seekor burung rajawa masih tinggi di atas, hanya tampak kecil. Akan tetapi burung itu melayang sambil mengelilingi bukit itu, makin lama semakin rendah.
"Suhu, teecu menyusul Suhu!"
Terdengar suara seorang anak laki-laki. Burung itu hinggap di dekat Thai Kek Siansu dan Si Han Lin, anak itu, la melompat turun dari punggung rajawali yang sudah mendekam, lalu dia berlutut di depan Thai Kek Siansu.
"Suhu, maafkan kalau teecu menyusul karena teecu melihat Tiauw-cu seperti gelisah. Maka teecu berkata kepadanya bahwa kalau dia ingin mencari Suhu, Teecu ingin ikut. Dia mengangguk dan mendekam, maka teecu lalu ikut dengannya mencari Suhu."
Tiga orang pendeta itu memandang kepada Han Lin dengan penuh perhatian.
"Omitohud! Engkau telah mempunyai seorang murid, Siansu?"
"Thai Kek Siansu, mengapa engkau yang tidak mau mencampuri urusan dunia mengambil seorang murid?"
Tanya Tiong Gi Cinjin menyusul pertanyaan Thong Leng Losu tadi.
"Puluhan tahun tekun mempelajari ilmu, untuk apa kalau tidak dimanfaatkan? Karena aku sendiri tidak mempunyai minat mencampuri urusan dunia, maka biarlah apa yang sudah kupelajari kutinggalkan kepada seorang murid agar dia dapat memanfaatkannya.
"kata Thai Kek Siansu sambil tersenyum, menjawab pertanyaan dua orang pendeta itu.
"Siancai........... ucapan Siansu ini menyadarkan pinto (aku)! Pinto sendiri belum mempunyai murid, dan usia pinto! makin lama semakin tua. Apakah semua yang pinto pelajari selama bertahun-tahun harus pinto bawa mati pula? Pinto juga ingin mengambil murid, Siansu kata Louw Keng Tojin.
"Omitohud, dulu pinceng (aku) mencela para saudara di Siauw-lim-pai karena mempunyai banyak murid yang dilath ilmu silat. Sekarang pinceng menyadari dan akan mencontoh Thai Kek Siansu akan mencari seorang murid yang baik!"
Kata Thong Leng Losu.
"Ah, kalau begitu mari kita bertiga melanjutkan kesalah-pahaman kita bertiga tadi dengan perlumbaan yang lebih bermanfaat, yaitu kita turunkan apa yang kita pernah pelajari kepada murid masing-masing dan kita lihat kelak, murid siapa yang paling berguna bagi tanah air dan bangsa!"
Kata Thong Gi Cinjin.
"Bagus, ini baru perlumbaan dan persaingan yang menarik karena hasilnya pasti akan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Biarlah aku, atau kalau tidak diwakili muridku, yang kelak menjadi saksi keberhasilan kalian bertiga."
Kata Thai Kek Siansu.
"Sekarang, aku pamit, harap Sam-wi maafkan karena aku harus pergi."
Setelah berkata demikian, Thal Kek Siansu mengangkat tubuh Han Lin, dibawanya naik ke atas punggung rajawali yang masih mendekam, duduk berboncengan dengan Han Lin di depan dan dia di belakang.
"Tiauw-cu, mari kita pulang!"
Kata Thai Kek Siansu.
Rajawali itu mengeluarkan bunyi nyaring, bangkit berdiri, mengembangkan sayapnya yang lebar, lalu kedua kakinya yang kokoh kuat itu mengenjot tubuhnya, lalu terbanglah dia ke atas dengan cepatnya.
Tiga orang pendeta itu bangkit berdiri Han memandang dengan kagum.
"Omitohud, Thai Kek Siansu dapat menjinakkan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) yang hidup di daerah Himalaya dan kini amat langka itu! Sungguh luar biasa sekali!"
Thong Leng Losu berseru. Sebagai seorang yang puluhan tahun berkelana di daerah Tibet dan Pegunungan Himalaya dia tahu tentang rajawali yang langka itu.
"Siancai! Pinto sendiri sudah menjinakkan seekor harimau yang dapat pula jadikan seperti kuda tunggangan, tetapi tidak ada artinya dibanding dengan Rajawali Sakti itu. Mengagum sekali!"
Kata Louw Keng Tojin.
Setelah mereka sepakat untuk mas masing mencari seorang murid, tiga orang pendeta itu lalu meninggalkan puncak bukit itu dan saling berpisah.
Terjadi peristiwa penting di istana Kerajaan Chou. Kaisar Chou Ong yang sudah berusia tujuh puluh lima tahun dan memang sudah selama beberapa tahun tidak bergairah mengurus pemerintahan dan hanya menyerahkan kepada para pejabat tinggi yang membantunya, kini menyerahkan mahkota kerajaan kepada puteranya yang masih kecil berusia tujuh tahun di bawah bimbingan Sang Permaisuri, ibu pangeran itu. Hal ini sebetulnya amat tidak disetujui sebagian besar para pejabat tinggi, terutama para panglima karena mereka tahu bahwa sewaktu Kaisar Chou Ong masih menjadi kaisar pun, pemerintahan sudah dikuasai oleh Sang permaisuri dan para pejabat tinggi yang bersaing menumpuk harta kekayaan pribadi. Apalagi sekarang, kaisarnya masih kanak-kanak dan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Permaisuri dan kaki tangannya, para pejabat tinggi yang korup. Maka sudah dapat dibayangkan betapa akan buruk akibatnya bagi rakyat. Pemerintahan lemah, pemberontakan dan kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan para pembesarnya hanya sibuk memperebutkan kekayaan yang tidak halal.
Pada waktu itu, ada seorang jenderal atau panglima dari Kerajaan Chou yang terkenal gagah perkasa dan sudah banyak jasanya terhadap kerajaan. Dialah yang terkenal memimpin pasukannya menghancurkan pemberontakan-pemberon takan. Panglima ini bernama Chao Kuang Yin, seorang yang berusia hampir lima puluh tahun. Dia berasal dari Chou, sebuah kota di sebelah selatan Peking, sejauh kurang lebih empat puluh li (mil). Chao Kuang Yin ini keturanan orang-orang yang menduduki jabatan penting pada masa Dinasti Tang dan dinasti-dinasti berikutnya pada zaman Lima Dinasti yang kini diakhiri dengan Dinasti Chou.
Ketika Kaisar Chou Ong menyerahkan mahkotanya kepada pangeran yang masih kecil, Chau Kuang Yin termasuk di antara para pejabat tinggi yang merasa tidak setuju. Akan tetapi dia seorang yang setia kepada kerajaan, maka biarpun hatinya merasa tidak setuju, tidak mau menyatakan dalam sikap atau ucapannya. Para pimpinan baru kerajaan yang dikepalai Permaisuri tahu bahwa Chao Kuang Yin merupakan seorang panglima yang tidak menyukai mereka dan amat berbahaya, maka ketika terdapat gerakan dan ancaman dari bangsa Khitan, Permaisuri memerintahkan Chau Kuang Yin untuk membawa tentaranya ke utara untuk mengusir bangsa yang men gancam itu.
Panglima Chao Kuang Yin tentu saja menaati perintah ini. Akan tetapi para pembantunya, para panglima dan perwira pembantunya, diam-diam merasa penasaran. Mereka tahu betapa lemahnya kedaan pemerintahan yang dikuasai Permaisuri dan para pejabat tinggi yang korup itu. Setelah mereka berhasil menyisir para pengacau Khitan, para panglima dan perwira pembantu mengadakan persekongkolan. Mereka bersepakat bulat untuk mengadakan pemberontakan dan pengangkat panglima mereka Chao Kuang Yin sebagai kaisar baru! Akan tetapi para perwira itu tahu benar bahwa Panglima Chao Kuang Yin yang amat setia dan pasti tidak mau melakukan pemberontakan, maka mereka bersepakat untuk memaksanya! Demikianlah, pada suatu malam, ketika pasukan berhenti dalam perjalanan kembali ke kotaraja, belasan orang perwira memasuki tenda di mana Panglima Chao Kuang Yin tidur. Panglima ini terkejut ketika dia terbangun, dia telah dikepung belasan orang perwira pembantunya dengan pedang terhunus!
"Hei, apa yang kalian lakukan ini?"
Chao Kuang Yin melompat turun dari tempat tidurnya, sama sekali tidak takut walaupun ditodong belasan batang pedang oleh para perwira yang mengepungnya. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat melawan belasan orang perwira itu. Biarpun dia seorang ahli perang, pandai mengatur barisan dan menggunakan siasat perang, namun ilmu silatnya tidak selisih banyak dengan seorang perwira pembantunya. Dikeroyok belasan orang itu, tentu dia tidak akan mampu menang.
Seorang perwira mengeluarkan sebua jubah kuning dengan gambar naga dan burung Hong.
"Thai-ciangkun (Panglima Besar), kami hanya mohon agar ciangkun suka mengenakan jubah yarng telah kami persiapkan ini."
"Hei, apakah kalian sudah gila?"
Cha Kuang Yin memandang jubah itu dengan mata terbelalak.
"Jubah kuning dengan gambar-gambar ini hanya boleh dipakai seorang kaisar!"
Para perwira itu lalu menceritakan apa kehendak yang telah mereka sepakati bersama, yaitu mengangkat Chao Kuang Yin menjadi kaisar baru untuk menggantikan kaisar kanak-kanak yang baru diangkat oleh Kaisar Chou Ong.
"Tidak, aku tidak mau memberontak! Chao Kuang Yin menolak keras.
"Maaf, Thai-ciangkun. Kalau engkau menolak, terpaksa kami akan membunuhmu dan mengangkat calon kaisar lain karena engkau tentu akan menentang rencana kami!"
Chao Kuang Yin tidak takut menghadapi ancaman maut. Akan tetapi di berpikir. Kalau aku dibunuh lalu mereka mengangkat kaisar lain pasti akan terjadi pembantaian di kota raja, seperti yang terjadi pada setiap pemberontakan dan pergantian kekuasaan. Tidak, dia harus mencegah malapetaka yang akan menyengsarakan rakyat itu! Dan caranya tidak mungkin dilakukan dengan kekerasan karena dia tidak akan menang menghapi mereka yang ingin mengambil alih kuasaan kaisar itu. Dia harus menggunakan akal yang halus dan terbaik.
Chao Kuang Yin menghela napas panjang.
"Baiklah, akan tetapi hanya dengan satu syarat aku mau menerima pengangkatan kalian sebagai kaisar baru."
Para perwira itu serentak ingin mengetahui apa syarat yang diminta Panglima Besar mereka. Chao Kuang Yin dapat menduga bahwa mereka ini mengangkatnya belum tentu didasari rasa kagum kepadanya, melainkan lebih banyak kemungkinan karena didorong kepentingan pribadi. Tentu mereka mengharapkan kalau pemberontakan ini berhasil, mereka akan mendapatkan bagian pahalanya!
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo