Si Tangan Halilintar 10
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
Sehingga tidak akan membahayakan tubuh yang terpukul. Karena sifat pertandingan ini hanya latihan, maka mereka lebih mengutamakan gerakan otomatis untuk membuat seluruh perasaan mereka hidup dan menyatu dengan ilmu silat yang mereka mainkan.
"Haiiittt....!"
A Siong membentak dan dia sudah menyerang derigan jurus yang paling disukainya, yaitu jurus Samhoan-to-goat (Tiga Lingkaran Bungkus Bulan). Tubuhnya menyerang dengan kaki melakukan gerakan berputar seperti melingkar-lingkar tiga kali dan dengan demikian dia menyerang lawan dari tiga jurusan yang berbeda. Siauw Beng mengelak ke belakang, lalu memutar tubuh dan menangkis dengan jurus Pek-liong-pai-bwe (Naga Putih Sabetkan Ekor).
"Duk-duk!"
Dua kali serangan A Siong dapat ditangkis dan keduanya tergetar sehingga terdorong mundur.
"Sambut ini"
Kini Siauw Beng membentak dan tangan kanannya membentuk seperti leher burung bangau, jari-jarinya disatukan menotok ke arah ulu hati A Siong dengan jurus Pek-ho-tek-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan).
Namun A Siong maklum akan bahayanya serangan ini dan dia sudah memutar lengan kanannya dari samping, menangkis dengan gerakan memutar dengan jurus To-tui-lim-ciang (Dorong Roboh Lonceng Emas). Demikianlah, kedua orang itu saling serang dengan serunya. Tentu saja kalau Siauw Beng menghendaki, dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang (tenaga sakti) yang lebih unggul, dia akan mampu merobohkan A Siong lebih cepat, namun untuk itu dia harus menggunakan tenaga dalam dan hal itu tentu akan membuat A Siong terluka cukup parah. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, maka pertandingan yang sesungguhnya hanya latihan itu berjalan seru, seimbang dan lama. Akhirnya, setelah mandi peluh dan merasa sudah cukup puas dengan latihan itu, A Siong mengeluarkan simpanannya yang akan membuat dia dapat menikmati dua butir telur rebus tambahan. Tiba-tiba dia membuat gerakan aneh dan tahu-tahu jari-jari tangan kanannya yang besar itu sudah dapat menyambar dan menangkap lengan kiri Siauw Beng.
A Siong memang pandai ilmu gulat yang dipelajarinya dari seorang pemburu binatang berbangsa Hui yang kesasar ke Thaisan. Bagi seorang ahli gulat, sekali lengan lawan dapat tertangkap, maka lengan itu akan dipuntir dan ditelikung dalam jurus kuncian yang akan membuat lawan tidak berdaya lagi. A Siong sudah kegirangan dan hendak menelikung lengan itu. Akan tetapi tiba-tiba Siauw Beng membuat gerakan dari samping, tangan kirinya menampar pangkal lengan A Siong yang menangkapnya, disusul tamparan lain yang mengenai pundak raksasa itu.
"Plak! Plak!!"
A Siong berseru kaget, pegangannya terlepas karena dia merasa lengan kanannya seperti lumpuh dan ketika tamparan ke dua mengenai pundaknya, diapun terpelanting roboh! A Siong merangkak bangun dan memandang kepada Siauw Beng dengan mata terbelalak.
"Huh, ilmu tamparan maearn apa itu? Kenapa aku tidak mengenalnya? itu bukan ilmu yang kaupelajari dari suhu!
Engkau menggunakan ilmu dari luar, kau curang, Siauw Beng!"
A Siong menegur, penasaran karena dia kalah sehingga kehilangan dua butir telur rebusnya.
"Tidak, A Siong. Itu adalah ilmu silat Lui-kong-ciang, memang belum kau kenaI, akan tetapi bukan ilmu dari luar, melainkan ilmu warisan dari ayah kandungku. Karena tadi aku sudah kaupegang dan hampir kaukuasai, maka dalam kegugupanku, aku terpaksa menggunakan Luikong-dang. Biarlah aku mengaku kalah dan dua butir telur rebusku siang ini boleh kaumakan." "Nanti dulu! Soal telur rebus gampang. Akan tetapi engkau tadi bicara tentang warisan dari ayah kandungmu? Ma lo-sicu masih hidup, bagaimana bisa dikatakan dia meninggalkan warisan untukmu?"
Siauw Beng menjadi bingung. Ma Giok yang selama ini dia anggap sebagai ayah kandungnya, dua tahun yang lalu menyerahkan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat kepadanya dan menceritakan tentang Lauw Heng San, ayah kandungnya yang tewas sampyuh (sama-sama tewas) dengan seorang pembesar Mancu.
Ma Giok juga menceritakan tentang ibunya yang meninggal dunia ketika melahirkan dia. Baru dia tahu bahwa Ma Giok hanyalah ayah angkatnya. Dia lalu melatih diri dengan ilmu silat peninggalan ayah kandungnya itu. Dia masih menganggap Ma Giok sebagai ayahnya sendiri dan tidak menceritakan tentang rahasia dirinya kepada orang lain. Akan tetapi dia kelepasan bicara sehingga membuka rahasianya sendiri. Maka, kini dia tidak mampu menjawab, hanya memandang A Siong dengan muka bodoh.
"Sian-cai...! Sudah waktunya engkau mengetahui juga kenyataan itu, A Siong, karena engkaulah yang akari menemani Siauw Beng dalam perantauannya di dunia kangouw sebagai seorang pendekar, melanjutkan cita-cita ayah kandungnya."
Sesosok bayangan berkelebat dan Ma Giok telah berdiri di dekat mereka. Ma Giok kini sudah menjadi seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, namun dia masih tampak gagah perkasa dan berwibawa walaupun rambutnya sudah bercampur banyak uban.
A Siong memandang kepada Ma Giok dengan mata bodoh.
"Apa artinya ini semua, Malo-sicu?"
Ma Giok duduk bersila di atas sebuah batu bundar yang menjadi tempat duduk yang dia senangi. Seringkali bekas pimpinan pejuang itu duduk melamun di at as batu ini seorang diri.
"Kalian duduklah dan dengarkan kata-kataku. Aku ingin bicara tentang hal yang penting, dengan kalian."
Siauw Beng dan A Siong duduk di atas batu di depan kakek itu dan siap mendengarkan "A Siong, ketahuilah bahwa Siauw Beng ini sebenarnya bermarga Lauw. Mendiang ayah kandungnya bernama Lauw Heng San, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan. yang dahulu dijuluki orang Si Tangan Halilintar! Sayang bahwa dia ditipu dan terbujuk oleh seorang pembesar Mancu sehingga rela menjadi kaki tangannya, menentang kaum pejuang yang gigih melawan penjajah Mancu. Akan tetapi dia sadar bahwa dia tertipu lalu memberontak dan membunuh pembesar Mancu itu berikut para jagoannya.
Isterinya yang bernama Bu Kui Siang sedang mengandung ketika itu dan aku membantunya melarikan diri dari pembalasan orang-orang Mancu. Aku membawa Kui Siang menuju ke sini, akan tetapi di tengah perjalanan ia melahirkan. Kami diserang orang-orang jahat. Aku dapat mengusir mereka akan tetapi Kui Siang meninggal dunia ketika melahirkan Lauw Beng ini."
A Siong dengan muka sedih memandang kepada Siauw Beng dan berkata.
"Aku ikut merasa berduka mendengar tentang ayah ibumu, Siauw Beng." "Ah, semua itu sudah berlalu, A Siong. Aku yakin ayah dan ibu kandungku telah mendapatkan tempat yang tenteram dan damai abadi. Kita tidak perlu berduka lagi untuk mereka."
Kata Siauw Beng.
"Siauw Beng benar, A Siong. Nah, sekarang kalian berdua dengarlah baikbaik. Siauw Beng, setelah engkau mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat peninggalan ayah kandungmu, maka tidak ada ilmu lain lagi yang dapat kuajarkan kepadamu.
Juga engkau telah mewarisi semua ilmu yang dulu diajarkan mendiang Pek In San-jin. Maka, sekarang tibalah saatnya bagimu untuk turun gunung. Bekal kekuatan jasmani telah engkau miliki, juga bekal kekuatan rohani telah banyak kau pelajari dari aku dan Pek In Sanjin. Engkau boleh melanjutkan perjuanganku, perjuangan ayah kandungmu, dan engkau sudah sepatutnya memakai julukan Si Tangan Halilintar. Dengan julukan ini engkau akan membersihkan nama; ayah kandungmu yang sempat ternoda! karena bujukan orang Mancu. Denga perbuatan-perbuatanmu yang bijaksana sebagai seorang pendekar budiman, maka nama Si Tangan Halilintar akan terangkat, yang berarti engkau juga mengangkat nama dan kehormatan ayah kandungmu. Dan engkau, A Siong, engkau bantulah Siauw Beng dalam segala hal. Engkau jadilah seperti saudara sendiri, menentukan jalan hidup kalian masing-masing.
Aku hanya dapat mendoakan dad sini semoga Tuhan selalu melindungi kalian dan memberi bimbingan ke arah jalan yang benar dan baik."
Dua orang muda itu sudah mengenal watak Ma Giok. Pendekar ini, sekali mengeluarkan kata-kata, tidak mungkin dibantah dan apa, yang dikatakan itu selalu benar. Maka keduanya lalu meng.angguk.
"Baik, ayah. Saya akan menaati perintah ayah."
Kata Siauw Beng.
"Saya akan menemani Siauw Beng ke rnanapun dia pergi, Ma lo-sicu"
Kata A Siong dengan wajah yang agak sedih dan bingung. Pikirannya kacau. Ke mana mereka harus pergi? Dia tidak mengenal daerah di luar pegunungan Thai-san ini! "Nah, berkemaslah kalian. Bawa semu pakaian, bungkus dengan kain dan gendong buntalan pakaian itu. Siauw Beng, ada sisa sekantung emas di dalam peti pakaianku itu, boleh. kau ambil dan kau bawa sebagai bekal kalian di perjalanan."
Ketika dua orang muda itu bangkit dan hendak melaksanakan perintah itu, Ma Giok bertanya kepada A Siong.
"A Siong, apakah enam butir telur itu sudah kau rebus?"
A Siong memandang heran.
"Sudah, lo-sieu." "Bawalah sisa roti kering dan daging kering dari dapur, juga enam butir telur rebus. Bawalah untuk bekal kalian menuruni gunung."
Dua orang muda itu dengan patuh.melaksanakan semua perintah Ma Giok. Setelah siap, sambil menggendong buntalan pakaian masing-masing, mereka menghadap lagi kepada Ma Giok yang masih duduk di atas batu bundar. Siauw Beng menjatuhkan diri di atas lututnya dan A Siong mengikuti perbuatannya. Sambil berlutut di depan Ma Giok, Siauw Beng berkata dengan suara perlahan.
"Ayah, masih ada sebuah pertanyaan lagi yang sampai sekarang belum ayah jawab."
Ma Giok mengangguk-angguk.
"Ada sebuah pantangan besar bagi seorang pendekar, Siauw Beng. Seorang pendekar haruslah bersikap adil dan kalau pantangan ini kau langgar, maka engkau akan kehilangan pertimbangan yang adil itu dan engkau tidak pantas menjadi pendekar.
Pantangan itu adalah dendam sakit hati! Segala tindakan yang didasari dendam, merupakan tindakan balas dendam yang timbul dari kemarahan dan kebencian, dan sama sekali tidak diukur dengan keadilan lagi. Bahkan tindakan balas dendam menimbulkan perbuatan kejam, terkadang bahkan jahat. Engkau tentu hendak menanyakan siapa mereka yang menyerang aku sehingga ibumu sampai meninggal ketika melahirkan, bukan?" "Benar, ayah. Ayah sudah menceritakan tentang kematian ayah Lauw Heng San yang telah. berhasil membunuh musuh-musuhnya sehingga tidak ada penasaran lagi. Akan tetapi kematian ibu yang disebabkan serangan orang jahat. Saya tidak akan menentang orang itu karena balas dendam. Kalau nanti saya mendapatkan bahwa dia kini menjadi orang baik-baik, saya tidak akan mengganggunya. Akan tetapi kalau dia masih menjadi orang jahat, saya akan menentangnya, bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk menentang kejahatan seperti yang Suhu Pek In San-jin dan Ayah ajarkan kepada saya selama ini."
"Baiklah kalau begitu. Para penyerang itu adalah Hui-kiam Lo-mo, seorang datuk Sungai Huang-ho. Dia lihai sekali akan tetapi sekarang tentu sudah sangat tua kalau dia masih hidup. Mungkin sekarang usianya sudah delapan puluh lima tahun. Ketika itu dia menyerang bersama muridnya yang bernama Can Ok dan empat orang anak buahnya. Aku berhasil membunuh empat orang anak buah itu, akan tetapi.Hui-kiam Lo-mo dan Can Ok sempat melarikan diri." "Terima kasih, ayah."
Kata Siauw Beng.
"A Siong,"
Kata Ma Giok sambil tersenyum.
"
Engkau agaknya juga hendak menyatakan sesuatu. Kalau ada yang mengganggu hati dan pikiranmu, katakanlah dalam kesempatan terakhir ini."
A Siong yang semula ragu-ragu, lalu berkata.
"Hanya ini, lo-sku. Kalau kami berdua pergi meninggalkan tempat ini, lalu....... lalu bagaimana dengan lo-sicu? Siapa yang akan mengerjakan kesemuanya itu? Mengangsu air, membersihkan rumah dan pekarangan, mencuci dan memasak.
Ah, bagaimana lo-sicu dapat hidup seorang diri di sini? Tidak ada yang mengurus, tidak ada yang membantu. Sungguh, saya....... saya tidak tega, lo-sicu."
Ma Giok tersenyum.
"Mendiang Pek In San-jin berkata benar ketika mengatakan kepadaku bahwa engkau yang tampak kasar ini memiliki hati yang lembut, di dalam batu yang sederhana itu tersimpan emas. Jangan khawatir, A Siong. Aku adalah seorang yang sudah biasa hidup sendiri dan siapa tahu mungkin akupun akan turun dari puncak ini. Temanilah saja Siauw Beng, kalian berdua dapat saling bantu sehingga kalian akan dapat menemukan kebahagiaan dalam hidup ini. Nah, sekarang berangkatlah!"
Siauw Beng dan A Siong lalu berangkat. Mereka menuruni puncak. Kalau Siauw Beng dengan langkah tegap terus maju ke depan, adalah.A Siong yang berjalan di belakangnya, beberapa kali menengok dan diam-diam laki-laki kasar tinggi besar itu menggunakan punggung kepalan tangan kanannya untuk mengusap air mata yang membasahi kedua matanya.
Kota Sauw-ciu merupakan kota yang ramai. Pada waktu bangsa Mancu menyerbu ke Cina, kota itupun menjadi kacau dan rusak. Akan tetapi sekarang kota itu telah dibangun kembali. Pemerintah baru, yaitu dinasti Ceng atau pemerintah penjajah Mancu maklum bahwa kota ini merupakan pasaran yang ramai untuk berdagang. Di sini pemerintah dapat memperoleh banyak penghasilan dari pemungutan pajak dan pemungutan-pemungutan lain sehingga pemerintah perlu membangun kota itu, menjaganya agar aman sehingga rakyat dapat berdagang dengan leluasa. Karena semakin maju dan ramai, maka rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan yang besar bermunculan seperti jamur di musim hujan. Di sudut barat kota itu berdiri sebuah rumah makan besar dengan nama Ho Tin Jai-koan (Rumah Makan Ho Tin). Rumah makan itu selain mempunyai sebuah ruangan besar di bawah, di bagian atas juga ada lotengnya yang memiliki ruangan cukup luas pula.
Kalau di ruangan bawah, rumah makan itu mampu menampung sekitar tiga ratus orang tamu, di bagian loteng mampu menampung kurang lebih seratus orang tamu. Rumah makan Ho Tin ini merupakan sebuah di antara tiga buah restoran terbesar di kota Sauwciu dan restoran ini khusus menghidangkan masakan suku Khek dari utara. Pada pagi hari itu, suasana kota sudah ramai. Toko-toko sudah buka dan yang paling ramai adalah toko-toko besar yang menjual rempa-rempa dan tokotoko kelontong atau toko-toko kain. Di situ orang berjual beli dengan ramainya. Sepagi itu restoran-restoran masih sunyi. Biasanya, para tamu yang bermalam di hotel-hotel, kalau pagi cukup dengan sarapan bubur atau makanan kecil yang dijual oleh penjaja makanan di depan hotel-hotel itu. Kalau hendak makan siang atau makan malam dengan kawan-kawan yang mereka sebut "makan besar", barulah mereka berkunjung ke restoran, memesan masakan-masakan yang lezat dan mahal, lalu makan-makan sambil minum arak sampai mabuk.
Akan tetapi, pada pagi hari itu sudah ada belasan tamu yang duduk di ruangan bawah rumah makan Ho Tin. Mereka pada umumnya para pedagang kaya yang untuk sarapan pagi saja ingin menikmati masakan yang lezat dan mahal dari rumah makan besar yang terkenal dikota Sauw-ciu itu. Kecuali dua orang tamu yang sama sekali tidak. mendatangkan kesan sebagai saudagar kaya, bahkan mereka tampak seperti dua orang dusun yang berpakaian sederhana sekali walaupun bersih. Mereka masing-masing menggendong buntalan kain dan kini mereka melepaskan buntalan kain dari punggung dan menaruh di atas lantai dekat meja yang mereka hadapi. Mereka itu bukan lain adalah Siauw Beng dan A Siong. Setelah melakukan perjalanan berbulanbulan tanpa halangan di dalam per jalanan karena siapa yang hendak mengganggu dua orang dusun sederhana seperti mereka, pada pagi hari itu, pagi-pagi sekali mereka memasuki kota Sauw-ciu dan karena perut mereka terasa lapar, ketika mencium bau sedap masakan dari rumah makan Ho Tin, mereka segera memasukinya.
Seorang pelayan menghampiri mereka dengan alis berkerut. Dia pernah mengalami orang-orang yang uangnya tidak cukup untuk membayar makanan pesan masakan di rumah makan itu, maka pengalaman ini merribuat dia berhati-hati. Apalagi melihat A Siong yang cengar cengir mencoba menggerak-gerakkan hidungnya yang besar pesek ketika mencium sedapnya masakan, dia merasa curiga. Bagaimana orang-orang dusun seperti mereka berani memasuki restoran Ho Tin yang besar dan tentu saja masakannya serba mahal dan lezat? Blasanya hanya para saudagar kaya saja yang berpesta pora di sini. Belum pernah ada orang dusun makan di situ. Biasanya, orang dusun membeli makan di pinggir jalan, masakan yang murah.
"Kalian berdua masuk ke sini mau apakah?"
Sebuah pertanyaan yang kasar dan amat menghina dari seorang pelayan restoran kepada tamunya. Akan tetapi Siauw Beng dan A Siong tidak merasakan kekasaran itu, apalagi penghinaan.
Pertanyaan itu hanya membuat Siauw Beng memandang kepada pelayan itu dengan heran.
"Sobat, melihat tulisan di luar itu, bukankah ini sebuah rumah makan? Kami lihat para tamu juga sedang makan. Tentu saja kami masuk ke sini untuk pesan makanan."
Kata Siauw Beng sambi! tersenyum. A Siong mengangguk-angguk.
"Ya, pesan makan yang baunya sedap ini"
Pelayan itu menyeringai, jelas dia memandang rendah.
"Hemm, ketahuilah kalian berdua. Masakan di rumah makan kami ini mahal harganya. Jangan-jangan setelah makan kalian tidak mampu membayarnya!"
Mulailah Siauw Beng merasa bahwa orang ini memandang rendah kepada mereka, akan tetapi dia tidak marah, hanya tersenyum. Sebaliknya, A Siong juga mulai mengerti bahwa mereka disangka tidak mampu membayar harga makanan. Kebetulan dia yang diserahi membawa kantung uang mereka, maka dia lalu cepat membuka buntalan pakaiannya, mengeluarkan kantung uang itu dan membukanya di depan hidung pelayan sambil membentak.
"Tidak mampu membayar katamu? Lihat, kalau kepalamu dimasakpun agaknya kami masih mampu membayarnya. Tentu kepalamu tidak semahal ini, bukan?"
Dia mengguncang kantung itu sehingga terdengar bunyi gemerencing emas dan perak di dalamnya. Pelayan itu terbelalak ketika melihat betapa kantung itu berisi banyak sekali emas! "Maaf......"
Katanya sambil membungkuk-bungkuk.
"Ji-wi (kalian berdua) hendak memesan masakan apakah?"
Sikapnya seketika berubah, kini sopan, bahkan menjilat. Siauw Beng tersenyum. Orang macam ini berwatak rendah. Suka menjilat yang di atas dan menghina yang di bawah, menjilat orang kaya dan menghina orang miskin.
"Hemm, kami akan memesan... eh, apakah ada masakan kepala seperti yang dikatakan saudaraku tadi?"
Siauw Beng menggoda.
"Masakan... kepala...?"
Pelayan itu otomatis memegangi kepalanya sendiri. ''ah... tidak ada... tidak ada..."
"Kalau tidak ada, kami memesan nasi dan dua macam masakan daging ayam dengan sayur."
Kata Siauw Beng.
"Seperti masakan yang baunya terciurn dari sini sekarang ini"
A Siong menambahkan.
"Dan minumnya, air teh!"
Pelayan itu kembali merasa heran. Biasanya, orang memesan masakan dengan minuman anggur atau arak, akan tetapi orang-orang dusun ini memesan minuman air teh! Dia mengangkat pundak lalu pergi untuk menyampaikan pesanan ini di bagian dapur. Sambil menanti dihidangkannya pesanan mereka, dua orang itu memandang ke kanan kiri. Segala yang terdapat di situ menarik perhatian mereka, terutama perhatian A Siong. Siauw Beng masih mampu menahan keheranan dan kekagumannya, akan tetapi A Siong merasa kagum dan mulutnya berdecak-decak kalau melihat sesuatu yang membuatnya kagum dan heran. Seperti ukiran-ukiran pada dinding, lukisan-lukisan. Bahkan sumpit yang halus buatannya, yang sudah tersedia di dalam tempat sumpit di atas meja.
Juga dia mengagumi pakaian orangorang yang sedang makan minum di ruangan itu. Ketika dia melihat jalan tangga yang menuju ke loteng, dia berdiri untuk dapat melihat ke arah loteng.
"Lihat, di atas ada ruangannya lagi. Kita bisa duduk dan makan di sana!"
Katanya kepada Siauw Beng. Siauw Beng tersenyum dan menarik tangan A Siong agar duduk kembali.
"Sudahlah, di sini juga sama saja. Lihat, orang-orang lain juga makan di sini. Belum tentu,kalau ruangan di atas itu untuk para tamu, mungkin untuk keluarga pemilik rumah rnakan ini sendiri."
Katanya. Karena Siauw Beng dan A Siong masih menunggu hidangan dan memperhatikan keadaan sekitarnya, tidak seperti para tamu lain yang sedang sibuk makan, maka perhatian mereka segera tertarik oleh munculnya dua orang laki-Iaki dari luar rumah makan. Mereka memasuki ruangan itu dan Siauw Beng merasa tertarik sekali karena dari langkah mereka, tahulah dia bahwa mereka itu adalah orang-orang yang "berisi".
Dari langkah dan sikap mereka, dia tahu bahwa dua orang itu adalah ahli-ahli silat yang pandai. Tentu saja kemunculannya menarik perhatiannya. A Siong yang dalam banyak hal mengikuti gerak-gerik Siauw Beng, juga segera menaruh perhatian kepada dua orang itu. Yang seorang berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus seperti bambu. Tampaknya lemah saking kurusnya, seolah tertiup angin saja dia akan terpelanting. Juga saking kurusnya, wajahnya seperti tengkorak terbungkus kulit, sehingga tampak menyeramkan. Orang ke dua lebih tua, sekitar lima puluh tiga tahun, tubuhnya sedang dan dia mengenakan jubah longgar kebesaran sehingga tampak lucu walaupun tampangnya boleh dibilang bersih tampan. Yang lebih menarik perhatian Siauw Beng dan A Siong, di punggung kedua orang itu tergantung sebatang pedang. Menarik sekali melihat orang-orang ini berani membawa pedang di punggung mereka, begitu terang-terangan tidak disembunyikan.
Padahal pada waktu itu, pemerintah kerajaan Ceng, yaitu pemerintah penjajah Mancu, melarang keras rakyat bangsa Han (pribumi) membawa senjata di tempat umum! Maka, Siauw Beng dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah sebangsa pendekar yang terkadang tidak mengacuhkan larangan pemerintah penjajah yang mereka anggap musuh, atau mungkin juga mereka berdua sebangsa penjahat yang tentu saja tidak memperdulikan segala macam larangan. Maka diam-diam dia memperhatikan gerakgerik dua orang itu. Dia melihat betapa dua orang itu celingukan dan menyapu ke seluruh ruangan, mata mereka seperti mencari-cari. Agaknya mereka tidak menemukan apa yang dicari karena lalu memasuki ruangan dan langsung saja mereka berdua melangkahkan kaki ke arah anak tangga yang menuju ke loteng atau ruangan atas. Pada saat itu, pelayan datang menghidangkan makanan yang dipesan Siauw Beng dan A Siong.
Dua piring nasi dan dua miring masakan, sepoci air teh dan mangkok-mangkok teh. Akan tetapi begitu meletakkan hidangan di atas meja, pelayan tadi melihat dua orang tadi hendak naik ke loteng.
"Heii... tidak boleh naik ke sana...!!"
Pelayan itu lalu berlari menghampiri dua or,ang itu, A Siong tidak perduli, begitu melihat nasi dan masakan, dia lalu mulai makan dengan lahapnya sehingga semangkok nasi itu habis dalam waktu cepat. Dia segera menyambar mangkok nasi ke dua. Akan tetapi Siauw Beng yang tertarik oleh gerak-gerik dua orang itu ingin melihat apa yang hendak dilakukan pelayan yang cerewet dan suka memandang rendah orang miskin dan menjilat orang kaya itu. Pelayan itu mendahului dua orang itu, menghadang dan menghalang mereka melangkah ke anak tangga.
"Harap jiwi (kalian berdua) tidak naik ke loteng karena pada saat ini loteng telah diborong oleh Song-Loya (Tuan tua Song) untuk pesta keluarganya!"
Dua orang tamu itu memang berpakaian agak kotor, agaknya karena habis melakukan perjalanan jauh sehingga sepatu merekapun penuh debu. Maka pelayan itupun agaknya kurang menghormati mereka. Orang yang tinggi kurus bermuka tengkorak itu berkata, suaranya serak.
"Kami justeru hendak bertemu Song-loya! Minggirlah kau!"
Akan tetapi pelayan itu berkeras melarang.
"Tidak, kalau tidak ada perkenan Song-loya, kami tidak berani membiarkan siapapun juga naik ke loteng. Apa buktinya bahwa ji-wi merupakan tamu Song-loya?" "Buktinya?"
Orang ke dua yang mukanya bersih dan bajunya kedodoran bertanya, lalu dijawabnya sendiri.
"Inilah buktinya!"
Dia menggerakkan tangan kiri menepuk pundak pelayan itu. Kemudian sambil tersenyum lebar kedua orang itu melanjutkan langkah mereka menaiki tangga yang menuju ke ruangan loteng di atas. Pelayan itu masih berdiri seperti tadi dan agaknya dia hanya berdiri melongo, tidak melakukan atau berkata apapun.
Sementara itu, nasi dalam mangkok ke. dua juga sudah lenyap memasuki perut A Siong yang tadi masih merasa lapar.
"He, sobat pelayan! Tambah lagi nasinya!"
Dia berseru dan melihat pelayan itu masih bengong berdiri di bawah anak tangga, A Siong mengomel.
"He, budak uang! Kalau orang yang memanggil, engkau pura-pura tidak dengar, kalau uang yang memanggil, engkau berlari menghampiri dengan ekor bergoyang-goyang!"
Karena tidak sabar, dia bangkit berdiri dan melangkah lebar menghampiri pelayan yang masih berdiri bengong di bawah tangga yang menuju ke loteng.
"Hei, bung pelayan! Apakah engkau tuli dan gagu? Hayo tambah lagi nasi putih, dua mangkok, eh, tiga... lima mangkok. Cepat!"
Bentak A Siong sambil menyentuh lengan pelayan itu. Akan tetapi dia sendiri terkejut ketika tangannya merasa betapa lengan pelayan itu kaku. Tahulah A Siong bahwa pelayan itu tidak mampu bergerak karena tubuhnya telah ditotok orang sehingga kaku.
Setelah mengetahui keadaan pelayan itu, A Siong menepuk pundaknya dan menggunakan jari tangannya untuk membuka jalan darah yang tertotok sambil berkata,"Hayo epat ambilkan tambahan nasi!"
Seketika pelayan itu dapat bergerak kembali. Wajah pelayan itu menjadi pucat. Dia tahu bahwa tadi tubuhnya tidak mampu bergerak setelah tangan kiri tamu yang berjubah lebar itu menepuk pundaknya dan sekarang, setelah pemuda dusun tinggi besar itu menepuknya, dia dapat bergerak kembali. Baru dia menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka sambil membungkuk-bungkuk dia lalu menyanggupi dan bergegas pergi ke dapur untuk mengambilkan lima mangkok nasi yang diminta A Siong. Siauw Beng melihat ini semua. Ketika A Siong duduk kembali, dia berbisik.
"A Siong, di sini gawat, jangan bertindak sembrono. Jangan mencari pertengkaran dengan orang tanpa sebab yang pasti. Kita tidak tahu orang-orang macam apa yang sedang berkumpul di atas itu."
Sambil mulai makan nasi dari mangkok ke tiga, A Siong menjawab.
"Hemm, masa bodoh amat. Asalkan mereka tidak mengganggu kita, akupun tidak perduli."
Keduanya makan minum dan seakan sudah melupakan lagi peristiwa tadi. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat mendengar suara mereka yang di loteng bicara tidak jelas dan hanya mendengar mereka tertawa-tawa. Tiba-tiba terdengar suara dari atas.
"Heiii! Pelayan, cepat naik ke sini!!"
A Siong dan Siauw Beng semakin tertarik. Suara itu terdengar biasa saja, namun mereka berdua dapat merasakan betapa suara itu didorong oleh tenaga sakti kuat sehingga mengandung getaran dan suara seperti itu dapat terdengar dari tempat jauh! Seorang pelayan lain, karena yang tadi tidak berani naik, cepat naik ke loteng memenuhi panggilan itu. Tak lama kemudian dia turun lagi membawa sebuah kertas catatan, agaknya pesanan mereka yang berada di loteng itu dicatat dan itu menandakan bahwa pesanan itu tentu banyak.
Sesampainya di bawah, pelayan itu berbisik-bisik kepada pelayan yang kena totok tadi. Kembali A Siong minta tambahan dua mangkok nasi dan ketika pelayan itu mendekati, dia bertanya.
"Apa yang dikatakan pelayan yang melayani mereka yang berada di atas?"
Karena pelayan itu kini tahu bahwa raksasa muda itu bukan orang sembarangan, dia menjawab.
"Tadinya ada dua orang di atas, ditambah lagi dua orang yang baru datang, akan tetapi kenapa kini yang di atas menjadi lima orang? Entah bagaimana yang seorang lagi tahu-tahu berada di loteng."
Setelah berkata demikian, dia pergi untuk mengambilkan dua mangkok nasi. Siauw Beng saling pandang dengan A Siong.
"Memang mencurigakan mereka itu, A Siong. Aku khawatir akan terjadi sesuatu yang hebat di sini. Akan tetapi ingat, kalau tidak mengganggu kita, jangan mencampuri urusan orang lain."
Kata Siauw Beng. A Siong yang sudah menghabiskan enam mangkok nasi, A Siong baru merasa kenyang dan dia menyeka mulutnya dengan kain lap, lalu berkata.
"Kalau mereka melakukan kejahatan mengganggu orang, apakah akupun harus diam saja?"
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja tidak. Akan tetapi hati-hati, jangan sekali-kali turun tangan sebelum ada isarat dariku."
Pesan Siauw Beng. A Siong mengangguk. Dia memang harus menaati Siauw Beng yang dia anggap sebagai ganti Ma Giok. Tiga orang pelayan membawa baki penuh masakan ke atas loteng. Mereka turun lagi membawa baki kosong dan di atas terdengar orang-orang bicara dan tertawa-tawa gembira. Siauw Beng dan A Siong sudah selesai makan. Selagi Siauw Beng hendak memberi isarat kepada A Siong untuk membayar harga makanan dan pergi dari situ, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar rumah makan Ho Tin dan tampak seorang gadis cantik jelita memasuki ruangan bawah, dikawal oleh selosin pasukan Mancu yang memakai pakaian seragam gemerlapan. Tentu saja semua tamu di rumah makan itu menjadi terkejut dan ketakutan. Pada waktu itu, setiap kalau melihat pasukan Mancu orang merasa takut dan ngeri.
Walaupun bangsa Mancu sudah memerintah hampir tiga puluh tahun di Cina, rakyat tetap merasa panik kalau melihat pasukan Mancu karena seringkali pasukan Mancu bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dengan dalih melakukan pembersihan terhadap para pemberontak! Para pelayan rumah makan, Ho Tin, dipimpin oleh majikannya sendiri, cepat menyambut gadis itu dengan membungkuk-bungkuk penuh hormat. Mereka mengenal gadis cantik jelita yang dari pakaiannya saja dapat diketahui bahwa ia adalah seorang puteri bangsawan Mancu! Memang sudah beberapa kali Puteri Maya, demikian nama gadis bangsawan Mancu itu dikenal sebagai puteri seorang bangsawan tinggi, bahkan kabarnya ayah gadis itu adalah seorang panger an kerajaan Mancu, datang ke restoran itu untuk makan siang. "Selamat pagi, Nona Puteri Maya yang terhormat, selamat pagi dan silakan memilih meja yang paduka anggap paling menyenangkan.
Silakan!"
Kata pemilik restoran diikuti oleh para pelayan yang membungkuk-bungkuk sambil tersenyum ramah. Puteri Maya, demikian nama gadis jelita itu, memandang ke sekeliling. Masih banyak meja kosong di ruangan bawah itu, akan tetapi agaknya dia tidak tertarik. Ketika pandang matanya bertemu dengan Siauw Beng dan A Siong, gadis itu mengerutkan alisnya. Agaknya ia merasa heran melihat ada dua orang pemuda dusun berada pula di restoran besar itu untuk makan! Agaknya gadis itu tidak suka dengan keadaan di ruangan bawah, mungkin sekali karena melihat bahwa di situ terdapat dua orang dusun. Masa ia, seorang puteri keluarga istana harus makan satu ruangan bersama dua, orang dusun yang bodoh, miskin dan kotor? Ia lalu memandang ke arah anak tangga yang menuju ke loteng. "Aku hendak makan di atas saja."
Kata gadis itu kepada majikan rumah makan yang bertubuh gendut. Majikan restoran itu membelalakkan matanya dan suara gadis yang nyaring merdu itu seperti mengejutkannya.
"Mohon beribu ampun, Nona puteri! Akan tetapi tempat di atas sudah diborong orang untuk pesta!"
Gadis cantik itu mengerutkan alisnya.
"Pembesar mana yang memborongnya?. Katakan kepadanya bahwa Puteri Maya yang menghendaki tempat di loteng itu dan suruh mereka berpindah ke bawah!" "Bukan pembesar, nona. Akan tetapi yang memborong adalah Song Wan-gwe (Hartawan Song) yang dermawan dan terkenal di kota Sauw-ciu ini" "Tak perduli siapa dia, suruh turun pindah ke bawah!"
Bentak Puteri Maya "Akan tetapi... mereka sedang berpesta, nona...
" "Hemm, berapa orang sih yang berpesta?" "Mereka ada empat... eh, lima orang...
" "Apalagi cuma lima orang, hayo suruh mereka pindah ke bawah sekarang juga. Dan jangan membuat aku habis sabar!"
Majikan restoran Ho Tin itu tampak ketakutan dan bingung. Nama besar Hartawan Song sebagai seorang dermawan di kota Sauw-ciu amat terkenal, bukan saja karena kaya raya dan sosiawan, suka mendermakan kekayaannya, dan yang lebih dari itu.
Hartawan Song juga terkenaI sebagai seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi dan kabarnya memiliki hubungan erat dengan semua tokoh kangouw yang gagah perkasa! "Akan tetapi... Nona Puteri... saya... saya tidak berani...
" "Hemmmm..."
Puteri Maya lalu memberi isarat kepada perwira yang memimpin pasukan pengawalnya. Perwira itu bersama empat orang perajurit lalu berjalan melalui anak tangga menuju ke loteng. Siauw Beng dan A Siong yang sudah membayar harga makanan, tidak segera keluar, melainkan masih duduk dan memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Juga para tamu yang masih berada di situ memandang dengan hati berdebar. Mereka semua mengikuti lima orang perajurit pengawal yang naik ke loteng. Mereka yang berada di bawah tidak dapat melihat apa yang terjadi di atas, akan tetapi mereka dapat mendengar suara seseorang membentak. "Loteng ini sudah kami borong dan kami sewa.
Tak seorangpunboleh mengusir kami dad sini sebelum kami selesai makan minum."
Terdengar bentakan perwira pasukan tadi.
"Puteri Maya membutuhkan tempat ini, maka kalian harus pindah ke bawah, sekarang juga atau terpaksa kami menggunakan kekerasan menyeret kalian turun ke bawah!"
Terdengar suara tawa beberapa orang disusul suara berdebukan dan mereka yang di bawah melihat betapa lima orang perajurit pengawal itu berpelantingan dan terguling-guling turun dari anak tangga loteng! Agaknya lima orang itu dengan paksa dilempar-lemparkan turun! "Bagus..."
A Siong berseru, akan tetapi Siauw Beng segera menyentuh tangannya dan raksasa muda tadi menutup kembali mulutnya. Siauw Beng tidak terlalu menyalahkan temannya yang agaknya berpihak kepada mereka yang berada di loteng karena baik A Siong maupun ia sendiri sudah banyak mendengar dari Ma Giok tentang kekejaman dan kesewenang-wenangan pasukan Mancu yang menjajah tanah air dan bangsa mereka.
Namun, Ma Giok juga memperingatkan bahwa tidak semua orang Mancu jahat, di antara mereka banyak juga yang baik. Puteri Maya menengok dan matanya yang indah, jeli dan tajam itu menyapu ruangan itu, agaknya hendak mencari siapa orangnya yang mengeluarkan suara pujian tadi. Akan tetapi melihat semua orang terdiam, ia lalu mengalihkan perhatiannya lagi ke arah anak tangga. Ketika melihat lima orang pengawalnya yang lain mencabut pedang hendak menyerbu ke atas, puteri itu membentak "Tahan, dan mundur kalian!"
Lima orang pengawal itu tidak jadi menyerbu dan membantu kawan-kawan yang berpelantingan tadi. Namun tidak ada yang terluka parah dan kini sepuluh orang perajurit pengawal itu memandang ke arah gadis jelita yang dengan langkah tenang naik ke atas loteng melalui anak tangga itu! Semua orang, termasuk Siauw Beng dan A Siong, mengikuti langkah gadis cantik jelita itu dengan heran dan tegang. Sungguh berani gadis bernama Puteri Maya itu.
Lima orang perajuritnya saja begitu naik sudah berpelantingan jatuh dan kini ia, seorang gadis cantik jelita yang usianya paling ban yak delapan belas tahun, berani naik ke loteng seorang diri saja! Juga majikan rumah makan Ho Tin dan semua pelayannya, yang hanya mengenal Puteri Maya makan di rumah makan itu selama beberapa kali dalam waktu sebulan ini, memandang heran. Siauw Beng memberi isarat kepada A Siong dan mereka berdua menggunakan kesempatan selagi orang tercurah perhatian mereka ke arah loteng, cepat menyelinap keluar dan dari sisi rumah makan itu, di mana terdapat sebatang Pohon mereka lalu memanjat pohon mengintai dari jendela loteng yang kini berada di depan mereka. Dari luar jendela itu mereka dapat menonton dengan jelas apa yang terjadi di ruangan loteng itu. Mereka melihat ada lima orang duduk menghadapi meja besar penuh hidangan. Yang duduk di kepala meja adalah seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, pakaiannya seperti seorang hartawan sehingga mudah diduga bahwa tentu dia yang disebut Song Wan-gwe (Hartawan Song) yang dermawan itu.
Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya yang tampak gembira itu membayangkan kesabaran dan kematangan, namun juga berwibawa. Jenggotnya yang masih hitam itu rapi berjuntai sampai ke lehernya dan mukanya kemerahan. Orang ke dua berusia sekitar lima puluh delapan tahun, bertubuh sedang berpakaian ringkas dan wajahnya masih menunjukkan bekas ketampanannya. Orang ke tiga bertubuh pendek gemuk, berusia sekitar lima puluh lima tahun, mukanya menyeringai seperti orang tertawa dan tarikan mukanya lucu. Orang ke empat dan ke lima adalah dua orang yang tadi naik dan yang jubahnya longgar kedodoran adalah yang tadi menotok pelayan sehingga pelayan itu tak dapat bergerak seperti patung.Sedangkan orang ke lima adalah si kurus yang mukanya seperti tengkorak. Usia si jubah kedodoran sekitar lima puluh tiga dan si muka tengkorak sekitar lima puluh tahun. Mereka adalah orang-orang yang sudah mulai tua, berusia lima puluh ke atas dan pakaian merekapun sederhana, kecuali yang tertua dan yang duduk di kepala meja yang berpakaian seperti seorang hartawan.
Orang pendek gemuk yang mukanya lucu itu tertawa sambi! membersihkan kedua telapak tangannya seolah baru saja memegang barang kotor.
"Heh-heh, segala macam tikus busuk datang mengganggu pesta kita, Song-ko (kakak Song). Sungguh menjemukan dan mengurangi selera saja!" Orang tertua, yaitu Hartawan Song yang agaknya menjamu empat orang itu tersenyum, akan tetapi kata-katanya mengandung nada teguran ketika dia berkata.
"Ciang-te (Adik Ciang), engkau masih saja tidak dapat mengubah watakmu yang suka main-main. Permainan tadi hanya akan merepotkan aku yang tinggal di Sauw-ciu ini, Ciang-te karena peristiwa tadi pasti akan ada ekornya!" "Heh-heh-heh, Song-ko, tidak usah khawatir. Aku orang she Ciang selalu berpendirian, berani berbuat harus berani menanggung resikonya! Aku yang tadi telah mengusir lima ekor tikus itu, kalau ada ekornya, biarlah aku yang menghadapi. Engkau tidak perlu mencampuri dan engkau tidak bersalah apa-apa, Songko."
Kata si pendek gemuk.
"Uh, Ciang-ko (kakak Ciang), bagaimana engkau bisa berkata begitu kepada Song-toako (kakak tertua Song)? Biarpyn kini kita sudah terpisah-pisah, namun kita tetap merupakan lima bersaudara yang saling membela, bukan? Apa yang dilakukan seorang di antara kita, menjadi tangguh jawab kita berlima. Bukankah begitu, Song-twako?"
Hartawan Song mengangguk-angguk, kemudian dia bangkit berdiri ketika muncuI gadis cantik jelita dari bawah tangga. Melihat ini, empat orang yang lain juga menoleh dan melihat gadis cantik jelita berpakaian bangsawan Mancu, mereka juga bangkit berdiri. Dengan matanya yang indah namun bersinar tajam, Puteri Maya yang sebetulnya nama lengkapnya adalah Mayani, menyapu lima orang itu, lalu terdengar suaranya yang nyaring dan merdu, dalam bahasa yang logat Mancunya masih kental. "Siapa yang telah merobohkan lima orang pengawalku ke bawah loteng tadi?"
Lima orang itu adalah orang-orang yang selalu bersikap gagah, maka si pendek gendut yang bernama Ciang Hu Seng itu cepat melangkah maju menghadapi gadis itu dan berkata, sambil tersenyum.
"Akulah orang she Ciang yang melakukannya, nona. Yang lain-lain ini tidak ikut campur danaku yang bertanggung jawab. Lima orang perajurit tadi bersikap kasar hendak mengusir kami dari sini, maka terpaksa aku memaksa mereka turun kembali."
Sinar mata yang bening indah dan tajam itu mengamati wajah si pendek gendut dan tangan kirinya perlahan-lahan melolos sebuah sabuk sutera merah yang tadinya melingkar di pinggangnya yang Kecil ramping. Ternyata sabuk sutera merah itu panjangnya sekitar tiga meter.
"Hemm, bagus, orang she Ciang! Engkau rnerobohkan mereka yang rnenjadi pengawalku, berarti engkau tidak memandang kepada Puteri Mayani. Nah, cobalah engkau jatuhkan juga aku seperti kau lakukan kepada lima orang pengawalku tadil"
Ciang Hu Seng menjadi bingung. Biarpun mulutnya masih tersenyum lebar, namun sinar matanya kacau dan dia benar-benar menjadi salah tingkah.
Dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, tidak akan mundur selangkahpun menghadapi lawan yang bagaimanapun dahsyatpun. Akan tetapi sekarang dia ditantang seorang gadis berusia belasan tahun, seorang puteri bangsawan yang cantik jelita seperti bidadaril Bagaimana mungkin dia menyerang seorang puteri muda belia seperti itu? "Aku... aku... tidak bisa menyerang wan ita muda belia..."
Katanya gagap dengan muka berubah kemerahan walaupun mulutnya masih tersenyum.
"Hemm, kalau engkau tidak bisa menyerang aku, akulah yang akan menyerangmu untuk membalas apa yang kaulakan terhadap para pengawalku tadi!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangan puteri itu bergerak dan meluncurlah sinar merah ke arah muka si pendek gemuk. Sinar merah itu menyambar sambil mengeluarkan suara berciutan, gerakannya cepat bukan main dan telah menyambar ke arah kedua mata orang she Ciang itu! Si pendek gemuk terkejut bukan main. Dia mengenal serangan berbahaya.
Sabuk sutera yang lemas itu kini menjadi senjata yang kuat dan berbahaya sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa puteri muda belia itu memiliki sinkang (tenaga sakti) yang hebat! Dia cepat mengelak, akan tetapi kedua ujung sabuk itu mengejarnya dan kini terdengar lara meledak-Iedak ketika kedua ujung sabuk sutera itu melecut-lecut dari atas mengancam kepala dan muka si pendek gendut. Diam-diam Siauw Beng dan A Siong merasa terkejut dan heran sekali. gadis bangsawan yang muda belia itu ternyata seorang ahli silat yang lihai bukan main. Kini, kedua sinar merah mengurung dan mendesak, dan ketika orang she Ciang itu melompat ke samping, dia disambut dorongan tangan kiri adis bangsawan itu.
"Wuuuttt... desss!"
Tubuh di pendek gendut itu terpelanting. Dorongan telapak tangan yang mungil itu ternyata cukup kuat sehingga biarpun tubuh si pendek gendut yang memiliki kekebalan itu tidak terluka, namun dapat membuat dia terguling!
Hal ini sungguh mengejutkan teman-temannya yang berada di situ. Si pendek gemuk she Ciang ini bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang pendekar yang amat terkenal, baik ilmu silat tangan kosong maupun ilmu pedangnya. Maka sungguh mengejutkan kalau dalam waktu beberapa jurus saja dia sampai terpukul roboh! Ciang Hu Seng juga merasa penasaran. Dia masih tersenyum akan tetapi cepat melompat bangun dan kini sebatang pedang telah berada,di tangan kanannya. Melihat temannya mencabut pedang, Hartawan Song memperingatkan.
"Ciangte, jangan lukai atau bunuh orang!"
Akan tetapi gadis bangsawan Mancu itu yang menjawab.
"Katak buduk ini tidak akan mampu melukai aku, hi-hik!"
Suara tawanya sungguh menggelitik dan membuat Ciang Hu Seng menjadi marah sekali karena merasa dipandang rendah, dengan sebutan katak buduk. Akan tetapi pada dasarnya memang dia tidak dapat marah, maka mulutnya masih tersenyum ketika dia menggerakkan pedangnya.
Pedang itu berkelebat, berdesing dan ketika dia memainkannya, tampak gulungan sinar perak yang menyambar-nyambar dahsyat.
"Bagus, kiranya engkau seorang ahli pedang. Hemm, jangan dikira aku jerih menghadapi pedang pemotong leher ayam di tanganmu itu!"
Puteri Mayani mengejek dan iapun memutar sabuk sutera merahnya semakin cepat. Kini sang puteri itu benar-benar memperlihatkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa sekali. Tubuhnya seolah lenyap, berubah menjadi bayangan yang menari-nari di antara gulungan sinar sabuk sutera merah dan gulungan sinar pedang keperakan. Sungguh merupakan suatu pemandangan indah namun juga menegangkan sekali. Siauw Beng dan A Siong yang mengintai dari luar jendela, di antara dahan-dahan pohon menjadi semakin asyik. Mereka berdua tidak mengenal kedua pihak yang bertanding, maka tentu saja tidak berani mencampuri, hanya diam-diam nonton dengan hati kagum, terutama terhadap gadis bangsawan Mancu itu.
Tanpa disadari hati kedua orang ini condong memihak kepada Puteri Mayani, sungguhpun mereka maklum bahwa puteri bangsawan itu adalah bangsa Mancu yang seharusnya mereka musuhi karena bangsa Mancu itu sekarang menjajah tanah air dan bangsa mereka! Akan tetapi melihat seorang gadis muda belia dan demikian cantik jelita menggunakan sabuk sutera berkelahi melawan seorang laki-laki yang memegang pedang dengan gerakan demikian dahsyat, tentu saja mereka khawatir kalau-kalau tubuh yang indah menarik dengan kulit putih mulus itu akan terluka oleh bacokan atau tusukan pedang! Akan tetapi, gerakan Mayani semakin cepat sehingga pandang mata Ciang Hu Seng menjqdi kabur. Bahkan empat orang kawannya juga memandang khawatir. Dengan kelebihan dalam gin-kang itu saja, mudah diduga bahwa gadis Mancu itu akan dapat mengatasi lawannya. "Hyaaaattt...!"
Terdengar pekik melengking dan tiba-tiba ujung sabuk yang kiri sudah membelit pedang dan ujung sabuk yang kanan menotok ke arah pundak kanan.
Tak dapat dihindarkan lagi, pedang itu terampas oleh belitan ujung sabuk.! "Mampuslah oleh pedangmu sendiri, katak buduk!"
Puteri Mayani berseru dan kini pedang di ujung sabuk itu meluncur turun ke arah leher Ciang Hu Seng. Ciang Hu Seng yang pundaknya tertotok sa at itu tidak mampu menghindar. Akan tetapi ada sinarmenyambar, menangkis pedang di ujung sabuk dan ada jari menepuk pundak Ciang Hu Seng sehingga si gendut pendek mampu bergerak kembali. Kiranya Hartawan Song sendiri yang turun tangan menyelamatkan Ciang Hu Seng. Puteri Mayani terkejut. Pedang yang tertangkis itu terlepas dari libatan sabuknya, bahkan ujung sabuknya terpotong sedikit. Pedang rampasan itu melayang ke atas dan Ciang Hu Seng yang sudah bebas dari totokan itu melompat dan menangkap pedangnya dengan tangan kanan. Puteri Mayani tersenyum mengejek.
"Hemm, jangan dikira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berlima. Akan tetapi aku malu kalau menjadi tontonan di tempat ramai ini.
Kalau memang kalian merasa diri jagoan, datanglah di hutan cemara di kaki bukit Kera besok pagi setelah terang tanah. Di sana aku akan melayani kalian! Nah, sampai bertemu besok pagi"
Setelah berkata demikian, dengan tenangnya gadis itu menuruni anak tangga.
"Tunggu, nona!"
Seru Hartawan Song.
"Kami tidak bermaksud bermusuhan denganmu!"
Dia mengejar turun, akan tetapi Mayani berhenti di bawah tangga, menoleh dengan suara mengejek.
"Apakah Hartawan Song yang terkenal dermawan juga terkenal pengecut dan penakut? Kalau ada omongan, kita bicarakan besok pagi di hutan cemara!"
Setelah berkata demikian, gadis itu memberi isarat kepada sepuluh orang perajurit pengawalnya dan merekapun pergi meninggalkan rumah makan Ho Tin. Siauw Beng dan A Siong juga cepat-cepat turun dari atas pohon.
"Wah, ada tontonan menarik besok pagi, Siauw Beng. Kita tidak boleh lewatkan tontonan itu."
Kata A Siong. Siauw Beng mengangguk.
"Bukan sekedar menonton, A Siong. Kalau bisa kita harus berusaha mendamaikan antara mereka. Kedua orang muda itu lalu mencari rumah penginapan. Kini mereka lebih berhati-hati dan mereka tidak memilih rumah penginapan yang besar, melainkan memilih rumah penginapan kecil yang menampung para tamu yang bukan terdiri dari orang-orang kaya agar mereka tidak dipandang rendah oleh pelayan seperti ketika mereka memasuki rumah makan Ho Tin tadi. Mereka meninggalkan buntalan pakaian dalam sebuah kamar yang mereka sewa untuk berdua. Buntalan itu hanya berisi pakaian sederhana milik mereka yang tidak begitu berharga. Akan tetapi kantung uang berisi emas dan beberapa potong perak itu disimpan A Siong dalam kantung bajunya. Mereka 1alu keluar untuk berjalan-jalan, melihat-lihat kota Sauw-ciu yang ramai. Mereka berputar-putar dan ketika mereka tiba di depan sebuah rumah makan yang besar sekali, bahkan lebih besar dari rumah makan Ho Tin.
Siauw Beng menyentuh lengan A Siong dan menudingkan telunjuknya ke arah sebuah kereta yang berhenti di depan rumah makan itu. A Siong memandang dan menyeringai maklum. Mereka melihat kereta yang indah dan mereka mengenal sepuluh perajurit pengawal yang tadi mengawal puteri Mancu itu, kini mereka berdiri di dekat kereta bersama kusir kereta. Tak salah lagi, tentu puteri Mancu tadi makan di restoran ini! Mereka berdua melihat bahwa bukan mereka berdua saja yang menonton kereta yang indah itu. Ada beberapa orang bergerombol di seberang jalan sambil mengamati kereta. Mereka tidak berani terlalu mendekat karena sepuluh perajurit pengawal itu memasang muka asam sehingga tidak ada yang berani mendekat. Pada saat itu, keluarlah sang puteri itu dad dalam rumah makan, diikuti oleh majikan rumah makan dan beberapa orang pegawainya, mengikuti sampai di luar dan membungkuk-bungkuk dengan amat hormatnya.
Sang puteri dengan angkuhnya keluar lalu memasuki kereta yang pintunya dibukakan oleh para pengawal. Kusir sudah menduduki bangkunya dan tak lama kemudian kereta itupun bergerak pergi, diikuti sepuluh orang pengawal yang menunggang kuda. Siauw Beng dah A Siong melihat seorang di (Lanjut ke Jilid 09)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
antara mereka yang bergerombol tadi kini sibuk bercerita, menggerakkan kepala dan tangannya, didengarkan banyak orang yang tampak tertarik sekalie Diam-diam Siauw Beng dan A Siong mendekati dan ikut pula mendengarkan. Orang itu memang pandai bicara dan ternyata dia bercerita tentang sang puteri tadi.
"Kalian tahu apa? Puteri secantik bidadari tadi bukanlah puteri bangsawan biasa! Nama lengkapnya Puteri Mayani Gunam, biasa disebut Puteri Maya saja. Dan kalian tahu ia itu siapa? Ia masih keponakan Yang Mulia Kaisar Kerajaan Ceng! Ayahnya adalah seorang pangeran aseli! Ia puteri pangeran yang besar kekuasaannya.
Dan kalian tentu mengenal pembesar yang paling berkuasa di kota Sauw-ciu? Bukan lain adalah Kepala Daerah dan pembesar itu adalah kakak dari ibu kandung Puteri Maya, seorang pribumi Han. Nah, tentu saja kekuasaan sang puteri itu besar sekali. Ia cantik seperti bidadari dan belum juga bertunangan. Kabarnya yang kudapat dari kota raja, para pemuda bangsawan, para pangeran putera kepala-kepala suku banyak yang tergila-gila kepadanya, akan tetapi semua pinangan ditolaknya! Entah pemuda macam apa yang dicarinya sebagai jodohnya." "Siapa tahu ia akan mencari jodoh seorang pemuda pribumi Han, mengingat bahwa ibunya seorang pribumi!"
Terdengar seorang laki-laki berkata.
"Hemm, siapa tahu? Mungkin saja. Mudah-mudahan begitu. Semakin banyak orang berdarah pribumi menjadi keluarga istana, makin baik karena tentu pemerintah tidak akan mengeluarkan peraturan yang terlalu menindas kita."
Ramai kini mereka saling bicara sendiri.
Siauw Beng sudah merasa puas akan apa yang didengarnya dan diapun mengajak A Siong pergi dari situ. Ketika berada di kamar penginapan, malam itu Siauw Beng banyak melamun sehingga beberapakali A Siong menegurnya. Siauw Beng tidak dapat melupakan wajah Puteri Maya! Wajah yang seperti selalu membayang di depan matanya. Pandang mata yang tajam beriing dan indah itu. Bibir yang mungil itu dengan senyumnya yang khas. Dan kehebatan ilmu silatnya. Dia merasa terkagum-kagum. Seorang gadis yang am at luar biasa! Seperti yang diajarkan oleh mendiang Pek In San-jin, dalam keadaan seperti itu, dia mengamati hati dan akal pikirannya sendiri. Dia mendapat kenyataan bahwa rasa kagum itu bukan semata-mata karena gadis itu cantik menarik dan menggairahkan. Rasa kagum dan tertarik di dalam hatinya itu bukan semata karena gejolak nafsu berahi. Namun ada sesuatu yang membuat dia tertarik. Sesuatu pada sinar gadis itu, pada gerak bibirnya.
Ada sesuatu yang membuat dia merasa bahwa dia harus melindunginya, harus menjaganya dari ancaman bahaya. Ada semacam perasaan "iba"
Dalam hatinya terhadap gadis itu walaupun pikirannya mencela perasaan ini karena pikirannya mengatakan bahwa gadis itu terlalu kejam dan tinggi hati! Ketika ia berhasil merampas pedang si pendek gendut dengan sabuknya, ia lalu menyerangkan pedang rampasan itu ke arah leher si gendut. Serangan itu merupakan serangan maut dan kalau saja Hartawan Song tidak menangkis, tentu si pendek gendut she Ciang itu sudah tewas terpenggal pedang sendiri! Pikirannya mencela gadis itu, akan tetapi mengapa ada perasaan iba dan harus melindungi di dalam hatinya? Siauw Beng menghela napas panjang dan berkata pada diri sendiri bahwa dia besok pagi akan melihat keadaan. Kalau memang ada nyawa terancam, dia akan turun tangan mencegah terjadinya pembunuhan.
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo