Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Halilintar 11


Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Bukankah menurut sikap mereka, lima orang laki-laki tua itu juga bukan sebangsa penjahat? Bahkan Hartawan Song dikatakan sebagai seorang dermawan yang terkenal di kota Sauw-du! Dia tidak akan berpihak, hanya akan melindungi pihak yang terancam bahaya dan kalau mungkin mencegah terjadinya permusuhan yang akan saling membunuh.

   "Engkau kenapa sih, Siauw Beng? Dari tadi melamun saja. Bahkan engkau tidak mau makan malam, menyuruh aku makan sendiri. Nih, kubelikan bakpauw, makanlah. Kalau tidak, engkau akan kelaparan dan dapat terserang angin."

   Kata A Siong yang baru masuk sambil memberikan bungkusan terisi bakpauw sebanyak lima buah kepada Siauw Beng. Siauw Beng menerima bakpauw itu dan memakannya. A Siong memandang kawannya yang makan bakpauw dengan alis berkerut. Dia tak sabar lagi.

   "Siauw Beng, agaknya pikiranmu selalu terganggu oleh peristiwa pagi tadi.

   Mengapa engkau pusingkan benar urusan orang lain itu?" "A Siong, aku khawatir gadis itu akan celaka. Lima orang itu bukan orang sembarangan. Terutama sekali Hartawan Song itu. Aku melihat ketika dia mencabut pedang dan menangkis, gerakannya begitu cepat dan kuatnya. Dia tentu seorang ahli pedang yang tangguh sekali. Gadis itu memang lihai, akan tetapi tak mungkin ia mampu menandingi lima orang itu dan kalau dibiarkan mereka bertanding, gadis itu tentu akan celaka."

   A Siong tersenyum, lalu merebahkan diri di atas satu di antara dua buah pembaringan itu.

   "Mengapa dipusingkan benar? Biarkan gadis itu kalah kalau memang ia kalah. Pula, bukankah ia seorang gadis Mancu, bahkan masih keluarga Kaisar Mancu? Kebetulan kalau ia tewas dalam pertempuran, berkurang satulah musuh bangsa kita. Bukankah menurut Ma lo-sicu, musuh utama bangsa kita adalah keluarga kaisar yang mengatur penjajahan di negara kita?" "A Siong, pendapatmu itu keliru.

   Ingat, kita harus selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Siapapun juga orangnya, kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata, bangsa apapun juga, kalau ia tertindas dan nyawanya terancam, kita harus menolong dan membelanya. Sebaliknya, siapapun orangnya, kalau bertindak sewenang-wenang, harus kita tentang! Demikian pesan ayah Ma Giok, bukan?"

   A Siong tidak suka kalau diajak berpikir banyak. Kepalanya menjadi pening kalau harus memikirkan hal yang pelikpelik, dan dia berkata.

   "Ya, sudahlah, bagaimana engkau sajalah. Lalu apa yang hams kita lakukan sekarang?" "Sekarang? Sekarang kita mengaso dan tidur agar besok pagi-pagi kita dapat pergi ke hutan cemara. Kita nonton pertandingan itu dan kita lihat saja perkembangannya. Jangan engkau lakukan sesuatu sebelum kuberi isarat." "Baik, kita tidur. Akupun sudah lelah dan mengantuk."

   A Siong melepaskan sepatu dan baju luarnya karena hawa malam itu agak panas.

   "Hemm, engkau lupa lagi, ya? Apa yang harus kita lakukan sebelum tidur?"

   Siauw Beng mengingatkan sesuatu kebiasaan yang sudah harus mereka lakukan semenjak dahulu sesuai dengan perintah Ma Giok. A Siong menghela napas panjang, bangkit duduk dan mengenakan lagi sepatunya.

   "Ya... ya..., membersihkan mulut dan gigi sebelum tidur! Engkau lebih galak daripada Ma lo-sku dalam hal ini, Siauw Beng!"

   Siauw Beng tertawa.

   "Karena hat ini penting sekali untuk kesehatan kita, maka aku selalu mengingatkanmu. Setelah makan bakpauw dan membersihkan mulut dan gigi, Siauw Beng juga merebahkan diri di atas pembaringannya yang sederhana karena memang sewa kamar penginapan itu murah. Mereka segera tertidur pulas. Tadinya memang Siauw Beng amat terganggu oleh dengkur A Siong yang menggetarkan kamar itu. Akan tetapi dia menutupi telinganya dengan bantal dan akhirnya dapat pulas Juga.

   Pagi-pagi 'benar lima orang yang kemarin berpesta di loteng rumah makan Ho Tin sudah tnemasuki hutan cemara. Oi tengah hutan itu terdapat sebuah lapangan rum put yang terbuka dan di sanalah mereka menanti sambi! duduk di atas batu-batu gunung yang banyak terdapat di Bukit Kera itu. Lima orang ini sebetulnya adalah pendekar-pendekar yang dulu pernah mengguncang dunia persilatan dan mereka dulu terkenal dengan julukan Ciong-yang Ngo-tai-hiap (Lima Pendekar Besar dari Ciong-yang), juga disebut Ngo-kiam-hiap (Lima Pendekar Pedang). Dua puluh tahun yang lalu, Ciong-yang Ngo-kiam-hiap ini pernah menjadi pejuang melawan penjajah Mancu bersama Lam-liong Ma Giok dan lain pejuang. Setelah semua perlawanan terhadap pasukan Mancu gagal, mereka menghentikan perlawanan dan mereka berlima bahkan berpencar agar tidak mudah dilacak oleh pasukan Mancu yang tentu saja mencatat nama mereka dalam daftar hitam sebagai pemberontak-pemberontak.

   Seperti juga para pejuang yang lain, setelah tidak ada kesempatan untuk melawan pemerintah penjajah Mancu, mereka bekerja sebagai p~ndekar-pendekar yang menentang kejahatan, membela rakyat yang tertindas. Orang pertama dari Lima Pendekar Pedang dari Ciong Yang ini adalah Song Kwan yang kini telah berusia enam puluh tahun. Song Kwan ini menjadi pedagang dan dia berhasil memperoleh kemajuan sehingga menjadi seorang yang kaya raya di kota Sauw-ciu. Akan tetapi biarpun dia sudah menjadi seorang hartawan, tetap saja jiwa kependekarannya tak pernah lenyap. Oia kini mendapat lebih banyak kesempatan untuk menolong rakyat, baik dengan hartanya maupun dengan tenaganya sehingga Song K wan yang cjikenal sebagai Hartawan Song amat terkenaI di Sauw-ciu sebagai seorang dermawan besar. Oi antara lima orang pendekar itu, Song Kwan memiliki ilmu pedang yang paling lihai sehingga dahulu dia pernah mendapat julukan Kiam-sian (Dewa Pedang)!

   Mukanya yang merah gagah, tubuhnya yang tinggi besar, ditambah kumis jenggotnya yang panjang, membuat dia mirip tokoh Kwan Kong dalam kisah Sam Kok (Tiga Kerajaan) yang kemudian terkenal sebagai seorang tokoh yang amat setia dan bahkan dijadikan lam bang kesetiaan. Orang ke dua merupakan adik kandung Song Kwan, berusia lima puluh delapan tahun, bertubuh sedang dan wajahnya bersih tampan, bernama Song Kui. Seperti juga kakaknya, Song Kui memiliki. ilmu pedang yang amat tangguh, bahkan dia pernah mendapat julukan Kiam-mo (Setan Pedang). Dua orang kakak beradik Song ini sudah berkeluarga. Kalau Song Kwan tidak mempunyai keturunan, sebaliknya Song Kui mempunyai dua orang anak laki-laki yang waktu itu sudah dewasa. Song Kui dan keluarganya tinggal pula bersama Song Kwan yang hartawan, dan dia membantu kakaknya yang menjadi pedagang rempa-rempa yang besar.

   Karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan, maka Song Kwan menganggap dua orang keponakannya yang bernama Song Cun dan Song Cin, seperti anak-anaknya sendiri, bahkan dia yang menga jarkan ilmu pedangnya kepada dua orang keponakann yaitu Orang ke tiga adalah Ciang Hu Seng, tokoh pendek gendut yang berusia lima puluh lima tahun, yang wajahnya selalu riang penuh senyum dan tawa, juga suka melucu. Akan tetapi Ciang Hu Seng inipun memiliki kepandaian yang cukup lihai, juga dia seorang ahli pedang yang tangguh sehingga pernah dijuluki Sin-kiam (Pedang Sakti). Dia sampai sekarang hidup menyendiri, sebatang kara dan suka mengembara, tidak tentu tempat tinggalnya akan tetapi di manapun dia berada, dia selalu menentang kejahatan dan suka mengulurkan tangan untuk menolong mereka yang membutuhkan bantuannya. Orang ke empat bernama Bhe Kam, berusia lima puluh tiga tahun dan dia sekarang tinggal di Tung-san sebagai seorang guru silat bayaran.

   Isterinya sudah meninggal dan dia hidup berdua dengan seorang anaknya, seorang puteri yang sudah berusia delapan belas tahun bernama Bhe Siu Cen yang menjadi kembang kota Tung-san. Gadis yang cantik jelita dan juga lihai ilmu silatnya! Adapun yang ke lima bernama Lee Bun, berusia lima puluh tahun, bermuka tengkorak saking kurusnya. Diapun hidup menyendiri, tanpa keluarga dan sekarang tinggal di puncak Liong-san, menyendiri dan orang ke lima ini paling suka memperdalam ilmu-ilmunya dalam kesunyiannya. Dia banyak bertapa dan memperkuat tenaga dalamnya sehingga tubuhnya menjadi kurus kering, akan tetapi diam-diam dia kini telah menghimpun tenaga dahsyat, bahkan kini, setelah selama dua puluh tahun bertapa, tingkat ilmu kepandaiannya mencapai ketinggian yang melampaui semua tingkat empat orang rekannya! Demikianlah keadaan lima orang yang dulu terkenal sebagai Ciong-yan Ngokiam-hiap dan kini sudah hidup terpisah-pisah, kecuali Song Kui yang ikut kakaknya dan tinggal menumpang di rumah Song Kwan, di Sauw-du.

   Pada hari itu, Song Kwan dan Song Kui yang merasa rindu kepada tiga orang rekannya yang tak pernah dijumpainya, mengirim undangan kepada mereka untuk mengadakan semacam reuni, pertemuan yang akan mendatangkan nostalgia setelah mereka saling berpisah selama kurang lebih dua puluh tahun! Dan Song Kwan sengaja memborong dan menyewa ruangan loteng rumah makan Ho Tin untuk pertemuan yang amat membahagiakan itu. Akan tetapi siapakira, pesta pertemuan itu bahkan menimbulkan masalah dengan seorang puteri bangsawan Mancu yang menantang mereka berlima untuk mengadu ilmu pagi itu di hutan cemara Bukit Kera! Sebetulnya Song Kwan merasa segan dan tidak ingin melayani tantangan puteri bangsawan Mancu itu. Akan tetapi empat orang adiknya, yang merasa sebagai para pende:'-ar sungguh memalukan kalau menolak tantangan orang, membujuk dan mendesaknya sehingga akhirnya dia mengalah.

   "Untuk apa melayani segala macam anak perempuan yang manja dan sombong itu?"

   Tadinya dia membantah.

   "Song-toako, yang menantang kita adalah seorang gadis bangsawan Mancu dan kita melihat sendiri tadi bahwa ilmunya bukanlah sembarangan. Kalau kita tidak menanggapi, tentu kita akan menjadi buah tertawaan dunia kangouw. Orang-orang akan mengejek dan mengatakan bahwa kini Ciong-yang Ngo-taihiap telah menjadi pengecut dan penakut sehingga tantangan seorang gadis mudapun tidak berani kita melayaninya."

   Bantah Ciang Jiu Seng si pendek gemuk yang tadi dibuat penasaran oleh Puteri Mayani.

   "Benar, Song-toako,"

   Kata Bhe Kam. "Tentu saja kita tidak perlu melayani gadis itu bertanding sungguh-sungguh. Akan tetapi tantangan itu harus kita tanggapi, agar kita tidak dianggap takut. Nanti se,telah bertemu, kita bujuk dan nasehati ia agar jangan suka memandang rendah orang lain.

   Malu ah kita kalau harus bertanding melawan seorang gadis yang usianya sepantar dengan anakku sendiril" Demikianlah, akhirnya Song Kwan menurut dan pagi itu mereka sudah datang ke hutan cemara memenuhi tantangan Puteri Mayani. Tanpa mereka ketahui, dua pasang mata mengintai mereka dari balik batu besar yang terdapat tak jauh dari lapangan rumput yang terbuka di tengah hutan itu. Pengintai itu bukan lain adalah Siauw Beng dan A Siong. Akhirnya orang yang mereka tunggu-tunggu itupun muncullan. Kemunculan Puteri Mayani sungguh mengejutkan dan di luar dugaan lima orang pendekar itu. Gadis itu muncul seorang diri saja! Hanya tampak sesosok bayangan betkelebat dan tahu-tahu gadis itu sudah berdiri di situ, berpakaian sutera berkembang indah dan sabuk sutera merah yang lihai itu melibat di pinggangnya yang kecil ramping. Semua orang memandang dan mau tidak mau lima orang laki-Iaki tua itu diam-diam harus mengaguminya.

   Rambut yang hitam panjang itu digelung ke atas, dihias dengan hiasan rambut dari emas permata, berbentuk seek or burung Hong. Wajahnya cantik jelita tanpa bedak gincu yang terlalu tebal, sepasang mata itu bersinar-sinar bagaikan sepasang bin tang kejora. Bibirnya tersenyum mengejek ketika ia melihat lima orang itu sudah berada di situ. Pakaiannya dari sutera halus itu berkibar ketika ia melompat tadi. Kulit yang tampak pada wajah, leher dan lengannya begitu halus dan putih mulus. Yang lebih mengherankan dansama sekali di luar dugaan lima orang pendekar itu, Puteri Mayani datang seorang did saja, tanpa seorangpun pengawal! Padahal, tadinya mereka mengira bahwa puteri itu akan muncul dengan dilindungi oleh sepasukan pengawal yang jagoan dan pilihan! Song Kwan yang menjadi pemimpin di antara teman-temannya dan yang sudah mengambil keputusan untuk mepcegah terjadinya perkelahian yang hanya akan merugikan pihak mereka, segera bangkit berdiri menyambut puteri bangsawan itu, diikuti empat orang adiknya.

   Mereka memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. Dengan suaranya yang penuh kesabaran dan kelembutan Song Kwan berkata.

   "Selamat pagi, nona. Kami berlima telah datang memenuhi undangan nona, dankami harap pertemuan antara kita ini akan dapat membicarakan kesalahpahaman yang terjadi kemarin. Juga kesempatan ini kami pergunakan untuk minta maaf kepadamu dan mengharap agar nona suka melupakan peristiwa itu sehingga kesalahpahaman itu tidak perlu diperpanjang lagi.". Puteri Mayani tersenyum. Senyumnya manis sekali akan tetapi senyuman itu. Mengandung ejekan. Ia berkata lantang dan merdu.

   "Aku sarana sekali tidak ingin memperpanjang urusan kemarin. Adalah kesalahan lima orang pengawalku sendiri, Mereka itu terlalu lemah dan bodoh sehingga mudah dihajar orang! Akan tetapi karena aku mendengar bahwa kalian berlima adalah ahli-ahli silat tersohor, maka aku ingin sekali merasakan kelihaian kalian.

   Karena itu aku tidak ingin membikin ribut di kota dan menjadi tontonan orang, maka aku menantang kalian untuk datang ke tempat sepi ini. Di sini kita dapat membuktikan sampai di mana kehebatan kalian sehingga kalian bersikap demikian sombong ketika berada di rumah makan Ho Tin." Kembali Song Kwan menjura dengan hormat.

   "Nona, kami sudah minta maaf kepadamu. Sebetulnya kami tid~k bermaksud untuk bersikap sombong. Akan tetapi karena para perajurit itu bersikap kasar, maka terjadilah kesalahpahaman itu. Kami tidak ingin sarna sekali untuk bertanding melawanmu, nona. Diantara kita tidak terdapat permusuhan apapun, bagaimana kami lima orang tua begitu tidak tahu malu untuk bertanding melawan seorang gadis muda belia seperti nona? Sudahlah, nona. Maafkan kami dan sudahi saja urusan ini."

   Puteri Mayani mengerutkan alisnya dan tiba-tiba ia menunjukkan telunjuk kirinya kearah muka Song Kwan.

   "Orang she Song! Tidak perlu berpura-pura lagi.

   Aku sudah tahu bahwa dahulu, sebelum aku lahir, di waktu kalian ber lima masih muda, kalian terkenal sebagai Ciongyang Ngo-tai-hiap! Kalian. adalah orang-orang yang anti pemerintah Ceng, kalian sekumpulan pemberontak yang selalu mengadakan kekacauan. Aku tidak perduli akan itu semua, akan tetapi aku mempunyai satu kebiasaan, yaitu ingin mencoba kelihaian para jagoan yang malang melintang di dunia kangouw! Jangan kalian kini menolak dan berpura-pura menjadi orang-orang yang suka damai dan tidak biasa beradu ilmu silat! Nah, siapapun diantara kalian boleh maju, bahkan kalau perlu, kalian boleh maju berlima. Aku, Puteri Mayani, tidak akan takut menandingi kalian! Biarpun kalian disebut pendekar-pendekar pedang, ingin kulihat sampai di mana ketajaman pedang kalian!"

   Setelah berkata demikian, sekali tangan kanannya bergerak, terdengar bunyi berdesing dan sinar menyilaukan berkelebat.

   Di tangan kanannya itu sudah terdapat sebatang pedang yang tipis yang bentuknya bengkok, mengkilap dan tampak tajam sekali. Lima orang pendekar itu terkejut. Kiranya puteri bangsawan Maneu ini telah mengetahui keadaan mereka berlima! Ini berbahaya sekali. Kalau Puteri Mayani melaporkan hal ini kepada pemerintah, mereka berlima tentu akan menjadi orang-orang buruan lagi dan tidak, dapat hidup tenteram, selalu harus "menyembunyikan diri"

   Yang sadar benar akan hal ini adalah Song Kwan. Sebetulnya Song Kwan. adalah seorang pendekar yang berwatak bijaksana dan baik. Akan tetapi pada dasarnya dia memang membenci orang Mancu sebagai penjajah dan kini dia melihat betapa bahayanya gadis ini yang telah mengenal mereka. Sekali rahasia itu dibocorkan, mereka berlima berikut keluarga mereka akan terancam bahaya maut. Gadis ini seorang musuh besar! Terlalu berbahaya dan tidak ada jalan lain kecuali bahwa gadis Mancu ini harus dibinasakan sebelum rahasia mereka tersiar!

   "Bagus, kiranya engkau telah mengetahui bahwa kami adalah Ngo-kiam-hiap (Lima Pendekar Pedang). Kalau begitu, engkau tentu tahu pula bahwa kami berlima amat mengandalkan Ngo-heng Kiamtin (Pasukan Pedang Lima Unsur). Nah, kalau engkau mampu mengalahkan kiamtin kami itu, anggap saja bahwa kami kalah dan engkau boleh melakukan apa saja terhadap diri kamil"

   Kata Song Kwan. Empat orang adiknya maklum akan bahayanya gadis ini dan mereka semua setuju bahwa gadis ini harus dibinasakan. Akan tetapi, Lee Bun, orang termuda dari mereka yang kini telah memiliki kepandaian tertinggi karena selama dua puluh tahun dia bertapa memperdalam ilmu-ilmunya, terutama ilmu pedangnya sehingga dia berhasil menciptakan Hui-kiam Hoat-sut (Ilmu Sihir Pedang Terbang), merasa malu kalau harus membinasakan gadis muda belia itu dengan cara pengeroyokan. Maka dia lalu berkata.

   "Song-toako, untuk membunuh seekor tikus kecil tidak perlu menggunakan lima batang pedang besar.

   Biarkan aku sendiri saja membereskan puteri Mancu yang sombong ini! Nona, beranikah engkau melawan aku?"

   Lee Bun sudah melangkah maju menghadapi gadis itu dan perlahan-lahan dia mencabut sebatang pedang hitam dari punggungnya "Bagus, kiranya masih ada juga ang-gauta 'Ciong-yang Ngo-tai-hiap yang menghargai kedudukannya dan malu untuk main keroyokan! Eh, muka tengkorak, katakan siapa namamu sebelum. engkau roboh di tanganku. Jangan mati tanpa nama!"

   Kata Puteri Mayani dengan nada memandang rendah.

   "Hemm, bocah Mancu. Kenalilah namaku Lee Bun agar engkau tahu siapa nama orang yang menamatkan riwayat hidupmu sekarang!" "Lee Bun, sambutlah ini!"

   Puteri Mayani lalu menerjang maju. Gerakannya cepat bukan main dan pedang bengkoknya sudah menyambar ke arah perut si tinggi kurus bermuka tengkorak itu Lee Bun kaget juga. Gadis Mancu ini benar-benar tak boleh dipandang ringan.

   Terutama sekali memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat. Dia lalu menggerakkan pedang hitamnya menangkis.

   "Cringgg...!"

   Kini Puteri Mayani yang terkejut. Tangan kanannya tergetar hebat ketika pedang bengkoknya bertemu pedang hitam dan tahulah ia bahwa si muka tengkorak Lee Bun itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat sekali! Iapun tidak berani main-main. Diloloskannya sabuk sutera merah dengan tangan kirinya. Kini ia memegang pedang bengkok dan sabuk sutera merah dan segera menyerang dengan ganas dan dahsyatnya. Bagaikan seorang akrobat saja, gadis itu memutar pedang dengan tangan kanan dan sabuk sutera merah dengan tangan kirinya. Tampak gulungan sinar putih dan merah, bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dengan cepat. Lee Bun terpaksa harus memutar pedang hitamnya untuk melindungi diri. Namun, tetap saja dia menjadi kerepotan. Gerakan yang luar biasa cepatnya itu membuat Lee Bun sama sekali tidak sempat untuk balas menyerang dan dia dihujani serangan pedang dan sabuk yang keduanya amat berbahaya dan merupakan serangan maut!

   Siauw Beng yang nonton bersama A Siong, mendekam di belakang batu besar, menjadi kagum sekali.

   "Ah, puteri ini sungguh lihai sekali."

   Bisiknya.

   "Tapi tengkorak hidup itupun amat lihai."

   Kata A Siong. "Hussh, apa engkau tidak ingat akan cerita ayah Ma Giok? Mereka adalah Ciong-yang Ngo-tai-hiap yang dulu menjadi teman-teman seperjuangan ayah!" "Ah, ya... aku ingat sekarang!"

   Kata A Siong.

   "Kalau begitu kita harus membantu mereka!".

   "Hemm, membantu lima orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda? Memalukan sekalis A Siong!" "Habis bagaimana?" "Selama mereka bertanding satu lawan satu, kita tidak boleh mencampuri. Kalau ada yang terancam bahaya maut, aku akan mencegahnya."

   Kata Siauw Beng yang menjadi semakin kagum ketika melihat betapa puteri Mancu itu kini semakin mendesak Lee Bun. Song Kwan dan adik-adiknya juga terkejut. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa gadis Maneu itu sedemikian lihainya memainkan pedang dan sabuknya.

   Tentu ia murid seorang yang amat sakti. Lee Bun tidak diberi kesempatan sama sekali, padahal ilmu pedang Lee Bun di saat ini sudah melebihi tingkat ilmu pedang Song Kwan yang berjuluk Dewa Pedang! "Hyaaattt...!"

   Terdengar Puteri Mayani berseru dengan suara melengking. Sinar pedangnya menyambar leher dan sinat sabuknya mengancam kaki. Lee Bun melompat ke belakang dan terus berguHngan menjauhkan diri. Ketika Mayani mengejar, tiba-tiba Lee Bun mengayun tangannya dan pedang hitam itu kini terbang terlepas daritangannya dan meluncur ke arah Mayani bagaikan sebatang anak panah! Mayan! mengelak ke samping, akan tetapi pedang hitam yang meluncur lewat itu tiba-tiba rgembalik dan menyerangnya lagi, seolah-olah pedang hitam itu hidup! Itulah kehebatan ilmu Hui-kiam Hoat-sut (Ilmu Sihir Pedang Terbang) yang menjadi ilmu andalan Lee Bun yang kini berdiri denggn pencurahan perhatian dan tenaga sakti untuk "mengendalikan"

   Pedang hitamnya dari jarak jauh!

   Mayani menjerit saking kagetnya melihat pedang itu membalik dan menyerangnya lagi. Ia cepat menangkis dengan pedang bengkoknya.

   "Tranggg...!"

   Bunga api berpijar dan pedang hitam itu terpental sedikit, akan tetapi lalu membalik dan menyerang lagi. Ke manapun Puteri Mayani mengelak dan melompat, menggunakan gin-kang yang amat hebat sehingga tubuhnya seperti beterbangan saja, pedang hitam itu terus mengejar secara bertubi-tubi gadis itu menjadi ngeri menghadapi pedang yang seolah hidup itu. Ia tampak kebingungan dan mengelak ke sana sini sehingga kurang waspada dan kakinya tersandung batu. Tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya terguling dan pedang hitam itu masih terus mengejarnya dari atas, mengarah lehernya. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba pedang hitam itu terpental seperti terpukul sesuatu dan begitu kuat pedang itu terpental sehingga jatuh ke atas tanah! Puteri Mayani melompat bangun.

   Lee Bun terkejut. Sama sekali dia tidak mengira gadis Mancu itu demikian lihainya sehingga mampu memukul pedang terbangnya sehingga jatuh. Cepat dia mengambil pedangnya dan kini Song Kwan yang maklum bahwa gadis berbahaya itu harus dibinasakan, memberi isarat kepada adik-adiknya dan lima orang pendekar itu maju menghadapi Puteri Maya sambil membentuk barisan pedang Ngo-heng Kiam-tin yang dua puluh tahun lalu membuat nama mereka terkenal di dunia kangouw. Barisan pedang ini bisa bekerja sama seperti lima unsur yang saling menunjang. Unsur api, air, tanah, logam dan kayu. Puteri Mayani tadi juga tidak tahu mengapa pedang hitam itu berhenti mengejarnya. Hatinya merasa lega dan kini ia menghadapi lima orang itu sambil tersenyum mengejek.

   "Hemm, inikah Ngo-heng Kiam-tin yang kesohor itu? Lima orang kakek mengeroyok seorang dara remaja? Sungguh lucu! Akan tetapi jangan kira aku takut menghadapi kalian pendekar-pendekar pengecut Majulah!"

   Katanya dengan gagah sambil memutar pedang dan sabuk sutera merahnya.

   "Basmi orang Mancu penjajah busuk!"

   Teriak Song Kwan, mengingatkan adik-adiknya bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Mancu yang harus dibasmi seperti tekad mereka puluhan tahun yang lalu ketika mereka berjuang menentang pemerintah Mancu. yang menjajah tanah air mereka. Teriakan ini menghapus rasa rikuh bahwa mereka mengeroyok seorang gadis muda belia. Yang mereka keroyok bukan gadis muda belia, melainkan seorang Mancu yang berbahaya, bukan saja berbahaya bagi mereka berlima, melainkan berbahaya bagi bangsa clan tanah air! Ngo-heng Kiam-tin memang hebat bukan main. Lima orang ahli pedang yang amat mahir jtu kini bekerja sarna, saling tunjang saling bantu saling dukung, tentu saja hebat bukan main. Betapapun lihainya Puteri Mayani, ia adalah seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun, belum ban yak pengalaman. Mana mungkin ia kuat menghadapi penyerangan lima orang yang bersatu dalam barisan pedang yang merupakan ilmu yang sudah teratur rapi dan amat baiknya itu.

   Sebentar saja ia terdesak hebat dan ke pedang dari Ngo-heng Kiam-tin terpentat sehingga barisan itu menjadi kacau! Song Kwan dan adik-adiknya terkejut bukan main melihat dua orang pemuda yang mengamuk dan melindungi Puteri Mayani itu. Akan tetapi A Siong telah dipesan oleh Siauw Beng sehingga ketika menggerakkan tongkatnya, dia sama sekali tidak menyerang lima orang itu, melainkan semata-mata melindungi sang puteri dari ancaman pedang. Puteri Mayani sendiri juga heran dan terkejut, akan tetapi juga girang karena ada dua orang menyelamatkannya. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan muncullah belasan orang perajurit Maneu, dipimpin oleh seorang pemuda berpakaian seperti seorang bangsawan Mancu. Dia juga memegang sebatang pedang bengkok seperti yang dipergunakan Puteri Mayani, akan tetapi pedangnya lebih besar dan lebih panjang.

   "Adinda Mayani"

   Pemuda bangsawan Mancu itu berseru.

   Pemuda itu berwajah. tampan dan gagah dan ketika dia menyerbu, gerakannya juga ganas dan dahsyat sekali sehingga lima orang pendekar itu terdesak ke belakang.

   "Kanda Dorbai, siapa suruh kau membantu!"

   Puteri Mayani berseru, alisnya berkerut. Akan tetapi pemuda Mancu yang disebut Dorbai itu tidak perduli dan terus membantu Mayani mendesak lima orang pendekar. Belasan orang perajurit Mancu juga sudah menggunakan golok mereka untuk mengeroyok sehingga lima orang pendekar itu berada dalam keadaan sulit dan gawat. Melihat ini, Siauw Beng segera berkata kepada A Siong.

   "A Siong, mari kita bantu mereka!"

   Dan dia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya untuk memukul ke arah lengan pemuda bangsawan yang menggunakan pedang bengkoknya menyerang dengan dahsyat ke arah Song Kwan. Ketika itu Song Kwan sedang menghadapi pengeroyokan tiga orang perajurit, maka serangan dahsyat itu tidak sempat dihindarkannya.

   Biarpun pukulan tongkat Siauw Beng membuat pemuda bangsawan itu membalikkan pedangnya, namun tetap saja ujung pedang itu sudah mencium pundak Song Kwan sehingga bajunya robek berikut kulit pundak sehingga berdarah. Akan tetapi, pemuda bangsawan itu terpaksa melompat jauh ke belakang karena tongkat di tangan Siauw Beng sudah meluncur dan mengancam ulu hatinya. Pemuda itu terkejut sekali karena dia merasa betapa tongkat yang tidak mengenai dadanya itu masih tetap mendatangkan angin yang membuat dadanya terasa panas. Dia maklum bahwa pemuda yang tadi dia lihat membantu Mayani dan kini tiba-tiba membalik dan membantu lima orang itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat hebat! Sementara itu, A Siong juga cepat memutar tongkatnya menghalangi Mayani yang telah berhasil melukai Bhe Kam. Ujung pedang puteri Mancu itu berhasil melukai paha kiri Bhe Kam sehingga berdarah.

   Akan tetapi untung, selagi Mayani mendesak hendak mengirim tusukannya. Mayani terkejut dan melawan raksasa muda itu. Namun puteri Mancu itu menghadapi permainan toya yang amat kuat. Toya atau tongkat itu diputar sedemikian rupa sehingga membentuk payung yang menjadi perisai amat kuatnya. Ketika Mayani mencoba untuk menyerang dengan pedang dan sabuk sutera merahnya, kedua senjatanya itu terpental keras, terbentur gulungan sinar yang menjadi perisai dari tong kat A Siong! Kini Siauw Beng menahan serangan pemuda bangsawan yang bernama Dorbai itu, sedangkan A Siong menghadang Mayani. Dua belas orang perajurit itu kini bertempur mengeroyok lima orang pendekar yang mengamuk hebat walaupun Song Kwan sudah terluka pundaknya dan Bhe Kam terluka pahanya. Puteri Mayani juga menjadi bingung. Ketika tadi ia terancam Ngo-heng Kiamtin dan nyawanya terancam, keadaannya gawat sekali, muncul dua orang pemuda dusun itu yang menghalangi lima orang itu membunuhnya.

   Mengapa kini mereka berdua berbalik dan membantu lima orang itu? "Hai! Gilakah engkau?"

   Teriaknya kepada A Siong yang terus menangkisi semua serangannya sehingga kedua tangannya terasa pedas dan kedua senjatanya selalu terpental kembali.

   "Tadi engkau membantuku akan tetapi sekarang malah menentangku!"

   A Siong sendiri juga bingung. Dia hanya secara taat dan otomatis menurut permintaan Siauw Beng dan pikirannya yang agak lambat itu menjadi bingung juga akan perubahan yang ditentukan Siauw Beng ini.

   "Aku... aku membantu yang terancam bahaya maut!"

   Katanya ngawur, akan tetapi juga membuktikan kejujurannya karena hanya itulah yang dia ketahui mengapa Siauw Beng kini berbalik membela lima orang itu. Siauw Beng mendapat kenyataan bahwa lawannya, pemuda bangsawan Mancu itu benar-benar lihai sekali ilmu pedangnya. Ilmu pedang yang aneh gerakannya, terkadang menyambar-nyambar bagaikan seekor naga mengamuk dari angkasa, terkadang berubah menyerang dari bawah dengan gerakan lenggak-lenggok seperti serangan seekor ular yang berbahaya sekali.

   Akan tetapi, Siauw Beng telah mewarisi ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat peninggalan ayahnya, dimatangkan pula oleh penggemblengan Pek In Sanjin yang sakti, maka dia tidak menjadi kerepotan menghadapi semua serangan aneh itu. Bukan hanyq. dia mampu menangkis semua itu, bahkan kalau dia mau, dia dapat membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Hanya saja, dia tidak ingin terlibat dalam perkelahian. Niatnya hanya menolong Ngo-kiam-hiap, bekas kawan-kawan seperjuangan ayah angkatnya yang tadi terdesak dan terancam bahaya maut. Seperti juga Siauw Beng, A Siong tidak mau menyerang Puteri Mayani, hanya membendung semua serangannya, membuat puteri itu tidak berdaya dan ingin menangis saking jengkelnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Ngo-kiam-hiap. Mereka mengamuk dan sudah ada lima orang perajurit terjungkal menjadi korban pedang mereka yang mengamuk ganas.

   Melihat keadaan ini, pemuda bangsawan Mancu dan (Mayani maklum bahwa pihaknya akan kalah dan menderita rugi, bahkan mungkin terancam maut kalau perkelahian itu dilanjutkan. Maka, pemuda Mancu itu lalu membunyikan suitan tanda bahwa mereka semua harus mundur dan melarikan diri. Mayani juga maklum akan bahaya, maka iapun melompat ke belakang dan. melarikan diri bersama pemuda bangsawan Mancu itu, disusul tujuh orang perajurit yang menarik tangan lima orang teman mereka yang terluka. Siauw Beng dan A Siong tidak mengejar, apalagi menyerang, tadipun mereka berdua tidak pernah menyerang lawan. Lima orang Ngo-kiam-hiap juga tahu diri. Dua di antara mereka sudah terluka dan mereka tahu benar, tanpa adanya dua orang pemuda dusun itu, mungkin.sekarang mereka berlima telah tewas. Maka, mereka juga tidak melakukan pengejaran. Setelah membiarkan pundaknya diobati Ciang Hu Seng yang pandai ilmu pengobatan, yang juga mengobati luka di paha Bhe Kam.

   Song Kwan lalu menghampiri Siauw Beng dan A Siong yang masih berdiri melihat ke arah larinya orang-orang Mancu tadi sambi! memegangi kayu yang tadi mereka pergunakan sebagai senjata.

   "Ji-wi eng-hiong (kedua orang pendekar) yang gagah perkasa! Kami berlima berhutang nyawa kepada ji-wi. Kalau tidak ada ji-wi yang membantu, tentu sekarang kami telah tewas di tangan orang-orang Mancu itu."

   Kata Song Kwan sambil memberi hormat.

   "Bolehkah kami mengetahui nama ji-wi (kalian berdua) yang mulia?" "Hemm, kalau tidak ada mereka berdua, perempuan iblis Mancu tadi tentu telah dapat kita binasakanl"

   Kata Lee Bun si muka tengkorak dengan suara mengandung penyesalan. Siauw Beng dapat merasakan ketidakpuasan yang terkandung dalam ucapan si muka tengkorak itu dan diapun merasa bahwa dialah yang menjadi penghalang sehingga mereka berlima tidak sempat membunuh Puteri Mayani yang tadi sudah terkepung dan dalam keadaan gawat.

   Maka diapun dengan sikap hormat menjura kepada mereka dan berkata.

   "Harap Ciong-yang Ngo-tai-hiap suka memberi maaf yang sebesarnya kepada kami berdua. Terus terang saja, ketika kami tadi. melihat seorang gadis remaja ngo-wi keroyok dan, ia terancam bahaya maut, kami berdua tidak dapat membiarkannya saja dan terpaksa kami menghalangi ngowi (anda berlima) melakukan pembunuhan terhadap seorang gadis muda." "Heh, orang muda Apakah engkau tidak tahu bahwa ia itu seorang Puteri Mancu yang menjajah bangsa kita dan menjadi musuh bersama kita?"

   Bentak Song Kui yang juga merasa penasaran karena kalau tidak ada dua orang muda dusun itu yang menghalang, tentu puteri itu sudah dapat dibunuh dan merekapun tidak menjadi terdesak ketika pemuda Mancu dan pasukannya datang menyerbu.

   "Paman sekalian, ada dua hal penting yang membuat terpaksa kami tadi menghalangi ngo-wi membunuh gadis itu.

   Pertama, sudah menjadi kewajiban kami untukmenolong siapa saja yang terancam bahaya dan gadis itu kami pandang sebagai seorang manusia, bukan sebagai gadis bangsa ini atau itu dan yang menjadi musuh bangsa adalah pemerintah Mancu, bukan gadis itu. Kiranya bukan ia yang mempunyai prakarsa menyerang dan menjajah bangsa kita. Dan kedua, kami merasa tidak pantas bagi orang-orang seperti Ciong-yang Ngo-tai-hiap untuk mengeroyok dan membunuh seorang lawan yang hanya merupakan seorang gadis remaja. Hal itu akan memalukan sekali dan menjatuhkan nama dan kehormatan para pendekar sakti seperti paman berlima."

   Lima orang pendekar itu saling pandang dan Song Kwan memberi isarat dengan tangannya agar empat orang adiknya tidak berbantahan lagi. Dia memandang kepada Siauw Beng lalu bertanya.

   "Pendapatmu itu masuk akal, orang muda. Akan. tetapi kenapa engkau kemudian berbalik dan membantu kami ketika kami diserang oleh pemuda dan gadis Mancu bersama para pengawal mereka itu?"

   "Karena kami melihat bahwa keadaannya berbalik. Ngo-wi yang terancam bahaya dan tentu saja kami berdua tidak mungkin membiarkan Ciong-yang Ngotai-hiap yang merupakan orang-orang golongan sendiri terancam bahaya." "Golongan sendiri? Apa maksudmu? Siapakah namamu, orang muda?"

   Song Kwan mendesak.

   "Nama saya Lauw Beng dan saudara ini bernama A Siong." "She Lauw? Engkau she Lauw"?"

   Song Kwan bertanya, alisnya berkerut.

   "Benar, paman. Dan saya mengenal nama-nama paman berlima. Paman Song Kwan, Song Kui, Ciang Hu Seng, Bhe Kam dan paman Lee Bun, bukan?" "Hei! Bagaimana engkau dapat mengenal kami?"

   Tanya Song Kwan dan yang lain-lain juga terheran dan ingin tahu sekali.

   "Paman, yang memberitahu kepada kami adalah ayah angkat saya Ma Giok dan guru say a adalah mendiang Pek In San-jin."

   Lima orang itu terkejut.

   "Dan kau... kau ini... she Lauw..."

   Song Kwan tidak melanjutkan kata-katanya, meragu.

   "Ayah kandung saya adalah mendiang Lauw Heng San, dan ibu kandung saya adalah mendiang Bu Kui Siang." "Ahh...!!"

   Seruan ini keluar dari mulut lima orang pendekar itu.

   "Su-siok, apa paman tidak melihat jelas siapa mereka ini? Lihat, mereka ini orang-orang begini sederhana, bukan pejabat, bukan bangsawan bukan hartawan, bahkan saudara ini buntung lengan kirinya, dan paman masih tega untuk membajaknya? Ini keterlaluan namanya!."

   Orang bermuka hitam yang ternyata adalah Toat-beng Siang-kiam Can Ok tersenyum.

   "Ai Yin, engkau tahu apa? Orang-orang ini menyimpan banyak emas dan perak. Karena itulah aku menghadang mereka! Kalau engkau berpihak kepada mereka, engkau hanya akan membuat mereka ini mengadalkan perlindunganmu dan bersembunyi di belakangmu!"

   Sejak mendengar bahwa Hui-kiam Lo-mo sudah meninggal dunia dan orang bermuka hitam ini bukan lain adalah Toat-beng Siang-kiam Can Ok, A Siong sudah mengepal tinju dan menyentuh lengan Siauw Beng. Akan tetapi pemuda buntung ini masih bersabar. Jadi inikah orang yang dahulu bersama mendiang Hui-kiam Lo-mo telah menyerang Lam-liong (Naga selatan) Ma Giok pada saat ibunya melahirkan dia?

   Biarpun tidak secara langsung, orang bermuka hitam ini yang membuat ibunya ketakutan dan kaget, sehingga ibunya meninggal ketika melahirkan dia.

   "Nona, terima kasih atas pembelaanmu!"

   Kata Siauw Beng kepada gadis itu sambil mengangkat tangan kanannya, di miringkan ke depan dada sebagai tanda penghormatan.

   "Akan tetapi biarkan kami menghadapi sendiri Toat-beng Siang-kiam Can Ok dan anak buahnya. Kami tidak takut menghadapi mereka, nona".

   "Nah, Ai Yin, kalau yang kau bela tidak mau, apakah engkah berkukuh hendak membela mereka? Minggirlah, biar kami berurusan dengan bocah sombong ini!"

   Kata Can Ok. Gadis yang di panggil Ai Yin itu memandang Siauw Beng dengan alis berkerut.

   "Benar-benar engkau berani melawan su-siok Toat-beng Siang-kiam? Dia ini datuk Sungai Huang-ho dan lihai sekali kenapa kalian berdua tidak cepat pergi saja dari sini dan aku yang akan melarang mereka mengganggu kalian!."

   "Jangan khawatir, Nona. Kami akan berusaha sekuat tenaga".

   
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Akan tetapi lenganmu...

   "Gadis itu memandang kearah lengan baju sebelah kiri Siauw Beng yang tergantung kosong bagian bawahnya.

   "Aku tidak takut, Nona. Terima kasih atas kebaikanmu dan maafkan kalau kami menolak pembelaanmu". Gadis itu mengerutkan alisnya dan cuping hidungnya bergerak-gerak, lalu ia mendengus dan berkata.

   "Kalau engkau mati jangan bilang bahwa aku tidak membelamu dan membantu paman guruku yang menyeleweng!"

   Setelah berkata demikian gadis itu keluar dari kepungan.

   "He, bocah sombong! Berani kau melawan aku?"

   Can Ok membentak dan memandang ringan. Dia adalah seorang tokoh besar, menggantikan mendiang gurunya, menjadi datuk Sungai Huangho! Terkenal sebagai seorang ahli pedang sehingga mendapat julukan Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa), maka tentu saja dia memandang ringan walaupun tadi dua orang pemuda itu telah memperlihatkan kepandaian merobohkan anak buahnya.

   "Katakan dulu siapa nama kalian agar jangan menjadi roh penasaran karena sebentar lagi kalian berdua akan mampus!". A Siong mendahului sutenya menjawab dengan suaranya yang lantang.

   "Buka telingamu lebar-lebar, kepala bajak sungai! Aku bernama A Siong dan suteku ini yang di kenal sebagai Lui-kong-ciang (Si Tangan Halilintar)!."

   Mendengar ini Siauw Beng tersenyum saja karena setiap kali memberi pertolongan kepada orang-orang tertindas dan menentang kejahatan, suhengnya itu selalu memperkenalkan sebutan Lui-kong-ciang itu untuknya. Dia membiarkan saja karena hal itu sesuai dengan pesan ayahnya, Ma Giok, dalam usahanya untuk membersihkan nama ayah kandungnya yang dulu juga di sebut Si Tangan Halilintar. Karena nama itu dengan sengaja "diobral "oleh A Siong, maka sebentar saja julukan Lui-kong-ciang menjadi terkenal sebagai pendekar berlengan satu yang baru muncul. Can Ok belum pernah mendengar julukan Si Tangan Halilintar itu, maka dia tertawa mengejek.

   Suhengnya berwajah dan bersikap seperti orang bodoh, dan sutenya itu hanya seorang pemuda yang bertangan satu, sama sekali tidak perlu di takuti.

   "Hemm, bocah-bocah kemarin sore macam kalian berani menentangku! Majulah kalian berdua. Sepasang pedangku ini sudah haus untuk minum darah kalian!."

   Dia menggerakkan kedua tangan ke belakang dan tampak sinar berkelebat menyilaukan mata ketika sepasang pedang yang berada di kedua tangannya itu tertimpa sinar matahari. Asiong tertawa.

   "ha-ha-ha, kami bukan orang-orang yang suka melakukan pengeroyokan seperti pengecut. Engkaulah yang pasti akan mengandalkan pengeroyokan!."

   Wajah Can Ok semakin hitam dan matanya mendelik. Baru sekarang tokoh ini tampak galak menyeramkan, padahal tadi ketika menjadi penjual perahu, tampak lemah lembut.

   "Tidak sudi aku melakukan pengeroyokan! Kalau begitu, hayo engkau sendiri yang maju melawanku, satu lawan satu. Yang lain menjadi saksi!."

   "He-he-he, siapa percaya saksi seperti anak buahmu ini? Kalian pasti akan bertindak curang". Kata A Siong, sengaja memanaskan hati karena biarpun dia tidak cerdik, namun dia tahu benar bahwa kemarahan membuat seorang ahli silat kurang waspada dalam sebuah pertandingan silat.

   "Biar aku yang menjadi saksi!"

   Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan ternyata yang berteriak itu adalah gadis tadi yang kini sudah duduk di atas sebuah dahan pohon dengan kedua kakinya ongkang-ongkang (tergantung), lagaknya seperti anak kecil yang sedang menonton pertunjukan menarik yang akan dilihatnya di bawah pohon.! "Bagus sekali kalau engkau suka menjadi saksi, Nona!"

   Kata A Siong. Akan tetapi sebelum dia melayani Can Ok bertanding, Siauw Beng yang dapat menduga bahwa orang ini cukup lihai, segera melangkah maju.

   "Ha-ha, baiklah, Sute. Kalau kau tidak dapat mengalahkannya, barulah aku yang maju!"

   Katanya, sengaja menyombongkan diri untuk membikin gentar hati lawan.

   "Aku akan menjaga agar jangan ada yang main curang!."

   Can Ok menghadapi Siauw Beng dengan senyum mengejek. Dia melintangkan kedua pedangnya di depan dada dengan bersilang, membentuk gunting, lalu berseru, suaranya mengejek.

   "Si Tangan Halilintar, coba keluarkan tangan ampuhmu itu dan bersiaplah untuk mati!"

   Dia sudah siap untuk menyerang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gadis itu nyaring.

   "Tahan! Sebagai saksi aku merasa tidak adil kalau yang seorang menggunakan sepasang pedang, padahal lawannya hanya bertangan satu dan tidak bersenjata! Eh, Tangan Halilintar, kalau kau tidak mempunyai senjata, boleh kau pinjam pedangku ini, agar pertandingan menjadi adil. Kalau tidak adil begini, lebih baik batalkan saja!."

   Mendengar ini diam-diam Siauw Beng merasa kagum kepada gadis itu. Boleh jadi gadis itu berandalan dan liar, sikapnya kasar, bahkan lebih ugal-ugalan dibandingkan Puteri Mayani.

   Mendengar ucapan gadis itu, dia lalu menggerakkan tangan kanannya, dan Can Ok terkejut karena dia tidak dapat mengikuti gerakan tangan kanan itu, tahu-tahu tangan itu memegang gagang sebatang pedang tipis yang mengeluarkan suara mengaung ketika tiba-tiba berkelebat menjadi sinar kilat itu.

   "Bagus, kiranya engkau memiliki sebatang pedang yang amat baik, buntung.! Nah, sekarang kalian berdua boleh mulai bertanding!"

   Gadis itu berseru girang.

   "Lihat pedang!"

   Can Ok membentak dan dua sinar pedang berkelebat menyambar-nyambar tubuh Siauw Beng. Akan tetapi dengan lincah pemuda ini bergerak cepat, tubuhnya bagaikan baying-bayang berkelebat di antara kedua sinar pedang itu. Tentu saja Can Ok terkejut dan dari gerakan yang amat ringan itu saja dia dapat menilai bahwa pemuda buntung yang berjuluk si Tangan Halilintar ini benar-benar lihai. Maka dia bersikap hati-hati dan mempercepat gerakan sepasang pedang sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya. datuk Sungai Huangho ini memang lihai sekali mempergunakan sepasang pedangnya.

   Gerakannya kini amat cepat. Sejak dia kalah oleh Ma Giok sekitar dua puluh tahun yang lalu, dia telah memperdalam ilmu pedangnya, di latih gurunya, Hui-kiam Lo-mo yang kini telah meninggal sehingga kini dia jauh lebih lihai daripada dahulu. Karena serangan sepasang pedang itu menjadi semakin ganas dan berbahaya, Siauw Beng terpaksa menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga saktinya pula.

   "Haiiiitttt... trakk-trakkk"! "Can Ok melompat ke belakang dan matanya terbelalak memandang kedua batang pedangnya yang telah patah ketika bertemu sinar pedang kilat lawan sehingga yang tinggal di tangannya hanya gagang dan sepotong pedang pendek sekali! Sama sekali tidak di sangkanya bahwa hanya dalam pertandingan belasan jurus saja, padahal pemuda itu sama sekali belum balas menyerang, sepasang pedangnya sudah patah-patah! Tentu pokiam (Pedang pusaka) si lengan buntung itu luar biasa ampuhnya, pikirnya.

   Kalau bertanding tangan kosong tentu dia akan lebih unggul, mengingat lawannya hanya bertangan satu.

   "Orang muda,pedangmu amat ampuh sehingga sepasang pedangku patah. Beranikah engkau melanjutkan pertandingan dengan tanngan kosong?." "Wah, tidak adil!"

   Kembali gadis itu berseru setelah tadi bertepuk tangan memuji melihat betapa sepasang pedang paman gurunya patah oleh tangkisan pedang Siauw Beng.

   "Kalau mau adil, tangan susiok yang kiri harus di ikat di pinggang dan tidak boleh di gerakkan!."

   Can Ok tidak menjawab, hanya memandang Siauw Beng dengan mata mendelik.

   "Lui-kong-ciang, bagaimana? Beranikah engkau bertanding dengan tangan kosong melawan aku?."

   Siauw Beng melibatkan lagi pedangnya di pinggang. Biarpun tangannya hanya sebelah, namun dia sudah terlatih dan dapat melibatkan pedang itu. Mula-mula gagang pedang yang di jepit di pinggang lalu ujung pedang di tarik dengan tangan kanan, dililitkan pinggang dan ujung pedang itu masuk ke sebuah lubang yang berada di belakang gagang pedang.

   Setelah melibatkan pedang Lui-kong-kiam, barulah dia menjawab.

   "Tentu saja aku berani. Silahkan maju menyerang".

   "Hyaaaaaahhh"!!"

   Can Ok menyerang dengan ganasnya. Gerakan kedua tangannya mendatangkan angina dahsyat. Namun dengan keringanan tubuhnya Siauw Beng dapat mengelak dengan amat mudah. Can Ok menjadi semakin penasaran. Kini kedua tangan dan kedua kakinya menyerang sedemikian gencarnya sehingga mau tidak mau Siauw Beng harus menghindarkan diri dengan tangkisan karena kalau hanya mengelak terus, hal itu dapat membahayakan dirinya. Ketika kaki kanan lawan menyambar kea rah lambung kirinya, lengan bajunya berkelebat menangkis.

   "Plaakkk!"

   Can Ok terkejut bukan main. Biarpun lengan baju itu bagian ujungnya kosong karena lengan Siauw Beng hanya sebatas siku, namun lengan baju itu mengandung tenaga yang hebat sehingga kakinya terpental membalik dan terasa panas dan nyeri!

   Can Ok merasa terkejut dan penasaran. Dia mengeluarkan semua ilmu silatnya dan mengerahkan selurruh tenaganya. Namun semua serangannya sia-sia belaka. Kalau tidak di elakkan tentu di tangkis pemuda buntung itu. Tiba-tiba kedua tangan Can Ok bergerak di pinggangnya dan begitu tangannya bergerak ke depan, dua sinar kilat menyambar kea rah tubuh Siauw Beng.

   "Curang!!"

   Terdengar gadis itu berteriak. Akan tetapi tentu saja Siauw Beng tidak mudah di serang secara gelap dengan dua buah pisau terbang itu. Dia melompat ke samping dan menangkis dengan tangan kanannya. Sebatang pisau terbang meluncur lewat dan yang sebuah lagi dipukulnya runtuh. Can Ok sudah marah sekali, menubruk maju hendak menggunakan kesempatan selagi Siauw Beng menghindar dari sambaran dua batang pisau terbangnya, dia menyerang dengan ganas sekali. Siauw Beng miringkan tubuhnya dan ujung lengan baju kirinya menyambar dan membelit lengan kanan Can Ok.

   Kemudian dia menarik dengan sentakan sehingga tubuh Can Ok tidak mampu mempertahankan diri dan begitu dia terhuyung ke depan, Siauw Beng menyambar tengkuknya, tangan kanannya menangkap leher baju di bagian tengkuk dan mengerahkan tenaga, tubuh Can Ok sudah terlempar, melayang ke arah sungai.

   "Byyuurrr".!!"

   Air sungai muncrat ketika tertimpa tubuh Can Ok. Tujuh belas anak buah Can Ok yang tadinya menonton, kini mencabut senjata golok mereka yang menyerang kea rah Siauw Beng. Akan tetapi A Siong mengeluarkan teriakan marah dan menyambut mereka dengan amukannya.

   "Suheng, jangan membunuh orang!"

   Kata Siauw Beng dan dia menjauhkan diri, membiarkan A Siong menghadapi pengeroyokan mereka karena dia maklum bahwa A Siong akan mampu mengalahkan mereka semua.

   "Curang! Tidak tahu malu!"

   Terdengar teriakan dan tubuh gadis itu melayang dari atas pohon lalu iapun mengamuk dan membantu A Siong.!

   Siauw Beng tersenyum menyaksikan sepak terjang A Siong dan gadis itu. Mereka menghadapi sepak terjang A Siong dan gadis itu. Mereka menghadapi belasan orang bersenjata golok dengan tangan kosong. Akan tetapi tamparan dan tendangan kaki mereka membuat para pengeroyok terpelanting ke sungai! Pertempuran itu tidak memakan waktu lama dan seluruh anak buah Can Ok sudah terlempar ke sungai semua. Mereka berenang ke tepi yang agak jauh dari situ lalu melarikan diri terlebih dulu.! Setelah semua lawan pergi, Siauw Beng menghampiri gadis itu dan memberi hormat dengan tangan kanan depan dada sambil membungkuk.

   "Nona, kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Nona yang telah membantu kami".

   "Hemmm, aku tidak membantu kalian. Aku hanya tidak suka melihat sikap paman guruku, maka aku menentang dia dan anak buahnya!"

   Lalu ia memandang kepada A Siong kemudian kepada Siauw Beng lagi.

   "Aku telah melihat gerakan kalian berdua dan aku merasa heran sekali, mengapa kepandaian sang sute yang buntung lengan kirinya lebih lihai daripada suhengnya?." "Ha-ha, tidak usah heran, Nona. Sute ku ini berjuluk si Tangan Halilintar, sedangkan aku tidak mempunyai julukan apapun".

   "Aku juga merasa heran, Nona. Mengapa seorang keponakan murid berani menentang paman gurunya dan juga memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai daripada kepandaian paman gurunya? Bukankah ini lebih aneh lagi?"

   Kata Siauw Beng.

   "Tangan Halilintar, ku lihat ilmu silat tangan kosong dan silat pedangmu hebat sekali. Aku jadi ingin mencobanya".

   "Ah, Nona. Aku tidak ingin berkelahi denganmu!." "Siapa yang mau berkelahi? Aku hanya ingin menguji sampai dimana hebatnya ilmu silatmu sehingga engkau mendapat julukan Si Tangan Halilintar. Nah, bersiaplah, Tangan Halilintar!."

   Gadis itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya berjungkit, kedua tangannya dikembangkan dengan jari tangan terbuka menunjuk ke atas.

   "Sudahlah, Nona. Biar aku mengaku kalah padamu".

   "Tidak bisa! Kalau engkau mengaku kalah sebelum bertanding, berarti engkau pengecut!." "Sute, nona ini hanya ingin menguji kepandaian, mengapa engkau menolaknya? Tanpa mengenal ilmu masing-masing persahabatan tidak akan menjadi akrab dan dapat saling mencurigai". Mendengar ucapan A Siong itu, Siauw Beng menghela napas panjang. Sebetulnya dia tidak ingin bertanding dengan gadis yang telah membelanya itu. Akan tetapi gadis itu memaksanya, bahkan kini A Siong juga ikut membujuknya. Malah dia akan di anggap pengecut kalau mengaku kalah sebelum bertanding, dia akan melayani dan sekaligus mengobati ketinggian hati gadis liar ini, gadis yang bersikap begitu berani terhadap paman gurunya sendiri yang ugal-ugalan namun agaknya memiliki ilmu kepandian yang tinggi.

   "Baiklah kalau engkau memaksa. Nah, maju dan seranglah!."

   Melihat Siauw Beng tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri dengan santai, gadis itu memberi peringatan dengan seruang nyaring.

   "Lihat seranganku!"

   Ia lalu menyerang maju. Dari kuda-kuda dengan jurus Pek-ho-liang-ci (Bangau Putih Pentang Sayap) ia lalu bergerak maju dan kedua tangannya dengan cepat dan bergantian menotok kea rah jalan darah di tujuh jalan darah terpenting yang terdapat di bagian tubuh Siauw Beng. Ia menyerang dengan jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan). Gerakannya ringan dan cepat sekali, juga dari angina pukulan yang menyambar mendahului jari-jari mungil yang menotok, Siauw Beng tahu bahwa gadis ini memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat, bahkan jauh lebih kuat dibandingkan Can Ok tadi. Dia cepat mengelak ke kanan kiri, kecepatan gadis itu sehingga totokan bertubi-tubi itu tak pernah mengenai sasaran. Setelah mengelak terus dan melihat betapa gadis itu mengejarnya dan bahkan mempercepat serangannya yang bertubi-tubi, Siauw Beng menangkis dengan ujung bajunya yang kosong.

   "Wuuuttt... plak-plak-plak!"

   Tiga kali totokan gadis itu tertangkis ujung lengan baju dan gadis itu merasa betapa tangannya panas dan tergetar hebat oleh lengan baju yang lemas itu. Ia kagum sekali, maklum bahwa orang yang sudah mampu menyalurkan tenaga ke ujung kain lengan baju itu tentu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Timbul kegembiraan di hati gadis itu. Tadi ia sudah menduga bahwa pemuda lengan buntung yang memakai julukan Si Tangan Halilintar ini pasti seorang yang lihai sekali dan ternyata benar. Ayahnya pernah mengingatkannya bahwa kalau ia berhadapan dengan seorang wanita atau pria tua, seorang pengemis, seorang penderita cacat atau seorang pendeta, ia harus bersikap hati-hati. Orang-orang yang tampaknya lemah tadk berdaya itu, kalau sudah menguasai ilmu silat, biasanya amat berbahaya. Orang biasanya condong memandang rendah kepada merak dan karena memandang rendah inilah orang dapat roboh oleh orang-orang yang pada umumnya lemah tak berdaya ini.

   Setelah merasa yakin bahwa Si Tangan Halilintar itu benar-benar lihai, gadis itu bersemangat dan kini ia mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk menyerang Siauw Beng. Melihat perubahan ini dan merasakan betapa serangan gadis itu, Siauw Beng membela diri dan selain mengelak dan menangkis, dia juga mulai membalas dengan serangan tamparan dan totokan dengan ujung lengan buju kiri, walaupun dia berhati-hati agar jangan sampai kesalahan memukul atau menotok bagian tubuh yang berbahaya. Kedua orang itu berkelebatan sehingga tubuh mereka berubah menjadi dua bayangan yang saling serang. Demikian hebatnya gerakan mereka sehingga daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang tertiup angin pukulan mereka.! Melihat serunya pertandingan itu, A Siong berulang kali bertepuk tangan sambil berseru memuji.

   

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini