Si Tangan Halilintar 14
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Tangan Halilintar!"
Dia berteriak lalu menyerang dengan pedang yang sudah dicabutnya. Maling itu tertawa bergelak, suara tawanya bergema dan dia melayani serbuan pedang Gui Liang dengan gerakan tubuhnya yang lincah bukan main. Berkali-kali Gui Liang mengirim serangan bertubi-tubi, namun semua serangannya dapat di hindarkan maling itu dengan elakan dan tangkisan.
Hebatnya, dengan tangan kosong dia berani menangkis pedang yang tajam.! Suara rebut-ribut itu terdengar oleh Lu Kiat yang tidur di kamar sebelah. Ketika dia membuka pintu kamar, dia terkejut melihat suhengnya sedang berkelahi melawan seorang laki-laki muda yang lengan kirinya buntung. Dia pun segera teringat akan nama Si Tangan Halilintar yang tersohor itu dan melihat betapa si lengan buntung itu dapat menghadapi pedang suhengnya dengan lincah sekali, dia cepat memasuki kamarnya kembali untuk mengambil pedangnya. Ketika dia keluar dia mendengar teriakan suhengnya dan jeritan isteri suhengnya. Bukan main kagetnya melihat suheng dan isteri suhengnya itu telah terkapar di atas lantai dan si lengan buntung itu sekali menggerakkan tangan kanannya, lampu gantung yang berada di luar kamar itu pecah berantakan sehingga keadaan di situ menjadi remang-remang karena hanya mendapat sinar lampu kecil yang menyorot keluar kamar Gui Cin.
Lu Kiat dapat melihat jelas wajah penjahat itu. Dengan marah sekali dia melompat menerjang.
"Jahanam! Engkau tentu Si Tangan Halilintar!"
Bentaknya sambil menggerakkan pedangnya menyerang dengan dahsyat. Tingkat kepandaian Lu Kiat ini masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Gui Liang karena dia lebih lama tinggal di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim).
"Ha-ha-ha, kalian para pemberontak Siauw-lim harus di basmi!"
Maling itu tertawa dan berkata mengejek. Lu Kiat mempercepat serangannya akan tetapi dia merasa terkejut dan juga heran karena orang itu menghadapinya dengan silat tangan kosong Lo-han-kun (Silat Orang Tua) dari Siauw-lim-pai! Akan tetapi gerakannya lincah bukan main dan yang lebih hebat lagi, orang yang hanya bertangan satu itu berani menangkis pedang dengan tangannya dan setiap kali tangan kanannya itu bertemu pedang, terdengar suara berdencing nyaring seolah tangan itu terbuat dari baja yang kuat! Orang ini jelas orang Siauw-lim-pai, memiliki ilmu silat Siauw-lim akan tetapi dengan tingkat yang sudah tinggi sekali dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat.!
"Keparat busuk!"
Lu Kiat kembali menyerang setelah belasan serangannya selalu dapat di hindarkan lawan. Kini pedangnya membacok kearah leher. Namun dengan mudah lawannya mengelak dengan loncatan ke belakang. Pada saat itu, suara rebut-ribut memancing datangnya sisa penghuni rumah itu, ialah para pembantu rumah tangga dan tiga orang piauwsu pembantu yang tinggal di begian belakang rumah. Melihat bala bantuan datang dan di antara mereka membawa teng (lampu gantung) Lu Kiat cepat menyerang lagi dengan pedangnya, menusuk ke arah dada maling itu. Akan tetapi yang di tusuk hanya miringkan tubuh dan begitu tangan kanannya membuat gerakan membacok kearah pedang, pedang itu patah menjadi dua. Sebuah tendangan menyambar dan tubuh Lu Kiat terlempar, menabrak dinding dan roboh dengan dada terasa nyeri. Akan tetapi dia tidak terluka amat parah sehingga tidak membahayakan keselamatan nyawanya. Maling itu tertawa lalu berkelebat lenyap ke atas wuwungan rumah. Geger rumah keluarga itu ketika orang-orang mengetahui bahwa Gui Liang dan isterinya tewas dan lebih ngeri lagi hati mereka melihat dalam kamar Gui Cing juga tewas dalam keadaan telanjang bulat.!
Lu Kiat tidak tewas dan murid Siauw-lim-pai ini merasa yakin bahwa pelaku pembunuhan dan perkosaan ini adalah Si Tangan Halilintar yang tersohor, penjahat keji yang berlengan satu dan amat lihai itu. Akan tetapi ada satu hal yang membuat dia merasa sekali yaitu melihat kenyataan bahwa Si Tangan Halilintar itu mahir memainkan ilmu silat Siauw-lim-pai! Jelas bahwa orang itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang pandai dan lihai sekali. Akan tetapi Lu Kiat sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, merasa tidak mengenal murid Siauw-lim-pai yang buntung lengan kirinya. Peristiwa pembantaian terhadap keluarga Gui Liang ini tentu saja menggegerkan dunia kang-ouw. Nama Si Tangan Halilintar semakin tersohor dan para komandan pasukan keamanan dan para pendekar, walaupun mengambil jalan masing-masing, mempergiat usaha mereka mencari Si Tangan Halilintar.
Setelah sembuh dari luka di dadanya akibat tendangan Si Tangan Halilintar yang untungnya tidak membuat Lu Kiat tewas, tokoh Siauw-lim-pai ini lalu pulang ke dusun Tong-cun, dimana dia tinggal bersama isterinya dan seorang keponakannya yang di anggapnya seperti anak sendiri karena dia tidak mempunyai anak, yaitu Lu Siong. Ketika dia menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di Ceng-jun dan bencana yang menimpa keluarga Gui, Lu Siong mengerutkan alisnya dan mengepal tinju.
"Paman, aku akan mencari dan membunuh jahanam Si Tangan Halilintar itu!." "Hemm, tidak begitu mudah, Lu Siong. Penjahat itu lihai bukan main. Dia ahli ilmu silat Siauw-lim-pai yang tingkatnya sudah tinggi sekali. Bayangkan saja, dengan jurus-jurus Lo-han-kun yang sudah kukuasai dengan baik, dia mampu mengalahkan aku yang berpedang. Dan tenaga saktinya kuat bukan main sehingga tidak mengherankan kalau dia berjuluk Si Tangan Halilintar. Pukulan tangan kanannya seperti sambaran halilintar".
"Akan tetapi saya tidak takut, paman!"
Kata Lu Siong dengan gagah.
"Memang tidak ada yang takut menghadapi penjahat, betapapun lihainya dan tewas dalam perjuangan menentang kejahatan merupakan hal yang membanggakan bagi setiap orang pendekar. Akan tetapi karena penjahat itu seorang ahli silat Siauw-lim-pai, maka semua kejahatannya itu merupakan perbuatan yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Kewajiban Siauw-lim-pailah untuk membasmi penjahat ini untuk membersihkan nama Siauw-lim-pai yang ternoda. Karena itu, aku hendak pergi ke Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim) di kaki Gunung Sungsan untuk menghadap para suhu dan melaporkan tentang Si Tangan Halilintar ini. Aku sendiri tidak mengenalnya, akan tetapi para suhu tentu mengenal ahli silat Siauw-lim tangan satu yang amat lihai ini".
"Paman benar sekali. Saya akan menemani Paman pergi menghadap para suhu di Sungsan".
"Sebelum kita berangkat ke sana, aku mau mengunjungi Suheng Lauw Han Hwesio ketua Thian-li-tang di Bukit Ayam, luar dusun ini. Dia juga murid Siauw-lim-pai, maka berhak pula mengetahui akan peristiwa yang menimpa Suheng Gui Liang sekeluarga". Dua orang itu lalu meninggalkan dusun menuju ke sebuah kuil yang cukup besar, yang terletak di lereng Bukit Ayam. Kuil itu cukup besar dan setiap hari ada saja orang datang sembahyang. Mereka datang dari berbagai dusun di sekitar bukit itu. Lauw Han Hwesio, murid Siauw-lim-pai yang menjadi suheng dari Lu Kiat itu berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dengan mata bersinar lembut. Dia menyambut kedatangan Lu Kiat dan Lu Siong dengan gembira dan mereka bertiga lalu duduk di sebelah dalam kuil, bercakap-cakap. Akan tetapi ketika mendengar akan malapetaka yang menimpa Gui Liang dan anak isterinya, Lauw Han Hwesio terkejut bukan main.
"Omitohud..., alangkah menyedihkan nasib sute Gui Liang sekeluarganya".
"Suheng, aku sendiri telah bertanding melawan pembunuh itu dan ternyata dia adalah penjahat yang terkenal sekali belakangan ini, yaitu Si Tangan Halilintar dan sungguh mengejutkan sekali bahwa dia itu mahir ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai kita!." "Hemmmm, mungkinkah itu? Mungkinkah dia murid Siauw-lim-pai?." "Itulah yang harus kita selidiki, suheng. Kalau dia benar murid Siauw-lim-pai, hal itu sungguh amat mencemarkan nama baik perguruan kita. Aku dan Lu Siong akan pergi ke Sung-san untuk melapor kepada para suhu di Siauw-lim-si".
"Kalau begitu, tunggu sebentar, Sute. Pinceng (aku) harus ikut pula. Hal ini sudah menjadi kewajiban pinceng pula sebagai murid Siauw-lim-pai untuk menangkap murid Siauw-lim-pai yang lalim dan murtad". Mereka bertiga lalu berangkat, melakukan perjalanan menuju Sung-san di mana terdapat kuil Siauw-lim yang menjadi pusat dari perguruan Siauw-lim-pai.
Akan tetapi baru mereka melakukan perjalanan setengah hari, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan seorang pemuda. Mereka berpapasan jalan dan tiba-tiba pemuda itu berhenti, menghadang di depan mereka, memandang kepada Lauw Han Hwesio dan bertanya dengan suara lembut dan sikap sopan.
"Mohon maaf kalau saya mengganggu. Akan tetapi, apakah suhu ini seorang pendeta Siauw-lim-pai?."
Lauw Han Hwesio, Lu Kiat dan Lu Siong mengamati pemuda yang menghadang itu dengan penuh perhatian. Pemuda berusia sekitar dua puluh empat tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah, wajahnya juga tampan, dan sikapnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemuda bersusila dan tahu aturan.
"Omitohud! Kalau pinceng seorang murid Siauw-lim-pai, apa hubungannya denganmu? Siapakah Sicu (saudara yang gagah)?." "Suhu, nama saya Cun Song. Saya kemarin melewati Kota Ceng-jun dan mendengar akan pembunuhan yang terjadi pada sebuah keluarga piauw-su Gui.
Saya sudah sering mendengar akan pemubunuhan-pembunuhan yang di lakukan Si Tangan Halilintar itu dan kebetulan sekarang saya bertemu seorang tokoh Siauw-lim"
Eh, apakah benar suhu seorang hwesio Siauw-lim-pai?." "Hemmm, memang benar, Cun Sicu. Apa yang hendak kau bicarakan tentang Si Tangan Halilintar?." "Kalau suhu seorang tokoh Siauw-lim-pai berarti yang saya duga, sungguh kebetulan sekali. Saya sudah banyak mendengar tentang kegagahan para pendekar Siauw-lim-pai yang selalu menentang kejahatan. Karena itu, saya merasa yakin bahwa suhu juga tentu menentang kejahatan yang di lakukan Si Tangan Halilintar".
"Omitohud, tentu saja pinceng dan semua murid Siauw-lim-pai selalu siap untuk menentang kejahatan. Lalu apa maksud sicu menghadang perjalanan kami?." "Suhu, saya mengetahui siapa adanya Si Tangan Halilintar itu!."
Tiga orang murid Siauw-lim-pai itu terkejut dan menatap wajah Cun Song penuh perhatian.
"Omitohud, benarkah ucapan Cun Sicu ini? Siapakah dia?." "Namanya Lauw Beng".
"Cun Sicu, engkau berhadapan dengan kami para murid Siauw-lim-pai. Pinceng adalah Lauw Han Hwesio ketua Kuil Thian-li-tang dan ini suteku Lu Kiat dan murid keponakanku Lu Siong. Kami memang sedang menyelidiki tentang Si Tangan Halilintar. Sekarang sicu menghadang kami dan mengatakan bahwa Si Tangan Halilintar bernama Lauw Beng. bagaimana kami dapat yakin bahwa keterangan sicu ini benar? Bagaimana sicu dapat mengetahui bahwa namanya Lauw Beng?." "Begini, suhu. Terus terang saja saya belum pernah bertemu dengan Si Tangan Halilintar yang akhir-akhir ini merajalela melakukan banyak pembunuhan. Akan tetapi saya yakin bahwa dia adalah Lauw Beng. Dugaan saya ini tidak ngawur. Saya pernah tahu akan seorang pemuda yang menjadi murid dari pejuang yang kenamaan bernama Ma Giok".
"Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu?"
Lu Kiat bertanya.
Tentu saja mereka bertiga tahu siapa Lam-liong Ma Giok karena tokoh itupun merupakan murid Siauw-lim-pai yang disegani, bukan saja karena kelihaiannya akan tetapi terutama akan kegigihannya menentang pemerintah penjajah Mancu.
"Benar, guru pemuda itu adalah Lam-liong. Akan tetapi pemuda itu adalah putera seorang pengkhianat bernama Lauw Heng San yang menjadi antek Mancu. Kemudian pemuda itu juga mengkhianati bangsa kita. Dia menjadi antek Mancu dan bergaul dengan puteri seorang pangeran Mancu, bahkan membantu puteri pangeran itu memusuhi para patriot Ciong-yang Ngo-taihiap sehingga membunuh orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap, yaitu Song Kwan dan Song Kui berikut isteri mereka. Karena Lauw Beng itu berkhianat, maka para pendekar patriot menghukumnya dan membuntungi lengan kirinya. Akan tetapi dia memang lihai dan kejam. Nah, sekarang muncul Si Tangan Halilintar, julukan yang dulu menjadi julukan ayahnya, maka mudah saja di duga bahwa penjahat itu pastilah Lauw Beng yang sebutannya adalah Siauw Beng".
"Omitohud, pinceng mengenal baik Lam-liong Ma Giok. Dia seorang pendekar dan patriot sejati. Bagaimana mempunyai seorang murid seperti itu?." "Bukan hanya muridnya, Suhu akan tetapi Lauw Beng atau Siauw Beng itu malah anak angkatnya!"
Kata Cun Song.
"Ahhh!"
Lu Kiat dan Lu Siong berseru kaget.
"Omitohud"! kalau begitu, Lam-liong Ma Giok harus bertanggung jawab! Sute, kalau begitu lebih baik langsung saja kita mencari Lam-liong. Dia harus bertanggung jawab terhadap perbuatan murid juga anak angkatnya itu!." "Akan tetapi kemana kita harus mencarinya, suheng? Sudah bertahun-tahun kita tidak pernah mendengar nama Lam-liong di dunia kang-ouw. Kita tidak tahu dimana dia berada", kata Lu Kiat.
"Saya tahu, lo-cian-pwe (orang tua gagah)!"
Kata Cun Song kepada Lu Kiat.
"Dahulu Lam-liong Ma Giok tinggal di puncak Thai-san".
"Hemmm, kalau begitu, sute. Biarlah pinceng yang pergi ke kuil Siauw-lim-si di Sung san untuk melaporkan hal ini kepada pimpinan Siauw-lim-pai, sedangkan Lu Sute dan Lu siong mencari Lam-liong Ma Giok di Thai-san".
"Baiklah, suheng. Kami pergi sekarang", kata Lu Kiat yang segera pergi bersama Lu Siong. Lauw Han Hwesio ini memandang Cun Song.
"Cun-sicu, kami bertiga amat berterima kasih atas semua keteranganmu yang sungguh amat menolong dan memudahkan penyelidikan kami. Akan tetapi agaknya engkau juga membenci Si Tangan Halilintar. Kalau boleh pinceng mengetahui, apakah yang menyebabkan sicu memusuhinya?." "Suhu, sungguh tidak ada permusuhan pribadi antara saya dan Si Tangan Halilintar. Akan tetapi sejak kecil saya mendapat didikan menentang Kerajaan penjajah Mancu. Maka, melihat Si Tangan Halilintar adalah seorang yang menjadi antek Mancu, dan kini melakukan kejahatan membunuhi orang-orang tidak berdosa, tentu saja saya membencinya. Cuma saja, dengan kebodohan dan kelemahanku, bagaimanapun juga saya tidak berdaya untuk menentang apalagi menangkap atau membunuhnya".
"Hemm, bagaimanapun juga keteranganmu kepada kami tadi sudah merupakan bantuan yang besar sekali artinya".
"Sekarang saya mohon diri, Suhu. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya. Kalau kelak saya dapat bertemu lagi dengan para pendekar yang mencari Si Tangan Halilintar dan kebetulan saya mengetahui dimana dia berada, saya pasti akan membantu mereka dan memberitahu". Mereka saling memberi hormat dan berpisah. Lauw Han Hwesio melanjutkan perjalanannya menuju pegunungan Sungsan untuk menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai.
Mayani melompat ke atas pohon raksasa itu. Gerakannya seperti seekor burung melayang naik. Ia hinggap di dahan depan pondok kecil yang di bangun di puncak pohon, merupakan sarang. Selama setahun ia dulu tiap malam tidur di dalam sarang ini, bersama Nenek Bu. Ia memasuki sarang itu akan tetapi nenek itu tidak berada di dalam pondok. Akan tetapi masih ada tanda-tanda bahwa tempat itu masih didiami orang. Ia keluar dari pondok, berdiri di atas dahan yang paling tinggi dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi hutan itu lebar sekali sehingga sukar untuk mencari orang dalam hutan itu. Pandangannya terhalang daun-daun pohon yang amat lebat.
"Ibuuuuu""Ia berteriak sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya melengking dan mengandung getaran sehingga dapat terdengar sampai jauh. Karena tidak ada jawaban, ia memutar tubuh. Sekarang ia menghadap ke selatan dan berteriak memanggil lagi.
"Ibuuuu"!!"
Setelah gema teriakan itu mereda, terdengar teriakan lain.
"Kui Sianggg".!"
Mayani menjadi girang sekali dan cepat tubuhnya melayang ke bawah pohon, lalu ia berlari menuju ke arah suara teriakan tadi.
"Ibuuuu!"
Mereka saling lari menghampiri dan ketika bertemu mereka saling berangkulan.
"Ibuuu"!." "Kui Siang, anak nakal, engkau baru pulang? Mana dia cucuku?." "Ibu, cucumu Lauw Beng, sedang merantau. Marilah ibu ikut bersamaku dan kita bersama nanti mencari dan mengajak Lauw Beng pulang. Nasib Siauw Beng"".
"Siauw Beng?"
Nenek itu bertanya heran.
"Ah, namanya Lauw Beng, Ibu, akan tetapi sudah biasa di sebut Siauw Beng (Beng kecil). Nasibnya buruk sekali, Ibu. Lengannya"
Lengan kirinya"
Sebatas siku siku telah buntung"!."
Bicara sampai di sini Mayani terisak menangis. Ia teringat betapa dibuntunginya lengan Siauw Beng adalah karena pemuda itu membelanya.!
"Apa? Lengan kirinya buntung? Mengapa bisa buntung?"
Mendengar pertanyaan nenek itu yang di ajukan dengan kata-kata yang teratur, Mayani mengerti bahwa nenek itu kini telah tenang pikirannya, tidak kacau seperti dahulu. Diam-diam ia merasa girang dan menyusut air matanya. Nenek itu membelalakkan matanya dan ia mengangkat kedua tanganya keatas, membentuk cakar lalu ia mencengkram ke atas barang pohon besar.
"Krekkk!"
Jari-jari kedua tangannya masuk ke dalam kayu pohon dan begitu ia menarik, batang pohon itu terobek sebagian.
"Siapa yang membuntungi lengan cucuku? Siapa? Hayo katakan, siapa?."
Dengan gemas dan penuh kebencian Mayani berkata.
"Dia seorang jahanam keparat yang jahat sekali, Ibu. Namanya Song Cun. Dia anak orang kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap, gerombolan pemberontak yang di pimpin Lam-liong Ma Giok. Mereka itu orang-orang yang amat kejam, ibu. Akan tetapi mereka itu pun kuat, terdiri dari orang-orang lihai".
"Aku akan menghadapi mereka semua dan akan ku pecahkan kepalanya satu demi satu!"
Teriak Nenek Bu.
"Kita akan hadapi bersama, Ibu. Akan tetapi mari ibu ikut bersama aku ke Kota Raja dulu. Nanti perlahan-lahan kita cari dimana adanya cucumu Siauw Beng dan dimana pula musuh-musuh besar kita, terutama di jahanam busuk Song Cun!."
Tadinya Nenek Bu bersikap ragu-ragu, akan tetapi setelah di bujuk-bujuk Mayani, akhirnya ia menurut juga di ajak pergi Mayani keluar dari hutan lebat itu. Dengan pandai Mayani membujuknya, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang pantas, menyisir dan merapikan rambutnya. Kini Nenek Bu menjadi seorang Nyonya berusia sekitar enam puluh dua tahun yang cukup pantas karena mengenakan pakaian yang memang telah disediakan dan dibawa Mayani ke hutan itu.
"Eh-eh, pakaian apa ini? Dan rambutku, mengapa engkau tata seperti ini. Aku akan kelihatan jelek dan lucu, kau anak nakal!"
Nenek itu terkekeh.
"Mari Ibu, Lihat bayanganmu di air.
Ibu tampak cantik!"
Mayani membawa nenek itu ke tepi danau kecil yang terdapat di hutan itu dan ketika Nenek Bu melihat bayangannya di air, ia tertawa.
"He-he-he, aku seperti nyonya bangsawan!." "Aih, bagaimana sih ibu ini? Ibu memang seorang bangsawan, apa ibu telah lupa?." "He-he-he, ya"
Aku seorang nyonya bangsawan"
He-he-he!."
Mayani merasa senang. Gurunya ini memang masih agak aneh kelakuannya, namun sudah tidak ngaco lagi, tidak tampak gila dan kata-katanya sudah mulai teratur. ia merasa yakin bahwa kalau Nenek Bu tinggal di rumahnya, wanita tua itu akan dapat pulih kembali ingatannya. Ayah ibunya tentu akan menerima dengan senang, bukan hanya karena wanita itu telah menjadi gurunya dan telah menyelamatkannya dari tangan para pendekar yang hendak membunuhnya, akan tetapi karena Nenek Bu adalah isteri dari Mendiang Pangeran Abagan. Masih ada hubungan keluarga antara mendiang Pangeran Abagan dan ayahnya Pangeran Gunam.
Dalam perjalanan ini, Nenek Bu tampak gembira sekali. Hal ini dapat dimaklumi karena semenjak ia menjadi murid nenek gila Pek Sim Kuibo yang amat sakti, ia terus mengasingkan diri dan tinggal di dalam hutan selama dua puluh tahun lebih dan hanya kadang-kadang saja ia keluar hutan. Itu pun tidak lama karena ia merasa betapa dunia di luar hutannya aneh dan asing, membuat ia merasa ngeri dan ia selalu kembali ke dalam hutannya. Kini, melakukan perjalanan bersama Mayani yang ia anggap sebagai Bu Kui Siang, puterinya, ia merasa gembira dan tidak merasa aneh atau asing. bahkan perlahan-lahan ingatannya mulai terang kembali dan sedikit demi sedikit ia kembali normal walaupun ia masih kukuh menganggap Mayani sebagai Bu Kui Siang, puterinya. Dalam perjalanan menuju ke Kota Raja, Mayani mendengar berita menggegerkan tentang sepak terjang Si Tangan Halilintar yang amat jahat dan kejam. Tentu saja ia tidak percaya akan berita itu.
Seorang penjahat muda yang bertangan satu, lengan kirinya buntung sebatas siku, membunuh banyak orang yang tak berdosa dan memperkosa wanita, berjuluk Si Tangan Halilintar! Tanda-tanda dan nama julukan itu menunjukkan bahwa penjahat itu adalah Lauw Beng! Tidak mungkin.! "Paman, benarkah berita yang kau ceritakan itu?"
Mayani bertanya kepada pelayan rumah penginapan yang mengabarkan tentang Si Tangan Halilintar itu.
"Tentu saja benar, nona. Nona dapat bertanya kepada seluruh penduduk kota ini atau daerah lain, mereka semua tentu sudah mendengar akan berita itu. Si Tangan Halilintar penyebar maut itu amat tersohor dan semua orang merasa ngeri dan ketakutan kalau mendengar namanya. Bahkan belum lama ini, di kota Teng-cun, penjahat kejam itu telah membunuh seorang piauw-su murid Siauw-lim-pai bernama Gui Liang, juga membunuh isterinya dan memperkosa lalu membunuh anak gadisnya.
Kejam sekali dia, mudah-mudahan saja dia tidak akan datang ke kota kami ini". Nenek Bu sejak tadi mendengarkan percakapan itu. Biarpun biasanya ia bersikap tidak acuh terhadap hal-hal yang tidak mengenai dirinya, dan merasa gembira melihat segala sesuatu dalam kota seolah baru kembali ke kampung halaman setelah bertahun-tahun kehilangan itu semua, namun mendengar pelayan itu menyebut-nyebut Si Tangan Halilintar ia mulai memperhatikan.
"Hei, bukankah Si Tangan Halilintar itu cucuku Siauw Beng?."
Pelayan rumah penginapan itu terkejut, memandang terbelalak kepada Nyonya Bu dan Mayani juga terkejut lalu menggandeng tangannya dan menariknya untuk masuk kamar.
"Ibu, mari kita masuk kamar dan mengaso". Pelayan itu segera pergi tergesa-gesa dan tampak ketakutan. Nyonya tua itu memang sudah tampak aneh dan tidak wajar, tidak banyak bicara hanya terkadang senyum-senyum sendiri, memandangi segala benda dengan sikap kagum dan terheran-heran.
Kini sekali membuka mulut, mengatakan bahwa Si Tangan Halilintar adalah cucunya! Siapa tidak merasa ngeri dan takut? Akan tetapi di samping perasaan ngeri, ada juga perasaan bangga. Maka dia segera berpamer diluaran, mengatakan dengan bangga bahwa rumah penginapannya dimana dia bekerja, kedatangan tamu agung, yaitu nenek dari Si Tangan Halilintar yang tersohor dan dia sendiri sudah melayani tamu agung itu.! Sementara itu Mayani menutupkan daun pintu dan duduk di tepi pembaringan dimana Nenek Bu sudah merebahkan diri.
"Ibu, yang diceritakan oleh pelayan tadi bukan cucumu Siauw Beng".
"Akan tetapi, bukankah Si Tangan Halilintar itu julukan Siauw Beng seperti yang kau ceritakan padaku?." "Memang benar, Ibu. Dulu Siauw Beng menggunakan julukan Si Tangan Halilintar. Akan tetapi dia sama sekali bukan orang jahat dan tidak pernah berbuat jahat membunuh orang-orang yang tidak berdosa, apalagi memperkosa wanita.
Tidak aku tidak percaya Siauw Beng yang melakukan itu semua!." "Oh-oh, aku jadi bingung, Kui Siang. Kalau bukan Siauw Beng lalu siapa lagi yang berjuluk Si Tangan Halilintar?." "Ini yang perlu kita selidiki, Ibu. Siauw Beng tidak mungkin melakukan semua kejahatan itu. Aku yakin benar. Maka tentu ada orang lain yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar yang melakukan semua kejahatan itu, mungkin sekali dia sengaja memakai nama julukan itu untuk mencemarkan nama Siauw Beng. Dengan tersohornya nama Si Tangan Halilintar yang jahat, tentu Siauw Beng akan di musuhi banyak orang. Ini jelas fitnah dan kita harus menyelidiki hal ini untuk menolong Siauw Beng!." "Tapi orang tadi menceritakan bahwa pembunuh itupun buntung lengan kirinya".
"Ya, itulah yang aneh. Mungkin orang-orang yang memusuhi Siauw Beng sengaja menggunakan seorang yang buntung lengan kirinya untuk memalsukan nama Si Tangan Halilintar, tentu saja dengan maksud agar Siauw Beng di tuduh melakukan itu semua dan dimusuhi banyak orang.
Bahkan menurut orang tadi, si penjahat itu telah membunuh suami isteri murid Siauw-lim-pai dan memperkosa lalu membunuh anaknya. Jelas perbuatan ini akan membuat perguruan Siauw-lim marah sekali dan mereka tentu akan mencari Si Tangan Halilintar untuk menuntut balas. Ah, kasihan Siauw Beng, tentu ia akan di musuhi banyak pihak dan terancam bahaya!."
Nenek itu bangkit duduk.
"Kui Siang, ini adalah tugasmu sebagai seorang ibu! Engkau harus menyelamatkan anakmu!." "Tentu saja, Ibu. Akan tetapi juga tugas ibu sebagai neneknya! Kita berdua akan membuktikan bahwa Siauw Beng bukan pelaku kejahatan itu. Aku yakin bahwa penjahat itu adalah Si Tangan Halilintar palsu dan kita harus dapat menangkapnya, Ibu!." "Ho-ho, aku akan tangkap dia dan membuntungi lagi lengannya yang tinggal satu!."
Karena adanya berita yang menggelisahkan tentang Si Tangan Halilintar, apalagi adanya jawaban yang meyakinkan dari semua orang yang di tanyai Mayani bahwa berita itu memang benar.
Mayani menunda kembalinya ke kota raja dan bersama nenek Bu ia berputar haluan, hendak melacak dan mencari Si Tangan Halilintar yang menyebar maut itu. Mereka hanya menginap semalam di kota itu dan pada keesokan harinya ia mengajak Nenek Bu untuk melanjutkan perjalan ke Kota Teng-cun dimana Si Tangan Halilintar muncul seperti yang diceritakan pelayan rumah penginapan itu. Pagi-pagi mereka meninggalkan kota itu menuju ke kota Teng-cun yang jaraknya ada seratus li (mil) dari kota yang baru mereka tinggalkan. Akan tetapi baru saja mereka berjalan sejauh belasan li, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berlari dari belakang mereka. Mayani dan Nenek Bu berhneti melangkah dan dua orang sudah tiba di depan mereka. Mayani tidak mengenal dua orang laki-laki itu, yang seorang setengah tua berusia empat puluhan tahun, sedangkan yang muda berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Mereka ini bukan lain adalah Lu Kiat dan keponakannya, Lu Siong.
Seperti kita ketahui, paman dan keponakan ini sedang melakukan perjalanan menuju ke Thai-san untuk mencari Lam-liong Ma Giok dan melaporkan tentang kejahatan Si Tangan Halilintar, murid atau juga anak angkat Naga selatan itu. Malam tadi mereka bermalam di kota yang sama dengan yang diinapi Mayani. Pagi tadi mereka mendengar kabar yang di sebar pelayan rumah penginapan bahwa di rumah penginapannya ada tamu agung, yaitu nenek dari Si Tangan Halilintar. Mendengar ini tentu saja Lu Kiat dan Lu Siong menjadi kaget dan mereka cepat mengunjungi rumah penginapan itu. Akan tetapi di sana mereka mendengar bahwa pagi tadi nenek itu telah meninggalkan rumah penginapan. Mendengar ini, Lu Kiat dan Lu Siong cepat melakukan pengejaran. Mereka bertanya-tanya dan mudah mendapat keterangan bahwa nenek dan gadis muda itu keluar dari pintu gerbang barat. Keterangan ini mudah di dapat karena orang tidak melupakan Mayani yang cantik jelita kalau melihat ia lewat.
Segera dua orang murid Siauw-lim-pai itu melakukan pengejaran dan di tempat sunyi itu mereka berhasil menyusul dan kini mereka berdua sudah saling berhadapan dengan Nenek Bu dan Mayani.
"Tunggu dulu, kami ingin bicara!"
Lu Kiat berkata dengan suara keren karena hatinya sudah panas mendengar bahwa nenek ini adalah nenek Si Tangan Halilintar yang amat jahat dan kejam. Nenek Bu memandang dengan mulut tersenyum mengejek. mayani yang menjawab sambil menantap wajah Lu Kiat penuh selidik.
"Kami tidak mengenal kalian dan sungguh tidak sopan laki-laki menegus perempuan yang tidak dikenalnya di tengah jalan!."
Mendengar ucapan itu, wajah lu Kiat menjadi kemerahan. Dia adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai dan biasanya selalu menggunakan peraturan tata susila.
"Maaf, Nona. Terpaksa kami melakukan pengejaran dan ingin bertanya apakah benar nenek ini adalah nenek dari Si Tangan Halilintar Lauw Beng?"
Sambil berkata begini, Lu Kiat menatap tajam wajah nenek Bu yang masih tersenyum-senyum.
"He-he! Tentu saja aku nenek dari Lauw Beng Si Tangan Halilintar! Mau apa engkau bertanya-tanya?" jawaban ini ketus akan tetapi mulut itu tersenyum lebar. Lu Kiat mengamati nenek itu, dari sanggul rambutnya sampai dandanannya, lalu berkata ragu.
"Nyonya"
Nyonya seorang berbangsa Mancu"?" "He-he, tentu saja, apa engkau tidak melihat? Aku ini Nyonya Pangeran!."
Lu Kiat saling pandang dengan keponakannya, Lu Siong.
"Kalau begitu, Si Tangan Halilintar Lauw Beng adalah cucu pangeran mancu?."
Kini Mayani tidak sabar lagi.
"Hei, kalian ini siapakah dan apa maksudmu menanyai orang seperti hakim saja? Kalau Lauw Beng seorang cucu pangeran mancu, kalian mau apa? Aku adalah seorang gadis Mancu, ayahku seorang pangeran. Nah, kau mau apa?". Dua orang paman dan keponakan she Lu yang amat mendendam kepada Si Tangan Halilintar, mendengar bahwa penjahat itu cucu seorang pangeran, sekarang mengerti mengapa penjahat itu membunuhi penduduk pribumi.
Kebencian dan sakit hati mereka kepada Si Tangan Halilintar manjadi-jadi setelah mendengar bahwa pembunuh keluarga Gui itu cucu pangeran mancu. Otomatis merekapun membenci dua orang wanita ini, seorang nenek yang mengaku isteri pengeran Mancu, dan seorang gadis yang mengaku anak seorang pengeran mancu pula.
"Kalian harus kami tangkap dan kami jadikan sandera sampai Lauw Beng Si Tangan Halilintar menyerahkan diri kepada Siauw-lim-pai!"
Bentak Lu Kiat.
"Kalian mau menangkap kami?"
Mayani berkata mengejek.
"Bagaimana tikus-tikus macam kalian akan dapat menangkap kami?." "Ho-ho, kalian ini dua orang budak dari mana, siapa namamu, begitu kurang ajar dan berani kepada kami, nyonya-nyonya majikanmu?"
Nenek Bu juga membentak, akan tetapi sambil tertawa-tawa. Lu Kiat tidak memperdulikan Nenek yang bicaranya tidak normal itu, akan tetapi dia segan juga terhadap Mayani, seorang gadis yang cantik dan berwibawa.
Dia merasa keterlaluan kalau ingin menangkap dua orang wanita tanpa memperkenalkan diri dan memberitahu alasannya.
"Ketahuilah, aku bernama Lu Kiat dan ini adalah keponakanku Lu Siong. Kami adalah murid-murid Siauw-lim-pai. Suhengku, Gui Liang dan anak isterinya telah di bunuh oleh Lauw Beng Si Tangan Halilintar. Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai tentu saja kami tidak menerimanya begitu saja. Mengingat bahwa kalian adalah keluarga keluarga Lauw Beng Si Tangan Halilintar, maka kami terpaksa harus menangkap kalian dan menjadikan sandera sampai Lauw Beng menyerahkan diri kepada Siauw-lim-pai!." "Hemmm, orang she Lui! Bicaramu ngawur dan engkau menuduh tanpa bukti. Apa buktinya bahwa penjahat yang membunuh banyak orang itu adalah lauw Beng?"
Tanya Mayani.
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sendiri berada di rumah itu ketika pembunuhan terjadi. Aku menjadi saksi, bahwa aku telah berkelahi melawan penjahat berlengan kiri buntung itu dan dia mengaku Si Tangan Halilintar.
Masih kurang jelas bagaimana?."
Mayani mengerutkan alisnya.
"Hemmm, itu masih belum jelas. Coba gambarkan bagaimana bentuk wajah dan badannya, Juga cirri-ciri yang lain agar kami dapat menentukan apakah kalian hanya menfitnah saja ataukah keterangan kalian itu benar-benar".
"Malam itu gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, akan tetapi die jelas seorang laki-laki yang masih muda dan tubuhnya tegap. Cirinya yang jelas bahwa lengan kirinya buntung. Sudah jelas bahwa dia itu Lauw Beng Si Tangan Halilintar, tak perlu di sangsikan lagi. Karena kalian masih keluarganya, apalahi nyonya ini neneknya, maka kami harus menangkap kalian untuk dijadikan sandera sampai dia menyerahkan diri".
"Hemm, keteranganmu itu belum merupakan bukti yang sah, engkau bukan bukan saksi yang sudah pasti memberi keterangan benar. Bagaimana juga, harus di akui bahwa setiap orang dapat menyamar sebagai Lauw Beng.
Mudah saja melakukan pembunuhan lalu mengaku sebagai Si Tangan Halilintar, bukan? Engkaupun dapat melakukannya karena keadaan gelap dan orang tidak dapat membedakan wajah!." "Tidak mungkin orang lain! Jelas bahwa lengan kirinya buntung. Jelas dia adalah Lauw Beng yang berjuluk Si Tangan Halilintar. Memang sejak dulu dia itu telah mengkhianati bangsanya, menjadi antek pemerintah penjajah sehingga lengan kirinya dibuntungi para pendekar".
"Omong kosong! Siapa yang menceritakan itu semua kepadamu?." "Tak perlu engkau tahu, aku percaya bahwa kenyataannya memang begitu! Kabarnya ia bergaul akrab dengan seorang puteri Mancu. Semuanya sudah jelas, dia antek penjajah membunuhi bangsa sendiri, orang-orang pribumi yang tidak berdosa".
"Engkau manusia tolol, tidak mampu membedakan mana kabar yang benar dan yang salah, merupakan fitnah. Akulah puteri Mancu yang menjadi sahabat baik Lauw Beng dan aku menjadi saksi bahwa dia bukan orang jahat!
Kalian inilah dan semua orang yang mengaku sebagai pendekar dan patriot, yang berpemandangan sempit dan pada dasarnya berhati jahat!." "Bagus, kiranya engkau puteri sahabat baik Si Tangan Halilintar Lauw Beng? Kalian berdua akan kami tangkap dan kami bawa ke Thai-san".
"Mau apa di bawa ke Thai-san?"
Tanya Mayani heran.
"Akan kami hadapkan kepada Lam-liong Ma Giok, guru dan ayah angkat si jahat Lauw Beng sebagai bukti akan pengkhianatan dan kejahatan Lauw Beng!." "Anakku, mengapa melayani si cerewet ini bercakap-cakap? Biar ku hancurkan kepala mereka!"
Kata Nenek Bu. Mayani khawatir kalau Nenek Bu benar-benar hendak membunuh orang. Kalau hal itu terjadi, maka akan semakin buruklah nama Lauw Beng yang telah diaku sebagai cucu nenek itu.
"Ibu, harap jangan bunuh orang. Mereka ini ku kira bukan jahat, melainkan tolo dan cukup diberi hajaran saja agar sembuh dari kebodohan mereka."
Mendengar ucapan dua orang wanita itu, Lu Kiat dan Lu Siong marah sekali. Mereka adalah pendekar-endekar Siuw-lim-pai yang lihai. Kini dijadikan bahan ejekan seorang nenek dan seorang gadis muda.!"
Lu Siong, kau tangkap gadis itu, biar aku tangkap si nenek bawel!"
Kata Lu Kiat dan dua orang itu lalu dengan sigap dan cepat maju menjulurkan tangan hendak menangkap pergelangan tangan dua orang wanita itu. Nenek Bu mengeluarkan suara terkekeh dan Mayani menggerakkan tangan menangkis seperti yang di lakukan Nenek Bu sambil terkekeh itu.
"Dukkk!!" "Dukk!!"
Tubuh dua orang murid Siauw-lim itu terjengkang dan terlempar sampai beberapa meter ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan baru menyadari bahwa dua orang wanita Mancu itu bukanlah orang lemah. Tangkisan mereka tadi mengandung tenaga sin-kang yang kuat sehingga mereka berdua tadi tidak menggunakan sin-kang, maka mereka tidak merasa gentar, melainkan penasaran dan marah.
"Bagus, kiranya kalian memiliki sedikit kepandaian dan hendak melakukan perlawanan? Lebih baik bagi kami karena tidak akan dikatakan menyerang dua orang wanita lemah. Lu Siong, jatuhkan gadis itu, akan tetapi jangan bunuh, agar dapat kita tangkap!"
Kata Lu Kiat dan dia sendiri maju menerjang nenek yang berdiri sambil tersenyum geli itu. Akan tetapi dengan gerakan aneh namun lincah, tubuh nenek itu menggeliat dan serangan Lu Kiat itu hanya mengenai angina kosong! Lu Kiat merasa penasaran dan melanjutkan dengan serangan sambung menyambung secara bertubi, namun kesemuanya itu dapat dihindarkan Nenek Bu dengan amat mudahnya, mengelak dan menangkis. Lu Siong juga sudah menyerang Mayani. Dia seorang pemuda yang sopan, maka ketika menyerang dia menjaga agar jangan menyerang bagian yang tidak pantas. Dia mencengkram kea rah pundak gadis itu dengan maksud kalau sudah dapat mencengkram, membuat gadis itu tidak berdaya dan menelikungnya.
Akan tetapi dia kecelik karena hanya dengan merendahkan pundaknya, Mayani sudah dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Tingkat kepandaian silat Siauw-lim yang dikuasai Lu Kiat sudah cukup tinggi dan tingkat kepandaian Lu Siong bahkan lebih tinggi lagi. Namun kini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki ilmu silat yang aneh. Mereka berdua merasa bingung akan tetapi juga penasaran karena merasa dipermainkan. Dua orang wanita itu membuat gerakan yang aneh sekali, terkadang berloncatan seperti anak kecil menari-nari. Terkadang bertepuk tangan dan berputar-putar, lalu jongkok berdiri dengan lucu dan aneh. Bahkan seolah sengaja membelakangi lawan seperti menantang lawan untuk seperti menantang lawan tubuh mereka! Merasa dipermainkan seperti anak kecil, Lu Kiat dan Lu Siong marah sekali dan mereka mengeluarkan seluruh jurus-jurus terampuh mereka dan mengerahkan semua tenaga sakti.
Namun tetap saja semua serangan mereka tidak pernah menyentuh tubuh lawan dan sebaliknya kalau lawan membalas, mereka menjadi terdesak hebat.
"Cukup main-main ini. ibu!"
Terdengar Mayani berseru.
"Nenek Bu terkekeh dan tiba-tiba kakinya menyepak, yaitu menendang miring.
"Bukkk!"
Lu Kiat tidak mampu menghindar, terpaksa menangkis dan ketika tangkisannya bertemu dengan kaki nenek itu, tubuhnya terlempar dan terbanting sampai terguling-guling.
"Pergilah!"
Mayani membentak dan tangan kirinya berhasil mendorong pundak Lu Siong sehingga terjungkal lalu bergulingan. Paman dan keponakan itu terluka, dan mereka berdua menjadi penasaran dan marah sekali. Dua orang wanita itu adalah keluarga Lauw Beng Si Tangan Halilintar, musuh besar mereka, maka harus di tangkap atau di robohkan sebagai musuh besar.
"Sraattt! Singgg!"
Tampak dua sinar berkelebat ketika Lu Kiat dan Lu Siong mencabut pedang mereka.
Akan tetapi mereka adalah orang-orang gagah yang merasa diri mereka pendekar Siauw-lim, maka tentu saja mereka memegang peraturan para pendekar dan tidak menyerang lawan dengan senjata tanpa memberi kesempatan lawan mengeluarkan senjatanya atau tanpa memberi peringatan.
"Keluarkan senjata kalian."
Kata Lu Kiat kepada mereka sambil memandang dengan sinar mata menantang. Juga Lu Siong menahan senjatanya, tidak langsung menyerang melainkan menunggu lawan untuk mengeluarkan (Lanjut ke Jilid 12)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
senjatanya. Akan tetapi kedua orang wanita itu saling pandang sambil tersenyum dan mereka mengangguk karena saling pandang saja mereka sudah tahu akan isi hati masing-masing.
"Kami tidak takut menghadapi pisau mainan kanak-kanan itu. Kalau kalian hendak menggunakan pisau itu, maju dan lakukanlah, kami tidak biasa menggunakan senjata menghadapi lawan yang bodoh seperti kalian."
Kata Mayani dan ucapan itu diikuti suara tawa nenek Bu.
Tentu saja kedua orang wanita itu tidak sekedar membual atau menyombongkan diri. Adanya mereka berdua berani menantang Lu Kiat dan Lu Siong dengan tangan kosong itu karena mereka berdua yakin dari pertandingan tadi bahwa dua orang murid Siauw-lim-pai itu bukan merupakan lawan yang terlalu berat bagi mereka yakin bahwa dengan tangan kosongpun mereka akan mampu mengalahkan dua orang lawan yang bersenjata pedang. Lu Kiat mengerutkan alisnya.
"Kami bukan laki-laki curang dan tidak biasa menyerang lawan yang bertangan kosong dengan menggunakan senjata. Hayo keluarkan senjata kalian!"
Katanya.
"Dengar ", kata Mayani.
"Kami tidak menganggap kalian curang, melainkan bodoh! Bukan kalian yang menyerang kami yang tidak bersenjata, melainkan kami yang menantang kalian menyerang kami dengan pedang kalian! Hayo jangan banyak cakap, kalau memang kalian berani, seranglah kami!." Dua orang murid Siauw-lim-pai itu tentu saja menjadi semakin penasaran.
Mereka saling pandang dan Lu Kiat mengangguk kepada keponakannya, tanda bahwa dia setuju kalau mereka berdua menyerang lawan dengan pedang. Mereka lalu mengelebatkan pedang mereka. "Sambut pedangku!"
Lu Kiat membentak sambil menyerang dengan pedangnya, menusuk kearah dada nenek Bu dengan gerakan yang kuat dan amat cepat. Pedangnya meluncur seperti anak panah menuju kearah dada nenek itu.
"Lihat seranganku!"
Lu Siong juga membentak dan pemuda ini menggerakkan pedangnya, bukan menusuk melainkan membacok kearah leher Mayani. Serangan pemuda ini bahkan lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan serangan pamannya. "Syyuuuttt....!"
Pedang di tangan Lu Kiat meluncur cepat kearah dada nenek itu dan Nenek Bu hanya tersenyum saja seolah tidak tahu kalau dadanya terancam pedang yang siap menembus dada dan jantungnya. Melihat nenek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, Lu Kiat yang berjiwa gagah itu menjadi ragu sehingga tusukannya menjadi lambat.
Akan tetapi ketika ujung pedang hanya tinggal beberapa senti lagi, tiba-tiba dari bawah menyambar tangan kiri Nenek Bu dan tahu-tahu pedang telah di cengkramnya dan sekali tarik, pedang itu ikut tertarik bersama tangan Lu Kiat ke atas, ke dekat mulut. Nenek Bu membuka mulutnya, menggigit pedang itu.
"Kreekkk-krekkk-krekkk....!"
Pedang itu patah-patah terkena gigitan nenek itu dan beberapa potong kecil berada di mulut Nenek Bu. Lu Kiat terkejut bukan main dan dia cepat melompat ke belakang, memegang pedangnya yang tinggal sepotong. Pada saat itu, Nenek Bu meniup dengan mulutnya dan tiga potongan pedang meluncur seperti peluru ke arah tubuh Lu Kiat. Tokoh Siauw-lim-pai ini terkejut dan cepat memutar pedang buntungnya menangkis. Potongan-potongan pedang itu terpukul runtuh, namun Lu Kiat sudah terkejut bukan main sehingga wajahnya menjadi pucat dan keringat dingin membasahi dahi dan lehernya.
"Sing.....!"
Pedang di tangan Lu Siong membacok ke arah leher Mayani. Gadis inipun tidak mengelak dan setelah pedang mendekati lehernya, kedua tangannya dari kanan kiri mencengkram pedang ini.
"Kreekk-krekk-krekkk...!"
Pedang itu patah-patah dalam cengkraman kedua tangan seolah-olah terbuat dari papan tipis yang rapuh saja. Lu Siong terbelalak dan wajahnya juga pucat. Dia melompat ke belakang, ke dekat pamannya dan mereka berdua memandang kea rah pedang di tangan mereka yang tinggal sepotong pendek. Pedang mereka bukanlah pedang biasa, melainkan pedang yang terbuat dari baja yang kuat. Namun dua orang wanita itu dengan tangan kosong menyambut pedang dan mencengkramnya sehingga pedang itu patah-patah. Lebih mengerikan lagi ulah nenek itu yang menggunakan giginya untuk menggigit patah-patah pedang Lu Kiat. Sebagai pendekar Siauw-lim, paman dan keponakan yang sudah tahu benar bahwa mereka kalah jauh, tidak mau melarikan diri.
Setelah beberapa kali menghela napas panjang, Lu Kiat berkata dengan gagah.
"Kami mengaku kalah. Kalian boleh membunuh kami karena bagaimanapun juga, kami akan tetap memusuhi Lauw Beng Si Tangan Halilintar, mencari dan membunuhnya bersama semua orang Siauw-lim-pai!." "He-he-he, Kui Siang, apakah orang ini sudah gila? Dia minta di bunuh! Kalau begitu, bunuh saja mereka!." "Tidak, Ibu. Kita tidak boleh membunuh mereka. Mereka ini memang gila, jangan dengarkan permintaan mereka yang bukan-bukan. He, orang she Lu, kalau kalian memang orang-orang gagah, pendekar-pendekar sejati yang adil bijaksana dan tidak sembrono, mari kita berlomba. Kalian carilah bukti nyata bahwa pembunuh jahat yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar itu memang benar Lauw Beng, dan kami akan mencari bukti bahwa penjahat itu bukan dia melainkan orang lain yang hendak melakukan fitnah kepadanya!
Mari, Ibu. Kita pergi. Dua orang wanita itu lalu meninggalkan mereka yang masih berdiri dengan tertegun di tempat itu.
"Paman, mereka itu lihai bukan main! Ilmu silat mereka aneh dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Sungguh heran, belum pernah aku melihat ilmu silat seperti yang mereka mainkan tadi, kacau balau dan aneh namun tangguh bukan main. Paman kira dari aliran manakah ilmu silat mereka itu?."
Lu Kiat menghela napas dan menggeleng kepala.
"Aku sendiri tidak yakin karena belum pernah melihat ilmu silat seperti itu. Akan tetapi aku pernah mendengar dari mendiang Thian Hok Losuhu bahwa di dunia persilatan terdapat banyak ilmu silat aneh, diantaranya terdapat ilmu-ilmu sesat yang amat sakti akan tetapi kalau kalau di latih membuat orangnya menjadi seperti gila. Melihat keadaan dua orang wanita tadi, terutama nenek yang seperti miring otaknya itu, aku menduga bahwa mereka telah menguasai apa yang disebut Yauw-hu Sin-kun (Silat Sakti Siluman Betina) yang kabarnya merupakan ilmu silat gabungan dengan sihir sehingga yang melatihnya dapat menjadi orang aneh."
"Dan mereka adalah keluarga atau orang-orang yang dekat dengan si jahanam Lauw Beng Si Tangan Halilintar. Sungguh berbahaya sekali keluarga itu. Akan tetapi mengapa mereka tidak mau membunuh kita, bahkan melukaipun tidak, padahal kalau melihat kesaktian mereka, tentu dengan mudah mereka akan dapat membunuh atau melukai kita, paman?."
Lu Kiat menggeleng-gelengkan kepala.
"Memang aneh sekali mereka itu. Melihat sikap mereka, apalagi ucapan nenek itu, mereka adalah orang-orang yang liar, akan tetapi nyatanya mereka tidak mau membuktikan bahwa mereka berdua bukanlah orang jahat, Lu Siong." "Akan tetapi, paman. Lauw Beng yang jahat, Si Tangan Halilintar yang kejam itu, adalah cucu si nenek dan sahabat baik Puteri Mancu tadi!." "Inilah yang membuat aku berpikir, Lu Siong. Seorang yang begitu kejam dan jahat tidak mungkin mempunyai keluarga yang demikian baik hati dan pemaaf, bukan?
Dan dua orang wanita sakti yang memaafkan kita tadi rasanya tidak mungkin mempunyai anggota keluarga begitu jahat sepelilintar, bukan?." "Mengaku? Maksud paman?." "Ya, ku rasa ada benarnya kata-kata Puteri Mancu yang jelita tadi. Siapa saja dapat mengaku bahwa dia Si Tangan Halilintar. pembunuh dan pemerkosa itu. bahkan aku yang sudah bertanding melawannya, juga tidak melihat jelas bagaimana bentuk wajahnya." "Ah, apakah paman bermaksud menghentikan usaha kita untuk melaporkan kepada Lam-liong Ma Giok tentang anak angkatnya yang jahat itu? Apakah kematian Paman Gui Liang dan anak isterinya tidak perlu di balas?." "Bukan begitu, Lu Siong. Kurasa tantangan puteri Mancu tadi ada benarnya. Mari kita sambut tantangannya tadi. Kita cari bukti bahwa penjahat pembunuh yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu betul Lauw Beng adanya. Sementara ini dalam laporan kita nanti kepada Lam-liong Ma Giok, kita hanya melapor bahwa ada penjahat berlengan kiri buntung yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar dan pandai bersilat aliran Siauw-lim-pai.
Kita tidak perlu mengatakan dengan pasti ng, anak angkat Lam-liong." "Akan".." "Diapun hanya mengira-ngira saja, Lu Siong. Semua itu belum merupakan bukti nyata, tepat seperti yang dikatakan puteri Mancu tadi. Bukan tidak mungkin ada seorang yang juga buntung lengan kirinya dan lihai sekali, melakukan semua kejahatan itu dengan menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar untuk menjatuhkan fitnah kepada Lauw Beng itu. Tentu saja bukan mustahil bahwa penjahat itu benar-benar Lauw Beng. Bagaimana pun juga, kita perlu melaporkan kepada Lam-liong Ma Giok karena ini merupakan kewajibannya untuk menghukum kalau benar anak angkatnya itu yang menjadi penjahat dan untuk membersihkan nama anak angkatnya kalau memang Lauw Beng tidak melakukan kejahatan itu. Bagaimanapun juga, Lu Siong, kita adalah orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu menentang kejahatan.
Engkau tidak ingin kalau kita melakukan balas dendam kematian su "Tentu saja tidak, Paman! Setelah ku pertimbangkan, pendapat Paman itu benar sekali. Baiklah, Paman, mari kita melanjutkan perjalanan dan selain melapor kepada Lam-liong Ma Giok, kita menyelidiki siapa sebenarnya pelaku kejahatan itu, siapa yang menggunakan julukan Si Tangan Halilintar itu, Lauw Beng ataukah orang lain". Paman dan keponakan itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju Thai-san.
Di lereng dekat puncak pegunungan Liong-san terdapat sebuah perkampungan para petani. Jumlah penduduk dusun itu tidak banyak, hanya sekitar lima puluh kepala keluarga. Diantara rumah-rumah di dusun dekat puncak ini terdapat sebuah rumah besar, paling besar di antara rumah-rumah di situ. Inilah rumah Lee Bun Si Muka Tengkorak, orang yang termuda dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang berusia sekitar lima puluh dua tahun akan tetapi dia tidak pernah menikah dan hidup sebagai seorang pertapa di dusun dekat puncak itu. Seperti kita ketahui, orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap (Lima Pendekar Besar Ciong-yang) telah tewas bersama isteri mereka di Souw-ciu diserbu pasukan. Tiga orang anggota Ciong-yang Ngo-taihiap yang lain, yaitu orang ketiga Ciang Hok Sen berusia lima puluh tujuh tahun juga tidak berkeluarga, dan orang ke empat Bhe Kam berusia lima puluh lima tahun bersama isterinya dan puterinya Bhe Siu Cen berusia dua puluh tahun, dan orang kelima Lee Bun, dapat lolos dari sergapan pasukan pemerintah.
Mereka semua lalu melarikan diri ke Liong-san dan kini tinggal bersama di rumah Si Muka Tengkorak Lee Bun. Mereka pergi dan bersembunyi di tempat ini karena mereka menjadi orang buruan pemerintah. Bersama mereka ikut pula Song Cin, pemuda berusia dua puluh dua tahun putera mendiang Kiam-sian Song-kui. Seperti kita ketahui, Bhe Siu Cen yang berusia dua puluh tahun, tadinya sudah di tunangkan dengan Song Cun, kakak Song Cin. Akan tetapi kita ketika melihat Song Cin membuntungi lengan Siauw Beng, hati Bhe Siu Cen memberontak dan ia menjadi benci kepada Song Cun yang di anggapnya curang, pengecut dan kejam dan ia menyatakan putus hubungan dengan Song Cun yang kemudian lari meninggalkan rombongan yang mengungsi ke Liong-san itu. Tiga orang kakak beradik seperguruan ini hidup tenang di dekat puncak Liong-san itu. Mereka hidup sebagai petani, setiap hari bekerja di lading, mandi sinar matahari dan menghirup udara sejuk dan jernih.
Menikmati kehidupan yang serba tenang, tentram, dimana tidak terdapat masalah, tidak terdapat kekerasan dan permusuhan seperti yang pernah mereka alami ketika mereka hidup di dunia kang-ouw. Akan tetapi karena mereka pendekar-pendekar yang tangguh, mereka tidak pernah dapat meninggalkan latihan ilmu silat yang sudah mendarah daging dalam diri mereka. Juga di tempat yang indah ini, Song Cin dan Bhe Siu Cen setiap hari berlatih silat di bawah bimbingan tiga orang pendekar itu. Tidak keliru pendapat orang-orang tua bahwa cinta kasih tumbuh dari pergaulan yang erat. Demikian pula dengan Vhe Siu Cen dan Song Cin. Bagi Song Cin memang sejak dulu ia menaruh hati kepada Siu Cen. Akan tetapi tadinya Siu Cen telah di tunangkan kepada Song Cun sehingga baik Song Cin maupun Siu Cen, tidak memiliki keinginan yang bukan-bukan. Song Cin berusaha menghilangkan rasa cintanya kepada gadis yang sudah menjadi tunangan kakaknya itu. Sebaliknya Siu Cen juga tidak pernah memperhatikan Song Cin karena dia merasa bahwa ia akan menjadi jodoh Song Cun, hal yang telah disepakati keluarga kedua pihak. Akan tetapi, Siu Cen memutuskan hubungannya dengan Song Cun karena ia benci melihat watak tunangannya yang di anggapnya curang, pengecut dan kejam itu. Kini ia tinggal di tempat sunyi dekat puncak Liong-san dan setiap hari ia bergaul dengan Song Cin.
Mulai tampaklah olehnya betapa watak Song Cin jauh lebih berbeda dibandingkan watak Song Cun. Song Cin adalah seorang yang lembut, bijaksana, baik budi dan biarpun dia tidak segagah Song Cun, namun pemuda ini juga tampan dan ilmu silatnya juga cukup tangguh. Mulai tumbuh rasa cinta di hati gadis berusia dua puluh tahun itu. Bhe Kim yang berjuluk Sin-touw (Copek Sakti), orang ke empat dari Ciong-yang Ngo-taihiap bersama isterinya melihat gejala ini. Mereka bersepakat untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Song Cin karena Siu Cen sudah menyatakan putus dengan Song Cun dan berkeras tidak mau dijodohkan dengan bekas tunangannya itu. Bhe Kam mengajak suhengnya, Ciang Hu Seng dan sutenya, Lee Bun untuk berunding mengenai keinginannya menjodohkan puterinya dengan Song Cin. Dua orang pendekar itu pun menyatakan persetujuan mereka mengingat bahwa pertalian jodoh antara Siu Cen dan Song Cun telah putus.
Demikianlah, pada suatu hari di adakan upacara pertunangan antara Siu Cen dan Song Cin. Perjodohan antara mereka di tunda, menanti dua hal. Pertama, perkabungan Song Cin sudah lewat, dan kedua Song Cun belum di bertahu lebih dulu tentang perjodohan bekas tunangannya dengan adiknya itu. Setelah mereka bertunangan, hubungan antara Song Cin dan Siu Cen menjadi semakin akrab. Namun, keduanya saling menjaga sehingga betapa rindunya hati mereka namun tetap menjaga jarak sehingga tidak akan melanggar tata susila. Dengan kasih sayang yang suci murni terhadap satu sama lain, mereka berdua dapat saling menjaga keutuhan kehormatan masing-masing dan kasih murni itu dapat mencegah mereka terseret oleh nafsu birahi. Sebelum menikah, hubungan mereka harus merupakan hubungan antara sahabat, atau antara saudara, tidak di kotori cinta nafsu berahi. Pada suatu sore, Song Cin dan Siu Cen seperti biasa berlatih silat didalam taman bunga yang mereka pelihara bersama sehingga merupakan taman bunga yang indah.
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo