Si Tangan Halilintar 2
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Heng San diam saja. Akan tetapi Pat-jiu Sin-kai yang berada disitu tertawa bergelak.
"Ha ha ha, In-kong dan Lauw Toanio! Apa yang dilakukan Heng San itu adalah hal yang lumrah saja terjadi di dunia persilatan. Pertandingan itu bukan perkelahian, melainkan pi-bu (pertandingan silat) untuk menguji ilmu silat masing-masing. Kalau Ciang Hok kalah lalu merasa malu dan menutup perguruannya dan meninggalkan Lin-han-kwan, hal itu adalah biasa saja dan tidak perlu dipersoalkan. Heng San sama sekali tidak bersalah!"
Melihat ayah dan ibunya masih marah, Heng San lalu berkata.
"Ayah dan Ibu, percayalah bukan aku yang menantang pertandingan. Ketika itu aku mampir nonton latihan mereka. Tahu-tahu dia menghina dan mengejekku, dan guru silat Ciang itu menantangku dan mengatakan bahwa kalau kami bertanding dan aku kalah, aku harus mengakuinya sebagai guruku.
Sebaliknya kalau dia yang kalah, dia akan menutup perguruan dan pergi dari kota ini. Karena sikapnya yang sombong dan menghina, maka aku menerima tantangannya dan akibatnya dia kalah dan pergi dari kota ini. Aku tidak bersalah, Ayah."
Karena merasa sungkan kepada Pat-jiu Sin-kai, Lauw Cin dan isterinya tidak berkata apa-apa lagi, namun di dalam hati mereka, kedua orang tua ini sangat kecewa sekali. Mereka membayangkan dalam usianya yang dua puluh dua tahun seperti sekarang ini, kalau saja Heng San tidak menjadi murid Pengemis tua itu tentu dia kini sudah dikenal diseluruh kota sebagai seorang ahli obat mida yang sudah banyak menolong dan menyembuhkan orang sakit sehingga nama keluarga mereka menjadi semakin harum. Akan tetapi sekarang mereka mempunyai anak tunggal yang menjadi tukang pukul.
Peristiwa itu sebulan kemudian disusul dengan peristiwa lain yang lebih menggegerkan pula. Pada suatu pagi, Heng San yang melihat ayah dan ibunya selalu berwajah muram, mulut mereka cemberut dan alis mereka berkerut setiap kali memandangnya sehingga dia maklum bahwa mereka masih marah sekali kepadanya, lalu meninggalkan rumah untuk mencari hawa segar dan menghibur hatinya yang menjadi kesal dan murung. Dia berjalan-jalan tanpa tujuan dan kedua kakinya membawanya memasuki sebuah taman umum yang berada di sudut kota, di dekat pintu gerbang sebelah barat kota Lin-han-kwan. Hatinya yang murung menjadi gembira, ketika melihat keadaan taman umum, ketika dia melihat keadaan taman umum itu yang indah karena pada saat itu musim bunga telah tiba dan tanaman itu semua sudah mulai berbunga. Karena itu, banyak orang, terutama orang-orang muda yang pada pagi hari yang cerah itu, mengunjungan taman. Suasana dalam taman itu sungguh menyenangkan.
Ketika Heng San tiba disebuah kolam ikan emas yang berada di sudut taman, dia melihat tiga orang gadis mida yang sedang bermain-main di tepi kolam, melemparkan makanan ke arah ikan-ikan yang berada dalam kolam. Suara tawa mereka yang tertahan-tahan dan merdu itu membuat suasan menjadi semakin segar dan nyawam bagi Heng San. Dia melihat bahwa seorang di antara tiga orang gadis itu cantik sekali, berpakaian merah muda dan biarpun dandanannya tidak mewah, namun pakaiannya cukup rapi dan bersih. Adapun dua orang gadis lainnya agaknya merupakan teman atau juga pengikutnya, karena pakaian mereka seperti pakaian pelayan yang lebih sederhana. Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun dan dua orang temannya itu lebih muda, sekitar lima belas tahun usia mereka. Pada waktu itu, pemerintah kerajaan yang baru, yaitu kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Manchu yang berhasil menduduki dan menjajah cina, mengadakan peraturan-peraturan yang harus ditaati seluruh rakyat bangsa Han, yaitu bangsa aseli Cina.
Semua laki-laki diharuskan memelihara rambut seperti halnya para laki-laki bangsa Manchu. Karena rambut yang panjang itu berabe sekali, maka menurut kebiasaan waktu itu, rambut itu dikuncir, menjadi kuncir panjang yang digantung di belakang punggung. Heng San dan para pria yang berada dalam taman juga mempunyai kuncir seperti itu. Rambut Heng San yang subur dan hitam itu dijadikan sebuat kuncih yang besar dan ujungnya diikat kain kain sutera hitam. Kuncirnya panjang sampai di pinggang dan kadang kuncirnya itu dilibatkan di lehernya sehingga dia tampak gagah sekali. Heng San mengerutkan alisnya ketika serombongan laki-laki menghampiri tiga orang gadis yang sedang bermain-main memberi makan ikan di empang itu. Mereka terdiri dari belasan orang yang mengenakan pakaian seragam penjaga keamanan kota, membawa sebatang golok tergantung di pinggang masing-masing. Hanya petugas-petugas pemerintah dan para pembesar machu saja, dan beberapa orang Han yang menjadi antek penjajah dan menjadi pembesar-pembesar kecil, yang diperbolehkan membawa senjata tajam.
Rakyat jelata dilarang membawa senjata tajam. Siapa berani melanggar akan ditangkap dengan tuduhan memberontak.! Dua belas orang prajurid penjaga keamanan kota itu mengikuti seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun lebih dan melihat pakaiannya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bangsawan Manchu, atau putera seorang pembesar tinggi. Heng San segera mengatahui siapa orang itu. Biarpun dia tidak mengenalnya karena putera seorang pembesar Manchu mana yang mau bersahabat dengan seorang pemuda biasa. Dia tahu bahwa bangsawan Manchu muda itu adalah Bauw Mauw, putera Jaksa Bauw seorang pembesar yang berkuasa di kota Lin-han-kwan. Dia melihat betapa Bauw Mauw mendekati gadis-gadis itu dan bicara dengan gadis cantik berpakaian merah muda. Gadis itu tampak takut dan malu-malu, sedangkan Bauw Mauw tersenyum-senyum dan kelihatan seperti menggoda dan merayu.
Karena merasa curiga, Heng San berjalan mendekati, padahal orang-orang lain yang berada di taman itu pergi menyingkir dan kelihatan takut kepada Bauw Mauw dan para pengawalnya. Setelah dekat, Heng San mendengar percakapan mereka dan agaknya gadis berpakaian merah muda itu kini berbantahan dengan Bauw Mauw.
"Tidak, Koncu (tuan muda), saya tidak mau...!"
Gadis itu berkata dan nada suaranya marah akan tetapi juga takut.
"Engkau harus mau mengikuti aku karena saat ini kalian bertiga kami tangkap!"
Bauw mauw lalu memberi isarat dengan tangan kepada dua belas orang pengawalnya yang segera maju mengepung tiga orang gadis yang tampak ketakutan itu. Apalagi dua orang gadis pembantu rumah tangga itu tampak takut sekali dan mereka mulai menangis.
"Ditangkap? Kongcu, apakah kesalahan kami maka ditangkap?"
Gadis itu membantah, walaupun wajahnya berubah pucat.
"Nanti kalian akan tahu kalau sudah diperiksa dikantor ayahku! Ingat, ayah adalah jaksa di kota ini dan kami berhak menangkap siapa saja yang kami curigai. Hayo Jalan!"
Tiga orang gadis itu didorong-dorong para pengawal dan sambil menangis terpaksa melangkah maju. Orang-orang yang melihat peristiwa itu dari jarak jauh tidak ada yang berani mencampuri. Akan tetapi Heng San yang menjadi penasaran sekali. Dia segera membayangi rombongan yang menawan tidak orang gadis itu. Tentu saja dia menjadi terheran-heran melihat bahwa rombongan itu tidak menuju ke kantor kejaksaan seperti yang diduganya, melainkan malah keluar dari pintu gerbang barat kota itu.! Dia terus membayangi tanpa diketahui oleh rombongan itu dan tak seorangpun penduduk yang begitu tolol untuk berani mencampuri urusan putera jaksa itu. Heng San mengikuti terus dan melihat bahwa rombongan itu membawa tiga orang tawanannya ke sebuah rumah mungil.
Itulah rumah peristirahatan yang dibuat Jaksa Bauw, sebuah rumah mungil di lereng bukit, di tempat yang sunyi dan berhawa sejuk. Tempat yang memang nyaman sekali untuik beristirahat, menjauhi keramaian kota. Setelah mereka semua memasuki rumah itu Heng San cepat menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak mendekati tumah itu. Tiba-tiba dia mendengar jerit wanita keluar dari sebuah jendela kamar yang tertutup. Heng San cepat menghampiri jendela itu dan tanpa ragu lagi dia mendorong daun jendela sehingga terbuka. Matanya terbelalak melihat pemuda Manchu putera jaksa itu sedang bergumul dengan gadis berpakaian merah muda. Mereka bergumul di atas pembaringan, Bauw kongcu berusaha merenggut lepas pakaian gadis itu sedangkan gadis itu sekuat tenaga berusaha mencegahnya. Mereka tidak tahu bahwa jendela kamar sudah dibuka Hengsan dari luar, Bauw Koncu yang sudah menggila oleh gairah nafsu itu sudah tidak melihat atau mendengat apa-apa lagi.
Heng San tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali menggerakkan tubuh, dia sudah melompat ke dalam kamar. Sekali tangan kirinya mencengkeram dan merenggut, tubuh itu dan terpelanting ke atas lantai. Tangan kanan Heng San menyambar "
Dess...!"
Pemuda bangsawan manchu itu terkapar, giginya rontok, mulutnya berdarah dan dia pingsan seketika. Heng San mendengar jerintan-jeritan wanita diluar kamar. Cepat dibukanya ruangan depan, kemarahan membuat mukanya berubah merah sekali ketika dia melihat betapa dua orang gadis pembantu tadi dijadikan rebutan dua belas orang pegawal Bauw koncu.
"Jahanam-jahanam busuk!"
Dia berseru dan tubuhnya berkelebatan di antara dua belas orang itu. Beberapa orang diantara mereka mencabut golok untuk melawan pemuda yang mengamuk itu, namun perlawanan mereka tidak ada artinya bagi Heng San.
Sorang demi seorang roboh pingsan oleh ukulan atau tendangannya. Tak lama kemudian tanpa banyak cakap, Heng San mengiringkan tiga orang gadis itu untuk kembali ke kota Lin-han-kwan dan memesan agar untuk sementara waktu mereka jangan keluar rumah dulu. Setelah itu, barulah dia pulang ke rumahnya. Sebentar saja, kota Lin-han-kwan menjadi gempar. Begitu ada yang mengetahui Heng San si pembunuh kerbau gila menghajar Bauw kongcu bersama sekelompok pengawalnya, semua orang membicarakannya. Sebagian besar membicarakan peristiwa itu dengan hati riang gembira karena bauw koncu terkenal mata keranjang dan suka mengganggu anak bini orang dan Bauw taijin terkenal pula sebagai pemeras dan penindas mengandalkan kekuasaannya dan suka bertindak sewenang-wenang.
Akan tetapi, ketika Lauw Cin dan isterinya mendengar hal itu, mereka terkejut setengah mati dan keduanya cepat menyerbu kamar Heng San. Saat itu Heng San telah menceritakan pengalamannya kepada suhunya. Pat-jiu Sin-kai hanya tersenyum dan mengangguk-angguk membenarkan tindakan muridnya. Pada saat mereka berbicara berdua sedang berbicara, masuklah Lauw Cin dan isterinya. Dari sikap orang tuanya yang menyerbu kamarnya dengan sikap tegang, maklumlah Heng San bahwa ayah ibunya sudah tahu akan apa yang terjadi di rumah peristirahatan pembesar Lauw itu.
"Heng San! Bagaimana sih engkau ini?"
Tegur ibunya.
":engkau berani memukuli Bauw kongcu, putera jaksa Bauw sampai pingsan?." "Barangkali engkau sudah gila!"
Bentak ayahnya, tidak peduli lagi bahwa Pat-jiu Sin-kai ada di situ.
"engkau akan menyeret seluruh keluarga ini ke dalam malapetaka!"
"Ayah, Ibu, harap tenanglah. Aku sama sekali tidak bersalah. Bauw koncu itu dan selosin pengawalnya sedang hendak memerkosa tiga orang gadis baik-baik, apakah aku harus tinggal diam?"
Lauw Cin merasa mendongkol dan bingung sekali. Di lubuk hainya, tentu saja dia dapat melihat bahwa perbuatan puteranya itu membela wanita-wanita yang diperkosa, bahwa perbuatan itu benar. Akan tetapi bagaimanapun juga hanya timbul dari hati sombong dan mengandalkan ilmu silat sehingga akibatnya mendatangkan permusuhan dan keributan.
"Huh, tahukah engkau bahwa perbuatanmu itu dapat membuat kita sekeluarga dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan memberontah? Ah, anak bodoh! Aku harus cepat menghadap Bauw taijin.!"
Lauw Cin segera berganti pakaian dan membawa semua uang tabungannya yang tadinya disimpan untuk persediaan kalau puteranya menikah dan untuk menambah modal. Kemudian sambil membawa semua uang itu pergilah dia ke rumah Bauw taijin.
Bauw taijin menerima Lauw Cin di ruangan tamu dan dia mengerutkan alisnya ketika pengawal memberitahu bahwa Lauw Cin datang menghadap. Ketika Lauw Cin muncul di pintu, dia segera menghardik.
"hemmm, inilah yang bernama Lauw Cin, ayah dari pemuda pemberontah itu?"
Dengan kedua kaki gemetar Lauw Cin segera maju dan menjatuhkan dirinya berlutut.
"saya mohon ampun sudilah kiranya paduka mengampuni anak saya yang bodoh. Ampunilah keluarga kami yang bodoh, taijin. Saya berjanji bahwa saya tidak berani melakukan kenakalan lagi. Semua ini hanya kesalah-pahaman, taijin, karena anak saya yang tolol itu tidak mengenal Bauw koncu. Untuk menyatakan penyesalan kami, saya mohon paduka sudi menerima sedikit bingkisan ini."
Lauw Cin menyodorkan "bingkisan"yang amat besar dan berat itu ke depannya dan kembali dia memberi hormat dengan membungkuk sambil berlutut sehingga berkali-kali dahinya menyentuh lantai.
Akan tetapi pembesar itu menunjukkan pandang matanya ke bungkusan yang berat itu dan mengira-ira berapa isinya.
"Anakmu itukah yang dikenal sebagai Heng San si pembunuh kerbau gila itu?"
Tanyanya.
"betul, taijin. Anak saya hanya seorang pemuda kasar dan bodoh." "Hemm, dan anakmu itu juga yang telah mengalahkan guru silat Ciang Hok yang memimpin Hui-houw-bukoan itu, yang sekarang telah menutup perguruannya?." "Be.... benar, tai-jin. Anak saya memang nakal sekali, suka membikin keributan. Akan tetapi saya berjanji untuk memperbaiki kelakuannya. Ampunkan kami, tai-jin yang mulia dan bijaksana." "Hemm, siapakah guru yang mengajar ilmu silat anakmu itu?"
Karena ingin mendapatkan ampuj, Lauw Cin tidak berani berbohong.
"
Yang mengajarnya adalah seorang... pengemis tua, tai-jin" "hehhh....? seorang pengemis?" "
(Lanjut ke Jilid 02)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
Ya, dia sudah sepuluh tahun tinggal dirumah kami." "Siapakah namanya?" "kami tidak tahu siapa namanya, tetapi hanya mengetahui nama julukkannya saja, yaitu pat-jiu Sin-kai, tai-jin."
Pembesar itu diam saja, akan tetapi diam-diam dia merasa terkejut bukan main. Dia sudah mendengar akan nama Pat-jiu Sin-kai ini sebagai seorang tokoh kang-ouw yng terkenal sakti, bahkan dia mendengar pula bahwa tokoh ini merupakan orang yang menjadi perhatian pemerintah karena dianggap sebagai orang yang anti pemertintahan Mancu. Gentarlah hari Jaksa Bauw. Dia menekan kemarahannya, bukan saja melihat uang sogokan yang banyak itu, melainkan terutama sekali dia takut akan pembalasan Heng San dan gurunya kalau dia bertindak keras.
"Baiklah, sekali ini kami mengampuni keluargamu, akan tetapi kalau anakmu itu masih banmyak ulah lagi, kami akan mengerahkan pasukan untuk menangkap dan menghukum seluruh kelaurgamu! Nah pergilah!."
"Terima kasih, tai-jin, terima kasih!."
Lauw Cin memberi hormat berkali-kali lalu mengundurkan diri dengan hati lega akan tetapi juga jengkel sekali terhadap puteranya. Setibanya di rumah dan melihat Heng San duduk di ruangan dalam bersama Pat-jiu Sin-kai, dia segera mendamprat anaknya didepan kakek itu.
"Heng San, engkau anak durhaka! Perbuatanmu memukuli Bauw kongcu dan para pengawalnya itu sungguh keterlaluan sekali! Aku memperbolehkan engkau belajar silat kepada gurumu bukan untuk membikin engkau menjadi seorang tukang pukul dan merendahkan nama orang tuamu saja! Engkau memancing permusuhan dan mencelakakan keluarga kita sendiri." "akan tetapi, ayah. Orang-orang itu memang pantas dipukul!"
Lauw Cin menggebrak meja dengan marah "engkau yang pantas dipukul! Kenapa engkau usil dan suka mencampuri urusan orang lain? Dengar baik-baik, mulai sekarang engkau kularang keluar dari rumah ini. Mulai sekarang engkau harus membantu aku mengurus pekerjaanku, dan belajar bekerja.
Aku sudah tua, siapa yang akan menjadi penggantiku kalau aku mati, kecuali engkau? Engkau buakan belajar menjadi penolong orang dan mempelajari pengobatan, sebaliknya engkau malah menjadi pemukul dan mencelakai orang orang lain!"
Setelah berkata demikian, ayah yang marah itu meninggalkan Heng San dan Pat-jiu Sin-kai yang sejak tadi hanya diam saja. Tak lama kemudian, ibu Heng San memasuki kamar itu sambil menangis.
"Ah, ada apakah, ibu?"
Heng San bangkit dan merangkul ibunya. Nyonya Lauw merangkul anaknya sambil menangis. Setalah reda tangisnya, nyonya itu berkata.
"Aduh, Heng San, kenapa engkau membikin ayahmu marah dan ibumu bersedih hati? Tahukah engkau akibat dari pemukulanmu terhadap Bauw kongcu? Ayahmu menguras semua harta simpanan kita untuk diberikan kepada Bauw tai-jin agar pembesar itu tidak mencelakai kita.
Pada hal..... semua harta itu dikumpulkan selama bertahun-tahun, disediakan untuk pernikahan dan modal usaha."
Ibu itu menangis lagi. Heng San membujuk dan menghiburnya. Setelah berhenti menangis, nyonya Lauw meninggalkan ruangan itu, tanpa berkata apapun bahkan tanpa menoleh kepada Pat-jiu Sin-kai. Heng San merasa sedih sekali, dia tidak dapat mengerti mengapa ayahnya marah dan mengapa pula ayahnya menyerahkan semua simpanan hartanya kepada bauw tai-jin. Bukankah putera pembesar Mancu itu yang bertindak jahat mengganggu gadis dan bahkan hendak memperkosanya? Bukankah para pengawal itupun hendak memperkosa dua orang gadis pembantu itu? Bukankah dengan menghajar mereka dan dia telah menolong tiga orang gadis itu dan telah membuat jera laki-laki jahat yang mengganggu keamanan penduduk Lin-han-kwan?
Mengapa bahkan ayahnya mengatakan dia tukang pukul orang dan tukang mencelakai orang?. Dia duduk termenung, tenggelam ke dalam kesedihan sehingga lupa bahwa gurunya juga duduk dalam ruangan itu dan sejak tadi mengamatinya sambil tersenyum.
"Seorang laki-laki tidak perlu bersedih atau kecewa dan putus asa menghadapi segala persoalan yang datang, melainkan sepatutnya menghadapinya sebagai tantangan. Di mana kejantananmu? Tidak perlu bersedih, tidak perlu melamun, yang perlu bertindaklah.!" "bagaimana tecu harus bertindak, suhu? Sekali ini tecu bukan menghadapi sembarang orang yang dengan mudah saja dapat tecu lawan! Tecu menghadapi kemarahan ayah dan kesedihan ibu, bagaimana tecu dapat bertindak." "Heng San, aku tidak terlau menyalahkan ayah ibumu. Mereka adalah orang-orang yang baik budi namun lemah. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kegagahan dan keadilan yang dijunjung tinggi orang-orang gagah dunia kang-ouw seperti kita."
"lalu, apa yang harus tecu lakukan suhu? Ayah melarang tecu keluar rumah dan mengharuskan tecu menbantu pekerjaan ayah di toko obat. Tecu tidak berani membantah dan menentang kehendaknya."
Pat-jiu Sin-kai tersenyum dan mengelus jenggotnya yang jarang.
"hemmm, terserah kepadamu. Kalau begitu, turuti saja kemauan ayahmu."
Heng San mengehela napas dan mengerutkan sepasang alisnya yang hitam tebal.
"tecu tidak suka, suhu. Tecu tidak suka berdiam saja dirumah, terkurung dan menjadi ketak dalam sumur, tidak dapat melihat keadaan dunia di luar sumur."
Pat-jiu Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum lebar.
"
Memang demikianlah sifat seorang pendekar silat, Heng San, selalu ingin merantau meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman, ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Muridku, aku berhutang nyawa kepada ayahmu dan sampai matipun aku tidak mau menyakiti hatinya. Akan tetapi kini kulihat bahwa engkau memang tidak berjodoh untuk menjadi tukang obat seperti ayahmu.
Engkau bertulang pendekar. Semua ilmu kepandaianku sudah kuajarkan kepadamu dan aku tidak memyombong kalau kukatakan bahwa tingkat kepandaianmu sudah cukup tinggi dan engkau tidak perlu kuatir lagi menghadapi para penjahat. Bekal kepandaianmu cukup untuk menjadikan engkau seorang pendekar yang disegani, walaupun tentu saja masih banyak orang yang tingkatnya sama bahkan lebih tinggi darimu." "Lebih tinggi, suhu? Tecu ingin bertemu dengan mereka dan meluaskan pengetahuan dengan belajar dari mereka."
Pat-jiu Sin-kai tersenyum lebar.
"demikianlah seharusnya semangat orang muda. Selalu tidak mau kalah dan ingin memperoleh kemajuan. Akan tetapi, Heng San, sesungguhnya untuk masa ini, tidaklah mudah mencari orang yang pantas menjadi gurumu. Tingkat kepandaianmu sudah cukup tinggi, hanya belum matang. Kalau saja engkau merantau di dunia kang-ouw selama tiga atau lima tahun saja, pengetahuanmu juga bertambah dan kepandaianmu dengan sendirinya akan meningkat."
"Merantau seperti para pendekar, seperti yang sering suhu ceritakan itu?" "Ya, seperti para pendekar itulah, menjalankan darmabakti dengan menolong sesama manusia yang mendapatkan kesukaran dan terutama yang tertindas. Membela kebenaran dan keadilan, membasmi mereka yang jahat dan yang meng gunaki:m kekuatan dan kekuasaan menindas kaum lemah. Dengan begitu, maka tidak akan sia-sialah engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat selama sepuluh tahun ini." "Ah, suhu! Itulah yang menjadi cita-citaku, yang kupikirkan siang malam."
Gurunya mernandang penuh selidik, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Heng San, bagaimanapun juga, lebih baik aku berterus terang kepadamu. Ketahuilah bahwa segala sesuatu di dunia ini mempunyai dua permukaan yang berlawanan. Permukaan yang baik dan permukaan yang buruk. Merantau sebagai seorang pendekar meluaskan pengalaman, memang ada baiknya, akan tetapi juga ada buruknya."
"Apakah buruknya, suhu?" "Permukaan atau segi buruknya banyak, Heng San. Banyak sekali godaan bagi orang yang hidup merantau. Kehidupannya menjadi liar, tidak tetap, bahaya mengancam dari mana-mana. Dan jika engkau tidak berhati-hati, banyak hal yang dapat menyeretmu ke jalan sesat yang selalu menjanjikan kenikmatan. dan kesenangan. Lihatlah aku ini sebagai contoh. Aku tukang merantau, malang melintang di dunia kang-ouw. Apa jadinya dengan diriku? Setelah tua, aku menjadi seorang geiandangan yang berpenyakitan, tiada gunanya, seorang pengemis tua yang tentu sudah mati kedinginan di tepi jalan kalau saja ayahmu tidak demikian baik hati menolongku. Memang, ada benarnyajuga ayahmu memaksa engkau mengikuti jejaknya. Kalau engkau menjadi pengganti ayahmu, engkau akan dikawinkan, berumah tangga, memiliki anakanak dan hidup bahagia dengan keluarga, tidak menghadapi bahaya dan dapat hidup damai dan tenteram."
"Akan tetapi tecu tidak suka, suhu. Teeu merasa bosan dengan kehidupan tenter am tanpa tantangan. Teeu justeru ingin dihadapkan tantangan dan bahaya, ingin menempuh bahaya, in gin menguji kekuatan sendiri, dan ingin hidup bebas seperti sekor burung di udara."
Pat-jiu Sin-kai memandang muridnya dan kedua matanya berputaran, mulutnya tersenyum lebar.
"Memang begitulah darah pemuda! Nah, kalau sudah tetap pendirianmu, tidak pergi sekarang mulai dengan pengembaraanmu, mau tunggu kapan lagi?"
Heng San terkejut dan menatap wajah gurunyadengan mata terbelalak.
"Sekarang, suhu?" "Ya, sekarangl Takutkah engkau? Masih ragu-ragu?" "Tidak, suhu. Apakah, suhu hendak pergi juga? Mari kita merantau bersama, suhu." "Hemm, engkau menghendaki kawan? Takutkah engkau pergi seorang diri? Kalau takut, lebih baik tidak usah pergi, Heng San." "Bukan"
Takut, suhu. Akan tetapi kalau suhu hendak pergi, bukankah lebih baik kalau kita pergi bersama?"
"Tidak, Heng San. Kita harus berpisah. Sudah sepuluh tahun engkau belajar silat dariku. Kini aku sudah tua, tubuhku sering sakit. Aku harus mengaso. Engkau pergilah sendiri, akan tetapi ingat baik-baik. Jangan sekali-kali membiarkan dirimu diperhamba nafsu sendiri, jangan mempergunakan semua ilmu yang selama ini kaupelajari untuk berbuat jahat. Kalau sampai engkau tersesat dan menecemarkan nama baik orang tuamu dan gurumu dengan perbuatanmu yang jahat, aku akan mencarimuj dan menghukummu!" "Te-cu akan selalu menaati semua petunjuk dan perintah suhu. Malam hari ini juga tecu akan berangkat pergi, harap suhu dapat menutupi kepergian tecu sehingga ayah dan ibu tidak akan tahu sebelum besok pagi." "Baiklah, Heng San."
Heng San lalu menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya.
"Tecu menghaturkan ban yak terima kasih at as semua bimbingan suhu selama ini."
Pat-jiu Sin-kai mengangkat bangun pemuda itu dan Heng San lalu berkemas. Setelah malam tiba, dia menggendong buntalan pakaian dan bekalnya,. meninggal kan sepucuk surat dalam sarmpul yang sudah ditulisnya tadi, kemudian dia melompat keluar dari jendela kamarnya, menyelinap dalam kegelapan malam dan meninggalkan rumah orang tuanya. Beberapa kali dia harus menoleh dan memandang rumah yang diselimuti kegelapan malam itu, rumah di mana dia terlahir dan di mana selama duapuluh dua tahun dia hidup dan tumbuh dewasa. Ketika dia teringat akan orang tuanya, terutama ibunya, kedua matanya menjadi panas dan basah. Hampir saja dia memba. talkan kepergiannya. karena merasa iba kepada ibunya. Akan tetapi dalam telinga nya terngiang kata-kata suhunya.
"Seorang jantan yang gagah perkasa han~s berani mengambil keputusan, tabah dan tidak cengeng!"
Dia lalu melompat dan pergi meninggalkan rumah i tu, meninggalkan kota Lin-han-kwan dan pergi tanpa tujuan tertentu karena memang niatnya merantau, ke mana saja hati dan kedua kakinya akan membawanya. Pada kesokan harinya, ketika matahari telah. naik tinggi namun belum melihat Heng San keluar dari kamarnya, Nyonya Lauw lalu mengetuk daun pintu kamar puteranya. Tidak ada jawaban. Ia mendorong pintu dan ternyata daun pintu terbuka. Kamar itu kosong, pembaringan tampak rapi, tidak kusut. Jendela kamar itu juga terbuka. Ketika melihat sebuah sampul tertutup di atas meja, Nyonya Lauw merasa jantungnya berdebar tegang. Diambilnya sampul surat itu dan berlari mencari suaminya yang berada didepan, di toko obat mereka. Kedua tangan nyonya itu gemetar, seolah ia merasakan firasat yang tidak baik.
"Kamar Heng San kosong, pembaringannya tidak ditiduri dan dia tidak ada. Aku menemukan surat bersampul ini di atas meja dalam kamarnya."
Katanya dan suaranya juga gemetar.
Lauw Cin mengerutkan alis dan mene rima surat itu, lalu sampul dibukanya dan surat dibacanya. Setelah membaca surat itu, wajahnya menjadi pucat dan kemudian berubah merah sekali.
"Dasar anak put-hauw (tidak berbakti)l"
Serunya sambil melempar surat itu ke a tas me ja. Isterinya cepat menyambar surat itu dan membacanya dengan kedua tangan yang memegang surat itu gemetar. Belum habis ia membacanya, ia telah menangis tersedu-sedu. Lauw Cin merampas surat itu dari tangan isterinya dan seperti orang yang masih penasaran dan tidak percaya, dia membaca sekali lagi surat itu Ayah-ibu yang terclnta, Saya mohon beribu ampun bahwa saya pergi tanpa pamit dan tanpa Ijin ayah-lbu. Saya 1ngin sekali merantau, meluaskan pengalaman. Saya akan merasa sengsara kalau diharuskan selalu tinggal di dalam rumah seperti seorang anak perempuan.
Harap ayah dan ibu tidak terlalu marah, dan jagalah kesehatan ayah dan ibu, jangan sampai jatuh sakit. Sekali lagi. ampunkan saya dan saya mohon doa ayah ibu. Kalau saya telah kenyang merantau, pasti saya akan pulang dan siap menerima hukuman yang hendak ayah ibu jatuhkan kepada saya. Dari anak yang tidak berbakti, Lauw Heng San.
"Ini semua gara-gara pengemis tua itu! Dia harus bertanggung jawab. Kalau Heng San tidak belajar silat darinya, tentu dia tidak akan meninggalkan kita."
Ia lalu menangis tersedu-sedu. Lauw Cin juga marah sekali. Diikuti isterinya, dia lalu melangkah lebar menuju ke dalam, mencari Pat-jiu Sin-kai yang duduk termenung dalam kamarnya. Kakek itu segera bangkit berdiri melihat Lauw Cin yang merah mukanya itu memasuki kamarnya bersama Nyonya Lauw Cin yang menutupi muka sambi! menangis.
"Lauw-inkong dan toanio, selamat pagi."
Kata Pat-jiu Sin-kai sambil memberi hormat.
"Kau.....kau harus bertanggung jawab atas semua ini"
Bentak Lauw Cin marah sambil melemparkan surat yang ditinggalkan Heng San kepadanya. Dengan sikap tenang Pat-jiu Sin-kai menangkap surat itu. Dia tidak terkejut atau heran karena dia sudah menduga bahwa kedua orang tua muddnya itu tentu akan menyalahkannya dan dia sudah siap untuk menghadapi mereka. Diapun tahu bahwa saatnya untuk meninggalkan tempat itu sudah tiba. Setelah membaca surat itu, dia mengembalikannya kepada Lauw Cin, lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk, dan berkata.
"Baiklah, Lauw-inkong dan Lauw-toanio, kalau ji-wi (kalian berdua) menyalahkan aku karena kepergian Heng San, aku menerimanya. Aku hendak pergi mencarinya dan tidak akan kembali sebelum menemukannya. Harap ji-wi tidak terlalu khawatir tentang diri Heng San. Dia telah memiliki kegagahan dan kepandaian yang cukup kuat untuk menjaga diri.
Aku orang tua yang tiada guna ini sudah cukup lama menjadi beban, sudah cukup lama menerima budi jiwi dan sampai matipun aku tidak akan lupa bahwa di dunia ini terdapat sepasang suami isteri yang budiman. Nah, selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tubuhnya. Suami isteri itu hanya melihat sesosok bayangan berkelebat cepat keluar dari ruangan itu. Mereka berdua hanya menghela napas panjang dan pada hari-hari berikutnya Lauw Cin harus selalu menghibur isterinya dan mereka berdua hampir setiap malam menyalakan hio-swa (dupa biting) untuk bersembahyang dan mohon kepada Tuhan agar putera mereka dilindungi.
Heng San melakukan perjalanan dalam perantauannya, tanpa tujuan tertentu. Mula-mula, perjalanannya itu mendatangkan kegembiraan dalam hatinya. Apa saja yang dilihatnya dalam perjalanan itu merupakan pemandangan baru. Kalau dia melakukan perjalanan melalui pegunungan, dia melihat be tapa luasnya dunia ini dan betapa indahnya pemandangan alamo Kalau dia memasuki sebuah kota yang besar dan ramai, dia mendapat kenyataan betapa kota Lin-han-kwan sebetulnya hanya merupakan kota yang kedl. Dia merasa kagum dan gembira dan mulai dapat menikmati perantauannya. Pada suatu hari dia memasuki kota Leng-koan. Kota ini merupakan kota terbesar yang pernah dilihatnya selama dalam perjalanannya. Dia berjalan-jalan di sepanjang jalan yang ramai. Ketika dia melihat sebuah toko obat yang besar dengan papan nama "Pao-an-tong"
Dia teringat akan ayah ibunya dan tiba-tiba saja dia merasa rindu sekali kepada mereka.
Tak terasa dia sudah meninggalkan rumah selama hampir enam bulan atau setengah tahun. Teringat akan orang tuanya, maka terkenanglah dia akan kota Lin-han-kwan, membuat dia berdiri termenung sampai lama di depan toko obat itu. Seorang setengah tua keluar dari toko dan menghampirinya.
"Tuan hendak mencari obat apakah?"
Tanya orang itu. Heng San terkejut mendengar pertanyaan ini dan dia segera sadar dari lamunannya.
"Saya tidak mencari apa-apa,"
Jawabnya sambi! menggeleng kepalanya. Mendengar jawaban ini, tiba-tiba orang setengah tua itu mengubah sikapnya. Kalau tadi dia ramah dan sopan, kini dia cemberut, mukanya merah dan ucapannya kasar.
"Kalau tidak mencari apa-apa, mengapa berdiri sejak tadi dan melihat-lihat seperti orang mencari-cari? Apa kau hendak mencuri?"
Merah muka Heng San mendengar ini. Darah naik ke kepalanya dan ingin dia memukul orang itu. Akan tetapi perasaan ini ditahannya. Dia tidak ingin membikin ribut.
Orang itu demikian sombongnya dan hal ini sungguh di luar dugaannya. Disangkanya bahwa semua pemilik toko obat orangnya ramahdan lembut seperti ayahnya. Akan tetapi orang ini demikian kasar dan tidak sopan. Tanpa menengok lagi diapun meninggalkan orang itu dengan muka merah. Heng San mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu selama dua tiga hari untuk melihat-lihat kota yang ramai. Akan tetapi ketika dia mencari kamar di rurnah penginapan, ternyata semua rumah penginapan telah penuh. Hari itu kebetulan ada perayaan gotong toapekong di kota itu sehingga banyak pengunjung datang dari kota-kota lain untuk membayar kaul atau sekedar nonton keramaian. Akhirnya, setelah berputar-putar, dia mendapatkan juga sebuah kamar berukuran kecil di sebuah rumah penginapan sederhana. Kembali dia menghadapi sikap yang membuatnya mendongkol. Pengurus rurnah penginapan itu menyambutnya dengan pandang mata penuh selidik akan tetapi jelas yang diselidiki itu bukan dia, melainkan pakaiannya yang sederhana, dan tidak baru.
Dia kehabisan bekal pakaian bersih, semua pakaiannya kotor dan dia belum sempat mencucinya, maka sejak kemarin dia belum berganti pakaian.
"Sewanya semalam sepuluh logam tembaga dan harus bayar di mukaI"
Katanya dengan nada memandang rendah dan penuh kecurigaan. Mukanya yang masih merah karena marah menghadapi sikap kurang ajar pemilik toko obat tadi menjadi semakin merah. Dia marah dan malu. Marah melihat sikap pengurus rumah penginapan dan malu karena sesungguhnya uangnya rnemang tinggal sedikit sekali, paling banyak tinggal dua tail dan beberapa potong logam tembaga. Ketika meninggalkan rumah, dia membawa lima puluh tail akan tetapi uang itu habis untuk biaya makan dan penginapan selama setengah tahun. Dia mengeluarkan uang yang dua tail perak dan menyerahkannya kepada pengurus penginapan itu.
"Terimalah dua tail ini dulu."
Orang pendek kurus itu mencabut pipa tembakau yang tadi menancap di mulutnya, lalu mementang mulut yang giginya menghitam karena candu tembakau itu dan keluar ucapannya yang galak.
"Mana ada aturan begini? Kalau tidak bisa membayar uang muka lima tail, lebih baik pergi." "Sobat, kelak kalau kurang, pasti akan kulunasil"
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Heng San.
"Tidak bisal Sekarang tidak punya uang, kapanpun tidak punya uang. Engkau mau mengakali aku? Tidak bisa, harus penuh lima tail perak untuk uang muka, tidak boleh kurang satu tjhi (logam tembaga) pun. Bayar sekarang atau pergi sekarang jugal"
Orang itu mengusir dengan lagak sombong sekali. Heng San tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi dia masih ingat dan tidak memukul orang, hanya dia menggenggam uang dua tail perak itu dan mengacungkan uang yang dikepal itu di depan hidung pengurus penginapan dan menghardik.
"Kalau engkau tidak menahan mulutmu yang kotor dan penuh candu itu, akan kuhancurkan seperti uang ini!"
Dia menggenggam uang perak itu dan ketika dia membuka kepalan tangannya dia memperlihatkan dua potong uang perak yang telah pecah berkeping-keping dalam tangannya Pengurus penginapan itu memandang telapak tangan Heng San dengan mata terbelalak dan wajahnya menjadi pucat.
Sikapnya berubah seketika dan dia mernbungkuk-bungkuk sambil berkata.
"Maaf, tai-ong (raja besar), maafkan saya. Mari silakan, tempatilah kamar yang kosong ini, soal uang pembayaran kapanpun boleh...." "Engkau manusia brengsek Jangan sebut aku tai-ong, apa kaukira aku ini kepala rampok?" "Maaf, tai-hiap (pendekar besar), harap maafkan sikap saya tadi. Di sini seringkali terjadi penipuan. Orang-orang datang minta kamar dan setelah pergi mereka tidak mau membayar. Karena itu kami minta uang muka sebanyak lima tail lebih dulu." "Hemm, engkau harus mempergunakan matamu baik-baik dan dapat membedakan siapa penipu dan siapa bukan."
Dengan hati masih gemas Heng San memasuki kamar satu-satunya yang masih kosong itu. Sebuah kamar yang kedl dan kotor sekali. Melihat kamar yang kotor itu, uang sewa sepuluh tjhi juga masih mahal. Marahlah hatinya. Ah, benarbenar orang kota inl penipu dan pemerasI Dia berteriak memanggil pelayan.
Seorang palayan tua berlari-Iari memasuki kamarnya. Berbeda dengan pengurus tadi, pelayan itu sikapnya cukup hormat sehingga agak redalah kemarahan dalam hati Heng San.
"Siauw-ya (tuan mluda) memerlukan apakah?"
Tanyanya.
"Kamar ini kotor sekali. Coba to long bersihkan dan pasanglah kain tilam kasur )"ang leblh bersih."
Pelayan itu memandang Heng San dengan sinar mata heran.
"Siauw-ya hendak menyewa kamar ini?" "Ya, kenapa?"
Heng San balik bertanya. Pelayan itu menoleh ke Kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada orang lain akan mendengarnya.
"Siauw-ya, berapakah siauw-ya membayar untuk menyewa kamar ini?"
Heng San cemberut teringat akar kekurang-ajaran pengurus tadi.
"Aku harus membayar sepuluh chi semalam dan memberi uang muka sebanyak lima tail. Kenapakah?"
Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Terlalu......terlalu..! Memang aku tahu, orang she Leng itu penipu besar. Masa kamar semacam ini disewakan orang, dan semahal itu?
Ah, siauw-ya, kalau engkau percaya omongan seorang tua seperti saya, lebih baik carilah kamar di lain penginapan, karena di penginapan ini sudah penuh dan tidak ada kamar lain kecuali yang ini." "Eh? Apa maksudmu dengan ucapan itu, paman? Heng San memandang penuh selidik dan terheran.
"Aku mencari di mana-mana, semua penginapan sudah penuh maka aku terpaksa menerima kamar ini." "Orang she Leng itu telah menipumu. Kamar ini adalah..... kamar hantu! Siapapun tidak pernah bermalam di sini. Tidak seorangpun berani. Jangankan disuruh bayar uang muka lima tail, diberi upahpun tidak akan ada yang berani."
Pelayan tua itu bergidik, merasa seram. Sepasang mata Heng San terbelalak.
"Apa katamu? Kamar hantu?" "Sstt...., jangan keras-keras bicara, siauw-ya. Dengar keteranganku, siauwya. Sudah sejak kurang lebih tiga bulan yang lalu sampai sekarang, tidak seorang pun berani tidur di kamar ini.
Tiap kali ada orang tidur di sini, pada tengah malam dia tentu diganggu hantu sehingga malam-malan dia lari keluar sambi! berteriak-teriak ketakutan. Bahkan telah ada beberapa orang tabah dan merasa jagoan bermalam di sini untuk membuktikan, akan tetapi mereka itupun berteriak-teriak dan berlari keluar pada tengah malam dan semenjak itu, tak seorangpun berani bermalam di kamar ini. Dan sekarang, orang she Leng itu memberikan kamar ini kepada siauw-ya hanya karena siauw-ya orang luar kota dan tidak tahu akan rahasia kamar hantu ini, bahkan ditambah dengan membayar uang muka lima tail. Sungguh terlalu..... terlalu sekali....."
Diam-diam Heng San mengerling dan memandang ke sekeliling dalam kamar, akan tetapi tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan.
"Hemm, harap engkau jangan main-main, paman. Benarkah apa yang kauceritakan itu?"
"Ah, saya sudah tua, siauw-ya. Untuk apa saya berbohong kepadamu?" "Mengapa orang-orang yang tidur di sini berlarian ketakutan? Apa yang mengganggu mereka?" "Macam-macam cerita mereka. Ada yang merasa dirinya diangkat orang dan tahu-tahu telah pindah di kolong tempat tidur. Ada yang melihat bayangan setan. Ada yang tahu-tahu tubuhnya terasa kaku tidak mampu bergerak untuk beberapa lamanya. Ah, macam-macamlah cerita mereka. Pokoknya mereka merasa terganggu oleh sesuatu yang mengerikan. Maka akan lebih baik bagimu kalau engkau pindah saja, siauw-ya." "Pindah ke mana, paman?" "Ke mana saja, asal tidak di dalam kamar hantu ini." "Akan tetapi, sudah kukatakan bahwa semua penginapan agaknya sudah penuh tamu." "Kalau perlu, siauw-ya boleh tidur di rumah saya, yaitu kalau siauw-ya sudi tidur di rumah gubuk yang bobrok."
Heng San memandang orang tua itu dengan senyum terima kasih dan girang. Kiranya tidak semua orang di kota ini berhati buruk, pikirnya. Pelayan miskin dan tua ini adalah seorang yang berhati baik dan bersih.
"Paman,"
Katanya dengan suara lembut dan ramah.
"Terima kasih atas kebaikanmu. Tidak, aku tidak takut. Biarlah aku mencoba pula bagaimana rasanya diganggu hantu."
Pelayan tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan memandang heran.
"Siauwya aneh, sungguh aneh sekali...
"
Dan dia mulai membersihkan kamar itu seperti diminta Heng San, kemudian dia meninggalkan pemuda itu setelah memandangnya sekali lagi dengan heran dan menggeleng kepalanya.
Heng San duduk dalam kamar itu dan untuk beberapa lamanya dia memikirkan percakapan dengan pelayan tua itu. Benarkah ada hantu di kamar ini? Dia teringat akan cerita gurunya, Pat-jiu Sinkai tentang setan dan hantu. Menurut gurunya, apa yang disebut setan atau nantu itu memang ada. Akan tetapi setan yang menampakkan diri itu tidak berbahaya. Tidak ada setan yang menampakkan diri berani atau dapat mengganggu manusia. Yang amat jahat dan teramat berbahaya adalah setan yang mengganggu manusia melalui pikirannya. Setan atau nafsu manusia sendiri. Itu amat berbahaya. Kalau setan sudah menguasai hati akal pikiran manusia, maka si manusia itu akan diseret ke dalam lumpur kesesatan dan manusia itu akan dapat melakukan segala kejahatan yang keji dan jahat. Tidak, dia tidak percaya ada hantu atau setan yang berada di kamar ini mengganggu setiap orang yang tidur di situ. Mungkin kakek pelayan tadi sudah tua dan pikun, atau mungkin dia seorang yang terlalu percaya akan tahyul.
Sebentar saja Heng San dapat melupakan segala renungan tentang setan di kamar itu dan dia teringat lagi akan keadaan dirinya. Keadaan dirinya yang letih pantas dipikirkan daripada memikirkan soal setan. Dia sudah.kehabisan uang! Bagaimana dia harus mendapatkan uang? Dan baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa orang hidup memang memerlukan uang! Agaknya tidak mungkin hidup tanpa uang! Pakaian, makanan, bahkan tempat tinggal atau tempat tidur selalu membutuhkan uang! Teringatlah dia akan ucapan suhunya kalau bercerita tentang perantauan seseorang dalam dunia kang-ouw. Perantauan seperti itu tidaklah mudah. Bukan menghadapi musuh para penjahat saja yang berbahaya. Melainkan yang lebih berbahaya lagi adalah kebutuhan akan uang. Seorang perantau akan menghadapi kesulitan besar kalau tidak pandai mencari uang untuk biaya hidupnya.
Bahkan suhunya memberi contoh dirinya sendiri. Karena tidak pandai mencari uang, dan tidak sudi melakukan pencurian atau perampokan, suhunya rela menjadi seorang pengemis, minta-minta belas kasihan orang untuk sekedar memberi uang kecil pembeli makanan! Tidur di mana saja, di emper rumah, kalau tidak diusir pemilik rumah, atau di bawah jembatan. Pakaian hanya yang menempel di badan karena tidak mampu membeli yang baru. Perut kadang kadang kelaparan karena berhari-hari tidak ada orang yang mau memberi sedekah. Hidup menjadi terlantar! Menjadi pengemis? Dia? Menjadi pencuri? Heng San menghela napas panjang. Tidak, dia tidak sudi melakukan itu. Baik menjadi pengemis tukang minta-minta, apa lagi menjadi pencuri atau perampok! Tiba-tiba Heng San berdiri dari duduknya. Tidak mungkin! Dia mendengar langkah kaki perlahan-lahan menghampiri daun pintu kamarnya.
Itukah setan yang datang hendak mengganggunya? Ah, tidak mungkin. itu suara jejak langkah seorang manusia biasa. Langkah itu berhenti di muka pintu kamarnya! Heng San memperhatikan penuh kewaspadaan, mengira bahwa setan itu akan masuk menembus pintu. Seperti bayangan, seperti yang pernah dia dengar dongeng-dongeng tentang setan yang dapat menembus apa saja.
"Tok-tok-tok!"
Pintu kamarnya diketok. Heng San bernapas lega. Jelas bukan setan.
"Siapa di luar?"
Tanyanya sambi! duduk kembali.
"Saya, siauw-ya."
Heng San tersenyum. Pelayan tua yang baik hati itu.
"Masuklah, paman. Daun pintunya tidak terkunci"
Katanya. Daun pintu didorong dari luar dan pelayan tua itu masuk. Dia memandang ke sekeliling kamar, mukanya agak pucat dan sikapnya seperti orang tegang, lalu dia menghela napas panjang, lega.
"Sukurlah, siauw-ya tidak apa-apa."
Heng San tersenyum.
"Terima kasih, paman. Aku tidak apa-apa. Tidak ada hantu di sini." "Akan tetapi sekarang belum tengah malam, siauw-ya. Maukah engkau keluar dari kamar dan duduk di ruang tengah, bercakap-cakap dengan saya? Kebetulan saya bertugas jaga malam ini."
Sebetulnya dia tidak ingin mengobrol, akan tetapi Heng San tidak tega menolak melihat keramahan pelayan tua itu dan dia lalu keluar dan duduk di ruang tengah bersamanya. Pelayan tua itu banyak bercerita dan Heng San mendengarkan dengan hati tertarik, terutama tentang perayaan gotong toapekong (patung yang dipuja dalam kelenteng) itu.
"Telah beberapa lamanya di kota ini terjangkit penyakit aneh dan pencurian-pencurian yang aneh pula. Orang-orang menganggap bahwa hal itu merupakan gangguan roh jahat, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk menggotong patung Kwan-te-kong keluar dari kelentengnya dan diarak putar-putar kota untuk mengusir roh jahat yang mengganggu penduduk kota."
"Penyakit aneh yang bagaimanakah, paman?"
Tanya Heng San yang merasa heran mendengar bahwa kota ini agaknya kaya akan cerita tentang segala macam roh jahat dan hantu yang mengganggu manusia.
"Selama beberapa bulan ini, hampir setiap malam tentu ada rumah yang diganggu. Tahu-tahu sejumlah uang emas dan perak lenyap tanpa meninggalkan bekas. Tuan atau nyonya rumahnya tiba-tiba saja menderita penyakit kaku-kaku dan gagu untuk beberapa lamanya. Kalau mereka sudah dapat bicara dan ditanya, mereka tidak tahu apa-apa, hanya mengatakan bahwa pada waktu tengah malam mereka terbangun dari tidur dalam keadaan kaku tidak mampu bergerak dan tidak mampu bicara. Kalau bukan setan atau roh jahat yang melakukan hal itu, habis siapa lagi?"
Heng San menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Mana ada setan yang doyan uang perak dan. emas, paman?" "Engkau tidak tahu, siauw-ya.
Pernahkah engkau mendengar orang-orang yang kaya mendadak tanpa bekerja?" "Kaya mendadak tanpa bekerja?" "Ya, orang-orang yang tanpa bekerja sesuatu tiba-tiba saja menjadi kayaraya. Nah, mereka inilah merupakan orang-orang yang memelihara roh jahat. Dengan menjual rohnya kepada roh-roh jahat itu, mereka dapat memerintah roh jahat untuk mencuri uang." "Menjual roh kepada setan? Bagaimana maksudnya, paman?"
Heng San benarbenar tertarik karena selama hidupnya memang belum pernah dia mendengar akan hal aneh semacam itu.
"Begini, siauw-ya. Orang yang memelihara roh jahat itu telah berjanji bahwa kelak setelah dia mati diapun akan menjadi seperti roh-roh jahat itu. Menjadi setan pula. Tapi sebelum mati dia dapat hidup kaya raya tanpa bekerja."
Heng San menghela napas panjang.
Dia tidak dapat percaya begitu saja akan obrolan macam itu. Akan tetapi untuk menyatakan ketidak-percayaannya dia merasa sungkan dan tidak tega. Pula, tidak akan mudah membantah orangorang yang sudah terlalu percaya akan tahyul. Dia lalu menyatakan hendak tidur karena sudah mengantuk.
"Selamat tidur, siauw-ya. Jangan lupa, kalau ada apa-apa berteriaklah. Aku akan membantumu kalau hantu jahat itu mengganggumu karena engkau adalah orang yang baik."
Heng San tersenyum geli.
"Terima kasih, paman."
Dia memasuki kamarnya dan hanya menutup daun pintu, Lalu duduk termenung melanjutkan renungannya tentang keadaan dirinya, tidak lagi memikirkan setan atau roh jahat. Dia membayangkan dirinya yang benar-benar telah kehabisan uang dan apa selanjutnya yang akan dilakukannya. Teringatlah dia akan kata-kata gurunya sebelum dia meninggalkan rumah. Gurunya pernah mengatakan bahwa kalau dia menuruti kemauan ayahnya, menjadi ahli pengobatan, membuka toko obat, tentu dia tidak akan pernah kekurangan uang.
Uang! Dari mana akan didapatnya? Tiba-tiba saja dia teringat akan cerita pelayan penginapan itu. Orang-orang miskin tiba-tiba menjadi kaya raya tanpa bekerja! Ah, pikirannya lalu menghubungkan dengan lenyapnya uang emas dan perak dari rumah-rumah orang kaya yang tiba-tiba menjadi kaku dan gagu. Karena perbuatan setan? Roh jahat? Sudah pasti bukan! Itu tentu perbuatan manusia juga! Dia teringat. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang menamakan diri mereka maling-maling budiman, yaitu mereka yang menggunakan kepandaiannya untuk mencuri uang dari rumah orang-orang kaya dan hasil curiannya itu sebagian diberikan kepada orang-orang miskin! Roh jahat yang mengganggu kota Leng-koan itu pastilah sebangsa maling budiman itu! Dan kalau pengganggu keamanan itu seorang maling, berarti seorang manusia, dia tidak boleh tinggal diam.
Dia mungkin dapat menangkapnya untuk menghindarkan penduduk kota ini dari gangguannya. Setelah berpikir demikian, Heng San lalu merapikan bajunya dan membuka daun jendela kamarnya yang menembus ke pekarangan samping lalu melompat keluar dari dari jendela, menutupkan lagi daun jendelanya dan cepat dia melompat ke atas genteng, lalu melakukan perjalanan melalui wuwungan rumah-rumah besa. Ketika tiba di tiba di sebuah wuwungan yang tinggi, dia teringat bahwa wuwungan itu adalah wuwungan tumsh merangkap toko obat yang pemiliknya melakukan penghinaan terhadap dirinya siang tadi. Tiba-tiba dia menyelinap dan bersembunyi di balik tembok penutup wuwungan dan mengintai. Sinar bulan tua cukup memberi penerangan remang-remang. Tadi dia melihat bayangan berkelebat di a tas rumah depan. Cepat dia bersembunyi dan mengintai. Jantungnya berdebar melihat sosok bayangan itu juga melompat ke wuwungan rumah obat.
Gerakannya gesit bukan main dan kedua kakinya tidak menimbulkan suara sedikitpun ketika kedua kakinya menginjak genting. Seorang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup tinggi. Sejenak bayangan itu celingukan, memandang ke kanan kiri, kemudian tubuhnya melayang ke bawah. Heng San cepa t keluar dar i balik wuwungan dan dengan gerakan yang disebut Lo-wan-teng-ki (Monyet Tua Meloncati Cabang) dia melompat turun, berjungkir balik dan kedua kakinya telah mengait sebatang balok yang melintang. Dari tempat gelap ini dia dapat memandang ke sekeliling rumah itu di bawah. Dia melihat bayangan itu menghampiri sebuah jendela, meraba-raba jendela dan sebentar saja jendela telah terbuka tanpa mengeluarkan suara. Bayangan itu lalu melompat ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka. Heng San cepat melayang turun dan mengintai dari balik jendela yang terbuka.
Biarpuan dia merasa tidak suka kepada pemilik toko obat yang sombong itu, namun dia tetap saja hendak mencegah kalau pencuri itu hendak mengganggu atau membunuhnya. Heng San melihat bayangan itu menyingkap kelambu dan dalam keremangan dia melihat seorang laki-laki yang bukan lain adalah pemilik rumah obat itu rebah di samping seorang wanita yang mungkin isterinya. Heng San sudah siap dengan sebuah batu kecil yang tadi diambilnya ketika dia turun. Dia siap menyambitkan batu kalau maling itu hendak melakukan pembunuhan. Akan tetapi bayangan itu tidak mencabut pedang yang berada di punggungnya, melainkan menggerakkan jari tangannya menotok dua orang yang sedang tidur itu. Heng San maklum dari gerakan tangan itu bahwa yang ditotok adalah jalan darah yang membuat kedua orang lelaki dan perempuan itu tak mampu bergerak atau berteriak dan menjadi kaku dan gagu.
Kemudian maling itu membongkar peti dan mengeluarkan sebuah kantong yang. nampaknya berat. Ketika tali kantung dibuka, di. bawah sinar lampu gantung tampak bahwa isinya uang emas dan perak yang berkilauan. Setelah mengikat lagi mulut kantung, bayangan itu lalu melompat keluar dari jendela dengan cepat. Heng San sudah siap dan telah mendahului melompat ke atas wuwungan. Hatinya merasa girang karena tanpa disangka-sangka dia telah menemukan orang yang selama ini mengganggu ketenteraman penduduk kota itu. Kiranya orang inilah yang disangka roh jahat, yang membuat orang-orang menderita penyakit aneh, tubuhnya kaku dan gagu! Dan orang ini pula yang dianggap roh jahat yang dipelihara orang yang mencari pesugihan. Ketika bayangan itu melompat ke atas genteng, tiba-tiba dia merasa ada angin menyambar.
Ia cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu kantung uang yang dipanggulnya telah tertarik dan pindah tangan! Ia mengeluarkan jerit lirih dan memandang ke depan. Seorang pemuda dengan senyum mengejek berdiri di depannya dan kantung uang itu telah berada di tangan pemuda itu. Di lain pihak Heng San menjadi terkejut dan heran. Bayangan itu ternyata adalah seorang pemuda yang bertubuh kedl ramping dan wajahnya tampan sekali. Ketika bayangan itu tadi menjerit lirih, keheranan Heng San bertambah karena dia tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang wanita muda yang menyamar sebagai laki-lakil "Eh....oh...! Jadi... roh jahat itu engkaukah?"
Tanyanya dengan heran. Gadis - cantik berpakaian pria itu menjadi merah mukanya dan cepat ia mencabut pedang panjang tipis yang terselip di sarung pedang yang diikat di punggungnya.
Pedang itu beronce merah dan merupakan sebuah pedang yang indah, juga mengkilap saking tajamnya tertimpa- sinar bulan.
Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo