Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Halilintar 4


Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Saudara-saudara, tahan dan berhenti menyerang!"

   Akan tetapi mana dia mampu menahan arnukan para perajurit yang sudah keranjingan itu. Mayat para anggauta gerornbolan berjatuhan, banjir darah. di tempat itu dan akhirnya, lebih dari separuh jumlah gerombolan itu roboh tewas dan selebihnya lalu melarikan diri cerai berai ke dalam hutan lebat.

   Ketika para perajurit Garuda Sakti hendak melakukan pengejaran, Heng San berteriak lantang, mengerahkan tenaga saktinya.

   "Berhenti, jangan dikejar!"

   Semua orang berhenti dan Heng San berkata kepada dua orang rekannya, didengar pula oleh selosin perajurit yang tidak ada yang cedera parah itu.

   "Kita tidak mengenal hutan lebat ini, jangan kejar, kita dapat saja terjebak. Dua orang pimpinan mereka telah tewas dan sebagian besar merekapun sudah terbasmi, tentu sisanya tidak akan berani lagi mernbuat kekacauan. Kita kernbali ke Keng-koan!"

   Kepala daerah kota Bun-koan yang sudah rnendengar akan hasil baik pasukan Garuda Sakti menumpas gerombolan, menyambut dengan penuh penghormatan. Segera kepala daerah itu mengadakan pesta pora menyambut kemenangan pasukan itu di rumah yang disediakan untuk tempat bermalam mereka.

   Akan tetapi, sejak keluar dari hutan, wajah Heng San tidak gernbira seperti kedua orang rekan dan anak buah pasukan. Wajah pemuda itu muram. Diam-diam dia merasa menyesal, bersedih dan menyayangkan bahwa dalam pertempuran itu pasukannya melakukan pembunuhan terhadap dua puluh orang lebih anak buah gerombolan. Memang benar, ada kebanggaan dalam hatinya bahwa dia telah melaksanakan tugas pertama itu dengan hasil baik. Gerombolan perampok yang suka mengganggu kehidupan rakyat telah dapat dibasminya, berarti dia sudah berjasa terhadap negara dan bangsa, telah menentang kejahatan dan melindungi yang lemah tertindas, yang di ganggu keamanan hidupnya, sesuai dengan watak pendekar seperti yang diceriterakan gurunya. Akan tetapi dia merasa sedih memikirkan bahwa orang-orang yang dibunuh itu bukan lain adalah bangsanya sendiri.

   Kini dia melihat penyambutan kepala daerah kota Bun-koan yang demikian hangat dan hormatnya, diam-diam dia merasa amat muak karena mengingat betapa pembesar itu berusaha menyuaonya dengan emas. Ingin dia mendamprat dan mencaci, akan tetapi Ban Hok dan Ouw-yang Sin, dua orang rekannya, mencegah dan menyabarkan hatinya. Dia hanya menyembunyikan diri dalam kamar, tidak mau ikut berpesta, membiarkan anak buah pasukan Garuda Sakti bersenang-senang menikmati pesta perayaan kemenangan yang diadakan untuk mereka. Di dalam kamarnya, Heng San selalu membayangkan para perampok yang telah terbunuh. Terutama sekali dia tidak dapat melupakan dua orang pimpinan gerombolan yang dengan gagah dan gigihnya melakukan perlawanan. Pada kesokan harinya Heng San mengajak pasukannya pagi-pagi meninggalkan kota itu untuk kembali ke Kengkoan.

   Pasukan Garuda Sakti yang hanya terdiri dari lima belas orang berikut pimpinan mereka itu menjalankan kuda mereka berbaris rapi dan gagah. Wajah mereka, kecuali Heng San yang dudukBukan hanya karena mereka telah melaksanakan tugas dengan baik dan berhasil sehingga tentu akan mendapat pujian dari Thio-ciangkun, akan tetapi terutama karena di luar tahu Heng San, saku mereka telah dipenuhi emas dan perak oleh kepala daerah kota Ban-koan! Seperti telah mereka duga dan harapkan, kedatangan pasukan kecil ini disambut oleh Panglima Thio Ci Gan sendiri dengan wajah berseri dan mulut tersenyum gembira.

   "Lauw-sicu tentu lelah. Kami merasa girang sekali mendengar betapa engkau telah melaksanakan tugasmu dengan oaik sekall. Gerombolan dapat ditumpas dan tak seorangpun perajurit kita tewas. Silakan duduk, sicu."

   Heng San diajak duduk di ruangan dalam dan dijamu minuman bersama Ban Hok dan Ouwyang Sin, sedangkan selosin perajurit Garuda Sakti diperkenankan mengaso dan minum-minum di ruangan beiakang. Setelah mereka minum-minum, Thio-ciangkun bertanya tentang pelaksanaan tugas pertarna rnereka, Heng San rnenceritakan dengan sederhana bahwa gerombolan perarnpok telah dapat dibasrni, dua orang pirnpinan rnereka telah tewas. Keterangan Heng San yang sederhana itu sering diganggu Ban Hok dan Ouwyang Sin yang dengan getol rnenceritakan jalannya pertempuran dengan nada bangga dan. menonjolkan jasa-jasa mereka. Thio-ciangkun menghela napas panjang dan berkata.

   "Kalian bertiga dan pasukan kalian memang hebat dan jasa kalian besar. Hanya agak kusayangkan bahwa masih ada sisa anak buah gerombolan penjahat yang sempat melo1oskan diri dan tidak semuanya dapat dibunuh.

   Penjahat-penjahat macam itu kalau dapat lolos, tidak urung tentu akan membentuk gerombolan lain dan mengacau kembali di lain tempat." "Sisa mereka meiarikan diri ke daiam hutan. Karena saya tidak mengenal daerah hutan lebat itu, saya meiarang para perajurit melakukan pengejaran karena ada bahayanya kami dijebak mereka dan jatuh korban, ciangkun."

   Kata Heng San.

   "Sudahlah, mungkin tindakanmu itu ada benarnya juga. Biarlah sedikit anak buah gerombolan itu meloloskan diri, hal itu tidak berapa penting. Sekarang ada persoalan yang jauh lebih penting dan berbahaya daripada itu. Lui-sicu sudah kusuruh melakukan penyelidikan teliti akan hal itu. Kami memang sengaja menanti kalian kembali baru akan bertindak, karena sekali ini kita menghadapi lawan-lawan berat."

   Thio-ciangkun bicara dengan sikap sungguh-sungguh sehingga Heng San menjadi tertarik sekali. Mendengar ucapan ini, Ban Hok si jagoan tinggi besar yang wataknya memang congkak segera berkata.

   "Ada persoalan penting apakah, Thiociangkun? Harap ciangkun jangan khawatir. Sekarang pasukan istimewa Garuda Sakti telah kembali dan segala macam rintangan pasti akan dapat kami hancurkan!"

   Thio-ciangkun mengangguk-angguk senang mendengar ucapan yang terdengar gagah ini, akan tetapi diam-diam Heng San mencela kesombongan rekannya, namun dia diam saja. Thio-ciangkun yang cerdik dapat melihat kerut tak suka pada kening Heng San, maka diapun segera bertanya.

   "Lauw-sicu, bagaimana pendapatrnu dengan ucapan Ban-sicu tadi?"

   Heng San tersenyum dan menjawab tenang.

   "Ban-toako terlalu takabur. Sebelum melihat kekuatan lawan, bagaimana kita dapat memandang rendah? Akan tetapi sebenarnya apakah yang terjadi dan apakah persoalan yang amat penting dan berbahaya itu, ciangkun? Tentu saja sudah menjadi kewajiban kami untuk menanggulanginya." "Mari kalian bertiga ikut aku ke dalam.

   Pasukan Garuda Sakti diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing untuk mengaso."

   Kata Panglima Thio Ci Gan. Dua belas orang perajurit pilihan yang menjadi anggauta pasukan Garuda Sakti itu memang tinggal di luar gedung sang panglima, mernpunyai rumah masing-masing. Akan tetapi empat orang jagoan itu mendapatkan kamar di dalam gedung sang panglima. Setelah Thio-ciangkun, Ban Hok, Ouw-yang Sin, dan Heng San duduk di ruangan rahasia yang biasa mereka pergunakan untuk rapat, muncullah Si Harimau Muka Kuning Lui Tiong. Terlebih dulu Lui Tiong memberi salam dan memberi selamat kepada tiga orang rekannya yang telah berhasil menunaikan tugas dengan baik. Thio-ciangkun mempersilakan Lui Tiong duduk dan Lui Tiong segera memberi laporan dengan wajah serius.

   "Sekarang saya merasa yakin bahwa mereka itu mengadakan kontak hubungan dengan kaki tangan pemberontak yang bersembunyi di kota ini, ciangkun."

   Thio-ciangkun mengangguk-angguk, ke mudian sambil memandang kepada tiga 0rang jagoannya yang lain, dia berkata kepada Lui Tiong.

   "Lui-sicu, sekarang setelah Lauw-sicu, Ban-sicu dan Ouwyang-sicu sudah kembali, kekuatan kita menjadi lengkap. Maka, sebelum kita merundingkan dan merencanakan tindak lanjut, lebih baik engkau menceritakan dulu semua persoalan itu kepada mereka bertiga."

   Lui Tiong lalu bercerita dan Heng San mendengarkan hal-hal yang baru dan asing baginya, akan tetapi yang membuat dia bertekad untuk membantu perjuangan Thio-ciangkun yang dalam pandangannya adalah seorang pejabat militer yang bijaksana, baik hati dan gagah perkasa. Menurut cerita Lui Tiong, pada bulan terakhir ini banyak sekali terdapat gerakan-gerakan para perusuh atau pemberontak yang memberontak dan merebut kekuasaan alat-alat pemerintah dengan tujuan merampok dan menguasai kota demi kepentingan para gerombolan penjahat itu sendiri.

   Banyak sudah gerombolan pernberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw (sungai telaga) dan bu-lim (rimba persilatan) yang dapat ditumpas dan dibubarkan oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi masih saja mereka bermunculan dengan sembunyi-sembunyi.

   "Karena gawatnya keadaan di daerah Keng-koan ini, maka Sribaginda Kaisar sendiri mengutus dan memberi tugas kepada kami untuk memimpin pasukan di Keng-koan dan membasmi para pemberontak itu sampai habis!"

   Kata Thio-ciangkun penuh semangat.

   "Beberapa hari yang lalu,"

   Lui Tiong melanjutkan penuturannya yang dipotong oleh ucapan Thio-ciangkun tadi.

   "di kota ini muncul serombongan penari silat yang membuka pertunjukan. Mereka terdiri dari seorang laki-laki setengah tua, dua orang pemuda yang menjadi muridnya, dan seorang gadis muda dan cantik, yang diperkenalkan sebagai puterinya.

   Mereka itu sungguh menarik perhatian dan mencurigakan sekali dan Thio-ciangkun sudah memerintahkan agar aku melakukan penyelidikan dengan teliti terhadap mereka." "Aah, Lui-toako, apa sih anehnya serombongan penari silat yang hanya terdiri dari empat orang.? Banyak rombongan penari silat yang menjual obat luka dan koyo (obat tempel), mereka adalah orang-orang yang tidak perlu dikhawatirkan."

   Kata Ouwyang Sin dengan suara memandang rendah. Jangan beranggapan begitu, Ouwyang-te (adik Ouwyang). Mereka itu jauh berbeda dari rombongan penari silat biasa yang suka mengadakan pertunjukan di pasar-pasar. Aku sudah menyaksikan sendiri ketika mereka mempertunjukkan kemahiran mereka bersilat. Bukan sekedar tarian silat, melainkan gerakan silat yang sungguh tangguh, terutama sekali gerakan sang pemimpin rombongan dan gadisnya yang cantik."

   "Hemm, sampai di manakah kehebatan mereka?"

   Ban Hok juga berkata meremehkan.

   "Aku telah menyelidiki mereka pada malam hari dengan mendatangi tempat mereka bermalam. Biarpun aku sudah mempergunakan. kepandaianku, mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), namun agaknya mereka dapat mendengar langkah kakiku dan hampir saja aku menjadi korban sambaran piauw {senjata rahasia} yang menyambar cepat. Untung aku memang sudah curiga dan berhati-hati sehingga aku dapat menghindarkan diri dan pergi sebelum ketahuan mereka."

   Heng San merasa tertarik sekali.

   "Di manakah tempat mereka bermalam?" "Di dalam kelenteng Hok-man-tong di luar kota sebelah selatan itu." "Bagaimana engkau tahu bahwa rombongan penari itu mempunyai hubungan dengan mata-mata pemberontak yang bersembunyi di kota ini seperti yang kau ceritakan tadi, Lui-toako?"

   Heng San bertanya.

   "Ada buktinya yang amat kuat."

   Lui Tiong bercerita.

   "Dan ini menjadi laporan saya pula kepada Thio-ciangkun. Begini, ciangkun, kemarin saya menyusup di antara penonton untuk melihat dan menyelidiki rombongan penari silat itu dengan seksama. Mereka memang menawarkan obat-obat kuat, koyo dan obat luka lainnya seperti kebiasaan penari silat lainnya yang menjual obat, walaupun kesibukan ini mereka lakukan sambil lalu saja dan tanpa semangat. Kemudian gadis puteri kepala rombongan itu menari silat pedang. Akan tetapi, saya melihat kenyataan yang luar biasa. Dalam tarian itu terkandung inti ilmu silat pedang yang luar biasa dan saya mengenalnya sebagai Sian-li Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bidadari)! Kemudian mereka semua memperlihatkan tarian silat. Dua orang pemuda yang menjadi murid itu juga memiliki gerakan cepat dan bertenaga, namun tingkat mereka itu tidaklah terlalu tinggi.

   Kepala rombongan itulah yang amat lihai dan sambaran pukulan dari tangannya jelas mengandung tenaga sakti yang kuat. Jadi, kepandaian kepala rombongan dan puterinya itulah yang patut diperhatikan. Kemudian, tiba-tiba terdengar pujian orang dan tampak seorang pengemis tua berlompatan ke dalam lingkaran. Dia berjungkir balik dan seolah-olah meniru gerakan silat yang tadi dipertontonkan, sambi! berkata-kata kacau balau. Semua orang tertawa dan menganggap dia itu seorang pengemis gila. Ucapannya hampir tidak ada artinya, akan tetapi saya memperhatikan semua ucapannya dan ada beberapa kata-kata terselip dalam ucapan kacau balau itu. Saya mendengar ada terselip kata-kata Garuda Sakti, dan pesan agar berhati-hati karena sedang diselidiki! Kemudian, tiba-tiba dia melompat keluar sambil berjungkir balik dan pergi diikuti sorak dan tawa penonton.

   Saya cepat menyelinap keluar dan mencoba untuk mengikutinya. Akan tetapi, pengemis tua itu telah lenyap tanpa meninggalkan jejak! Nah, karena itulah, Thio-ciangkun, saya merasa yakin bahwa rornbongan penari silat. itu memiliki hubungan dengan pihak pemberontak dan mungkin pengemis tua itu adalah seorang mata-mata pemberontak yang lihai sekali."

   Lui Tiong mengakhiri laporannya. Heng San dan yang lain-lain mendengarkan dengan hati tertarik sekali. Thio-ciangkun mengerutkan alisnya. dan bertanya.

   "Apakah engkau mendapatkan bukti lain yang lebih meyakinkan, Lui-sicu?" "Ada bukti yang jelas, ciangkun. Semalam saya berhasil melakukan pengintaian tanpa mereka ketahui. Saya tidak berani mengambil jalan dari atas genteng. Saya menggunakan kekerasan dan mengancam seorang hwesio kelenteng Hok-man-tong. Hwesio itu menyembunyikan saya dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan kamar rombongan penari silat itu.

   Setelah menunggu sampai lama, akhirnya mereka berempat memasuki kamar itu dan dari percakapan mereka itu saya tahu bahwa mereka sudah mencatat nama kita. Bahkan nama-nama para anggauta Garuda Sakti mereka ketahui, demikian pula tempat tinggal kawan-kawan yang tinggal di luar. Kemudian mereka bicara tentang pengemis tua gila itu yang ternyata adalah susiok (paman guru) dari pemimpin rombongan itu." "Hemm, kalau begitu jelas mereka adalah mata-mata dari para pemberontak. Apakah logat bicara mereka berlidah selatan?"

   Tanya Thio-ciangkun. Lui Tiong mengangguk.

   "Jelas bahwa mereka memang orang-orang selatan, ciangkun."

   Kata-kata ini membuat sang panglima mengepal tinju kanannya.

   "Kalau begitu mereka tentu anak buah si pemberontak Lo Hai Cin. Orang-orang selatan ini memiliki kepandaian tinggi, oleh karena itu kuminta kalian semua berhati-hati.

   Ban-sicu, sekarang juga kumpulkan semua anggauta Pasukan Garuda Sakti dan mulai malam ini mereka harus melakukan penjagaan ketat di sini, penjagaan dipimpin Ban-sicu dan Ouwyang-sicu. Sedangkan engkau, Lauw-sicu dan Lui-sicu, kalian berdua kuberi tugas untuk menangkap empat orang mata-mata itu. Boleh membawa beberapa orang teman. Aku minta semua perintah ini dilaksanakan dengan baik!"

   Setelah berkata demikian, Thio-ciangkun memberi isarat agar pertemuan itu bubar dan semua pembantunya melaksanakan tugas masing-masing. Ban Hok dan Ouwyang Sin segera pergi memanggil para anggauta Garuda Sakti yang duabelas orang banyaknya, sedangkan Lui Tiong dan Heng San membuat persiapan di luar gedung.

   "Lui-toako, engkaulah yang lebih mengetahui akan keadaan para mata-mata pemberontak itu, karena itu sebaiknya kalau engkau yang memimpin penangkapan ini.

   "

   Kata Heng San dan sikap pemuda ini menyenangkan hati Lui Tiong.

   Sudah jelas bahwa kini kedudukan jagoan nomor satu jatuh kepada Heng San, akan tetapi pemuda itu tidak menonjolkan kedudukannya itu sehingga Lui Tiong yang tergeser kedudukannya tidak merasa sakit hati karena sikap Heng San yang tetap menghormatinya dan tidak menganggap dia sebagai bawahan yang lebih rendah tingkatnya.

   "Baiklah, Lauw-te. Rombongan penari silat itu hanya berempat, dan yang perlu kita hadapi berdua hanya sang ayah dan puterinya itu. Untuk menangkap dua orang muridnya, kukira cukup kalau kita dibantu Kam Seng dan Kam Eng berdua saja. Kepandaian mereka cukup tinggi." "Terserah kepadamu, Lui-toako. Akan tetapi sebenarnya siapakah mereka itu? Mengapa begitu ditakuti, menimbulkan kekhawatiran Thio-ciangkun?"

   Tanya Heng San.

   "Yang dapat kuketahui hanya bahwa pemimpin rombongan penari silat itu adalah seorang bekas guru silat di daerah selatan yang terkenal dengan julukan Lam-Liong (Naga Selatan).

   Menurut penyelidikan orang-orangku, dia mengaku she Lim, akan tetapi sebenarnya dia adalah seorang she (marga) Ma. Gadis itu adalah puterinya dan kedua orang pemuda itu murid-muridnya. Melihat gerakan mereka ketika mendemonstrasikan tarian silat, agaknya yang merupakan lawan berat hanyalah si ayah dan puterinya itu. Kedua orang muridnya boleh kita serahkan kepada kedua kakak beradik Kam. Nah, marilah kita berangkat."

   Kata Lui Tiong setelah Kam Seng dan Kam Eng, dua orang jagoan pembantu Thio-ciangkun yang berusia tigapuluh dan tigapuluh tiga tahun. Dua orang saudara she Kam ini merupakan jago-jago silat yang cukup lihai dengan permainan silat siang-kiam (sepasang pedang). Malam mulai menyelimuti bumi ketika empat orang jagoan dari Thio-ciangkun ini berangkat menuju ke kelenteng Hok-man-tong yang berada di luar kota Keng-koan. Di tengah perjalanan itu, Lui Tiong bertanya kepada Heng San.

   "Lauw-sicu, mana senjatamu?"

   Heng San tersenyum dan menggerakkan pundaknya.

   "Aku tidak mempunyai senjata, Lui-toako." "Ah, kalau begitu, pakailah pedangku ini. Aku akan mencari senjata lain." "Terima kasih, Lui-toako. Terus terang saja, aku tidak pernah mempelajari ilmu silat pedang. Aku hanya mengandalkan kedua kaki tanganku saja."

   Lui Tiong terheran.

   "Ah, engkau gegabah sekali, siauw-te."

   Di dalam hatinya, Lui Tiong sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman tidak percaya akan keterangan pemuda itu. Mana ada seorang ahli silat yang kepandaiannya sudah setinggi tingkat Heng San, mengaku sama sekali tidak pandai memainkan senjata? Tentu pemuda ini mempunyai ketinggian hati dan ingin mempertahankan julukannya sebagai Kepalan Sakti Tanpa Tanding! Ketika mereka sampai di depan kelenteng, Lui Tiong mengetuk daun pintu kelenteng yang tebal dan sudah tertutup. Seorang hwesio penjaga membuka daun pintu. Melihat empat orang yang pakaiannya gagah bergambar sekor burung garuda dan sikap mereka penuh wibawa, hwesio itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada.

   Dia sudah mendengar nama besar Pasukan Garuda Sakti yang terkenal, maka tergopoh-gopoh dia menanyakan keperluan mereka.

   "Di mana adanya para tamu kelenteng empat orang penari silat itu? Hayo katakan dan jangan berbohong!"

   Kata Lui Tiong.

   "Pin-ceng (aku) tidak berani berbohong, ciangkun (perwira). Baru saja mereka tadi masuk dan kini tentu mereka berada di dalam kamar mereka, di bagian belakang." "Suruh mereka keluar dan menyerah kepada kami. Jangan membawa senjata atau kami terpaksa akan bertindak keras"

   Bentak Lui Tiong.

   "Omitohud..., baik, ciangkun""

   Hwesio itu berlari masuk dengan sikap ketakutan.

   "Lauw-te, engkau dan Kam Seng jagalah di atas menghadang kalau mereka melarikan diri. Aku dan Kam Eng menunggu mereka di sini."

   Kata Lui Tiong kepada Heng San. Heng San mengangguk, lalu memberi isarat kepada Kam Seng. Mereka berdua melompat ke atas genteng dengan gerakan tangkas sekali.

   Untuk beberapa saat lamanya, Lui Tiong dan Kam Eng yang berjaga di luar tidak melihat hwesio tadi keluar lagi. Lui Tiong sudah menjadi tidak sabar dan hendak menyerbu masuk. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring dari dalam kelenteng.

   "Haii! Para anggauta Garuda Sakti! Anjing-anjing pengkhianat dan penjilat kaisar! Kalau memang berkepandaian, tunggulah kami di luar!" "Jahanam gerombolan penjahat dan pemberontak tak tahu malu! Keluarlah kalian!"

   Lui Tiong balas memaki dengan marah dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Kam Eng yang berdiri di sampingnya juga sudah menggunakan kedua tangan mencabut sepasang pedangnya yang tipis dan tajam. Tiba-tiba dari dalam kelenteng tampak sinar menyambar ke arah Lui Tiong, disusuli berkelebatnya sesosok bayangan yang berseru.

   "Bangsat, makan piauwku!"

   Lui Tiong menggunakan pedangnya menangkis senjata rahasia piauw yang runcing itu.

   "Tranggg....!"

   Senjata rahasia piauw yang disambitkan itu terpental. Akan tetapi bayangan yang ternyata seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun itu sudah menggunakan sebatang pedang untuk menyerang Lui Tiong. Serangannya cepat dan kuat sekali, langsung menusuk ke arah dada Lui Tiong yang tahu bahwa pimpinan rombongan penari silat itu lihai sekali, cepat mengelak ke samping lalu mengelebatkan pedangnya membacok ke arah perut lawan. Namun, lawannya juga dapat bergerak dengan gesit sekali. Dengan lompatan ke samping, serangan dari Tiong itupun dapat ditangkisnya dari samping.

   "Tranggg..!"

   Dua pedang bertemu dan keduanya terkejut mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga masing-masing. Segera perkelahian dilanjutkan dengan seru, di bawah sinar lampu yang tergantung di de pan pintu kelenteng. Sementara itu, Kam Eng juga sudah bertanding dengan seorang pemuda yang menjadi murid kepala rombongan penari silat itu.

   Ternyata tingkat kepandaian merekapun seimbang. Kam Eng memainkan siang-kiam di kedua tangannya dan pemuda itupun memainkan sebatang pedang yang bergerak cepat. Terdengar bunyi berdentingan berulang kali disusul berpijarnya bunga api ketika pedang- pedang itu saling bertemu di udara. Perhitungan Lui Tiong memang tepat. Rombongan penari silat yang terdiri dari empat orang itu juga membagi rombongan menjadi dua. Ketika Heng San dan Kam Seng menjaga di atas genteng, hanya diterangi sinar bulan yang remang-remang, tiba-tiba tampak dua bayangan berkelebat di atas genteng. Begitu dua bayangan itu muncul, Heng San dan Kam Seng segera melompat dan menghadangnya. Tiba-tiba dua sosok bayangan itu menggerakkan tangan dan tampak benda hitam meluncur, menyambar ke arah Heng San dan Kam Seng.

   "Awas senjata rahasia!"

   Teriak Heng San dan dia sudah menggunakan kedua tangan untuk menyambut. Dia berhasil menangkap empat buah peluru besi yang disambitkan dan Kam Seng juga berhasil menyampok dua butir peluru besi yang jatuh berkerontangan di atas genteng. Heng San membuang empat butir peluru itu dan kini dia bersama Kam Seng sudah melompat ke depan dua orang yang hendak melarikan diri itu. Setelah berhadapan dengan dua orang itu, Heng San melihat bahwa mereka adalah seorang gadis dan seorang pemuda. Ketika itu, sinar bulan menimpa wajah gadis itu dan Heng San terbelalak memandang dengan terheran-heran ketika dia mengenal wajah jelita itu yang bukan lain adalah Tit-Ie Li-hiap (Pendekar Wanita dari Tit-Ie) Ma Hong Lian! Gadis yang pernah bertanding dengan dia di atas genteng pemilik toko obat di Leng-koan, gadis yang menjadi roh jahat yang ternyata seorang pencuri itu!

   Sementara itu, pemuda yang keluar bersama Hong Lian, yaitu murid pimpinan rombongan penari silat yang seorang lagi, sudah cepat menyerang Kam Seng dengan pedangnya. Kam Seng menyambut dengan tangkisan dan serangan balik dengan sepasang pedang di kedua tangannya, terjadilah perkelahian pedang antara kedua orang itu. Adapun Hong Lian, ketika berhadapan dengan Heng San, juga segera dapat mengenal pemuda itu walaupun cuaca hanya remang oleh sinar bulan. Sejenak dia menjadi bengong dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata.

   "Eh, engkaukah ini, nona? Dahulu engkau menjadi roh jahat, sekarang engkau memegang peran sebagai apa pula?"

   Tanya Heng San lirih agar jangan terdengar oleh Kam Seng yang sedang bertanding. Gadis itu memandang kepadanya dengan mata berapi saking marahnya dan bibir yang mungil dan merah itu tersenyum menghina.

   "Sudah kusangka bahwa engkau bukanlah manusia baik-baik. Ternyata sekarang bahwa engkau adalah seorang manusia yang lebih rendah daripada apa yang kusangka semula!" "Nanti dulu, nona! Apa kesalahanku maka engkau datang-datang memaki aku sesuka hatimu?"

   Heng San merasa penasaran dan heran sekali melihat betapa marah dan bencinya gadis itu kepadanya. Pada hal menurut pendapatnya, dialah yang sepatutnya menegur gadis itu. Dulu menjadi pengganggu penduduk Leng-koan dan sekarang malah menjadi mata-mata pemberontak! "Tak usah banyak cerewet! Malam ini kalau bukan aku, tentu engkau yang akan mati di sini"

   Setelah berkata demikian, pedangnya sudah menyambar dengan sebuah serangan tusukan yang amat ganas ke arah dada Heng San. Heng San cepat mengelak dan untuk kedua kalinya dia melayani gadis itu bertanding dengan menggunakan tangan kosong.

   Akan tetapi dia hanya selalu menangkis dari samping dengan kedua tangan yang sudah dilindungi ilmu kebal Tiat-pou-san sehingga kedua tangannya tak dapat terluka oleh pedang itu, dan diapun mengerahkan ginkang untuk menghindarkan sinar pedang yang menyambar-nyambar dengan amat ganasnya. Tubuhnya seakan berubah menjadi bayang-bayang yang amat sukar dijadikan sasaran pedang. Sementara itu, kawan gadis itu ternyata tidak kuat menghadapi serangan Kam Seng yang amat lihai memainkan siang-kiamnya. Setelah melawan matimatian selama tigapuluh jurus, tiba-tiba dia berteriak kesakitan dan tubuhnya terguling ke bawah genteng karena pundak kanannya terbacok pedang kiri Kam Seng. Melihat lawannya sudah roboh dan melihat Heng San belum juga dapat mengalahkan lawan, Karn Seng hendak membantu. Akan tetapi Heng San cepat berseru.

   "Engkau bantulah Lui-toako di pawah!

   Mungkin dia membutuhkan bantuan. Biar yang ini aku yang akan menangkapnya!"

   Mendengar perintah atasannya, KarnSeng segera melompat turun membantu Lui Tiong karena pemimpin rombongan penari silat itu ternyata memang lihai bukan main dan diapun tadi melihat bahwa Heng San tidak terdesak oleh lawan walaupun dia bertangan kosong. Setelah melihat Kam Seng melompat turun, Heng San melompat ke belakang.

   "Ma-lihiap (Pendekar wanita Ma), sudahlah tahan senjatamu. Mengapa kita selalu bermusuhan? Aku tidak ingin bermusuhan denganmu!" "Pengkhianat jangan banyak mulut!"

   Hong Lian menyerang lagi dengan tusukan pedangnya. Heng San cepat mengelak dan kembali dia dihujani serangan yang kesemuanya dapat dihindarkannya. Tiba-tiba terdengar teriakan orang mengaduh di bawah sana dan Hong Lian menjadi pucat wajahnya karena dia mengenal bahwa yang berteriak kesakitan itu adalah ayahnya!

   Dengan isak tertahan Hong Lian hendak melompat ke bawah untuk membantu ayahnya yang agaknya terluka dan terancam bahaya. Akan tetapi Heng San menghalanginya dengan kedua tangan terpentang. Dia memandang dengan rasa haru dan iba memenuhi hatinya. Entah mengapa, semenjak pertemuan pertama dengan Hong Lian ketika saling memperebutkan kantung uang curian itu, dia merasa tertarik dan suka sekali kepada gadis itu. Dia tidak tahu perasaan apakah yang menarik hatinya terhadap Hong Lian. Entah perasaan apa namun yang jelas, dia tidak ingin melihat gadis itu celaka.

   "Nona Ma, jangan turun. Kawan-kawanku di bawah lihai sekali engkau tentu akan celaka kalau turun"

   Cegahnya. Dalam kemarahan dan kebingungan, Hong Lian tertegun mendengar ucapan itu. Ia sungguh tidak mengerti akan sikap pemuda ini.

   Sejak perkelahian mereka yang pertama dulu, ia tahu benar bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripadanya, bahkan agaknya tidak kalah hebat dibandingkan tingkat ayahnya sendiri. Akan tetapi mengapa pemuda yang ternyata merupakan pemimpin Pasukan Garuda Sakti ini tidak mau merobohkan dan menangkapnya dan sejak tadi hanya mengelak dan menangkis saja dan banyak mengalah, bahkan agaknya tidak ingin melihat dia celaka? Siapakah pemuda ini yang menjadi lawan namun bersikap melindungi sebagai kawan? Apa maksudnya? Pada saat itu terdengar bentakan Lui Tiong dari bawah.

   "Masih ada seorang musuh lagi di atas. Hayo kita tangkap"

   Mendengar ini, Heng San cepat berkata lirih kepada Hong Lian.

   "Cepat serang aku dengan senjata rahasiamu!"

   Sambil berseru demikian, tangan Heng San bergerak cepat dan tahu-tahu pedang di tangan Hong Lian sudah dapat dirampasnya!

   Hong Lian terkejut sekali dan mendengar ucapan tadi, ia cepat mengambil beberapa buah senjata rahasia piauw dan sambil melompat pergi kedua tangannya bergerak dan empat buah piauw menyambar ke arah tubuh Heng San. Pemuda itu menyampok tiga buah dengan kedua tangannya, akan tetapi piauw yang ke empat sengaja dia sambut dengan pundak kirinya.

   "Aduhhh...!"

   Heng San berteriak kesakitan ketika piauw itu menancap di pundaknya. Heng San sengaja menekan piauw itu sehingga menancap lebih dalam dan ketika dia mencabutnya, baju di pundak berikut kulit dagingnya terobek dan mengeluarkan banyak darah. Pada saat itu, Lui Tiong dan kedua orang saudara she Kam berlompatan ke atas genteng dan mereka terkejut melihat Heng San terhuyung. Heng San terhuyung ke arah Lui Tiong yang hendak mengejar Hong Lian yang melarikan diri. Lui Tiong menangkap tubuh Heng San agar tidak jatuh dan tidak melanjutkan niatnya mengejar Hong Lian.

   "Awas, toako... senjata rahasianya lihai sekali...!"

   Kata Heng San.

   "Coba kuperiksa lukamu, Lauw-te."

   Kata Lui Tiong sambil membuka baju bagian pundak yang terobek. Akan tetapi dia hanya dapat melihat sebentar karena Heng San sudah menutupi lukanya itu dengan tangannya.

   "Tidak berapa parah, toako. Bagaimana hasilnya di bawah, Lui-toako?"

   Tanyanya.

   "Orang she Ma itu telah terluka dan tertawan, sedangkan kedua muridnya tewas. Kali ini kita berhasil baik, hanya sayang gadis pemberontak liar itu dapat melarikan diri dan rnelukaimu." "Ah, aku kurang hati-hati dan terlalu memandang rendah, Lui-toako. Pedangnya dapat kurampas, akan tetapi aku tidak mengira ia demikian lihai sehingga dapat menyerangku dengan empat buah piauw. Yang tiga dapat kutangkis, akan tetapi yang satu melukai pundakku."

   Mereka kembali ke gedung Panglima Thio membawa Ma Giok sebagai tawanan. Thio-ciangkun menyambut mereka dengan gembira sekali. Setelah mengeluarkan pujian terhadap Lui Tiong dan Heng San, Panglima Thio memperkenankan mereka mengaso dan Ma Giok lalu dimasukkan ke dalam penjara yang berada di bagian belakang gedung itu, dikurung dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dilapis baja dan berjeruji baja pula, masih dijaga oleh enam orang perajurit di luar kamar tahanan. Heng San yang masih terkenang dengan rasa prihatin kepada Ma Hong Lian, segera memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa berganti pakaian atau melepas sepatunya. Dia rebah telentang dan termenung memikirkan keadaan Hong Lian. Wajah gadis itu tak dapat dia lupakan, selalu terbayang dan ia merasa kasihan sekali. Dia merasa menyesal mengapa gadis sehebat itu demikian tersesat dan mau menjadi anggauta pengacau dan pemberontak.

   Teringat dia akan pertemuan mereka pertama dahulu. Ketika itupun Hong Lian sedang melakukukan pencurian dan menotok tuan rumah dan isterinya. Sekarang malah menjadi anggauta gerombolan pengacau dan pemberontak. Sungguh sayang! Sayang gadis sejelita dan segagah itu, yang arnat menawan hatinya, menjadi seorang penjahat! "Ahh".. Hong Lian". Hong Lian".!"

   Dia berbisik dan mencoba untuk memejamkan matanya, mencoba untuk tidur, melupakan segalanya, melupakan rasa nyeri di pundaknya yang terluka yang tidak berapa hebat kalau dibandingkan dengan rasa nyeri di dalam hatinya. Heng San sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Lui Tiong yang baru saja memasuki kamarnya sendiri, harus keluar pula karena dipanggil Thio Ci Gan. Panglima itu menerimanya dalam karnar rahasia, di mana kini hanya mereka berdua yang duduk berhadapan.

   "Ciangkun memanggil saya""

   
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Lui Tiong setelah memberi hormat.

   Dia dipersilakan duduk dan panglima i tu bertanya dengan suara tegas.

   "Sekarang, ceritakanlah sejelasnya tentang,penyerbuan itu dan bagaimana mungkin sampai Lauw Heng San terluka oleh gadis puteri kepala gerombolan mata-mata pemberontak itu."

   Lui Tiong merasa bahwa dalam suara atasannya terkandung kebimbangan dan, kecurigaan. Hal ini menyenangkan hatinya karena dia sendiripun sudah menaruh hati curiga dalam peristiwa itu. Di samping itu, di dasar hatinya Lui Tiong memang merasa tidak senang kepada Heng San, rasa tidak senang yang timbul dari iri hati. Bagaimanapun juga pemuda itu telah menggeser kedudukannya sebagai orang ke dua dalam jajaran para jagoan di situ sedangkan pemuda itu menjadi orang pertama walaupun sikap Panglima Thio masih con dong percaya kepadanya.

   "Saya sendiri juga merasa heran"

   Ciangkun.

   "Saya dan Kam Eng berjaga di luar dan kami berdua bertemu dan bertanding melawan Ma Ciok dan seorang muridnya.

   Ma Ciok itu lihai sekali, akan tetapi setelah Kam Eng merobohkan lawannya kemudian Kam Seng datang pula rnembantu, saya dapat melukai dan menangkapnya. Akan tetapi saya merasa heran mengapa Lauw-te yang memiliki ilmu Silat sedemikian tingginya, dapat terluka oleh gadis itu dan membiarkan ia lolos!"

   Panglima Thio mengelus jenggotnya dan kedua alisnya berkerut. Tiba-tiba dia bertanya.

   "Lui-sicu, engkau yang pernah melihat gadis itu, bagaimana wajahnya? Apakah dia cantik?" "Cadis itu cantik jelita sekali, ciangkun. Usianya sekitar delapan belas tahun dan iapun memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan. Tarian pedangnya indah sekali. Pendeknya, ia memiliki daya tarik yang luar biasa bagi pria." "Hemm". hemmm". apakah tidak mungkin Heng San sengaja melepaskannya karena dia jatuh hati kepada gadis itu?"

   Thio-ciangkun menggumam, mengerutkan alisnya semakin dalam "Hal itu besar sekali kemungkinannya, ciangkun.

   Lauw-te adalah seorang pemuda yang sudah cukup dewasa, tidak akan mengherankan kalaudia tergila-gila kepada wanita cantik." "Akan tetapi setahuku, selama di sini dia tidak pernah keluar bersenang-senang dengan wanita seperti yang lain." "Mungkin dia malu-malu dan takut-takut karena tidak ada pengalaman. Akan tetapi saya melihat sinar matanya bercahaya ketika dia melihat".melihat". Nona Siang... eh, maafkan kelancangan saya, ciangkun." "Melihat Kui Siang maksudmu?"

   Tanya Thio-ciangkun sambil memandang pembantunya dengan sinar mata penuh selidik "Tidak apa, aku tidak marah, ceritakan bagaimana ketika Heng San melihat Kui Siang."

   Yang disebut Nona Siang adalah seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang tinggal di gedung itu dan disebut Siang Siocia (Nona Siang) oleh semua orang seperti yang dikehendaki gadis itu sendiri. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan lemah lembut, halus budi dan ramah. Semua.

   orang mengetahui bahwa biarpun ibu gadis itu merupakan seorang isteri kedua dari Panglima Thio yang amat disayang, namun Kui Siang bukanlah anak kandungnya, melainkan anak tirinya. Dan agaknya gadis itu juga tidak merahasiakan bahwa ia bukan puteri kandung Thio Ci Gan, karena kalau ditanya she-nya (nama marganya) ia akan menjawab bahwa nama marganya adalah Bu, nama lengkapnya Bu Kui Siang! Akan tetapi ia pandai membawa diri sehingga biarpun di dalam hatinya Thio-ciangkun tidak mempunyai perasaan sayang seorang ayah kepada anaknya, namun sikap pembesar itu cukup baik.

   "Begini, ciangkun. Ketika untuk pertama kalinya Heng San melihat Nona Siang, dia seperti terpesona. Kemudian setelah kami berdua saja, dia banyak hertanya tentang Nona Siang dan terang-terangan mengatakan bahwa selama hidupnya dia belum pernah melihat seorang gadis secantik Nona Siang yang dikatakannya seperti bidadari.

   Oleh karena itu, saya tidak akan merasa heran kalau sekali ini dia sengaja meloloskan gadis pemberontak Itu karena dia tergila-gila. Ternyata dia adalah seorang pemuda mata keranjang, dan 1emah terhadap kecantikan wanita."

   Kini Thio-ciangkun mengangguk-angguk, menundukkan muka, mengelus jenggotnya dan tiba-tiba dia berkata.

   "Bagus! Aku mendapatkan gagasan bagus sekali Heng San amat lihai, kami amat membutuhkan dia dan sekarang ada jalan untuk mengikatnya kepada kami, untuk selamanya dan akan tetap setia sampai mati"

   Lui Tiong memandang heran.

   "Apa". apa maksud ciangkun?" "Aku akan menikahkan dia dengan Kui Siang!"

   Hampir saja Lui Tiong melompat dari kursinya saking heran dan kagetnya. Dla melapor dengan niat untuk memburukkan Heng San, untuk menjatuhkan terdorong oleh rasa irinya, tidak tahunya laporannya itu malah membuat pemuda itu akan diambil mantu oleh atasannya!

   Walaupun gadis itu puteri tiri, namun cantik jelita. Thio-ciangkun merupakan kehormatan besar sekali yang membuat kedudukan Heng San akan lebih terangkat tinggi! "Ciangkun".! Akan tetapi". tetapi " "Tetapi apa? Heng San masih muda, tampan dan gagah, ilmu kepandaiannya tinggi. Dia cukup pantas menjadi suami Kui Siang."

   Panglima itu kembali mengangguk-angguk.

   "Maksud saya.... bagaimana kalau Heng San tidak mau, kalau dia menolak?"

   Kata Lui Tiong penuh harap.

   "Ha-ha-ha, bukankah engkau sendiri yang melaporkan bahwa Heng San jatuh cinta kepada Kui Siang? Aku yang akan mengatur agar dia mau, pasti mau dan harus mau. Ha-ha-ha!"

   Dia lalu memberi isarat agar pembantunya itu mundur. Thio-ciangkun tetap tertawa ketika Lui Jiong keluar dari ruangan itu, kembali ke dalam kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan bersungut-sungut. Biarpun dia sudah pulas, namun ketika suara langkah lembut itu memasuki kamarnya, pendengaran Heng San yang terlatih baik dapat menangkapnya.

   Seketika dia terbangun, namun begitu dia melihat siapa yang memasuki kamarnya sambil membawa sebuah baki dengan beberapa mangkok di atasnya, melangkah dengan lenggang yang lembut dan lemah gemulai, Heng San tidak dapat bergerak atau mengeluarkan suara saking herannya. Mula-mula dalam pandangannya yang baru saja terbangun dari pulas, dia seolah melihat Ma Hong Lian yang melenggang memasuki kamarnya. Hatinya tidak percaya dan dibantahnya penglihatannya sendiri dan perlahan-lahan bayangan Ma Hong Lian itu berubah dan tahulah dia bahwa yang memasuki kamarnya adalah Nona Siang. Dia merasa seperti dalam mimpi. Sudah beberapa kali dia bertemu dengan gadis ini, hal yang tidak dapat dihindarkan karena mereka tinggal di bawah satu atap walaupun gedung itu luas sekali. Dalam setiap pertemuan, mereka hanya saling pandang dan Heng San selalu memberi hormat dengan membungkuk dan gadis itupun mengangguk sambil memandang dan tersenyum kepadanya.

   Belum pernah mereka saling bertegur sapa dan sekarang, gadis itu memasuki kamarnya seorang diri. Seperti dalam mirnpi dia melihat gadis itu rneletakkan baki di atas meja, lalu duduk di atas kursi dekat (Lanjut ke Jilid 04)

   Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   pembaringan di mana dia masih rebah telentang. Kemudian dia memaksa diri bangkit duduk dan berkata.

   "Eh". ah". Nona Siang"., apakah artinya penghormatan yang diberikan kepadaku ini? Kenapa nona memasuki kamar saya?"

   Gadis itu memandang dan tersenyum. Heng San terpesona dan wajah itu sungguh mirip wajah Hong Lian. Begitu manis, begitu cantik. Bibir yang merah basah itu merekah, tampak deretan gigi putih mengintai sejenak dan mulut yang tersenyum itu seperti menebarkan beribu bunga, seperti meneteskan sari madu. Mata itu seperti mata burung Hong dalam dongeng.

   "Kenapa? Apakah tidak boleh aku. memasuki kamar ini, Lauw-sieu?"

   Suara itu demikian lembut, merdu seperti nyanyian indah.

   "Ah, tentu, tentu saja boleh sekali, nona. Akan tetapi aku tidak mengerti".."

   Heng San hendak turun dari pembaringan, akan tetapi gadis itu bangkit berdiri dan menggerakkan kedua tangan mencegah dia turun.

   "Berbaringlah saja, sicu. Dengarlah, aku disuruh oleh ayah untuk merawatmu, untuk mengobati luka di pundakmu dan memberimu obat. Karena itu, rebahlah saja, biar aku memeriksa keadaan luka di pundakmu." "Akan tetapi.....

   "

   Heng San hendak membantah. Dengan lembut kedua tangan gadis itu mendorong pundak Heng San sehingga pemuda itu apa boleh buat merebahkan diri lagi, telentang.

   "Lauw-sicu, aku adalah puteri seorang panglima dan aku telah banyak mempelajari ilmu pengobatan, khusus untuk mengobati luka-luka yang terjadi dalam pertempuran. Karena ayah sayang kepadamu, maka dia menyuruh aku sendiri yang merawatmu. Nah, biarlah aku memeriksa 1uka di pundakmu."

   Dengan jari-jari lembut namun cekatan, gadis itu lalu merobek baju di pundak yang sudah berlubang itu agar dapat memeriksa lukanya dengan lebih teliti.

   "Hemm, luka ini cukup lebar dan yang paling buruk adalah bahwa senjata rahasia itu agaknya mengandung racun sehingga luka ini agak kehitaman. Aku akan mencucinya lebih dulu."

   Gadis 1tu ia1u mengambil air daiam tempayan, la1u mencuci 1uka itu dengan cekatan. Heng San diam saja. Biarpun matanya menatap ke langit-langit kamar, namun dia merasa betapa dekatnya gadis itu dengan dia sehingga dia dapat mencium keharuman yang keluar dari pakaian gadis itu dan seolah terasa kelembutan jari-jari tangan mengusap pundaknya, kehangatan tubuh itu seolah membakarnya. Seteiah menaburkan obat bubuk ke atas luka di pundak itu dan membalutnya, Kui Siang mengambil sebuah mangkuk yang terisi ramuan obat godok ber warna coklat.

   "Lauw-sicu, ayahku sengaja membuatkan obat ini untukmu. Aku tidak mengenal obat ini, akan tetapi kata ayah, obat ini baik sekali untuk menguatkan tubuh dan menjaga agar pengaruh racun tidak menjalar lebih jauh. Minumlah, sicu."

   Heng San melihat obat dalam mangkok itu masih mengepulkan uap panas.

   "Biarlah agak dingin dulu, nona. Thio-ciangkun sungguh baik sekali kepadaku, dan aku amat berterima kasih kepadanya." "Ah, sicu. Ayah tentu saja suka kepada sicu karena sicu adalah orang kepercayaannya dan sicu sudah banyak membuat jasa besar membantu ayah." "Akan tetapi engkaupun amat baik kepadaku, nona. Aku hanya mengenalmu sebagai Nona Siang. Sebetulnya, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama lengkapmu?"

   Gadis itu tersenyum dan menatap wajah yang tampan itu. Diam-diam, sejak bertemu dengan Heng San, la memang merasa kagum dan tertarik.

   Pemuda Ini tak pernah memandang dengan kurang ajar seperti para jagoan lain kepadanya, melainkan bersikap sopan sekali. Sepasang mata bertemu pandang dan bertaut, lalu gadis itu menundukkan muka.

   "Namaku".. Bu Kui Siang."

   Heng San memandang heran.

   "She".. Bu....?" "Ah, belum tahukah engkau, sicu? Thio-ciangkun itu adalah ayah tiriku. Ketika ibuku menjadi isterinya, ibu sudah janda dan aku ketika itu baru berusia dua tahun." "Dan".. ayah kandungmu?" "Kata ibu, ayah kandungku dahulu adalah seorang perwira pengikut pasukan Gouw Sam Kui dan tewas dalam perang. Ibu dan aku menjadi tawanan dan akhirnya ibu diperisteri oleh ayah tiriku itu. Ah, sudahlah, sicu. Kau minumlah obat pemberian ayah ini."

   Kata Kui Siang yang agaknya tidak suka menceritakan riwayat ayah kandungnya.

   Sedikit keterangan ini mendatangkan keharuan dalam hati Heng San dan diapun tidak menolak lagi ketika disuruh minum obat. Dia bangkit duduk dan gadis itu membantunya, memberi minum obat dari mangkok itu. Obat itu rasanya agak pahit namun baunya sedap sehingga diminumnya sampai habis. Rasanya hangat sekali ketika memasuki perutnya. Kui Siang membantu dia rebah kembali.

   "Sekarang mengasolah saja, sicu. Aku akan melaporkan kepada ayah bahwa keadaanmu sudah membaik."

   Gadis itu meletakkan mangkok kosong di atas baki yang masih berada di meja. Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut mendengar Heng San mengeluh. la cepat membalik dan menghampiri. Dilihatnya pemuda itu gelisah sekali, mengeluh, memejamkan mata dan mukanya berubah merah sekali. Ketika ia mendekat dan meraba dahi pemuda itu, ia terkejut karena terasa kulit mukanya panas sekali.

   "Lauw-sicu".. kau".. kau kenapakah"..?"

   Gadisitu menjadi panik, memegangi kedua pundak Heng San. Heng San tiba-tiba terserang penas yang amat aneh. Dia merasa dirinya dilambungkan ke atas, lalu diombang-ambingkan seolah berada di lautan yang amat kuat ombaknya, membuat kepalanya pening sehingga dia tidak berani membuka matanya, seperti terapung-apung di Iangit. Ketika mendengar suara gadis itu memanggil-manggil dan kedua pundaknya diguncang-guncang, dia memaksa diri membuka kedua matanya. Dilihatnya wajah itu! Wajah yang selama ini menjadi buah mimpinya. Wajah Ma Hong Lian yang membuatnya tergila-gila, wajah gad is yang telah merebut hatinya, yang dicintanya. Gairah yang teramat kuat merangsangnya, membakar berahinya dan diapun merangkul leher itu, ditarik dan didekapnya muka itu, diciuminya.

   "Hong Lian"...

   "

   Desahnya.

   Kui Siang terkejut setengah mati. la hendak meronta melepaskan diri namun tidak mampu karena dekapan itu kuat sekali. Ketika mukanya, pipinya, hidungnya dan bibirnya dihujani ciuman oleh pemuda yang dikaguminya itu, tiba-tiba ia menjadi lemas lunglai.

   "Lauw-sicu".. ah, Lauw-sicu....

   "

   Ia menangis ketika mukanya. didekap di dada Heng San. Pada saat itu, daun pintu kamar terbuka dari luar dan seorang wanita melangkah masuk. Wanita itu rnenahan jerit ketika melihat Kui Siang dipeluk Heng San, menelungkup di atas dada pemuda itu. Wanita itu adalah ibu kandung Kui Siang yang baru saja diberitahu suaminya bahwa anak gadisnya bermain gila dengan Lauw Heng San dan sekarang berada di kamar pemuda itu. Mendengar ini, ibu ini tidak percaya dan langsung lari memasuki kamar itu dan apa yang dilihatnya membuat ia hampir pingsan.

   "Kui Siang....!"

   Lbu itu menjerit.

   "Apa yang kau lakukan ini"..?? ya Tuhan, anak durhaka, anak tak tahu malu, mencemarkan nama orang tua"...!"

   Ibu itu menjerit-jerit sehingga banyak pelayan berlari-lari mendatangi dan berkumpul di luar kamar yang pintunya terbuka. Mereka semua melihat Nona Siang masih duduk di tepi pembaringan di mana Heng San rebah telentang dan keduanya tampak terbelalak kaget dan kebingungan. Walaupun dia merasa betapa tubuhnya melayang-layang, kepala. pening dan rangsangan gairah berahi seperti membakarnya, namun jeritan ibu Kui Siang itu seolah menyeretnya kembali ke alam kesadaran dan membuat Heng San terkejut setengah mati menyadari akan perbuatannya dan keadaannya. Tiba-tiba Thio-dangkun muncul dan dia melompat ke dalam kamar itu, memandang kepada dua orang muda di pembaringan itu dengan muka merah dan mata melotot.

   "Bagus sekali perbuatan kalian!"

   Bentaknya. Kui Siang lebih dulu menguasai dirinya dan ia menangis sambil berlari dan menjatuhkan dirinya berlutut didepan ayah tirinya.

   Sambil menangis ia berkata tersendat-sendat.

   "Ayah""

   Anak telah bersalah""

   Ampuni saya atau".. hukumlah, bunuhlah saya, ayah"""

   Gadis itu merasa malu bukan main. Peristiwa tadi sungguh di luar dugaan. Ia merasa seperti lumpuh ketika dirangkul dan diciumi Heng San. Tiba-tiba Heng San melompat dan berlutut di sebelah Kui Siang. Biarpun dia berada dalam keadaan tidak normal, namun dia masih dapat menguasai dirinya dan dia tahu bahwa gadis itu terancam bahaya besar, akan rusak nama dan kehormatannya, bahkan mungkin akan dihukum mati. Dia tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi! "Ciangkun, bukan Nona Siang yang bersalah, melainkan saya yang bersalah! Saya mengaku salah, saya bersedia menerima hukuman apapun juga."

   Ibu Kui Siang yang bagaimanapun juga menyayang puterinya, melihat puterinya terancam lalu ikut pula berlutut di depan suaminya sambil menangis.

   "".. pandanglah mukaku dan ampuni Kui Siang"..

   "

   Ia meratap.

   Thio Ci Gan menghela nap as panjang dan mengelus jenggotnya.

   "Hemm, sudahlah. Kalau memang kalian berdua sudah saling mendnta, kami akan segera mengatur pernikahan kalian."

   Setelah berkata demikian, Thio-ciangkun meninggalkan kamar itu dan segera mengeluarkan perintah agar segera dipersiapkan pernikahan yang harus dilangsungkan tiga hari kemudian.! Hanya Lui Tiong seorang yang dapat menduga bahwa semua itu tentu sudah diatur oleh atasannya. Teringat dia akan kata-kata panglima itu bahwa Heng San pasti dan harus mau menikah dengan Kui Siang! Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Dia hanya menyesali nasibnya sendiri dan semakin iri akan nasib baik Heng San yang mendapatkan gadis jelita dan menjadi mantu Panglima Thio! Di dalam hatinya, Heng San merasa menyesal sekali akan kejadian itu. Dia menyesal mengapa dia sampai hanyut oleh rangsangan berahi.

   Padahal, sesungguhnya dia harus mengaku pada diri sendiri bahwa walaupun dia suka kepada Kui Siang, namun sebetulnya cintanya adalah pada Ma Hong Lian! Akan tetapi, dia tidak mungkin membiarkan Kui Siang celaka dan tercemar namanya karena dia. Maka, diapun mau melaksanakan pernikahan dan memaksa dirinya agar jujur terhadap Kui Siang, agar dapat memperlihatkan kasih sayangnya sebagai suami kepada gadis yang tidak berdosa itu. Dan ternyata setelah menikah, Kui Siang bersikap amat mesra dan mencintanya sehingga mau tidak mau timbul pula perasaan sayang dalam hati Heng San kepada isterinya. Suami isteri ini tampak mesra dan saling mengasihi sehingga ibu Siang-siocia (Nona Siang) juga ikut merasa bahagia. Demikian pula Thio-ciangkun merasa gembira sekali karena dia sudah dapat mengikat Heng San menjadi mantunya, berarti orang muda itu kini menjadi pembantunya yang tak dapat diragukan lagi kesetiaannya.

   Enam bulan telah lewat sejak Lauw Heng San menikah dengan Bu Kui Siang, anak tiri PanglimaThio Ci Gan. Harus diakuinya bahwa Bu Kui Siang amat mencintanya dan watak gadis itu memang baik sekali, seperti watak ibunya. Halus, lembut dan berperasaan peka. Ia telah mendengar cerita Kui Siang tentang riwayat ibunya. Ayah kandungnya bernama Bu Kiat, seorang panglima pembantu dalam pasukan Go Sam Kui yang dahulu melakukan perlawanan terhadap bala tentara Mancu. Setelah pasukan Go Sam Kui hancur, Panglima Bu Kiat gugur dalam perang. Isterinya bersama puterinya, yaitu Nyonya Bu dan Kui Siang, menjadi tawanan. Ketika itu, yang menjadi komandan pasukan Mancu adalah Thio Ci Gan, seorang Han yang terpikat bangsa Mancu menjadi seorang panglima. Demikianlah, karena tertarik oleh kecantikan Nyonya Bu, Thio Ci Gan mengambilnya sebagai isteri kedua. Nyonya Bu terpaksa mener imanya untuk menyelamatkan puterinya.

   Kui Siang lalu menjadi anak tiri Thio-ciangkun dan iapun disayang oleh ayah tirinya. Dari isterinya ini pula Heng San mendengar bahwa para pemberontak itu, menurut persangkaan isterinya yang mendengar dari ibunya, adalah pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah Mancu. Malam itu Heng San duduk termenung memikirkan itu semua. Biarpun ia selalu teringat kepada Ma Hong Lian, namun harus diakuinya bahwa kelembutan dan cinta kasih Kui Siang membuat dia dapat menyayang isterinya pula. Apalagi isterinya kini telah mengandung dua bulan. Akan tetapi dia tidak dapat melupakan Hong Lian, gadis yang amat dikaguminya itu. Dia merasa menyesal mengapa Hong Lian menjadi anggauta pengacau, anggauta pemberontak sehingga terpaksa berhadapan dengan dia sebagai musuh. Teringat dia betapa dalam pertemuannya yang pertama dengan Hong Lian, gadis itupun telah menjadi seorang pencuri.

   Kui Siang tentu saja tidak mengetahui dengan jelas keadaan para pemberontak itu karena ia hanya mendengar penuturan ibunya dan ia baru berusia dua tahun ketika ayah kandungnya gugur dalam perang sebagai seorang pejuang patriot melawan bangsa Mancu yang datang menjajah tanah air. Sebetulnya rombongan penari itu adalah serombongan pendekar patriot yang bertugas menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw untuk rencana pemberontakan terhadap pemerintah Mancu. Pemimpin rombongan itu bernama Ma Giok, seorang guru silat yang terkenal gagah perkasa dan berjiwa patriot. Ma Hong Lian adalah anaknya yang sejak kecil telah ditinggal mati ibunya. Hong Lian dididik ilmu silat oleh ayahnya sendiri sehingga setelah dewasa ia menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan berjiwa patriot pula. Di dunia persilatan Ma Hong Lian dikenal dengan julukan Tit-Ie Li-hiap (Pendekar Wanita Tit-Ie).

   Karena merasa penasaran melihat sepak terjang para pembesar, baik bangsa Mancu maupun bangsa Han yang menjadi pengkhianat dan menghambakan diri kepada pemerintah Mancu, melihat betapa mereka itu memperkaya diri sendiri dengan menindas rakyat, memaksa rakyat membayar pajak untuk dikorup demi menggendutkan perut sendiri, para orang gagah di daerah selatan segera mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan untuk menggerakkan pemberontakan. Akan tetapi usaha mereka itu selalu kandas karena pemerintah memang cerdik dan mendapat dukungan banyak orang pribumi yang berilmu tinggi dan menjadi pengkhianat, orang-orang yang sudah dipengaruhi dengan umpan harta, kedudukan tinggi, atau wanita. Oleh karena gerakan besar mereka selalu gagal untuk menyerang pasukan pemerintah penjajah Mancu, maka kini sisa-sisa para patriot hanya bergerak dengan hati-hati dan sangat terbatas sekali.

   

Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini