Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 13


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



"Memanggang begini memerlukan ke-ahlian dan perhitungan yang tepat. Kalau tidak, dapat hangus dan berbau sangit. Biarkan aku yang memanggangnya. Lebih baik engkau mencari air jernih di panci untuk dimasak dan untuk membuat air teh nanti."

   "Air teh?"

   "Habis kita mau minum apa? Aku ada membawa teh harum."

   Han Lin terheran-heran. Pemuda remaja ini sungguh luar biasa! Akan tetapi hatinya menjadi senang sekali. Dia mendapatkan seorang kenalan yang cekatan dan pandai masak. Dia lalu mencari air jernih dalam panci, lalu membuat api unggun lagi untuk memasak air dalam panci. Setelah airnya mendidih, Eng-ji menyuruh Han Lin mengambil bungkusan teh dari dalam buntalannya. Nadanya memerintah, akan tetapi Han Lin menaati perintah itu dan jadilah air teh yang berbau harum! Daging kelenci sudah masak pula.

   "Nah, daging ini sudah masak! Nih, untuk kau setusuk. Ini bakpaunya. Bakpau dimakan dengan daging kelenci ini tentu enak."

   Kata Eng-ji sambil mengambil buntalan bakpau yang sepuluh buah banyaknya itu. Bakpau itu masih baru dan lunak Mereka mulai makan bakpau dan daging kelenci yang rasanya amat gurih.

   "Dan udangnya?"

   Tanya Han Lin sambil memandang kepada enam ekor udang bungkus tanah liat yang masih dipanggang itu.

   "Belum matang. Dan memang sebaiknya kita makan daging kelenci lebih dulu, karena kalau kita makan udangnya dulu, nanti daging kelencinya akan terasa kurang enak."

   "Kenapa begitu?"

   "Karena udangnya luar biasa lezatnya sih!"

   Kata Eng-ji sambil menggigit daging kelenci dengan giginya yang putih berkilau. Sementara itu, malam telah tiba dan cuaca mulai gelap.

   Nyamuk mulai berdatangan. Akan tetapi mereka aman dari gangguan nyamuk dan hawa udara yang mulai dingin karena adanya api unggun yang mengusir nyamuk dan hawa dingin, Agaknya Eng-ji juga lapar benar seperti halnya Han Lin. Akan tetapi dia tidak dapat menghabiskan lima buah bakpau. Setelah habis empat buah, dia memberikan yang sebuah lagi untuk Han Lin.

   "Nih, satu lagi untukmu. Aku sudah kenyang. Apalagi nanti masih harus makan tiga ekor udang panggang!"

   Kata Eng-ji. Han Lin juga tidak sungkan-sungkan dan menerima tambahan sebuah bakpau itu. Dia merasa berterima kasih sekali kepada sahabat barunya yang demikian ramah dan baik.

   Akhirnya semua bakpau dan daging kelenci itu habis. Han Lin harus diam-diam memuji pemuda remaja itu. Masakannya daging kelenci walaupun hanya dipanggang, demikian lezat. Daging kelenci gemuk itu lemaknya terasa gurih bukan main dan memanggangnya pun pas sekali, bagian luarnya agak kering dan bagian dalamnya lunak. Rasa asinnya tepat dan merica serta bawangnya mendatangkan aroma amat sedap. Han Lin menjilat-jilati bibirnya dan merasa puas.

   "Enakkah panggang kelenci tadi?"

   Tanya Eng-ji sambil tersenyum lebar melihat Han Lin menjilat bibir sendiri.

   "Luar biasa sekali! Biarpun aku sering makan daging kelenci panggang, namun selamanya belum pernah makan yang selezat tadi. Engkau benar-benar hebat dan pandai sekali masak, Eng-ji. Kalau engkau membuka warung makan, tentu akan laku sekali."

   "Itu belum seberapa. Coba rasakan sekarang udang ini!"

   Dia mengambil seekor udang dari api, lalu menggunakan pisau untuk memukul tanah liat yang sudah menjadi kering. Tanah liat itu pecah dan ternyata kulit udang besar itu ikut pula terbuka bersama tanah liat, meninggalkan dagingnya yang tampak kemerahan sebesar ibu jari kaki! Eng-ji mengambil daging yang sudah terkelupas kulitnya itu dengan sepasang sumpit.

   "Nah, terimalah ini dengan sumpit dan coba makan bagaimana rasanya!"

   Kata Eng-ji dengan suara gembira.

   Han Lin mengambil sepasang sumpit dan menerima daging udang itu. Baru melihatnya saja sudah menimbulkan selera. Daging putih kemerahan yang menghamburkan aroma yang khas udang. Sedap dan gurih. Dia meniup daging itu agar jangan terlalu panas, lalu mencoba menggigitnya. Hebat! Bukan main enaknya. Gurih, manis dan sedap! Han Lin sampai terbelalak saking heran dan kagum, lalu makan daging udang itu tergesa-gesa sampai mulutnya kepanasan dan melihat ini Eng-ji tertawa geli. Diapun memecahkan lagi seekor udang lalu memakannya, sedikit demi sedikit tidak seperti Han Lin.

   "Kalau menggigitnya sedikit demi sedikit, dikunyah lembut, tentu akan lebih lezat."

   Katanya.

   Tanpa ditawari lagi, setelah udang pertama habis, Han Lin mengambil udang kedua dan memecah tanah liatnya dengan pisau, lalu mengambil daging udangnya dengan sumpit. Dia menurut nasehat Eng ji, menggigit dan makan sedikit-sedikit dan memang makin terasa benar lezatnya! Air teh dituang dalam mangkok dan makan udang panggang sambil minum air, teh harum sungguh merupakan kenikmatan yang belum pernah dialami Han Lin. Seperti juga tadi ketika makan bakpau, Eng-ji hanya makan dua ekor udang, yang satu dia berikan kepada Han Lin sehingga pemuda ini makan empat ekor. Han Lin menerima dengan senang hati karena memang udang itu lezat sekali dan orang memberinya dengan ikhlas. Setelah kenyang mereka mencuci tangan dan mulut. Han Lin melihat betapa Eng-ji teliti sekali dalam membersihkan tangan dan mulut, bahkan pemuda remaja itu berkumur dan menggosok gigi.

   "Sehabis makan malam orang harus membersihkan gigi dan mulut sampai bersih benar agar jangan mudah terkena penyakit."

   Demikian pemuda remaja itu berkata dan Han Lin teringat akan nasihat Kiok Hwa yang sama benar. Diapun mencontoh perbuatan Eng-ji dan membersihkan mulutnya. Kemudian mereka duduk dekat api unggun dan bercakap-cakap.

   "Engkau datang dari manakah, twako (kakak besar)?"

   Tanya Lng-ji sambil meng amati wajah Han Lin yang tertimpa cahaya api unggun. Sepasang mata pemuda remaja itu berkilauan terkena cahaya api.

   "Aku seorang perantau, datang dari tempat jauh sekali di utara."

   Jawab Han Lin.

   "Dan engkau sendiri, datang dari manakah, Eng-ji?"

   "Aku juga seorang perantau, datang dari Cin-ling-san. Engkau dari mana?" "Dari Thai-san."

   "Wah, kita ini sama-sama perantau, sama-sama datang dari gunung yang jauh. Kita sama-sama pemuda gunung!"

   Kata Eng-ji gembira.

   "Engkau ini masih kecil bagaimana merantau seorang diri? Di manakah orang tuamu?"

   Tanya Han Lin dengan perasaan iba.

   "Di dunia yang begini luas dan berbahaya, banyak orang jahat, tentu penghidupanmu akan terancam sekali."

   "Ayahku meninggalkan aku, dan ibuku..... sudah tidak ada. Engkau mengatakan aku masih kecil? Apa kau kira engkau ini sudah tua renta? Kalau aku masih kecil, engkaupun masih kecil, sobat!"

   "Hemm, aku sudah hampir dua puluh satu tahun! Aku sudah dewasa dan aku dapat menjaga diriku sendiri dari bahaya."

   "Huh! Hanya dua tahun lebih tua dari ku dan engkau berlagak seperti orang tua renta!"

   "Benarkah?"

   Kata Han Lin sambil mengamati wajah yang tampan itu.

   "Tadi nya kukira engkau baru berusia empat belas atau lima belas tahun! Akan tetapi biarpun usia kita tidak terpaut banyak, aku pandai menjaga diri dari bahaya!"

   "Hemm, akupun manusia hidup dan sehat kuat. Apa kau kira hanya engkau saja yang mampu menjaga diri? Akupun mampu, buktinya sampai sekarang semenjak aku meninggalkan Cin-ling-san, aku berada dalam keadaan selamat!"

   Berkata demikian, ia mencoba untuk menutup bungkusan pakaiannya, akan tetapi terlambat karena Han Lin sudah dapat melihat sebatang pedang dengan sarungnya yang indah tersembul keluar.

   "Ah, kiranya selain pandai memasak, agaknya engkau pandai bermain pedang pula, Eng-ji!"

   Katanya kagum.

   Eng-ji tersenyum.

   "Siapa yang bermain pedang? Aku hanya dapat menjaga diri, seperti juga engkau. Sudahlah, aku lelah dan mengantuk. Aku mau mandi dulu lalu terus tidur."

   "Mandi? Sudah malam begini?"

   "Apa salahnya? Aku tidak akan dapat tidur kalau belum membersihkan badan dan berganti pakaian. Di sana ada air sumber yang jernih, aku mau mandi dulu. Tolong jagakan buntalan pakaianku, ya?"

   Tanpa menanti jawaban, Eng-ji sudah pergi membawa satu pasang pakaian pengganti dan menghilang di dalam kegelapan. Han Lin membesarkan api unggun, duduk melamun dan teringat akan sahabat barunya itu. Seorang yang lebih muda darinya dan hidupnya tampak demikian gembira. Juga seorang perantau dan seorang yang terpisah dari ayahnya, sudah kehilangan ibunya pula. Seperti dirinya! Akan tetapi pemuda remaja itu tampaknya selalu gembira dan besar hati, pandai membawa dan menyesuaikan diri.

   Ingin sekali dia melihat sampai di mana tingkat kepandaian pemuda remaja itu. Agaknya tidak mungkin ilmu kepandaiannya cukup tinggi melihat dia masih begitu muda. Dia masih berpendapat bahwa usia pemuda itu tidak akan lebih dari lima belas tahun. Akan tetapi kalau ilmu silatnya rendah, bagaimana dia berani merantau sampai demikian jauhnya? Sungguh seorang pemuda yang menarik hati dan mengandung rahasia. Akan tetapi bukan seorang sahabat yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, sikapnya menyenangkan sekali. Begitu ramah dan sebentar saja jika dia sudah merasa akrab.

   "Lin-ko, engkau tidak mandi?"

   Tiba-tiba dia mendengar suara dan ketika dia menengok, dia melihat Eng-ji sudah mandi dan wajahnya tampak segar, rambutnya basah digelung ke atas dan diikat dengan sehelai kain hitam.

   "Aku hanya akan mencuci muka saja."

   Kata Han Lin.

   "Harap engkau ganti berjaga di sini, aku hendak pergi ke sumber air itu."

   Dia lalu bangkit dan berjalan pergi.

   Dia merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa dia begitu percaya kepada pemuda remaja itu? Dalam buntalan-nya terdapat Im-yang-kiam! Bagaimana kalau pemuda itu mengambil Im-yang-kiam dan membawanya lari? Dia menjadi ragu dan hatinya agak was-was. Akan tetapi untuk kembali dan mengambil pedangnya itu dia merasa tidak enak, bukankah pemuda tadi juga meninggalkan semua isi buntalannya ketika pergi mandi? Dia melanjutkan langkahnya menuju ke sumber air. Sambil meraba-raba, diterangi sinar api unggun yang masih dapat mencapai tempat itu, dia membasuh muka, kaki dan lengannya. Kemudian kembali ke tempat semula. Hatinya lega melihat Eng-ji masih duduk mengeringkan rambut dekat api unggun dan buntalannya masih berada di tempat semula, tidak terusik. Dia merasa malu kepada diri sendiri yang tadi telah meragukan kejujuran pemuda remaja itu!

   "Aku mau tidur. Tadi makan terlalu kenyang sehingga sekarang amat mengantuk."

   Kata Eng-ji dan dia lalu bangkit berdiri, menghampiri perahunya yang sudah ditarik ke pinggir, memasuki perahu lalu merebahkan diri membujur di dalam perahunya, berbantalkan buntalan pakaian nya, tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Han Lin masih duduk di dekat api unggun dan beberapa kali dia menengok, memandang ke arah Eng-ji, akan tetapi agaknya pemuda itu telah tertidur karena sama sekali tidak bergerak atau bersuara. Karena ingin tahu, Han Lin bangkit berdiri dan menghampiri ke dalam perahu. Dia melihat pemuda itu tidur miring dengan menarik kedua kakinya ke dada, tanda bahwa dia kedinginan. Memang hawa malam itu amat dingin dan pemuda itu tidurnya agak jauh dari api unggun. Han Lin merasa kasihan juga. Dia mengambil sehelai baju luarnya dan mempergunakan baju luar itu untuk menyelimuti Eng-ji.

   Yang diselimutinya tidak bergerak, agaknya memang sudah tidur nyenyak. Han Lin tidak tidur. Dia berjaga di dekat api unggun sambil menjaga agar api unggun tidak padam, bahkan dia menggeser api unggun itu agar lebih mendekati perahu yang berada di tepi sungai agar Eng-ji mendapatkan kehangatannya. Dia tidak berani tidur karena selain harus menjaga keselamatan mereka berdua, dia juga harus menjaga agar pedang mereka tidak diambil oleh orang. Dia duduk sambil melamun. Ketika dia melamun dengan pikiran kosong itu, mendadak muncul Kiok Hwa dalam lamunannya. Dia tetap merindukan gadis itu dan mengharapkan akan dapat bertemu. Akan tetapi kini tidak ada rasa kesepian tadi. Bagaimanapun juga, dia sudah memperoleh seorang teman yang baik untuk menerima pembagian perhatiannya.

   Tengah malam telah lewat dan Han Lin masih duduk melamun di dekat api unggun sambil memandang nyala api yang bergoyang-goyang ditiup angin.

   "Lin-ko.....!"

   Dia cepat menengok dan melihat Eng-ji sudah berdiri di situ, memegangi baju luar yang tadi diselimutkannya.

   "Eh, kenapa terbangun Eng ji? Tidurlah."

   "Tidak, aku sudah cukup lama tidur. Sekarang giliranmu beristirahat, twako. Biar aku yang berjaga di sini menggantikanmu. Ini bajumu, terima kasih bahwa engkau telah menyelimutiku. Pakailah agar engkau tidak kedinginan."

   Dalam suara Eng-ji terdapat ketegasan yang memerintah sehingga Han Lin tidak dapat membantah lagi. Dan dia merasa aneh. Pemuda remaja itu memang luar biasa, kadang dalam suaranya dan sikapnya seperti orang yang suka memimpin!

   "Baiklah, Eng-ji."

   Katanya dan dia menerima bajunya lalu memasuki perahu itu dan merebahkan diri membujur di dalam perahu. Karena dia memang perlu beristirahat untuk memulihkan tenaganya, maka tak lama kemudian diapun tertidur nyenyak.

   Ketika ayam hutan jantan mulai berkokok dan burung-burung berkicau, Han Lin terbangun. Malam baru saja bersiap-siap untuk meninggalkan bumi dan cuaca masih remang-remang ketika dia keluar dari dalam perahu yang menjadi tempat tidurnya itu. Api unggun telah padam dan dia mendapatkan Eng-ji tertidur melengut sambil duduk di bawah pohon. Pagi itu dingin sekali. Han Lin menanggalkan baju luarnya yang semalam dia pakai untuk menyelimuti dirinya dan menyelimutkannya pada tubuh Eng-ji. Lalu dia menyalakan lagi api unggun. Dilihatnya Eng-ji tertidur nyenyak dan wajah pemuda remaja itu seperti wajah seorang kanak-kanak. Dia tersenyum. Memang dia masih kanak-kanak, pikirnya. Akan tetapi seorang anak yang luar biasa! Nyala api unggun itu agaknya membangunkan Eng-ji. Dia terbangun dan menggosok-gosok matanya, melihat baju luar yang menyelimutinya dan diapun mengambil baju itu dan memandang kepada Han Lin yang duduk di dekat api unggun.

   "Ah, celaka! Apakah aku tertidur? Wah, membikin engkau repot saja, Lin-ko. Nih bajumu, terima kasih."

   "Kalau masih mengantuk, tidurlah, Eng-ji. Hari masih terlalu pagi."

   "Apa? Tidur lagi? Tidak, aku sudah kenyang tidur, aku hendak mandi!"

   Dan diapun bangkit berdiri, membawa kain penyeka badan lalu setengah berlari menuju ke sumber air yang berada tak berapa jauh dari situ dan terhalang batu besar.

   Han Lin tersenyum. Anak itu demikian suka mandi! Lalu teringatlah dia akan nasihat Kiok Hwa yang juga menganjurkan agar orang sering mandi karena hal itu akan mendatangkan kesehatan. Tal lama kemudian Eng-ji sudah selesai mandi dan Han Lin juga segera mandi untuk membersihkan diri. Dia merasa sejuk dan segar sekali. Ketika dia kembali ke tempat tadi, dia melihat Eng-ji sudah memegang dua batang pedang, yaitu pedangnya sendiri dan pedang Im-yang-kiam, dan pemuda remaja itu kelihatan tegang.

   "Eh, Eng-ji, ada apakah?"

   Tanyanya! Akan tetapi Eng-ji sudah melemparkan Im-yang-kiam yang telanjang itu kepadanya. Han Lin menerimanya dan pemudi itu berkata lirih.

   "Ada orang datang! Kita harus berhati hati."

   Katanya menuding ke arah sungai! Han Lin menengok dan benar saja. Dari tengah sungai tampak sebuah perahu meluncur ke pinggir, ke tempat mereka dan perahu itu ditumpangi dua orang. Masih terlalu jauh untuk dapat melihat siapa adanya dua orang itu. Hati Han Lin menjadi tegang karena dia melihat sikap Eng-ji yang juga tegang dan penuh kekhawatiran. Setelah perahu itu datang dekat. Han Lin terbelalak kaget bukan main karena dia mengenal dua orang itu.

   "Hati-hati, Lin-ko. Mereka itu adalah Toa Ok dan Sam Ok, dua orang datuk yang amat lihai dan jahat!"

   Terdengar Eng-ji berkata kepadanya dan Han Lin terkejut bukan main. Bagaimana pemuda remaja ini dapat mengenal dua orang datuk sesat itu? Dia menjadi semakin heran saja melihat Eng ji, apalagi melihat betapa Eng-ji sama sekali tidak kelihatan takut walaupun Lelah mengenal siapa ada nya dua orang itu.

   "Mereka itu tentu datang untuk merampas pedangku ini,"

   Kata Han Lin.

   "Jangan khawatir. Lin-ko. Serahkan saja mereka kepadaku!"

   Kata Eng-ji sambil mencabut pedangnya. Han Lin melihat sinar kehijauan dari pedang yang terhunus itu dan dia menjadi semakin kagum. Kiranya pemuda remaja itupun memiliki sebatang pedang yang ampuh. Akan tetapi ketenangannya dan keberaniannya yang membuat dia terheran-heran. Hanya orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi saja yang dapat bersikap demikian berani dan tenang menghadapi ancaman orang berbahaya seperti Toa Ok dan Sam Ok!

   Toa Ok dan Sam Ok telah tiba di sungai dan mereka segera menarik perahu ke pinggir dan setelah mengikatkan perahu, mereka berdua berloncatan ke depan dua orang pemuda yang telah berdiri menanti dengan pedang di tangan itu! Toa Ok telah bertemu dengan Sam Ok dan dia mengajak rekannya itu untuk mengejar Han Lin. Dengan ditemani Sam Ok dia yakin bahwa dia tentu akan dapat mengalahkan Han Lin dan merampas Im-yang-kiam. Dia terheran-heran melihat Han Lin sudah menantinya dengan Im-yang-kiam di tangan dan di sampingnya berdiri seorang pemuda remaja lain yang juga memegang sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan pemuda ini memandang kepadanya dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan!

   "Wah, engkau benar, Toa Ok. Dia adalah pemuda yang dulu itu. Kini telah menjadi seorang pemuda yang amat ganteng! Pedangnya boleh untukmu, akan tetapi pemudanya berikan kepadaku, Toa Ok!"

   Terdengar Sam Ok berkata. Han Lin melihat betapa wanita itu masih tampak cantik saja seperti dulu, cantik dan genit pesolek, padahal usianya tentu telah mendekati enam puluh tahun!

   "Sam Ok, cepat engkau bunuh pemuda yang lain itu agar kita dapat sama-sama menghadapi dia dan merampas Im-yang-kiam!"

   Kata Toa Ok. Sam Ok memandang kepada Eng-ji.

   "Wah, yang ini juga ganteng sekali! Pedangnya juga merupakan pusaka yang baik. Orang muda, marilah engkau menyerah saja kepadaku, anak manis!"

   Sambil berkata demikian, Sam Ok mencoba untuk menangkap lengan tangan Eng-ji. Akan tetapi Eng-ji sudah mengelebatkan pedangnya yang bersinar hijau untuk membacok lengan tangan Sam Ok sehingga Sam Ok terkejut setengah mati dan cepat menarik kembali tangannya.

   "Sam Ok, perempuan tua bangka yang tidak tahu malu! Kematianmu sudah di depan mata dan engkau masih berani banyak berlagak? Hari ini engkau akan mampus di tanganku!"

   Bentak Eng-ji dengan garang dan Han Lin menjadi semakin terkejut. Pemuda remaja itu berani mengeluarkan ucapan sesombong itu! Terhadap seorang datuk sesat seperti Sam Ok yang amat lihai lagi! Sam Ok marah sekali mendengar penghinaan itu.

   "Bocah lancang mulut. Aku akan membuat engkau merangkak-rangkak minta ampun dan menjilati kakiku!"

   Katanya dan iapun sudah menerjang maju sambil menggunakan jari-jarinya untuk mencengkeram dan menotok. Itulah Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun) yang amat berbahaya sehingga Han Lin menjadi khawatir dan hendak maju melindungi Eng-ji.

   Akan tetapi Eng-ji bergerak cepat sekali dan sudah memutar pedangnya sehingga bukan Sam Ok yang mengancam, bahkan jari-jari tangannya kini terancam oleh sinar pedang kehijauan! Han Lin bernapas lega melihat betapa Eng-ji benar-benar mampu menjaga diri sendiri, maka perhatiannya kini tertuju kepada Toa Ok.

   Toa Ok merasa terkejut juga melihat betapa pemuda remaja itu mampu menandingi Sam Ok, bahkan kini mereka sudah bertanding hebat karena Sam Ok juga sudah mencabut pedangnya, yaitu Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam) yang beracun. Kalau Sam Ok menggunakan pedang, hal itu berarti bahwa lawannya tentu tangguh sekali. Toa Ok merasa kecelik sekali. Tadinya dia membawa Sam Ok untuk membantunya mengeroyok Han Lin, tidak tahunya di situ ada seorang pemuda remaja yang demikian tangguhnya, mampu menandingi Sam Ok!

   Karena sudah kepalang dan diapun ingin sekali dapat memiliki Im-yang-kiam, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas) miliknya dan menyerang Han Lin yang sudah memegang Im-yang-kiam. Han Lin menangkis dan membalas menyerang. Terjadi perkelahian yang amat seru.

   Yang mengagumkan adalah Eng-ji. Biarpun masih amat muda, namun ternyata ilmu pedangnya amat hebat gerakannya. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan karena Eng-ji sebetulnya adalah Suma Eng! Dengan ilmu pedang Coa-tok Sin-kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Racun Ular) ia dapat mengimbangi permainan pedang Sam Ok. Bahkan pedangnya yang bergerak dengan lenggang-lenggok seperti seekor ular itu membuat Sam Ok kewalahan!

   Dengan penasaran sekali Sam Ok membantu pedang di tangan kanannya dengan tangan kiri yang menyerang dengan Ban-tok-ci. Akan tetapi hal ini bahkan merugikannya karena Eng-ji kini juga membantu pedangnya dengan pukulan tangan kiri yang amat ampuh. Tangan kiri itu mendorong dengan telapak tangan dan serangkum hawa panas sekali menyambar Sam Ok. Itulah pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa), sebuah pukulan jarak jauh yang mengandung racun panas yang ampuh sekali. Sam Ok terhuyung dan ia terdesak terus.

   Keadaan Toa Ok tidak lebih baik dari pada Sam Ok. Diapun terdesak hebat oleh pedang Im-yang-kiam di tangan Han Lin. Toa Ok kecewa sekali. Dia memang sudah tahu bahwa ilmu kepandaian pemuda ini hebat sekali dan dia tidak mampu menandinginya. Akan tetapi Sam Ok sama sekali tidak dapat membantunya bahkan ketika dia melirik ke arah rekannya itu, Sam Ok juga terdesak hebat oleh lawannya. Melihat ini Sam Ok lalu mengambil sesuatu dari saku jubahnya dan membantingnya ke atas tanah. Terdengar ledakan dan asap hitam tebal mengepul tinggi.

   "Awas, mundur!"

   Seru Han Lin dan Eng-ji juga melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun. Setelah asap hitam membuyar dan menipis, ternyata dua orang itu telah lenyap bersama perahu mereka.

   "Kita kejar mereka!"

   Kata Eng-ji sam bil menghampiri perahunya siap untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi Han Lin mencegahnya.

   "Tidak baik kita mengejar. Mereka itu licik dan curang sekali, amat berbahaya mengejar mereka. Apalagi di atas air di mana kita tidak berdaya. Kecuali kalau engkau mahir bermain di air, Eng-ji."

   Eng-ji bergidik, dan menggeleng kepalanya. Dia teringat akan pengalamannya dengan para bajak sungai.

   "Tidak, aku tidak pandai renang."

   "Kalau begitu, jangan kejar. Eng-ji, aku kagum sekali kepadamu. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau akan mampu menandingi orang yang demikian lihai dan berbahaya seperti Sam Ok!"

   Kata Han Lin sambil memandang kagum.

   Eng-ji tersenyum.

   "Akupun kagum dan heran melihatmu. Engkau Bahkan dapat menandingi Toa Ok, raja datuk sesat yang sakti itu! Kepandaianmu hebat sekali, Lin-ko!"

   "Engkau juga sudah mengenal mereka, Eng-ji. Bagaimana engkau dapat mengenal orang-orang macam itu?"

   "Mereka adalah musuh besarku. Masih ada seorang lagi, yaitu Ji Ok. Mereka bertiga merupakan Thian-te Sam-ok yang menjadi musuh besarku karena mereka telah melukai guruku dan menyebab kan kematian guruku."

   "Ah, begitukah? Melihat kelihaianmu, gurumu tentu seorang yang sakti. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah gurumu itu, Eng-ji?"

   "Guruku seorang pertapa di Cin-ling-san, julukannya adalah Hwa Hwa Cinjin. Pada suatu hari dia didatangi Thian-te Sam-ok dan dikeroyok. Suhu mampu mengusir mereka akan tetapi dia terluka dan akhirnya tewas."

   "Hemm, Thian-te Sam-ok itu jahat sekali. Dulu di waktu aku masih kecil merekapun sudah berusaha untuk membunuhku. Sekarang selelah aku dewasa, mereka masih mencoba untuk merampas Im-yang-kiam dan membunuhku."

   "Baru sekarang aku menyadari bahwa kiranya engkau yang telah berhasil memiliki Im-yang-kiam, Lin-ko. Ayahku pernah bercerita tentang Im-yang-kiam itu, bahkan ayah sendiri tidak berhasil mencabutnya. Kiranya engkau yang berhasil mencabutnya. Tidak heran kalau Toa Ok datang hendak merampasnya. Kabarnya Im-yang-kiam itu merupakan pedang pusaka yang amat ampuh sekali."

   "Eng-ji, melihat kepandaianmu, aku yakin bahwa ayahmu juga tentu seorang gagah yang berilmu tinggi. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?"

   Eng-ji menghela napas panjang.

   
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ayahku juga seorang perantau. Dia berjuluk Huang-ho Sin-liong bernama Suma Kiang."

   Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati Han Lin mendengar ini. Suma Kiang adalah musuh besarnya yang mengakibatkan tewasnya ibunya! Suma Kiang yang berusaha untuk membunuhnya di waktu dia masih kecil, yang menculik dia dan ibunya dari perkampungan Mongol! Ternyata pemuda remaja ini, yang dalam waktu semalam telah menjadi sahabat baiknya, bahkan yang telah membantunya dalam menghadapi Toa Ok dan Sam Ok, adalah putera Suma Kiang, musuh besarnya! Biarpun Han Lin dapat menekan perasaannya dan tidak memperlihatkan sesuatu pada wajahnya, namun dia tertegun dan memandang Eng-ji dengan diam tak berkedip.

   "Engkau kenapakah, Lin-ko? Engkau memandangku seperti orang merasa heran. Mengapa?"

   Bocah ini memiliki pandang mata yang tajam dan amat cerdik, pikir Han Lin. Dia sadar dan pandang matanya menjadi biasa lagi.

   "Ah, aku hanya terheran-heran melihat engkau yang masih begini muda ternyata telah memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Mengagumkan dan mengherankan, Eng-ji!"

   "Hemm, kepandaianmu lebih tinggi lagi, Lin-ko. Aku dapat menandingi Sam Ok, akan tetapi kalau aku harus menandingi Toa Ok, agaknya sukar bagiku untuk mencapai kemenangan. Engkau sudah mengetahui nama guruku. Aku yakin bahwa gurumu tentu juga seorang yang sakti seperti guruku. Siapakah gurumu, Lin-ko?"

   Karena pemuda itu sudah berterus terang kepadanya, walaupun dia putera musuh besarnya, Han Lin merasa tidak enak kalau tidak berterus terang pula. Akan tetapi mengingat bahwa Go-bi Sam sian, tiga orang gurunya yang pertama, pernah bentrok dengan Suma Kiang, dia tidak menyebut tiga orang gurunya itu, melainkan dua orang gurunya yang terakhir.

   "Guruku ada dua orang. Yang pertama bernama Cheng Hian Hwesio dan yang ke dua berjuluk Bu-beng Lo-jin."

   "Ah, mereka tentu orang-orang sakti."

   Kata Eng-ji.

   "Sekarang engkau hendak melanjutkan perjalanan ke manakah, Lin-ko?"

   "Aku hendak melanjutkan perjalanan ke selatan, ke kota raja untuk mencari pengalaman dan menambah pengetahuan. Dan engkau sendiri, Eng-te (adik laki-laki Eng)?"

   "Aku juga hendak merantau ke selatan. Kebetulan aku sendiri juga ingin sekali berkunjung ke kota raja untuk melihat kebesaran kota raja dan keramaiannya, maka kuharap engkau tidak keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama, Lin-ko!"

   Tentu saja Han Lin tidak merasa keberatan walaupun hatinya ragu mengingat bahwa pemuda ini adalah putera Suma Kiang. Bagaimana kalau dalam perjalanan mereka berjumpa dengan Suma Kiang? Dia tentu akan menentang datuk itu! Dia merasa tidak enak sendiri.

   "Aku tidak keberatan, Eng-ji. Akan tetapi bukankah engkau katakan hendak mencari ayahmu? Di manakah ayahmu itu sekarang?"

   "Aku tidak tahu. Dia meninggalkan aku pada mendiang suhu dan tidak memberitahu ke mana akan pergi. Katanya dia akan menjemput di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san. Akan tetapi sampai suhu meninggal dunia dia tidak muncul. Terpaksa aku meninggalkan tempat itu. Akan tetapi aku pernah mendengar ayahku menyatakan bahwa dia ingin sekali pergi ke kota raja. Karena itu, kebetulan sekali

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   kita pergi ke sana, siapa tahu aku akan bertemu dengan ayahku di sana."

   "Akan tetapi untuk melakukan perjalanan ke selatan sebaiknya kita melakukan perjalanan darat. Terpaksa kita harus meninggalkan perahumu."

   Eng-ji tertawa.

   "Tentu saja! Untuk apa perahu macam itu? Aku sendiri juga sudah bosan berperahu, pula, aku tidak berani mendayung perahu ke tengah, selalu jalan di tepi."

   "Kenapa?"

   "Aku mengalami hal yang pahit sekali dan hampir membuat aku mati tenggelam. Aku bertemu bajak sungai. Kami berkelahi dan aku mengamuk dengan berloncatan dari satu perahu ke perahu yang lain. Akan tetapi bajak-bajak sungai yang curang itu menenggelamkan perahu sehingga aku tercebur ke dalam air dan nyaris tenggelam!"

   "Ah, lalu bagaimana?"

   Han Lin terkejut juga mendengar cerita pemuda itu.

   "Untung muncul seorang pendekar dari Kun-lun-pai yang pandai renang. Dialah yang menyelamatkan aku dari mati tenggelam. Namanya Gui Song Cin dan orangnya baik sekali."

   "Untung muncul seorang pendekar yang baik hati. Aku sendiripun tidak pandai renang. Itulah sebabnya aku mencegahmu ketika engkau hendak melakukan pengejaran terhadap Toa Ok dan Sam Ok yang melarikan diri dengan perahu mereka."

   "Aku dapat memahami maksud baikmu, Lin-ko. Karena itu akupun tidak berkeras untuk mengejar mereka. Akan tetapi kalau saja perahu ini dapat kita jual, tentu akan dapat untuk menambah uang biaya perjalanan kita."

   Dia berhenti sebentar lalu menoleh kepada Han Lin.

   "Engkau membawa bekal uang untuk biaya, Lin-ko?"

   Han Lin menggeleng kepalanya.Dia memang sudah tidak mempunyai uang. "Jangan khawatir, Lin-ko. Aku masih mempunyai sisa uang cukup banyak.Lihat ini!"

   Eng-ji memperlihatkan sisa uang nya dan memangcukup banyak.

   "Lagi Pula, kalau kita kehabisan, apa sukarnya? Kita dapat mengambil uang dari para hartawan atau bangsawan yang kelebihan uang yang mereka dapatkan dengan tidak halal."

   "Mencuri?"

   Tanya Han Lin kaget.

   "Apa salahnya? Kita mengambil uang mereka bukan untuk bersenang-senang, mengambil secukupnya saja untuk keperluan hidup dalam perjalanan kita. Atau kalau engkau tidak tega mengambil uang mereka, kita mengambil uang dari para perampok dan penjahat!"

   Kata pula Eng-ji dengan suara gembira. Han Lin terpaksa hanya tersenyum saja karena diapuntidak melihat cara lain untuk mendapatkan uang bekal perjalanan.

   "Mari kita lanjutkan perjalanan, Eng-te."

   Katanya dan kedua orang muda itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Han Lin merasa tetap tidak enak melakukan perjalanan bersama putera musuh besarnya, akan tetapi dia tidak mempunyai alasan untuk memisahkan diri. Pula, ayahnya jadi boleh jahat, menyebabkan ibunya hidup menderita, tidak dapat bicara bahkan akhirnya menyebabkan kematian ibunya.

   Ayahnya memang jahat sekali, akan tetapi hal itu apa hubungannya dengan anaknya? Kalau anaknya tidak jahat, tidak semestinya dia menentangnya. Dia hendak melihat saja nanti bagaimana perangai Eng-ji yang sebenarnya. Dia belum dapat menilai watak pemuda remaja itu yang baru dikenalnya semalam. Melihat dia menentang orang-orang macam Thian-te Sam-ok saja sudah menimbulkan kesan baik di hatinya.

   Ternyata kemudian oleh Han Lin bahwa Eng-ji bersikap amat ramah dan baik kepadanya. Bahkan terlalu baik. Kalau mereka kemalaman di hutan, Eng-ji selalu sibuk melayani segala keperluan Han Lin. Membuatkan masakan dan ternyata pemuda itu pandai sekali masak. Walaupun alat masak dan bumbunya sederhana, namun dia dapat membuatkan masakan yang enak-enak. Bahkan ketika dia mencuci pakaian kotornya, dia minta pakaian Han Lin yang kotor untuk dicucikan sekalian. Kalau mereka tiba di sebuah dusun atau kota, Eng-ji menggunakan uangnya untuk berbelanja dan selalu berusaha untuk menyenangkan hati Han Lin. Han Lin sampai merasa canggung dan rikuh sekali melihat pelayanan Eng-ji. Seolah-olah Eng-ji menganggap dia sebagai majikannya. Karena sikap ini, Han Lin merasa semakin suka kepada pemuda putera musuh besarnya itu. Akan tetapi ada kalanya Eng-ji bersikap seperti seorang anak yang nakal dan bandel.

   Pada suatu hari ketika mereka memasuki sebuah rumah makan di sebuah kota, Han Lin melihat sebuah keluarga duduk menghadapi meja makan dan di antara mereka terdapat dua orang gadisnya yang cantik. Dia hanya memandang biasa saja, akan tetapi Eng-ji menggodanya ketika mereka duduk menghadapi meja. Godaan yang lebih bersifat tuduhan.

   "Lin-ko, ternyata engkau seorang pemuda yang mata keranjang!"

   Demikian katanya.

   "Hah??? Mengapa engkau berkata demikian, Eng-ji?"

   "Kau kira aku tidak melihatnya ketika kita lewat di depan meja keluarga itu? Matamu seperti hendak meloncat keluar ketika engkau memperhatikan dua orang gadis itu. Engkau tergila-gila kepada mereka, bukan?"

   "Ah, aku hanya memandang biasa saja, Eng-ji."

   "Memandang biasa? Engkau memandang mereka seperti seekor srigala melihat dua ekor domba! Aku paling benci melihat laki-laki yang mata keranjang! Memalukan sekali!"

   Eng-ji tiba-tiba tampak marah dan bersungut-sungut. Han Lin merasa lucu, lalu timbul niatnya untuk menggoda.

   "Eh, Eng-te, jangan pura-pura. Kurasa engkaupun tentu senang melihat seorang gadis yang cantik."

   Eng-ji memandang Han Lin dan matanya berapi-api.

   "Tidak sudi aku! Aku bukan seorang yang mata keranjang, melainkan seorang yang gagah! Sudahlah, kalau engkau mata keranjang, aku tidak sudi berdekatan denganmu!"

   Setelah berkata demikian, dengan gerakan marah Eng-ji menyambar buntalannya dan duduk di meja lain! Han Lin merasa terkejut juga.

   Tidak disangkanya bahwa Eng-ji bersungguh-sungguh dan benar-benar menjadi marah besar kepadanya karena dia memandangi kedua orang gadis cantik itu. Benarkah Eng-ji seorang pemuda yang tidak suka kepada gadis cantik? Dan memandang rendah kepada pria yang suka melihat gadis cantik? Dia mengalah, lalu bangkit berdiri dan menghampiri sahabatnya itu.

   "Maafkan aku, Eng-te, aku telah membuat engkau marah."

   Katanya sambil duduk di meja itu. Akan tetapi Eng-ji tidak menjawab, hanya bersungut-sungut sambil melambaikan tangan memanggil pelayan, lalu memesan nasi dan masakan dengan singkat. Biasanya dia mesti bertanya kepada Han Lin, masakan apa yang hendak dipesannya. Sekali ini dia memesan sendiri, dengan sikap sembarangan saja.

   Eng-ji bersikap dingin dan marah, tidak pernah memandang kepada Han Lin, bahkan ketika masakan datang, dia lalu makan tanpa mempersilakan Han Lin makan. Han Lin merasa tidak enak sekali, akan tetapi diapun makan dan bersikap seperti biasa saja. Melihat pemuda itu makan dalam keadaan tidak enak dan terpaksa, Han Lin merasa menyesal telah membikin marah sahabat yang biasanya bersikap baik itu maka sambil makan dia pun berkata.

   "Eng-te, aku merasa menyesal sekali telah membuat engkau marah. Maafkanlah aku, demi persahabatan kita."

   Eng-ji menunda sumpitnya dan menatap wajah Han Lin. Matanya basah! Dan suaranya terdengar parau ketika dia berkata agak ketus.

   "Berjanjilah bahwa engkau tidak akan bersikap mata keranjang kalau melihat wanita cantik!"

   Han Lin menelan ludahnya, diam-diam merasa geli, akan tetapi juga penasaran.

   Sekarang dia melihat watak yang lain dari pemuda remaja yang mempunyai segi-segi yang aneh itu.

   "Baiklah, aku berjanji!"

   Katanya sambil mengangguk. Dan seketika sikap Eng-ji berubah! Kembali ramah seperti biasa, bahkan memilihkan dan menyumpitkan daging pilihan dari masakan itu untuk Han Lin! Ketika mereka selesai makan dan Eng-ji sudah membayar harga makanan, mereka meninggalkan rumah makan itu dan untuk menyenangkan hati sahabatnya itu, Han Lin menengokpun tidak ketika lewat dekat rombongan keluarga yang ada dua orang gadis cantiknya itu. Atas ajakan Eng-ji, mereka langsung meninggalkan kota itu menuju ke selatan. Sebentar saja mereka sudah meninggalkan kota dan tiba di tempat sunyi di luar kota sebelah selatan.

   Han Lin menimbang-nimbang. Akan diteruskan perjalanannya bersama Eng-ji ini? Ataukah dia akan memisahkan dirinya? Akan lebih enak kalau melakukan perjalanan seorang diri, dia dapat bebas sesuka hatinya dan tidak menyinggung atau membuat tidak senang hati sahabatnya itu. Akan tetapi kalau dia teringat akan keramahan Eng-ji, akan sikapnya yang teramat baik dan ramah kepadanya, dia merasa tidak tega. Bagaimana Eng-ji akan menerimanya kalau dia mengajak berpisahan? Agaknya pemuda remaja itu sudah melekat kepadanya, dan agaknya Eng-ji akan berduka kalau diharuskan berpisah. Eng-ji sudah dia anggap lebih dari pada sahabat biasa, bahkan menganggap seperti kakaknya sendiri. Mencucikan pakaiannya! Mempersiapkan makanan yang enak-enak.

   Bahkan pernah ketika mereka bermalam di kamar sebuah rumah penginapan di kota, pada malam hari ketika dia terbangun, dia melihat Eng-ji tertidur di atas lantai, tidak disampingnya di atas tempat tidur! Ketika pada pagi harinya dia menegur, pemuda remaja itu mengatakan bahwa dia merasa gerah sekali maka berpindah tidur di bawah, tidak berani membangunkannya! Dalam segala hal pemuda remaja itu mengalah kepadanya dan menyediakan yang terbaik untuknya. Dan dalam perjalanan selama beberapa hari itu dia merasa betapa perkenalan mereka telah menjadi persahabatan yang amat akrab. Bagaimana dia akan tega untuk mengatakan kepada Eng-ji bahwa dia ingin memisahkan diri?

   "Lin-ko, mengapa engkau melamun? Apa yang kau lakukan?"

   Han Lin tertegun. Pemuda remaja itu begitu penuh perhatian terhadap dirinya, seperti biasa! "Tidak apa-apa, Eng-te."

   "Sejak tadi engkau berdiam diri saja. Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?"

   "Ah, tidak ada."

   "Sukurlah kalau begitu. Aku khawatir bahwa aku telah membuat hatimu tidak senang."

   "Tidak, tidak ada apa-apa, Eng-te."

   "Sttt.... dari depan ada orang-orang yang mencurigakan. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat!"

   Tiba-tiba Eng-ji memperingatkan. Han Lin mengangkat muka memandang dan benar saja. Jauh di depan di atas jalan yang lurus itu tampak bayangan enam orang menuju ke tempat mereka dengan gerakan cepat sekali seperti terbang. Jelas mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu berlari cepat dan sedang menghampiri mereka. Han Lin bersikap waspada dan berhenti melangkah, memandang kepada mereka dengan sikap tenang walaupun hatinya merasa tegang.

   "Wah, mereka datang lagi! Kini langkah mereka bertiga ditambah tiga orang lagi. Gawat keadaannya, Lin-ko!"

   Bisik Eng-ji yang sudah cepat mengeluarkan Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) dari buntalan pakaiannya! Han Lin juga segera dapat mengenal mereka.

   Dia mengenal Toa Ok dan Sam Ok. Akan tetapi dia tidak mengenal Ji Ok, dan dari jarak jauh itu diapun tidak mengenal tiga orang lain yang datang bersama mereka. Karena maklum bahwa munculnya orang- orang itu tentu dengan niat buruk, yaitu hendak merampas Im-yang-kiam, maka Han Lin juga membuat persiapan dan diapun sudah melolos Im-yang-kiam dari buntalan pakaiannya. Akan tetapi setelah enam orang itu tiba di depan mereka dan Han Lin memandangi mereka satu demi satu, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Dia memandang kepada seorang wanita dan merasa bagaikan mimpi. Wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, masih cantik jelita, wanita yang selama hidupnya tidak akan pernah terlupakan oleh Han Lin karena wanita itu adalah ibunya!

   "Ibuuuu.....! Engkau adalah ibuku......!!"

   Han Lin melompat di depan wanita itu sambil berteriak memanggil. Wanita itu memang Chai Li adanya. Seperti telah di ceritakan di bagian depan, Chai Li menjadi tawanan Ji Ok setelah diselamatkan oleh datuk sesat itu. Ji Ok jatuh cinta kepada Chai Li dan dengan kekuatan sihirnya dia membuat Chai Li tunduk dan menyerah kepadanya menjadi isterinya. Ternyata bagaimanapun juga, Ji Ok merupakan suami yang baik dan amat mencinta isterinya sehingga walaupun Chai Li berada dalam keadaan di bawah pengaruh sihir, namun ia hidup cukup bahagia dengan suaminya yang mencinta.

   Juga Ji Ok telah menggembleng dan mendidiknya dengan ilmu silat sehingga Chai Li berubah menjadi seorang wanita yang lihai, akan tetapi wataknya juga sesuai dengan watak suaminya, keras dan kejam terhadap lawan. Ketika Han Lin melompat ke depannya dan menyebutnya ibu, Chai Li mundur-mundur dengan wajah berubah pucat dan matanya terbelalak. Ia tampak bingung sekali, seperti tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

   Melihat ibunya mundur-mundur dan memandang kepadanya dengan bingung, Han Lin melangkah maju.

   "Ibu, aku adalah anakmu. Aku adalah Han Lin anakmu.......!!"

   Chai Li menjadi semakin bingung. Mulutnya menggerakkan nama "Han Lin"

   Tanpa mengeluarkan suara dan ia seperti orang yang kehilangan ingatan.

   "Isteriku, serang bocah itu!"

   Tiba-tiba Ji Ok berseru dengan suara mengandung penuh wibawa dan mendengar teriakan Ji Ok ini, tiba-tiba Chai Li menyerangnya dengan ganas, menggunakan tangan kanan untuk memukul dengan telapak tangan yang mengeluarkan hawa panas. Itulah pukulan Ban-tok-ciang yang amat berbahaya. Han Lin terkejut sekali dan cepat dia mengerahkan sinkang pada dadanya yang terkena pukulan itu sehingga dia terjengkang.

   "Ibuuuu..... kenapa engkau memukul aku, anakmu?"

   Han Lin bangkit lagi. untung sinkangnya amat kuat sehingga pukulan itu tidak melukainya. Mendengar seruan ini, kembali Chai Li ragu-ragu dan bingung sehingga tidak menyerang lagi, melainkan memandang dengan mata terbelalak.

   Melihat kembali Chai Li- ragu-ragu dan bingung, Ji Ok berseru lagi, kini lebih berwibawa suaranya, mengandung kekuatan sihir yang menguasai Chai Li.

   "Isteriku, pemuda ini musuh kita. Bunuh dia!"

   Mendengar suara itu, Chai Li mencabut pedang yang berada di punggungnya dan menyerang Han Lin dengan tusukan maut. Han Lin cepat mengelak dan dia menjadi bingung sekali. Sementara itu, ketika melihat betapa Han Lin mengakui wanita cantik itu sebagai ibunya akan tetapi malah diserang oleh wanita itu atas perintah Ji Ok, Eng-ji menjadi marah sekali kepada Ji Ok.

   "Jahanam terkutuk engkau!"

   Bentaknya dan ia sudah menggunakan Ceng-liong-kiam untuk menyerang Ji Ok dengan dahsyatnya. Menghadapi serangan Eng-ji yang hebat ini, Ji Ok cepat mempergunakan senjatanya yang istimewa, yaitu sabuk sutera putih, untuk melawannya. Akan tetapi Sam Ok segera terjun ke dalam perkelahian itu sambil memutar Hek-kong-kiam di tangannya sambil berseru.

   "Ji Ok, engkau bantu Toa Ok merampas Im-yang-kiam!"

   Dan Sam Ok segera menyerang Eng-ji, dibantu oleh seorang kakek yang berpakaian seperti tosu yang tadi datang bersama mereka. Mendengar ini, Ji Ok lalu melompat keluar dan mendekati Chai Li yang masih menyerang Han Lin.

   "Terus serang dia, bunuh musuh kita ini, isteriku!"

   Katanya dan diapun segera menggunakan sabuk sutera putihnya untuk membantu Chai Li menyerang Han Lin. Melihat ini, Toa Ok tidak tinggal diam dan diapun sudah menggerakkan Kim-liong-kiamnya untuk mengeroyok Han Lin. Tosu kedua yang datang bersama mereka, tanpa di minta juga mengeroyok Han Lin, Han Lin masih kebingungan melihat sikap ibunya yang menyerangnya dengan hebat itu, menjadi marah bukan main. Tahulah dia bahwa ibunya berada dalam keadaan tidak wajar.

   Berada di bawah pengaruh sihir. Akan tetapi biarpun dia marah sekali, dia masih bingung dan sedih menghadapi ibunya seperti itu sehing ga karena perhatiannya tercurah kepada ibunya, dia menjadi kurang waspada dan ketika dia memutar pedang Im-yang-kiam untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan, tendangan kaki kiri Ji Ok mengenai dadanya dan diapun terjengkang dan terbanting roboh! Dadanya terasa nyeri akan tetapi tidak dirasakannya karena pada saat itu dia melihat Chai Li udah menusukkan pedangnya ke arah lehernya. Han Lin terpaksa menggulingkan dirinya agar terhindar dari tusukan maut itu dan kembali dia berseru.

   "Ibuuu.....!"

   Ini aku, Han Lin anakmu....!!"

   Kembali Chai Li tersentak kaget, akan tetapi Ji Ok kembali berkata kepadanya.

   "Jangan dengarkan ocehannya, isteriku. Dia musuh besar kita, serang dan bunuh dia!"

   Kembali Chai Li menggerakkan pedangnya menusuk, disusul oleh Ji Ok yang mengelebatkan sabuk suteranya. Bagai ikan seekor ular sabuk sutera putih itu meluncur dan ujungnya menotok ke arah tubuh Han Lin! Pemuda ini menjadi penasaran sekali melihat ibunya. Dia melompat berdiri dan menangkis pedang ibunya dan sabuk sutera putih yang menotoknya, akan tetapi dari belakang menyambar pedang Kim-liong-kiam di tangan Toa Ok dan sebatang pedang lain di tangan tosu pembantu Toa Ok. Han Lin memutar pedangnya ke belakang.

   "Ibu.......!"

   Dia mencoba untuk memanggil lagi.

   "Desss.....!"

   Hebat sekali tamparan tangan kiri Toa Ok yang disertai ilmu pukulan Ban-tok-ciang. Kalau bukan Han Lin yang punggungnya terkena pukulan itu, tentu akan roboh tewas atau setidaknya terluka parah. Akan tetapi pemuda itu telah melindungi tubuhnya dengan sin-kang, maka biarpun dia terpelanting roboh, dia tidak terluka parah dan sudah melompat kembali sambil memutar pedang Im-yang-kiam melindungi dirinya. Bukan pengeroyokan empat orang itu yang membuat Han Lin kewalahan, melainkan karena dia bingung dan sedih melihat keadaan ibunya yang tidak mengenalnya. Kenyataan ini membuat dia lengah dan lemah sehingga beberapa kali dia terkena tendangan dan hantaman. Masih untung bahwa dia tidak lupa untuk melindungi dirinya dengan sin-kang yang membuat tubuhnya kebal dan tidak dapat ditembusi oleh hawa beracun dari pukulan Ban-tok-ciang.

   "Ibuuu.... ingatlah, ibuuu.....!"

   Kembali dia berseru.

   "Desss.....!"

   Kembali dia terkena tendangan, sekali ini kaki Toa Ok yang menendangnya, keras sekali sehingga tubuhnya terpental sampai lima meter! Empat orang pengeroyoknya itu mengejarnya dan kembali pedang ibunya menusuk ke arah dadanya. Dia menangkap pedang itu dengan tangan kirinya.

   "Ibu, aku Han Lin.....!"

   Dia memperingatkan ibunya. Akan tetapi Chai Li mengerahkan tenaga dan mencabut pedangnya. Ia kini telah memiliki tenaga sin-kang cukup kuat sehingga Han Lin yang tidak mencengkeram pedang dengan sungguh-sungguh itu melepaskan pedang yang mengakibatkan telapak tangan kirinya tergores pedang dan berdarah!

   "lbuuuu.....! Desss.....!"

   Kembali tubuh Han Lin terkena tendangan Ji Ok sehingga terpelanting dan terguling-guling. Kepalanya terasa pening dan pada saat itu sadarlah dia bahwa kalau dia terus terbenam dalam kebingungan dan kedukaan, dia dapat tewas di tangan para pengeroyok itu. Bangkitlah semangat Han Lin dan dia menjadi marah sekali, marah kepada mereka yang telah membuat ibunya seperti itu.

   "Aaaaauuuungggg......!"

   Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik semacam auman yang melengking-lengking dan empat orang pengeroyoknya terpental mundur seperti dilanda angin badai. Itulah Sai-cu Ho-kang (Ilmu Auman Singa) yang dikeluarkannya dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga akibatnya amat hebat, membuat para pengeroyoknya terhuyung-huyung ke belakang. Juga sekaligus getaran suara itu menghancurkan semua kekuatan sihir sehingga pada saat itu Chai Li seolah-olah terbebas dari pengaruh sihir. Ia terbelalak pucat, memandang kepada Han Lin.

   "Kau..... kau.....?"

   Katanya dengan suara tidak jelas. Wanita itu masih dapat bicara walaupun kalau mengeluarkan suara tidak jelas karena lidahnya tinggal separuh. Melihat dan mendengar suara ibunya, Han Lin menjadi timbul harapannya lagi dan diapun mendekati ibunya.

   "Ibu, ini aku anakmu, Han Lin!"

   Akan tetapi pada saat itu, kembali serangan datang bertubi. Han Lin yang mencurahkan perhatiannya kepada ibunya, memutar pedang menangkis, akan tetapi dari belakang dia menerima hantaman tangan kiri Ji Ok.

   "Plakk....!"

   Punggungnya kena dihantam ilmu pukulan Ban-tok-ciang dan kembali Han Lin terpelanting jatuh. Pedang Kim-liong-kiam di tangan Toa Ok menyambar dengan tusukan ke arah dadanya pada saat dia jatuh itu.

   Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Han Lin masih sempat menggulingkan dirinya ke samping sehingga pedang itu menusuk dan menancap di atas tanah. Han Lin menggulingkan tubuhnya menjauh dan pada saat itu, pedang tosu pembantu Toa Ok sudah membacok ke arah perut Han Lin. Melihat datangnya pedang yang dibacokkan ke arah perutnya, Han Lin cepat menggerakkan kedua kakinya menendang. Kaki kiri menendang pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga pedang itu terlepas, dan kaki kanan menendang ke arah dada lawan. Tosu itu mengelak namun tetap saja dadanya tertendang sehingga dia terjengkang roboh. Han Lin meloncat bangun dan sudah memutar Im-yang-kiam lagi untuk melindungi dirinya. Yang amat menyedihkan hatinya adalah ketika dia melihat ibunya kembali sudah menyerangnya dengan ganas!

   Sementara itu, Eng-ji yang dikeroyok oleh Sam Ok dan seorang tosu pembantu menjadi repot sekali. Menghadapi Sam Ok seorang dia masih mampu menandingi bahkan mengungguli wanita datuk sesat itu, akan tetapi tosu yang mengeroyoknya itu lihai juga ilmu pedangnya sehingga dia mulai terdesak. Apa lagi ketika dia melihat berulang kali Han Lin terpelanting roboh dan pemuda itu tampak bingung sekali memanggil-manggil ibunya dia sendiri menjadi kacau dan pada suatu saat, ujung pedang Sam Ok telah menyerempet paha kirinya sehingga celananya robek berikut kulitnya dan mengeluarkan banyak darah. Akan tetapi hal ini tidak membuat Eng-ji menjadi gentar atau lemah, bahkan membuat dia menjadi marah sekali dan gerakan pedangnya menjadi semakin hebat!

   "Haiiiittt....!"

   Eng-ji mengeluarkan teriakan melengking dan hampir saja pedangnya membabat pundak Sam Ok yang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi datuk wanita itu masih mampu mengelak dan sebelum Eng-ji dapat mendesaknya, tosu yang mengeroyoknya telah datang membantu sehingga kembali Eng-ji menghadapi dua orang yang menyerangnya dengan bertubi-tubi. Eng-ji memutar Ceng-liong-kiam di tangannya dan dia tidak hanya melindungi dirinya, akan tetapi dapat juga membalas serangan dua orang pengeroyoknya dengan tusukan atau bacokan yang berbahaya. Ilmu pedang Coa-tok Sin-kiam yang dimainkannya memang merupakan ilmu pedang yang hebat dan ganas sekali. Pedangnya seolah menjadi seekor ular yang melenggang-lenggok dan mematuk-matuk sehingga dua orang pengeroyoknya harus berlaku hati-hati sekali. Han Lin yang selalu masih merisaukan ibunya kini terkepung dan terdesak hebat. Terutama sekali pedang Toa Ok dan sabuk sutera putih Ji Ok amat mendesak nya sehingga dia menjadi repot. Hal ini adalah karena perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada ibunya yang juga ikut menyerangnya dengan ganas.

   Han Lin merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat ibunyamati-matian menyerangnya dengan tusukan-tusukan maut itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat kayu sederhana menyambar dan menangkis pedang Toa Ok yang mengancam Han Lin. Ternyata yang datang membantu Han Lin itu adalah seorang gadis berpakaian putih yang bukan lain adalah Tan Kiok Hwa! Melihat gadis ini membantu, Han Lin khawatir sekali kalau-kalau gadis itu celaka. Maka dia lalu kembali mengeluarkan pekik aumannya yang dahsyat dan Han Lin kini mengamuk! Sambil menghin darkan diri dari serangan ibunya, dia mengamuk dan melakukan penyerangan yang hebat terhadap Toa Ok, Ji Ok dan tosu pembantu mereka. Pedangnya berubah menjadi seperti kilat yang menyambar-nyambar, amat dahsyatnya.

   Dia sudah marah sekali. Bukan marah karena dirinya dikeroyok dan diserang, melainkan marah karena melihat keadaan ibunya yang tidak mengenal dirinya lagi. Dia mengamuk dan melihat ini. Toa Ok menjadi terkejut sekali. Datuk sesat ini merasa amat penasaran. Dia ingin sekali merampas Im-yang-kiam. Tadinya dia yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan Han Lin. Akan tetapi, ternyata bertanding satu lawan satu dia tidak mampu menang. Kemudian dia minta bantuan Sam Ok. Juga gagal. Sekarang dia dibantu Sam Ok dan Ji Ok bersama dua orang tosu lihai lagi, akan tetapi ternyata kembali dia gagal. Han Lin dibantu pemuda remaja yang amat lihai itu dan kini bahkan dibantu pula oleh gadis berpakaian putih yang juga memiliki ilmu tongkat yang amat aneh dan gerakannya demikian luar biasa sehingga sukar disambar pedangnya.

   Gadis berpakaian putih itu memiliki ilmu langkah yang ajaib sekali. Maklum bahwa sekali inipun dia gagal, bahkan setelah Han Lin mengamuk keadaan dia dan kawan-kawannya berbalik terancam bahaya, Toa Ok lalu melempar bahan peledak. Ledakan itu menimbulkan asap hitam tebal dan tanpa diberitahu, ledakan itu merupakan isarat kepada kawan-kawannya untuk melarikan diri. Akan tetapi Han Lin tidak memperdulikan asap hitam tebal itu. Dia menerjangnya sambil menahan napas.

   "Ibuuu....! Jangan pergi, ibu.....!"

   Dia berseru lalu berlari melakukan pengejaran. Akan tetapi para pengeroyok itu telah lenyap dan Han Lin terus mengejar ke depan dengan nekat sambil memanggil-manggil ibunya. Sementara itu, setelah terjadi ledakan dan timbulnya asap hitam tebal, Eng-ji melompat ke belakang. Setelah para pengeroyoknya pergi, barulah terasa oleh nya betapa luka di pahanya perih dan nyeri. Dia terhuyung.

   "Engkau terluka.....!"

   Terdengar teguran dan ketika dia menoleh, dia berhadapan dengan seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita.

   Gadis itu membawa sebatang tongkat kayu di tangan kanannya dan sebuah buntalan besar tergendong di punggungnya. Eng-ji melihat betapa gadis itu tadi menggunakan tongkat untuk membantu Han Lin. Dia memandang tajam penuh perhatian, akan tetapi rasa nyeri di pahanya membuat dia menjatuhkan diri terduduk dan sambil memijati pahanya yang terluka dia bertanya.

   "Kalau aku terluka mengapa?"

   Kiok Hwa tersenyum mendengar jawaban yang ketus itu. Ia tadi melihat betapa pemuda remaja itu amat lihainya, mampu menandingi Sam Ok dan seorang tosu yang mengeroyoknya.

   "Adik yang baik, kalau engkau terluka, aku dapat mengobatimu. Aku adalah seorang ahli pengobatan. Aku khawatir kalau lukamu itu mengandung racun."

   Eng-ji terkejut dan juga girang. Dia memandang kepada luka di pahanya dan melihat betapa luka itu tidak dalam akan tetapi di sekitar lukanya terdapat warna menghitam! Itulah merupakan tanda bahwa luka itu memang mengandung racun!

   

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini