Suling Pusaka Kumala 21
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
Akan tetapi itu sudah cukup bagi Han Lin. Dia merasa girang sekali mendengar bahwa Sian Eng memiliki seorang paman tua di kota raja! Selain hal ini tentu akan menggembirakan hati Sian Eng, juga setelah tiba di kota raja dia dapat berpisah dari gadis itu yang tentu tidak akan kesepian lagi karena sudah bertemu dengan keluarga ayahnya. Setelah mengucapkan terima kasih, Han Lin lalu meninggalkan dusun Cia-lim-bun dan menuruni lereng, kembali ke dusun di kaki pegunungan di mana Sian Eng masih menanti di rumah penginapan.
Sian Eng menyambut kedatangan Han Lin yang berseri wajahnya itu dengan pertanyaan penuh harap.
"Bagaimana, Lin-ko? Berita apa yang kau dapatkan di sana?"
"Berita baik yang amat menggembirakan, Eng-moi. Ayah ibumu memang tidak mempunyai sanak keluarga di dusun Ciang-lim-bun, bahkan ibumu tidak diketahui memiliki sanak keluarga sama sekali karena kakek dan nenekmu telah meninggal dunia karena wabah penyakit menular di dusun itu. Akan tetapi ayah kandungmu mempunyai seorang kakak bernama Lo Kang yang kini memimpin sebuah perguruan silat terkenal bernama Hek-tiauw Bu-koan di kota raja."
"Ah, aku masih mempunyai seorang Toa-pek (uwa) bernama Lo Kang? Sungguh menyenangkan sekali!"
Seru Sian Eng gembira.
"Yang lebih menggembirakan lagi, dia tinggal di kota raja, Eng-moi. Padahal, kitapun sedang pergi ke sana, jadi kebetulan sekali, engkau dapat mencari dan menjumpainya di sana. Kiraku untuk mencari sebuah bu-koan (perguruan silat) yang terkenal tidaklah sukar."
"Oooh, aku gembira sekali, Lin-ko. Bertemu dengan satu-satunya keluarga ayah kandungku! Dan dia seorang guru silat terkenal? Akan tetapi kenapa ayah kandungku bahkan menjadi sasterawan?"
"Entahlah, menurut cerita paman dari kepala dusun, memang sejak kecil ayah kandungmu tekun mempelajari sastra sedangkan kakaknya itu tekun mempelajari ilmu silat sehingga menjadi seorang pemimpin perguruan silat yang terkenal di kota raja."
Pada pagi hari itu juga Han Lin dan Sian Eng melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. Mereka melakukan perjalanan cepat sekali dan baru berhenti kalau terhalang datangnya malam. Hek-Tiauw Bu-koan (Perguruan Silat Rajawali Hitam) merupakan perguruan silat terbesar di kota raja. Banyak orang muda, bahkan putera para hartawan dan bangsawan yang ingin belajar silat, menjadi murid di situ walaupun bayarnya cukup mahal. Akan tetapi di antara para muridnya yang lebih seratus orang banyaknya, hanya sedikit yang jadi atau yang dapat mengusai ilmu silat dari Hek-tiauw Bu-koan dengan baik. Kebanyakan dari mereka tidak tahan dan tidak sabar untuk mempelajari dasar-dasar ilmu silat yang sukar dan membutuhkan keuletan. Baru mempelajari pasangan kuda-kuda saja seorang muridnya harus tekun belajar setiap hari selama berbulan-bulan, bahkan bagi yang tidak memiliki bakat besar, sampai belajar setahun lamanya belum juga mampu memasang kuda-kuda yang cukup kokoh.
Karena itu, kebanyakan dari mereka hanya menguasai kembangan-kembangannya saja dan putus di tengah jalan karena tidak tahan uji. Yang memimpin Hek-tiauw Bu-koan adalah seorang pendekar bernama Lo Kang, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap berusia kurang lebih lima puluh tahun.
Wajahnya gagah, dengan kumis dan jenggot lebat seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam Kok. Dia terkenal memiliki ilmu silat yang banyak ragamnya, akan tetapi yang paling terkenal adalah ilmu silatnya yang disebut Hek-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Hitam). Ilmu silat ini merupakan ilmu yang paling dalam dari perguruan itu dan yang dapat mencapai tingkat sehingga menguasai ilmu silat Rajawali Hitam ini hanya beberapa orang murid saja. Mereka inipun belum menguasai secara sempurna karena untuk menguasai sepenuhnya, orang harus memiliki sinkang (tenaga sakti) yang cukup.
Lo Kang dibantu oleh dua orang anak nya. Anak pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar gagah seperti ayahnya, berwajah tampan dan bermata lebar. Adapun anak kedua adalah seorang gadis yang berusia dua puluh tahun, wajahnya bulat dan cantik, pandang matanya keras seperti pandang mata kakaknya. Dua orang kakak beradik ini sejak kecil digembleng oleh ayah mereka dan keduanya merupakan murid-murid yang paling tinggi tingkat kepandaiannya di antara para murid lainnya. Karena itu mereka membantu ayah mereka untuk mendidik murid-murid yang sudah agak tinggi tingkatnya.
Adapun murid-murid tingkat permulaan diajar oleh lima orang murid kepala. Putera Lo Kang itu bernama Lo Cin Bu dan pemuda tinggi besar, tampan dan gagah ini terkenal berhati keras dan wataknya agak angkuh. Hal ini karena dia tahu bahwa ayahnya merupakan guru silat yang paling terkenal di kota raja dan dia merasa bahwa keluarganya memiliki ilmu silat yang tidak akan dapat dikalahkan oleh orang lain! Adiknya, gadis itu bernama Lo Siang Kui dan gadis yang cantik manis inipun memiliki watak yang mirip kakaknya, agak angkuh dan merasa diri sendiri paling hebat.
Pembentukan watak seperti ini tidak terlalu mengherankan karena ayah mereka, Lo Kang juga berwatak tinggi hati dan menganggap diri sendiri paling jagoan. Dan ini bukan sekedar kesombongan! kosong belaka karena sudah seringkali keluarga Lo ini mengalahkan jagoan-jagoan yang sengaja datang untuk mencoba dan menguji kepandaian mereka. Watak keluarga Lo ini menjadi lebih congkak lagi setelah mereka menerima pinangan Cheng Kun yang biasa disebut Cheng-kongcu (tuan muda Cheng) karena dia adalah seorang pemuda bangsawan,' seorang di antara putera-putera Pangeran Cheng Boan yang menjadi adik kaisar!
Pinangan itu diterima dan setelah Lo Siang Kui ini menjadi tunangan Cheng' kongcu, watak keluarga Lo menjadi semakin tinggi hati. Lo Kang merasa dirinya terangkat karena akan menjadi besan Pangeran Cheng Boan. Hek-tiauw Bu-koan memiliki bangunan yang besar, dikelilingi pagar tembok yang setinggi dua meter. Gedung itu amal luas, memiliki taman bunga dan kebun belakang dan di belakang terdapat bangunan yang dijadikan lian-bu-thia (ruangan bermain silat) yang luas sekali.
Letak pusat Hek-tiauw Bu-koan ini di pinggir kota raja, dekat pintu gapura sebelah selatan, di tepi jalan besar sehingga semua yang memasuki kota raja lewat pintu gerbang selatan yang merupakan pintu paling ramai, tentu akan melihat papan nama besar yang tergantung di depan gedung itu. Pada hari itu, pintu gerbang halaman rumah dan gedung itu sendiri tampak terhias meriah. Papan nama yang bertuliskan Hek-tiauw Bu-koan di depan pintu gerbang juga dicat baru dan mengkilap. Beberapa orang murid perguruan itu dengan pakaian serba baru berjaga di pintu gerbang dan sejak pagi berdatanganlah tamu-tamu yang disambut para murid, diantar masuk dan di ruangan depan para tamu itu disambut oleh Lo Kang yang ditemani dua orang anaknya, Lo Cin Bu dan Lo Siang Kui.
Cin Bu tampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang baru, demikian pula Siang Kui tampak cantik dan gagah. Ayah dan dua orang anaknya itu memang kelihatan gagah dan berwibawa. Di punggung mereka tergantung sebatang pedang dengan ronce kuning, menunjukkan bahwa mereka adalah ahli ahli bermain pedang.
Ketika pagi hari itu Han Lin dan Sian Eng tiba di depan pintu gerbang perguruan Rajawali Hitam yang terhias meriah itu, mereka berdua merasa heran. Melihat ada tujuh orang muda, agaknya murid-murid perguruan itu, berdiri di depan pintu gerbang menyambut para tamu,, setelah tidak tampak tamu datang, Han Lin dan Sian Eng lalu maju menghampiri pintu gerbang itu.
Para murid itu mengira bahwa mereka berdua juga tamu, maka mereka menyambut dengan hormat. Han Lin dan Sian Eng cepat membalas penghormatan mereka. Para murid itu dalam menyambut para tamu, selalu menanyakan nama para tamu untuk dilaporkan ke dalam ketika mereka mengantar tamu itu ke dalam. Akan tetapi sebelum mereka bertanya kepada Han Lin dan Sian Eng, Han Lin mendahului mereka bertanya.
"Saudara-saudara, perguruan Hek-tiauw Bu-koan ini sedang merayakan apakah maka di sini dihias begini meriah?"
(Lanjut ke Jilid 22)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 22
Mendengar pertanyaan ini, para murid perguruan silat itu terbelalak dan saling pandang. Mengertilah mereka bahwa pemuda dan gadis ini sama sekali bukan tamu untuk menghadiri perayaan, buktinya mereka tidak tahu apa yang sedang dirayakan.
"Jadi ji-wi (kalian berdua) belum tahu? Perayaan ini adalah merayakan hari ulang tahun ketua kami yang ke lima puluh tahun. Kalau begitu ji-wi bukan tamu undangan. Ada keperluan apakah ji-wi datang ke sini?"
Kata seorang di antara mereka, sikapnya berbalik tidak hormat lagi, melainkan curiga.
Pada saat itu, dari dalam muncul lima orang laki-laki yang usianya antara tiga puluh lima tahun, bersikap gagah. Mereka ini adalah lima orang murid kepala. Seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok, melihat para murid mengepung seorang pemuda dan seorang gadis, segera maju dan membentak.
"Ada apa ini?"
"Twa-suheng (kakak seperguruan tertua),"
Seorang di antara para murid yang lebih muda itu berkata.
"dua orang ini bukan tamu-tamu undangan karena mereka tidak tahu untuk apa perayaan ini diadakan."
Si brewok itu mengamati wajah Han Lin dan Sian Eng. Melihat gadis yang cantik jelita itu, sikapnya melunak dan pandang matanya tidak segalak tadi.
"Kalau kalian bukan tamu undangan, lalu untuk apa kalian datang ke sini? Ada keperluan apakah datang berkunjung ke Hek-tiauw Bu-koan?"
Kini Sian Eng menjawab dengan pertanyaan pula.
"Bukankah ketua Hek-tiauw Bu-koan ini seorang yang bernama Lo Kang?"
"Benar, nona. Suhu memang bernama Lo Kang."
Jawab si brewok.
"Kalau begitu, tolong antarkan kami untuk bertemu dengan dia! Saya ingin menghadap Lo-kauwsu (guru silat Lo)!"
Kata Sian Eng penuh gairah.
"Apakah kalian hendak belajar silat? Kalau untuk itu, tidak perlu bertemu suhu, cukup mendaftarkan kepada kami saja. Akan tetapi jangan hari ini karena hari ini kami sibuk. Datanglah ke sini besok pagi."
"Kami bukan datang untuk belajar silat."
Kata Sian Eng.
"Aku datang untuk bertemu Lo-kauwsu. Dia adalah paman-tuaku. Aku ini keponakannya yang datang dari dusun Cia-lim-bun di Tai-hang-san!"
Si brewok itu tampak tertegun dan heran. Dia belum pernah mendengar bahwa gurunya mempunyai seorang keponakan perempuan seperti ini, padahal dia sudah menjadi murid guru silat Lo Kang selama sepuluh tahun.
"Akan tetapi suhu sedang sibuk sekali menerima para tamu, dan sedang merayakan hari ulang tahunnya, tidak dapat diganggu."
"Coba laporkan kepadanya. AKu yakin dia akan senang sekali menerima kedatanganku!"
Kata Sian Eng mendesak.
"Baiklah, akan saya laporkan. Siapa nama kalian?"
"Aku bernama Lo Sian Eng dan ini sahabatku bernama Han Lin."
"Harap kalian tunggu sebentar di sini, akan saya laporkan kepada suhu."
Kata si brewok yang lalu masuk ke dalam dengan langkah lebar. Han Lin dan Sian Eng melangkah mundur dan berdiri di pinggiran karena ada beberapa orang tamu berdatangan dan disambut oleh para murid Hek-tiauw Bu-koan. Akan tetapi mereka tidak menunggu lama. Si brewok sudah datang dan dia langsung menghadapi Sian Eng dan berkata dengan alis berkerut.
"Suhu telah saya lapori, akan tetapi beliau menyatakan bahwa beliau tidak mempunyai seorang keponakan yang bernama Lo Sian Eng. Mungkin nona salah alamat, kata suhu, karena itu sebaiknya nona tidak mengganggu suhu yang sedang sibuk."
Sian Eng mengerutkan alisnya.
Han Lin tahu bahwa gadis itu akan marah, maka dia cepat berkata kepada si brewok tadi.
"Saudara agaknya terjadi kekurang-pengertian di sini. Memang adik Lo Sian Eng ini tidak pernah bertemu dengan Lo-kauwsu (guru silat Lo). Akan tetapi kalau engkau melaporkan bahwa adik Lo Sian Eng adalah puteri dari sasterawan Lo Kiat, kami yakin dia akan mengenal dengan baik. Kami mohon dengan hormat, sukalah saudara melapor sekali lagi dengan mengatakan bahwa puteri sasterawan Lo Kiat mohon bertemu."
Sian Eng maklum bahwa Han Lin tidak menghendaki ia main kasar, maka iapun segera tersenyum manis kepada si brewok itu dan berkata.
"Tolonglah, saudara yang baik. Tolong sekali ini saja lagi."
Si brewok meragu. Tadinya dia hendak menolak dan mengusir mereka, akan tetapi melihat senyum manis dan pandang mata gadis cantik jelita itu, hatinya luluh dan dia mengerutkan alis sambil mengangguk.
"Baiklah, akan tetapi kalau suhu merasa terganggu dan marah, kalian sendiri yang harus bertanggung jawab."
Setelah berkata demikian, kembali dia melangkah lebar memasuki pekarangan yang luas itu menuju ke rumah yang sedang menerima para tamu. Kembali Sian Eng dan Han Lin menunggu. Tiba-tiba Sian Eng menarik tangan Han Lin dan mereka mundur menjauh, bahkan lalu membalikkan tubuh agar jangan sampai muka mereka tampak oleh dua orang yang baru datang sebagai tamu. Mereka itu bukan lain adalah Ji Ok dan Sam Ok!
"Aku harus bunuh mereka!"
Kata Sian Eng lirih dengan suara mengandung kemarahan. Ia teringat betapa gurunya, Hwa Hwa Cinjin, tewas setelah bertanding melawan Thian-te Sam-ok. Apalagi kalau ia teringat betapa ibu Han Lin juga tewas oleh pisau yang disambitkan, oleh oleh Ji Ok, hatinya menjadi panas, sekali.
"Sssstt.....tenanglah, Eng-moi. Engkau tidak ingin membikin kacau perayaan pamanmu, bukan? Sekarang belum waktunya untuk menentang mereka. Kita tunggu saatnya yang tepat."
Bisik Han Lin dan Sian Eng menjadi tenang kembali, teringat bahwa kalau ia menyerang kedua orang itu, tentu akan terjadi pertempuran dan hal ini tentu saja mengacaukar perayaan yang diadakan oleh pamannya itu. Maka ia mendiamkan saja sampai kedua orang musuh besar yang tidak menyadari tentang keberadaan ia dan Han Lin diantar masuk oleh para murid Hek-tiauw Bu-koan.
Tak lama kemudian si brewok datang lagi dan dari wajahnya yang berseri dapat diduga bahwa dia membawa berita baik.
"Memang benar bahwa suhu mempunyai seorang adik bernama Lo Kiat! Suhu memanggil kalian untuk masuk dan menghadap."
"Terima kasih!"
Kata Han Lin dan dia bersama Sian Eng lalu mengikuti si brewok memasuki pekarangan menuju ke rumah gedung itu. Ruangan depan di mana perayaan itu diadakan, amat luas dan ruangan itu telah penuh dengan tamu. Tidak kurang dari seratus orang memenuhi ruangan itu. Agaknya para tamu terbagi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari tamu-tamu muda yang dipersilakan duduk di bagian bawah, sedangkan kelompok ke dua terdiri dari para tamu yang agaknya merupakan tokoh-tokoh besar, hanya ada belasan orang saja dan mereka ini duduk di bagian atas, sejajar dengan tempat duduk pihak tuan rumah.
Han Lin dan Sian Eng dibawa menghadap Lo Kiang dan dua orang anaknya. Sian Eng memandang kepada laki-laki berusia lima puluh tahun itu dengan penuh perhatian. Hatinya berdebar dan ia merasa bangga. Inilah orang yang menjadi kakak dari ayah kandungnya. Begitu gagah dan berwibawa paman-tuanya itu! Di lain pihak, Lo Kang dan dua orang anaknya yang tadi diberitahu si brewok tentang seorang gadis yang mengaku sebagai puteri Lo Kiat, kini memandang Sian Eng dengan penuh selidik. Ketika Han Lin dan Sian Eng mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat, Lo Kang hanya mengangguk, dan dua orang anaknya juga hanya mengangguk. Diam-diam Sian Eng merasa tidak enak hati. Apakah mereka masih tidak percaya kepadanya maka bersikap demikian angkuh?
"Pek-hu (Uwa), saya Lo Sian Eng menghaturkan hormat saya kepada pek-hu."
Kata Sian Eng yang menghadapi Lo Kang.
"Hemm, engkaukah puteri Lo Kiat? Bagaimana keadaan ayahmu?"
Tanya Lo Kang sambil mengamati wajah gadis itu.
"Pek-hu, ayah dan ibu saya telah meninggal dunia karena sakit."
Lo Kang mengerutkan alisnya yang tebal.
"Hemm, begitulah kalau mempunyai tubuh yang lemah. Sejak kecil aku sudah menganjurkan kepadanya untuk berlatih silat, akan tetapi dia memilih menjadi kutu buku yang lemah dan berpenyakitan! Berbeda dengan aku yang setua ini masih sehat kuat! Dan siapa pemuda ini?"
Tanya nya sambul menunjuk kepada Han Lin.
"Nama saya Han Lin, locianpwe (orang tua yang gagah)."
Jawab Han Lin.
"Dia adalah seorang sahabat yang menjadi teman seperjalanan saya, pek-hu."
Kata Sian Eng memperkenalkan.
Sepasang alis Lo Kang mengerut semakin dalam dan matanya memandang kepada Sian Eng penuh teguran.
"Seorang gadis melakukan perjalanan bersama seorang pemuda? Sungguh tidak pantas!"
"Akan tetapi, pek-hu....."
Sian Eng hendak membantah akan tetapi Lo Kang sudah menggerakkan tangan dengan tidak sabar.
"Sudahlah, kita bicara nanti saja. Sekarang kami sedang sibuk menerima tamu. Kalian berdua duduklah bersama para tamu di sana."
Dia menuding kearah kelompok tamu yang duduk di bagian bawah.
"O ya,"
Sambungnya cepat.
"Lo Sian Eng, perkenalkan, inilah anak-anakku, saudara-saudara sepupumu. Dia ini Lo Cin Bu dan yang ini Lo Siang Kui,"
Dia menuding kepada dua orang anaknya itu yang tetap saja bersikap angkuh terhadap Sian Eng. Mereka hanya mengangguk ketika Sian Eng memberi hormat, akan tetapi Cin Bu agak tersenyum memandang adik sepupunya yang cantik itu. Kembali Lo Kang melambaikan tangan memberi isarat kepada Sian Eng dan Han Lin untuk duduk di kelompok bawah. Sian Eng dan Han Lin segera turun dari undak-undakan dan mencari tempat duduk di antara para tamu yang berada di bawah. Sian Eng yang hatinya merasa tidak puas dengan sikap uwanya dan saudara-saudara sepupu nya, tidak perduli ketika banyak pasan mata para tamu memandangnya dengan kagum. Ia dan Han Lin mendapatkan tempat duduk di bagian belakang dan segera lenyap di antara para tamu. Mereka melihat betapa Ji Ok dan Sam Ok mendapat tempat duduk kehormatan, di kelompok yang duduk di bagian atas.
"Hemmm........ sombong amat......!"
Sian Eng mendesis setelah duduk di bagian paling belakang bersama Han Lin karena di bagian depan kelompok bawah itu sudah penuh tamu.
"Ssstt..... tenanglah, Eng-moi. Di sini kita malah tidak tampak oleh Ji Ok dan Sam Ok, sebaliknya kita dapat mengintai gerak-gerik mereka."
Kata Han Lin lirih.
Tiba-tiba terdengar seruan para murid yang berjaga di depan.
"Yang terhormat Kongcu Cheng Kun datang......!"
Mendengar ini, Lo Siang Kui berlari keluar, diikuti oleh Lo Kang dan kakaknya, Lo Cin Bu. Agaknya keluarga ini begitu bangga untuk menyambut calon suami Siang Kui, yaitu Cheng Kun atau Cheng Kongcu, putera Pangeran Cheng Boan! Bahkan Nyonya Lo Kang yang tadinya duduk di kursi, bahkan tidak ambil perduli ketika Siang Eng dan Han Lin muncul, kini bangkit dari kursinya dari biarpun ia tidak keluar menyambut, namun ia tetap berdiri sambil tersenyum, gembira dan bangga. Setelah menyambut Cheng Kongcu di depan, Lo Kang dani Cin Bu mengikuti pemuda itu yang berjalan berdampingan dengan tunangannya, Siang Kui.
Sian Eng dan Han Lin memandangi penuh perhatian. Pemuda itu memang gagah, pakaiannya mewah gemerlapan, dari topi di kepalanya sampai sepatu di kakinya, semua serba baru dan merupakan barang mewah dan mahal. Wajahnya tidak dapat disebut tampan, akan tetapi karena pembawaan dan pakaiannya, dia tampak gagah berwibawa. Lo Kang membawa tamu muda itu ke bagian atas dan setelah tiba di atas Lo Kang menghadap kepada para tamunya dan berkata dengan suara lantang memperkenalkan tamunya yang amat dihormatinya itu.
"Cu-wi (saudara sekalian), perkenalkanlah. Beliau ini adalah Kongcu Cheng Kun, putera dari yang mulia Pangeran Cheng Boan dan beliau ini adalah calon mantu kami!"
Mendengar ini, sebagian besar dari para tamu bangkit berdiri dan memberi hormat ke arah putera pangeran itu, yang dibalas oleh Cheng Kun dengan anggukan kepala yang angkuh dan bangga. Akan tetapi Sian Eng dan Han Lin termasuk diantara mereka yang tetap duduk. Mereka melihat bahwa Ji Ok dan Sam Ok juga tetap duduk di tempatnya. Cheng Kun lalu mendapatkan kursi di samping Lo Kang dan Siang Kui, diapit di tengah-tengah. Agaknya kedatangan putera pangeran ini merupakan pertanda bahwa pesta dimulai, atau dibukanya pesta perayaan itu menunggu kedatangannya. Seperti juga sebagian dari para tamu, Cheng Kun membawa hadiah yang dibawakan dua orang pembantunya yang datang belakangan.
Hadiah yang dibawa dua orang pembantunya itu tidak kepalang banyaknya. Kalau lain tamu hanya masing-masing membawa sebuah bungkusan, dua orang pembantu itu membawa tidak kurang dari sepuluh buah bungkusan besar-besar! Semua hadiah berupa bungkusan itu ditumpuk di atas sebuah meja besar yang telah disediakan di situ, dan hadiah dari Cheng Kun itu diletakkan di atas meja bagian paling depan sehingga kelihatan oleh semua orang.
Lo Kang bangkit berdiri dan melangkah ke tengah panggung yang dipasang di tengah ruangan itu. Panggung ini sengaja dibuat untuk tempat pertunjukan. Semua orang dunia persilatan kalau mengadakan perayaan tentu membangun panggung seperti itu, mempersiapkan tempat untuk pertunjukkan karena biasanya tentu ada pertunjukan tarian atau permainan silat. Lo Kang juga sudah mengundang serombongan penyanyi dan penari yang terkenal di kota raja dengan bayaran tinggi.
"Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat. Kami seluruh keluarga mengucap kan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran cuwi, juga terima kasih atas semua sumbangan dan hadiah yang diberikan kepada kami. Kami merayakan hari ulang tahun saya yang ke lima puluh, juga sekalian merayakan berdirinya Hek-tiauw Bu-koan yang sudah dua puluh lima tahun. Untuk menyambut kedatangan cuwi, kami persilakan cuwi untuk minum secawan arak!"
Setelah berkata demikian dengan suara lantang, Lo Kang lalu mengambil secawan arak yang disodorkan oleh Siang Kui dan mengajak para tamu minum. Para tamu menyambut dengan minum arak dari cawan masing-masing. Setelah sambutan yang singkat dari Lo Kang ini, mulailah hidangan disuguhkan dan para tamu mulai makan minum dengan gembira. Tak lama kemudian para penabuh musik dan para penyanyi muncul dan perayaan itu menjadi semakin meriah ketika para gadis penyanyi yang muda-muda dan cantik-cantik itu mulai menyanyi dengan iringan musik. Kemudian merekapun mulai menari sehingga suasana semakin meriah. Sejak tadi Han Lin diam saja. Kadang kadang dia memandang ke arah Ji Ok yang duduk di samping Sam Ok di kelompok bagian atas sebagai tamu-tamu kehormatan. Pertemuannya dengan Ji Ok tanpa disangka-sangka ini membuatnya termenung. Dia teringat kepada ibunya yang tewas oleh pisau yang disambitkan Ji Ok untuk membunuhnya.
Ji Ok telah membunuh ibunya! Biarpun hal itu tidak disengaja, tetap saja Ji Ok yang membunuh ibunya. Diapun teringat ketika ibunya yang terluka parah dan dalam keadaan sekarat itu melarangnya untuk membunuh Ji Ok karena ibunya sudah berhutang nyawa kepada Ji Ok! Teringat akan semua itu, hatinya menjadi sedih sekali. Bagaimanapun juga, Ji Ok bukanlah manusia baik-baik, bahkan seorang tokoh sesat yang jahat sekali. Biarpun ibunya tampak mencinta dan taat kepada Ji Ok, namun hal itu dilakukan karena ibunya terpengaruh sihir. Ji Ok telah menyihir ibunya sehingga ibunya menjadi seperti sebuah boneka hidup! Untuk semua kejahatannya itu Ji Ok pantas dihajar, atau kalau perlu dibunuh! Hidupnya seseorang macam Ji Ok hanya akan mengotorkan dunia dan mendatangkan bencana bagi orang lain! "Lin-ko....."
Mendengar bisikan Sian Eng itu barulah Han Lin tersadar dari lamunannya dan dia menoleh.
"Ada apakah, Eng-moi?"
"Engkau diam dan melamun saja, tidak menonton tari-tarian. Ada apakah?" "Ah, tidak apa-apa."
Mereka tidak melanjutkan percakapan bisik-bisik itu karena menjadi perhatian para tamu lain yang duduk dekat mereka. Untuk memindahkan perhatian, Han Lin lalu mengajak Sian Eng untuk minum araknya dan makan hidangan yang berada di meja depan mereka. Setelah para penari meramaikan pesta itu dengan tarian dan nyanyian dan para tamu sudah makan secukupnya, tampak Lo Siang Kui maju ke tengah panggung dan memberi tanda dengan tangannya agar musik dan nyanyian dihentikan.
Suasana menjadi agak sunyi setelah musik dihentikan, hanya terdengar suara para tamu yang bicara dengan gembira. Ketika Siang Kui berdiri di tengah panggung dan mengangkat tangan kanan memberi isarat agar para tamu tidak berisik, semua orang terdiam dan suasana menjadi sepi. Semua orang memandang kepada gadis yang berwajah bulat seperti bulan dan cantik itu. Kedua pipi Siang Kui kemerah-merahan, agaknya pengaruh arak yang membuatnya menjadi berani tampil ke depan dan bicara di depan orang banyak.
"Cuwi yang terhormat. Untuk meriahkan hari ulang tahun ayah dan memperingati berdirinya Hek-tiauw Bu-koan, saya akan menyuguhkan tarian ilmu silat pedang dari perguruan kami."
Setelah berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke punggung dan tampaklah sinar pedang berkilat ketika ia mencabut pedangnya dari sarung pedang.
Tepuk tangan gemuruh menyambut ucapan gadis itu. Siang Kui memandang ke arah Cheng Kun dan melihat pemuda bangsawan inipun bertepuk tangan dengan gembira dan bangga, Siang Kui tersenyum. Memang sesungguhnya gadis ini hendak memamerkan ilmu pedangnya kepada sang tunangan itu. Dengan gerakan tangkas Siang Kui lalu memasang kuda-kuda. Kaki kanannya ditekuk ke belakang dan ia berdiri dengan kaki kiri saja, pedangnya disembunyikan di bawah lengan kanan dan kedua lengannya dipentang ke kanan kiri. Inilah pasangan kuda-kuda yang disebut Hek-tiauw-tiam-ci (Rajawali Hitam Pentang Sayap). Memasang kuda-kuda seperti itu sambil matanya tajam menatap ke depan dan mulutnya tersenyum, Siang Kui tampak manis sekali.
"Hemm, melihat betapa kokohnya kuda-kuda itu, aku percaya ia memiliki ilmu pedang yang cukup kuat."
Kata Sian Eng.
Han Lin mengangguk.
"Agaknya saudara sepupunya itu bukan hanya sombong kosong belaka, melainkan benar-benar lihai."
Kata Han Lin.
"Haiiittt.....!"
Siang Kui mengeluarkan bentakan nyaring dan mulailah ia bersilat. Pedangnya menyambar-nyambar dengan ganas, mengeluarkan desing saking kuatnya, makin lama semakin cepat gerakannya sehingga lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan mengeluarkan suara mendengung-dengung.
"Bagus!"
Bisik Sian Eng kagum. Han Lin mengangguk-angguk.
"Benar, ilmu silat perguruan Hek-tiauw Bu-koan memang hebat."
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua tamu juga kagum menonton gadis cantik itu bermain silat pedang. Kini bahkan tubuhnya hanya tampak bayangannya saja dan hanya kadang-kadan tampak kakinya menginjak lantai karena gulungan sinar pedangnya demikian panjang dan lebar sehingga membungkus tubuhnya dan suara gerakan pedang itu berdesingan seperti kilat menyambar-nyambar. Yang paling gembira dan bangga tentu saja Cheng Kun, pemuda bangsawan itu. Saking bangganya, diapun bertepuk tangan dan begitu terdengar tepuk tangan itu, sebagian besar tamu juga ikut-ikutan bertepuk tangan memuji.
Siang Kui menghentikan permainan pedangnya dan ia berdiri dengan senyum menghias wajahnya. Tidak tampak napasnya memburu, hanya ada sedikit keringat membasahi anak rambut yang terjuntai di atas dahinya, membuatnya tampak manis sekali. Begitu ia berhenti bersilat, tepuk tangan gemuruh menyambutnya dan banyak di antara para tamu bahkan bangkit berdiri dan bertepuk tangan untuk menyambutnya. Juga para tamu di kelompok atas, para tamu kehormatan ada yang bertepuk tangan. Akan tetapi, sepasang mata tajam dari Siang Kui melihat betapa dua orang diantara tamu kehormatan itu tidak bertepuk tangan.
Mereka adalah Ji Ok dan Sam Ok yang tidak bertepuk tangan, bahkan tersenyum mengejek. Dan ada pula beberapa orang yang duduk di deretan terdepan dari tamu kelompok bawah tidak menyambut dengan tepuk tangan. Hal ini memanaskan hati Siang Kui. Gadis itu merasa dirinya paling hebat dan merasa bahwa ilmu pedangnya sudah tinggi sekali. Sudah terbiasa ia oleh pujian, maka sekali ini melihat ada orang-orang yang tidak turut memuji, tentu saja ia merasa tidak senang hatinya.
Setelah tepuk tangan mereda dan berhenti, gadis itu lalu memandang ke arah mereka yang tidak bertepuk tangan dan berkata dengan lantang.
"Terima kasih atas pujian cuwi. Akan tetapi saya melihat ada beberapa orang yang tidak bertepuk tangan memuji bahkan menertawakan saya. Tentu mereka ini menganggapi rendah ilmu silat dari Hek-tiauw Bu-koan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Karena itu, bagi mereka yang memandang rendah dan merasa memiliki ilmul silat tinggi, saya persilakan untuk maju dan mari kita main-main sebentar untuk menguji ilmu siapa yang lebih unggul!"
Dasar keluarga Lo itu memiliki keangkuhan tinggi, terlalu memandang tinggi ilmu kepandaian sendiri, maka mendengar kata-kata dan melihat sikap Siang Kui, Lo Kang sama sekali tidak menegur atau menyalahkannya. Bahkan dia mengangguk-angguk tanda setuju. Demikian pula Lo Cin Bu. Pemuda ini menganggap adiknya benar dan mempertahankan namai besar Hek-tiauw Bu-koan.
Suasana sunyi menyambut ucapan Siang Kui tadi. Biarpun gadis itu tidak memperlihatkan kemarahan, namun isi ucapan itu jelas menunjukkan bahwa ia tersinggung oleh mereka yang tidak menyambutnya dengan tepuk tangan, bahkan secara terang-terangan gadis itu menantang mereka. Hati para tamu mulai terasa tegang karena biasanya, orang-orang dunia persilatan pantang kalau ditantang, walaupun ditantang secara halus. Tidak akan terasa aneh kalau ada yang menyambut tantangan itu dan kalau terjadi demikian, perayaan itu berjalan seperti yang mereka harapkan, yaitu terjadinya pertandingan adu ilmu silat.
"Hemm, ia mencari perkara."
Bisik Sian Eng.
"Ia mengeluarkan tantangan, padahal tadi aku melihat Ji Ok dan Sam Ok tidak ikut bertepuk tangan memuji. Kalau kedua orang itu maju, tentu ia akan celaka."
"Kita lihat saja perkembangannya. Bagaimanapun juga, ia adalah saudara sepupumu dan yang merayakan pesta ini adalah keluargamu, maka engkau harus membantu mereka."
Bisik Han Lin.
Apa yang diduga Sian Eng segera menjadi kenyataan. Bukan Ji Ok atau Sam Ok yang menyambut tantangan itu, melainkan seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang bangkit dari tempat duduknya di kelompok bawah. Dia seorang yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya membayangkan kekerasan hati. Setelan bangkit dari tempat duduknya, dia langsung naik panggung dan menghampiri Siang Kui yang memegang pedangnya.
"Kepandaian Lo-siocia (nona Lo) cukup menganggumkan. Sudah lama aku mendengar bahwa Hek-tiauw Bu-koan adalah perguruan silat yang paling terkenal di kota raja sehingga lain-lain perguruan mati dan tidak berkembang. Karena itu, aku ingin sekali mencoba kemampuan sendiri dan bermain-main dengan nona."
Siang Kui memandang pria itu dengan alis berkerut.
"Siapakah engkau? Kenalkan diri lebih dulu sebelum kita bertanding."
Suaranya mengandung tantangan dan sikapnya memandang rendah.
"Aku bernama Souw Tek dari dusun Pak-siang-bun di sebelah utara kota raja. Karena aku hanya ingin menguji ilmu silat, bukan hendak berkelahi atau bermusuhan, maka aku ingin agar kita saling mengadu ilmu silat tangan kosong, tanpa mempergunakan senjata. Aku ingin sekali membuktikan kehebatan ilmu silat Hek-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Hitam)!"
Tampak sinar pedang berkelebat ketika Siang Kui memasukkan kembali pedangnya di sarung pedang yang menempel di punggungnya. Gerakannya demikian cepat sehingga sukar diikuti dengan pandangan mata.
"Bagus, bertanding tangan kosongpun aku tidak gentar. Majulah, aku sudah siap!"
Kata Siang Kui sambil membuka pasangan kuda-kuda seperti tadi, yaitu pasangan Rajawali Hitam Pentang Sayap, akan tetapi sekali ini tanpa pedang. Pria yang bernama Souw Tek itupun segera memasang kuda-kuda. Kedua kaki terpentang lebar, tubuh agak merendah, kedua tangan membentuk cakar, yang kiri menempel pinggang, yang kanan di depan muka. Tiba-tiba terdengar bentakan.
"Tahan....!"
Siang Kui dan calon lawannya menunda gerakan mereka dan menoleh. Ternyata yang berseru itu adalah Lo Kang.
"Souw Tek, engkau mempergunakan pasangan pembukaan ilmu silat Hek-houw Sin-kun (Silat Sakti Harimau Hitam). Ada hubungan apakah antara engkau dengan Hek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Hitam)?"
Tanya Lo Kang. Perguruan Silat Harimau Hitam adalah sebuah di antara para perguruan silat yang berada di kota raja dan menjadi saingan Hek-tiauw Bu-koan. Souw Tek menghadap ke arah Lo Kang dan memberi hormat.
"Lo-kauwsu, saya bukan anggauta Hek-houw Bu-koan, akan tetapi ketuanya masih terhitung saudara seperguruanku. Akan tetapi saya menyambut tantangan Lo-siocia tidak ada sangkut pautnya dengan Hek-houw Bu-koan, melainkan atas kehendak saya sendiri."
"Baiklah, kalau begitu lanjutkan."
Kata Lo Kang sambil duduk kembali.
"Orang she Souw, aku sudah siap!"
Tantang Siang Kui sambil memasang kuda-kuda kembali.
"Baiklah, nona. Lihat seranganku!"
Kata Souw Tek yang telah memasang kuda-kuda dan tiba-tiba tubuhnya melompat ke depan seperti seekor harimau menubruk dan menggunakan tangannya yang membentuk cakar untuk mencengkeram pundak gadis itu. Akan tetapi dengan gerakan ringan dan lincah seperti seekor burung, gadis itu telah melompat ke belakang sehingga cengkeraman itu luput dan langsung saja Siang Kui sudah menendangkan kakinya. Cepat sekali kaki itu mencuat ke depan dan mengarah lambung lawan. Souw Tek terkejut, tidak menyangka akan mendapat serangan balasan secepat itu. Dia menggerakkan lengan kanannya ke bawah untuk menangkis kaki itu.
"Dukk!"
Kaki kiri Siang Kui tertangkis, akan tetapi secepat kilat kaki kanannya menendang lagi, kini mengarah lutut kiri lawan.
"Bagus!"
Souw Tek terkejut dan kagum, akan tetapi sempat menarik kaki yang tertendang ke belakang sehingga luput dari ciuman ujung sepatu Siang Kui.
"Awas....!"
Bentak Souw Tek dengan suaranya yang besar dan nyaring. Kini tubuhnya melompat seperti seekor harimau menubruk mangsanya dan memang inilah jurus Go-houw-po-thouw (Harimau Lapar Tubruk Kelenci). Tubuhnya melompat ke atas dan menubruk ke arah lawan, mencengkeram dengan kedua tangan yang kiri mengancam ubun-ubun kepala, yang kanan terjulur mencengkeram ke arah pundak kiri. Sungguh ini merupakan jurus serangan yang amat berbahaya. Namun dengan tenang Siang Kui menggunakan jurus Hek-tiauw-sia-hui (Rajawali Hitam Terbang Miring), tubuhnya mengelak dengan miring ke kiri, kemudian sambungan jurus Hek-tiauw-sin-yauw (Rajawali Hitam Menggeliat) kedua tangannya menangkis dari samping diputar ke arah atas sehingga dua lengannya dapat menangkis dua lengan lawan yang menyerang ke arah kepala dan pundak.
"Dukk! Dukk!"
Empat lengan bertemu dan serangan Souw Tek itu gagal. Bahkan dia harus cepat berjungkir balik membuat salto sampai tiga kali ke belakang kalau dia tidak mau jatuh oleh tangkisan itu.
Kemudian terjadilah pertandingan yang menarik sekali. Para tamu menonton dengan kagum. Gerakan kedua orang itu tidak pernah menyimpang dari aliran masing-masing sehingga Souw Tek menubruk-nubruk dan mencakar-cakar seperti seekor harimau, sedangkan Siang Kui bergerak lincah dan kadang-kadang melompat ke atas seperti terbang. Seolah-olah para tamu itu menyaksikan seekor harimau sakti berkelahi melawan seekor rajawali sakti! Mereka saling serang dengan dahsyatnya, berusaha sekuat tenaga untuk keluar sebagai pemenang.
"Siang Kui memang hebat,. ia tidak akan kalah."
Bisik Sian Eng kepada Han Lin.
"Agaknya begitulah. Tenaga mereka seimbang akan tetapi gadis itu memiliki gerakan yang lebih lincah. Pula ia tidak ragu-ragu dalam penyerangannya, bahkan erangan-serangannya ganas sekali, berbeda dari lawannya yang agaknya masih ragu-ragu untuk menggunakan tenaga sepenuhnya menyerang seorang gadis."
Kata Han Lin. Dugaan mereka ternyata benar. Setelah mereka bertanding lewat lima puluh jurus, mulailah Souw Tek terdesak. Dan agaknya Siang Kui mempergunakan kesempatan ini untuk mendesak dan melancarkan serangan-serangan yang berbahaya.
Agaknya gadis ini tidak sekedar hendak mencapai kemenangan, melainkan juga berniat untuk merobohkan lawannya. Souw Tek yang terdesak hebat itu hanya mampu mengelak dan menangkis, tidak sempat lagi untuk balas menyerang dan Siang Kui menjadi semakin ganas seperti seekor rajawali yang kelaparan menyerang lawan, berkelebatan dan kadang melompat ke atas seperti terbang.
"Haiiitttt....!!"
Tiba-tiba tubuh gadis itu melayang ke atas, lalu menukik dan menyerang ke arah ubun-ubun kepala Souw Tek dengan totokan. Tangan kanannya itu seperti paruh rajawali yang mematuk, mengarah ubun-ubun. Serangan ini bukan main hebat dan berbahayanya.
Karena maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya maut, Souw Tek mengangkat kedua tangannya ke atas, bukan hanya untuk menangkis dan melindungi ubun-ubun kepalanya, melainkan juga untuk berusaha menangkap lengan penyerangnya itu. Akan tetapi, tanpa diduga-duganya, Siang Kui bahkan membiarkan lengan kanannya yang menyerang itu tertangkis dan tertangkap dan tiba-tiba sekali tangan kirinya menampar tengkuk lawan.
"Plakk!"
Tamparan dengan tangan miring itu menyambar tengkuk dan tubuh Souw Tek terpelanting roboh. Tamparan itu nampaknya saja tidak keras, akan tetapi karena dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam, maka akibatnya cukup parah bagi Souw Tek. Dia merasa seolah kepalanya pecah dan kepeningan membuat dia tidak dapat segera bangkit berdiri, hanya bangkit duduk sambil memegangi kepalanya. Pada saat itu, Siang Kui sudah melangkah datang dan mengayun kakinya menendang ke arah dada Souw Tek yang sudah tidak berdaya itu.
"Desss.....!"
Tubuh Souw Tek terlempar dan terpelanting jatuh ke bawah panggung dalam keadaan pingsan!
"Ganas dan kejam!"
Kata Han Lin lirih dan Sian Eng mengerutkan alisnya. Ia tidak lagi dapat membanggakan saudara sepupunya itu karena apa yang dilakukan sungguh memalukan. Seorang gagah tidak akan melakukan hal itu. Menyerang lawan yang sudah jelas kalah dan tidak mampu melawan lagi. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun bangkit dari tempat duduknya di kelompok bawah itu, menghampiri Souw Tek dan setelah menotok dan mengurut beberapa bagian tubuh Souw Tek, laki-laki itu membantu Souw Tek yang sudah siuman untuk duduk kembali. Laki-laki itu lalu melangkah ke arah panggung dan setelah berhadapan dengan Siang Kui, dia berkata, suaranya bernada teguran.
"Nona Lo, engkau sungguh keterlaluan. Sute-ku (adik seperguruanku) tadi sudah kalah dan tidak dapat melawan lagi, kenapa nona masih menyerangnya dengan tendangan keji? Nona dapat membunuhnya!"
Siang Kui bertolak pinggang menghadapai laki-laki yang bertubuh tinggi kurus itu dan suaranya terdengar menantang ketika ia berkata lantang.
"Dalam pertandingan adu silat, kematian merupakan hal lumrah. Apa lagi kalau hanya terluka. Kalau takut terluka atau tewas, lebih baik tinggal di rumah dan jangan memasuki pertandingan silat!"
Ia memandang dengan sikap gagah.
"Baiklah, kalau begitu sekarang aku yang maju menggantikan sute-ku yang sudah kalah. Hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu, nona!"
Kata orang itu.
Pada saat itu, Lo Cin Bu bangkit dari tempat duduknya dan berseru.
"Kui-moi! Engkau sudah bertanding satu kali, biarkan aku yang menghadapinya!"
Pemuda tinggi besar itu lalu melangkah lebar ke tengah panggung. Melihat kakaknya datang, Siang Kui tersenyum dan berkata sambil melirik ke arah laki-laki tinggi kurus itu.
"Sayang, sebetulnya aku ingin menghadapi dan menghajar yang ini juga, akan tetapi kalau engkau ingin mendapat bagian, silakan, Bu-ko!"
Dan iapun melangkah kembali ke tempat duduknya dekat Cheng Kun, tunangannya yang menyambutnya dengan senyum penuh kebanggaan. Lo Cin Bu kini berhadapan dengan laki-laki tinggi kurus itu.
"Aku. Lo Cin Bu menggantikan adikku dan berdiri di sini sebagai wakil Hek-tiauw Bu-koan. Engkau siapakah yang berani menentang Hek-tiauw Bu-koan?"
Laki-laki itu tersenyum pahit.
"Aku bernama Su Toan Ek, toa-suheng (kakak seperguruan tertua) dari Souw Tek. Tadi adikmu menantang-nantang dan sute-ku yang berdarah muda menyambut tantangan itu dan telah diberi pelajaran keras oleh adikmu. Karena itu akupun ingin diberi pelajaran oleh Hek-tiauw Bu-koan."
"Engkau datang atas nama Hek-houw Bu-koan?"
Tanya Cin Bu. Laki-laki itu menggeleng kepalanya.
"Sama sekali bukan. Seperti juga suteku tadi, aku maju atas nama pribadi dan menyambut tantangan pihak tuan rumah untuk ikut meramaikan perayaan ini."
"Bagus, kalau begitu mari kita bertanding mengadu ilmu silat untuk mengetahui siapa di antara kita yang lebih tangguh."
Tantang Cin Bu.
"Majulah, orang muda. Aku sudah siap!"
Kata laki-laki bernama Su Toan Ek itu, sikapnya tenang sekali dan dia tidak memasang kuda-kuda seperti yang dilakukan Souw Tek tadi. Lo Cin Bu sudah lebih berpengalaman dibandingkan adiknya, maka dia dapat menduga bahwa lawannya ini tentu seorang yang memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada Souw Tek. Diapun berlaku hati-hati.
"Lihat serangan."
Bentaknya dan tangan kanannya menyambar ke depan dengan pukulan ke arah dada.
Akan tetapi pukulan itu hanya pancingan belaka dan sudah ditariknya kembali, bia hanya ingin melihat gerakan lawan kalau diserang. Dia melihat Su Toan Ek menggerakkan tangan dari bawah ke atas dan mencengkeram. Kalau pukulannya tadi dilanjutkan, tentu lengannya akan dicengkeram dari bawah.
Sungguh merupakan tangi kisan sekaligus serangan balasan yana berbahaya, dan cengkeraman itu merupakan ciri khas bahwa lawannya adalah seorang ahli silat Hek-houw Sin-kun yang pandai. Cin Bu yang menarik kembali tangan kanannya, sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke arah pelipis dengan tangan membentuk kepala rajawali yang mematuk dengan ujung kelima jarinya. Su Toan Ek juga mengenal serangan berbahaya. Dia mengelak sambil melangkah ke belakang, kemudian kedua tangan nya menyerang dari kanan kiri membentuk cengkeraman ke arah kedua pundak Cin Bu sambil menubruk ke depan. Cin Bu juga mengelak mundur sambil mengembangkan kedua tangan seperti sayap seekor rajawali untuk menangkis.
"Dukk! Dukk!"
Dua pasang lengan bertemu dan Cin Bu merasa tubuhnya terguncang. Dia melangkah mundur lagi dan maklumlah dia bahwa Su Toan Ek adalah seorang ahli Iwee-keh (tenaga dalam) yang tangguh. Diapun mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) dan menyerang seperti seekor rajawali yang menyambar-nyambar dengan tangkasnya. Su Toan Ek yang bertubuh tinggi kurus itupun melawan dengan mengandalkan kekuatannya dan berusaha untuk menerkam dan mencengkeram dengan kedua tangan yang membentuk cakar harimau.
Pertandingan ini lebih menegangkan dibandingkan yang pertama tadi. Kalau pertandingan yang pertama tadi, Siang Kui dan Souw Tek mengerahkan kecepatan untuk mengalahkan lawan, pertandingan kedua ini dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti sehingga setiap sambaran tangan mendatangkan angin yang kuat dan mengeluarkan suara bersiutan.
"Pemuda itu lebih tangguh dari adiknya."
Kata Han Lin yang sejak tadi memperhatikan pertandingan itu.
"Akan tetapi lawannyapun lebih tangguh daripada sutenya tadi."
Kata Sian Eng.
"Pemuda itu tidak akan kalah. Ilmu silatnya yang berdasarkan pada gerakan burung rajawali itu lebih lincah dan lebih banyak perkembangannya daripada gerakan orang tinggi kurus yang bergerak seperti harimau itu."
Kata pula Han Lin.
"Agaknya dia sama ganas dan bengis seperti adiknya. Jurus-jurus pukulannya merupakan serangan maut yang berbahaya."
Sian Eng berkata sambil mengerutkan alisnya.
Memang ada rasa bangga di dalam hatinya bahwa keluarga ayah kandungnya terdiri dari keluarga ahli silat yang pandai. Akan tetapi keganasan, kebengisan dan keangkuhan mereka membuat ia merasa kecewa dan tidak senang sekali.
"Hyaaattt.....!"
Tiba-tiba Cin Bu membentak nyaring dan tubuhnya melayang ke depan, didahului kedua kakinya yang melakukan tendangan seperti sepasang kaki rajawali yang menyerang lawan. Su Toan Ek terkejut dan cepat merendahkan dirinya untuk mengelak.
Akan tetapi pada saat itu Cin Bu membuat gerakan pok-sai (salto) sehingga tubuhnya berjung-kir balik, kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Kedua tangan membentuk paruh rajawali menyerang ke bawah, yang kanan mematuk kepala dan kiri mematuk jalan darah di punggung! Su Toan Ek membalikkan tubuh, akan tetapi gerakannya kurang cepat dan terlambat. Biarpun dia dapat menghindarkan kepalanya dari serangan dengan miringkan kepalanya, namun totokan ke arah punggungnya tepat mengenai sasaran.
"Tukkk.... aahhh....!"
Dia terhuyung-huyung ke belakang dan saat itu Cin Bu sudah turun dan cepat pemuda ini mengirim pukulan ke arah dada lawan yang sudah terhuyung itu.
"Bukk....."
Tubuh Su Toan Ek terpental keluar dari panggung, jatuh ke bawah dan dia rnuntuhkan darah segar. Souw Tek cepat menolong Toa-suhengnya dan memapahnya keluar dari tempat perayaan itu, terus keluar dari pekarangan rumah untuk meninggalkan tempat itu. Mereka telah kalah mutlak dan tidak ada gunanya lagi bagi mereka untuk tinggal lebih lama di situ, hanya akan menjadi bahan tertawaan orang saja. Setelah memperoleh kemenangan, Cin Bu berdiri tegak memandang ke sekeliling, lalu berkata dengan suara lantang.
"Siapa yang merasa memiliki kepandaian dan tadi berani memandang rendah kepada adikku, silakan maju untuk menguji kepandaian."
Setelah berkata demikian, Cin Bu hening kembali ke tempat duduknya semula. Suasana yang tadinya ketika semua orang menonton pertandingan itu, kini kembaliberisik karena para tamu saling bicara sendiri, membicarakan ketangguhan kakak beradik she Lo yang telah mengalahkan dua orang lawannya tadi. Tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring seorang wanita. Ketika Han Lin dan Sian Eng memandang, mereka diam-diam merasa khawatir karena melihat bahwa yang tertawa itu adalah Sam Ok yang kini telah bangkit dari tempat duduknya dan melangkah dengan lenggang gemulai menuju ke tengah panggung. Suara tawa itu mengatasi semua suara berisik sehingga para tamu menoleh dan memandang. Tentu saja mereka tertarik sekali melihat seorang wanita cantik melangkah dengan lenggang yang membuat pinggulnya menari-nari.
Wanita itu tampaknya berusia kurang lebih empat puluh tahun, sama sekali tidak kelihatan seperti usianya yang sebenarnya, yaitu sudah enam puluh tahun. Wajah yang cantik itu tersenyum-senyum dan matanya melirik-lirik tajam. Setelah semua orang tidak lagi berisik melainkan memandang kepadanya dengan penuh perhatian, Sam Ok lalu menghadap ke arah tempat duduk tuan rumah dan ia berkata lantang, dan karena ia memandang ke arah Lo Kang, maka ia seolah bicara kepada Ketua Hek-tiauw Bu-koan itu.
"Namaku Ciu Leng Ci dan aku bukanlah seorang tamu undangan. Aku datang ikut rekanku Phoa Li Seng untuk memberi selamat kepada Hek-tiauw Bu-koan yang merupakan perguruan silat paling terkenal di kota raja. Tadi aku tidak ikut bertepuk tangan memuji karena bagiku permainan pedang itu biasa-biasa saja. Akan tetapi nona Lo tadi menantang kepada mereka yang tidak bertepuk tangan, maka aku merasa bahwa aku juga ditantang. Karena itu, aku sekarang ingin main-main sebentar dengan ilmu silat dari keluarga Hek-tiauw Bu-koan."
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan lembut dan sambil tersenyum itu, Lo Siang Kui merasa diejek dan ditantang! Sebelum ayah dan kakaknya sempat mencegah, ia sudah melompat dan berlari ke tengah panggung menghadapi Sam Ok dan langsung saja ia mencabut pedangnya sehingga tampak sinar terang berkelebat. Dengan pedang di tangan kanan ia menghadapi Sam Ok dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka wanita itu.
"Ciu Leng Ci! Kalau memang engkau menganggap ilmu pedangku biasa-biasa saja dan tidak ada harganya untuk dipuji, marilah coba engkau tandingi ilmu pedangku!"
Sam Ok tersenyum mengejek. Tangan kanannya meraih ke belakang pundak dan di lain saat tampak sinar hitam berkelebat ketika ia sudah mencabut Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam) dari sarung pedangnya yang menempel di punggung.
"Wah, Lo Siang Kui bisa celaka sekarang.....!"
Sian Eng berseru lirih dengan alis berkerut.
"Aku akan membantunya!"
Ia bangkit berdiri akan tetapi Han Lin menyentuh lengannya, memberinya isarat untuk duduk kembali. Setelah gadis itu duduk kembali, Han Lin berbisik kepadanya.
"Jangan turun tangan dulu, hal itu berarti akan merendahkan pihak tuan rumah. Aku tidak percaya Sam Ok berani mencelakai gadis itu karena begini banyak tokoh kang-ouw berada di sini."
Sian Eng mengangguk dan membenarkan pendapat Han Lin. Saudara sepupunya itu demikian angkuhnya. Kalau ia maju tentu akan disambut dengan marah dan ia yang akan mendapat malu. Maka iapun lalu menonton saja dengan hati gelisah. Bagaimanapun juga, Siang Kui adalah saudara sepupunya dan ia sudah tahu betul betapa lihai dan kejamnya Sam Ok si iblis betina itu. Biarpun dari sinar pedangnya saja sudah dapat dikatakan bahwa Sam Ok memiliki sebuah pedang pusaka bersinar hitam yang ampuh, Siang Kui yang berwatak angkuh itu sama sekali tidak takut.
"Nona Lo, pedang yang berada di tanganmu itu hanya pedang biasa, tidak dapat diandalkan dan ilmu pedangmu tadipun biasa-biasa saja. Aku bukan sekadar membual, melainkan mengatakan dengan sebenarnya. Kalau dua orang dari aliran Hek-houw Bu-koan tadi dikalahkan olehmu dan kakakmu, hal itu adalah karena kepandaian mereka masih rendah sekali. Untuk membuktikan kebenaran ucapanku, nah, maju dan seranglah aku dengan pedangmu itu. Hendak kulihat apa yang dapat kaulakukan dengan pedangmu itu terhadap diriku!"
Sam Ok mengeluarkan kata-kata itu dengan lantang sehingga terdengar oleh para tamu, dan biarpun ia mengucapkannya dengan tersenyum dan dengan kata-kata halus, namun bagi Siang Kui merupakan tantangan yang amat memandang rendah kepadanya. Tentu saja ia menjadi marah sekali.
"Perempuan sombong, lihat pedangku!"
Bentaknya dan ia sudah menyerang dengan dahsyat, mengelebatkan pedangnya yang menyambar ke arah leher Sam Ok dengan pengerahan tenaga seakan-akan ia hendak sekali serang membabat putus leher wanita itu! Akan tetapi dengan gerakan amat tenang Sam Ok mengangkat pedangnya dan menangkis sambaran pedang lawan itu.
"Tranggg....!"
Tampak bunga api berpijar ketika kedua pedang bertemu dan Siang Kui terkejut setengah mati ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat dan pedang itu hampir saja terlepas dari pegangannya! Hal ini jelas membuktikan bahwa tenaga sin-kang wanita itu amat kuatnya.
Akan tetapi biar tahu akan hal ini, Siang Kui tidak menjadi gentar dan pedangnya sudah menyambar dan menyerang bertubi-tubi sehingga lenyap bentuk pedangnya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Sam Ok. Akan tetapi dengan sikap masih tenang Sam Ok menghadapi hujan serangan itu dengan elakan atau tangkisan dan setiap kali ia menangkis dengan pedangnya, pedang di tangan Siang Kui terpental. Akan tetapi gadis ini nekat terus mendesak dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Hek-tiauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Rajawali Hitam).
Tubuhnya berkelebatan dan kadang melompat ke atas seperti terbang untuk kemudian menukik dan menyerang dari atas dengan pedangnya. Namun, semua usahanya itu gagal dan semua serangannya dapat dipatahkan atau dihindarkan oleh Sam Ok. Sam Ok membiarkan dirinya diserang sampai tiga puluh jurus lebih. Siang Kui sudah mulai kebingungan dan penasaran sekali karena semua serangannya gagal. Tiba-tiba Sam Ok berseru dengan nyaring sekali.
"Patah....!"
Pedangnya yang bersinar hitam itu dibacokkan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya menyambut pedang Siang Kui sehingga kedua pedang itu bertemu dengan dahsyat di udara.
"Trakkk......!!"
Siang Kui terkejut dan melompat ke belakang, lalu memandang pedang yang berada di tangannya. Pedang itu tinggal sepotong karena telah patah di tengah-tengahnya ketika beradu dengan pedang hitam di tangan Sam Ok! Sam Ok tertawa.
"Nah, apa kataku tadi? Pedang dan ilmu pedangmu memang belum pantas menerima pujianku!"
Sambil berkata demikian, ia sendiri menyimpan kembali pedangnya. Siang Kui menjadi merah mukanya. Sudah jelas bahwa ia kalah dalam pertandingan silat pedang, akan tetapi ia masih tidak mau menerimanya, seolah-olah ia tidak percaya bahwa dirinya dapat dikalahkan orang lain. Ia membanting sisa pedangnya ke atas lantai dan berkata dengan berang.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ciu Leng Ci, pedangku memang kalah kuat dibanding pedangmu, akan tetapi apakah engkau berani bertanding melawanku dengan tangan kosong?"
Tantangnya. Sam Ok tersenyum mengejek.
"Apa yang kau andalkan untuk dapat menang dariku? Lebih baik engkau kembali ke tempat dudukmu agar terhindar dari terluka olehku!"
"Manusia sombong! Jagalah serangan-ku!"
Tiba-tiba Siang Kui yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya sudah melompat cepat ke depan menerjang dengan pukulannya. Ia memainkan ilmu silat tangan kosong Hek-tiauw Sin-kun dan menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Ia amat bernapsu untuk menebus kekalahannya bermain pedang tadi, maka serangannya bertubi-tubi dan membabi-buta! Seperti juga tadi, Sam Ok mengandalkan kelincahannya untuk mengelak atau kadang menangkis pukulan dan tendangan yang dilakukan Siang Kui sehingga lewat dua puluh jurus. Tiba-tiba ia berseru nyaring.
Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo