Suling Pusaka Kumala 29
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
"Lin-ko, sambut.....!"
Kiok Hwa yang telah terluka bawah pundak kanannya itu menemukan sebatang kayu ranting sebesar lengannya di bawah pohon itu. Dengan tangan kirinya ia melontarkan ranting itu ketika Han Lin melompat belakang dan menoleh kepadanya, han Lin menyambar tongkat itu dengan tangannya. Pada saat itu, Toa Ok dan Suma Kiang sudah menyerang lagi. Han Lin memutar tongkat ranting itu dan segera memainkan ilmu silat Sin-tek-tung (Tongkat Bambu Sakti). Gulungan sinar kuning yang aneh melingkar-lingkar dan mencuat ke sana-sini tampak dan ternyata gulungan sinar permainan tongkatnya mampu membendung gelombang serangan ketiga pedang. Namun, dalam keadaan terluka dan mengeluarkan banyak darah, Han Lin menjadi semakin lemah sehingga tongkatnya itu hanya dapat
dipergunakan untuk melindungi dirinya saja tanpa mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Kiok Hwa melihat bahaya ini, akan tetapi ketika ia bangkit untuk nekat menolong lagi, tubuhnya terkulai lemah dan ia roboh kembali. Ternyata pukulan tangan kiri Toa Ok yang mengenai dadanya tadi membuat terluka di sebelah dadanya yang cukup parah. Keadaan Han Lin gawat. Agaknya tak lama lagi ia akan roboh dan tewas, dan kalau hal ini terjadi, tentu keselamatan kiok Hwa juga terancam maut. Mendadak berkelebat bayangan merah muda dan terdengar bentakan nyaring.
"Toa Ok dan Suma Kiang dua manusia iblis yang hina dan jahat!"
Sinar pedang berwarna hijau menyambar ganas ke arah leher Suma Kiang. Datuk ini terkejut dan cepat menangkis dengan pedang kanannya.
"Cringgg....!!"
Bunga api berpijar ketika kedua pedang bertemu dan Suma Kiang melihat bahwa yang menyerangnya bukan lain adalah Lo Sian Eng, atau yang diakuinya sebagai Suma Eng, anak- yang dahulu amat disayangnya!
"Suma Eng, mundurlah, aku tidak ingin membunuhmu!"
Kata Suma Kiang yang bagaimanapun juga masih mempunyai perasaan sayang kepada gadis yang semenjak kecil dianggap sebagai anak kandungnya sendiri, bahkan semua ilmunya sudah dia turunkan kepada gadis itu.
"Aku Lo Sian Eng, bukan Suma Eng. Engkau tidak ingin membunuhku, akan tetapi aku ingin membunuhmu seratus kali untuk membalaskan dendam ayah dan ibu kandungku!"
Bentak Sian Eng dan iapun sudah menyerang dengan hebat. Suma Kiang terpaksa menangkis dan membalas menyerang untuk membela diri. Sementara itu, Toa Ok masih bertanding melawan Han Lin.
Karena kini Han Lin tidak dikeroyok lagi, maka lawannya menjadi agak ringan baginya. Akan tetapi sebaliknya, darah banyak keluar dari tubuhnya dan dia mulai lemas. Dengan demikian, kekuatan mereka berdua seimbang dan pertandingan itu berlangsung seru dan mati-matian. Kiok Hwa yang bersandar di batang pohon menjadi agak lega melihat munculnya Sian Eng. Diam-diam ia menghela napas panjang. Mereka bertiga selalu bertemu. Mengapa begitu kebetulan?
Sian Eng yang penuh dendam itu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga Suma Kiang menjadi kewalahan. Datuk ini segera terdesak hebat oleh pedang Ceng-liong- kiam (Pedang Naga Hijau) di tangan gadis perkasa itu. Suma Kiang melindungi dirinya sekuat mungkin, namun akhirnya sebuah sambaran pedang Sian Eng mengenai lengan kirinya sehingga lengan itu terluka menganga di atas siku. Suma Kiang melompat belakang.
Sian Eng hendak mendesak untuk nembunuh ayah angkatnya itu, akan tetapi pada saat itu terdengar Kiok Hwa berseru.
"Eng-moi (Adik Eng), bantulah Lin-ko.....!"
Sian Eng menoleh dan melihat betapa Han Lin dengan wajah pucat didesak Toa Ok yang bergerak semakin ganas. Khawatir akan keadaan Han Lin, Sian Eng melompat ke dekat dua orang yang sedang bertanding mati-matian itu. Pedangnya meluncur dan menusuk ke arah punggung Toa Ok dari belakang.
"Singgg....!!"
Sinar hijau menyambar ke arah dada Toa Ok. Datuk yang lihai ini mendengar suara pedang dari arah belakangnya. Dia memutar tubuh ke kiri untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pedang itu menyerempet iga kiri di bawah lengan. Toa Ok menggerakkan tangan kirinya memukul.
"Crakk......desss....!"
Pedang itu mengenai dada kiri Toa Ok, akan tetapi pukulan tangan kiri yang mengandung ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) itupun mengenai pundak Sian Eng. Dara perkasa itu terdorong ke belakang akan tetapi tidak sampai jatuh. Toa Ok yang melihat betapa Suma Kiang sudah melarikan diri dan dia sudah terluka, tidak ada semangat lagi untuk melanjutkan perkelahian karena maklum bahwa hal akan sangat membahayakan dirinya. ia lalu melompat jauh dan melarikan diri dengan luka berdarah pada dada kirinya Sian Eng melihat Han Lin berdarah darah pada pangkal lengan dan pahanya dan pemuda itu berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti hendak roboh. Ia melihat pula Kiok Hwa menghampiri Han Lin dan gadis berpakaian putih itupun terhuyung-huyung, agaknya terluka pula. Sian Eng merasa betapa dadanya sesak dan sukar bernapas, namun ia menguatkan dirinya dan menghampiri mereka.
"Lin-ko, bagaimana luka-lukamu?"
Tanyanya khawatir sambil memegang lengan pemuda itu. Lengan kanan pemuda itu sudah dipegang oleh Kiok Hwa.
Han Lin memandangnya dan tersenyum.
"Aku tidak apa-apa, Eng-moi. Hanya luka-luka daging saja dan lemas..."
"Dia kehilangan banyak darah, adik Eng."
Kata Kiok Hwa. Sian Eng merasa lega dan tiba-tiba ia merasa kepalanya pening sekali. Segala tampak berpusing.
"Sukur..... sukurlah....."
Katanya dan ia lalu roboh terkulai, pingsan!
"Eng-moi....!"
Seru Han Lin.
"Adik Eng! Engkau kenapa?"
Seru Kiok Hwa dan mereka berdua berjongkok dekat tubuh Sian Eng yang rebah telentang dengan muka pucat sekali. Kiok Hwa cepat memeriksa keadaan Sian Eng. tak lama kemudian ia berdiri dan mengerutkan alisnya.
"Bagaimana, Hwa-moi? Bagaimana keadaannya?"
Kiok Hwa menghela napas panjang.
"Keji sekali Toa Ok. Adik Eng terkena pukulan Ban-tok-ciang pada pundaknya. Masih untung bahwa ia memiliki tubuh yang sehat dan tenaga sin-kang yang kuat. Dan lebih menguntungkan lagi agaknya ia dahulu telah banyak minum obat anti racun ketika ia mempelajari pukulan-pukulan beracun. Kurasa hawa beracun Ban-tok-ciang tidak akan menjalar kejantungnya dan aku masih sanggup mengobati dan menyembuhkannya."
"Ah, sukur sekali kalau begitu, Hwa moi."
Kata Han Lin dan diapun mengeluh karena tubuhnya terasa lemah sekali, ia lalu duduk bersila dekat Sian Eng yang masih pingsan.
"Lin-ko, aku tadi sudah menotok jalan darahmu untuk menghentikan keluarnya darah dari kedua luka di pangkal lengan dan pahamu. Akan tetapi engkau sudah mengeluarkan banyak darah dan engkau harus beristirahat dan makan obat kuat yang akan kubuatkan untukmu."
"Hwa-moi, aku lihat engkau sendiri juga terluka. Engkau tadi juga terkena pukulan tangan Toa Ok yang berbahaya!"
Han Lin memandang wajah Kiok Hwa yang pucat. Kiok Hwa menggeleng kepalanya.
"Aku memang terluka, akan tetapi aku dapat mengatasinya. Jangan mengkhawatirkan aku. Lebih baik sekarang mari kita bawa adik Eng. Aku tadi melihat sebuah pondok bambu di hutan sana itu, pondok bambu kosong yang agaknya ditinggalkan para pemburu. Kita beristirahat di sana."
Han Lin mengerahkan tenaganya dan bangkit berdiri. Kiok Hwa menotok beberapa jalan darah di tubuh Sian Eng dan gadis itu mengeluh lirih lalu membuka matanya.
"Bagaimana keadaanmu, Eng-moi?"
Han Lin bertanya.
"Dadaku...... nyeri panas dan napasku sesak......"
Keluh Sian Eng.
"Adik Eng, mari kita masuk hutan di sana itu, ada sebuah pondok bambu di sana, kita dapat beristirahat dan mengobati luka kita. Lin-ko dan akupun terluka dan lemah, maka tidak dapat memondongmu. Mari kami bantu engkau berjalan ke sana."
Kiok Hwa lalu membantu Sian Eng bangkit dan gadis perkasa ini menggigit bibir mengerahkan sisa tenaganya untuk melangkah dan ia dipapah oleh Han Lin dan Kiok Hwa. Tiga orang muda yang terluka itu terhuyung-huyung memasuki hutan dan benar saja, tidak jauh dari situ terdapat sebuah pondok bambu, bahkan ada empat buah dipan bambu di dalam pondok. Tempat ini biasanya menjadi tempat pondokan para pemburu kalau kemalaman di dalam hutan. Setelah membaringkan Sian Eng di atas sebuah dipan, Kiok Hwa lalu mulai mengobati Sian Eng dan juga Han Lin. Iapun minum obat untuk menyembuhkan lukanya sendiri.
Pengobatan dari Kiok Hwa itu manjur bukan main sehingga menjelang malam hari, mereka semua telah dapat terhindar dari bahaya dan telah sembuh. Akan tetapi mereka, terutama Han Lin, harus istirahat selama beberapa hari untuk memulihkan tenaganya. Kebetulan sekali dalam pondok itu terdapat banyak lilin yang ditinggalkan para pemburu sehingga mereka tidak sampai kegelapan. Pada keesokan pagi-pagi, Kiok Hwa yang keadaannya paling baik di antara mereka, meninggalkan pondok dalam hutan itu untuk pergi membeli bahan makan. Ia membeli bahan makanan yang sekiranya cukup untuk mereka makan beberapa hari lamanya. Lo Sian Eng dan Han Lin duduk bersila di atas dipan bambu. Mereka duduk berhadapan, Sian Eng di atas dipan yang satu, Han Lin di atas dipan yang lain. mereka melatih pernapasan untuk menghimpun dan memulihkan tenaga mereka. Sejak tadi Sian Eng mengamati Han Lin yang duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya.
Gadis itu memandang kagum. Bukan main pemuda yang telah merampas hatinya ini. Seorang pangeran tulen. Betapa kuatnya menyimpan rahasia dirinya, bersikap seperti seorang pemuda sederhana. Biarpun pertanyaan tentang kepangeranannya itu sudah ada di ujung lidahnya, namun Sian Eng menekan dan menahannya, tidak ingin membuka rahasia pemuda itu. Dia harus menghormati rahasia itu. Ia hanya memandang penuh kagum. Pandang mata yang terdorong oleh perasaan hati memiliki daya yang kuat sekali. Han Lin yang tadinya memejamkan matanya itu, tidak dapat menahan lebih lama lagi. Ada sesuatu yang seseorang mendorongnya untuk membuka kedua matanya. Ketika dia membuka kedua matanya, pandang matanya tepat bertemu dengan sepasang mata jeli yang menatapnya. Dua pasang matanya bertemu pandang, bertaut, melekat. Sian Eng tersenyum memecahkan pesona yang membius mereka.
"Lin-ko, mengapa engkau memandangku seperti itu?"
Tanyanya, malu-malu.
"Kenapa......? Ah, aku ingin sekali tahu bagaimana engkau tiba-tiba dapat berada di sana menolongku ketika kami terancam bahaya maut itu, Eng-moi?" Sian Eng tidak tersipu lagi. Ia merasa bersukur karena ucapan Han Lin itu mengusir rasa canggung dan rikuh yang timbul oleh bertemunya pandang mata mereka.
"Panjang ceritanya, Lin-ko. Sebaiknya engkau yang bercerita lebih dulu mengapa engkau terluka dan berkelahi melawan Toa Ok dan Suma Kiang kemarin?"
Han Lin tersenyum. Gadis ini masih seperti dulu. Tak pernah mau mengalah, bahkan dalam menceritakan pengalaman sekalipun.
"Setelah meninggalkan Hek-tiauw Bu koan, aku melakukan penyelidikan dan mendengar banyak tentang keluarga istana."
Baru mendengar ini saja Sian Eng telah tersenyum dalam hatinya. Tidak aneh kalau dia menyelidiki tentang keluarga istana karena dia sendiri adalah seorang pangeran, pikirnya.
"Pada suatu hari aku mendengar pula bahwa Suma Kiang dan Toa Ok bekerja pada Pangeran cheng Boan. Ketika melihat Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Siu keluar pintu gerbang bersama sepasukan pengawal, aku menjadi tertarik dan membayangi dari belakang. Kiranya rombongan itu pergi ke hutan untuk berburu dan di dalam hutan itu aku melihat mereka berpencar, kedua orang pangeran itu berpisah dan mengambil jalan masing-masing untuk berburu. Aku melihat Pangeran mahkota Cheng Hwa diserang orang bertopeng, maka aku segera melindunginya. Penyerang itu dapat melarikan diri bersama temannya yang juga bertopeng, Pangeran Cheng Hwa membawaku ke istana dan mengangkat aku sebagai pengawal".
Sian Eng merasa heran sekali. Sungguh aneh, pikirnya. Dia sendiri seorang pangeran dan Pangeran Mahkota itu tentu masih saudaranya, mengapa dia telah menyembunyikan diri? Lalu ia teringat, Tentu karena Ki Seng telah mencuri Suling Pusaka Kemala dan orang jahat itu kini menyamar sebagai Pangeran Cheng Lin. Karena Han Lin tidak memegang bukti diri, yaitu Suling Pusaka Kemala maka dia belum dapat menyatakan dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin yang sejati! Sian Eng yang cerdik itu segera dapat menduga akan tetapi ia diam saja.
"Lalu bagaimana, Lin-ko?"
Ketika menyebut Lin-ko kali ini, lidahnya terlalu kaku karena ia menyadari sepenuhnya bahwa yang dipanggilnya itu adalah seorang pangeran.
"Kemarin malam terjadinya malapetaka itu di taman istana. Aku dituduh berniat jahat terhadap para pangeran, bahkan Pangeran Cheng Lin menyerang dan menuduh aku hendak membunuh pargeran-pangeran di istana. Aku ditangkap dan hendak dibunuh, akan tetapi aku dibela oleh Pangeran Mahkota Cheng Hwa sehingga oleh Sri Baginda Kaisar aku dijatuhi hukuman dua puluh kali cambukan, oleh algojo aku dicambuk dan tentu saja aku dapat melindungi tubuhku dengan kekebalan. Akan tetapi baru delapan belas kali, cambuk itu diminta oleh Pangeran cheng Lin dan aku dicambuk dua kali olehnya. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tenaga sin-kangnya besar sehingga cambukan dua kali itu membuat aku terluka berat. Aku lalu diusir dari istana bahkan diharuskan keluar kota raja."
"Betapa kejam dan jahatnya dia....!!"
Sian Eng berseru marah sekali terhadap Ki Seng.
"Hemm, kalau aku bertemu lagi dengan dia, pasti akan kuhancurkan kepalanya!"
"Siapa yang kau maksudkan, Eng-moi?"
"Pangeran Cheng Lin, siapa lagi?"
"Hemm, dia itu lihai bukan main Eng-moi."
"Lalu bagaimana? Lanjutkan ceritara Lin-ko."
"Keluar dari pintu gerbang dalam keadaan terluka parah aku bertemu dengan adik Tan Kiok Hwa."
"Hemm, sungguh kebetulan sekali"
Kata Sian Eng, suaranya terdengar aneh
"Memang kebetulan sekali, Eng-moi, Agaknya Tuhan memang menghendaki agar aku tetap hidup. Hwa-moi mengobatiku sehingga lukaku agak mendingan, Akan tetapi muncul dua orang itu, Toa Ok dan Suma Kiang. Entah bagaimana mereka dapat mengejarku dan hendak membunuhku. Hwa-moi dan aku terdesak hebat dan kami berdua tentu mati kalau engkau tidak muncul dan menolong kami. Nah, begitulah ceritaku, Eng-moi. Sekarang ceritakanlah bagaimana engkau secara kebetulan dapat muncul menolongku".
"Ceritaku juga panjang, Lin-ko. Aku tinggal di rumah Paman Lo Kang. Engkau lihat Cheng Kun, putera Pangeran Cheng Boan yang menjadi tunangan enci Lo Siang Kui itu, bukan? Nah, telah lama Cheng Kun tidak datang berkunjung sehingga enci Siang Kui menjadi gelisah. kemudian ia pergi berkunjung ke istana pangeran Cheng Boan, menemui Cheng Kun. Dan apa yang ia dapatkan dan alami di sana sungguh hebat, Lin-ko. Ternyata di rumah Pangeran Cheng Boan itu terdapat Suma Kiang, Toa Ok, dan Sian Hwa Sian-Ii yang menjadi pengawal-pengawal pribadi. Juga Pangeran Cheng Lin yang jahat itu agaknya menjadi komplotan mereka yang berkumpul di rumah pangeran Cheng Boan. Dan kau tahu apa yang dialami enci Siang Kui di sana? Ia dijebak oleh Cheng Kun yang dibantu Sian Hwa Sian-li, diberi minum anggur yang sudah diberi racun sehingga ia terjatuh ke tangan Cheng Kun dan dinodai tunangannya sendiri."
"Hemm, sudah kuduga bahwa dia bukan manusia baik-baik. Jadi engkau sudah bertemu pula dengan Pangeran Cheng Lin yang menjatuhkan fitnah kepadaku itu Eng-moi?"
"Bukan saja bertemu, Lin-ko. Bahkan pernah dia ikut mengeroyokku."
"Bagaimana terjadinya itu?"
Han Lil berseru kaget.
"Dengar sajalah, jangan tergesa-gesa, Nanti juga ceritaku akan sampai ke bagian itu. Sampai di mana ceritaku tadi? Oya, enci Kui telah menjadi korban kebiadapan Cheng Kun. Ia pulang dan menceritakan kepadaku apa yang terjadi. Cheng Kun yang berjanji akan datang dalam waktu seminggu, sampai sepuluh hari tak kunjung datang untuk menentukan hari pernikahan. Enci Siang Kui gelisah dan aku marah sekali. Malam itu aku diam-diam mendatangi istana Pangeran Cheng Boan!"
"Aku dapat membayangkan itu. Engkau tentu marah sekali, Eng-moi."
"Ya, aku dapat temukan Cheng Kui dan aku mengancamnya, memaksanya untuk segera menikahi enci Siang Kui. akan tetapi tiba-tiba muncul Sian Hwa Sian Li dan kami bertanding. Aku dapat mendesaknya akan tetapi lalu muncul Toa Ok, Suma Kiang dan juga Pangeran cheng Lin yang merobohkan aku dengan tendangan. Toa Ok hendak membunuhku, akan tetapi Suma Kiang mencegah karena mengenal gerakanku dan merenggut topeng yang kupakai. Karena maklum pada saat itu aku tidak berdaya, maka aku pura-pura gembira bertemu dengan dia, kusebut dia ayah. Aku dimaafkan dan Cheng Kun berjanji akan menikahi Siang Kui sebagai selirnya. Akan tetapi sebelum hal itu terjadi, Cheng Kun dibunuh seorang gadis yang juga menjadi korbannya. Gadis itu kemudian dibunuh oleh pangeran Cheng Lin yang kebetulan malam itu berada di sana. Malam itu juga sebetulnya aku hendak membunuh Suma Kiang, akan tetapi gagal karena yang lain datang mengeroyok. Aku masih dapat meloloskan diri dari sana dan melarikan diri keluar dari kota raja. Karena aku tahu bahwa aku tentu menjadi orang buruan mereka dan akan tidak aman berada di kota raja. maka aku lalu berkeliaran di luar kota raja sampai aku melihat engkau dikeroyok oleh Suma Kiang dan Toa Ok tadi. Nah, begitulah pengalamanku, Lin-ko."
Sian Eng sengaja tidak mau bercerita bahwa ia telah mendengar akan persekutuan Pangeran Cheng Boan dengan Pangeran Cheng Lin palsu dan bahwa ia tahu pula siapa Han Lin sebenarnya, yaitu Pangeran Cheng Lin yang aseli.
Pada saat itu Kiok Hwa pulang dari berbelanja. Melihat dua orang itu bercakap-cakap, Kiok Hwa menegur.
"Lin ko engkau tidak boleh banyak bicara, engkau perlu beristirahat untuk memulihkan tenagamu. Kita masih belum terbebas dari ancaman bahaya. Bagaimana kalau orang orang jahat datang dan tenagamu masih belum pulih? Dan engkau, adik Eng, Jangan mengajak Lin-ko banyak bicara!"
Sian Eng tertawa, apalagi melihat Han Lin segera duduk bersila dan memejamkan kedua matanya kembali, begitu patuh kepada Kiok Hwa.
"Habis, aku rindu sekali padanya, enci Kiok Hwa!"
Lalu ia turun dan memeriksa barang belanjaan Kiok Hwa.
"Uhh! kenapa hanya ikan asin dan daging kering saja yang kau beli, enci Hwa? Kenapa tidak membeli beberapa ekor ayam? bosan dong setiap hari makan ikan asin dan daging kering melulu!"
"Aih, Eng-moi. Memangnya kita ini sedang pesiar? Yang enak-enak saja yang kau bayangkan!"
"Habis, kalau tidak membayangkan yang enak-enak, apakah hidup yang sekali saja harus membayangkan yang tidak enak melulu?"
"Ih, engkau memang nakal!"
Kata Kiok hwa yang mau tidak mau harus tersenyum juga. Senyum yang menutupi perasaan dalam hatinya. Ia merasakan benar dalam tatapan Sian Eng tadi betapa besar rasa kasih dalam hati gadis itu terhadap Han Lin. Ia harus mengalah. Demi kebahagiaan mereka. Mereka memang cocok. Sama para pendekar yang gagah perkasa. Ketika Toa Ok dan Suma Kiang melapor kepada Pangeran Cheng Boan tentang kegagalan mereka membunuh Han Lin karena dihalangi oleh Sian Eng, pangeran Cheng Boan menjadi marah sekali.
"Semua ini gara-gara engkau, Suma Sicu! Kalau engkau tidak melindungi gadis liar itu, tentu sekarang kita telah dapat membunuh Pangeran Cheng Lin yang aseli."
Pangeran Cheng Boan berjalan hilir mudik dalam ruangan itu, wajahnya muram dan pandang matanya penuh kekecewaan dan kemarahan.
"Sekarang, bagaimana baiknya? Selama dia masih berkeliaran, semua rencana kita terancam menjadi berantakan!"
Suma Kiang berkata.
"Harap paduka tenang dan tidak menjadi kecil hati, yang Mulia. Saya telah menyelidiki dan ternyata pemuda dan dua orang gadis itu berada dalam pondok pemburu dalam hutan. Kita dapat menggunakan akal untuk membinasakan mereka bertiga sekaligus. akan tetapi untuk ini perlu bantuan Pangeran Cheng Lin."
"Hemm, engkau mempunyai siasat? laksanakan itu, aku akan mengirim utusan mengundang Pangeran Cheng Lin."
Kata Pangeran Cheng Boan dan tak lama kemudian Pangeran Cheng Lin atau Ki Seng sudah datang ke istana itu. Mereka lalu mengadakan perundingan dalam ruangan belakang, yaitu Pangeran Cheng boan, Pangeran Cheng Lin palsu, Suma Kiang, Toa Ok, dan tidak ketinggalan Sian Hwa Sian-li. Dalam pertemuan itu, Suma Kiang menceritakan tentang siasat yang direncanakan. Mendengar itu, Ki Seng mengerutkan alisnya.
"Memang baik sekali ...! tidak sukar melaksanakan siasat ini. Akan tetapi resikonya teramat berat buat saya, Paman Pangeran. Bayangkan, kalau rahasia ini bocor dan ketahui.. Celakalah aku. Paman hanya menjadi penonton saja, akan tetapi saya yang harus menanggung semua akibatnya."
"Hemm, siapakah yang akan memetik buahnya kalau berhasil? Pangeran, engau tentu tahu betapa bahayanya ancaman yang datang dari Han Lin itu. Sebelum dia dapat disingkirkan, kita semua terancam bahaya. Akan tetapi kalau dia dapat disingkirkan dulu, barulah yang lain akan dapat dilaksanakan dengan amat mudah. Ingat, hasilnya adalah rahasia pribadimu akan terjamin dan kelak engkau akan menjadi satu-satunya pangeran yang akan menggantikan kedudukan kaisar!"
Ki Seng menarik napas panjang. Dia merasa seperti menunggang harimau, Kalau turun dia akan celaka, terpaksa meneruskannya. Kalau dia tidak mau bekerja sama, rahasianya berada di tangan Pangeran Cheng Boan. Kalau Pangeran Cheng Boan membuka rahasia kepada Kaisar, akan celakalah dia. Tidak ada pilihan lain. Dia harus melanjutkan dan berpegang kepada harapan cemerlang bahwa kalau semua rencana persekutuan itu berhasil, kelak dia akan menjadi kaisar. Harapan ini yang menimbulkan semangat baginya. Dua hari kemudian baru rencana yang dirundingkan di rumah Pangeran Cheng Boan itu dapat terlaksana. Pada sore hari itu, diam-diam Pangeran Cheng Boan memberi seekor kuda yang amat baik, besar dan kuat, kepada Pangeran Cheng Lin atau Ki Seng. Ki Seng membawa kuda yang amat indah itu ke istal. Kemudian ia menemui Pangeran Cheng Bhok yang mempunyai kesukaan memelihara dan menunggang kuda.
"Adinda Pangeran, saya mempunyai hadiah untuk adinda!"
Kata Ki Seng dengan suara gembira dan wajahnya penuh senyum.
Pada saat itu kebetulan Pangeran Cheng Bhok berada seorang diri. Dia tersenyum.
"Hadiah apakah itu, kakanda Cheng Lin?"
"Saya ingin membuat kejutan. Sebaiknya adinda melihat sendiri saja. Mari ikut dengan saya!"
Kata Ki Seng yang lalu menggandeng tangan Pangeran Cheng Bhok dan mengajaknya pergi ke istal, bagian belakang taman.
Mereka berhenti di depan istal di mana kuda hitam tinggi besar itu berada "Wah, kuda siapakah ini, kakanda? Bagus sekali!"
Seru Pangeran Cheng Bhok sambil memandang kuda itu dengan kagum.
"Ini kuda adinda. Sengaja saya beli untuk hadiah bagi adinda."
Kata Ki Seng sambil tersenyum.
"Ahh...! Benarkah? Terima kasih, kakanda Cheng Lin. Kakanda baik sekali"
Pangeran Cheng Bhok mendekati kuda hitam itu dan mengelus kepala kuda.
"Kuda ini sudah terlatih baik sekali adinda. Namanya Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam), larinya seperti angin. Mari kita coba, adinda. Saya akan menunggangi kuda lain dan kita coba kecepatan Hek-liong-ma."
Pangeran Cheng Bhok merasa girang bukan main. Kedua orang pangeran itu itu menunggang kuda keluar dari kebun istana. Pangeran Cheng Bhok menunggang kuda hitam dan Ki Seng menunggangi kuda lain. Mereka terus membiarkan kuda mereka berlari congklang menuju ke pintu gerbang selatan. Di sepanjang jalan penduduk kota raja memandang ketika dua orang pangeran yang tampan itu menunggang kuda mereka. Betapa tampan dan gagahnya kedua orang muda bangsawan itu.
Pangeran Cheng Lin palsu atau Ki Seng melarikan kudanya keluar pintu gerbang dan setelah tiba di luar, sambil tertawa dia berkata.
"Adinda Cheng Bhok, sekarang kita menguji kecepatan hek-liong-ma. Coba adinda kejar saya kalau dapat!"
Dia mencambuk kudanya sehingga kuda itu melompat ke depan dan membalap. Pangeran Cheng Bhok adalah seorang penggemar kuda dan dia suka sekali berlumba kuda. Hatinya gembira mendapatkan kuda yang demikian bagus, maka tantangan itu disambutnya dengan tawa dan diapun mencambuk kuda hitam dan melesat ke depan, mengejar.
Kedua orang pangeran itu berkejaran dan kuda mereka membalap dengan amat cepatnya, makin lama makin jauh meninggalkan tembok benteng kota raja. Sementara itu, senja mulai menggelapkan cuaca, malam hampir tiba. Ki Seng membalapkan kudanya dengan cepat. Pangeran Cheng Bhok berusaha mengejarnya. Akan tetapi ternyata kuda hitam itu tidak sehebat namanya. Biar pun Pangeran Cheng Bhok sudah mencambukinya dan menendang-nendang dengan kakinya, namun tetap saja kuda hitam itu tidak mampu menyusul kuda yang berada di depannya.
Selalu tertinggal belasan meter di belakang. Hal ini membuat Pangeran Cheng Bhok menjadi penasaran sekali karena biasanya, dalam adu balap kuda, Pangeran Cheng Lin tidak pernah mampu mengalahkannya. Cuaca sudah menjadi remang-remang ketika Ki Seng menghentikan kudanya dan pangeran Cheng Bhok tentu saja menahan kudanya dan berhenti di samping kakaknya. Mereka telah tiba di tepi hutan dan tempat itu sunyi sekali. Tidak tampak ada orang lain di sekitarnya.
"Kakanda, mengapa berhenti di sini?"
Tanya Pangeran Cheng Bhok dan nada suaranya tidak gembira karena hatinya memang merasa kesal melihat kenyataan bahwa kuda hitam yang ditungganginya tidak mampu mengalahkan larinya kuda yang ditunggangi Pangeran Cheng Lin.
"Malam hampir tiba, mari kita pulang saja!"
"Nanti dulu, adinda, ada sesuatu yang amat menarik di sana.Saya ingin memperlihatkannya kepadamu. Mari, ikutilah saya."
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Cheng Lin palsu itu lalu menjalankan kudanya memasuki hutan. Pangeran Cheng Bhok mengerutkan alisnya, agak ragu, akan tetapi terpaksa iapun mengikuti dari belakang karena dia ingin tahu apa yang akan diperlihatkan kakaknya itu. Sementara itu, di istana kerajaan, Pangeran Cheng Boan tergesa-gesa menemui Pangeran Cheng Hwa.
"Wah, celaka, pangeran! Kita harus cepat mengambil tindakan. Bahaya besar mengancam Pangeran Cheng Lin dan pangeran Cheng Bhok!"
Katanya dengan muka pucat dan tampak gelisah sekali.
"Ada apakah, paman? Apa yang terjadi?"
Tanya Pangeran Cheng Hwa dengan sikapnya yang tenang.
"Saya melihat tadi kedua orang pangeran itu membalapkan kuda mereka keluar pintu gerbang selatan dan ketika saya tanyakan kepada penjaga istana, saya mendapat keterangan bahwa kedua orang pangeran itu hendak berlumba menunggang kuda di luar pintu gerbang!"
"Paman, apa salahnya dengan itu? Mereka sudah biasa
berlumba balap kuda seperti itu. Apa yang perlu
dikhawatirkan?"
Tanya Pangeran Cheng Hwa sambi tersenyum.
"Aduh celaka! Kenapa anda tidak melihat bahaya besar yang mengancam?. Dahulu tidak dapat disamakan dengan sekarang! Bukankah sekarang ada penjahat Han Lin yang berkeliaran di luar kota raja? Ada penyelidik saya baru saja memberi kabar kepada saya bahwa penjahat ini mengumpulkan kawan-kawannya di hutan sebelah selatan kota raja. Tentu ia bermaksud jahat. Bagaimana kalau penjahat itu dan kawan-kawannya menghadang kedua orang pangeran itu? Kita harus cepat mengejar ke sana dan melindungi mereka! Cepatlah, pangeran!"
Biarpun dalam hatinya dia meragukan bahwa Han Lin adalah seorang jahat, akan tetapi ucapan Pangeran Cheng Boan dan sikapnya yang ketakutan itu mempengaruhi Pangeran Cheng Hwa. Cepat dia memanggil kepala pengawal dan memerintahkan dia mempersiapkan sepasukan pengawal sebanyak dua losin orang. Kemudian dia sendiri bersama Cheng Boan ikut dalam pasukan ini dan mereka membalapkan kuda keluar dari pintu gerbang selatan. Debu mengepul tinggi mengiringi derap kaki dua puluh tujuh ekor kuda itu, membuat keremangan senja menjadi tambah gelap lagi.
Sementara itu, Pangeran Cheng Lin palsu turun dari atas punggung kudanya sambil berkata.
"Adinda Pangeran Cheng Bhok, turunlah. Kita tinggalkan kuda di sini dan harus berjalan kaki."
Pangeran Cheng Bhok menurut, ia lompat turun dan bertanya.
"Akan tetapi ke mana kita hendak pergi dan apa yang hendak kakanda perlihatkan kepada ku?"
Pada saat itu, tangan Ki Seng bergerak cepat dan dia sudah menotok pundak Pangeran Cheng Bhok. Pangeran itu seketika terkulai lemas dan roboh.
"Kakanda Cheng Lin....."
Akan tetapi kembali Ki Seng menotok dan pangeran itu tidak mampu mengeluarkan suara atau bergerak lagi, hanya matanya yang terbelalak memandang kepergian kakaknya, penuh rasa kaget, heran dan takut. Ki Seng lalu menuntun kedua ekor kuda dan menambatkan mereka di batang pohon tepi jalan. Kemudian dia kembali mendekati tubuh Pangeran Cheng Bhok yang masih rebah telentang. Dia tidak memperdulikan pandang mata Pangeran Cheng Bhok yang ditujukan kepadanya dan hanya berdiri mendengarkan. Tak lama kemudian pendengarannya yang tajam dapat menangkap derap kaki banyak kuda. Setelah banyak kuda itu terdengar berhenti di pinggir hutan, agaknya telah menemukan dua ekor kuda yang ditambatkannya tadi, Ki Seng cepat memanggul tubuh Pangeran Cheng Bhok dan dibawanya berlari memasuki hutan. Setelah dalam keremangan senja dia melihat sebuah pondok di kejauhan, dia lalu melempar tubuh Pangeran Cheng Bhok ke atas tanah.
Ki Seng mencabut pedang yang tadi diselipkan di bawah jubahnya, sebatang pedang telanjang yang berwarna dua, yang sebelah berwarna hitam dan yang sebelah lagi berwarna putih! Pangeran Cheng Bhok yang jatuhnya terlentang itu melihat Ki Seng mencabut pedang. Wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya yang terbelalak membayangkan ketakutan, bahkan ada air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya, sinar matanya seperti memohon-mohon agar dirinya jangan dibunuh. Akan tetapi sambil tersenyum sinis Ki Seng menggerakkan pedang itu, ditusukkan ke dada Pangeran Cheng Bhok.
"Blesss....!"
Pedang itu menusuk sampai tembus dan Pangeran Cheng Bhok hanya terbelalak. Dia tewas dengan mata terbelalak, tewas seketika karena pedang itu menembus jantungnya. Ki Seng membiarkan pedang itu menancap di dada pangeran Cheng Bhok.
Dia memperhatikan dan pendengarannya menangkap suara gaduh banyak orang mendatangi tempat itu. Dia tersenyum puas dan dicabutnya sebatang pedang lain, pedangnya sendiri dan dengan pedang itu dia melukai pundak kiri dan paha kanannya. Baju dan celananya robek berikut kulit dan sedikit dagingnya, akan tetapi yang mengeluarkan darah cukup banyak sehingga baju dan celana itu berlepotan darah. Ketika Pangeran Cheng Hwa dan pangeran Cheng Boan bersama perwira yang memimpin dua losin perajurit pengawal tiba di situ, mereka melihat Pangeran Cheng Bhok rebah telentang dan tewas dengan sebatang pedang masih menancap di dadanya, sedangkan Pangeran Cheng Lin mendekam dalamkeadaan terluka dan pakaiannya berlepotan darah.
"Adinda Cheng Lin! Apa yang terjadi?"
Pangeran Cheng Hwa berjongkok dekat Ki Seng.
Ki Seng mengeluh kesakitan.
"Kami diserang..... saya melawan akan tetapi terluka dan Cheng Bhok..... dia terbunuh...."
"Siapa yang melakukan ini?"
Pangeran Cheng Boan yang turut berjongkok berkata marah.
"..... dia..... Han Lin dan dua orang wanita.... mereka lari meninggalkan saya ketika mendengar orang banyak datang.... mereka lari ke pondok itu....."
Ki Seng menuding ke arah pondok yang tampak dari situ.
"Cepat, kejar dan serbu pondok itu!"
Pangeran Cheng Boan berseru dan memimpin sendiri pasukan pengawal yang berlari-larian menuju pondok.
"Mari kita bantu.... kakanda Pangeran Cheng Hwa.... penjahat-penjahat itu lihai sekali...."
Ki Seng berkata kemudian bangkit dan terpincang-pincang dia bersama Cheng Hwa menuju ke pondok itu.
Sementara itu, di dalam pondok diterangi dua batang lilin menyala, mereka bertiga duduk bersila menghimpun tenaga. Han Lin duduk di atas dipan di sudut sedangkan Kiok Hwa dan Sian Eng berdua duduk di atas sebuah dipan lain. kesehatan mereka sudah pulih berkat pengobatan Kiok Hwa, bahkan tenaga mereka juga sudah kuat kembali. Mereka bertiga terkejut mendengar suara ribut ribut di luar pondok. Suara banyak sekali orang yang mengepung pondok. Kini bahkan hanya dua puluh delapan orang termasuk Ki Seng yang mengepung pondok melainkan ditambah lagi dua puluh orang perajurit yang dipimpin Toa Ok, Suma Kiang, dan Sian Hwa Sian-li. Tentu saja semua ini sudah diatur dan direncanakan oleh Pangeran Cheng Boan komplotannya!
Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa membuka pintu pondok dan keluar. Ternyata di depan pintu telah berdiri Pangeran Cheng Boan, Pangeran Cheng Hwa, dan Ki Seng yang pakaiannya berlepotan darah, dan pondok itu telah dikepung puluhan orang perajurit.
"Mereka inilah pembunuhnya!"
Teriak Ki Seng sambil menudingkan telunjuknya kepada tiga orang yang terkejut dan terheran itu.
"Engkau keparat busuk! Ini fitnah keji"
Bentak Sian Eng dengan marah dan gadis ini sudah siap untuk menerjang. Akan tetapi Han Lin memegang lengannya dan memandang kepada Pangeran Cheng Hwa.
"Pangeran, apakah artinya ini?"
Tanyanya. Pangeran Cheng Hwa memandang ragu. Akan tetapi buktinya telah cukup. Pangeran Cheng Bhok tewas dan Pangeran Cheng Lin luka-luka.
"Han Lin, perbuatan kalian bertiga sudah terbukti. Kalian telah membunuh pangeran Cheng Bhok dan melukai Pangeran Cheng Lin. Karena itu, menyerahlah saja untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada Sri Baginda Kaisar."
"Membunuh? Tidak, pangeran, kami sama sekali tidak membunuh orang."
Kata Han Lin.
"Engkau masih berani menyangkal?"
Bentak Pangeran Cheng Boan yang mengangkat sebatang pedang yang berlepotan darah.
"Coba lihat, pedang siapa ini?"
"Im-yang-kiam.....! Itu pedang saya"
Kata Han Lin yang mengenal pedang itu.
"Nah, mau menyangkal apa lagi? pangeran Cheng Hwa, pedang inilah tadi yang menancap di dada Pangeran Cheng Bhok. Pedang ini saya cabut untuk dijadikan bukti."
"Han Lin, tidak perlu menyangkal lagi. Menyerahlah untuk kami tangkap!"
Suara Pangeran Cheng Hwa terdengar tegas dan sepasang alisnya berkerut. Bukti pedang yang diakui sebagai milik Han Lin ini membuat dia percaya bahwa pembunuhnya memang Han Lin.
"Lin-ko, kita lawan dan kita meloloskan diri!"
Kata Sian Eng dan ia sudah mencabut Ceng-liong-kiam yang benpendar hijau, siap untuk mengamuk. Akan tetapi kembali Han Lin memegang lengan gadis itu. Dia berpikir bahwa kalau dia melawan, hal itu bahkan menambah kuat-dugaan bahwa dia yang melakukan pembunuhan. Dan dia tentu akan menjadi musuh kerajaan, menjadi pelarian dan orang buruan. Apalagi dia melihat Ki Seng, yang biarpun berlepotan darah namun dia yakin semua itu hanya sandiwara dan manusia berwatak iblis itu tidak apa-apa dan masih lihai sekali. Juga melihat Toa Ok, Suma Kiang, dan Sian Hwa Sian-li berada pula di situ, berbaur dengan para perajurit.
Pihak lawan amat banyak dan terlalu kuat sehingga kalau mereka bertiga melawan, tentu mereka bertiga akan tewas pula. la tidak mau tewas sebagai seorang pemberontak dan penjahat!
"Simpan pedangmu, Eng-moi. Kita menyerah saja. Aku yakin bahwa Pangeran Cheng Hwa dan Sri Baginda adalah orang-orang bijaksana dan adil."
Katanya lembut namun mengandung wibawa sehingga Sian Eng menghela napas dan dengan wajah membayangkan penasaran ia menyarungkan kembali pedangnya.
"Tangkap dan belenggu tangan mereka!"
Pangeran Cheng Boan memerintah Beberapa orang perajurit yang memang sudah mempersiapkan tali yang kuat segera dan membelenggu tangan tiga orang itu ke belakang.
Pangeran Cheng Boan juga merampas pedang dari punggung Sian Eng. Kemudian mereka bertiga digiring keluar hutan dan dibawa ke kota raja. Hanya kehadiran Pangeran Cheng Hwa saja yang melindungi Han Lin, sian Eng, dan Kiok Hwa sehingga mereka bertiga tidak diganggu atau disiksa. Pangeran Mahkota ini melarang mereka menganggu dan setelah tiba di istana dia lalu menyerahkan tiga orang tawanan kepada perwira komandan pasukan pengawal istana agar dimasukkan dalam kamar tahanan dan dijaga ketat agar tidak melarikan diri. Malam itu juga, Pangeran Cheik Boan, Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Lin menghadap Kaisar untuk melaporkan peristiwa kematian Pangeran Cheng Bhok yang terbunuh itu. Mendengar bahwa kembali ada pangeran yang terbunuh, Sri Baginda Kaisar Cheng Tung marah sekali.
"Pangeran Cheng Bhok terbunuh?"
Teriaknya.
"Siapa yang membunuhnya? Tangkap pembunuh itu. Tangkap!!"
"Pembunuhnya tiga orang sudah kami tangkap, Kakanda Kaisar."
Pangeran Cheng Boan melapor.
"Bagus! Hukum mati penggal kepala mereka besok pagi di lapangan dan suruh rakyat menyaksikannya!"
"Ayahanda Yang Mulia, apakah keputusan ayahanda ini tidak terlalu tergesa-gesa? Paduka belum mendengar bagaimana terjadi peristiwa itu."
Kata Pangeran heng Hwa.
"Adinda Cheng Lin dapat menceritakannya."
Kaisar Cheng Tung memandang Pangeran Cheng Lin dan baru tampak olehnya betapa pakaian pangeran ini berlepotan darah.
"Eh, engkau kenapa, Cheng lin? Terluka?"
"Hamba nyaris tewas seperti adinda pangeran Cheng Bhok, ayahanda yang Mulia. Peristiwanya begini. Hamba memberi hadiah seekor kuda kepada adinda Cheng Bhok dan dia mengajak hamba untuk menguji larinya kuda itu. Hamba berdua lalu berlumba di luar pintu gerbang kota raja. Ketika hamba berdua tiba di tepi hutan di sebelah selatan iiu, hamba melihat bayangan tiga orang memasuki hutan.
Hamba menjadi curiga karena seorang di antara mereka adalah Han Lin yang tempo hari pernah menyerang hamba dalam taman. Hamba dan adinda Cheng Bhok lalu turun dari kuda dan memasuki hutan untuk menyelidiki. Ketika hamba berdua tiba dekat sebuah pondok, tiba-tiba Han Lin dan dua orang gadis muncul dan menyerang hamba berdua, Han Lin itu amat lihai dan dua orang gadis temannya itupun lihai sekali. Hamba mempertahankan diri mati-matian sehingga luka-luka dan adinda Pangeran Cheng Bhok ditusuk dadanya oleh pedang yang dipegang penjahat Han Lin, Padi saat itu, rombongan kakanda Pangeran Cheng Hwa tiba sehingga tiga orang itu melarikan diri ke pondok, meninggalkan jenazah adinda Cheng Bhok yang masih tertusuk pedang dadanya dan hamba yang terluka parah."
"Penjahat itu telah membunuh dua orang puteraku. Dia harus dihukum pancung di depan rakyat agar menjadi contoh!"
Kata lagi Kaisar Cheng Tung dengan nada suara mengandung kedukaan.
"Penjahat Han Lin itu sudah mengakui bahwa pedang yang menancap di dada adinda Pangeran Cheng Bhok adalah miliknya, Kakanda Kaisar. Hukuman itu sudah lebih daripada adil!"
Kata Pangeran Cheng Boan.
"Maaf, Ayahanda Yang Mulia. Hamba tetap menganggap keputusan hukuman itu agak tergesa-gesa. Perlu diselidiki dulu apakah benar-benar Han Lin dan dua orang gadis itu yang menjadi pembunuh, hamba khawatir kalau kita salah tangkap dan menghukum mati orang-orang yang tidak berdosa."
"Cheng Hwa, Ada bukti pedang itu dan ada saksi dan keterangan adikmu Cheng Lin, dan engkau masih juga belum yakin? Apakah engkau tidak percaya kepada adikmu Cheng Lin?"
"Hamba mohon Ayahanda Kaisar sudi memaafkan kakanda Cheng Hwa. Dia membela Han Lin karena teringat bahwa Han Lin pernah menyelamatkannya ketika dia diserang orang jahat di dalam hutan,"
Kata Ki Seng dengan cerdik berlagak membela Pangeran Cheng Hwa.
"Kakanda Kaisar, sekarang hamba yakin benar bahwa perbuatannya menolong ananda Pangeran Cheng Hwa dahulu itu memang direncanakan agar dia dapat menyusup ke dalam istana. Tentu pembunuh Pangeran Cheng Sui dahulu itu dia juga atau teman-temannya!"
Kata Pangeran Cheng Boan.
Ucapan Pangeran Cheng Boan termakan betul oleh kaisar sehingga dia menjadi semakin marah.
"Adinda Pangeran Cheng Boan. Laksanakan hukum pancung terhadap tiga orang pembunuh itu. Atur agar pelaksanaan hukum itu dilalukan di lapangan depan istana, disaksikan oleh rakyat dan dirikan panggung karena kami sendiri juga akan menyaksikan untuk menghibur arwah kedua orang putera kami!"
"Baik, kakanda Kaisar!"
Jawab Pangeran Cheng Boan dengan lantang karena dalam hatinya dia bersorak gembira.
Siasat yang diaturnya bersama Ki Seng ternyata berhasil dengan baik sekali. Bukan saja dapat melenyapkan seorang pangeran lagi, akan tetapi juga dapat membasmi pangeran Cheng Lin aseli berikut Lo sian Eng, gadis yang lihai dan berbahaya itu. Kaisar lalu meninggalkan ruangan dan mereka semua bubaran. Pangeran Cheng Boan dan Ki Seng meninggalkan ruangan itu dengan hati gembira sekali. Akan tapi walaupun tidak memperlihatkan pada wajahnya, dalam hatinya Pangeran Cheng Hwa masih merasa ragu. Dia masih sukar untuk dapat percaya bahwa seorang pemuda seperti Han Lin itu dapat melakukan perbuatan yang demikian jahat, juga dua orang teman Han Lin itu tidak pantas menjadi penjahat. Gadis cantik berpakaian merah muda itu demikian gagah sikapnya, seperti seorang pendekar wanita, sedangkan gadis berpakaian serba putih yang amat jelita itu sikapnya demikian lembut dan halus seperti seorang dewi! Bagaimana mungkin tiga orang itu menjadi sebuah komplotan pembunuh. Tapi dia tidak dapat berbuat sesuatu. Bukti pedang dan saksi Pangeran Cheng Lin sudah begitu kuat dan keputusan hukuman dijatuhkan Kaisar.
Semalaman Pangeran Cheng Hwa tidur dengan gelisah. Bayangan wajah tiga orang terhukum itu selalu tampak dalam benaknya. Pagi-pagi sekali pengumuman itu tersiar luas sehingga diketahui semua penduduk kota raja, bahkan terbawa sampai ke luar kota raja. Tiga orang penjahat yang telah membunuh Pangeran Cheng Siu dan Pangeran Cheng Bhok tertangkap dan akan dihukum pancung di lapangan depan istana. Semua orang diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menonton pelaksanaan hukuman itu. Bahkan Sri Baginda Kaisar sendiri akan ikut menyaksikan. Suatu peristiwa yang langka. Maka berbondong-bondong orang berdatangan kelapangan di depan istana. Tentu saja sebagian besar dari mereka adalah laki-laki karena kebanyakan wanita dan kanak-kanak merasa ngeri menyaksikan kepala orang dipenggal!
Tepat di depan pintu gerbang istana dibangun sebuah panggung yang akan menjadi tempat duduk Sri Baginda Kaisar dan para pengiringnya. Sejak pagi sekali panggung yang masih kosong itu sudah dijaga sepasukan perajurit pengawal. Dan Di tengah-tengah lapangan itupun dibangun sebuah panggung, yang akan menjadi tempat tiga orang terhukum itu dipenggal kepalanya. Rakyat berduyun-duyun memenuhi lapangan itu. Yang berdiri di belakang juga dapat menonton dengan enak karena panggung tempat pelaksanaan hukuman dan panggung tempat duduk Kaisar itu cukup tinggi sehingga dapat tampak jelas oleh mereka yang berdiri di belakang.
Mereka yang berhati tabah berdiri mengelilingi panggung tempat pelaksanaan hukuman agar dapat melihat lebih jelas, sedangkan mereka yang berhati tidak tega berdiri menonton di belakang dalam jarak jauh.
Terdengar tambur dibunyikan pertama bahwa Sri Baginda Kaisar akan keluar dari istana. Pintu gerbang istana dibuka dan muncullah rombongan Kaisar. Kaisar dengan wajah yang masih membayangkan kesedihan melangkah dengan tegak dan tenang menuju tangga yang membawanya naik ke panggung. Dia diiringkan empat orang puteranya, yaitu Pangeran Cheng Hwa, Pangeran Cheng Ki, Pangeran Cheng Tek, dan Pangeran Cheng Lin. Kemudian di belakang para pangeran berjalan para perwira pengawal dengan pasukan pengawal pribadi yang berhenti, dan berdiri berjajar di bagian belakang tempat duduk Kaisar dan para pangeran. Para pejabat tinggi yang sudah hadir terlebih dulu di kursi-kursi yang terletak di bagian bawah panggung, bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat ketika kaisar menaiki panggung. Juga para komandan pasukan penjaga memberi hormat dan para perajurit bersikap hormat dan tegak.
Setelah Kaisar Cheng Tung duduk di atas kursi yang disediakan, dia mengangkat tangan kiri ke atas. Ini merupakan tanda bahwa pelaksanaan hukuman boleh dimulai. Terdengar bunyi tambur yang nadanya berbeda dari tadi dan dari dalam pintu gerbang istana muncullah dua losin perajurit pengawal yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cheng Boan yang bertugas mengatur pelaksanaan hukuman itu, mengiringkan tiga orang yang kedua dengan mereka dibelenggu ke belakang tubuh. Terdengar berdengung seperti ribuan kumbang beterbangan keluar dari sarangnya ketika para penonton menyambut keluarnya tiga orang hukuman itu. Ada yang terheran-heran, ada yang merasa penasaran, ada yang marah, akan tetapi sebagian besar dari mereka merasa aneh dan kasihan. Tadinya mereka mengira bahwa tiga orang pembunuh itu tentu tiga orang laki-laki yang kelihatan bengis dan menyeramkan. Akan tetapi apa yang mereka lihat?
Seorang pemuda yang masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya, berpakaian sederhana dan sikapnya halus, wajahnya tampan, sedikitpun tidak membayangi watak kejam atau jahat! Dan dua orang "pembunuh"
Yang lain itu, Seorang gadis cantik, usianya paling banyak sembilan belas tahun, berpakaian serba merah muda, langkahnya tegak dan gagah, sedikit pun tidak tampak jahat, juga tidak ada tanda-tanda takut padanya, tidak menangis. Dan gadis yang ke dua, yang berpakaian serba putih, cantik jelita sepi bidadari, lembut ayu dan mulutnya selalu dihias senyum manis. Bagaimana mungkin tiga orang muda seperti itu merupakan pembunuh-pembunuh yang dikabarkan kejam dan jahat?
Tiba-tiba terdengar banyak orang berseru ketika mereka mengenal Kiok Hwa sebagai gadis yang pernah menolong dan mengobati mereka.
"PeK i Yok Sian-li.....! PeK i Yok Sian-li.....!!"
Terjadi kegaduhan, akan tetapi para penjaga segera mendekati mereka dan mengacungkan tombak, mengancam agar mereka tidak membikin ribut. Orang-orang itu takut dan diam. akan tetapi mereka memandang kepada Kiok Hwa dengan mata terbelalak dan merasa semakin penasaran. Gadis ahli pengobatan itu mana mungkin menjadi pembunuh yang akan dihukum pancung.
Han Lin menjadi sedih, bukan soal karena dia menghadapi hukuman mati yang dijatuhkan oleh ayah kandungnya sendiri, melainkan sedih melihat betapa Sian Eng dan terutama Kiok Hwa juga menjadi korban karena dia. Akan tetapi ketika mengerling ke arah dua orang disayang berjalan di kanan kirinya itu, Dia terheran-heran melihat Sian eng berwajah tenang, sama sekali tidak tampak sedih atau takut, dan terutama kali Kiok Hwa. Gadis ini bahkan tersenyum-senyum, seolah bukan digiring ke arah maut melainkan digiring ke ruang pengantin!
"Eng-moi, engkau tidak takut?"
Bisiknya ke kiri di mana Sian Eng berjalan di sisinya.
"Takut? Tidak, aku bahkan merasa beruntung dapat menghadapi maut bersamamu, Lin-ko."
"Dan engkau, Hwa-moi?"
"Aku merasa bangga dan bahagia dapat mati bersama kalian!"
Kata gadis itu sambil tersenyum manis dan Han Lin dapat menangkap sinar mata gadis itu yang penuh dengan cinta kasih!
"Diam kalian!"
Bentak suara kasar dan parau di belakang mereka. Yang membentak ini adalah seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa yang memanggul sebatang golok besar, berat dan mengkilap saking tajamnya. Semua orang memandang kepada algojo ini dan goloknya dengan perasaan ngeri. Bagaimana mereka tega melihat algojo raksasa itu mengayun goloknya memenggal leher tiga orang muda yang tampan dan cantik itu!
Tiga orang hukuman itu dengan dikawal algojo raksasa, dengan langkah tebing menghampiri pangung tempat pelaksanaan hukuman dan menaiki tangga. Kini mereka tiba di atas panggung, menghadap Kaisar Cheng Tung yang duduk di kursi dan memandang kepada mereka bertiga. Timbul sedikit keraguan dalam hati Kaisar Cheng Tung melihat tiga orang muda itu. Benarkah mereka ini pembunuh? Pertanyaan ini timbul dalam hati sanubarinya karena melihat pemuda dan dua orang gadis itu, dia menjadi ragu.
Akan tetapi bukti dan saksi semua jelas dan diapun sudah menjatuhkan keputusan hukuman mati. Melihat ayah kandungnya duduk di atas kursi di panggung yang agak tertinggi dari panggung di mana dia berada, Han Lin tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun menjatuhkan dirinya berlutut dan memberi hormat kepada Kaisar Cheng Tung. Sian Eng yang tahu bahwa Han Lin adalah Pangeran Cheng Lin, putera dari kaisar itu, merasa penasaran dan tidak senang kepada kaisar yang menjatuhkan hukuman mati kepada puteranya sendiri yang tidak berdosa, maka ia tetap berdiri tegak bahkan memandang ke arah kaisar dengan mata bersinar penuh rasa penasaran. Akan tetapi, Kiok Hwa yang melihat Han Lin berlutut, dengan patuh berlutut pula dan gadis ini menarik tangan Sian Eng sehingga akhirnya, melihat mereka berdua berlutut, Sian Eng juga ikut berlutut.
Melihat mereka yang dia jatuhi hukuman mati itu berlutut menghadap padanya, Kaisar Cheng Tung merasa iba dan dia khawatir kalau-kalau dia akan mengubah keputusannya, maka dia cepat mengangkat tangan kanan ke atas sebagai isarat kepada algojo untuk melaksanakan tugasnya dengan cepat. Sang algojo yang bertubuh raksasa itu mengangkat golok yang besar dan mengkilat itu. Sebagian besar penonton tidak tahan melihatnya. Ada yang membalikkan tubuhnya, ada yang membuang muka, dan ada pula yang memejamkan kedua mata dan menutupi kedua telinganya. Sang algojo mengerahkan tenaganya dan siap mengayun golok yang sudah berada di atas kepalanya itu ke bawah, ke arah leher Han Lin.
"Omitohud.....Tahan......!!"
Tiba-tiba saja berkelebat bayangan kuning dan tahu-tahu di atas panggung tempat pelaksanaan hukuman itu telah berdiri seorang hwesio berusia hampir tujuh puluh tahun. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu.
Melihat ini, algojo itu lalu mengayunkan goloknya, bukan kepada leher Han Lin, melainkan ke arah kepala hwesio itu. Algojo ini telah menerima uang sogokan dari Pangeran Cheng Boan dan dipesan agar melaksanakan hukuman itu dengan baik dan membunuh siapa saja yang berusaha untuk menghalangi pelaksanaan hukuman. Akan tetapi hwesio tua itu menggerakkan tangan kirinya. Serangan itu tertahan di udara seolah tubuh algojo itu berubah menjadi arca, kemudian sekali hwesio itu mendorongkan tangannya, tubuh algojo yang tinggi besar itu terjengkang dan terjatuh ke bawah panggung. Dia jatuh seperti sebongkah batu dan diam diatas tanah karena tidak mampu bergerak lagi. Algojo itu telah terkena totokan It-yang ci yang amat dahsyat. Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan terbelalak melihat kejadian itu.
Para perwira pasukan pengawal sudah siap untuk mengerahkan pasukan mereka untuk mengepung dan (Lanjut ke Jilid 31)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 31
menyerbu hwesio yang mereka anggap membikin kacau itu. Akan tetapi pada saat itu, tiga orang pejabat tinggi yang sudah tua melangkah maju mendekati panggung di mana hwesio itu berdiri, lalu ketiganya menjatuhkan diri berlutut.
"Hamba menghaturkan hormat kepada Yang Mulia Sri Baginda Kaisar Hui Ti!"
Seru mereka bertiga dengan suara lantang sehingga mengejutkan semua orang.
Orang-orang yang usianya lima puluhan tahun ke atas dapat mengenal hwesio itu setelah tiga orang pejabat tinggi itu memberi hormat. Kiranya hwesio itu adalah Kaisar Hui Ti yang pada empat puluh tahun yang lalu terpaksa melarikan diri karena istananya diserbu oleh pasukan Pangeran Yen, pamannya sendiri yang memberontak. Selama empat puluh tahun Kaisar Hui Ti disangka orang sudah mati, akan tetapi tidak pernah ditemukan jenazahnya. Karena selama empat puluh tahun tidak pernah muncul, dia dianggap sudah hilang. Maka, kemunculannya sebagai seorang hwesio tentu saja amat mengejutkan. Kaisar Cheng Tung juga menjadi amat terkejut ketika mendengar bahwa hwesio tua itu adalah bekas Kaisar Hui Ti.
Peristiwa terbuang dan larinya Kaisar Hu Ti dari istana terjadi ketika dia masih kecil, akan tetapi sejak kecil dia sudah mendengar cerita keluarga tentang Kaisar Hui Ti itu. Ketika itu. Kaisar Hui ti yang baru berusia delapan belas tahun, diserbu oleh pamannya sendiri. Pangeran Yen yang membawa pasukan dari Peking menyerbu istana Kaisar Hui Ti di Nan king. Setelah Kaisar Hui Ti melarikan diri.
Pangeran Yen menjadi kaisar baru yang berjuluk Kaisar Yung Lo. Ketika Kaisar Yung Lo meninggal dunia dalam tahun 1425, penggantinya adalah puteranya Kaisar Hung Hsi. Akan tetapi kaisar ini sudah berpenyakitan dan meninggal dunia dalam tahun itu juga. Tahta kerajaan lalu diwariskan kepada cucu mendiang Kaisar Yung Lo, yaitu Kaisar Hsuan Tek yang menjadi kaisar hanya selama sebelas tahun. Kaisar Hsuan Tek adalah ayah Kaisar Cheng Tung. Ketika ayahanda meninggal dunia, Kaisar Cheng Tung memegang tahta dalam usia delapan tahun. Kalau diingat bahwa mendiang Kaisar Yung Lo adalah kakek buyutnya, dan Kaisar Hui Ti adalah keponakan Kaisar Yung Lo, maka Kaisar Hui Ti masih terhitung paman kakeknya.
Kaisar Cheng Tung adalah seorang Ahli sastra, seorang yang memegang peraturan dan kebudayaan, seorang yang bijaksana. Biarpun Kaisar Hui Ti adalah orang pelarian, akan tetapi sekarang telah menjadi hwesio dan sudah tua, maka diapun lalu turun dari kursinya, berdiri menghadap ke arah hwesio itu dan merangkap kedua tangan didepan dada lalu membungkuk dengan hormat.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya Cheng Tung memberi hormat kepada paman kakek Hui Ti!"
Suaranya lembut namun lantang dan mendengar ini, semua pejabat yang hadir di situ lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Hwesio itu dan memberi hormat.
"Omitohud....! Sribaginda Kaisar Cheng Tung yang bijaksana dan semua pembesar kerajaan. Harap jangan memberi penghormatan secara berlebihan. Pinceng (aku) bukan lagi Kaisar Hui Ti, melainkan seorang hwesio tua pengembara bernama Cheng Hian Hwesio."
Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo