Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 25


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



Setelah puas bersenang-senang, karena hawa udara mulai dingin, para selir itu lalu meninggalkan taman sambil tertawa-tawa. Mei Ling juga kembali ke kamarnya. Hanya Sian-li yang tinggal di taman. Ia masih ingin menikmati keindahan taman yang bermandikan cahaya bulan. ia minta kepada pelayan untuk meninggalkan seguci anggur dan sebuah cawan untuknya. Sian Hwa Sian-li duduk termenung. Ia merindukan Ki Seng, atau lebih tepat lagi, ia merindukan kehadiran seorang pria di sisinya pada saat seromantis itu. Ki Seng tidak pernah datang berkunjung di waktu malam, hanya pada pagi sampai sore hari. Dituangkannya anggur dalam cawan dan diminumnya perlahan-lahan, seolah hendak menikmati anggur itu sedikit demi sedikit. Dalam keadaan yang sunyi itu, suara langkah kaki di belakangnya dapat tertangkap pendengarannya yang tajam ter-latih. Sian Hwa Sian-li tidak bergerak, tetap duduk dengan santai di atas bangku menghadapi meja kayu yang kecil.

   Pendengarannya yang tajam memberitahu kepadanya bahwa yang datang menghampiri nya adalah seorang pria! Hal ini dapat ia ketahui dari bunyi langkah itu. Langkah wanita lebih ringan dari langkah pria. Langkah kaki ini berat dan tegap. Ia sudah dapat menduga siapa yang datang menghampirinya.

   "Sian-li...."

   Orang yang datang itu memanggilnya lirih. Sian Hwa Sian-li menoleh dan wajahnya tersenyum manis sekali ketika matanya memandang kepada wajah Cheng Kun yang telah berdiri dekat di belakangnya. Ia lalu bangkit berdiri dan memberi hormat dengan gaya lemah gemulai.

   "Aih, kiranya engkau, Cheng-kongcu!"

   Kata Sian Hwa Sian- li, suaranya seperti bernyanyi.

   "Sian-li, sedang apakah engkau duduk seorang diri malam-malam di dalam taman?"

   Tanya Cheng Kun sambil memandangi wajah yang amat cantik jelita tertimpa sinar bulan yang lembut itu. Gigi yang seperti mutiara berjajar itu mengkilap ketika sepasang bibir itu terbuka.

   "Saya sedang minum anggur sambil menikmati indahnya taman di malam terang bulan purnama, Cheng-kongcu. Kongcu, silakan duduk dan maukah kongcu menemani saya minum anggur menikmati malam indah ini?"

   Cheng Kun merasa girang sekali. Wanita itu terang-terangan menawarkan hubungan yang lebih akrab. Dia pun lalu duduk di atas bangku, bersanding dengan Sian Hwa Sian-li.

   "Sian-li, tentu saja aku mau. Akan tetapi, benar-benarkah engkau ingin aku menemanimu minum arak malam ini?"

   Sian Hwa Sian-li mengerling dan tersenyum manis sekali.

   "Kenapa tidak? Saya benar-benar menginginkannya. Siapakah orangnya yang tidak ingin minum anggur menikmati keindahan taman, malam bulan purnama didampingi seorai pemuda yang ganteng dan gagah?"

   Cheng Kun menjadi semakin girang "Sian-li, engkaulah yang cantik jelita dan menarik hati, pula aku melihat ketika engkau bersilat sabuk sutera merah tadi. Alangkah indahnya, dan alangkah lihainya. Akan tetapi, kulihat di sini hanya ada sebuah cawan. Tidak ada cawan untukku."

   "Aih, kongcu. Satu cawan bukankah sudah cukup? Secawan anggur kita minum berdua, bukankah menambah keharuman dan kehangatan anggur?"

   Setelah berkata demikian, Sian-li menuangkan anggur dari guci ke dalam cawan itu sampai penuh lalu menyerahkannya kepada Cheng Kun. Cheng Kun menerima cawan itu, membawanya ke dekat bibir lalu berkata dengan gembira.

   "Untuk persahabatan kita!"

   Dia minum anggur itu setengahnya dan menyerahkan cawan yang masih ada anggur setengahnya itu kepada Sian-li.

   "Giliranmu minum. Secawan diminum berdua katamu tadi!"

   Kata Cheng Kun. Sian-li tersenyum dan minum anggur dari cawan itu.

   (Lanjut ke Jilid 26)

   Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26

   Kemudian ia mengisi lagi cawan kosong itu dengan anggur sampai penuh. Akan tetapi ketika ia menyerahkannya kepada Cheng Kun, pemuda itu berkata sambil tersenyum.

   "Sekarang giliranmu minum lebih dulu, Sian-li."

   Sian Hwa Sian-li tidak membantah. Ia mengangkat cawan itu dan berkata.

   "Untuk malam indah ini yang mempertemukan kita berdua!"

   Dan iapun minum anggur setengahnya, lalu yang setengah cawan lagi diminum habis oleh Cheng Kun. Demikianlah, mereka berdua berganti-ganti minum anggur dari satu cawan sehingga tubuh terasa hangat dan suasana menjadi gembira.

   Akan tetapi tiba-tiba Sian Hwa Sian li menggerakkan kedua pundaknya seperti orang menggigil.

   "Ihh, malam indah sudah larut dan hawa mulai dingin sekali. Kalau minum dalam kamar tertutup tentu akan hangat dan nyaman."

   Tentu saja ucapan yang jelas mengandung ajakan ini tidak disia-siakan oleh Cheng Kun yang telah dicengkeram nafsunya sendiri yang berkobar.

   "Benar sekali, Sian-li. Bagaimanai kalau kita melanjutkan minum angur dalam kamarmu?"

   Sian Hwa Sian-li pura-pura terkejut kemalu-maluan dan mengerling genit sambil tersenyum.

   "Ihhh, kongcu.....!"

   Desahnya manja.

   "Bagaimana, maukah engkau kutemani minum anggur dalam kamarmu?"

   Cheng Kun yang sudah yakin menang itu mendesak.

   Sian Hwa Sian-li mengangguk dan keduanya bangkit. Wanita itu dengan langkah gemulai meninggalkan taman, diikuti oleh Cheng Kun yang membawakan guci anggur dan cawan masih terisi anggur setengahnya. Bagaikan dua orang maling, mereka berindap-indap. Namun malam itu sudah larut dan hawa udara amat dinginnya sehingga tidak ada penghuni rumah yang masih berada di luar kamarnya. Mereka dapat memasuki kamar Sian Hwa Sian-li tanpa diketahui orang lain. Dalam kamar itu mereka melanjutkan kesenangan mereka berenang dalam lautan nafsu yang memabokkan dan membuat mereka lupa akan segala.

   Kemewahan dan kemegahan yang bergelimpangan merupakan wujud lahiriah yang belum tentu membungkus sesuatu yang indah dan bersih. Segala macam kekayaan, kemuliaan, kedudukan, kekuasaan, kepandaian, bahkan agama hanya merupakan pakaian yang tidak menentukan kebersihan si pemakai. Pakaian itu memang indah dan juga bersih, namun belum dapat dipastikan bahwa si pemakai menjadi bersih pula. Bahkan banyak sekali terjadi dalam keluarga bangsawan-bangsawan tinggi, hartawan-hartawan yang kaya raya, yang hidupnya dihormati semua orang, tampak agung berwibawa, di dalamnya terdapat hal-hal yang kotor sekali, jauh lebih kotor daripada kekotoran yang terdapat dalam keluarga miskin sederhana.

   Hal ini tidaklah aneh karena segala kecemerlangan lahiriah itu bahkan menjadi pendorong untuk orang yang memilikinya untuk melakukan hal-hal yang kotor. Harta yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu yang semestinya selain untuk dipergunakan untuk kebutuhan keluarga sendiri, juga sisanya yang banyak dapat dimanfaatkan untuk menolong orang-orang yang kekurangan, bahkan mereka pergunakan untuk mencapai keinginan mereka. Untuk mendapatkan kekuasaan, untuk mendapatkan kemenangan, dan untuk mendapatkan apa yang dikejar untuk memuaskan nafsu-nafsu pribadinya.

   Dalam rumah gedung milik Pangeran Cheng Boan yang indah seperti istana itu telah terjadi hal-hal yang amat kotor menjijikkan. Pertama-tama Pangeran Cheng Boan yang sudah tidak kekurangan apapun itu merencanakan siasat yang jahat dan keji untuk meraih kedudukan tertinggi! Kemudian, setelah Ki Seng bersekutu dengannya, Ki Seng melakukan perjinaan dengan semua selir pangeran itu dan sang pangeran pura-pura tidak tahu dan mendiamkannya saja. Kini terjadi lagi hal yang tidak senonoh. Cheng Kun bermain gila dengan Sian Hwa Sian-i di dalam gedung itu juga!

   Menjelang fajar, sebelum meninggalkan kamar Sian Hwa Sian-li, Cheng Kun berkata kepada wanita itu.

   "Sian-li, kita Ini telah menjadi orang sendiri. Aku akan berterus terang kepadamu dan minta bantuanmu. Terus terang saja aku juga tergila-gila kepada Ciang Mei Ling. Bantulah aku untuk mendapatkannya, Sian-li."

   Sian Hwa Sian-li mengerutkan diam dan pura-pura cemberut. Padahal dalam hatinya ia merasa geli.

   Baginya tidak ada rasa cemburu karena ia menyerahkan diri kepada pemuda itu tidak berikut hatinya. Baginya Cheng Kun hanyalah sebuah di antara alat-alat baginya untuk menyenangkan diri, untuk memuaskan nafsu birahinya dan tentu saja demi mencapai cita-citanya agar dapat hidup mulia dan terhormat di masa depan. Tentu saja ia suka membantu karena ia tahu bahwa tidak mungkin memonopoli pemuda bangsawan ini untuk dirinya sendiri dan kalau ia membantu sampai berhasil, berati Cheng Kun berhutang budi kepadanya.

   "Hemm, Cheng Kongcu, engkau mau mendapatkan Mei Ling dan lupa kepadaku."

   "Tidak mungkin aku melupakanmu. Bahkan kalau engkau mau membantu sampai berhasil, engkau menjadi pembantuku yang setia."

   "Apakah engkau tidak takut kalau ketahuan Pangeran Cheng Lin? Ingat, kini berdua adalah kekasihnya dan kalau dia tahu bahwa kongcu menggoda kami, tentu dia akan marah."

   "Kenapa dia harus marah? Dia telah merayu dan memiliki hubungan gelap dengan semua ibu tiriku, aku dan ayah juga mengetahuinya dan tidak marah kepada-nya. Sudahlah, jangan khawatir tentang pangeran Cheng Lin, dia pasti tidak akan marah. Maukah engkau membantuku, sayang?"

   "Baiklah, akan tetapi setelah berhasil, engkau harus memberihadiah yang amat langka dan berharga untukku, Kongcu."

   "Jangan khawatir, kalau berhasil aku akan memberimu sepasang giwang dari berlian yang amat indah dan mahal harganya."

   Tentu saja Sian Hwa Sian-li menjadi girang dan mereka berdua lalu mengatur siasat.

   Beberapa hari kemudian, pada suatu malam, Ciang Mei Ling duduk seorang diri dalam kamarnya. Wanita muda ini termenung sedih. Baru sekarang ia mendapat dugaan bahwa dirinya dipermainkan oleh Pangeran Cheng Lin. Terkenanglah ia akan semua pengalamannya dahulu Pangeran Cheng Lin yang dahulu bernama Ouw Ki Seng sebagai ketua Ban-tok pang itu datang dan mengadakan persahabatan dengan ayahnya yang menjadi ketua Pek-eng-pang.

   Kemudian, Ki Seng itu membantu ayahnya mendapatkan kembali kereta berisi barang kawalan yang di-rampas oleh Sian Hwa Sian-li. Kemudian ia dijodohkan oleh ayahnya kepada Ouw Ki Seng. Dan terjadilah malapetaka itu. Ayahnya terbunuh penjahat, Dan secara aneh penuh rahasia, ia telah menyerahkan diri kepada Ouw Ki Seng. Sampai sekarang hal itu masih menjadi rahasia baginya. Tentu saja ia bukan gadis semurah itu, menyerahkan diri begitu saja di luar pernikahan kepada seorang pemuda. Hal itu terjadi di luar kesadarannya, hal yang amat aneh dan sampai sekarang masih merupakan teka-teki yang belum dapat terjawab olehnya. Sekarang, baru tampak olehnya watak aseli pria yang menjadi tunangannya, bahkan yang telah merenggut kehormatannya sebagai seorang gadis itu. Ternyata di antara Ki Seng dan Sian Hwa Sian-li terjalin hubungan gelap, Bukan hanya itu, bahkan setelah berada di gedung keluarga Pangeran Cheng Boan, ia melihat sendiri betapa Ki Seng juga berhubungan mesum dengan ketujuh selir pangeran itu. Ia merasa muak sekali dan mulai merasa tidak betah tinggal di situ.

   "Tok-tok-tok.....!"

   Daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar.

   "Siapa di luar?"

   Tanya Mei Ling sambil bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri pintu.

   "Adik Mei Ling, engkau belum tidur? Ini aku, bukalah pintumu!"

   Terdengar jawaban suara Sian Hwa Sian-li.

   Mendengar suara itu, Mei Ling lalu membuka daun pintu dan masuklah Sian Hwa Sian-li. Ia membawa seguci anggur dan dua cawan. Diletakkannya guci dan cawan ke atas meja dan iapun duduk di atas sebuah kursi tanpa dipersilakan lagi. Hubungannya dengan Mei Ling memang sudah akrab.

   "Sukur engkau belum tidur, Mei Ling."

   Katanya sambil tersenyum.

   "Aku masih belum mengantuk dan belum ingin tidur."

   Kata Mei Ling sejujurnya.

   "Sama kalau begitu. Akupun tidak dapat tidur, maka aku lalu mencarimu untuk kuajak minum anggur agar nanti enak tidur. Mari kita minum dan lupakan segala masalah, Ling-moi (adik Ling)."

   Sian Hwa Sian-li menuangkan anggur ke dalam dua cawan itu. Mei Ling merasa bersukur juga atas kedatangan Sian Hwa Sian-li. Setidaknya kedatangan wanita itu mengalihkan perhatiannya daripada renungan yang menyedihkan hatinya. Ia menerima cawan dan minum isinya. Dadanya terasa hangat setelah anggur itu memasuki perutnya. Mereka duduk berhadapan dan Sian Hwa Sian-li menuangkan anggur lagi ke dalam dua cawan mereka. Mei Ling menghela napas panjang berulang kali, masih teringat akan renungannya tadi.

   "Eh, Mei Ling, kulihat engkau seperti sedang bersusah hati. Ada apakah?"

   "Enci Sian-li, aku merasa tidak betah tinggal di sini lebih lama lagi!"

   Kata Mei Ling, mengungkapkan perasaan hatinya karena tidak orang lain lagi yang dapat diajak bicara.

   "Eh? Mengapa, Mei Ling? Bukankah kita hidup di sini serba mewah, cukup dan senang, dan juga setiap hari kita dapat berjumpa dengan Pangeran Cheng Lin?"

   Tanya Sian Hwa Sian-li sambil memandang heran penuh selidlk.

   Mei Ling menghela napas panjang lagi.

   "Justru karena kedatangannya setiap hari di sini membuat aku merasa tidak betah tinggal di sini!"

   Katanya, teringat dengan hati muak ketika Pangeran Cheng Lin memasuki kamar para selir Pangeran Cheng Boan dan bercumbu dengan mereka di kamar itu.

   "Eh? Mengapa begitu? Oh, mengerti aku sekarang. Agaknya engkau merasa cemburu dan tidak senang melihat Pangeran Cheng Lin bermesraan dengan para selir muda itu. Memang begitulah watak pria. Selalu menyakiti hati wanita dengan penyelewengan-penyelewengannya. Akan tetapi menurut pendapatku, kita wanita jangan mudah saja dipermainkan seperti itu. Kalau pria pandai menyeleweng, kenapa kita tidak? Kita balas penyelewengan mereka, baru hati ini tidak penasaran dan merasa puas!"

   Mei Ling mengerutkan alisnya.

   "Enci Sian-li, aku bukan wanita macam begitu!"

   Katanya ketus.

   "Hemm, baiklah. Sudahlah, jangan memikirkan itu lagi. Mari kita minum sepuasnya dan melupakan semua itu."

   Ia menuangkan lagi cawan yang ketiga, mereka minum, lalu dituangkannya lagi cawan ke empat dan seterusnya. Setelah anggur satu guci itu habis, Mei Ling merebahkan kepalanya di atas meja, berbantalkan lengannya sendiri. Sian Hwa Sian-li tersenyum puas. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas bertulis dari balik ikat pinggangnya dan meletakkannya di atas meja.

   Kemudian ia memapah Mei Ling yang sudah mabok, lalu membawa gadis itu terhuyung menuju ke kamar sebelah dalam, yaitu kamar Cheng Kun. Diketuknya pintu kamar itu lima kali sebagai isarat. Daun pintu terbukii dan Cheng Kun menyambut dengan senyum girang. Dia menerima Mei Ling yang harus dipapahnya memasuki kamat dan Sian Hwa Sian-li lalu pergi setelah pintu kamar ditutup dari dalam. Sambil tersenyum ia kembali ke kamar Mei Ling mengambil guci dan dua cawan, lalu keluar lagi, menutupkan daun pintu dari luar, kemudian ia kembali ke dalam kamarnya sendiri.

   Di bawah pengaruh obat perangsang yang memabokkan, dalam keadaan tidak sadar Ciang Mei Ling menyerahkan diri dengan gairah dan dengan suka rela kepada Cheng Kun yang tentu saja merasa girang bukan main. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Mei Ling terbangun dan sadar sepenuhnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan yang asing baginya, rebah telentang tanpa pakaian, di samping tubuh Cheng Kun yang masih tidur mendengkur. Pemuda itu juga dalam keadaan tanpa pakaian.

   Ia kaget setengah mati dan lapat-lapat terbayang olehnya betapa ia telah melayani pemuda itu bermain cinta. Cepat Mei Ling menyambar pakaiannya dan setelah mengenakan semua pakaiannya, ia menyambar selimut dan melemparkan ke atas tubuh. Cheng Kun yang telanjang, lalu mengguncang pundak pemuda itu dengan kuat. Cheng Kun terbangun dengan kaget, lalu bangkit duduk, badan bagian bawah tertutup selimut. Dan terbelalak memandang Mei Ling yang sudah berpakaian dan kini berdiri memandangnya seperti seekor singa betina marah.

   "Jahanam busuk! Apa yang telah kau lakukan padaku? Engkau memperkosa aku selagi aku berada dalam keadaan mabok! Engkau patut kubunuh!"

   Ia sudah siap menyerang dengan pukulan maut.

   "Nona Ciang Mei Ling, tenang dan lihatlah baik-baik! Bagaimana kau katakan bahwa aku memperkosamu? Bukan aku yang datang memasuki kamarmu, melainkan engkau yang berada di kamarku! Engkau yang mendatangi aku bukan aku yang mendatangimu."

   Mei Ling memandang ke sekeliling, Kamar itu diterangi lampu yang remang-remang, namun ia masih dapat melihat dengan jelas bahwa ini bukanlah kamarnya.

   "Bagaimana hal ini dapat terjadi? Bagaimana aku dapat berada di kamar ini dan.... dan.... apa yang telah terjadi.....?"

   Tanyanya bingung dan menyadari bahwa ucapan Cheng Kun tadi benar. Ia tidak mungkin dapat menuduh pemuda itu yang menggaulinya dengan paksa karena ialah yang berada di kamar pemuda itu!

   "Tadi malam aku sudah tidur ketika daun pintu kamarku terketuk. Ketika aku membukanya, ternyata engkau yang mengetuk dan engkau langsung masuk ke dalam kamarku ini dan engkau yang menghendaki untuk tidur bersamaku di sini. Aku sama sekali tidak memaksamu, nona. Semua terjadi dengan suka rela, atas kehendak kita berdua."

   Mei Ling tidak tahan mendengarkan terus. Ia merasa malu, merasa rendali dan hina. Ia lari ke pintu membukanya dan berlari keluar ke kamarnya. Pintu kamarnya tertutup dari luar, ia membukanya dan berlari masuk. Dilihatnya di atas meja terdapat sepotong kertas bertulis dan cepat diambil dan dibacanya surat itu.

   "Adik Mei Ling, Karena engkau mabok berat, maka aku tidak dapat pamit dan aku tinggalkan engkau melepaskan lelah. Senang sekali telah dapat minum bersama malam, ini. Sian Hwa Sian-li."

   Mei Ling terduduk lemas di atas kursi. Ia mengingat-ingat. Kini teringat-lah ia bahwa semalam ia minum anggur bersama Sian Hwa Sian-li di kamarnya ini. Hanya sampai di situ ingatannya. Tahu-tahu ia terbangun dalam keadaan telanjang bulat di samping Cheng Kun, di atas pembaringan pemuda itu, dalam kamar pemuda itu. Dan samar-samar teringatlah ia betapa ia telah melayani pemuda itu dengan senang hati. Teringat akan semua itu, meledaklah tangis Mei Ling. Ia menangis tersedu-sedu, menutup mulutnya agar tangisnya tidak terdengar sampai keluar kamarnya.

   "Tidak mungkin...! Tidak mungkin..!"

   Ia berseru dalam tangisnya. Bagaimana mungkin ia berbuat seperti itu? Mendatangi kamar Cheng Kun dan mengajak pemuda itu tidur bersama? Ia bukan wanita macam itu. Sedikitpun tidak pernah ada dalam benaknya untuk berbuat tidak senonoh seperti itu. Tiba-tiba ia melempar dirinya ke atas pembaringan, menangis tersedu-sedu, membenamkan mukanya pada bantal. Akan tetapi ia bangkit duduk dan sedu-sedannya terhenti tiba-tiba.

   Ia teringat sesuatu. Teringat akan peristiwa yang dialaminya bersama Ki Seng. Betapa mirip benar dengan peristiwa semalam. Ketika itu, ia minum-minum dengan Ki Seng di taman. Kemudian ia tidak tahu apa-apa lagi, tidak ingat apa yang terjadi dan tahu-tahu ia terbangun di dalam kamar Ki Seng, di atas pembaringannya dan ia telah menyerahkan kehormatannya, kegadisannya, kepada Ki Seng tanpa ia sadari. Betapa besar persamaannya dengan peristiwa semalam. Agaknya rahasianya terletak pada minuman itu. Setelah minum, ia menjadi mabok dan selanjutnya ia tidak tahu apa yang terjadi dan tahu-tahu terbangun di atas tempat tidur dalam kamar seorang laki-laki dan ia telah menyerahkan dirinya. Teringat ini, ia bangkit berdiri dan menyambar pedangnya yang tergantung di dinding kamar.

   Sian Hwa Sian-li agaknya yang menjadi biang keladinya, atau setidaknya ia tahu akan hal ini. Ia akan memaksa wanita itu mengakui terus terang apa yang terkandung dalam anggur semalam dan apa yang sebenarnya telah terjadi. Akan tetapi baru saja tiga langkah ia menuju pintu, ia menahan kakinya, memutar tubuh dan dengan lemas kembali duduk di atas kursi dan meletakkan pedang yang sudah dicabutnya ke atas meja.

   Ia teringat bahwa ia sama sekali bukan tandingan Sian Hwa Sian-li. Kalau ia menggunakan kekerasan, ia pasti kalah. Pula, Sian Hwa Sian-li sudah menjelaskan peristiwa semalam dalam surat yang ditinggalkannya di atas meja. Kepada siapa ia harus menuntut? Tidak ada bukti apapun bahwa Sian Hwa Sian-li yang mengatur semua itu. Tidak ada bukti bahwa ia keracunan. Tidak ada bukti bahwa ia diperkosa. Bahkan buktinya ia sendiri yang berada di kamar Cheng Kun! Kalau ia ribut-ribut, tentu peristiwa itu terbuka dan diketahui semua orang bahwa semalam ia telah tidur di kamar Cheng Kun. Akibatnya ia sendiri yang akan menderita malu.

   Mei Ling mengembalikan pedangnya, disarungkan dan digantungkan di dinding kembali. Ia tidak menangis lagi. Pada wajahnya terbayang suatu tekad dan keteguhan hati. Ia akan menyelidiki mereka semua. Ia akan mempergunakan kesempatan selagi ia berada di istana pangeran itu untuk menyelidiki semua. Ia harus dapat membongkar rahasia Sian Hwa Sian-li yang ia duga menjadi biang keladi sehingga dirinya dua kali menyerahkan kehormatannya kepada dua orang pria. Iapun akan menyelidiki keadaan Pangeran Cheng Lin yang sama sekali tidak mendatangkan rasa kagum dan hormat dalam dirinya. Bahkan rasa cinta yang pernah ada terhadap pemuda itu kini hampir lenyap, terganti kemuakan dan kecurigaan. Ia harus menyelidiki apa hubungan yang ada antara Pangeran Cheng Lin dan Pangeran Cheng Boan yang membiarkan Pangeran Cheng Lin menggauli semua selir mudanya. Pasti ada apa-apa-nya di sini, pikirnya.

   "Enci Siang Kui, kenapa engkau menangis begini sedih?"

   Tanya Sian Eng yang memasuki kamar Lo Siang Kui dan mendapatkan gadis itu menangis terisak-isak di atas pembaringannya. Sian Eng duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak saudara sepupunya itu. Mendengar pertanyaan dan merasakan sentuhan tangan Sian Eng, Siang Kui menjadi semakin mengguguk menangis. Sian Eng maklum bahwa gadis itu sedang tercekam kesusahan, maka ia tahu bahwa sebaiknya dalam keadaan seperti itu, ia membiarkan menangis agar sedihnya larut bersama air matanya. Setelah tangisnya mereda, Siang Kui bangkit duduk dan pada saat itulah Sian Eng yang masih duduk di tepi pembaringan mengulangi pertanyaannya.

   "Enci Siang Kui, apakah yang terjadi sehingga engkau menjadi sedih begini? Katakanlah kepadaku, barangkali aku dapat menolongmu."

   Siang Kui menyusut air matanya dengan saputangan.

   "Apakah engkau tidak melihat, Eng-moi (adik Eng)? Biasanya setiap seminggu dua kali dia pasti datan berkunjung. Akan tetapi akhir-akhir ini, belum tentu dua minggu sekali dia datang dan kalau dia datang, sikapnya kepadaku dingin saja. Aku tahu dan merasakan bahwa tentu ada apa-apa yang terjadi kepadanya yang membuat dia seolah-olah tidak tertarik dan tidak perduli lagi kepadaku, tidak mencinta lagi......"

   Sian Kui menghapus lagi air matanya yang bercucuran.

   "Aahhh.... Cheng Kun Kongcu yang kau maksudkan? Aku tahu itu dan aku pun diam-diam merasa heran."

   "Eng-moi, apa yang dapat kulakukan? Apa yang harus kulakukan agar dia dapat berubah kembali sikapnya seperti dulu?"

   "Kui-ci (kakak Kui), engkau amat mencinta Cheng Kongcu, bukan?"

   "Tentu saja! Aku mencintanya setengah mati!"

   "Kalau memang begitu, kenapa engkau tidak segera menikah saja dengannya? Setelah menikah, engkau tentu akan tinggal serumah dengan dia dan setiap hari dapat berkumpul."

   "Kepastian hari pernikahan tentu saja bergantung kepadanya, Eng-moi. Aku dan ayah hanya menanti keputusannya saja."

   "Kalau begitu, nanti bila dia datang, utarakanlah keinginanmu untuk segera menikah dengannya."

   "Sudah, Eng-moi. Tempo hari aku sudah kemukakan hal ini, minta agar dia segera menentukan hari pernikahan, akan tetapi dia malah menjadi marah dan mencelaku terlalu tergesa-gesa karena dia masih harus menyelesaikan dulu banyak urusan penting tanpa menerangkan apa urusan penting itu."

   "Hemm, kalau begitu, terpaksa engkau harus menunggu, enci Kui."

   "Akan tetapi yang merisaukan hatiku adalah sikapnya, Eng-moi. Menunggu hari pernikahanku sih bukan masalah, aku dapat menunggu sampai kapanpun. Akan tetapi sikapnya yang dingin, dan jarangnya dia datang berkunjung. Bayangkan, sudah hampir tiga minggu ini dia tidak pernah datang, memberi kabarpun tidak. Padahal, kalau dia memang ingat kepadaku, dia kan mempunyai banyak pelayan untuk disuruh memberi kabar kepadaku? Jarak dari istana ayahnya sampai ke tempat ini pun tidak berapa jauh."

   Melihat kesedihan dan kemarahan kakak sepupunya, Sian Eng lalu menghibur dan berkata.

   "Sudahlah, tidak perlu bersusah hati benar, enci Kui. Kalau memang engkau merasa penasaran, kenapJ engkau tidak datang saja menyusul ke sana, bertemu dengannya dan menanyakan sendiri? Engkau bukan seorang gadis lemah dan cengeng!"

   Bangkitlah semangat Lo Siang Kui mendengar ucapan Sian Eng ini. Ia mengeringkan air matanya, lalu bangkit berdiri dan berkata.

   "Engkau benar! Tentu ada apa-apa yang tidak beres dengan dia dan aku harus mengetahui hal itu. Aku harus menyusulnya ke rumahnya dan menanya kan hal ini kepadanya. Dia harus berterus terang. Kalau dia sudah tidak cinta lagi kepadaku, biar putus saja hubungan ini. Aku tidak mau dipermainkan!"

   "Bagus! Begitulah seharusnya sikap seorang wanita gagah, bukan seperti wanita-wanita lemah dan cengeng yang bisanya hanya menangis kalau dipermainkan pria."

   Kata Sian Eng.

   Dara perkasa ini bukan sekadar memanaskan hati Siang Kui, melainkan ucapannya itu keluar dari lubuk hatinya, sesuai dengan wataknya yang keras. Andaikata apa yang dialami Siang Kui itu menimpa padanya, tentu iapun akan mengambil sikap tegas seperti yang ia anjurkan kepada Siang Kui. Siang Kui segera berganti pakaian baru dan membedaki mukanya agar tidak tampak bekas tangisnya. Kemudian, tanpa pamit kepada ayah dan keluarganya, dan hanya Sian Eng saja yang mengetahuinya, iapun meninggalkan perguruan Hek-tiauw Bu-koan dan menuju ke rumah gedung besar milik Pangeran Cheng Boan yang seperti istana itu.

   Ketika Siang Kui tiba di pintu gapura pekarangan istana Pangeran Cheng Boan, lima orang perajurit penjaga menghadangnya. Seorang di antara lima orang perajurit itu, melihat Siang Kui yang cantik, segera timbul niatnya untuk menggoda.

   "Selamat siang, nona manis. Nona hendak mencari siapakah?"

   
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanyanya sambil menyeringai dan memasang gaya cengar-cengir.

   "Aku hendak bertemu dengan Cheng Kongcu."

   Kata Siang Kui singkat tanpa menanggapi ucapan ceriwis itu.

   "Wah, tidak mudah bertemu dengan Cheng Kongcu, nona manis. Bagaimana kalau bertemu dan bicara dengan aku saja? Aku akan melayanimu dengan baik-baik. Percayalah!"

   Kata penjaga itu dengan sikap genit.

   Empat orang penjaga yang lain tertawa-tawa melihat tingkah rekan mereka yang genit itu. Selagi Siang Kui hendak marah dan menghajar penjaga yang kurang ajar itu, muncul seorang kepala jaga yang lebih tua. Begitu melihat Siang Kui, dia segera mengenal gadis itu dan cepat maju memberi hormat.

   "Ah, kiranya Lo Siocia (Nona Lo) yang datang. Apa yang dapat kami lakukan untukmu, nona?"

   "Aku ingin bertemu dengan Cheng Kongcu."

   "Tadi saya lihat dia berada di taman bunga. Biar saya laporkan, nona."

   "Tidak usah, biar aku mencarinya sendiri di taman."

   Kata Siang Kui dan ia lalu cepat masuk dan membelok ke taman bunga yang berada di kiri gedung. Taman itu luas sekali, berada di sebelah kiri gedung terus sampai ke belakang gedung.

   Lima orang penjaga muda itu merasa heran melihat sikap kepala jaga yang demikian hormat kepada gadis cantik tadi.

   "Kau gila! Kaukira siapa yang kau permainkan tadi?"

   Bentak kepala jaga kepada penjaga yang tadi menggoda Siang Kui.

   "Ia.... ia siapakah.....?"

   Tanya si penggoda tadi.

   "Mau tahu? Ia adalah tunangan Cheng Kongcu! Dan ia adalah puteri Lo Kauwsu (Guru Silat Lo) ketua dari Hek-tiauw Bu-Koan. Ia tentu saja memiliki ilmu silat yang tinggi!"

   Si penggoda tadi menjadi pucat dan matanya terbelalak.

   "Wah..... celaka.....! Aku.... aku tidak tahu.....!"

   "Hayo cepat engkau hajar mulutmu yang lancang itu sendiri atau aku akar melaporkan kelakuanmu kepada Cheng Kongcu!"

   "Ah, jangan..... jangan..... jangan lapor. Baik, aku akan menghajar mulutku sendiri .....!"

   Kata si penggoda itu dan diapun lalu menggunakan kedua tangannya untuk menampari mulutnya sendil dari kanan kiri.

   "Plok-plak-pIok-plak...."

   Berulang kali sampai bibirnya pecah berdarah, ditertawakan oleh teman-temannya

   Sementara itu, Lo Siang Kui memasuki taman. Setelah tiba di taman bunga bagian belakang, dari jauh ia melihat Cheng Kongcu berjalan perlahan bersama seorang wanita. Ia melihat mereka dari belakang dan tampaknya mereka berdua itu berjalan berdampingan dan bercakap-cakap dengan asyik. Siang Kui mengerutkan alisnya dan ia lalu membayangi dari belakang, bersembunyi di balik-balik rumpun bunga atau batang pohon, makin mendekati mereka.

   "Sian-li."

   Ia mendengar suara Cheng Kun bicara.

   "aku sudah menerangkan semua hal kepadamu, apakah engkau masih juga tidak percaya?"

   Siang Kui mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Akan tetapi, Cheng Kongcu, agaknya tidak masuk di akal."

   Terdengar wanita itu berkata.

   "Bukankah dia telah membuktikan dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin dan memiliki Suling Pusaka Kemala, bahkan Sribaginda kaisar sendiri telah menerima dan mengakuinya sebagai puteranya?"

   "Semua orang memang dapat terpedaya, akan tetapi pembantu ayahku yang bernama Suma Kiang tidak dapat dikelabuhi karena dia mengenal Pangeran Cheng Lin yang aseli. Ketika dia didesak dan diterima sebagai sekutu ayah, akhirnya dia mengaku. Suling itu dicurinya dari Pangeran Cheng Lin yang aseli. Sebenarnya dia adalah Ouw Ki Seng ketua Ban-tok-pang."

   "Aih, sungguh tidak kusangka sama sekali. Aku juga telah ditipunya!"

   Seru wanita itu.

   "Hal ini sebetulnya harus dirahasiakan. Yang mengetahuinya hanya ayah, aku, Paman Suma Kiang dan Paman Toa Ok. Akan tetapi karena engkau telah menjadi sekutu dan.... kekasihku yang ku-percaya, maka aku memberitahu kepadamu."

   "Terima kasih, Kongcu. Engkau sungguh baik sekali kepadaku!"

   Kata wanita itu yang membiarkan dirinya dipeluk dan dicium. Siang Kui tidak dapat menahan diri lagi. ia melompat keluar dan gerakannya ini dapat ditangkap pendengaran Sian Hwa Sian-li yang amat tajam. Sian-li cepat melepaskan rangkulan Ciang Kun, membalikkan tubuhnya dan melompat ke depan Lo Siang Kui.

   Melihat bahwa wanita yang dicumbu Cheng Kun ternyata amat cantik, Siang Kui menjadi semakin cemburu. Wataknya memang keras dan galak, maka melihat wanita itu menghampirinya, tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang dengan jurus Hek-tiauw-pok-touw (Rajawali Hi-tam Menyambar Kelenci), tangan kirinya mencengkeram ke arah muka sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah dada. Serangan ini sungguh keji dan berbahaya. Kalau tangan kiri mengenai sasaran, muka yang cantik dari Sian Hwa Sian-li tentu akan rusak dan kalau tangan kanan yang mengenai dada, dapat menewaskan wanita cantik itu!

   Namun, tingkat kepandaian Sian Hwa Sian-li jauh lebih tinggi daripada tingkat Lo Siang Kui, maka biarpun ia juga harus berlaku waspada dan hati-hati, dengan Cepat ia dapat menghindarkan diri dengan melangkah ke belakang dan menjauhkan sasaran yang diserang. Melihat serangennya gagal, Siang Kui menjadi penasaran dan menyambung dengan serangan beruntun. Karena tidak mengenai siapa wanita itu yang tanpa sebab menyerangnya, Sian Hwa Sian-li tidak bertindak sembrono dan iapun mempergunakan kecepatan gerakan untuk menghindar. Sampai tujuh kali ia menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Cheng Kun terkejut melihat munculnya Siang Kui yang tiba-tiba menyerang Sian Hwa Sian-li kalang kabut.

   "Kui-moi, jangan serang!"

   Bentaknya, akan tetapi Siang Kui yang galak sudah terlalu marah untuk dapat menghentikan serangannya. la.menyerang terus.

   "Dukk.....!"

   Sian Hwa Sian-li kini menangkis dan karena tenaga sin-kangnya lebih kuat, maka Siang Kui terhuyung ke belakang. Akan tetapi, kenyataan bahwa ia kalah kuat itu tidak membuat ia mundur. Ia menyerang lagi dengan gencar. Cheng Kun tahu bahwa Sian Hwa Sian-li amat lihai.

   "Sian-li, jangan, bunuh ia!"

   Dia memperingatkan. Sambil mengelak ke kanan kiri, Sian-li bertanya.

   "Kongcu, ia ini siapakah?"

   "Ia tunanganku, jangan bunuh!"

   Kata lagi Cheng Kun.

   Pada saat itu, Sian Hwa Sian-li memperoleh kesempatan. Ia menggunakan sebagian besar tenaganya untuk menangkis pukulan Siang Kui sehingga gadis itu terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan Sian Hwa Sian-li untuk balas menyerang. Tangan kirinya menampar pundak, membuat Siang Kui terputar dan tangan kanannya menampar tengkuk. Siang Kui yang pingsan itu tidak sampai terbanting jatuh.

   "Dia terluka.....?"

   Tanya Cheng Kun khawatir.

   "Tidak, hanya pingsan. Sebaiknya kita bawa ke dalam dan kalau ia siuman, kau bujuk ia agar lain kali jangan bersikap galak kepadaku. Pergunakan ini untuk menjinakkannya."

   Kata Sian-li sambil menyerahkan sebuah botol kecil berisi cairan merah kepada Cheng Kun. Cheng Kun tersenyum dan dia lalu memondong tubuh Siang Kui yang pingsan, lalu dia membawanya ke rumah gedung. Di dalam rumah, dia bertemu dengan para pelayan dan para ibu tirinya, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri urusannya dan tidak berani bertanya. Ketika ibunya sendiri yang muncul, ibunya bertanya.

   "Ada apakah? Kenapa ia.....? Ehh, bukankah ia Lo Siang Kui, tunanganmu? Kenapa ia?"

   "Agaknya masuk angin, ibu. Ia pingsan, biarlah aku akan merawatnya dalam kamarku."

   Kata Cheng Kun dan ibu kandungnya tidak berkata apa-apa lagi.

   Ibu yang anaknya hanya tunggal ini sejak Cheng Kun masih kecil terlalu memanjakannya. Tidak ada permintaan yang tidak diturutinya. Setelah kini Cheng Kun dewasa, ibunya tidak berani menghalangi semua perbuatannya karena kalau ia melakukan itu, anaknya tentu akan melawannya dan bersikap kasar kepadanya. Karena itu, melihat puteranya membawa tunangannya itu ke dalam kamar, iapun tidak berani melarang, hanya menggeleng kepala dan menghela napas lalu pergi meninggalkan tempat itu.

   Di dalam kamarnya, Cheng Kun merebahkan tubuh Siang Kui di atas pembaringan dan seperti yang telah diajarkan oleh Sian Hwa Sian-li, dia mengurut perlahan tengkuk gadis itu. Tak lama kemudian Siang Kui mengeluh lirih dan bergerak, lalu membuka matanya. Melihat dirinya rebah di atas pembaringan dan Cheng Kun duduk di tepi pembaringan, ia terkejut dan mencoba untuk bangkit duduk.

   "Di mana ia? Perempuan busuk itu...!"

   "Tenanglah, Kui-moi."

   Cheng Kun me-nekan kedua pundak gadis itu dengan lembut agar Siang Kui tetap rebah telentang.

   "Ia adalah seorang di antara pembantu-pembantu ayah yang amat lihai. Engkau sama sekali bukan tandingannya dan ia tidak ingin mencelakaimu. Bukti nya engkaupun tidak terluka. Akan tetapi engkau masih lemah dan pikiranmu kacau, maka minumlah dulu anggur ini agar hati dan pikiranmu menjadi tenang."

   Sambil berkata demikian, Ciang Kun mengambil sebuah cawan penuh anggur merah yang sudah dipersiapkan sejak tadi dan dia membantu Siang Kui bangun duduk, merangkul pundaknya dan memberinya minum anggur itu.

   Melihat betapa dirinya dirangkul dan diperlakukan dengan sikap lembut dan manis oleh tunangannya, meredalah kemarahan Siang Kui dan ia tidak menolak ketika dianjurkan untuk minum anggur dalam cawan yang sudah ditempelkan ke bibirnya oleh Cheng Kun. Ia minum anggur secawan itu sampaihabis.

   "Nah, sekarang rebahlah kembali dan mengaso sebentar sampai tubuhmu segar dan pikiranmu tenang kembali."

   Kata Cheng Kun sambil membantu gadis itu merebahkan kepalanya di atas bantal.

   Matanya terpejam dan ia merasakan betapa seluruh tubuhnya dijalari kehangatan setelah anggur tadi diminumnya. Rasa hangat yang nikmat sekali. Rasa hangat itu perlahan-lahan menjadi semakin panas dan akhirnya ia mengerang lirih karena tubuh, hati dan pikirannya telah dibakar oleh gairah berahi yang berkobar. Ia merasakan betapa kedua tangan Cheng Kun membelainya, akan tetapi ia tidak menolak, bahkan menyambutnya dengan girang. Gairah yang tidak wajar membakarnya dan menuntut kepuasan. Akhirnya ia lupa akan segala. Bukan saja ia menurut saja akan apapun yang akan dilakukan Cheng Kun atas dirinya, bahkan ia menyambutnya penuh gairah.

   Dalam jaman apapun, wanita selalu terancam oleh bujuk rayu pria. Oleh karena itu, para pria, terutama para gadis remaja dan mulai dewasa, haruslah waspada sekali, pandai menjaga diri, kehormatan dan harga dirinya. Tentu saja tidak semua pria berwatak seperti srigala kelaparan, namun banyak sekali pria yang tampak baik-baik, sopan santun dan terhormat, bagaikan srigala berbulu domba siap untuk menerkam bila diberi kesempatan. Dengan mempergunakan segal macam daya, pamer harta, bujuk rayu, sumpah palsu pria-pria macam itu selalu mengintai para gadis yang dipilihnya Sedikit saja gadis itu lengah, terkulai oleh bujuk rayu dan sumpah palsu, sila oleh pamer kekayaan, pria srigala itu akan menerkamnya. Maka hancurlah martabat, harga diri dan kehormatan gadis itu!

   Masih mending kalau pria bertanggung jawab dan menikahinya sebagai isterinya yang sah. Akan tetapi, tidak jarang terdapat pria yang benar-benar berwatak srigala. Setelah calon korban jatuh oleh rayuannya, srigala itu akan menggerogoti daging korbannya sekenyang dan sepuasnya, kemudian meninggalkan pergi bangkai korban itu begitu saja, tergeletak di tepi jalan sampai membusuk.

   Betapa ngerinya kalau sudah begitu. Karena itu, wahai para gadis, waspadalah dan perkuatkan imanmu, hargailah diri dan kehormatanmu sendiri, jangan mabok oleh bujuk rayu gombal, jangan silau oleh pameran harta, jangan tertipu oleh sumpah setia sampai mati, jangan secara murah menyerahkan diri dan kehormatanmu sebelum kamu dinikahi sebagai isteri.

   Dan Wahai para pria pada umumnya dan para pemuda khususnya. Waspadalah, jangan membiarkan nafsu daya rendah menguasai dirimu sehingga kamu lupa diri dan menodai seorang gadis, apalagi kalau ia pacar dan calon isterimu. Ingatlah bahwa menikmati sejenak itu dapat mengakibatkan penyesalan seumur hidup!

   Jangan terpikat dan minum anggur yang digunakan iblis karena anggur yang rasanya nikmat itu mengandung racun yang amat berbahaya sekali!. Akan tetapi kalau hal itu memang telah terjadi karena kamu tidak dapat mengalahkan nafsumu sendiri, ber-sikaplah jantan. Bertanggung jawablah! Karena meninggalkan seorang gadis yang telah kamu nodai merupakan perbuatan yang amat terkutuk dan yang akan menghantui dirimu selama hidup.

   Pada keesokan harinya, setelah pengaruh racun perangsang itu habis daya pengaruhnya, Lo Siang Kui terkejut melihat keadaan dirinya. Ia menangis dan menyesali perbuatannya, Akan tetapi Cheng Kun merangkulnya dan menghiburnya.

   "Sudahlah, Kui-moi. Mengapa engkau menangis? Bukankah kita saling mencinta dan bukankah engkau adalah calon isteriku? Kita melakukan ini karena salin mencinta. Kenapa disesali?"

   "Kun-ko.... akan tetapi.... kita belum menikah...."

   Tangis Siang Kui mereda karena kata-kata tunangannya tadi telah menghibur hatinya.

   "Kalau belum, mengapa? Kita menikah hanya menunggu waktu saja. Sudahlah jangan menangis dan jangan bersedih. Engkau akan menjadi isteriku, maka perbuatan yang kita lakukan tadi sama sekali tidak ada salahnya, Kui-moi. Sekarang beriaslah dan pulanglah dulu."

   Lo Siang Kui mengeringkan air matanya dan iapun mengenakan pakaiannya dan membedaki mukanya yang agak pucat.

   "Kun-ko, siapakah perempuan jahat yang amat lihai itu?"

   Hatinya terasa panas kembali mengingat betapa tunangannya bersikap demikian akrab dan mesra terhadap wanita cantik yang ilmu silat-nya amat lihai itu.

   "Ah, ia bukan orang sembarangan, Kui-moi. Ia seorang tokoh besar dalam dunia kang-ouw yang sekarang menghambakan diri kepada ayahku. Namanya Kim Goat dan julukannya adalah Sian Hwa Sian-li. Ilmu silatnya tinggi sekali dan ia menjadi seorang di antara para pengawal keluarga kami. Sudahlah, sekarang engkau pulang dulu dan tak lama lagi kita menikah."

   "Akan tetapi, kapankah kita menikah, Kun-ko? Tetapkanlah hari dan tanggalnya agar aku tidak menunggu- nunggu."

   "Ah, hal itu dapat kita bicarakan nanti, Kui-moi?"

   Siang Kui mengerutkan alisnya dan menatap wajah tunangannya dengan tajam.

   "Kenapa nanti? Engkau harus menentukan sekarang, Kun-ko. Ingat, aku telah....." "Akan kupikirkan dulu, Kui-moi."

   "Tidak, Kun-ko. Aku minta kepastiannya sekarang juga. Aku tidak akan pulang sebelum memperoleh kepastian dari-mu!"

   Kata Siang Kui dengan keras kepala.

   Cheng Kun menghela napas panjang.

   "Baiklah, begini saja. Dalam waktu satu minggu ini aku pasti akan datang ke rumahmu dan memberi kepastian hari dan tanggal pernikahan kita."

   "Betul dalam minggu ini? Jangan melanggar janji, Kun-ko. Aku tunggu kedatanganmu dalam minggu ini. Sekarang aku pulang dulu!"

   Gadis itu lalu meninggalkan gedung itu, diantar Cheng Kun sampai di luar gedung.

   Setelah agak jauh meninggalkan istana Pangeran Cheng Boan menuju ke Hek-tiauw Bu-koan yang berada di ujung kota, dari sebuah gang kecil tiba-tiba muncul seorang gadis cantik manis. Gadis berusia sekitar sembilan belas tahun itu adalah Ciang Mei Ling dan ia menghampiri Siang Kui lalu berkata lirih.

   "Enci Lo Siang Kui, bukan?"

   Siang Kui memandang heran karena ia merasa belum mengenai gadis ini.

   "Benar, aku Lo Siang Kui. Siapakah engkau dan ada keperluan apakah engkau menegur aku di jalan?"

   "Namaku Ciang Mei Ling, enci. Aku mempunyai urusan penting sekali untuk dibicarakan denganmu."

   "Aku tidak mempunyai urusan apapun denganmu. Aku tidak mengenalmu. Jangan ganggu aku!"

   Kata Lo Siang Kui dengan suara ketus karena hatinya sedang risau dan timbul watak galaknya.

   "Enci Siang Kui, aku tinggal di rumah gedung Pangeran Cheng Boan dan aku tahu apa yang telah terjadi semalam atas dirimu. Aku hendak bicara denganmu mengenai diri tunanganmu Cheng Kun. Apakah engkau tetap tidak tertarik dan tidak mau mendengarkan omongan-ku?"

   Wajah Siang Kui berubah merah. Gadis ini mengetahui tentang peristiwa yang terjadi semalam. Ia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa wajah yang cantik manis itu seperti diliputi awan kedukaan.

   "Bicaralah."

   Katanya singkat. Ciang Mei Ling memandang ke kanan kiri. Banyak orang berlalu-lalang di jalan raya itu.

   "Tidak enak kalau kita bicara di sini enci. Banyak orang berlalu-lalang di sinl membuat kita tidak leluasa bicara."

   Ia menengok ke kiri di mana terdapat sebuah rumah makan yang cukup besar dan yang baru saja dibuka dan masih sepi,

   "Bagaimana kalau kita masuk ke rumal makan itu, minum teh dan bicara?"

   Lo Siang Kui menengok dan melihat rumah makan yang masih sepi itu dan ia mengangguk. Tanpa bicara kedua orang gadis itu lalu melangkah dan memasuki rumah makan itu. Seorang pelayan menyambut tamu pertama itu dengan ramah.

   "Ji-wi siocia (Nona berdua) hendak sarapan?"

   Tanyanya.

   "Kami hanya mau minum teh panas dan sediakan beberapa kue kering."

   Pesan Mei, Ling. Pelayan pergi dan tak lama kemudian dia sudah menyuguhkan pesanan itu. Setelah pelayan pergi bertanyaiah Siang Kui dengan tidak sabar.

   "Nah, sekarang bicaralah. Apa yang ingin kau bicarakan mengenai diri Cheng Kongcu?"

   "Enci Lo Siang Kui, aku mengetahui semua yang telah terjadi atas dirimu semalam, Engkau telah menjadi korban kebiadaban pemuda bangsawan Cheng Kun yang kau anggap sebagai seorang tunangan yang baik itu. Engkau telah menjadi korban persekutuan busuk antara Cheng Kun dan Sian Hwa Sian-li, iblis betina itu."

   Wajah Siang Kui menjadi pucat, lalu menjadi merah. Ia terkejut dan juga merasa malu sekali karena rahasianya semalam diketahui orang lain.

   "Apa...... apa yang kau bicarakan ini? Jangan main-main engkau, Ciang Mei Ling!"

   "Aku tidak main-main, enci. Aku tahu bahwa engkau telah menjadi korban kecabulan Cheng Kun. Bukankah engkau diberi minum anggur sebelumnya dan setelah minum anggur itu engkau menjadi lupa keadaan?"

   Wajah Siang Kui menjadi merah sekali, malu teringat akan sikapnya semalam, betapa ia menyambut semua perbuatan Cheng Kun terhadap dirinya dengan penuh gairah dan baru pagi tadi ia sadar dan menyesali perbuatannya.

   "Bagaimana...... bagaimana engkau bisa tahu.....?"

   Tanyanya gagap.

   Melihat gadis itu kebingungan, Mei Ling menyadari bahwa ia terburu-buru dalam pengakuannya. Ia lalu berkata dengan lebih tenang.

   "Enci Lo Siang Kui, sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, biarlah engkau lebih dulu mengenal siapa aku dan mengetahui keadaanku di istana Pangeran Cheng Boan. Seperti kukatakan tadi, aku bernama Ciang Mei Ling. Aku puteri dari mendiang ketua Pek-eng-pang di lereng pegunungan Thai-san. Aku telah bertunangan dengan seorang pangeran. Pangeran Cheng Lin namanya dan atas kehendaknya aku dijemput Sian Hwa Sian-li dan diharuskan tinggal di istana Pangeran Cheng Boan. Kurang, lebih sebulan yang lalu, aku...... akupun menjadi korban kebiadaban Cheng Kun: Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah diberi minum anggur oleh Sian Hwa Sian-li dan tahu-tahu. aku berada di dalam kamar Cheng Kun dan aku dipermainkannya seperti dia mempermainkanmu."

   "Ahhh.....!"

   Lo Siang Kui terkejut bukan main.

   "Sejak engkau memasuki taman, aku sudah mengikuti, enci. Aku memang sedang melakukan penyelidikan terhadap mereka semua sejak aku dijadikan korban kebiadaban Cheng Kun. Aku tahu bahwa mereka semua itu bersekongkol. Pangeran Cheng Lin tunanganku itu bersekongkol dengan Pangeran Cheng Boan, dibantu oleh Sian Hwa Sian-li. Mereka semua bukan orang baik-baik, juga tunanganku Pangeran Cheng Lin itu. Mereka bersekongkol, entah untuk urusan apa sedang kuselidiki. Mereka itu semua orang hina Sian Hwa Sian-li itu seorang iblis betina. Ia tidak saja berjina dengan Pangeran Cheng Lin, akan tetapi juga dengan Cheng Kun."

   Hati Lo Siang Kui merasa panas bukan main. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mempercayai semua ucapan Ciang Mei Ling yang baru saja dikenalnya. Apaiagi ia teringat bahwa Cheng Kun sudah berjanji dalam waktu seminggu akan memberi keputusan tentang hari pernikahan mereka. Dengan marah Siang Kui bangkit berdiri dari kursinya.

   "Sudahlah, jangan bicara lagi. Aku tidak percaya akan semua omonganmu!"

   Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah berkata demikian, ia cepat keluar dari rumah makan itu dan berjalan cepat menuju pulang. Ia menahan air matanya yang sudah me-ngembang di pelupuk matanya. Ciang Mei Ling menghela napas panjang. Ia merasa iba kepada Lo Siang Kui. Gadis itu telah salah memilih, pikirnya. Memilih seorang laki-Iaki busuk seperti Cheng Kun. Tiba-tiba ia teringat akan dirinya sendiri dan berulang kali menghela napas. Ia sendiripun telah salah memilih jodoh. Ia terkecoh oleh sikap Ouw Ki Seng yang semula tampak baik sekali itu.

   Biarpun kemudian ia mengetahui bahwa Ouw Ki Seng yang menjadi tunangannya itu seorang pangeran, namun hal ini tidak menghibur hatinya yang terluka. Bukan saja ia telah terpedaya, menyerahkan diri dan kehormatannya kepada pangeran itu dalam keadaan terbius, akan tetapi juga kini ia menjadi korban kebiadaban Cheng Kun. Kini ia dapat menduga bahwa semua itu tentu atas usaha licik dari Sian Hwa Sian-li. Ketika ia diajak minum anggur, tentu anggur itu diberi sesuatu oleh iblis betina itu yang membuat ia terangsang dan tidak sadar. Iapun dapat menduga bahwa dulu, ketika ia menyerahkan kehormatannya kepada Pangeran Cheng Lin, iapun berada dalam keadaan yang sama, terbius oleh racun perangsang yang dicampurkan dalam minuman anggur.

   Presis seperti yang dialami oleh Lo Siang Kui. Setelah melihat hubungan jina antara Pangeran Cheng Lin atau dahulu-nya Ouw Ki Seng itu dengan Sian Hwa Sian-li, iapun dapat menduga bahwa dahulupun ia menjadi korban Ouw Ki Seng atas muslihat Sian Hwa Sian-li. Akan tetapi ia akan menyelidiki terus untuk mengetahui persekutuan apakah sebetulnya yang ada antara mereka semua. Setelah membayar harga minuman dan makanan, Ciang Mei Ling lalu bergegas kembali ke istana Pangeran Cheng Boan. Ia bersikap biasa saja agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sudah sepuluh hari lamanya Lo Sian Kui menungu-nunggu dengan tidak sabar, namun Cheng Kun yang ditunggu-tunggu tidak kunjung muncul.

   Padahal sebelum adanya Sian Hwa Sian-li di rumah tunangannya itu, Cheng Kun selalu berkunjung ke rumahnya hampir setiap hari. Putera pangeran itu berjanji akan datang berkunjung dalam seminggu untuk membicarakan tentang hari pernikahan. Akan tetapi ditunggu sampai sepuluh hari, dia tidak kunjung datang dan tidak mengirim berita apapun.

   Padahal, ia sudah menyerahkan kehormatannya, walaupun penyerahan itu dilakukannya dalam keadaan tidak sadar, terpengaruh oleh sesuatu yang membuat ia kehilangan pertimbangan. Teringat akan semua ini, Siang Kui menangis tersedu-sedu dalam kamarnya. Setelah lewat seminggu Cheng Kun belum juga datang, Lo Siang Kui mengurung diri dalam kamarnya. Ia tidak mau makan dan hanya menangis saja dengan sedihnya, membuat ayah dan ibunya dan juga kakaknya menjadi bingung. Ketika ditanya, Siang Kui tidak mau menjawab, hanya menangis dan mengusir pergi orang orang yang bertanya. Bahkan ayah dan ibunya tidak ia perdulikan, apalagi kakak nya. Dengan hati khawatir Lo Kang lalu menemui Lo Sian Eng.

   "Sian Eng, tolonglah encimu Siang Kui itu. Sudah tiga hari ia tidak mau makan dan hanya menangis dalam kamarnya. Kalau kami tanya, ia tidak mau menjawab bahkan mengusir kami dari kamarnya. Tolonglah, Sian Eng, barangkali engkau yang akan mampu mengajaknya bicara."

   Demikian Lo Kang meminta kepada Sian Eng.

   Sian Eng sudah tahu akan keadaan Siang Kui, akan tetapi ia memang diam saja tidak ingin mencampurinya karena ia tahu bahwa Siang Kui adalah seorang gadis yang keras hati. Akan tetapi setelah pamannya mengajukan permintaan itu dengan suara mengandung kegelisahan, iapun menyanggupi dan ia segera menuju ke kamar Siang Kui yang tertutup daun pintunya. Siang Eng pernah digembleng selama lima tahun oleh mendiang Hwa Hwa Cinjin, seorang datuk besar ahli silat dan ahli sihir. Maka, selain ilmu silat tinggi, iapun pernah mempelajari ilmu sihir, ilmu untuk menguasai atau mempengaruhi pikiran orang lain. Ia tahu bahwa pada saat itu pikiran Siang Kui sedang kacau dan karena dilanda suatu kedukaan maka pikirannya menjadi lemah sehingga akan mudah untuk dipengaruhi. Maka, ia lalu mengerahkan kekuatan batinnya, menyalurkan kekuatan itu pada suaranya dan ia mengerahkan khi-kang agar suaranya terdengar nyaring dan jelas ke dalam kamar itu dan mengetuk daun pintunya.

   "Tok-tok-tok! Enci Siang Kui, dengar-kan aku, enci Siang Kui. Aku Sian Eng yang akan mengangkatmu dari kedukaanmu. Bukalah pintunya, enci Siang Kui. Buka pintu kamarmu dan biarkan aku masuk!"

   Terdengar suara kaki diseret dan daun pintu itupun dibuka dari dalam oleh Siang Kui. Sian Eng terkejut melihat gadis yang biasanya cantik pesolek itu kini keadaannya amat menyedihkan. Pakaiannya kusut, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan matanya merah, tubuhnya tampak lemas dan lesu! Sian Eng cepat merangkulnya dan membawanya ke tempat tidur.

   "Duduklah, enci Siang Kui. Duduklah di sini."

   Siang Kui duduk di tepi pembaringan dengan taat.

   "Sekarang berbaringlah. Engkau perlu beristirahat."

   Kata pula Sian Eng yang suaranya mengandung kekuatan sihir. Siang Kui tidak membantah dan merebahkan diri, telentang di atas pembaringan.

   Sian Eng mengetahui apa yang dibutuhkan gadis itu pada saat ini.

   "Enci Siang Kui, engkau rebah dan mengaso dulu, aku akan mengambilkan makanan dan minuman untukkmu. Sebelum aku kembali, tenangkanlah hati dan pikiranmu, jangan merisaukan apa-apa dan mengaso sajalah."

   Ia lalu meninggalkan Siang Kui, menutupkan daun pintu dari luar dan bergegas pergi ke dapur. Cepat ia minta kepada pelayan untuk menyediakan bubur dan air teh yang ia bawa ke kamar Siang Kui. Ketika ia memasuki kamar, ia minta agar Lo Kang dan isterinya yang mengikutinya tidak mengganggunya dan meninggalkan kamar itu.

   "Jangan khawatir, paman dan bibi Aku akan mencoba untuk menghiburnya dan mengajaknya bicara. Sebaiknya kalau kami ditinggalkan berdua saja di kamar ini."

   Lo Kang dan isterinya mengangguk dan meninggalkan kamar itu. Sian Eng lalu memasuki kamar, menutupkan daun pintunya dan membawa bubur dan air teh mendekati Siang Kui yang masih rebah telentang di atas pembaringan.

   "Enci Siang Kui, bangun ,dan duduklah. Ini ada semangkuk bubur. Makanlah dulu agar tubuhmu kuat dan minumlah air teh ini."

   Karena terpengaruh oleh ucapan Sian Eng yang mengandung kekuatan sihir, bagaikan orang yang sedang bermimpi Siang Kui bangkit duduk, menerima cangkir berisi air teh dan meminumnya. Kemudian dengan taat iapun makan semangkuk bubur itu. Karena sudah tiga hari ia tidak makan atau minum, sebentar saja semangkuk bubur dan secangkir air teh itupun habis. Setelah makan, kedua pipi Siang Kui yang tadinya pucat kini menjadi kemerahan.

   Sian Eng duduk di tepi pembaringan di samping Siang Kui. Sambil merangkul pundak gadis itu, Sian Eng bertanya.

   "Enci Siang Kui, engkau percaya kepadaku, bukan?"

   Siang Kui mengangguk sambil menatap wajah Sian Eng.

   "Dan engkau yakin bahwa kalau engkau membutuhkan pertolongan, aku akan menoiongmu dan hanya aku yang akan dapat menolongmu?"

   Kembali Siang Kui mengangguk penuh keyakinan.

   "Nah, kalau begitu, sekarang ceritakanlah kepadaku mengapa engkau begini bersedih, enci Siang Kui. Apa yang telah terjadi denganmu dan ketika tempo hari engkau tidak pulang, engkau bermalam di manakah?"

   Ditanya begitu, tiba-tiba Siang Kui menangis tersedu-sedu. Ketika Sian Eng merangkulnya, Siang Kui juga memeluKi Sian Eng sambil menangis. Sian Eng membiarkan gadis itu menangis sepuasnya karena hal itu merupakan pelepasan segala kedukaannya.

   

Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini