Tiga Dara Pendekar Siauwlim 6
Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Karena itu, Nona, lebih baik kau jangan keluar dari gedung ini. mereka tahu bahwa kau masih belum keluar dari Kota Raja dan setiap hari kulihat mata-mata berkeliaran di dalam kota mencari-carimu, sedangkan untuk keluar dari pintu gerbang, amat sukar sekali. Jangankan kau, sedangkan aku sendiri pun selalu diamat-amati oleh para penyelidik, karena Gui-ciangkun merasa curiga terus kepadaku."
"Ah, kalau begitu, aku telah menerima budi besar sekali darimu, Kongcu, dan aku hanya membikin susah kau saja."
"Jangan berkata demikian, Nona. Sudah selayaknya kalau manusia saling menolong. Aku...aku percaya bahwa kau adalah seorang pendekar yang berbudi dan kepercayaanku akan lebih mendalam kalau saja kau suka berterus terang menceritakan riwayat hidupmu, agar aku dan orang tuaku mengetahui siapakah sebetulnya kau ini dan mengapa pula kau memusuhi Kim-i-wi."
Hwe Lan menarik napas panjang. Ia memang merasa berhutang budi dan menganggap pemuda ini sebagai seorang yang amat baik dan patut dikagumi serta dipercaya, akan tetapi, untuk menceritakan riwayatnya kepada seorang pemuda yang bukan apa-apanya, ia masih merasa berat.
"Souw-kongcu, tidak ada apa-apanya yang menarik dalam riwayat hidupku, dan sukar bagiku untuk menceritakannya kepadamu. Hanya satu hal yang perlu kuceritakan, yakni bahwa aku mempunyai seorang enci dan seorang adik perempuan. Mereka berdua sewaktu-waktu akan memasuki Kota Raja dan mencariku. Maka, apabila kau melihat mereka tolonglah beritahu kepadaku. Kalau tidak ingin menanti mereka, agaknya aku pun takkan berani mengganggu rumahmu lebih lama lagi."
Souw Cong Hwi biarpun masih muda akan tetapi ia dapat mengetahui bahwa gadis ini adalah seorang gadis yang selalu tabah sekali, juga berhati keras. Maka ia tidak mau mendesak karena tahu bahwa biarpun didesak akan percuma saja. Ia hanya menyanggupi untuk melihat kalau-kalau kakak dan adik gadis itu sudah datang. Diam-diam ia merasa khawatir juga mendengar bahwa dua orang gadis lain akan datang ke Kota Raja, karena kalau sampai terlihat oleh Gui-ciangkun dan Wai Ong Koksu, bukanlah itu berarti bahwa dua orang gadis itu hanya akan menghadapi bencana? Sementara itu, setelah tinggal di dalam gedung sampai hampir sebulan dan belum juga ia mendengar tentang keadaan Siang Lan dan Sui Lan, Hwe Lan mulai gelisah dan tak tenang.
Sampai berapa lama ia harus menanti? Ia sudah tak sabar lagi, ingin lekas-lekas mencari dan membalas dendam kepada perwira she Lee yang membunuh Nyo Hun Tiong dan gurunya, yakni Yap Sian Houw yang sudah dianggap sebagai orang tua sendiri. Akan tetapi, kalau sendiri mencarinya, kemana ia harus mencari? Ia sendiri masih menjadi orang buruan, maka berbahaya sekali kalau ia berusaha mencari di Kota Raja. Lalu ia teringat kepada Cong Hwi. Pemuda ini ilmu silatnya tidak rendah mungkin setingkat dengan kepandaiannya. Kalau pemuda ini dapat berkorban menolongnya, mengapa ia tidak berterus terang saja dan menaruh kepercayaan kepada Cong Hwi? Malam hari itu, Cong Hwi sedang duduk di dalam taman bunga. Hatinya kecewa dan berduka.
Ia benar-benar jatuh cinta kepada Hwe Lan, akan tetapi gadis itu agaknya tidak mempedulikannya. Bahkan tidak mempercayainya, buktinya gadis itu tidak mau menuturkan riwayat hidupnya. Padahal ayah ibunya takkan mau mengambil menantu seorang gadis yang tidak diketahui riwayat hidupnya. Andaikata ayah ibunya mau, belum tentu pula Hwe Lan suka menerimanya! Memikirkan semua ini, Cong Hwi benar-benar menjadi patah hati dan ia duduk melamun memandang ke arah bulan purnama yang membuat taman itu nampak makin indah. Akan tetapi tidak indah dalam pandangan Cong Hwi, bahkan melihat bulan berjalan-jalan seorang diri di angkasa itu membuat ia merasa lebih kesunyian lagi! Tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki di belakangnya dan ketika ia menengok, ia melompat dengan girang. Ternyata, Hwe Lan yang datang itu.
"Ah, kau... Nona Hwe Lan?"
Katanya.
"Kongcu, aku datang sengaja mencarimu untuk menuturkan riwayat hidupku untuk menuturkan riwayat hidupku dan juga untuk minta tolong kepadamu."
Bukan main girang hati Cong Hwi mendengar ini, seakan-akan suara ini datang dari bulan yang kini tersenyum indah.
"Katakanlah, Nona. Pertolongan apakah yang kau kehendaki? Tentu akan kulakukan sedapat mungkin."
Hwe Lan lalu menceritakan riwayatnya secara singkat. Ia menuturkan betapa ia dan kedua saudaranya adalah anak pemberontak Yap Sian Houw, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang dimusuhi oleh para perwira. Ia ceritakan pula bahwa Nyo Hun Tiong pernah menolong jiwa mereka bertiga ketika masih kecil, betapa kemudian mereka belajar silat di bawah pimpinan Yap Sian Houw, Thian Hwa Nikouw, dan akhirnya digembleng oleh Toat-beng Sian-kouw, kemudian ia menuturkan pula betapa Yap Sian Houw yang mereka anggap sebagai ayah sendiri itu telah dibunuh oleh seorang perwira she Lee yang pandai mempergunakan panah.
"Demikianlah,"
Ia menutup penuturannya.
"Kami bertiga telah bertekat untuk mencari perwira she Lee itu untuk membalas dendam ini. Dan itu pula yang membuat kami bertiga menyerbu pasukan Kim-i-wi yang membongkar kuburan Nyo Hun Tiong Tahiap. Kami sama sekali tidak bermaksud memberontak terhadap Kaisar, sakit hati karena terbunuhnya banyak orang yang kami anggap sebagai orang tua dan penolong."
Souw Cong Hwi mengangguk-angguk mendengar penuturan ini. Hatinya amat terharu dan kasihan terhadap gadis yang malang ini. terutama sekali karena gadis ini adalah murid Toat-beng Sian-kouw sedangkan pendeta wanita itu adalah kawan baik sekali dari gurunya sendiri, bahkan ia pernah bertemu muka satu kali dengan pendeta wanita yang sakti itu.
"Kalau begitu, sebenarnya kita adalah orang sendiri,"
Katanya setelah penuturan gadis itu habis.
"Aku kenal gurumu itu karena Toat-beng Sian-kouw adalah sahabat baik dari Suhu."
"Siapakah suhumu?"
Tanya Hwe Lan tertarik.
"Suhuku adalah Pat-jiu Sin-kai Kwee-Sin."
"Aku pernah mendengar guruku menyebut nama ini. pantas saja ilmu silatmu demikian lihai."
"Ah, jangan terlalu memuji, Nona. Sekarang, ceritakanlah, pertolongan apakah yang dapat kulakukan untukmu? Dan kalau kau tidak berkeberatan, katakanlah sebetulnya kau ini anak siapakah? Siapakah ayah ibumu? Kau belum menceritakan hal ini tadi. Hanya kuketahui bahwa mendiang Yap Sian Houw adalah ayah angkatmu."
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba berubahlah wajah gadis itu, ia menjadi pucat dan hanya kekerasan hatinya yang dapat membuat ia kuat menahan jatuhnya air mata. Ia nampak terharu sekali. Cong Hwi terkejut melihat hal ini.
"Nona Hwe Lan, maafkan kalau pertanyaanku ini kau anggap kurang ajar."
Hwe Lan menggeleng kepalanya dan setelah ia dapat menetapkan kembali hatinya, ia menjawab,
"Souw-kongcu, kau adalah seorang yang telah banyak melepas budi kepadaku, perlu apakah aku harus menyembunyikan sesuatu lagi? Baik, kau ketahuilah. Memang benar bahwa Yap Sian Houw hanyalah ayah angkatku, sedangkan ayah kandungku sendiri pun telah terbunuh oleh perwira she Lee itu. Ketika hal itu terjadi, kami bertiga masih kecil dan kami tertolong oleh Nyo-taihiap yang kuburannya dibongkar oleh perwira-perwira Kim-i-wi itu! Sekarang kau mengerti mengapa kami bertiga mengamuk melihat kuburan penolong itu dibongkar orang. Kami masih demikian kecil sehingga kami tidak ingat lagi siapakah orang tua kami yang sebenarnya, bahkan kami tidak tahu lagi siapakah she (nama keturunan) kami!"
Sampai di sini, Hwe Lan tak dapat menahan lagi keluarnya dua titik air mata dari pelupuk matanya.
"Karena itu, Kongcu,"
Akhirnya ia dapat melanjutkan kata-katanya.
"Tolonglah beritahukan kepadaku, di mana tempat tinggal perwira bangsat she Lee itu, karena aku tidak sabar lagi menanti kedatangan enci dan adikku. Aku hendak membalas dendam sekarang juga!"
Cong Hwi terkejut mendengar ini.
"Nona, kau tidak tahu! Perwira she Lee yang kau maksudkan itu tentulah Lee Song Kang yang bergelar Sin-to (Golok Sakti) dan yang berpangkat busu. Siapa lagi kalau bukan dia yang pandai mempergunakan anak panah? Dia memang gagah perkasa dan selain anak panahnya juga ilmu goloknya amat lihai. Akan tetapi, dia sekarang tidak tinggal di Kota Raja lagi dan telah pindah ke kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si untuk menjabat pangkat komandan barisan penjaga di sana. Kau...kau tidak bisa dan tidak boleh pergi ke sana seorang diri!"
Bukan main girang hati Hwe Lan setelah mengetahui tempat tinggal musuh besarnya itu, akan tetapi ia kecewa karena ternyata musuh besarnya itu tidak tinggal lagi di Kota Raja. Mendengar kalimat terakhir dari pemuda itu yang melarangnya pergi ke sana, kedua matanya terbelalak heran.
"Mengapa tidak bisa? Dan apa sebabnya tidak boleh? Sekarang juga aku mau pergi ke sana!"
"Jangan...! Jangan, Hwe Lan!"
Mendengar sebutan namanya ini, tanpa panggilan Nona seperti biasanya, Hwe Lan memandang makin heran dan mukanya menjadi merah.
"Kalau kau pergi, hal itu berbahaya sekali,"
Kata Cong Hwi pula yang tidak sadar bahwa tanpa disengaja ia menyebut nama nona itu begitu saja.
"Sebelum kau keluar Kota Raja, kau tentu telah tertangkap! Penjagaan masih dilakukan keras sekali."
"Aku tidak peduli. Kalau memang aku akan tertangkap, biarlah, aku tidak takut. Bagaimanapun juga besar bahayanya, aku harus berusaha membalas dendam guruku, dendam orang tuaku, dan aku harus mencari keparat she Lee itu!"
"Hwe Lan...kalau sampai kau terkena celaka...ah, tidak tahukah kau bahwa orang satu-satunya yang akan kehilangan dan akan merasa berduka, adalah aku sendiri...?"
Bagaikan mimpi Cong Hwi membuka rahasia hatinya. Hwe Lan melangkah mundur dengan muka merah.
"Apa...? Apa maksudmu Kongcu...?"
Cong Hwi menundukkan mukanya dan berkata perlahan,
"Hwe Lan, aku... aku cinta kepadamu, telah kurundingkan dengan ayah ibuku untuk... meminangmu sebagai"
Isteriku!"
Bukan main terkejutnya hati Hwe Lan mendengar pengakuan ini. Ia melangkah mundur lagi dua tindak dengan mata terbelalak dan muka merah.
"Tidak, Kongcu!"
Katanya dengan napas tersengal.
"Aku tidak berharga! Kau seorang putera pangeran, seorang bangsawan yang mulia dan berkedudukan tinggi! Sedangkan aku...aku seorang yatim piatu yang hina dina. Pula, aku harus membalas dendam ini. hanya inilah satu-satunya cita-cita hidupku, yang lain itu aku belum pernah memikirkan!"
Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berlari menuju ke kamarnya meninggalkan Cong Hwi yang berdiri bengong. Kemudian Cong Hwi teringat bahwa Hwe Lan akan pergi, maka ia cepat bangun berdiri.
"Aku harus melarangna pergi, kalau ia sampai celaka...!"
Ia tidak dapat melanjutkan jalan pikirannya yang membuatnya berduka dan ngeri ini. Ia lalu berlari ke dalam gedung menemui ayah ibunya dan menceritakan segala percakapannya yang dilakukan demi gadis itu. Pemuda ini dengan muka pucat minta kepada ayah ibunya supaya membujuk gadis itu jangan pergi menempuh bahaya. Pangeran Souw Bun Ong beserta isterinya lalu pergi ke kamar Hwe Lan dan membujuknya.
"Nona Hwe Lan,"
Kata Pangeran Souw.
"Kami tahu tentang maksudmu membalas dendam dan tentu saja kami tak dapat menghalangi kehendakmu itu. Akan tetapi segala hal harus dilakukan dengan hati-hati dan sempurna. Apakah artinya usahamu membalas dendam kalau kau tertangkap sebelum dapat keluar dari kota? Apakah itu bukan berarti membuang jiwa secara murah? Mari kita bekerja sama kami akan membantumu keluar dari kota. Tunggulah beberapa hari lagi, kami akan mencari jalan yang baik bagimu."
Mendengar ucapan ini, terpaksa Hwe Lan menurut karena ia anggap bahwa usul ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, Pangeran Souw lalu mempergunakan pengaruhnya dan ia berhasil mengatur sedemikian rupa sehingga tiga malam kemudian, penjaga pintu gerbang di sebelah utara terdiri dari orang-orang kepercayaannya sendiri yang telah dipesan bahwa malam hari itu ia hendak menyelundupkan seorang pemuda keluar dari Kota Raja, agar supaya jangan diganggu. Setelah beres, ia lalu memberitahu kepada Hwe Lan yang telah menanti-nanti tak sabar lagi.
"Malam ini kau boleh keluar kota, Nona,"
Kata Pangeran Souw.
"Akan tetapi kau harus menyamar sebagai seorang pemuda dan keluar dari pintu utara. Para penjaga takkan mengganggu lagi. Akan tetapi, berhati-hatilah kau dan semoga kau selamat serta tercapai cita-citamu."
Nyonya Souw yang telah menganggap gadis itu sebagai keluarga sendiri, sambil mencucurkan air mata berkata,
"Hwe Lan, mengapa kau berkeras hendak pergi? Kau harus kembali lagi, Nak. Kau harus berjanji akan kembali lagi, kalau tidak, aku tidak rela melepasmu pergi..."
Hwe Lan terharu juga melihat kecintaan nyonya ini kepadanya. Ia memeluk nyonya itu dan tidak dapat menahan air matanya sendiri yang mengalir membasahi pipinya.
"Aku akan kembali..."
Bisiknya dan Cong Hwi yang mendengarkan semua itu sambil menundukkan kepalanya, ketika mendengar suara ini lalu mengangkat muka memandang. Pada saat mengucapkan kata-kata itu, Hwe Lan memang memandang kepada pemuda itu, maka untuk sekejab, dua pasang mata, bertemu, mengandung janji yang hanya dimengerti oleh pemiliknya. Kemudian, Hwe Lan lalu mengadakan persiapan, dan dibantu oleh Nyonya Souw, ia menyamar sebagai seorang pemuda yang tampan! Tanpa diketahui atau diduga sedikitpun oleh Hwe Lan, pada malam hari itu, seorang gadis lain berada pula di dalam kota dan gadis ini bukan lain ialah Siang Lan!
Bagaimanakah Siang Lan bisa berada di Kota Raja? Sebelum menceritakan tentang Siang Lan, marilah kita bersama mengikuti lebih dulu perjalanan Sui Lan, gadis lincah gembira yang termuda di antara tiga dara pendekar Siauw-lim itu agar jangan terlalu lama kita berpisah dari dia! Sui Lan yang terpisah dari kedua encinya, setelah tak berhasil bertemu dengan Hwe Lan atau Siang Lan, dengan bingung lalu melanjutkan perjalanannya seorang diri. Betapapun juga, ia harus menurut petunjuk gurunya, dan melanjutkan perjalanannya sesuai dengan rencana yang telah diatur, yaitu melalui Propinsi Hu-pei, Ho-nan, Sian-tung, dan terus ke Kota Raja. Ia menduga bahwa kedua saudaranya, entah lebih dulu atau belakangan, tentu juga mengambil jalan ini dan akhirnya ia mengharapkan untuk bertemu dengan kedua encinya itu di Kota Raja atau di tengah jalan.
Yang agak membingungkan hatinya adalah bahwa uang bekalnya telah habis sama sekali, karena ia memang tidak membawa uang dan kantung uang dibawa oleh Hwe Lan. Akan tetapi, dasar ia bernasib baik, ketika ia sedang berjalan dengan bingung melalui sebuah hutan besar dan liar, tiba-tiba dari belakang gerombolan pohon berlompatan keluar delapan orang tinggi besar yang bersikap kasar. Sekali lihat saja tahulah Sui Lan bahwa mereka itu adalah perampok-perampok kejam, akan tetapi Sui Lan pura-pura tak melihat mereka dan berjalan terus ke depan. Seorang di antara mereka yang bermuka merah melompat di tengah jalan, menghadangnya, sedangkan kawannya lalu melangkah maju pula dan mengurung gadis itu sambil tertawa-tawa menyeringai. Terpaksa Sui Lan menghentikan tindakan kakinya dan sambil tersenyum ia berkata,
"Eh, eh, kalian ini orang-orang apakah? Agaknya kalian ini yang biasa disebut orang-orang hutan, betulkah?"
Biarpun dimaki orang hutan, akan tetapi oleh karena gadis itu luar biasa cantik jelita dan juga tersenyum-senyum dengan mata berseri gembira, para perampok itu tidak menjadi marah, bahkan mereka semua lalu tertawa gembira.
"Ha-ha-ha!"
Kepala rampok yang bermuka merah itu tertawa sambil memegangi perutnya yang besar dengan kedua tangan.
"Kau benar, Nona cantik! Kita memang orang-orang hutan dan aku adalah rajanya, raja hutan yang kuat dan gagah! Dan kau patut menjadi permaisuriku, ha-ha-ha!"
"Ah, perutmu mengingatkan aku akan perut kerbau! Siapa sudi menjadi permaisurimu?"
Kata Sui Lan yang masih saja bersikap jenaka. Kata-katanya ini kembali disambut gelak tertawa.
"Kau pilih yang kecil perutnya? Lihat, perutku kecil sekali, Nona manis!"
Kata seorang anggota perampok yang melompat maju. Sui Lan memandang perampok itu yang bertubuh kurus kering dan tinggi bagaikan batang bambu. Tentu saja perutnya kecil sekali seakan-akan sudah sebulan perutnya tidak kemasukan sesuatu. Sui Lan memicingkan matanya dan bibirnya cemberut.
"Hm, kau seperti cacing tana! Geli aku melihatnya!"
Berganti-ganti para perampok itu maju menawarkan dirinya, dan kesemuanya dicela oleh Sui Lan yang menyebutkan cacat-cacatnya. Akhirnya kepala rampok itu berkata,
"Gadis manis, kau hendak pergi kemanakah?"
"Aku sedang melancong. Mengapa kalian menghadang di jalan? Minggirlah dan beri jalan padaku."
"Ha-ha-ha! Enak sekali kau bicara. Kau sungguh sembrono sekali melakukan perjalanan seorang diri di dalam hutan ini. seorang gadis cilik yang cantik jelita seperti kau, sungguh aneh, sungguh aneh! Ayah ibumu benar-benar tega sekali membiarkan kau melakukan perjalanan seorang diri. Serahkanlah bungkusanmu itu dan kau harus ikut dengan ka mi, agar jangan hidup seorang diri seperti ini. Sungguh kasihan sekali!"
Sui Lan tersenyum.
"Hm, tak salah lagi. Kalian tentu perampok-perampok orang-orang hutan yang berlagak seperti manusia. Aku mendengar bahwa perampok-perampok mengumpulkan harta kekayaan dari orang-orang yang lewat dan karena sekarang aku perlu sekali uang bekal, maka kalian harus membayar pajak padaku!"
Para perampok itu saling pandang dan tertawa mengejek. Baru kali ini mereka mendengar ada orang, seorang gadis cantik pula, minta pajak dari mereka! Biasanya merekalah yang minta "Pajak jalan atau pajak hutan kepada para korban yang lewat di situ.
"Kau benar-benar mengagumkan begini tabah dan berani, sama sekali tidak takut! Alangkah baiknya kalau kau menjadi permaisuriku!"
Kata kepala perampok itu yang segera bergerak maju hendak memeluk. Sui Lan memandang dengan lagak yang mengejek dan berkata.
"Pernah ada orang bilang bahwa orang hutan pandai menari seperti monyet, hendak kulihat kebenaran ucapan itu!"
Begitu ucapan ini habis, ia bergerak cepat dan kakinya menendang ke arah kaki seorang anggota perampok yang berdiri dekat. Perampok itu hendak mengelak, akan tetapi ia kalah cepat dan tulang kering pada kakinya telah berkenalan dengan ujung sepatu Sui Lan yang menendang keras.
"Plak!"
Dan orang itu meringis-ringis kesakitan, mengaduh-aduh dan tanpa dapat ditahan karena sakitnya, ia mengangkat kaki yang tertendang itu dan berloncat-loncatan dengan sebelah kaki seperti orang berjingkrak-jingkrak menari!
"Aduh...aduh...aduh...!"
Tiada hentinya ia mengeluh dan melompat-lompat dengan sebelah kakinya. Sui Lan tertawa geli dan menuding dengan tingkah lucu.
"Ha, benar saja, orang hutan pandai menari. Terus, terus! Alangkah lucunya. Kawanan perampok itu merasa geli juga melihat kawan mereka ini, akan tetapi mereka juga mendongkol karena kawan mereka itu dipermainkan sedemikian rupa oleh gadis ini. dua orang segera menyergap hendak memeluk gadis yang cantik dan lincah itu, akan tetapi Sui Lan telah mendahului mereka dan menggerakkan kakinya. Kembali dua orang itu kena ditendang tulang kakinya sehingga seperti orang pertama tadi, mereka pun berjingkrak-jingkrak karena kaki itu terasa sakit sekali dan tulangnya mungkin telah retak!
"Aduh, lucunya..."
Sui Lan bertepuk-tepuk tangan dengan girang.
"Sekarang ada tiga monyet yang menari-nari! Ayo monyet yang mana lagi ingin menari?"
Para perampok tadinya mengira bahwa perbuatan Sui Lan yang pertama tadi hanya kebetulan saja, akan tetapi kini mereka maklum bahwa hal ini bukanlah terjadi secara kebetulan, akan tetapi memang gadis ini memiliki kepandaian. Kepala rampok menjadi marah dan mencabut goloknya diturut oleh empat orang anak buahnya, sedangkan tiga orang yang telah tertendang kakinya itu hanya dapat menonton sambil duduk di atas tanah dan mengurut-ngurut kakinya y ang terasa sakit sekali.
"Eh, tidak tahunya kau dapat juga bersilat!"
Kata kepala rampok itu sambil menuding kepada Sui Lan dengan goloknya.
"Pantas saja kau berani melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi, jangan harap kau akan dapat keluar dari tempat ini sebelum menyerah kepada kami, baik menyerah hidup-hidup atau menyerah mati!"
Sui Lan tersenyum.
"Siapa yang mau keluar lekas-lekas? Kalau kau belum memberi pajak yang kuminta, yakni seratus tai perak dengan kantungnya yang baik agar mudah dibawa, jangan harap aku mau keluar dari tempat ini!"
Juga gadis ini menggunakan telunjuknya menuding dan meniru sikap kepala rampok itu. Kepala rampok itu menjadi marah dan dengan seruan keras ia lalu mengayun goloknya menyabet ke arah leher Sui Lan diturut pula oleh kawan-kawannya yang menyerang dengan hebat. Akan tetapi, tentu saja orang-orang kasar ini bukanlah lawan Sui Lan yang berkepandaian tinggi. Sekali tubuh gadis itu berkelebat, para perampok menjadi melongo karena gadis itu telah lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu telah terdengar suara ketawanya di belakang tubuh mereka! Dengan cepat mereka berbalik dan menyerang lagi, akan tetapi mengandalkan gin-kangnya yang tinggi,
Sui Lan bergerak cepat ke sana kemari dan mempermainkan mereka bagaikan seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak kecil! Sambil mengelak ke kiri, tangannya yang dibuka jari-jarinya merupakan golok menyambar ke arah lawan dan "Ngek!"
Seorang perampok terguling roboh karena perutnya kena dimasuki tangan itu. Ia bergulingan di atas tanah karena perutnya tiba-tiba menjadi
(Lanjut ke Jilid 06)
Tiga Dara Pendekar Siauw-Lim (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
"Mulas"
Dan sakit sekali. Sui Lan tertawa-tawa kemudian tubuhnya menyambar lagi dengan kaki diayun.
"Buk!"
Tubuh seorang pengeroyok terpental sampai lima kaki lebih dan jatuhnya kebetulan sekali menimpa seorang di antara tiga orang perampok yang kakinya kena ditendang tadi sehingga keduanya bergulingan sambil mengaduh-aduh. Tenyata orang itu kena ditendang pantatnya dengan keras oleh kaki Sui Lan!
Kini pengeroyoknya tinggal tiga orang lagi. Kepala rampok muka merah itu merasa penasaran sekali, dan juga terkejut. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini demikian lihai sehingga dengan tangan kosong sanggup menghadapi keroyokan lima orang bersenjata, bahkan dengan amat mudahnya telah merobohkan dua orang pengeroyok. Ia memutar-mutar goloknya dengan cepat dan ingin sekali dengan bacokan goloknya ia membuat tubuh gadis yang kecil itu terpotong menjadi dua. Kini nafsunya untuk mendapatkan gadis cantik itu lenyap, terganti nafsu untuk membunuh karena marah dan mendongkol. Akan tetapi, dengan enaknya dan sambil tersenyum-senyum, Sui Lan mempermainkan mereka bertiga dan pada saat dua orang anak buah perampok menyerang dari kanan kiri, Sui Lan mengelak cepat, lalu kedua tangannya bergerak ke kanan kiri.
"Plok! Plok!"
Kedua telapak tangannya telah menyambar muka dua orang itu sehingga keduanya berteriak.
"Aduh...!"
Lalu menutupi muka mereka yang kena ditampar, karena tamparan tadi mengenai mata mereka sehingga terasa pedas dan kepala mereka menjadi pening. Sebelum mereka tahu harus berbuat apa, tiba-tiba rambut kepala mereka ada yang menjambak dan tiba-tiba..."Duk!"
Kepala mereka diadu satu kepada yang lain sehingga seakan-akan pecahlah dunia ini bagi mereka. Pandangan mereka berkunang-kunang dan tubuh mereka berputar-putar terhuyung-huyung ke kanan kiri, kemudian mereka roboh terguling dalam keadaan pingsan! Tinggallah Si Kepala Rampok seorang yang masih melawan dengan goloknya, akan tetapi diam-diam ia mengeluh.
"Celaka! Kali ini aku bertemu dengan siluman!"
Akan tetapi Sui Lan tidak mau membiarkan kepala rampok itu menduga-duga lebih lama lagi. Sekali tangannya digerakkan, ia telah berhasil menotok jalan darah tai-hwi-liat di punggung kepala rampok itu sehingga Si Muka Merah berdiri dengan tubuh kaku! Biarpun ia masih berdiri dengan kuda-kuda kuat, kaki kanan di belakang dan kaki kiri di depan, tangan kirinya dikepal dan didekatkan di pinggang, sedangkan tangan kanan memegang golok yang diangkatnya untuk membacok, akan tetapi ia tidak kuasa menggerakkan tubuhnya lagi! Sui Lan tertawa bergelak dan berkata,
"Bagus, kau seperti sebuah patung penjaga kelenteng!"
Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lihiap, ampunkan kami..."
Kepala rampok itu masih dapat bicara, walaupun suaranya terdengar perlahan sekali.
"Kau suruh dulu anak buahmu mengambil uang pajak seratus tail perak itu!"
Kata Sui Lan. Akan tetapi, kepala rampok itu agaknya berat untuk melakukan perintah ini dan diam saja tak menjawab. Sui Lan menjadi tak sabar dan sekali ia ulur tangan, golok di tangan kanan rampok itu telah ia rampas. Dengan golok itu ia lalu menuding ke arah perut Si Kepala Rampok yang gendut itu sambil berkata,
"Kalau tidak lepas kau keluarkan pajak itu, akan kubelah perutmu dan hendak kulihat apakah sebenarnya isi perutmu yang besar ini!"
Kepala perampok itu diam saja sedangkan anak buahnya yang telah siuman kembali memandang dengan ketakutan dan muka pucat. Mereka benar-benar telah membentur karang yang luar biasa kerasnya kali ini!
"Kau tidak rela memberi pajak itu? Baik, mari kita sama-sama lihat isi perutmu!"
Sui Lan menggerakkan goloknya ke arah perut itu dan sengaja menusuk sedikit kulit perut di balik pakaian itu. Kepala perampok itu berjengit lalu berkata ketakutan.
"Baik, Lihiap, baik..."
Ia lalu berkata kepada seorang anak buahnya yang masih dapat berjalan untuk mengambil uang yang diminta itu dari sarang mereka yang berada di dalam hutan. Anggota perampok yang diperintah itu lalu berlari ke dalam hutan dan tak lama kemudian, betul saja ia datang membawa sekantung uang. Ia memberikan kantung uang itu kepada Sui Lan dengan sikap menghormat, dan Sui Lan menerimanya sambil menimbang-nimbang beratnya dengan tangan kiri. Setelah membuka kantung dan mendapatkan kenyataan bahwa isinya betul uang perak, ia lalu tersenyum dan menyimpan kantung uang ittu ke dalam bungkusan pakaiannya.
"Nah, biarlah sedikit pajak ini menjadi pelajaran bagi kalian, bahwa ada kalanya merampas juga ada waktunya dirampas! Lain kali janganlah suka mengganggu gadis-gadis muda lagi dan jangan merampok secara sembarangan saja!"
Ia lalu mengangkat kakinya menendang ke arah punggung kepala rampok itu yang roboh terguling, akan tetapi sekaligus totokan yang membuatnya kaku tak dapat bergerak itu telah dapat disembuhkan!
Ketika mereka memandang ternyata gadis yang luar biasa itu telah melompat jauh dan lenyap dalam sebuah tikungan jalan. Senanglah hati Sui Lan setelah mendapatkan bekal ini karena ia tak usah merasa kuatir lagi dalam perjalanan. Beberapa hari kemudian, ia sampai di Propinsi Ho-nan dan ketika ia tiba di kota Kang-cu, ia berhenti dan bermalam di kota itu, karena ia amat tertarik dengan keindahan dan keramaian kota. Ketika Sui Lan memasuki ruang sebuah hotel besar untuk mencari kamar, ia bertemu dengan tiga orang laki-laki yang sikapnya menunjukkan sebagai ahli-ahli silat, ia melihat tiga orang itu mengerlingkan dengan pandang tajam penuh kekaguman. Ia tidak melayani mereka dan pura-pura tidak melihatnya, akan tetapi memandangnya dengan penuh perhatian.
Hatinya mendongkol bukan main karena biarpun ia tidak merasa heran melihat mata laki-laki mengikutinya dan hal ini sudah seringkali dialaminya di mana-mana, akan tetapi memandang orang di dalam hotel seperti itu, sungguh terlalu sekali! Ia mendapatkan sebuah kamar di bagian belakang dan setelah memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa kamar itu cukup bagus, ia lalu memasuki kamar itu dan beristirahat. Hari itu sudah mulai gelap, karena masih lelah, Sui Lan tidak mau keluar dari hotel dan mengambil keputusan untuk berjalan-jalan besok pagi saja. Setelah membersihkan tubuh dan makan malam, ia terus tinggal di dalam kamarnya, tidak keluar lagi. Akan tetapi, menjelang tengah malam, ia mendengar suara bisik-bisik di luar jendela kamarnya dan cepat ia melompat turun dengan hati-hati dan mengintai keluar. Ia melihat ada bayangan tiga orang berada di luar kamarnya dan mendengar percakapan mereka sambil berbisik,
"Jangan, Sute, jangan berlaku sembrono. Kalau diketahui oleh orang lain, nama kita akan rusak!"
"Aku tidak takut,"
Jawab suara lain.
"apa peduli orang lain dengan urusan kita? Bunga seindah itu sayang sekali kalau tidak dipetik!"
"Hush, jangan begitu, Sute. Kita sedang menghadapi urusan besar besok pagi, kalau sampai diketahui orang, apakah kita tidak malu terhadap anak-anak murid Go-bi? Jangan kita merendahkan nama sendiri. Soal bunga itu, mudah saja kita petik kalau sudah selesai urusan besok pagi, atau kita boleh mencegatnya di luar kota kalau ia pergi. Akan tetapi jangan sekarang, apalagi jangan di tempat ini!"
Bayangan itu pergi lagi dan Sui Lan merasa gemas dan mendongkol sekali. Ia maklum bahwa tiga bayangan itu adalah orang-orang yang siang tadi dilihatnya ketika ia memasuki hotel itu dan dari percakapan mereka, ia maklum pula bahwa mereka adalah bangsa jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang suka mengganggu anak bini orang. Hal ini pernah ia dengar dari gurunya dan menurut pesan gurunya, apabila ia dan enci-encinya bertemu dengan penjahat macam ini, boleh terus dibunuh jangan diberi ampun lagi! Memang dapat dimaklumi perasaan dan kebencian hati wanita menghadapi perusak-perusak wanita ini. Sui Lan berjanji di dalam hati sendiri untuk menyelidiki keadaan tiga orang itu dan kalau betul-betul mereka adalah penjahat-penjahat pemetik bunga seperti yang ia duga, ia akan membasmi mereka.
Juga ia tertarik mendengar percakapan mereka yang menyebut-nyebut nama Go-bi-pai. Terang bahwa mereka bukan anak murid Go-pi-pai, dan entah apa hubungan mereka dengan Go-bi-pai. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sui Lan telah bangun dan bersiap sedia melakukan pengintaian. Ia tahu bahwa tiga orang yang hendak diselidikinya itu juga bermalam di situ, maka ketika ia melihat mereka keluar dari hotel, ia lalu cepat menyusul dan mengikuti mereka dari belakang. Mereka menuju ke tengah kita, pusat keramaian kota itu dan dari jauh Sui Lan telah mendengar suara gembreng dan tambur. Tiga orang yang diikutinya itu langsung menuju ke tempat yang ramai itu dan ternyata di tengah-tengah lapangan yang penuh orang, terdapat sebuah panggung lui-tai (panggung tempat bermain silat) yang tingginya hampir dua tombak.
Dia tas panggung yang lebar itu, terdapat dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, dan mereka inilah yang memukul tambur dan gembreng. Sikap kedua orang ini menyatakan jelas bahwa mereka adalah orang-orang kuat yang mengerti ilmu silat dan mereka selalu memandang ke sana kemari seakan-akan menanti datangnya orang-orang lain. Tiga orang dari hotel yang diikuti Sui Lan itu menghampiri lui-tai dan gerakan tangan mereka melompat ke atas panggung, disambut oleh dua orang itu yang melepaskan tetabuhan mereka dan segera mereka bercakap-cakap. Setelah itu, seorang di antara tiga orang yang diikuti oleh Sui Lan tadi, berdiri menghadapi penonton yang telah banyak berkumpul, mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata dengan suara lantang,
"Cuwi sekalian yang terhormat! Kami dan Go-bi-pai, hari ini sengaja membuka panggung lui-tai ini untuk mendemonstrasikan ilmu silat dari kedua cabang kami dengan harapan agar khalayak ramai dapat menikmati keindahan ilmu silat cabang Bu-tong-pai dan Go-bi-pai. Telah lama kami mendengar bahwa di kota ini terdapat banyak orang pandai dari berbagai cabang, di antaranya dari cabang Siauw-lim, cabang yang telah memberontak dan telah ditumpas oleh kerajaan itu. Dari para ahli silat lain cabang, kami mengharapkan petunjuk-petunjuk apabila terdapat kekurangan dalam pertunjukan kami, sedangkan apabila di sini masih terdapat sisa anak murid Siauw-lim-pai, kami menantang mereka untuk naik ke panggung dan mengadu kepandaian!"
Setelah anak murid Bu-tong-pai ini mengangkat bicara maka tambur dan gembreng dipukul lagi sedangkan para penonton makin banyak datang menonton. Sui Lan merasa mendongkol sekali mendengar ucapan itu dan ia memperhatikan dengan mata tajam. Orang yang bicara tadi usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan matanya mengandung sifat kejam. Orang kedua yang tadi diikutinya, adalah seorang yang berusia kira-kira tiga puluh tahun,
Berwajah tampan dan pakaiannya mewah, tanda bahwa ia seorang pesolek. Orang ketiga juga berusia kira-kira tiga puluh tahun dan bermuka hitam. Tiga orang ini kini mudah diduga bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai dan melihat cara mereka melompat ke atas panggung tadi, dapat diduga bahwa kepandaian mereka cukup lihai. Dua orang anak murid Go-bi-pai itu pun nampak gagah. Yang seorang bermuka kuning dan biarpun tubuhnya tinggi besar, akan tetapi kelihatan kurus dan gerak geriknya lambat, tanda bahwa dia adalah seorang ahli lwee-keh yang memiliki tenaga lwee-kang tingkat tinggi. Orang kedua mempunyai gerak gerik gesit dan matanya lebar dan bundar menakutkan. Anak murid Go-bi-pai yang bermata bundar ini lalu maju ke tengah panggung dan menjura keempat penjuru kepada penonton sambil berkata dengan suaranya yang besar dan parau,
"Siauw-te Boan Swe memperlihatkan sedikit kebodohan!"
Setelah berkata demikian, ia lalu mencabut goloknya dan mulai bersilat. Ilmu goloknya dari cabang Go-bi-pai cukup indah dan cepat sehingga goloknya berkelebatan menyilaukan mata penonton. Semua orang menyambut permainan ini dengan tepuk tangan menyatakan kekaguman mereka, akan tetapi diam-diam Sui Lan mentertawakan karena permainan itu hanyalah di luarnya saja nampak indah dan menakutkan, akan tetapi sebenarnya kurang isi. Setelah Boan Swe selesai bersilat, murid Bu-tong-pai yang tertua maju ke tengah panggung dan berkata kepada para penonton,
"Cuwi sekalian. Tadi seorang saudara dari Go-bi-pai telah mempertunjukkan ilmu goloknya. Apabila di antara saudara sekalian ada yang sudi naik ke panggung untuk bermain-main dengan dia, maka kami akan berterima kasih sekali. Terutama kami tujukan kepada anak murid Siauw-lim-pai, kalau kebetulan ada yang berada di antara para saudara penonton, harap naik dan boleh mencoba-coba kepandaian!"
Di dekat tempat Sui Lan berdiri, terdapat empat orang pemuda yang berpakaian seperti pelajar. Mereka ini bicara bisik-bisik satu kepada yang lain dan Sui Lan yang berpendengaran tajam dapat menangkap sedikit kata-kata mereka ketika seorang di antaranya berkata,
"Lo-heng, tak perlu kita melayani segala macam orang kasar seperti mereka."
"Akan tetapi hatiku amat panas, mendengar Siauw-lim-pai dipandang rendah seperti itu!!"
Kata seorang lain.
"Biarlah aku mencobanya juga."
Setelah berkata demikian, orang yang bicara ini lalu melompat ke atas panggung.
"AH, Twa-suheng terlalu gegabah,"
Kata seorang lain. Ketika pemuda yang berpakaian putih itu melompat ke atas panggung, semua penonton bersorak karena mereka merasa gembira dan mengharapkan menonton pertandingan yang hebat. Pemuda itu menjura kepada murid Bu-tong-pai tadi dan berkata,
"Siuw-te seorang she Bun ingin menerima pelajara,"
"Bagus!"
Seru orang Bu-tong-pai itu.
"Aku bernama Gan Kong, tidak tahu saudara dari cabang persilatan manakah?"
"Siauw-te tidak termasuk anggota cabang persilatan yang manapun juga, akan tetapi siauw-te pernah mempelajari sedikit ilmu silat Siauw-lim."
Bersinarlah mata Gan Kong mendengar ini.
"Hm, jadi kau adalah anak murid Siauw-lim-pai?"
Juga kawan-kawannya yang empat orang itu memandang penuh perhatian.
"Sudah kukatakan bahwa aku bukan anggota cabang persilatan manapun juga, jadi bukan anggota Siauw-lim-pai, akan tetapi aku pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim. Apakah hal ini juga merupakan sesuatu yang harus dipandang rendah?"
Mendengar percakapan mereka yang telah mulai "Panas"
Itu, para penonton menjadi makin gembira dan tegang. Sementara itu, Gan Kong mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek.
"Kalau saudara bukan anggota Siauw-lim-pai, itu bagus sekali. Lagi pula saudara tidak kelihatan seperti pemberontak, maka tentu saja saudara bukan anggota cabang persilatan penjahat itu! Dengan siapakah kau hendak bermain-main? Dengan saudara Boan dari Go-bi-pai tadi ataukah dengan aku atau sute-suteku dari cabang Bu-tong-pai?"
Sikap dan bicara orang she Gan ini amat memandang rendah dan berkali-kali ia menyatakan kebenciannya kepada Siauw-lim-pai, maka Sui Lan yang mendengar ini hampir saja tak dapat menahan kesabarannya lagi. Pemuda baju putih she Bun itu tersenyum dan menahan kemarahannya.
"Dengan siapa saja pun boleh!"
"Kalau begitu, biarlah aku yang melayanimu. Mari, mari, ingin kulihat sampai di mana kau mempelajari ilmu silat busuk dari cabang persilatan Siauw-lim-pai yang jahat itu!"
Kata Gan Kong dengan sombongnya sambil membuka jubah luarnya dan tersenyum simpul. Melihat sikapnya ini, hampir sebagian besar para penonton segera menaruh simpati kepada pemuda baju putih itu dan diam-diam mengharapkan agar supaya pemuda itu akan berhasil mengalahkan Gan Kong yang sombong itu. Sui Lan mendengar betapa Gan Kong mengeluarkan ucapan yang amat menghina Siauw-lim-pai, tentu saja menjadi panas perutnya dan sudah gatal-gatal tangannya hendak memberi hajaran keras kepada orang itu. Akan tetapi, oleh karena pemuda she Bun itu telah menghadapi Gan Kong, maka ia menahan sabar dan di dalam hatinya ia berjanji akan membantu pemuda she Bun yang pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Gan Kong tertawa mengejek ketika melihat pemuda itu memasang kuda-kuda sambil tertawa-tawa ia mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah pelipis pemuda itu. Lawannya cepat merubah kedudukan kuda-kudanya dan merendahkan tubuh sambil mengangkat tangan menangkis lalu balas menyerang dengan sodokan ke arah perut Gan Kong yang cepat menarik tangannya dan mencengkeram ke arah tangan lawan yang memukul. Pemuda itu kaget melihat gerakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) ini dan menarik tangannya lalu menyerang lagi dengan sambaran tangan kiri dari samping ke arah leher lawan. Melihat gerakan pemuda ini, Sui Lan maklum bahwa pemuda itu telah mempelajari ilmu silat Lo-han Kun-hwat dari Siauw-lim-pai dan biarpun kepandaianya cukup baik serta kegesitannya juga lumayan,
Akan tetapi sebentar saja ia dapat mengetahui bahwa pemuda ini bukanlah lawan berat bagi Gan Kong yang memiliki kepandaian lebih tinggi dan tenaga yang lebih besar. Dugaannya memang benar, karena pada saat pemuda she Bun itu melakukan serangan dengan pukulan keras ke arah dada Gan Kong, murid Bu-tong-pai itu sambil berseru keras lalu menangkis dari samping sehingga ketika kedua lengan tangan beradu, pemuda she Bun itu terhuyung mundur dan mukanya meringis kesakitan sedangkan tangannya nampak biru! Akan tetapi ia masih belum menerima kalah, juga tidak ada kesempatan untuk mengaku kalah, karena gan Kong sambil tertawa-tawa mengejek terus mendesak dengan pukulan-pukulan maut! Sui Lan terkejut sekali karena kini Gan Kong akan mempergunakan ilmu Coat-meh-hoat, yakni ilmu tiam-hwat (totokan) dari Bu-tong-pai yang berbahaya.
Coat-meh-hoat adalah ilmu totok yang dilakukan tanpa mencari urat-urat tertentu dan jari-jari tangan Gan Kong yang nampak hitam itu mempunyai kekuatan yang dapat menembus dinding bata dengan sekali tusuk! Tiga jari tangannya, yakni telunjuk jadi tengah dan jari manisnya, karena selalu dilatih, menjadi sama panjangnya dan celakalah kalau pemuda she Bun itu sampai terkena tusukan jari-jari ini yang biarpun tidak runcing, akan tetapi akan dapat menembus kulit dan dagingnya! Apalagi Gan Kong ternyata berhati kejam dan ganas sekali, terbukti dari serangan-serangannya yang selalu ditujukan ke tempat berbahaya dari lawannya! Ini bukanlah merupakan pibu (adu tenaga) lagi, bukan sekedar mengukur kepandaian, akan tetapi lebih tepat disebut usaha pembunuhan! Dengan gerakan yang amat kuat, Gan Kong menusukkan jari tangan kanannya ke arah mata pemuda she Bun itu sambil berseru,
"Shaaaat!"
Dan pemuda itu terkejut sekali cepat miringkan kepala dan menghindarkan diri dari tusukan itu, akan tetapi jari-jari tangan kiri Gan Kong menyusul cepat, ditusukkan ke arah lambungnya dengan cepat dibarengi bentakan,
"Shiiii!"
Pemuda she Bun itu merasa betapa tusukan jari tangan itu mendatangkan angin sehingga ia cepat-cepat memutar tubuh dan merubah kedudukan kakinya. Sungguhpun ia berhasil menghindarkan diri dari serangan ini, akan tetapi tubuhnya menjadi suli kedudukannya dan Gan Kong tidak mau memberi ampun lagi kepadanya, terus melancarkan tusukan-tusukan dengan kedua tangannya yang dibuka jari-jarinya. Jari tangan yang kuat itu ditusukkan secara bertubi-tubi ke arah leher, lambung, perut, mata, pusar dan sambung menyambung sehingga pemuda she Bun itu menjadi sibuk sekali menangkis, mengelak, dan sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas! Akhirnya ketika keadaan sudah terdesak sekali, Gan Kong menyerang terus sambil tertawa masam dan mengejek.
"Ha-ha! Begini saja ilmu silat Siauw-lim yang buruk dan busuk! Ha-ha! Berkelitlah, tangkislah, larilah...!"
Dan kini setiap kali ia menusuk, ia barengi dengan ejekan-ejekan.
"Awas lehermu, awas perut! Awas mata!"
Dan ini pemuda she Bun itu hanya bisa mundur sambil melangkah berputar-putar di atas panggung dengan napas terengah-engah.
Ketika tusukan ke arah matanya ia hindari, ia kurang cepat dan jari-jari tangan kiri Gan Kong yang kuat telah menyerempet pipinya sehingga robek kulitnya dan darah memenuhi bagian mukanyaini. Pemuda itu terhuyung-huyung, akan tetapi Gan Kong tidak mau berhenti dan terus maju menyerang dengan tusukan ke arah ulu hati yang tentu akan mendatangkan maut apabila terkena. Pemuda she Bun itu cepat menjatuhkan dirinya untuk mengelak dari serangan maut ini, akan tetapi pada saat itu, kaki tangan Gan Kong menyambar sehingga ia terguling-guling di atas panggung. Untung bahwa kaki itu hanya mengenai pahanya, akan tetapi Gan Kong benar-benar kejam. Sambil tertawa-tawa ia memburu dan kakinya yang bersepatu sol besi itu diangkat tinggi untuk diinjakkan keras-keras ke arah kepala pemuda she Bun!
Para penonton menahan napas, bahkan ada yang berseru ngeri dan pemuda she Bun yang maklum bahwa apabila kepalanya kena injak ia akan menderita luka hebat lalu berusaha sedapatnya untuk menghindarkan kepalanya dari serangan ini. Ia bergulingan dengan gerakan Naga Bermain-main Dengan Mustika. Tubuhnya bergulingan dengan cepat, akan tetapi sambil tertawa-tawa Gan Kong mengejar dengan injakan-injakan kedua kakinya. Benar-benar jiwa pemuda she Bun itu terancam hebat! Pada saat itu, Sui Lan tak dapat menahan sabar lagi. Ia melihat betapa tiga orang kawan she Bun itu memandang pucat dan tak berdaya ke atas panggung, maka ia lalu mengeluarkan thi-lian-ci dan dua kali tangannya bergerak menyambit dengan thi-lian-ci berturut-turut ke arah Gan Kong.
Gan Kong yang sedang berusaha menginjak kepala lawannya, tiba-tiba mendengar sambaran angin dekat sekali dengan telinga kanannya. Ia terkejut dan maklum bahwa ada senjata rahasia yang menyambar, maka cepat ia miringkan kepala ke kiri. Tak terduga sama sekali pada saat itu senjata rahasia kedua menyambar ke arah telinga kirinya dan biarpun ia berusaha mengelak, akan tetapi sudah tak keburu lagi. Ia berteriak kesakitan dan pinggir daun telinganya sebelah kiri menjadi robek tertembus thi-lian-ci! Darah mengucur dari daun telinganya dan ia menggunakan tangan untuk menutupi daun telinga kiri itu. Sementara itu pemuda she Bun telah melompat berdiri lalu cepat-cepat melompat turun dari panggung. Bukan main marahnya Gan Kong. Mukanya menjadi merah bagaikan kepiting direbus. Sambil memegangi telinganya ia memandang ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi.
"Bangsat keji yang curang!"
Ia memaki.
"Orang yang melepas senjata gelap, naiklah untuk terima binasa!"
Tak seorangpun melihat gerakan Sui Lan yang amat cepat itu, maka semua penonton terheran-heran melihat betapa tiba-tiba telinga orang kejam itu telah menjadi robek pinggirnya. Semua orang bersyukur melihat bahwa pemuda she Bun itu terhindar dari bahaya maut, akan tetapi sekarang mereka menjadi ketakutan ketika melihat Gan Kong menjadi demikian marah. Sui Lan telah siap untuk melompat naik ke atas panggung, akan tetapi, tiba-tiba dari bawah panggung berkelebat bayangan putih dengan gerakan gesit sekali dan tahu-tahu di depan Gan Kong telah berdiri seorang pemuda yang tampan dan gagah, berpakaian putih bersih dan pinggangnya diikat sabuk sutera biru topinya juga berwarna biru dihias ronce-ronce benang emas.
Sui Lan tercengang dan memandang dengan mata terbelalak heran karena ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang menunggang kuda putih yang pernah bertemu bahkan bertempur dengan dia pada waktu ia baru saja turun dari gunung! Entah mengapa, ia melihat pemuda ini, hatinya berdebar girang, seakan-akan merasa bertemu dengan seorang sahabat lama yang baik! Kalau sekiranya lain orang yang naik ke panggung, tentu ia takkan memperbolehkan dan akan melompat pula dan menggantikan orang itu. Akan tetapi, melihat pemuda itu yang melompat menghadapi Gan Kong ia bahkan merasa girang dan ingin sekali melihat sepak terjang pemuda itu, karena ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian pemuda itu lihai sekali. Dengan senyum lebar pemuda itu berdiri di depan Gan Kong yang memandangnya dengan mata bernyala.
"Kaukah yang melakukan serangan am-gi (senjata gelap) secara pengecut tadi?"
Bentak Gan Kong dengan tangan terkepal karena menahan marahnya. Pemuda itu tersenyum lucu dan menjawab sambil miringkan kepala dan memandang penuh ejekan,
"Bukan, bukan aku. Akan tetapi aku merasa girang bahwa telingamu yang tebal seperti telinga keledai itu diberi sedikit hajaran. Hanya sayang sekali, pelempar thi-lian-ci tadi terlalu seji (sungkan-sungkan), karena seharusnya bukan hanya telingamu yang dihajar, akan tetapi juga mulutmu karena terlalu kurang ajar dan sombong!"
Bukan main herannya hati semua penonton mendengar ucapan pemuda yang luar biasa beraninya ini, dan bukan main marahnya hati Gan Kong mendengar sindiran ini sehingga ia mengertakkan gigi menahan marah. Bahkan Sui Lan juga merasa mendongkol sekali karena dicela oleh pemuda yang lihai itu. Diam-diam ia merasa kagum karena pemuda itu telah tahu bahwa senjata rahasia yang melukai telinga Gan Kong adalah thi-lian-ci dan tiba-tiba Sui Lan merasa mukanya merah dan hatinya berdebar. Kalau pemuda itu telah tahu bahwa senjata rahasia tadi thi-lian-ci, tentu pemuda itu tahu pula bahwa dialah yang melepaskan am-gi itu, karena dulu ia pernah pula menyerang pemuda itu, bahkan encinya, Hwe Lan pernah menyerangnya dengan thi-lian-ci ke arah telinganya!
"Bangsat bernyali besar!"
Teriak Gan Kong dengan marah.
"Aku tidak perlu dengan kau, yang kuminta naik adalah penyerang gelap tadi!"
Pemuda itu tersenyum pula penuh ejekan.
"Bangsat bernyali kecil!"
Ia balas memaki.
"Menurut aturan pibu, siapa yang maju lebih dulu, ia berhak ddilayani paling dulu pula! Tentang Si Penyerang dengan thi-lian-ci tadi, jangan khawatir, nanti dia juga tentu akan muncul untuk menambah dengan beberapa butir thi-lian-ci lagi pada mulut dan hidungmu sampai mukamu penuh dengan thi-lian-ci! Akan tetapi sekarang, akulah yang harus kau layani lebih dulu!"
Diam-diam Sui Lan tersenyum geli mendengar ucapan yang amat nakal dan jenaka itu, dan tanpa diketahuinya, sepasang matanya yang indah itu berseri gembira. Gan Kong memandang tajam kepada pemuda itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa pemuda yang cakap ini usianya paling banyak dua puluh tahun, sikapnya lemah lembut dan cara ia menegakkan kepalanya seperti seorang bangsawan. Dari balik punggungnya nampak gagang pedang yang dironce benang merah.
"Kau siapakah? Apakah kau juga anak murid Siauw-lim-pai? Siapakah namamu?"
"Kau ingin mengetahui namaku? Baiklah, kau memang harus mengetahui namaku agar supaya kau tahu siapakah orangnya yang telah mengalahkan kesombonganmu. Aku bernama The Sin Liong, dan tentang cabang persilatanku, aku harus menyatakan bahwa aku tidak mempunyai cabang persilatan. Aku tidak mau membawa-bawa nama perguruan untuk dipakai menyombong dan menghina lain orang seperti kau dan kawan-kawanmu ini. Kalau kau memang mempunyai sedikit kepandaian, majulah dan kita boleh main-main sebentar. Sebaliknya kalau kau tidak becus apa-apa, lebih baik kau simpan kesombonganmu, pulang kembali ke tempat perguruanmu untuk belajar sedikitnya sepuluh tahun lagi!"
Orang-orang yang menonton mulai merasa gembira mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini. Dengan sikapnya yang lucu dan sama sekali tidak mempedulikan kemarahan orang yang diganda tersenyum saja itu, pemuda yang bernama The Sin Liong ingin melenyapkan suasana tegang dan menimbulkan kegembiraan dalam hati para penonton. Pada saat itu, orang Go-bi-pai yang bermuka kuning dan kurus itu berdiri dan berkata kepada Gan-kong,
"Gan-loheng, biarlah siauw-te yang menghadapi pemuda ini. Kau telah bertempur dan lebih baik beristirahat dulu sambil merawat luka di telingamu."
Gan Kong memang hendak menyiapkan tenaganya untuk menghadapi orang yang telah melukai telinganya, dan karena darah dari daun telinganya masih membasahi leher, ia pikir lebih baik mundur dulu dan memberi giliran kepada kawannya ini. maka ia mengangguk dan melompat mundur. Murid Go-bi-pai ini yang bermuka kuning dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia ahli lwee-keh yang pandai, lalu menghadapi pemuda itu dan berkata,
"Saudara muda yang gagah, sebenarnya datang dari perguruan manakah? Aku Boan Kin dari Go-bi-pai mohon penjelasan."
Melihat sikap anak murid Go-bi-pai ni tidak sesombong Gan Kong, pemuda ini lalu berkata sambil memandang tajam,
"Saudara Boan Kin, lupakah kau akan pelajaran dari perguruanmu bahwa anak murid Go-bi-pai tidak boleh bergaul dengan orang-orang jahat? Akan tetapi kau tidak saja berkawan dengan orang-orang kasar dan jahat, bahkan sambil bersekutu dengan mereka kau hendak menyombongkan nama perguruan dan kepandaianmu, menghina orang lain secara sewenang-wenang? Kalau Pek Bi Locianpwe (Pek Bi Tojin) masih hidup, bukankah kau akan mendapat hukuman berat karena pelanggaran ini?"
Boan Kin tercengang dan wajahnya pucat. Tentu saja sebagai murid Go-bi-pai ia mengerti tentang pelajaran itu dan mengerti pula bahwa Pek Bi Tojin ketika hidupnya amat keras terhadap anak muridnya yang melanggar larangan-larangan. Akan tetapi, tidak sembarangan orang dapat melihat cacat diri sendiri. Ia tidak merasa salah bergaul dengan anak murid Bu-tong-san, dan tidak merasa salah pula menghina orang-orang Siauw-lim yang pernah bermusuhan dengan cabang persilan Go-bi-pai.
"Anak muda!"
Katanya dengan suara mulai menyatakan kemarahannya.
"Jangan mencoba untuk menjadi penasehatku. Urusan peraturan dan lain-lain dari Go-bi-pai adalah urusan perkumpulan kami, kau sebagai orang luar tak berhak ikut campur! Terus terang saja, aku amat benci pada murid-murid Siauw-lim-pai dan kalau kau seorang murid Siauw-lim-pai, kita boleh mengadu jiwa di atas panggung ini. sebaliknya kalau kau bukan murid Siauw-lim-pai dan tidak mempunyai permusuhan dengan kami, lebih baik kau turun saja atau boleh saja kita mengadakan pibu untuk perkenalan!"
"Aduh galaknya!"
Kata Sin Liong sambil tersenyum.
"Memang sukar melihat bisul di punggung sendiri!"
"Apa maksudmu?"
Tanya Boan Kin.
"Melihat bisul di punggung sendiri berarti insaf akan kekeliruan diri sendiri. Baiklah, kau anggap saja aku seorang lancang yang naik ke panggung ini untuk mencoba sampai di mana kelihaian anak-anak murid Go-pi-pai dan Bu-tong-pai yang sombong. Kulihat di sini terdapat dua orang murid Go-bi-pai, mengapa kau tidak maju dengan saudaramu itu?"
Sambil berkata demikian, Sin Liong menuding ke arah anak murid Go-bi-pai yang lebih muda dan yang bermata lebar itu. Para penonton makin terasa heran. Apakah pemuda ini sudah gila dan tidak terlalu gegabah? Sementara itu murid Go-bi-pai yang bermata lebar itu sebetulnya adalah adik kandung Boan Kin dan bernama Boan Swe, watak Boan Swe tidak sesabar kakaknya dan ia terkenal berangasan sekali. Oleh karena itu, mendengar ejekan dan tantangan pemuda itu, ia melompat ke atas panggung dan sepasang matanya yang besar itu makin melebar dan bola matanya berputar-putar mengerikan.
"Bangsat pemuda yang sombong!"
Teriaknya gemas sambil menuding ke arah hidung pemuda itu.
"Apakah kau sudah bosan hidup maka berani bertingkah sesombong ini?"
"Bangsat tua!"
Tha Sin Liong balas memaki dan sengaja menyebut bangsat tua sebagai balasan, sungguhpun Boan Swe baru berusia tiga puluh tahun lebih.
"Kalau aku sudah bosan hidup, nanti aku naik ke panggung ini. Jangan banyak membuka mulutmu yang besar dan jangan pula menakut-nakuti aku dengan sepasang matamu yang seperti mata kerbau itu, kau dan saudaramu ini majulah!"
Akan tetapi, Boan Kin masih merasa ragu-ragu dan malu untuk mengeroyok seorang pemuda seperti ini, karena hal ini akan menjatuhkan namanya, maka ia bertanya,
"Anak muda, benar-benarkah kau menghendaki kami berdua maju bersama? Jangan kau main-main!"
"Saudara yang baik,"
Kata Sin Liong sambil tersenyum sabar.
"aku pernah mendengar bahwa seorang tokoh besar dari Go-bi-pai pernah menciptakan ilmu golok pasangan yang disebut Im Yang Siang-to-hwat dan yang amat kuat apabila dimainkan oleh dua orang. Kau dan kawanmu ini menggendong golok telanjang di punggung, tentu kalian adalah ahli-ahli ilmu golok tersebut. Oleh karena itu, biarlah kalian maju bersama mainkan ilmu golok itu agar aku dapat mengenal kelihaiannya!"
Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo