Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar Siauwlim 9


Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Sekarang yang hendak melakukan upacara mencuci dosa harap berjajr dua puluh orang lebih, ditambah oleh beberapa orang lagi yang tadi tidak berani melakukan upacara cuci muka dengan minyak penas lalu berdiri dan berjajar di sebelah kiri."

   "Enci Hwe Lan, mari kita ikut mencuci dosa!"

   Bisik Sui Lan. Hwe Lan memandang adiknya dengan pandangan penuh kasih sayang, dan bibirnya tersenyum. Ia telah tahu akan kenakalan adiknya ini.

   "Sui Lan,"

   Bisiknya kembali.

   "Dosa apakah yang telah kau perbuat selama kita berpisah?"

   Merahlah wajah Sui Lan dan tangannya mencubit lagi lengan encinya.

   "Apakah kau sayang uang sepuluh tail? Kalau sayang, biarlah aku saja yang membayarnya!"

   Sui Lan teringat akan uang yang dulu ia dapat merampas dari perampok itu. Terpaksa Hwe Lan menuruti kehendak adiknya yang nakal itu dan keduanya lalu berdiri di deret paling akhir. Seorang demi seorang, sebagian besar wanita-wanita muda yang berdiri di deretan itu, maju dan menuju ke tempat pendeta gemuk itu duduk untuk menyerahkan uang sepuluh tail dan sebagai gantinya menerima setangkai kembang merah. Sambil bergerak maju perlahan-lahan dalam "antrian"

   Itu, tiada hentinya Sui Lan longak-longok ke depan dan ia melihat betapa orang yang berdiri paling depan telah berjongkok di depan Sang Dewi itu.

   Ternyata bahwa Ang-hoa Pouw-sat itu memberi secawan air putih kepada seorang yang hendak membersihkan dosanya, kemudian bunga merah yang "dibeli"

   Sepuluh tail perak itu dimasukkan dalam cawan. Setelah dewi itu berdoa, kedua telapak tangan orang yang berlutut di depannya itu ditutupkan ke atas cawan berisi air dan kembang itu. Sang Dewi lalu membuat gerakan-gerakan dengan kedua tangannya seakan-akan menurunkan kotoran yang berada di atas kepala orang itu mengalir turun melalui kedua lengan sampai ke tangan itu, kemudian ia menyuruh orang itu memegang cawan dengan mulut cawan masih tertutup kedua tangan dan mengocoknya keras tiga kali. Lalu ia berkata dengan suaranya yang merdu,

   "Sudah dicuci bersih! Dosa-dosamu yang kotor sudah pindah ke dalam air dan kembang!"

   Orang itu disuruh membuka kedua tangan yang menutup cawan ite telah berubah hitam. Bukan main senang dan puasnya hati orang itu yang kini merasa dirinya "bersih"

   Betul-betul dan ia lalu mengundurkan diri dengan lega dan merasa bahwa pencucian dosa-dosa itu benar-benar murah, hanya sepuluh tail! Ketika giliran Sui Lan dan Hwe Lan untuk menerima kembang merah dari Ang-hoa Sianjin dan membayar sepuluh tail, kedua orang gadis itu melihat betapa sepasang mata pendeta gemuk itu memandang dengan kurang ajar dan bibir pendeta itu yang tebal mengerikan bergulung membentuk senyum simpul!

   Sui Lan merasa jijik sekali dan ia menerima kembang itu yang dilihat-lihat dengan penuh perhatian. Kembang itu adalah kembang hutan biasa saja dan berwarna merah. Lain orang memegang kembang itu sebagai sesuatu yang suci, dan tidak berani main-main, akan tetapi Sui Lan dengan cara main-main melihat, mencium dan membuka-buka kembang itu. Dengan tak sengaja, Sui Lan membuka kuncup bunga yang berada di tengah dan ia merasa heran sekali melihat beberapa butir benda hitam sebesar beras berada di tengah-tengah bunga itu. Ia anggap benda itu kotor sekali seperti tahi cecak, maka ia lalu mengetuk-ngetuk bunga itu untuk mengeluarkan beberapa butir benda hitam itu yang segera jatuh keluar tanpa dilihat oleh siapapun juga.

   Ketika Sui Lan telah tiba di depan Ang-hoa Pouw-sat dan tiba gilirannya untuk "Mencuci dosa,"

   Ternyata bahwa bekas air dari cawan tiap orang yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah guci, hampir memenuhi guci itu dan warnanya hitam sekali! berbeda dengan orang lain yang berlutut dan menyembah sambil menundukkan muka, tanpa berani memandang sama sekali kepada dewi yang suci itu, Sui Lan bahkan melihat dengan mata dibuka selebar-lebarnya. Ketika dewi itu mengangkat muka dan pandangan mata mereka bertemu, Sui Lan melihat sepasang mata yang tajam dan genit. Kini ia dapat melihat jelas betapa bedak yang menutupi muka itu tebal sekali sehingga diam-diam ia merasa geli dan mulutnya tersenyum. Sementara itu, Sang Dewi ketika melihat seorang dara jelita berlutut di depannya dengan pandangan mata menyelidik, cepat menundukkan muka dan berkata,

   "Masukkan kembang itu ke dalam cawan!"

   Dengan menggerak-gerakkan bibirnya secara lucu, Sui Lan memasukkan kembangnya ke dalam cawan dan ia melongok ke dalam cawan seperti lakunya seorang anak kecil.

   "Tutup cawan itu dengan kedua telapak tanganmu!"

   Sang Dewi memerintah lagi dan Sui Lan melakukan perintah ini dengan geli hati. Dewi itu lalu membuat gerakan-gerakan seperti tadi, yakni kedua tangan diangkat, jari-jari tangan dibuka dan digetar-getarkan ke arah kepala Sui Lan, terus turun dan seakan-akan mengalirkan "dosa"

   Yang bersembunyi di dalam tubuh Sui Lan itu melalui kedua lengan ke dalam cawan.

   "Pegang cawan itu dan kocok tiga kali!"

   Dewi itu memerintah lagi dan kembali Sui Lan menurut dan mengocok tiga kali lalu meletakkannya kembali ke atas lantai tanpa membuka tanannya.

   "Sudah tercuci bersih! Dosamu telah berpindah ke dalam cawan, bercampur dengan air dan kembang!"

   Kata dewi itu dengan suara nyaring dan lega, seakan-akan ia merasa girang telah selesai berurusan dengan dara muda yang nakal dan tidak menghormatnya itu. Akan tetapi Sui Lan diam saja karena tidak tahu harus berbuat apa.

   "Bukalah tanganmu dan lihat. Air itu akan menjadi hitam dan kotor, terisi dosa-dosamu!"

   Kata Sang Dewi. Dengan amat ingin tahu, Sui Lan membuka kedua tangannya dan kalau saja muka dewi itu tidak berkedok bedak yang amat tebal, tentu ia akan melihat betapa kulit muka itu tiba-tiba menjadi pucat seperti mayat, karena ketika melihat ke dalam cawan, ternyata bahwa air di situ masih tetap putih bersih dan kmebangnya masih tetap merah!

   Ang-hoa Pouw-sat benar-benar tercengang dan tak tahu harus berbuat apa! Selama ia membuka praktek sebagai dewi pembersih dosa ini, belum pernah terjadi hal seaneh ini. Sebenarnya tidak aneh, karena tadi tanpa disengaja Sui Lan telah menjatuhkan butir-butir hitam yang sengaja ditaruh di dalam kembang untuk menghitamkan air sehingga kembang juga menjadi hitam. Semua orang tidak ada yang menaruh curiga dan menyangka akan hal ini oleh karena kepercayaan mereka menganggap kembang itu sebagai barang suci dan tidak berani meain-main. Kepercayaan ini sebagian besar timbul oleh karena keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Ang-hoa Sianjin. Akan tetapi, sambil tersenyum-senyum dan memainkan sepasang matanya yang jenaka dan berseri, Sui Lan lalu berkata,

   "Ternyata airnya tidak berubah hitam!"

   Dewi itupun cepat dapat menguasai kegugupannya, dan ia lalu berkata dengan lagaknya yang agung dan penuh kesucian sammbil mengangkat kedua lengan ke atas seakan-akan hendak memberi berkah kepada dara muda itu.

   "Anakku, kau ternyata putih bersih seperti air ini dan belum mempunyai dosa! Kalau kau suka kau dapat menjadi muridku, seperti mereka ini!"

   Dewi itu menengok dan memandang kepada tujuh orang gadis cantik di belakangnya. Akan tetapi, Sui Lan tak dapat menahan geli hatinya lagi dan ia berkata dengan agak keras,

   "Ah, setangkai bunga untuk sepuluh tail perak, sungguh amat mahal! Dan dosa-dosaku belum dibersihkan! Ah, mahal sekali!"

   Ributlah semua orang mendengar seruan ini dan semua mata memandang ke arah dara muda yang kini duduk lurus-lurus di depan dewi itu. Dengan tak diketahui orang lain, Ang-hoa Sianjin Si Pendeta Pendek Gemuk tadi tahu-tahu telah berada di dekat Sang Dewi, siap menghadapi segala kemungkinan. Hwe Lan merasa sudah cukup mengacaukan urusan Sang "Dewi,"

   Maka ia menegur adiknya yang nakal itu,

   "Sui Lan, sudahlah! Mari kita pergi dari sini!"

   Mendengar suara ini Ang-hoa Pouw-sat menengok dan memandang kepada Hwe Lan dan tiba-tiba matanya memancarkan cahaya berapi ketika ia memandang muka Hwe Lan. Semenjak tadi, ia memang tidak pernah melihat ke mana-mana dan baru pertama kali ini ia melihat wajah Hwe Lan.

   "Kau...?"

   Tak terasa lagi Sang Dewi berseru dan tiba-tiba ia menggerakkan tangan kirinya memukul ke arah kepala Hwe Lan yang duduknya di sebelah belakang Sui Lan dan tidak jauh dari Sang Dewi itu! Hwe Lan melihat datangnya serangan yang berbahaya dan yang kalau mengenai kepalanya dapat mendatangkan maut itu, menjadi terkejut sekali dan cepat miringkan kepala mengelak. Sedangkan Sui Lan juga tak kurang terkejutnya, berbareng marah sekali.

   "Jangan berani menggangu enciku!"

   Serunya dan cepat sekali tangannya menyambar guci yang penuh dengan air dan kembang hitam itu dan meemparkannya ke arah Ang-hoa Pouw-sat! Dewi cepat melompat mengelak, akan tetapi malang baginya karena biarpun ia dapat mengelak dari sambaran guci, akan tetapi air hitam yang muncrat keluar dari guci itu tanpa dapat dicegah lagi telah menyiram muka dan dadanya!

   Karena kulit mukanya putih dilaburi bedak tebal, maka kini muka itu tersiram air hitam menjadi hitam pula seluruhnya, seperti muka setan dapur! Sui Lan yang berwatak jenaka, ketika melihat hal ini, tak dapat dicegah lagi tertawa terkekeh-kekeh saking geli hatinya. Keadaan menjadi ribut dan para pengunjung menjadi panik dan juga marah kepad dua orang gadis yang mengacaukan dan berani menghina Pouw-sat yang mereka puja. Akan tetapi, rasa takut lebih menguasai hati mereka sehingga mereka berlari keluar dari kelenteng. Ang-hoa Pouw-sat merasa marah sekali sehingga ia melompat berdiri dan mencabut pedang yang dibawa oleh pengiringnya, kemudian ia berseru garang kepada Ang-hoa Sianjin,

   "Tangkap mereka ini!"

   Sui Lan dan Hwe Lan juga telah melompat berdiri dan kini mereka membalikkan tubuh menghadapi Ang-hoa Sianjin, pendeta gemuk pendek yang mereka duga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Ternyata bahwa pendeta gemuk pendek itu telah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangannya memegang sebuah benda yang aneh. Benda ini merupakan sebuah cermin bulat terbuat dari perak, seperti piring perak yang berkilauan cahayanya sehingga menyilaukan mata karena pantulan sinar matahari sengaja ditujukan ke arah muka kedua orang gadis itu. Yang amat menarik perhatian Hwe Lan dan Sui Lan adalah semacam lonceng yang tergantung di bawah piring perak itu dan yang bergerak-gerak ke kanan kiri tasa hentinya dan mengeluarkan suara tik-tak-tik-tak!

   Tak terasa pula kedua orang dara ini memperhatikan benda yang bergerak ini. Sebagaimana kebiasaan para ahli silat apabila menghadapi lawan, yang menarik mereka adalah pergerakan-pergerakan karena dari pergerakan inilah munculnya serangan-serangan. Tubuh pendeta itu tidak bergerak sam sekali, dan benda satu-satunya yang bergerak adalah gantungan di bawah piring perak yang menyilaukan sinarnya itu, maka otomatis mara Hwe Lan dan Sui Lan tertuju kepada benda yang bergerak ini, demikian pula seluruh perhatian mereka. Dan inilah kesalahan mereka. Begitu mereka mengikuti pergerakan benda itu dengan kedua mata, tiba-tiba mereka merasa mata mereka pedas dan kepala pening dan mereka tak kuasa lagi mengalihkan pandang mata dari benda itu. Perlahan akan tetapi jelas dan amat berpengaruh, terdengar suara pendeta gemuk itu,

   "Kalian merasa mengantuk! Nah, nah... kalian tak kuat lagi menahan, matamu ingin dimeramkan. Tidurlah, tidurlah... tidurlah!"

   Aneh sekali, Hwe Lan dan Sui Lan lalu memeramkan mata dalam keadaan berdiri dan mereka tertidur sambil berdiri! Inilah hoat-sut (ilmu sihir) luar biasa yang dipergunakan oleh pendeta gemuk itu untuk mengalahkan Hwe Lan dan Sui Lan dengan amat mudahnya. Beberapa orang pengunjung yang belum meninggalkan tempat itu, demikian pula yang masih berdiri di luar pekarangan kelenteng itu, melihat betapa kedua orang gadis yang tadinya membikin kacau itu kini berdiri bagaikan patung dalam keadaan tidur!

   "Nah, mereka terkena kutuk oleh Pouw-sat!"

   Kata seseorang.

   "Mana mereka dapat melawan Pouw-sat yang suci dan sakti itu,"

   Kata pula orang lain.

   "Baru menghadapi Ang-hoa Sianjin saja mereka tak berdaya, apalagi kalau menghadapi Ang-hoa Pouw-sat. Manusia biasa mana bisa melawan seorang bidadari dari kahyangan!"

   Sementara itu sambil menyeringai puas karena kemenangannya, pendeta gemuk itu lalu memerintah lagi dengan suara berpengaruh,

   "Kalian berlututlah!"

   Dan Hwe Lan bersama adiknya tanpa dapat menguasai pikiran sendiri, lalu menjatuhkan diri berlutut dalam keadaan tak sadar seperti orang tidur pulas.

   Siapakah sebenarnya Ang-hoa Pouw-sat yang amat berpengaruh itu? Apakah benar-benar dia seorang dewi dari kahyangan yang turun ke dunia unutk mencuci dosa manusia? Ah, mana ada kejadian seperti itu! Kasihan orang-orang bodoh yang terpengaruh oleh takhyul bohong semata itu dan yang tanpa disadari telah membiarkan diri tertipu oleh wanita ini. Sebenarnya dia ini bukan lain adalah Ang-hoa Mo-li (Iblis Perempuan Bunga Merah), yakni isteri dari Ang-hoa Sin-mo yang dulu menjadi perampok di dekat rawa dan yang telah dikalahkan oleh Siang Lan dan Kui Hong An. Sebagaimana telah dituturkan di bagian sebelumnya, setelah terkena thi-lian-ci yang dilepas oleh Siang Lan dan terluka di bagian tangannya, iblis wanita ini melarikan diri, meninggalkan suaminya yang berada dalam bahaya!

   Dengan hati menaruh dendam tehadap Siang Lan dan Hong An, wanita ini merantau dan akhirnya bertemulah dia dengan pendeta gemuk pendek yang kemudian berjulukan Ang-hoa Sianjin itu! Dasar Ang-hoa Mo-li memang sudah bejat moralnya, dan dalam usia hampir enam puluh tahun masih nampak cantik, maka pertemuannya dengan pendeta gemuk pendek ini tentu saja tidak dilewatkan begitu saja, karena pendeta itupun terkenal sebagai seorang pendeta cabul yang jahat, akan tetapi yang memiliki ilmu hoat-sut yang lihai serta ilmu silat yang tinggi pula. Mereka mengadakan hubungan dan akhirnya, kedua orang ini lalu mempergunakan ilmu kepandaiannya unutk mengusir dan menakut-nakuti para hwesio di kelenteng yang kini menjadi sarang mereka itu sehingga para hwesio pergi menyerahkan tempat itu kepada mereka.

   Dan semenjak itu mulailah kedua orang jahat ini menjalankan tipu muslihatnya untuk mencari uang dengan mudah. Ang-hoa Mo-li menyamar sebagai dewi kahyangan dengan bergelar Ang-hoa Pouw-sat, sedangkan pendeta itu lalu mengangkat diri sendiri menjadi Ang-hao Sianjin. Berkat kepandaian pendeta itu yang lihai ilmu sihirnya, mereka berhasil menipu rakyat yang pada masa itu masih amat bodoh dan mudah terpengaruh oleh segala ketakhyulan, tidak saja menipu uang mereka, bahkan dalam tipu muslihatnya ini, Ang-hoa Sianjin mendapat kesempatan pula untuk mengganggu anak bini orang sebagaimana terbukti dengan adanya banyak gadis yang suka menjadi murid Ang-hoa Pouw-sat, padahla mereka itu dalam keadaan "Tak sadar"

   Atau berada dalam pengaruh sihir Ang-hoa Sianjin!

   Seperti juga orang-orang lain yang pernah bertemu dengan Siang Lan, ketika Ang-hoa Mo-li melihat Hwe Lan, ia salah melihat dan menyangka bahwa Hwe Lan adalah gadis yang dulu di tepi rawa telah melukainya, maka tanpa dapat menahan nafsu marahnya, ia lalu menyerang. Kalau menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Ang-hoa Mo-li segera menurunkan tangan jahat dan membunuh gadis yang disangka Siang Lan itu, akan tetapi karena pada waktu itu di situ banyak orang menyaksikan, tentu saja ia mengingat akan kedudukannya sebagai dewi dan terpaksa menahan nafsunya. Sementara itu, Ang-hoa Sianjin berpikir lain. Pendeta gemuk pendek ini semenjak tadi telah tergila-gila melihat kecantikan kedua kakak beradik ini, maka setelah ia berhasil mempengaruhi mereka, ia lalu berkata kepada semua orang yang berada di situ dengan suaranya yang garang,

   "Anak-anakku sekalian! Baru saja ada iblis-iblis yang mengotori tubuh kedua gadis ini sehingga hendak mengacau dan menghina Pouw-sat. Akan tetapi berkat kemuliaan Pouw-sat, kedua iblis itu dapat diusir dari tubuh mereka dan kini kedua gadis ini untuk menebus dosa dan membersihkan diri akan diterima menjadi murid!"

   Semua orang menarik napas panjang dan diam-diam memuji kemuliaan hati Ang-hoa Pouw-sat itu. Sementara itu, Ang-hoa Mo-li sudah maklum akan kehendak pendeta gemuk itu akan tetapi ia tidak peduli, karena hal itu juga merupakan pembalasan dendam. Ia hanya berkata,

   "Ikat keduanya!"

   Dua orang penjaga yang berjubah merah lalu menggunakan tambang unutk mengikat tangan kedua orang gadis itu ke belakang. Lalu Ang-hoa Pouw-sat hendak mengundurkan diri untuk mencuci mukanya. Akan tetapi pada saat itu, di luar kelenteng terjadi ribut-ribut ketika seorang pemuda mendorong orang-orang ke kanan kiri untuk minta jalan, lalu berlari masuk dan menghadapi Ang-hoa Pouw-sat sambil memandang marah. Tangan kiri pemuda itu membawa sebuah tempayan berisi darah, sedangkan tangan kanannya memegang pedang.

   "Kau... Kui Hong An?"

   Seru Ang-hoa Mo-li ketika melihat pemuda tampan ini. Memang benar, pemuda itu adalah Kui Hong Ang, murid Kun-lun-pai yang gagah perkasa itu, yang dulu pernah bersama Siang Lan mengalahkan suami isteri Ang-hoa Siang-mo, bahkan Hong An berhasil membunuh Ang-hoa Sin-mo, musuh ayahnya.

   Semenjak tadi, Hong An telah melihat peristiwa itu karena kebetulan sekali iapun berada di kota itu dan ikut pula menonton. Ketika melihat Hwe Lan, Hong An juga mengira bahwa gadis itu adalah gadis yang dulu bersama dia melawan barisan Ang-hoa-tin dari suami isteri Ang-hoa Siang-mo di tepi rawa, maka ia telah bersiap hendak membantu. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa dengan ilmu sihirnya yang luar biasa, Ang-hoa Sianjin telah berhasil menawan kedua orang gadis itu. Ia maklum bahwa ia sendiripun tak dapat melawan ilmu sihir itu, maka Hong An diam-diam lalu pergi dari tempat itu untuk mencari senjata ampuh guna melawan ilmu sihir Ang-hoa Sianjin.

   Dan kebetulan sekali ia melihat senjata ampuh itu sedang makan tulang di laur kelenteng, yakni seekor anjing hitam! Telah menjadi kepercayaan umum di masa itu bahwa segala ilmu hitam dan jahat, paling takut kepada darah anjing hitam yang dianggap mempunyai darah pengaruh mengusir tenaga ilmu hitam itu. Tanpa ragu-ragu lagi Hong An mengerjakan pedangnya, setelah lebih dulu menyediakan tempayan untuk tempat darah. Sekali saja pedangnya berkelebat, leher anjing hitam itu telah terbabat putus dan darah yang mengalir keluar dari leher itu cepat ditadahinya di atas tempayan. Kemudian dengan senjata ampuh ini, Hong An menyerbu ke dalam kelenteng! Ketika Ang-hoa Mo-li melihat kedatangan pemuda ini, ia segera berseru kepada Ang-hoa Sianjin,

   "Tangkap pemuda jahat ini!"

   Ang-hoa Sianjin tertawa geram dan ketika Hong An membalikkan tubuhnya, pendeta itu telah siap dengan piring peraknya yang dapat digunakan untuk melumpuhkan semangat orang. Akan tetapi Hong An telah maklum akan kelihaian piring ini dan sama sekali tidak mau memandangnya. Sebaliknya ia memandang ke arah kaki pendeta itu, tidak mau bertemu pandang mata dan tiba-tiba ia melompat maju sambil berseru,

   "Pendeta siluman! Makanlah darah anjing hitam ini!"

   Tempayan berisi darah anjing hitam itu dengan cepatnya dilemparkan ke arah muka pendeta itu sedangkan pedangnya membarengi gerakan ini menusuk ke arah dada! Ang-hoa Sianjin sama sekali tidak menyangka akan serbuan lawan ini.

   Biarpun ilmu sihirnya lihai, akan tetapi mendengar sebutan darah anjing hitam ini, ia tertegun juga dan semangatnya tak dapat terkumpul. Dalam hal ilmu silat kepandaiannya tidak sangat tinggi, dan ia dipercayai penuh oleh Ang-hoa Mo-li hanya karena memiliki ilmu sihir. Melihat sambaran tempayan, ia mencoba berkelit, akan tetapi darah anjing yang memercik keluar masih tepat mengenai muka dan hidungnya sehingga ia mencium bau yang amat amis dan menimbulkan muak. Dan pada saat itu, pedang Hong An telah tiba di dekat dadanya. Ang-hoa Sianjin hendak mengelak sambil membuang diri ke kiri, akan tetapi Hong An telah mendahuluinya dengan susulan tendangan kaki yang membuat tubuhnya yang gemuk dan bundar itu bergulingan bagaikan seekor trenggiling! Malang baginya, tubuhnya mengguling sampai ke dinding dan kepalanya terbentur dinding yang keras.

   "Duk!"

   Ia terkulai tak berdaya dalam keadaan pingsan sedangkan di kepalanya lalu keluar "Tanduk"

   Di bagian yang tertumbuk dengan dinding tadi. Kasihan...!

   Sementara itu, Ang-hoa Mo-li yang melihat kekalahan Ang-hoa Sianjin, segera memberi perintah dan semua penjaga yang berpakaian merah dan jumlahnya belasan orang itu segera maju mengurung Hong An dengan senjata golok atau pedang. Ang-hoa Mo-li sendiri lalu mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan memimpin anak buahnya melakukan pengeroyokan. Maka terjadilah pertempuran yang seru! Hong An dikeroyok oleh para pendeta Ang-hoa-kauw itu. Adapun Hwe Lan dan Sui Lan yang tadinya berada dalam keadaan tak sadar dan dalam pengaruh ilmu sihir Ang-hoa Sianjin, setelah pendeta itu jatuh pingsan di dekat dinding tanpa daya lagi, kedua dara ini lalu tersadar dan terlepas dari pengaruh sihir yang membuat mereka seakan-akan tidur.

   Alangkah heran dan terkejut hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa kedua tangan mereka terikat tambang. Bagaikan mendapat komando, keduanya lalu mengerahkan tenaga dan "Krek! Krek!"

   Putuslah tambang biasa yang mengikat pergelangan tangan mereka! Mereka otomatis meraba pedang dan merasa girang bahwa pedang mereka tidak dirampas. Sekali mereka menarik tangan, pedang telah berada di tangan dan mata kedua orang dara ini memancarkan cahaya kemarahan yang tak dapat dipadamkan lagi! Mereka melihat betapa Ang-hoa Pouw-sat, dewi yang berbedak tebal itu, sedang mengeroyok seorang pemuda gagah dan betapa Ang-hoa Sianjin rebah pingsan di dekat dinding, maka mereka dapat menduga bahwa mereka tentu tertolong oleh pemuda gagah itu.

   "Dewi palsu! Mari kuantar kau pergi ke neraka!"

   Teriak Hwe Lan yang segera menyerang dengan pedangnya. Begitu gerakan pedang Hwe Lan yang cepat dan ganas itu tiba, dua orang pengeroyok telah kehilangan goloknya yang terpental ketika merasa tangan mereka perih karena terkena sambaran sinar pedang Hwe Lan! Para pengeroyok merasa terkejut sekali, juga Ang-hoa Mo-li merasa terkejut dan ngeri karena dulu pernah ia menyaksikan kelihaian gadis ini yang disangkanya Siang Lan. Hong An memandang ke arah Hwe Lan daengan senyum girang dan berkata sambil mengerjakan pedangnya,

   "Nona, akhirnya kita bertemu pula!"

   Hwe Lan terheran-heran mendengar kata-kata Hong An itu, akan tetapi ia tidak peduli dan terus mengamuk hebat.

   Sedangkan Sui Lan yang tahu bahwa encinya sudah cukup gagah untuk membasmi pendeta-pendeta palsu itu, lalu berpesta pora dengan pedang dan kakinya. Ia menendang roboh meja, menggunakan pedangnya untuk merusak semua benda yang terdapat di ruang itu dan ketika ia melihat betapa pendeta gemuk pendek itu mulai bergerak, sekali ia melimpat, tubuhnya telah berasa di dekat tubuh Ang-hoa Sianjin yang masih rebah miring. Ang-hoa Sianjin sedang berusaha hendak bangun, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Sui Lan mampir di lehernya dan "Ngek!"

   Pendeta cabul yang durhaka itu rebah lagi telungkup dan tak dapat bergerak! Ang-hoa Mo-li yang melihat betapa anak buahnya telah empat orang mengundurkan diri dan terluka, makin merasa gentar dan tiba-tiba ia melompat keluar dari kalangan pertempuran dan hendak melarikan diri ke dalam kelenteng.

   Akan tetapi tangan kiri Hwe Lan bergerak dan tiga butir thi-lian-ci meluncur cepat dan ketiga-tiganya tepat mengenai sasaran, sebuah mengenai belakang leher, kedua mengenai punggung dan ketiga mengenai belakang lutut! Tanpa dapat dicegah lagi tubuh "Dewi Kahyangan"

   Itu terguling sambil mengeluarkan jeritan ngeri! Pada saat itu, dari luar menyerbulah para penonton mengiringkan sepasukan penjaga kota. Ternyata bahwa para penonton telah memberi laporan kepada yang berwajib bahwa kelenteng Ang-hoa-kauw telah kedatangan penjahat-penjahat dan pembesar-pembesar setempat yang juga telah berada di bawah pengaruh kelenteng itu, segera mengirim tentara untuk menangkap! Melihat hal ini, Hong An lalu melompat ke atas panggung tempat Ang-hoa Mo-li biasanya duduk bersila dan ia berkata dengan suara nyaring,

   "Cu-wi sekalian dengarlah keteranganku! Kalian telah ditipu oleh penjahat-penjahat yang menyamar sebagai pendeta ini! Ketahuilah bahwa orang yang kalian anggap sebagai Ang-hoa Pouw-sat itu bukan lain adalah seorang kepala perampok wanita berjuluk Ang-hoa Mo-li (Iblis Perempuan Bunga Merah) yang dibantu oleh seorang penjahat ahli hoat-sut (ilmu sihir) yang mengaku bernama Ang-hoa Sianjin! Pencucian dosa hanya tipu muslihat belaka. Kalian tidak percaya? Carilah kembang merah yang masih tersisa dan periksalah di dalamnya, kalian akan mendapatkan bahwa di dalam kembang-kembang itu terdapat obat yang dapat membuat air menjadi hitam. Kalian telah ditipu tanpa sadar! Kegaiban mereka hanyalah palsu belaka dan buktinya, kalau memang mereka itu gaib dan sakti, mengapa kini roboh oleh kami orang-orang biasa? Sekarang terserah kepada cu-wi unutk melakukan pemeriksaan sendiri!"

   Setelah berkata demikian, Hong An melompat turun di depan Hwe Lan dan berkata,

   "Nona, lebih baik kita pergi dari sini, biarlah penduduk kota ini yang memberi keputusan dan hukuman sendiri!"

   Hwe Lan memandang kagum dan mengangguk. Ia lalu menggandeng tangan Sui Lan dan menyusul pemuda itu yang telah melompat dan pergi dengan cepat dari tempat itu.

   Hwe Lan mengambil buntalan yang tadi dikaitkan di pohon. Kedua orang dara itu melompat naik ke atas kuda yang cukup kuat unutk membawa dua tubuh gadis yang ringan itu. Para penduduk kota itu ketika mendengar ucapan Hong An, menjadi terkejut sekali dan merasa ragu-ragu, demikianpun para anggauta pasukan penjaga kota. Akan tetapi ketika mereka melihat Ang-hoa Sianjin yang dianggapnya kebal dan sakti itu telah rebah tak berkutik lagi, sedangkan Ang-hoa Pouw-sat yang dianggapnya dewi dari kahyangan yang menjelma di atas bumi itu kini telah rebah terluka dalam keadaan pingsan, mereka menjadi tertarik dan mulai merasa curiga. Seorang di antara mereka menuju ke tempat penjualan "bunga pencuci dosa"

   Dan ketika ia mengambil setangkai bunga merah dan memeriksanya dengan teliti, ia berseru,

   "Benar! Di dalamnya ada beberapa butir bahan warna hitam yang biasanya untuk mewarnai benang sulam! Celaka! Benar-benar kita telah tertipu!"

   Maka berbondong-bondonglah mereka memasuki kelenteng itu dan mengadakan pemeriksaan, dan hasilnya membuat mereka menjadi marah sekali. di dalam kelenteng itu terdapat sebuah kamar yang amat indah dan mewah, yakni kamar Ang-hoa Mo-li dan pendeta gemuk itu, karena di dalam kamar itu ditemukan pakaian mereka. Dan selain itu, juga didapatkan banyak sekali uang perak dan emas, hasil yang mereka kumpulkan selama ini! Maka diseretlah kedua orang penipu itu oleh rakyat dan dibawa ke kantor pengadilan. Keadaan mereka telah payah dan biarpun belum mati, akan tetapi mereka tak berdaya lagi. Demikianlah, nasib dua orang jahat yang menipu rakyat secara licin. Ketika Hwe Lan dan Sui Lan tiba di luar kota, ternyata Hong An telah menanti mereka di tempat teduh. Hwe Lan dan Sui Lan melompat turun dari kuda dan memberi hormat kepada pemuda yang tampan dan gagah itu.

   "Baiknya saudara datang menolong, kalau tidak, entah bagaimana nasih kami enci dan adik,"

   Kata Hwe Lan.

   "Maka sudah sepatutnya kalau kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan saudara yang gagah perkasa."

   Hong An tersenyum dan merasa geli karena melihat betapa besar perubahan yang terjadi dengan gadis ini.

   "Ah, nona, kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apakah harus bersungkan-sungkan lagi? Tanpa disangka-sangka dapat bertemu dengan nona di kota itu, sungguh-sungguh merupakan karunia besar dari Tuhan! Bukankah itu suatu tanda baha kita berjodoh untuk... untuk berkawan?"

   Ucapan pemuda ini membuat Hwe Lan merasa heran sekali, akan tetapi Sui Lan yang jahil dan nakal itu menahan senyumnya.

   "Eh, eh, kiranya kalian sudah menjadi sahabat kental! Enci, kau sama sekali belum menceritakan padaku tentang... dia ini!"

   "Hush, tutup mulutmu, Sui Lan!"

   Seru Hwe Lan dan Sui Lan menyembunyikan senyumnya di balik tangannya.

   "Sesungguhnya, aku merasa belum pernah berjumpa dengan saudara, bolehkah kami mengetahui nama saudara?"

   Tanya Hwe Lan pula sambil memandang tajam karena melihat sikap pmeuda yang seakan-akan mengenalnya ini, ia merasa curiga dan berlaku hati-hati. Kembali pemuda itu tersenyum, akan tetapi senyumnya membayangkan kekecewaan hati.

   "Ah, nasib!"

   Katanya.

   "Namaku memang tak berharga unutk diingat orang. Biarlah, kalau memang lupa, namaku adalah Kui Hong An, dan aku anak murid Kun-lun-pai. Bolehkan sekarang aku mengetahui nama nona berdua?"

   Tiba-tiba terdengar Sui Lan mentertawakan.

   "Ha, akal bulus ini kelihatan sekarang! Enci, Hwe Lan, orang ini terang membohong! Kalau ia sudah pernah kenal padamu mengapa tidak mengetahui siapa adanya namamu? He, sobat, jangan kau main-main dengan kami! Pemuda-pemuda ceriwis macam kau ini sudah banyak kulihat!"

   Hong An tertegun, karena memang dulu ketika ia bertemu dengan Siang Lan, gadis itu tidak mau memberitahukan namanya. Akan tetapi, Hong An memang beradat sabar, maka ia hanya tersenyum mendengar serangan Sui Lan ini, katanya.

   "Sudahlah, tidak mau memberi tahu namapun tidak apa karena aku sekarang sudah tahu. Kau bernama Hwe Lan dan adikmu ini bernama Sui Lan!"

   Sui Lan cemberut dan merasa telah kena diakali.

   "Hm, kau mendengar enciku menyebut namaku, dan aku menyebut nama enciku! Bagus, sungguh akal bulus seorang pemuda ceriwis!"

   "Sui Lan, jangan berlaku kasar! Betapapun juga, ia telah menolong kita!"

   Kata Hwe Lan.

   "Menolong? Siapa tahu, mungkin pertolongan itupun termasuk rencananya untuk memikat kita! Mari kita pergi, jangan ladeni segala macam pemuda seperit dia ini!"

   Kata Sui Lan pula yang segera melompat ke atas kuda. Terpaksa Hwe Lan juga melompat ke belakang adiknya di punggung kuda, akan tetapi ia masih memandang kepada Hong An dan berkata,

   "Sahabat, biarlah kita berpisah di sini, karena di antara kita tidak ada hubungan sesuatu. Sekali lagi

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Tiga Dara Pendekar Siauw-Lim (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   
Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
terima kasih!"

   "Eh, nona. Tunggu dulu,"

   Teriak Hong An.

   "Aku bukan seorang pemuda ceriwis dan aku benar-benar inigin sekali berkenalan dengan nona yang kukagumi!"

   Akan tetapi Sui Lan yang duduk di depan telah mencambuk kudanya dan kuda itu berlari cepat pergi dari situ. Hong An berdiri bengong dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar gadis yang aneh. Dulu bertemu tidak mau memberitahukan nama, sekarang bertemu kembali bersama adiknya, bahkan telah menganggapku seperti seorang pemuda kurang ajar dan ceriwis!

   Ia heran melihat perbedaan sikap antara gadis yang tadi dengan yang dulu ia jumpai di dekat rawa. Yang dulu biarpun tidak memberitahukan nama, akan tetapi berwatak sabar dan halus, akan tetapi kedua orang gadis tadi demikian galak dan ketus! Namun, pertemuan kedua kalinya ini membuat hatinya yan telah tertarik kepada wajah Siang Lan, menjadi makin dalam tenggelam ke dalam lautan asmara. Ia mencintai gadis itu, gadis yang selama ini tak pernah ia lupakan. Maka ia lalu menggerakkan kakinya dan menyusul kuda itu! Berhari-hari Kui Hong An mengikuti perjalanan dua orang gadis itu dan akhirnya tibalah mereka di kota Siang-kan-bun! Agar jalannya cerita lebih jelas, lebih baik kita berkenalan dulu dengan Lee Song Kang atau Lee-busu yang berjuluk Sin-to (Golok Sakti) dan yang terkenal menjadi ahli panah itu.

   Lee Song Kang semenjak beberapa keturunan telah menjabat pangkat militer di Kota Raja, bahkan ayahnya dulu menjadi panglima besar yang telah banyak jasanya dalam memerangai pemberontak-pemberontak Tar-tar. Sebagaimana telah menjadi watak keturunan militer, Lee Song Kang selain gagah perkasa, juga beradat keras dan setia. Di dalam pengabdiannya terhadap kerajaan, ia telah menyerahkan seluruh jiwa raganya untuk bersetia, membela Kaisar yang dijunjungnya. Siapa saja yang melawan Kaisar atau dianggap musuh Kaisar, atau yang oleh Kaisar telah ditetapkan hukumannya, tentu merupakan musuh pula. Sebagai seorang perajurit yang baik, Lee-busu tak pernah mau tahu sebab-sebab pertempuran atau peperangann, tidak peduli mengapa terbit pertempuran-pertempuran dan mengapa pula timbul pemberontakan terhadap Kaisar.

   Yang diketahuinya bahwa ia harus maju perang membasmi orang-orang yang dianggap melawan Kaisar, dan bahwa ia harus mengerahkan seluaruh kepandaiannya dan tenaganya untuk berbakti kepada Kaisar sampai titik darah penghabisan, kalau perlu dengan korban nyawa! Oleh karena inilah, maka ia merupakan seorang panglima yang amat berpengaruh dan disegani. Para pembesar dan perwira yang berhati bengkok, yang tidak mendasarkan perjuangan mereka kepada kesetiaan, akan tetapi lebih mendasarkan kepada kedudukan tinggi dan keuntungan pribadi, tidak berani "Main-main"

   Terhadap Lee Song Kang yang jujur dan keras hati. Ketika Kaisar mengumumkan bahwa Siauw-lim-pai harus ditindas dan dibasmi, sehingga terjadi pembakaran kelenteng Siauw-lim-si dan terbunuhnya banyak sekali anak murid Siauw-lim-pai,

   Lee Song Kang juga menjalankan peran terutama untuk melakukan pembasmian ini. Ia hanya kenal perintah Kaisar dan setiap perintah dari Kaisar merupakan tujuan hidup satu-satunya bagi perwira gagah perkasa ini. Demikianlah, dengan memimpin anak buahnya yang telah dilatih sehingga pasukan di bawah pimpinana Lee-busu merupakan pasukan istimewa, bahkan telah dianggap sebagai pasukan Gi-lim-kun (Pasukan Pengawal Pribadi Dari Kaisar), Lee Song Kang berhasil membikin para sisa anak murid Siauw-lim-pai menjadi kocar-kacir dan lari cerai-berai. Tak dapat diherankan lagi bahwa anak murid Siauw-lim-pai yang masih ada merasa amat sakit hati terhadap Lee Song Kang, akan tetapi perwira she Lee ini terlampau kuat dan memiliki pasukan yang pilihan.

   Akan tetapi datang juga pembalasan dendam dari pihak Siauw-lim-pai, tiga orang puterinya diculik oleh Nyo Hun Tiong dalam keributan ketika Nyo Hun Tiong memimpin kawan-kawannya menyerbu ke Kota Raja. Sebagaimana telah diceritakan di bagian terdepan dari cerita ini, Lee Song Kang berhasil melukai Nyo Hun Tiong dengan anak panahnya yang akhirnya menewaskan nyawa pemberontak itu, akan tetapi tak berhasil mendapatkan kembali ketiga orang puterinya. Semenjak kehilangan tiga orang puterinya sekaligus Lee Song Kang menjadi seorang yang paling tidak bahagia hidupnya. Isterinya, seorang wanita bangsawan pula, bagaikan gila karena penderitaan ini dan jarang sekali ia mau membuka mulut. Tiap kali ia bicara dari mulutnya hanyalah sesal dan kemarahan,

   "Kaulah yang berdosa besar, akan tetapi anak-anak kita yang menebusnya!"

   Isterinya pernah berkata sambil memandang dengan muka pucat, akan tetapi tak dapat mengeluarkan air mata karena air matanya telah menjadi kering ditangiskan terus menerus semenjak hilangnya ketiga anaknya, sekering tubuhnya yang kini menjadi amat kurus itu.

   "Dalam kedudukanmu sebagai panglima, kau telah menanam bibit permusuhan yang luar biasa besarnya. Kita hidup seakan-akan dikelilingi oleh bahaya-bahaya yang mengancam dari setiap penjuru, dibenci oleh orang-orang, baik mereka itu pemberontak atau penjahat. Sudah semenjak dulu aku tidak suka melihat kedudukanmu ini. Mengapa kau tidak berhenti saja menjadi pembunuh orang, dan hidup dengan aman sebagai pegawai sipil atau sebagai petani? Bahkan aku lebih suka melihat kau menjadi pedagang dari pada menadi pembunuh dan algojo, sungguhpun yang kau bunuh adalah orang-orang jahat belaka!"

   Lee Song Kang menarik naas panjang. Perlu apakah ia bicara dan membela diri?

   Isterinya takkan mengerti. Wanita takkan mudah mengerti tentang tugas dan kesetiaan, wanita terlalu mudah dipengaruhi perasaan, baik perasaan gembira maupun sedih. Maka perwira yang gagah itu setiap hari hanya duduk melamun dengan pikiran kusut. Semangatnya telah banyak berkurang, dan ia menjadi tidak peduli lagi. Kesedihan kehilangan tiga orang anaknya membuat ia menjadi beku di dalam hati, sungguhpun kesetiaannya terhadap Kaisar takkan lenyap. Akhirnya, karena kasihan melihat isterinya yang tercinta, ia minta dipindahkan jauh dari Kota Raja, ke kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si, di mana ia menjabat pangkat sebagai komandan barisan penjaga keamanan dan penjaga tapal batas Propinsi Kiang-si. Di sini, karena jauh dari Kaisar, ia merasa lebih tenteram hidupnya, tidak seperti kalau dekat Kaisar ia selalu mendapat tugas membasmi orang-orang yang dimusuhi atau dicurigai.

   Akhirnya, bukan karena sengaja, terpaksa ia menurunkan tangan maut pula kepada seorang tokoh Siauw-lim-si, yakni Yap Sian Houw, setelah untuk bertahun-tahun ia beristirahat. Sebagaimana diketahui di bagian depan, kebetulan sekali ia berada dalam rombongan perwira dan bertemu dengan Yap Sian Houw yang mengamuk sehingga akhirnya pendekar she Yap ini terpaksa mengakui kelihaian anak panah dari Lee Song Kang. Selama itu, karena belum mendapat bukti tentang tewasnya ketiga orang puterinya, Lee Song Kang tiada bosannya berikhtiar mencari jejak mereka. Bahkan iapun mencari jejak Nyo Hun Tiong, ia akan dapat menemukan ketiga orang puterinya pula. Bahkan ia lalu mengumumkan bahwa siapa saja yang dapat menemukan Nyo Hun Tiong, mati atau hidup, ia akan memberi hadiah besar.

   Dan setelah mencari-cari dan menanti-nanti dengan sia-sia selama bertahun-tahun, akhirnya, beberapa hari yang lalu berhasil juga usahanya menemukan Nyo Hun Tiong! Akan tetapi, penemuan ini hanya mendatangkan kekecewaan, kecemasan, bahkan kerugian karena ia harus mengeluarkan banyak uang untuk memberi hadiah kepada mereka yang menemukan Nyo Hun Tiong. Ternyata bahwa yang didapatkan hanyalah rangka dari pemberontak she Nyo itu di dalam sebuah hutan, tak kurang tak lebih! Dengan penemuan ini, ia mendapat bukti bahwa nyo Hun Tion sudah mati dan hal ini mempersulit usahanya mencari keterangan perihal anak-anaknya, karena orang satu-satunya yang bertanggung jawab dan yang kiranya akan dapat ditanya di mana adanya ketiga orang anaknya,

   Kini telah menjadi tulang belulang! Dan setelah melihat tulang-tulang dari mendiang Nyo Hun Tiong itu, timbullah penyesalan besar di dalam hati Lee Song Kang. Ia menganggap bahwa pembalasan dendam Nyo Hun Tiong itu terlalu berat baginya dan ia mulai merasa menyesal mengapa ia dulu begitu kejam untuk membunuh para pemberotak yang merasa tidak puas dengan ketidak adilan Kaisar! Setelah pindah jauh dari Kota Raja, barulah terbuka mata Lee Song Kang bahwa sesungguhnya sistim pemerintahan di bawah pimpinan Kaisar yang sekarang itu amat buruknya dan amat menindas rakyat! Ia mulai menyesal sekali mendapat kenyataan bahwa orang yang dibelanya, yang dihormatinya, yang dijunjungnya tinggi, ternyata adalah seorang Kaisar yang kurang adil dan kurang bijaksana!

   Namun, ini tidak berarti bahwa kesetiaannya terhadap Kaisar menjadi cair! Tidak! Sebagai seorang keturunan militer sejati, Lee Song Kang tetap setia kepada Kaisar, hanya semangat dan kebenciannya terhadap para pemberontak banyak berkurang bahkan hampir padam sama sekali! Bahkan ia lalu menyuruh membakar rangka Nyo Hun Tiong dengan sepatutnya, dan menyimpan abu bekas musuhnya ini, disediakan meja sebahyang dan sering kali ia bersembahyang minta maaf kepada arwah Nyo Hun Tiong dan minta diberi tanda di mana adanya ketiga orang anaknya sekarang! Malam hari itu terang bulan, dan semenjak sore hari kedua suami isteri Lee itu bercakap-cakap di ruang di mana terdapat meja sembahyang dari abu mendiang Nyo Hun Tiong.

   "Aku masih mempunyai keyakinan penuh bahwa ketiga anak kita masih hidup,"

   Kata Lee Song Kang.

   "Suamiku,"

   Jawab isterinya dengan suara sedih.

   "lebih baik jangan diulangi hal itu. Berkali-kali kau menyatakan demikian, tak lain hanya sebagai penghibur hampa belaka. Mana buktinya bahwa anak-anak kita masih hidup?"

   Lee Song Kang menunjuk ke arah meja abu Nyo Hun Tiong dan berkata,

   "Kuburan orang she Nyo itu telah didapatkan dan kalau anak-anak kita telah mati pula tentu rangka mereka diketemukan di dekat rangkanya, karena ketika aku berpisah dengan dia, ketiga anak kita berada bersama dia! Tentu ada orang yang telah memungut dan menolong anak-anak kita itu, akan tetapi entah di mana mereka berada. Telah kukerahkan anak buahku untuk mencari keterangan di sekitar tempat itu, akan tetapi tak seorangpun pernah melihat atau mendengar tentang mereka."

   Perwira itu menarik napas panjang dan nampak sedih sekali.

   "Satu-satunya orang yang akan dapat memberi keterangan telah menjadi rangka, dan kematiannya karena senjatamu pula...! Ah, kalau saja kau tidak bermusuhan dengan dia...!"

   Nyonya Lee kembali mengulangi penyesalannya.

   Lee Song Kang tidak menjawab, hanya berdiri dengan lemas dan menuju ke meja sembahyang itu, menyalakan lilin lalu bersembahyang lama sekali, seakan-akan mengajukan permohonan kepada arwah Nyo Hun Tiong. Pada saat itu, Nyonya Lee yang sedang duduk melamun, tiba-tiba melihat dua bayangan orang yang gesit sekali gerakannya melompat turun dari atas genteng dan tahu-tahu dua orang gadis muda yang cantik jelita berdiri di ruang itu sambil menujukan pandang mata mereka ke arah Lee Song Kang dengan penuh kebencian. Nyonya Lee menjerit karena kaget dan takut, sedangkan Lee Song Kang sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, telah mendengar pula suara kaki mereka ketika turun, dan cepat melompat ke dekat isterinya untuk melindunginya.

   "Siapa kalian dan apa kehendka kalian datang pada waktu seperti ini?"

   Tanyanya sambil memandang tajam, sedangkan Nyonya Lee memandang dengan muka pucat. Dua orang gadis ini bukan lain adalah Hwe Lan dan Sui Lan yang akhirnya dapat mencari rumah gedung Lee Song Kang musuh besar mereka. Hwe Lan tersenyum sinis ketika ia bertanya,

   "Apakah kami berhadapan dengan Lee-ciangkun, perwira kerajaan yang berjuluk Sin-to dan yang mempunyai keahlian dalam ilmu memanah?"

   "Perwira busuk yang telah membunuh mati Nyo Hun Tiong dan juga Yap Sian Houw?"

   Sui Lan ikut bertanya sambil memandang tajam, akan tetapi gadis ini beberapa kali memandang ke arah Nyonya Lee yang duduk dengan tubuh menggigil, karena ia merasa seakan-akan pernah melihat nyonya tua ini. Lee Song Kang yang biasanya berwatak tabah dan berani itu, kini merasa tidak enak hati.

   "Benar,"

   Jawabnya dengan suara tenang.

   "Memang akulah yang bernama Lee Song Kang dan berjuluk Sin-to serta dapat mempergunakan anak panah. Tentang Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw, karena mereka itu pemberontak-pemberontak, maka di dalam pertempuran, mereka telah erluka oleh anak panahku!"

   Mendengar jawaban yang tenang ini, tiba-tiba kedua orang gadis itu dengan gerakan hampir berbareng telah mencabut pedang dari punggung masing-masing, dan sikap mereka menjadi beringas karena marah.

   "Orang she Lee!"

   Hwe Lan berseru.

   "Kalau begitu, benarlah dugaan kami bahwa kau adalah musuh besar kami! Bersiaplah untuk menerima binasa dalam tangan kami, anak murid Siauw-lim-pai!"

   Lee Song Kang mengeluh di dalam hatinya.

   "Ah, masih saja kalian anak murid Siauw-lim-pai mendendam dan memperbesar pemusuhan! Ji-wi siocia (Nona berdua) harap suka bersabar dan mengendalikan kemarahan. Untuk apakah permusuhan ini dilanjutkan? Aku telah mulai merasa bosan dengan permusuhan-permusuhan ini dan telah lama aku merasa menyesal dengan adanya permusuhan yang tiada habisnya ini! Sadarlah, nona dan kuharap kalian suka pergi lagi dengan aman. Aku sudah tua dan sudah cukup menderita, tak mau aku menambah dosa lagi dengan bertanding melawan gadis-gadis muda seperti kalian!"

   Suara perwira itu menggetar karena ia merasa amat terharu. Kalau anak-anakku masih hidup, tentu seperti mereka inilah, pikirnya!

   "Pengecut!"

   Hwe Lan memaki marah.

   "Karena kau takut kepada kami maka kau memutar lidah seperti itu! Mengapa kau tidak berpikir demikian ketika kau membunuh orang-orang Siauw-lim-pai dulu? Dosamu telah bertumpuk, dan kami telah bersumpah untuk membalaskan dendam Nyo Hun Tiong, terutama membalaskan dendam Yap Sian Houw, guru dan ayah angkat kami!"

   Sambil berkata demikian Hwe Lan melompat maju menusuk dada Lee Song Kang dengan gemasnya. Akan tetapi Lee Song Kang mengelak dan melompat mundur.

   "Nanti dulu!"

   Katanya dan kini wajahnya berubah keras.

   "Tak ada orang yang boleh menyebutku pengecut atau menyangka aku tidak berani menghadapi lawan! Akan tetapi, dengarlah dulu, nona muda! Kau hanya murid Yap Sian Houw dan biarpun kalian berdua mempunyai sedikit kepandaian, akan tetapi kalau kalian memaksa aku mengangkat senjata, berarti kalian mencari mati sendiri! Aku tidak mau melayanimu bukan karena takut, akan tetapi karena merasa sayang kalau nona-nona muda seperti kalian ini akan menjadi korban pula. Kalau sampai kalian binasa di tanganku, hatiku akan makin merasa menyesal lagi. Kalian masih anak-anak, bagaimaan mungkin akan mengalahkan aku? Sedangkan gurumu sendiri, Yap Sian Houw, masih tak dapat mengalahkan aku! Kalian lihat!"

   Setelah berkata demikian, Lee Song Kang mengeluarkan gendewanya berikut anak-anak panahnya yang berbentuk kecil itu dari pinggangnya dan begitu tangannya bergerak, tiga batang anak panah dengan cepat sekali meluncur ke atas dan dengan rapi menancap di tiang atas, berjajar dengan baiknya seakan-akan diatur. Hwe Lan dan Sui Lan diam-diam memuji melihat kepandaian ini, karena cara mempergunakan anak panah itu demikian cepat samapi hampir tak terlihat dan anak-anak panah itu menancap setengahnya lebih. Akan tetapi, tentu saja dua orang pendekar wanita ini tidak akan gentar, bahkan Hwe Lan mengeluarkan suara mengejek lalu berkata,

   "Apakah anehnya kepandaian macam itu? Jangan mencoba menakut-nakuti kami!"

   Belum habis ia bicara, tangan kirinya telah bergerak dan tiga butir thi-lian-ci menyambar ke arah anak-anak panah yang menancap di tiang itu.

   "Krek, krek, krek!"

   Dan berjatuhanlah potongan-potongan anak panah itu karena ternyata tengah-tengahnya telah putus semua tersambar biji teratai besi itu! Bukan main kagetnya Lee Song Kang melihat demonstrasi kepandaian Hwe Lan ini.

   "Ah, tidak tahunya kalian memiliki kepandaian tinggi!"

   "Ha-ha, enci, lihat muka pengecut itu. Ia telah menjadi pucat!"

   Sui Ln mengejek sambil menuding dengan pedangnya. Panas juga hati Lee Song Kang melihat sikap kedua dara muda itu, maka ia lalu mencabut goloknya dan berkata,

   "Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kalian jangan menyia-nyiakan kepandaian dan usia mudamu. Pergilah sebelum terlambat, karena betapapun juga, kalian takkan bisa mengalahkan golokku!"

   "Bangsat hina dina jangan banyak cakap!"

   Seru Hwe Lan yang segera maju menyerang dengan pedangnya, Sui Lan tidak mau tinggal diam karena hatinyapun penuh dengan dendam, maka iapun maju pula menyerang. Lee Song Kang cepat memutar goloknya menangkis dan ketika goloknya yang sengaja digerakkan keras untuk membentur kedua senjata nona itu membuat pedang-pedang itu terpental, barulah ia merasa terkejut.

   Tidak saja gerakan kedua nona muda itu demikian cepat, juga ketika goloknya yang digerakkan keras-keras membentur kedua pedang, sedikitpun kedua lawannya tidak nampak kaget dan pedang mereka tidak terpental, bahakn peraduan ketiga senjata itu menerbitkan suara nyaring dan bunga-bunga api memercik keluar! Ia maklum bahwa kedua orang gadis ini benar-benar memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, maka ia lalu memainkan goloknya dengan cepat untuk melindungi dirinya. Nyonya Lee Song Kang yang melihat pertempuran ini, hanya dapat memandang dengan wajah pucat karena hatinya berdebar keras ketika melihat munculnya dua orang gadis ini. Entah mengapa, ia merasa seakan-akan ada sesuatu yang aneh di dalam hatinya terhadap kedua gadis itu dan merasa bahwa tidak seharusnya suaminya mencelakai kedua anak perempuan ini. Berkali-kali ia berseru,

   "Jangan berkelahi... jangan berkelahi...!"

   Akan tetapi ketiga orang itu tidak mendengar suaranya dan masih bertempur dengan hebat dan sengitnya.

   Lee Song Kang maklum bahwa menghadapi dua orang gadis yang baik sekali ilmu pedangnya ini, ia tak dapat hanya mempertahankan diri saja, maka iapun membalas dengan serangan-serangannya yang cukup lihai. Sementara itu, pada saat Lee Song Kang bertempur melawan Hwe Lan dan Sui Lan dengan hebatnya, disaksikan oleh Nyonya Lee yang duduk seperti patung dan muka pucat, di luar gedung terjadi hal lain yang menarik pula. Sebagaimana telah diketahui di bagian terdahulu, Siang Lan roboh pingsan dalam pelukan Nyonya Pangeran Souw Bun Ong ketika ia mnedapat keterangan bahwa Lee-busu, yakni perwira Lee Song Kang yang dianggap musuh besarnya dan yang hendak dicarinya untuk pembalasan dendam, ternyata adalah ayahnya sendiri!

   Setelah sadar dari pingsannya, nona ini merasa bingung sekali dan mengingat bahwa Hwe Lan pergi ke Siang-kan-bun untuk membunuh perwira Lee itu, ia cepat menyatakan hendak menyusul dan mencegah adiknya melakukan pembunuhan kepada ayahnya sendiri! Sungguhpun Kota Raja masih terjaga keras, akan tetapi berkat pertolongan Pat-jiu Sin-kai yang memancing kekacauan di pintu kota sebelah selatan sehingga para penjaga mengejar-ngejarnya, dikepalai oleh Wai Ong Koksu dan perwira-perwira lain, maka Siang Lan berhasil menerobos keluar dari pintu selatan itu. Selain dia juga Souw Cong Hwi dan The Sin Liong ikut serta. Mereka bertiga naik kuda yang disediakan oleh Pangeran Souw Bun Ong, dan dengan cepat ketiga orang muda itu keluar dari kota, membalapkan kuda menuju ke kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si.

   Mereka akhirnya tiba di kota Siang-kan-bun, sama sekali tidak tahu bahwa pagi tadi, Hwe Lan dan Sui Lan juga baru saja masuk kota itu dan kini berdiam di lain rumah penginapan! Dan juga mereka bertiga yang datangnya telah malam, tidak tahu bahwa ada seorang pemuda yang memandang mereka dengan mulut melongo dan mata terbelalak lebar saking herannya, dan yang mengikuti mereka dengan diam-diam. Pemuda ini bukan lain adalah Kui Hong An! Sebagaimana diketahui, Kui Hong An mengikuti perjalanan Hwe Lan dan Sui Lan yang meninggalkannya dengan berkuda. Akan tetapi, Hong An tetapi mengikuti jejak mereka sampai ke kota Siang-kan-bun, dan tepat setibanya di kota itu ia melihat Siang Lan yang ebrkuda bersama dua orang pemuda gagah. Terntu saja Hong An merasa terheran-heran, karena ia menyangka bahw Siang Lan adalah Hwe Lan yang ia sedang ikuti.

   Ke manakah perginya Sui Lan? Dan bagaimana pula gadis ini tahu-tahu telah berkuda bersama dua orang pemuda ini? Benar-benar Hong An merasa bingung dan tak mengerti, maka ia tetap mengikuti Siang Lan yang disangkanya Hwe Lan itu! Memang, Hong An telah mengalami peristiwa yang amat luar biasa. Dulu, di dekat rawa, ia pertama-tama bertemu dengan Siang Lan yang tidak memberitahukan namanya. Kemudian ia bertemu dengan Hwe Lan yang ia sangka Siang Lan, dan kini, ia bertemu dengan Siang Lan yang disangkanya Hwe Lan! Baru mengikuti pengalamannya yang aneh ini saja, orang bisa menjadi bingung karenanya! Karena merasa amat gelisah dan khawatir, ketiga orang muda ini tidak menunda perjalanan dan begitu masuk kota Siang-kan-bun, mereka langsung mencari rumah perwira Lee dan menuju ke sana.

   Diam-diam Hong An tetap mengikuti dari belakang, ingin tahu apakah yang hendak dilakukan oleh gadis yang telah merebut hatinya itu. Siang Lan dan dua orang kawannya meninggalkan kuda di luar gedung dan melompat ke atas genteng. Hong An menyusul mereka dan bersembunyi di atas genteng pula. Pada saat Siang Lan mendekam di atas genteng bersama Souw Cong Hwi dan The Sin Ling, pertempuran antara Lee Song Kang dan kedua orang gadis itu masih berjalan seru. Tiba-tiba muncul beberapa orang anak buah perwira Lee yang mendengar suara pertempuran itu, dan melihat komandan mereka dikeroyok oleh dua orang gadis, mereka berlari dengan pedang di tangan untuk membantu. Sui Lan melihat kedatangan mereka, lalu berkata kepada Hwe Lan,

   "Enci Hwe Lan, kau hadapi perwira jahanam ini, biar aku yang membasmi tikus-tikus itu!"

   Ucapan ini mendatangkan akibat yang hebat sekali, terdengar Nyonya Lee menjerit ngeri sedangkan Lee Song Kang sendiri melepaskan goloknya dan ketika pedang Hwe Lan menusuknya, ia hanya menangkis dengan lengannya sehingga terdengar kain robek ketika lengan bajunya beradu dengan pedang dan lengan baju itu segera menjadi basah dengan darah yang mengucur dari lengannya! Nyonya Lee menubruk maju dan dengan telunjuk tangan gemetar ia menuding kepada Hwe Lan.

   "Kau... kau Hwe Lan...! Dan kau..."

   Ia memandang Sui Lan.

   "Kau tentu Sui Lan...! Di mana adanya Siang Lan...? Ya Tuhan Yang Maha Agung...! Kalian benar Hwe Lan dan Sui Lan..., dan... dan kalian datang hendak membunuh ayahmu sendiri...? Di mana Siang Lan... di mana?"

   Ia melangkah maju menghampiri Hwe Lan dan Sui Lan yang berdiri dengan mata terbelalak dan tak dapat bergerak seperti patung. Tiba-tiba dari atas genteng terdengar jawaban nyaring dibarengi isak,

   "Ibu, anakmu Siang Lan berada di sini...!"

   Pada saat itu, dari atas genteng berkelebat turun tiga bayangan orang. Siang Lan terus berlari menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ibunya, yang segera memeluknya.

   "Benar... kau Siang Lan... Ya ALLAH terima kasih..."

   Ibu yang selama bertahun-tahun merindukan pertemuan ini akhirnya tak dapat menahan getaran hatinya dan roboh pingsan dalam pelukan Siang Lan! Dua bayangan yang lain adalah Souw Cong Hwi yang segera menghampiri Hwe Lan dan The Sin Liong yang menghampiri Sui Lan.

   

Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini