Ceritasilat Novel Online

Wanita Iblis Pencabut Nyawa 4


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Liem Siang Hong tertawa, suara ketawa seorang yang bebas lepas dan gembira.

   "Saudara Kwee, kekhawatiranmu itu tidak berdasar sama sekali. Dan aku dapat membebaskan kau dari dua macam kekhawatiran itu. Pertama, kau takkan kembali ke tempat itu. Orang seperti kau, yang pandai menulis sajak demikian indahnya, tidak pantas menjadi pekerja kasar, lebih-lebih tidak patut tewas di ujung cambuk seorang serdadu yang tak bertanggung jawab. Kedua, tentang budi, tak perlu kau memikirkannya, karena aku menolongmu bukan dengan maksud melepas budi. Tidak ada hutang piutang dalam hal ini. Sebagai seorang yang mengutamakan kegagahan, aku tidak dapat berpeluk tangan saja menyaksikan peristiwa yang tidak adil. Betapapun juga, kalau kau berkeras hendak membalas budi, dapat saja!"

   Mendengar ucapan perwira yang gagah ini, terharulah hati Kwee Siong. Ia segera turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan perwira itu. Tak dapat dicegah lagi air mata mengalir disepanjang pipinya ketika ia berkata,

   "Ah, sungguh tak pernah kusangka. Awan yang gelap dan tebal menutupi seluruh langit, akan tetapi masih dapat muncul bintang terang seperti kau, ciangkun. Katakanlah, bagaimana aku dapat membalas budimu?"

   Liem Siang Hong cepat-cepat memegang kedua pundak Kwee Siong dan menariknya bangun, lalu menuntunnya duduk di atas pembaringan itu.

   "Sabarlah, saudaraku yang baik, dan jangan berlaku seperti anak kecil. Tentu saja kau dapat membalas budi, yakni dengan kepandaianmu tulis menulis itu. Aku mempunyai seorang putera yang baru berusia dua tahun, dan aku mengharap kelak kau dapat mendidiknya dalam ilmu sastera."

   Makin terharulah hati Kwee Siong. Ia maklum bahwa ucapan ini hanya merupakan hiburan saja, agar ia tidak merasa berhutang budi pula. Mana ada seorang ayah yang telah mencarikan guru sastera untuk seorang puteranya yang baru berusia dua tahun? Akan tetapi ia menjawab juga dengan sepenuh hati,

   "Tentu saja, Liem-ciangkun, aku bersedia mendidik puteramu itu."

   Demikianlah, kedua orang itu bercakap-cakap sampai jauh malam dan makin lama mereka merasa makin cocok satu kepada yang lain. Biarpun yang seorang ahli sastra, dan orang kedua ahli silat, namun jiwa dan watak mereka tak jauh berbeda. Mereka menjunjung tinggi keadilan, kebajikan, dan kegagahan dalam cara masing-masing. Dengan suara mengharukan, Kwee Siong menuturkan riwayatnya. Ia telah setahun lebih berada di tempat itu, bekerja sebagai pekerja kasar, meninggalkan isterinya yang kini entah bagaimana nasibnya. Mendengar penuturan ini, Liem Siang Hong merasa marah sekali. Ia mengepal-ngepal tinjunya dan berkata,

   "Sayang sekali kau tidak kenal siapa adanya komandan pasukan pengumpul tenaga pekerja itu, kalau kau tahu, tentu aku akan mencarinya dan memukul pecah kepalanya."

   Kemudian ia menarik napas panjang.

   "Akan tetapi, sesungguhnya hal semacam ini telah lama kudengar, dan aku merasa amat menyesal. Memang banyak sekali orang-orang jahat mempergunakan kesempatan, baik untuk memeras rakyat dan memperkaya diri sendiri, bagaikan anjing-anjing rendah yang memuaskan mulutnya dengan daging manusia yang gugur berserakan di dalam peperangan. Jangan khawatir, saudaraku, aku akan mencari isterimu itu agar kau dapat bertemu kembali dengan dia."

   Saking terharu dan girangnya, Kwee Siong lalu menubruk dan memeluk Liem Siang Hong sambil mengalirkan air matanya.

   Entah mengapa, hati Liem Siang Hong yang tadinya keras itu kini menjadi luluh dan ia merasa amat suka dan kasihan kepada orang muda yang tampan ini. Bahkan, mereka lalu menanyakan usia masing-masing dan mengangkat saudara pada malam hari itu juga. Liem Siang Hong ternyata lebih tua empat tahun sehingga Kwee Siong lalu menyebutnya Liem-twako dan Liem Siang Hong menyebutnya Kwee-te (adik Kwee). Atas usaha Liem Siang Hong, diselidikilah leadaan isteri Kwee Siong di dusun Tai-kun-an, akan tetapi alangkah sedih dan terkejutlah hati Kwee Siong ketika ia mendengar berita bahwa isterinya, yakni Sui Giok, dikabarkan telah tewas di dalam hutan bersama dengan para serdadu, menjadi korban Toat-beng Mo-li yang marah dari dalam hutan yang menyeramkan itu. Kwee Siong roboh pingsan ketika mendengar berita ini dan setelah ia siuman kembali, ia dihibur oleh Liem Siang Hong.

   "Adikku, percayalah, aku sendiri merasa amat berduka karena adanya berita ini. Setelah aku tahu bahwa isterimu adalah seorang she Liem juga, maka makin eratlah perasaan hatiku terhadapmu. Anggaplah saja aku sebagai kakak isterimu sendiri, dan jangan kau terlalu berduka sehingga membahayakan kesehatan tubuhmu. Sekarang lebih baik kau turut kepadaku saja dan tinggal bersamaku di kota Tai-goan."

   Sambil terisak-isak Kwee Siong berkata,

   "Tidak, Liem-twako, aku sudah terlampau banyak berhutang budi kepadamu. Aku tidak dapat mengganggumu lagi dengan menumpangkan diriku yang amat sial dan selalu dirundung malang ini. Biarlah aku pergi merantau, entah ke mana saja, karena akhirnya aku toh akan mati juga. Lebih cepat lebih baik, karena hanya kematian saja yang akan membawa aku kepada isteriku..."

   Tiba-tiba Liem Siang Hong berseru keras.

   "Apakah kau ingin menjadi seorang yang Bong-im-pwe-gi (manusia tak kenal budi)??"

   Biarpun ia sedang menangis sedih, mendengar tuduhan ini Kwee Siong mengangkat mukanya dan memandang wajah kakak angkatnya itu dengan heran dan penasaran.

   "Kau sudah berkali-kali menyatakan berhutang budi kepadaku dan hendak membayar budi itu dengan mendidik puteraku, mengapa sekarang ikut tinggal di rumahku saja kau tidak mau?"

   Biarpun ucapan Liem Siang Hong ini seperti orang marah dan terdengar kasar, akan tetapi Kwee Siong maklum sedalam-dalamnya bahwa itu adalah akal yang dipergunakan oleh perwira itu untuk menolongnya dan memaksanya tinggal di rumahnya. Makin terharulah hatinya dan tangisnya makin menjadi, sehingga ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata lain dan hanya menutupi mukanya dengan kedua tangan. Akhirnya dapat juga Kwee Siong berkata.

   "Thian Yang Maha Kuasa tahu betapa besar rasa terima kasihku kepadamu, Liem-twako, dan biarlah aku bersumpah bahwa semenjak saat ini, aku Kwee Siong akan selalu menurut segala kata-katamu."

   Diam-diam Liem Siang Hong tersenyum puas dan demikianlah, perwira muda yang baik hati ini membawa Kwee Siong ke rumahnya, sebuah rumah gedung di kota Tai-goan, kota terbesar di propinsi Shansi. Dalam usahanya untuk membahagiakan Kwee Siong dan membangun kembali rumah tangga yang telah roboh serta menghibur hatinya daripada kedukaan karena kematian isterinya yang tercinta, Liem Siang Hong diam-diam lalu menghubungi sahabat-sahabatnya yang bekerja dekat dengan kaisar. Ia memperlihatkan sajak buatan Kwee Siong dulu itu dan semua orang bangsawan yang membaca sajak itu, menjadi kagum sekali. Akhirnya, beberapa bulan kemudian, berhasillah Liem-ciangkun untuk menghaturkan sajak itu kehadapan Kaisar, setelah ia menghubungi pembesar-pembesar tinggi di kota raja.

   Kaisar amat suka membaca sajak itu, bukan karena di dalamnya terdapat pujian untuk kaisar, akan tetapi karena sajak ini dapat dipergunakan untuk membangkitkan semangat rakyat dan untuk menggembirakan para pekerja yang tenaganya amat dibutuhkan. Sajak itu lalu dibuat banyak sekali untuk ditempel-tempelkan di tempat kerja yang sedang dilakukan seperti pada tembok-tembok besar yang sedang dibangun kembali, di saluran besar, di tempat pembuatan kapal dan lain-lain. Alangkah heran dan kagetnya hati Kwee Siong ketika pada suatu hari, Liem Siang Hong masuk ke dalam kamarnya sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti seorang anak kecil mendapat hadiah yang amat menyenangkan. Kwee Siong hanya memandang dengan mulut celangap dan mata melongo. Gilakah kakak angkatnya ini?

   "Adikku yang baik, kionghi, kionghi (selamat, selamat)!"

   Kata perwira muda itu dengan wajah girang sekali.

   "Eh, eh, kau ini kenapakah, Liem-twako?"

   Tanya Kwee Siong sambil menggaruk-garuk kepalanya.

   "Aku? Bukan aku, akan tetapi kaulah yang kenapa-kenapa. Kau telah menjadi pembesar negeri, adik Kwee. Kau diangkat oleh kaisar menjadi kepala kantor cabang di kota ini, kepala kantor urusan pengumpulan tenaga pekerja pembangunan."

   Bukan main kaget dan herannya hati Kwee Siong mendengar ucapan ini.

   "Eh, Liem-twako, harap kau jangan main-main!"

   "Siapa main-main? Hayo, kau buktikanlah sendiri!"

   Sambil berkata demikian, Liem-ciangkun lalu memegang tangan Kwee Siong dan ditariknya Kwee Siong keluar dari kamar, menuju ke ruang depan.

   Ketika melihat bahwa di dalam ruang tamu itu duduk seorang pembesar yang membawa lengki (bendera tanda pesuruh kaisar), Kwee Siong merasa bulu tengkuknya berdiri dan cepat ia bersama Liem Siang Hong menjatuhkan diri berlutut. Berhadapan dengan seorang pembesar pembawa lengki, sama halnya dengan berhadapan dengan kaisar sendiri, oleh karena pesuruh itu merupakan wakil kaisar. Dengan suaranya yang parau, pesuruh tua itu lalu membacakan firman kaisar tentang pengangkatan Kwee Siong itu. Liem Siang Hong menjamu pembesar pesuruh itu, lalu memberi bekal banyak barang berharga sambil mengantarkan orang itu keluar untuk pulang ke kota raja. Dan semenjak saat itu, Kwee Siong telah menjadi pembesar. Pakaian kebesaran dan cap kebesaran telah berada di atas meja dalam kamarnya.

   Kwee Siong mendapatkan kembali kegembiraan hidupnya setelah ia diangkat menjadi kepala bagian pengumpulan tenaga rakyat, dan menjadi pembesar di kota Tai-goan. Semenjak dia yang memegang jabatan itu, banyak terjadi perobahan. Ia melarang keras menggunakan tenaga rakyat secara paksa dan serampangan saja. Ia mengharuskan para serdadu memilih orang-orang muda yang kuat, mengerjakan orang-orang tua dan orang-orang lemah di bagian yang ringan. Ia seringkali mengadakan gerakan mengumpulkan sumbangan dari para hartawan dan dermawan, dan sumbangan ini dipergunakan untuk menghibur para pekerja. Ia mengadakan pemeriksaan dan membentuk barisan pemeriksa terdiri atas perwira-perwira pilihan Liem Siang Hong, perwira-perwira yang benar-benar gagah perkasa dan jujur, untuk memberantas segala kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

   Uang-uang sogokan, ancaman, yang biasa diderita oleh rakyat, dihapuskan. Tentu saja ini hanya meliputi daerah Tai-goan saja, karena daerah lain berada di bawah kekuasaan pembesar lain. Tidak mengherankan apabila nama Kwee Siong sebentar saja jadi amat terkenal dan ia dihormati oleh rakyat jelata. Para pembesar lain, biarpun ada yang merasa iri hati dan dengki terhadap Kwee Siong, namun seorangpun tidak ada yang berani mengganggu. Mereka tahu bahwa Kwee Siong mempunyai hubungan erat sekali dengan perwira Liem Siang Hong yang gagah perkasa, maka tidak ada yang berani mencoba-coba untuk main-main. Hubungan antara Kwee Siong dengan Liem Siang Hong amat eratnya. Setiap hari mereka tentu bertemu, bercakap-cakap dan Kwee Siong memenuhi janjinya, yakni ia mendidik putera Liem Siang Hong.

   Semenjak anak itu berusia lima tahun, mulailah Kwee Siong mendidiknya dengan sungguh hati. Anak itu bernama Liem Sian Lun, putera tunggal dari perwira Liem. Oleh karena Kwee Siong merasa amat sayang kepada anak itu, maka Sian Lun juga amat kasih kepada pamannya ini. Boleh dibilang anak itu lebih banyak berdiam di dalam gedung Kwee Siong dari pada di dalam rumah ayahnya sendiri. Dalam hal pendidikan, ternyata Kwee Siong lebih pandai dari pada Liem Siang Hong, karena perwira ini betapapun juga, memiliki kekerasan hati sebagai seorang perwira. Berbeda sekali dengan Kwee Siong yang adatnya lemah lembut dan memperlakukan anak itu dengan sabar dan manis budi. Terhadap ayahnya, Sian Lun merasa takut, akan tetapi terhadap Kwee Siong, ia merasa sayang dan menghormat. Berkali-kali Siang Hong membujuk Kwee Siong untuk menikah lagi.

   "Adikku yang baik,"

   Katanya untuk kesekian kalinya.

   "Kau masih muda dan sudah mempunyai kedudukan baik. Mengapa kau menyiksa diri dan hidup dalam kesepian? Kau harus sayang masa mudamu, dan apakah kau tidak ingin mempunyai keturunan? Siapakah kelak yang akan melanjutkan riwayat keluarga Kwee? Kau katakan saja dan percayalah, aku yang akan mencarikan seorang jodoh yang cantik lahir bathin untuk menjadi isterimu."

   Akan tetapi Kwee Siong menggeleng-geleng kepala lalu berkata sedih,

   "Tidak bisa, twako. Aku tidak dapat melupakan Sui Giok, isteriku, dan aku tidak sampai hati untuk mendekati lain wanita."

   "Mengapa kau berpandangan demikian sempit dan bodoh, adik Kwee? Isterimu telah kembali ke alam baka, dan kalau memang benar dia amat menyintamu, aku yakin bahwa isterimu sekarang sedang bersedih dan kecewa pula melihat kau tidak mempunyai keturunan. Apakah kau kirah roh seorang isteri setia dan menyinta akan merasa suka melihat suaminya hidup sengsara, kesepian, dan kelak meninggalkan dunia tanpa ada keturunan? Pikirlah dengan otak yang sehat, adikku."

   Akan tetapi, sukarlah membujuk Kwee Siong yang amat mencinta isterinya. Lima tahun kemudian, setelah merasa yakin bahwa isterinya yang tiada kabar beritanya itu tentu telah tewas, barulah Kwee Siong menerima bujukan kakak angkatnya dan menikahlah ia dengan seorang gadis cantik dari keluarga bangsawan she Liok. Ketika Kwee Siong menikah dengan gadis she Liok ini, maka sepuluh tahun telah berlalu semenjak ia meninggalkan Sui Giok dengan terpaksa itu. Setahun kemudian, isterinya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kwee Cun. Makin berbahagialah hati Kwee Siong dan akhirnya ia berhasil melupakan Sui Giok, isteri pertama yang dianggapnya telah mati itu.

   Memang Kwee Siong sedang bernasib baik karena iapun telah menerima kenaikan pangkat dan dipindahkan ke kota raja. Biarpun kini Kwee Siong telah bertempat tinggal di kota raja, namun hubungannya dengan Liem Siang Hong tetap baik. Mereka seringkali kunjung mengunjungi, dan putera tunggal Siang Hong, yakni Liem Sian Lun, semenjak berusia delapan tahun oleh ayahnya telah dikirim kepada suhunya, yakni pendeta Tao dari Kun-lun-san yang untuk sementara tinggal di dalam sebuah gua di atas bukit di Pegunungan Luliang yang tak jauh dari Tai-goan letaknya. Guru dari Liem Siang Hong ini bernama Beng Kui Tosu, seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi sekali. Tosu ini amat suka melihat Sian Lun dan berkatalah dia kepada muridnya itu setelah menatap seluruh tubuh Sian Lun,

   "Muridku Siang Hong, kau beruntung sekali. Puteramu ini memiliki tubuh seorang sin-tong (anak ajaib),

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Wanita Iblis Pencabut Nyawa/Toat Beng Mo Li (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   bakatnya luar biasa sekali."

   Tentu saja Liem Siang Hong merasa girang dan bangga maka ia meninggalkan Sian Lun di pegunungan itu dengan hati besar. Juga Kwee Siong ketika mendengar bahwa Sian Lun telah mulai belajar silat pada seorang berilmu tinggi, merasa amat girang. Ia telah menganggap Sian Lun sebagai anaknya sendiri. Dan oleh karena kini Sian Lun berada di atas gunung dan jarang sekali dapat bertemu dengannya, mulailah Kwee Siong merasa kesepian sekali sehingga akhirnya sebagaimana dituturkan di atas, ia menerima bujukan Liem Siang Hong dan menikah dengan Liok-siocia (nona Liok). Waktu berjalan amat pesatnya dan delapan tahun semenjak Kwee Siong menikah, telah lewat tanpa terasa.

   Kini Kwee Cun telah berusia tujuh tahun. Anak ini cerdik dan lemah lembut seperti ayahnya. Kwee Siong hanya mempunyai seorang anak ini karena isterinya tidak melahirkan anak lagi. Hal ini mungkin karena kesehatan isterinya itu seringkali terganggu. Akan tetapi, boleh dibilang bahwa hidup Kwee Siong beserta keluarganya amatlah bahagia. Adapun Sian Lun yang tadinya berguru kepada Beng Kui Tosu, telah menamatkan pelajaran ilmu silatnya selama lima tahun dan melihat bakatnya yang luar biasa, Beng Kui Tosu, atas persetujuan Siang Hong, lalu mengirimkan anak muda itu ke puncak Kun-lun-san untuk berguru kepada guru besar Kun-lun-pai, yakni Beng To Siansu. Kakek sakti ini adalah tokoh tertinggi dari Kun-lun-pai dan masih terhitung susiok (paman guru) dari Beng Kui Tosu, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya ilmu kepandaiannya.

   Ketika itu, Sian Lun telah berusia sembilan belas tahun dan telah menjadi seorang pemuda yang tampan, gagah dan berkepandaian tinggi, bahkan masih lebih tinggi dari pada kepandaian Beng Kui Tosu, bekas gurunya. Pada suatu hari, di puncak pegunungan Kun-lun-san, tempat kediaman Beng To Siansu, datanglah seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Sungguhpun usia kakek ini sudah amat tinggi, dan agaknya tubuhnya sudah lemah tinggal menanti maut datang menjemput nyawanya, namun ternyata ia masih amat kuat. Bukan hanya kuat, akan tetapi bahkan luar biasa sekali. Ia mendaki gunung itu bagaikan terbang saja, biarpun kedua kakinya bergerak perlahan, namun ia maju dengan amat cepatnya, jurang-jurang lebar dilompatinya begitu saja.

   Kakek ini bukan lain adalah Liang Gi Cinjin, pencipta dan pendiri Pek-sim-kauw, tosu yang tinggi sekali ilmu silatnya, terutama sekali ilmu pedangnya. Seperti biasa, kakek ini melakukan perantauan dan datang mengunjungi Beng To Siansu yang menjadi sahabat baik dalam bercakap-cakap atau menjadi musuh besar dalam pertandingan catur. Telah hampir sepuluh tahun Liang Gi Cinjin tidak mengunjungi Kun-lun-san, maka ia merasa amat rindu untuk bercakap-cakap atau main catur dengan ketua dari Kun-lun-pai itu. Beng To Siansu yang memiliki pendengaran luar biasa tajamnya, biarpun ia tengah duduk dalam guanya, sebelum tamunya kelihatan, ia telah tertawa dan menyambut dari dalam gua dengan kata-kata gembira,

   "Liang Gi Cinjin, setan catur. Apakah kau sudah berlatih cukup banyak untuk datang menghadapi papan catur dengan aku?"

   Liang Gi Cinjin berdiri di depan goa dan tertawa bergelak, kedua tangan bertolak pinggang dan mukanya didongakkan ke atas.

   "Beng To Siansu, setan tua! Orang yang selalu menyekap dirinya di dalam goa yang sempit seperti kau, bagaimana bisa sehat? Heran, orang seperti kau masih bisa panjang usia!"

   Belum habis Liang Gi Cinjin bicara, dari dalam goa itu keluarlah seorang kakek lain yang bertubuh tinggi besar dan rambutnya juga putih semua seperti rambut Liang Gi Cinjin. Usia kedua orang kakek ini memang sebaya, dan sukarlah dikatakan siapa yang lebih sehat di antara keduanya, karena muka mereka masih nampak merah dan segar sekali.

   "Liang Gi Cinjin, biarpun aku tinggal di dalam gua yang sempit, namun hawa yang masuk di dalam gua adalah hawa pegunungan yang bersih, tidak seperti kau yang setiap hari mengisap hawa kota yang kotor, mengandung debu tahi kuda!"

   Beng To Siansu menjawab sambil tertawa juga.

   Sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, kedua orang kakek ini lalu duduk bersila di depan gua, di atas rumput yang bersih. Mereka menghadapi sebuah papan catur dan mulai bermain catur. Kepandaian mereka dalam permainan ini seimbang dan juga dalam ilmu silat, kepandaian mereka setingkat. Pernah mereka memperbincangkan tentang ilmu silat dan pernah pula pibu (mengadu kepandaian) akan tetapi ternyata mereka tak dapat saling mengalahkan lawan. Sesungguhnya, Liang Gi Cinjin masih terhitung adik seperguruan, akan tetapi kakek ini cepat sekali memperoleh kemajuan sehingga tingkat mereka menjadi seimbang dan perhubungan mereka yang amat erat itu melenyapkan sebutan suheng dan sute. Ketika bicara tentang keadaan negara, Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

   "Beng To Siansu, ramalanmu dahulu itu tepat sekali. Pemerintahan Sui yang sekarang ini memang telah mendekati keruntuhannya. Kaisar terlalu tamak dan tidak mengingat akan keadaan rakyat jelata. Baru saja rakyat diperas tenaganya untuk pembangunan besar-besaran, kini tentara kerajaan mulai dikerahkan untuk menyerang daerah timur (Korea). Ketika aku menuju ke sini, aku mendengar tentang pemberontakan-pemberontakan yang mulai timbul, mula-mula di pegunungan Cangpai di propinsi Santung. Entah bagaimana nanti jadinya dengan pemerintah ini."

   "Biarlah, tak usah kita pikirkan urusan seperti itu,"

   Jawab Beng To Siansu.

   "Kalau sudah tiba masanya, di mana muncul calon pemimpin yang bijaksana, barulah kita memerintah anak murid kita untuk membantu pergerakan mulia itu."

   Tak lama kemudian mereka menghentikan percakapan karena seluruh perhatian mereka tertuju kepada biji-biji catur yang mulai saling mengurung dan pertandingan berjalan seru sekali. Telah dua kali mereka bermain dan hasilnya satu-satu. Matahari telah condong ke barat ketika mereka hendak mulai dengan permainan ketiga. Akan tetapi, pada saat itu, berkelebatlah bayangan orang yang gesit sekali dan tak lama kemudian seorang pemuda yang cakap dan gagah berdiri di depan mereka. Pemuda itu memegang seekor ular besar yang ia gulung bagaikan sehelai tambang, dipegang pada leher dan ekornya. Dalam keadaan tergulung tubuhnya dan leher serta ekor terpegang oleh jari-jari tangan yang kuat itu, ular ini tidak berdaya sama sekali.

   "Suhu, teecu telah kembali!"

   Kata pemuda itu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Beng To Siansu. Beng To Siansu menengok dan berkata girang,

   "Hm, Sian Lun, agaknya kau telah berhasil menangkap pengacau itu."

   "Inilah dia, suhu. Sukar juga menangkapnya, karena ia kuat dan ganas sekali."

   "Coba ceritakan bagaimana kau dapat menangkapnya, akan tetapi sebelumnya beri hormatlah dulu kepada susiokmu ini."

   Pemuda yang bukan lain adalah Sian Lun putera perwira Liem Siang Hong itu, cepat memberi hormat sambil berlutut kepada Liang Gi Cinjin,

   "Maaf susiok, teecu tidak tahu sehingga telah berlaku kurang hormat."

   "Anak baik, kauceritakanlah dari mana kau berhasil menangkap daging enak ini!"

   Kata Liang Gi Cinjin sambil memandang wajah pemuda yang tampan dan gagah itu. Sian Lun lalu menuturkan pengalamannya. Sebuah dusun di kaki gunung Kun-lun telah berkali-kali diserang oleh seekor ular yang besar, ganas dan jahat. Banyak sudah hewan piaraan para penduduk ditelan oleh ular itu dan ketika diserang, dua orang dusun telah tewas karena digigit dan disabet dengan ekornya. Beng To Siansu yang mendengar akan hal ini, lalu menyuruh muridnya menangkap ular itu.

   Sian Lun lalu berangkat turun gunung dan ketika ia berhasil mendapatkan ular itu melingkar di atas pohon, ia segera melompat dan menarik ekornya sehingga ular itu tertarik lalu jatuh ke bawah. Akan tetapi ular itu ternyata kuat dan galak sekali. Ia tidak menyerah dengan mudah, tiap kali dapat tercekik lehernya, ekornya lalu memukul dengan kuatnya dan ia mencoba untuk membelit leher pemuda itu. Berkali-kali Sian Lun terpaksa melepaskan kembali cekikan itu, karena ular itu benar-benar berbahaya. Sudah bergulat mati-matian, akhirnya ia berhasil mengirim totokan di belakang kepala ular itu yang merasa sakit dan setengah lumpuh. Barulah Sian Lun dapat menangkap ular itu dan membawanya ke atas bukit. Mendengar penuturan itu dan melihat potongan tubuh pemuda ini, Liang Gi Cinjin menghela napas panjang dan berkata kepada Beng To Siansu,

   "Memang, agaknya karena setiap hari kau bertapa, maka peruntunganmu lebih bagus dari padaku. Ilmu pedangku Pek-sim kiam-hoat yang buruk itu saja belum ada yang cukup berharga untuk mewarisinya. Murid-muridku tidak ada yang dapat bertahan menghadapi seranganku Pek-sim Ciang-hoat lebih dari dua puluh jurus, mana mereka mampu mempelajari Pek-sim Kiam-hoat dengan baik?"

   Kakek ini menghela napas lagi.

   "Agaknya selama hidupku aku takkan dapat bertemu dengan seorang murid seperti muridmu ini dan Pek-sim Kiam-hoat akhirnya akan lenyap dari muka bumi tanpa meninggalkan nama."

   Mendengar pujian ini, Liem Sian Lun menjadi merah mukanya karena jengah. Ia segera menganggukkan kepala dan berkata,

   "Susiok, harap kau orang tua jangan terlalu memuji, teecu takut akan menjadi sombong dan..."

   "Anak Goblok!"

   Tiba-tiba suhunya membentak.

   "Hayo, kau lekas menghaturkan terima kasihmu kepada susiokmu yang hendak menurunkan Pek-sim Kiam-hoat kepadamu. Sian Lun merasa terkejut, akan tetapi otaknya yang cerdas membuat ia maklum akan kehendak suhunya. Iapun merasa girang sekali karena dari ucapan ini ternyata bahwa suhunya tidak merasa keberatan kalau ia menerima pelajaran dari orang lain. Ia cepat-cepat menganggukan kepalanya di depan susioknya dan berkata,

   "Banyak terima kasih teecu haturkan atas kemurahan hati susiok yang sudi memberi petunjuk kepada teecu yang bodoh."

   Liang Gi Cinjin tertawa bergelak.

   "Ha, ha, ha, memang si tua bangka yang pintar memancing ikan di air keruh. Anak muda, seperti kukatakan tadi, yang mampu mempelajari Pek-sim Kiam-hoat adalah orang yang mampu menghadapi seranganku selama dua puluh jurus lebih. Apakah kau berani menghadapi Pek-sim Ciang-hoat sampai lebih dari dua puluh jurus?"

   Hampir saja Sian Lun menyatakan tidak berani, karena sebagai seorang terpelajar dan sopan, mana ia berani menantang susioknya? Akan tetapi suhunya membentak lagi,

   "Gagukah kau, Sian Lun? Apakah kau hendak membikin malu suhumu yang telah melatihmu bertahun-tahun? Tentu saja kau berani, bukan? Sian Lun menjadi serba salah. Untuk menyatakan berani, ia takut kalau menyinggung perasaan susioknya yang tentu merasa seakan-akan ditantang, sebaliknya menyatakan tidak berani, ia takut suhunya akan marah. Maka ia diam saja dan akhirnya tanpa berani memandang kepada suhu atau susioknya, ia berkata,

   "Teecu akan mencoba kebodohan sendiri menghadapi serangan itu sampai dua puluh jurus."

   Beng To Siansu melompat berdiri dan bertepuk tangan gembira. Ia merenggutkan ular itu dari tangan muridnya dan sekali ia mengetukkan jarinya pada leher ular, ia lalu melepaskan ular itu di atas tanah. Ular itu dapat melepaskan tubuhnya yang tadi digulung oleh Sian Lun, akan tetapi ketika hendak menggerakkan tubuh untuk pergi, ternyata bahwa lehernya tak dapat bergerak. Tentu saja, tanpa dapat menggerakkan leher, ular itu tidak dapat bergerak maju lagi.

   "Hayo, kau layani susiokmu sampai dua puluh jurus lebih, Sian Lun!"

   Kata Beng To Siansu. Adapun Liang Gi Cinjin menudingkan telunjuknya kepada kakek itu sambil berkata,

   "Apakah kau kira aku seorang yang suka melanggar janji sehingga hal ini perlu dibuktikan sekarang juga?"

   "Siapa takut kau melanggar janji? Dunia boleh jadi kiamat akan tetapi tak boleh jadi Liang Gi Cinjin melanggar janji. Aku hanya khawatir kalau-kalau kau lupa. Orang tua sudah pikun, takkan melanggar janji akan tetapi dapat lupa."

   "Ha, ha, ha! Kau tuan rumah yang tidak tahu aturan, tamu datang-datang tidak diberi hidangan, bahkan dimintai sesuatu. Awas, kalau nanti sesudah aku mencoba muridmu ini kau tidak menghidangkan daging ular yang gemuk itu, selama hidupku aku akan menganggap kau seorang tuan rumah yang pelit dan jahat sekali."

   Untuk sejenak Beng To Siansu diam saja, kemudian ia menjawab sambil menghela napas,

   "Baiklah, manusia rakus! Sian Lun, setelah kau melayani susiokmu, jangan lupa, lekas potong ular itu dan panggang dagingnya untuk susiokmu."

   Legalah hati Liang Gi Cinjin mendengar jawaban ini. Dari jawaban ini, ia mengerti bahwa kakek tokoh Kun-lun-pai itu sudah merasa rela serarus persen bahwa pemuda itu menerima pelajaran ilmu pedangnya.

   Ia tahu bahwa kakek Kun-lun-san ini adalah seorang yang pantang makan daging, maka apabila kini memperbolehklan ular itu dipotong dan dimakan dagingnya, itu menandakan bahwa ia sudah rela sekali. Hanya Sian Lun yang mendengarkan percakapan kedua orang tua itu dengan terheran-heran dan ia tidak mengerti artinya. Baginya, kedua orang kakek itu bicara seperti anak kecil yang suka bermain-main dan bertengkar mulut. Iapun maklum akan pantangan makan barang berjiwa yang dilakukan oleh suhunya amat keras sehingga ia sendiripun diharuskan cia-cai (makan sayur, tidak boleh makan daging). Akan tetapi mengapa sekarang suhunya menyuruhnya memanggang daging ular yang mengerikan ini? Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang nampak gembira sekali itu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak melamun.

   "Hayo, Sian Lun, bangunlah dan mari kita main-main sebentar. Jagalah dirimu sampai dua puluh jurus dan berlakulah hati-hati. Di dunia ini, hanya sedikit saja orang yang sanggup menahan seranganku sampai dua puluh jurus!"

   Sian Lun lalu memberi hormat kepada Liang Gi Cinjin dan setelah berkata,

   "Maaf, teecu berlaku kurang hormat!"

   Ia lalu memasang kuda-kuda dengan teguhnya. Sebagai seorang pemuda yang sopan dan berotak cerdik, Sian Lun memasang kuda-kuda yang disebut Kera Sakti Menerima Buah, tubuhnya merendah, muka ditundukkan dengan kedua tangan di bawah dada, sepasang matanya ditujukan ke arah kedua pundak kakek itu dengan sikap menghormat. Benar saja, menyaksikan sikap kuda-kuda ini, Liang Gi Cinjin merasa senang dan memuji pemuda yang pandai membawa diri ini. Memang benar, ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa untuk dapat mencapai hasil gemilang dalam pengejaran cita-cita hidup,

   Senjata yang terutama adalah kerendahan hati dan penyesuaian sikap dengan keadaan yang dihadapinya. Dengan sikapnya ini, tanpa terasa lagi Sian Lun telah dapat menyenangkan hati Liang Gi Cinjin. Akan tetapi Liang Gi Cinjin tidak nanti mau memberikan ilmu pedangnya begitu saja kepada sembarang orang. Ia harus mencoba dulu sampai di mana bakat pemuda ini. Biarpun dengan ketajaman matanya ia telah dapat melihat kebagusan tubuh pemuda ini dan ia percaya bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, namun untuk dapat mempelajari ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dengan sempurna sehingga dapat menguasai seluruhnya, orang harus memiliki dasar kepandaian yang cukup. Melihat pemuda itu telah memasang kuda-kuda dan siap, ia lalu tersenyum dan berkata,

   "Awas seranganku!"

   Tubuhnya yang sudah tua itu ternyata dapat bergerak luar biasa cepatnya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya telah menerjang maju dengan cepat mengagetkan.

   Sian Lun berlaku waspada dan cepat mengelakkan diri dari sebuah tamparan, akan tetapi dalam jurus pertama itu ternyata Liang Gi Cinjin telah menyerangnya dengan tiga macam pukulan dari kedua tangan kiri dan kaki kiri. Bukan main cepatnya datangnya serangan ini sehingga pemuda itu harus berlaku hati-hati dan cepat sekali. Kalau tidak memiliki ketenangan, kecepatan dan ketajaman mata sukarlah menghadapi serangan yang sambung menyambung dan susul menyusul itu. Ilmu silatnya sendiri tidak berbahaya bagi Sian Lun yang sudah berkepandaian tinggi, akan tetapi yang hebat adalah gerakan dan tenaga kakek ini. Ginkang dan lweekang dari Liang Gi Cinjin memang tinggi sekali, dan biarpun Sian Lun telah melatih diri dengan hebat dalam kepandaian ini, didorong oleh bakatnya yang luar biasa, namun harus ia akui bahwa ia masih kalah setingkat.

   Menurut pendapatnya, ginkang dan lweekang dari kakek ini hanya kalah sedikit saja dari suhunya, Beng To Siansu. Akan tetapi diam-diam ia merasa lega, oleh karena kalau saja kakek ini melanjutkan serangannya dengan ilmu silat Pek-sim Ciang-hoat yang ternyata tidak berapa berbahaya ini baginya, pasti ia akan dapat menghadapinya sampai dua puluh jurus lebih. Akan tetapi, setelah sepuluh jurus lewat dengan selamat, gerakan serangannya. Sian Lun menjadi terkejut bukan main karena daya serangan kali ini luar biasa hebatnya. Hawa pukulan yang keluar dari sepasang tangan kakek ini amat ganjil, tarik menarik dan tangan kiri amat berlainan dengan tangan kanan, bahkan boleh dibilang bertentangan.

   Pemuda itu tiba-tiba merasa seakan-akan menghadapi dua orang lawan yang berlainan caranya bersilat, merupakan dua macam Liang Gi Cinjin, yang seorang bergaya lemas dan penuh keindahan, yang kedua bergaya kasar dan cepat bagaikan seekor iblis mengamuk. Sian Lun memang tidak mengenal ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat, dan tentu saja tidak tahu bahwa kakek yang menjadi lawannya ini sedang mengeluarkan ilmu silat itu di bagian Im-yang-sin-ciang-hoat, bagian yang amat sukar dipelajari karena memerlukan latihan tenaga lweekang dan gwakang yang dipergunakan berbareng. Akan tetapi Beng To Siansu yang pernah berpibu dengan kakek itu, tahu akan hal ini dan melihat betapa muridnya menjadi sibuk sekali dan gugup. Beng To Siansu mengerutkan kening. Sesungguhnya, kalau saja Sian Lun tahu akan rahasia ilmu silat ini tak perlu pemuda itu menjadi gugup dan bingung. Maka ia lalu berkata keras seperti orang bernyanyi.

   "Im dan Yang selalu bertentangan, tarik menarik. Kalau orang dapat berada di tengah-tengah, tidak terpengaruh oleh tarikan kanan kiri, bebas dari Im Yang, itu barulah yang disebut Tiong-yong."

   Kata-kata ini sesungguhnya adalah petikan dari ujar kuno, akan tetapi tepat sekali dipergunakan untuk memecahkan serangan Liang Gi Cinjin itu. Tiong-yong berarti jejak, lurus, tidak condong ke sana ke mari, tidak terpengaruh oleh sesuatu, iman tetap tenang di tengah-tengah. Mendengar ucapan suhunya ini, tiba-tiba Sian Lun menjadi sadar.

   Memang otak pemuda ini cerdik sekali dan dapat menangkap maksud dan arti dari sesuatu hal yang ditunjukkan kepadanya. Tadipun ia telah memutar otak untuk mencari tahu rahasia penyerangan aneh ini, dan begitu mendengar ucapan suhunya tentang Im dan Yang, hampir ia berseru saking girangnya. Ia lalu bersilat dengan gerakan yang disebut Pai-bun-twi-hong (Mengatur Bintang Menolak Angin). Kini ia tidak mengelak dengan gugup dan bingung lagi, tidak mau dipengaruhi oleh hawa pukulan lawan, akan tetapi hanya menjaga diri dengan waspada, dengan kuda-kuda yang kuat dan begitu pukulan datang, ia lalu menangkis dengan pengerahan tenaga lweekang atau gwakang, sesuai dengan datangnya serangan lawan. Sampai lima jurus, serangan dengan Im-yang-sin-ciang-hoat dari Liang Gi Cinjin ini dapat digagalkan. Kakek itu tertawa bergelak dan berkata,

   "Setan sayur (untuk menyindir Beng To Siansu yang selalu makan sayur), kau sungguh terlalu membela muridmu."

   Setelah berkata demikian, Liang Gi Cinjin lalu merobah lagi serangannya, tidak lagi mainkan Im-yang-sin-ciang-hoat, melainkan menggunakan ginkangnya yang luar biasa, bergerak cepat bagaikan seekor burung garuda menyambar mengelilingi Sian Lun. Lagi-lagi Beng To Siansu berkata seperti orang bernyanyi.

   "Kalau Toa-su-siang-hong-wi (kedudukan empat penjuru) dijaga baik-baik, maling yang bagaimana pandaipun takkan dapat masuk."

   Memang tadinya Sian Lun selalu mengikuti gerakan lawannya, mengerahkan ginkangnya. Akan tetapi oleh karena Liang Gi Cinjin kedudukannya di luar dan dia di dalam, maka dia harus berputar lebih cepat lagi dan karenanya kedudukannya menjadi lemah dan kepalanya pening. Mendengar ucapan suhunya ini, Sian Lun lalu teringat akan penjagaan diri yang amat praktis, yakni ia menjaga kedudukan empat penjuru, dengan demikian, tanpa bersusah payah memutar-mutar diri mengikuti gerakan penyerang, ia dapat menjaga diri dengan baik sehingga ketika jurus ke dua puluh lewat, ia tetap dapat berdiri tak terkalahkan. Liang Gi Cinjin melompat keluar dari kalangan pertandingan, lalu menuding ke arah Beng To Siansu dan berkata sambil tertawa,

   "Kakek curang! Kau telah membela muridmu!"

   Beng To Siansu tersenyum,

   "Aku ingin sekali Sian Lun menerima warisanmu mempelajari Pek-sim Kiam-hoat yang luar biasa, maka aku khawatir kalau-kalau kau lupa diri dan merobohkannya. Bukankah sayang sekali?"

   Liang Gi Cinjin tertawa bergelak.

   "Dasar pemakan rumput! Lupakah kau bahwa orang yang menguji kekauatan cawan araknya takkan membanting sampai hancur cawannya itu? Aku suka anak ini dan tanpa kau membelanya, aku tak sampai hati untuk mengalahkannya. Ha, ha, ha, aku gembira sekali, kini aku dapat mati dengan mata meram, ilmu pedangku yang buruk sudah ada ahli warisnya, dan kalau toh kelak dicemarkan, yang rusak namanya bukan aku, melainkan Beng To Siansu. Ha, ha!"

   Akan tetapi ketawanya lenyap seketika setelah ia melihat Sian Lun menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya, sambil berkata,

   "Suhu teecu berterima kasih atas budimu yang besar."

   
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa...? Siapa yang menjadi suhumu? Siapa yang menerimamu menjadi muridku?"

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras dan kini Beng To Siansu yang tertawa besar.

   "Ha, ha, ha! Coba sekarang kau bilang, apakah kau masih bisa melepaskan tanggung jawabmu? Bukankah Sian Lun telah menjadi muridmu? Ha, ha, ha!"

   Dengan mata terbelalak, Liang Gi Cinjin membanting-banting kakinya.

   "Dasar guru dan muridnya sama, sudah bersekongkol. Sudahlah, Sian Lun, lekas kau panggang daging ular itu baik-baik. Jangan dibuang kepalanya, aku paling suka itu. Dan ekornya untuk kau, mengerti?"

   Sian Lun menjadi bingung. Telah bertahun-tahun ia tidak makan daging seperti suhunya, bagaimana sekarang ia harus makan. Akan tetapi keheranannya lenyap dan ia bahkan merasa girang dan lega ketika Beng To Siansu berkata,

   "Ketahuilah, Sian Lun. Ular ini bukanlah ular sembarangan, akan tetapi ular pohon yang jarang terdapat. Daging ular ini mengandung daya yang luar biasa sekali baik untuk membersihkan darah, menghangatkan perut dan menguatkan jantung. Daging ular ini dimakan orang yang mengerti bukan karena enak, akan tetapi dimakan sebagai semacam obat kuat. Kepalanya amat baik untuk orang tua sehingga Liang Gi Cinjin gurumu ini makan kepalanya mungkin dengan maksud agar usianya menjadi sepanjang mungkin. Adapun ekornya itu adalah semacam obat kuat yang keras sekali, baik untuk orang-orang muda!"

   Tahulah kini Sian Lun mengapa suhunya suka ikut makan, karena suhunya dulu pernah berkata ketika melarang ia makan daging.

   "Sesungguhnya makan daging mahluk bernyawa dengan maksud hanya untuk memuaskan selera mulut, termasuk perbuatan yang tidak sesuai dengan alam. Lain lagi halnya tubuh, sehingga kita memakannya bukan dengan maksud memuaskan lidah akan tetapi dengan maksud yang lebih luas dan baik dari pada itu."

   Sehabis makan Liang Gi Cinjin lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh,

   "Sian Lun, karena kau telah mengangkat aku sebagai gurumu yang kedua, maka kau harus menurut segala peraturan yang kuadakan."

   "Memang demikianlah seharusnya,"

   Beng To Siansu menyambung sambil bangkit berdiri.

   "Nah, Sian Lun, sekarang aku serahkan kau kepada sahabat baikku ini untuk dididik. Belajarlah baik-baik, dan jangan menyia-nyiakan waktu."

   Kakek ini lalu masuk ke dalam goa untuk bersamadhi, meninggalkan mereka berdua di luar goa. Liang Gi Cinjin lalu menceritakan tentang Pek-sim-kauw dan bahwa sesungguhnya ia tidak mau menerima seorang murid yang tidak menjadi pendeta Pek-sim-kauw. Akan tetapi oleh karena ia tidak bisa mendapatkan seorang pendeta yang berbakat baik, maka kini ia memilih Sian Lun sebagai ahli warisnya.

   "Aku telah mendengar dari Beng To Siansu bahwa kau adalah putera seorang perwira yang gagah dan jujur. Tentu saja kau tidak bisa menjadi pendeta, kau tidak berbakat untuk menjadi seorang pendeta Pek-sim-kauw. Akan tetapi, di dalam sepak terjangmu, kau harus selalu ingat kepada hati putih, yakni hatimu sendiri. Putih berarti bersih dan apabila kau selalu menjaga kebersihan hatimu, maka jalan hidupmu takkan tersesat. Para pendeta Pek-sim-kauw, biarpun ilmu silatnya lebih rendah daripada tingkatmu, tetap harus kau anggap sebagai saudara-saudara tua. Kau mempunyai lima orang suheng (kakak seperguruan), dan biarpun kau lebih pandai dalam hal ilmu silat, namun tentang kebatinan, kau boleh mendengar dan mentaati nasehat mereka."

   Demikianlah, Liang Gi Cinjin lalu memperkenalkan nama-nama kelima orang muridnya, pendeta-pendeta tingkat satu dari Pek-sim-kauw. Kemudian ia mulai menurunkan ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dan pokok-pokok atau dasar-dasar ilmu silat Pek-sim Ciang-hoat kepada muridnya ini. Sian Lun mempelajari dengan penuh ketekunan dan perhatian. Ia memang mempunyai kecerdasan dan bakat yang amat baik, maka sebentar saja sesuatu gerakan dapat dipelajari dan dilakukan baik-baik. Hal ini membuat Liang Gi Cinjin menjadi girang sekali.

   "Kalau kau melatih dirimu setahun saja dengan serajin ini, aku yakin ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat akan dapat kau miliki sepenuhnya."

   Sampai dua bulan penuh ketua Pek-sim-kauw ini melatih dan menurunkan semua kepandaiannya kepada Sian Lun. Pemuda ini menghafal semua gerakan dan jurus-jurus ilmu silat itu di luar kepala dan setelah dua bulan lewat, ia telah hafal betul-betul jalannya Pek-sim Kiam-hoat dan Pek-sim Ciang-hoat, tinggal melatih dan menyempurnakan gerakan-gerakannya saja. Setelah itu, Liang Gi Cinjin lalu berpamit kepada Beng To Siansu.

   "Aku harus turun gunung,"

   Katanya kepada sahabat baik ini.

   "Siapa tahu kalau-kalau terjadi perobahan hebat di dunia ramai. Setan sayur, terima kasih atas segala kebaikanmu, terutama sekali atas kerelaanmu memberi kesempatan kepadaku untuk meninggalkan sedikit kepandaianku kepada orang yang patut menerimanya."

   Dan kepada Sian Lun ia berkata,

   "Sian Lun, muridku, kau berlatih baik-baik sampai setahun, setelah itu kau kunanti di Cengtu. Jalan masuk untuk bertemu dengan aku dijaga oleh kelima orang muridku, maka sebagai ujian, jangan kau mundur menghadapi segala rintangan untuk bertemu dengan aku."

   Setelah berkata demikian, pergilah Liang Gi Cinjin turun dari Kun-lun-san, Sian Lun berlatih dengan amat rajinnya, bahkan Beng To Siansu yang amat menyinta murid tunggalnya inipun membantunya memberi petunjuk-petunjuk. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah Liang Gi Cinjin tiba kembali di kota Ceng-tu, yakni pusat perkumpulan Pek-sim-kauw, ia mendengar tentang permusuhan antara pendeta-pendeta Pek-sim-kauw dengan dua orang iblis wanita yang disebut Toat-beng Mo-li. Kakek sakti ini merasa menyesal sekali dan menegur murid-muridnya. Kemudian ia berpesan kepada para muridnya untuk menjaga tempat perkumpulan itu baik-baik dan apabila ada orang muda yang hendak bertemu dengan dia, supaya pemuda itu dicoba dulu kepandaiannya tanpa banyak cakap.

   "Akan tetapi jangan main keroyok,"

   Ia berpesan.

   "Sungguh amat memalukan kalau murid-muridku mengeroyok lawan seperti yang kalian telah lakukan terhadap dua orang wanita dari hutan itu!"

   Merahlah wajah Pek-sim Ngo-lojin mendengar teguran mereka ini. Liang Gi Cinjin sebenarnya menantikan datangnya Sian Lun, muridnya yang baru, dan mempersiapkan lima orang pendeta itu untuk menguji kepandaian Sian Lun. Akan tetapi kelima orang pendeta tingkat satu itu berpikir lain. Mereka berjaga-jaga untuk menanti kedatangan Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li yang dulu sudah berjanji hendak datang bertemu dengan ketua Pek-sim-kauw. Dan memang benar mereka ini, yang pertama-tama datang bukanlah seorang pemuda, melainkan Ling Ling dan ibunya. Pada suatu hari, baru saja matahari muncul di balik pohon-pohon dan baru saja kelima Pek-sim Ngo-lojin duduk di dalam gardu penjagaan masing-masing, masuklah dua orang wanita cantik dari pintu gerbang luar. Mereka ini bukan lain adalah Liem Sui Giok dan puterinya Kwee Ling Ling atau yang sudah biasa disebut Ling Ling saja.

   Penjagaan yang dilakukan oleh kelima murid Liang Gi Cinjin ini dimulai dengan gardu pertama di mana Pek Te Ji duduk bersamadhi sambil berjaga. Gardu kedua dijaga oleh Pek Thian Ji, gardu ketiga oleh Pek Yang Ji, yang keempat oleh Pek Hong Ji dan yang terakhir atau yang kelima, di depan ruangan di mana Liang Gi Cinjin tinggal, dijaga oleh murid pertama, yakni Pek Im Ji. Dengan demikian, maka penjagaan itu diatur makin ke dalam makin kuat. Pendeta-pendeta tingkat dua dan tiga yang banyak tinggal di rumah perkumpulan amat besar dan luas itu, telah dipesan bahwa apabila terjadi pertempuran, mereka dilarang mengeroyok, hanya diharuskan memberitahukan kepada gardu-gardu penjagaan lain agar dapat bersiap siaga. Sebelum memasuki rumah perkumpulan agama Pek-sim-kauw ini Sui Giok telah memesan kepada Ling Ling agar supaya jangan sampai membunuh orang.

   "Anakku,"

   Katanya.

   "biarpun nenekmu telah tewas dalam tangan seorang pendeta Pek-sim-kauw, akan tetapi pembunuhnya telah pula kita tewaskan. Nyawa nenekmu telah ditebus oleh tiga orang musuh, ini berarti bahwa hutang telah terbayar lunas. Tak perlu kita membunuh orang-orang lain dan kedatangan kita ini hanya untuk memenuhi janji, satu persoalan kehormatan. Pendeta-pendeta ini memang jahat, akan tetapi sebelum kita membuktikan kejahatan mereka, tak perlu kita membunuh orang."

   Demikianlah, ketika Ling Ling dan Sui Giok berdiri di gerbang pertama di mana terdapat sebuah gardu tempat penjagaan, mereka melihat Pek Te Ji duduk di situ, bersila sambil meramkan matanya. Sungguhpun matanya meram, Pek Te Ji telah mengetahui akan kedatangan dua orang wanita ini, karena ia memiliki pendengaran yang amat terlatih dan tajam.

   "He, orang Pek-sim-kauw!"

   Ling Ling berseru nyaring sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya itu bergema sampai ke dalam gedung besar itu.

   "Kami telah datang, keluarkanlah ketuamu untuk bicara dan membereskan urusan lama, jangan berlaku pengecut main keroyokan!"

   Setelah mendengar ini, barulah Pek Te Ji melompat keluar dan ia berdiri dihadapan Ling Ling dan Sui Giok dengan gagah.

   "Kalian ini dua iblis wanita sungai Cialing datang ke sini mau apakah?"

   Tanyanya dengan suara lantang.

   "Pendeta palsu, kami telah berjanji hendak datang bertemu dengan Liang Gi Cinjin, ketuamu maka hari ini kami datang memenuhi janji. Minggirlah dan tunjukkanlah di mana adanya gurumu itu!"

   Kata Ling Ling.

   "Sukar!"

   Kata pendeta itu sambil menggelengkan kepala.

   "Jalan untuk menemui suhu memang melalui tempat ini, akan tetapi aku telah berada di sini dan tak mungkin kau dapat masuk sebelum Pek Te Ji kau kalahkan."

   "Bagus,"

   Teriak Ling Ling marah.

   "Kau mau main keroyok lagi? Tidak malukah Liang Gi Cinjin mendengar murid-muridnya yang gagah mengeroyok wanita-wanita?"

   "Jangan sembarangan membuka mulut!"

   Kata Pek Te Ji.

   "Siapa yang mau mengeroyokmu? Asal saja kau menurut aturan, kami takkan mengeroyokmu. Ketahuilah bahwa jalan masuk ke tempat suhu terjaga oleh kami lima saudara, dan kau harus dapat mengalahkan kami dulu seorang demi seorang dan menurut syarat-syarat yang kami tentukan dalam pertandingan."

   "Boleh, boleh! Siapa takut menghadapai pendeta palsu?"

   Tantang Ling Ling dengan tabah.

   "Pertama-tama, kau atau ibumu lawanlah aku, tanpa senjata! Kalau aku kalah dalam ciang-hoat (ilmu pukulan), barulah kau boleh masuk untuk menghadapi suhengku."

   "Hm, begitukah?"

   Ling Ling tersenyum kepada ibunya.

   "Ibu, ternyata pendeta-pendeta Pek-sim-kauw tidak securang yang kita duga!"

   Kemudian ia berkata kepada Pek Te Ji.

   "Pek Te Ji, ada aku anaknya di sini, bagaimana aku dapat membiarkan ibuku melelahkan diri turun tangan? Hayo, coba kauperlihatkan tiam-hoatmu (ilmu menotokmu) yang kau pamerkan kepada ibu dahulu itu!"

   Memang Ling Ling masih ingat betapa ibunya dulu pernah menjadi korban totokan pendeta ini dan teringat pula bahwa totokan itu lihai sekali dan istimewa sehingga ia dahulu tidak dapat membebaskan ibunya dari pengaruh totokan. Agaknya kini pendeta ini hendak mengandalkan totokannya yang lihai. Mendengar sindiran Ling Ling, Pek Te Ji merah mukanya. Ia menggulung lengan bajunya, lalu berkata,

   "Kalau kau dapat menghadapi Im-yang-tiam-hoat, barulah aku takluk kepadamu!"

   Tiba-tiba ia lalu menyerang dengan tangan kanannya, di susul oleh tangan kirinya. Melihat betapa tangan pendeta itu menyerang dengan jari-jari terkepal, kecuali jari telunjuk yang dibuka lurus ke depan untuk menotok, Ling Ling berlaku hati-hati sekali. Ia tahu bahwa itu adalah semacam It-ci-sian (ilmu totoksatu jari) yang lihai sekali. Juga angin serangan dari kedua tangan pendeta itu amat berlainan, kalau yang kanan menotok dengan keras, yang kiri begitu lambat dan perlahan gerakannya dan demikian sebaliknya. Ia maklum akan bahayanya ilmu totokan macam ini.

   Dengan cara yang berubah-ubah itu kadang-kadang dengan tenaga lemas lalu disusul totokan tenaga kasar, tidak memungkinkan orang untuk menerima totokan itu sambil mengerahkan ilmu menutup jalan darah. Tak mungkin mengerahkan tenaga yang berlawanan sama sekali secara bergantian demikian cepatnya, dan sekali terkena totokan pendeta ini, akan celakalah dia. Untuk menghadapi Im-yang-tiam-hoat ini, Ling Ling lalu memperlihatkan kegesitan tubuhnya, mengerahkan ginkangnya yang memang luar biasa tinggi tingkatnya, kemudian iapun membalas dengan serangan tiam-hoat pula. Di dalam ilmu silat keturunan keluarga Kam, memang terdapat ilmu totok yang cukup lihai, semacam Coat-meh-hoat (ilmu totokan cabang Bu-tong-pai) yang dilakukan dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah.

   Tingkat kepandaian Pek te Ji barang kali sama tingginya dengan tingkat kepandaian Liem Sui Giok, maka kalau dibandingkan dengan Ling Ling, ia masih kalah jauh. Hal ini harus diakuinya ketika baru beberapa kali gebrakan saja ia sudah menjadi pening karena tubuh gadis cantik itu seakan-akan merupakan seekor burung walet yang gesit sekali, yang berterbangan mengelilinginya. Bagaimana ia dapat mengirim totokan yang jitu? Tubuh lawannya sukar diikuti dengan pandangan mata, dan ilmu totokannya adalah semacam tiam-hwe-louw yang membutuhkan ketepatan karena harus dilancarkan kepada jalan-jalan darah tertentu. Belum juga dua puluh jurus Pek Te Ji sudah mandi peluh dan pandang matanya menjadi kabur.

   "Sudah cukup?"

   Ling Ling mengejek.

   "Nah, kau rebahlah!"

   Secepat kilat tangan kiri gadis itu meluncur dan menotok jalan darah tai-twi-hiat lawannya. Pek Te Ji, seorang ahli tiam-hoat, tentu saja tahu akan bahayanya totokan ini, yang apabila mengenai tepat akan membuat seluruh tubuhnya menjadi kaku. Cepat ia mengerahkan khikangnya dan menutup jalan darah ini dengan tenaga Yang, karena totokan membuat kaku pada jalan darah tai-twi-hiat ini termasuk serangan Yang. Akan tetapi, sungguh tidak diduga sama sekali karena begitu jari tangan kiri Ling Ling tertolak oleh tenaga khikangnya,

   Jari tangan kanan gadis itu dengan kecepatan yang tak terduga-duga telah menotok pundaknya dengan mengambil jalan darah thian-hu-hiat. Inilah serangan dengan tenaga Im dan seketika itu juga tubuhnya menjadi lemas, ia tidak kuat berdiri lagi dan robohlah ia ke bawah dengan lemas bagaikan sehelai kain. Ternyata bahwa Pek Te Ji telah menjadi korban dari totokan yang menggunakan siasat Im dan Yang, menjadi korban ilmu totok yang timbul dari kecerdikan Ling Ling. Gadis ini memperhatikan ilmu totokan dari lawannya dan dengan cerdik ia lalu dapat mempergunakannya untuk merobohkan lawan. Ia maklum bahwa sebagai ahli totok, tentu saja Pek Te Ji mahir sekali akan penolakan segala macam serangan "Tiam-hoat", maka ia lalu meniru lawannya itu dan melakukan serangan yang berlawanan pada saat yang sama.

   Berkat kecepatan gerakannya, maka ia dapat menipu Pek Te Ji yang kini rebah di tanah tanpa dapat bergerak, hanya kedua matanya saja memandang dengan penuh penyesalan atas kebodohannya sendiri. Setelah berhasil merobohkan Pek Te Ji, Ling Ling bersama ibunya lalu maju terus, menuju ke dalam. Pada gardu penjagaan kedua telah berdiri Pek Thian Ji menantikan kedatangan mereka. Melihat keadaan pendeta ini, Ling Ling dan ibunya saling pandang sambil tersenyum karena mereka mengenal pendeta ini yang dulu pernah pula bertempur dengan mereka. Akan tetapi ibu dan anak itu merasa heran melihat cara pendeta itu berdiri. Pek Thian Ji telah memasang patok-patok bambu yang runcing ujungnya di depan gardu penjagaannya, sebanyak tiga puluh enam buah.

   Patok-patok itu ditancapkan di atas tanah, agaknya secara sembarangan saja, akan tetapi apabila diperhatikan, patok-patok ini merupakan barisan yang berbentuk pat-kwa dan dipasang menurut perhitungan yang masak. Betapapun juga, jarak antara satu dan lain patok sama lebarnya, yakni tiga kaki, tepat untuk pergerakan atau peralihan kaki dalam bersilat secara melompat-lompat. Melihat kecilnya patok dan ujungnya yang runcing, dapat dibayangkan bahwa untuk dapat bersilat di atas patok-patok ini, maka dibutuhkan ilmu ginkang yang tinggi. Pek Thian Ji yang terkenal sebagai ahli ginkang yang luar biasa, telah berdiri dengan satu kaki di atas patok, kaki kanan diangkat lurus ke depan dan kedua tangannya bertolak pinggang. Ia menyambut kedatangan Ling Ling dan ibunya dengan kata-kata tidak ramah.

   "Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li! Sungguhpun kalian tidak mau mengaku nama, akan tetapi aku yakin bahwa tentulah kalian yang disebut sebagai dua iblis wanita yang jahat itu. Kalian telah dapat sampai ke sini, berarti bahwa kalian telah dapat melalui suteku. Nah, jangan banyak membuang waktu lagi, kalau ada kepandaian, naiklah ke sini dan kalahkan aku!"

   Ling Ling dan ibunya sudah tahu akan kelihaian ilmu ginkang dari pendeta ini dan Ling Ling maklum bahwa pendeta ini secara licik hendak mempergunakan pengetahuannya tentang patok-patok itu untuk mengalahkannya. Akan tetapi, gadis ini telah memiliki ginkang yang tidak kalah tingginya oleh pendeta ini dan dalam hal ketabahan, ia lebih menang beberapa kali lipat. Tentu saja ia tidak takut menghadapi pendeta itu di atas patok. Akan tetapi ibunya lebih hati-hati. Betapapun tinggi kepandaian Ling Ling, akan tetapi oleh karena patok-patok itu yang memasang adalah pihak lawan, maka tentu saja pendeta itu lebih hafal. Sui Giok lalu membisikkan sesuatu kepada Ling Ling dan puterinya itu tersenyum manis. Ling Ling lalu melompat sambil berkata,

   "Pendeta sombong, siapa takut menghadapi patok-patokmu yang bobrok ini?"

   Akan tetapi, sesuai dengan bisikan ibunya, ia sengaja melompat ke atas patok kedua, mempergunakan ilmunya memberatkan tubuh yang disebut tenaga Jian-kin-cui (Tenaga Seribu Kati) sehingga ketika patok itu terinjak oleh kaki kirinya, patok bambu ini melesak ke bawah sampai rata dengan tanah. Dari sini ia melompat ke patok keempat, membuatnya rata dengan tanah, lalu keenam dan seterusnya, melompati sebatang patok sehingga akhirnya patok-patok di situ tinggal delapan belas saja, berdiri pada jarak enam kaki.

   

Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini