Wanita Iblis Pencabut Nyawa 7
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Bukan main terkejutnya Oei Lok Cun mendengar ucapan ini.
"Ampun, taijin! Hamba seorang yang lemah, tak pernah memegang senjata! Biarlah hamba membantu dengan harta benda hamba saja, untuk membeli ransum. Hamba... hamba bersedia berjuang di garis paling belakang saja!"
Habislah kesabaran Kwee Siong. Ia memberi tanda kepada penjaga dan memutuskan,
"Masukkan pengecut dan penjilat ini ke dalam penjara. Hukumannya sepuluh tahun, harta bendanya disita, ditinggalkan sepuluh bagian untuk putera dan keluarganya!"
Oei Lok Cun menangis dan mengeluh panjang pendek ketika ia diseret keluar. Seorang pembantu Kwee Siong yang duduk di sebelah kiri hakim itu dan yang tergerak hatinya oleh keluh kesah bekas pembesar kerajaan Sui itu memandang kepada Kwee Siong dengan mata memohon penjelasan.
"Orang macam itu,"
Kata Kwee Siong dengan sabar.
"Adalah orang yang amat berbahaya. Dalam keadaan negara aman, ia selalu berusaha untuk mengumpulkan kekayaan, tak perduli dengan jalan korupsi atau memeras rakyat. Kalau negara berada dalam bahaya, ia menyembunyikan diri, dalam persiapan perang ia selalu melepaskan diri mempergunakan uangnya. Kalau peperangan selesai, ia akan gembar gembor menonjolkan diri sebagai pahlawan terbesar dan menuntut jasa. Ia pengecut dan penjilat, berusaha menyuap pembesar atasannya dan mencekik pekerja bawahannya."
Penjelasan ini membuat semua orang menahan napas karena kagum dan takut.
Kalau ada di antara para pembantu itu yang bercita-cita seburuk kelakuan Oei Lok Cun, akan lenyaplah cita-cita itu bagaikan asap tertiup angin. Demikianlah, Kwee Siong memeriksa semua tawanan dan pesakitan dengan caranya sendiri, penuh kebijaksanaan, kewaspadaan, dan keadilan. Banyak yang dibebaskan, ada pula yang dihukum mati atau dihukum sampai bertahun-tahun. Ketika tiba giliran dua orang pesakitan wanita yang di dalam laporan disebut sebagai Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li, ia mengerutkan keningnya. Disangkanya bahwa kedua orang wanita itu tentulah perampok-perampok jahat yang mempergunakan kesempatan dalam peperangan itu untuk melakukan kejahatan, Akan tetapi ketika ia membaca laporan itu mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita itu menyerang dan melukai Jenderal Li Goan, ia menjadi terkejut sekali.
"Bawa ke sini seorang demi seorang!"
Perintahnya. Tak lama kemudian dari luar terdengar suara ribut-ribut dan seorang gadis muda yang cantik jelita diseret masuk. Gadis ini adalah Ling Ling yang diikat kedua kaki tangannya akan tetapi gadis itu masih berusaha meronta-ronta. Kalau saja ia tidak dalam keadaan tertotok maka ia akan dapat membuat tali-tali yang mengikat kaki tangannya itu akan putus semua.
"Hati-hatilah, jahanam-jahanam biadab!"
Desisnya dengan suaranya yang merdu dan nyaring sekali.
"Kalau aku dapat bebas, aku akan patahkan lehermu seorang demi seorang."
Ketika ia diseret di depan Kwee Siong, Ling Ling berdiri tegak dan memandang kepada pembesar ini dengan mata tajam dan penuh kebencian. Akan tetapi Kwee Siong memandangnya dengan senyum ramah dan pandang mata lembut, sehingga Ling Ling merasa heran dan juga jengah. Dengan heran ia merasa betapa kemarahannya mencair menghadapi wajah pembesar yang bermata tajam dan bermuka ramah itu. Pada saat itu, seorang perwira datang dan menyerahkan sepucuk surat kepada Kwee Siong. Ketika Kwee Siong membaca surat itu, ternyata itu adalah surat dari Li Goan yang minta agar supaya Kwee Siong menyelidiki keadaan kedua orang wanita yang mengamuk itu dengan seksama dan teliti. Dalam suratnya ini, Li Goan menceritakan betapa di dalam perjalanannya menyerbu kota raja, kedua orang wanita itu telah membantunya mati-matian dan jasa mereka amat besar.
"Nona, siapakah namamu?"
Tanyanya setelah membaca surat itu.
"Perlu apa bertanya lagi. Aku disebut Iblis Wanita dan aku sudah kalah karena keroyokan yang pengecut sekali. Aku sudah tertangkap, mau bunuh boleh bunuh, buat apa banyak tanya?"
"Kau gagah berani sekali, nona. Sayang sekali seorang gadis yang masih muda seperti kau, seorang yang masih banyak harapan di hari depan, yang seharusnya menjadi seorang calon ibu yang bijaksana, seorang berkepandaian tinggi yang seharusnya menjadi pejuang yang amat dibutuhkan oleh rakyat, kau ternyata telah tersesat sedemikian jauhnya. Sungguh sayang sekali kau menerima pelajaran ilmu kepandaian setinggi itu, kalau hanya kau pergunakan untuk membunuh Jenderal Li Goan, pemimpin besar dari rakyat jelata!"
Kata-kata pertama yang dikeluarkan oleh Kwee Siong mengharukan hati Ling Ling sehingga hampir saja ia mengeluarkan air matanya. Akan tetapi ucapan terakhir itu memanaskan hatinya sehingga ia menjawab marah,
"Kau ini siapakah maka berani bicara tentang kegagahan? Siapa yang tersesat? Aku selamanya membela rakyat dan membenci kaisar lalim dan pembesar terkutuk. Aku mengamuk dan membunuh perajurit-perajuritmu karena mereka merampok dan menculik wanita!"
Kwee Siong tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Aku sudah tahu, nona. Aku sudah tahu pula betapa kau dan kawanmu yang seorang lagi telah membantu perjuangan Jenderal Li Goan. Akan tetapi, mengapa kau tiba-tiba menyerang Jenderal Li Goan? Mengapa kau dan kawanmu tiba-tiba berbalik pikiran dan berusaha mati-matian untuk membunuhnya?"
"Karena ia musuh besar Kam Kok Han! Karena dia yang memegang Oei Hong Kiam!"
"Apa maksudmu?"
Tanya Kwee Siong dengan heran sekali.
"Tak perlu aku banyak bicara. Pendeknya siapa saja yang menjadi ahli waris pedang Oei Hong Kiam, orang itu harus kubunuh!"
Tertarik sekali hati Kwee Siong mendengar ini. Ia sudah hampir dapat membuka tabir rahasia tentang penyerangan itu. Ia mendesak dan membujuk, akan tetapi benar saja, Ling Ling tidak mau menjawab lagi. Ia tidak mau membuka rahasia Bu Lam Nio, dan hanya menyatakan bahwa ia harus membunuh Jenderal Li Goan, karena jenderal itu membawa pedang Oei Hong Kiam. Kwee Siong menjadi kewalahan menghadapi gadis yang keras kepala ini.
"Bawa yang seorang lagi ke sini!"
Perintahnya kepada penjaga. Berbeda dengan Ling Ling, Sui Giok masuk ke dalam ruangan itu dengan patuh dan tidak banyak memberontak. Ketika ia dihadapkan kepada Kwee Siong, Sui Giok mengangkat mukanya dan memandang, juga Kwee Siong memandang tajam. Dan... keduanya menjadi pucat sekali. Baik Sui Giok maupun Kwee Siong seakan-akan melihat setan di siang hari, mata mereka terbelalak, mulut celangap, bibir gemetar dan tubuh menggigil.
"Siapa namamu?"
Tanya Kwee Siong menahan getaran hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar parau dan menggigil sehingga semua orang memandangnya dengan khawatir.
"Hamba bernama Liem Sui Giok, taijin..."
Menjawab Sui Giok sambil menundukkan mukanya untuk menahan keluarnya air mata dari sepasang matanya. Ling Ling hampir saja berteriak saking herannya melihat sikap ibunya ini. Belum pernah ia melihat ibunya bersikap demikian lemah lembut dan tunduk.
"Dan... dan ini... ini anakmu...?"
Wajah Kwee Siong makin pucat dan suaranya makin perlahan.
"Betul, inilah Ling Ling, puteri hamba..."
Terdengar teriakan keras dan ributlah semua orang di situ melihat betapa Kwee Siong roboh pingsan di atas bangkunya dengan kepala terkulai di atas meja.
Dan yang amat mengherankan hati Ling Ling, ibunya berlutut sambil menundukkan muka dan menangis. Dalam keadaan ribut-ribut, ibu dan anak ini dibawa kembali ke kamar tahanan, sedangkan Kwee Siong lalu digotong masuk ke dalam istana. Ia pingsan sampai lama sekali dan ketika siuman, ia menderita demam panas yang hebat. Ia menderita pukulan batin yang hebat sekali ketika ia melihat isteri dan puterinya telah menjadi orang-orang yang disebut siluman-siluman wanita. Begitu siuman, ia berteriak-teriak dan kemudian jatuh pingsan lagi. Jenderal Li Goan cepat mencari ahli obat untuk memeriksanya dan memberinya obat. Semua orang berpendapat bahwa Kwee Siong terlampau lemah dan setelah ikut dalam peperangan yang melelahkan, sekarang kelelahan membuatnya jatuh sakit berat. Malam hari itu, Sian Lun dipanggil oleh Jenderal Li Goan.
"Kau pergilah ke tempat tahanan dan sedapat mungkin lanjutkan pemeriksaan pamanmu (Kwee Siong) atas diri dua orang wanita itu. Coba kau tanya dengan jelas, mengapa mereka itu membenci orang yang memegang pedang Peihk ini!"
Jenderal ini sudah mendengar tentang hasil pemeriksaan itu dan hatinya ingin tahu sekali. Kemudian Jenderal Li Goan lalu berpesan kepada Sian Lun agar supaya membebaskan kedua orang itu.
"Mengaku atau tidak, kau harus bebaskan mereka. Biarlah mereka datang lagi kalau masih penasaran hendak membunuhku!"
Jenderal ini tertawa.
"Aku sudah siap menantinya."
Demikianlah, malam hari itu sambil membawa surat perintah, Sian Lun menuju ke tempat tahanan. Sebelum ia tiba di tempat itu, Ling Ling dan ibunya bicara dengan asyik sekali. Berkali-kali Ling Ling membujuk ibunya agar suka menceritakan sikapnya yang aneh tadi, akan tetapi ibunya hanya menarik napas panjang.
"Tidak ada apa-apa, anakku, hanya bahwa dahulu aku pernah berkenalan dengan pembesar itu. Dia adalah kawan baik ayahmu dan... agaknya ia terharu melihat keadaan kita. Sudahlah, tak perlu kau tahu lebih banyak akan hal ini dan tak perlu pula kau bicara dengan siapapun juga. Biar aku yang akan menyelesaikan sendiri urusan ini apabila dia sudah dapat memeriksa lagi."
Ling Ling tak dapat mendesak ibunya yang nampak sedih dan selalu menangis itu. Dan pada saat itu, Sian Lun telah memperlihatkan surat kuasa kepada kepala penjaga, karena tanpa adanya surat kuasa dari Jenderal Li Goan, biarpun Sian Lun cukup dikenal sebagai panglima muda, tak mungkin ia diperkenankan masuk untuk bercakap-cakap dengan para tawanan. Demikianlah disiplin yang amat baik dan keras dari Jenderal Li Goan. Ketika melihat ada orang berjalan mendekati kamar tahanan mereka, Sui Giok menghentikan tangisnya dan Ling Ling memandang dengan marah ketika melihat bahwa yang datang adalah pemuda lihai yang kemarin bertempur dengan dia.
"Mau apa kau datang?"
Ia menegur dengan marah sekali dan seluruh mukanya berobah merah. Akan tetapi Sian Lun ketika melihat betapa kedua orang itu dibelenggu dan keadaan mereka masih lemah bekas totokannya dan totokan jenderal Li Goan, merasa amat kasihan.
Ia cepat membuka pintu kamar tahanan itu dan membuka pula belenggu kaki tangan mereka. Bahkan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membuka totokan dengan menepuk dan menotok kedua pundak gadis dan ibunya itu. Sesungguhnya totokan yang kemarin dilakukan olehnya dan oleh jenderal Li Goan telah lenyap pengaruhnya dalam waktu seperempat hari saja, akan tetapi kalau lenyapnya bukan karena dibuka dengan totokan lain, pengaruhnya masih ada dan masih membuat tubuh terasa lemas. Bukan main herannya hati Ling Ling dan Sui Giok ketika mereka melihat perbuatan pemuda bekas lawan ini. Lebih-lebih lagi rasa heran mereka ketika Sian Lun mengeluarkan dua batang pedang dari dalam mantelnya, yakni pedang Ling Ling dan pedang Sui Giok yang kemaren telah dirampas.
"Apa maksudmu dengan semua ini?"
Tanya Ling Ling masih ketus dan galak.
"Apakah kau hendak menyombongkan keberanianmu dan menantangku melanjutkan pertempuran kita satu lawan satu tanpa adanya pengeroyokan yang pengecut?"
Sambil berkata demikian, gadis ini sudah siap dan mencabut pedangnya. Akan tetapi ia dicegah oleh ibunya yang segera bertanya kepada Sian Lun,
"Orang muda, sesungguhnya mengapa kau melepaskan kami? Apakah kehendakmu?"
"Aku diperintah oleh Jenderal Li Goan untuk melepaskan kalian karena beliau menganggap kalian telah membantu perjuangan dan berjasa kepadanya."
Ucapan ini benar-benar di luar persangkaan kedua anak dan ibu itu. Tadinya mereka mengira bahwa Sian Lun sendiri yang mempunyai maksud menolong mereka, akan tetapi Jenderal Li Goan? Bukankah mereka telah menyerang dan hendak membunuhnya, bahkan Ling Ling telah berhasil melukai pundaknya? Sian Lun dapat menduga apa yang mereka pikirkan, maka ia lalu berkata lagi.
"Sesungguhnya, Jenderal Li Goan merasa amat penasaran mengapa kalian hendak membunuhnya hanya karena kebetulan sekali ia memegang pedang Oei Hong Kiam. Padahal, ia memiliki pedang itu adalah atas pemberianku!"
Mendengar ucapan ini, baik Ling Ling maupun Sui Giok melompat bangun dan memandang kepada Sian Lun dengan mata tajam mengancam.
"Jadi tadinya pedang itu adalah milikmu??"
Tanya Sui Giok yang tiba-tiba berobah suaranya menjadi keren sekali sehingga Sian Lun merasa amat terkejut. Kemudian...
"Memang Jenderal Li menerima pedang itu dariku,"
Kata pula Sian Lun sambil memandang tajam.
"Kalau begitu kau harus mampus ditanganku!"
Seru Ling Ling dan ibunya hampir berbareng. Sian Lun makin terkejut dan cepat-cepat ia mengangkat kedua tangannya.
"Harap sabar dulu toanio, dan kau juga nona. Pedang itu bukanlah pedang yang kuwarisi dari nenek moyangku. Aku hanya kebetulan saja mendapatkan pedang itu!"
Sui Giok menunda serangannya dan memandang tajam penuh perhatian.
"Coba kau ceritakan bagaimana kau mendapatkan pedang itu? Siapa pemiliknya sebelum terjatuh ke dalam tanganmu?"
Melihat ketegangan pada muka kedua orang wanita itu, Sian Lun dapat menduga bahwa pedang Oei Hong Kiam itu tentu mempunyai riwayat yang hebat sekali. Dengan singkat ia lalu menuturkan betapa ia mendapatkan pedang itu dari tangan seorang Panglima lawan, yakni Jenderal Kwan Sun Giok yang menjadi murid dari Liang Hoat Cinjin. Mendengar penuturan ini, Sui Giok menarik napas panjang dan berkata kepada Ling Ling.
"Ah, mengapa buruk benar nasib kita? Jenderal Li Goan yang gagah perkasa hampir saja kita bunuh karena kecerobohanku. Anak muda, tolong kau sampaikan pernyataan maafku kepada Jenderal Li Goan, dan juga terima kasih kami bahwa dia telah begitu baik hati untuk melepaskan kembali kami, ibu dan anak yang berdosa."
Bangga hati Sian Lun mendengar ucapan ini dan pemuda yang tadinya merasa gelisah ini, kini dapat tersenyum kembali. Dengan mata berseri, ia memandang kepada Ling Ling dan ibunya lalu berkata,
"Jenderal Li Goan adalah seorang pemimpin besar yang bijaksana. Kalau saja jiwi sudi bertemu dengan dia dan menyatakan hendak bekerja sama menggulingkan kaisar lalim yang kini masih belum tewas, tentu dia akan menerima dengan kedua tangan terbuka."
Sui Giok menggelengkan kepalanya.
"Kami bukanlah orang-orang yang haus akan kedudukan dan pangkat."
"Betapapun juga, kaisar lalim itu akhirnya pasti akan mampus di ujung pedangku!"
Ling Ling menyambung kata-kata penolakan ibunya.
"Orang muda, sebelum kami pergi, dapatkah kau menerangkan padaku, siapakah gerangan hakim yang memeriksa kami siang tadi?"
Sian Lun tersenyum gembira ketika menjawab,
"Ah, dia? Dia adalah pamanku sendiri, bernama Kwee Siong, orang termulia di atas dunia ini!"
Wajah Sui Giok menjadi pucat sekali dan bibirnya gemetar. Untuk menyembunyikan kebingungan dan keharuan hatinya, ia berkata gagap.
"Jadi kau keponakannya, bukan anaknya...?"
Pertanyaan ini sebetulnya merupakan ucapan penutup keharuannya, asal keluar saja, akan tetapi dijawab oleh Sian Lun yang tidak menduga sesuatu.
"Bukan toanio. Aku bukan anaknya. Pamanku Kwee hanya mempunyai seorang putera yang bernama Kwee Cun, baru delapan tahun usianya."
Belum habis pemuda itu mengeluarkan ucapan ini, Sui Giok telah memegang tangan Ling Ling dan menariknya keluar.
"Hayo kita pergi!"
Tentu saja Sian Lun menjadi heran sekali. Akan tetapi ketika ia menyusul keluar, ibu dan anak yang aneh itu telah lenyap ditelan malam gelap. Terpaksa ia kembali ke tempat tinggal Kwee Siong dengan hati menduga-duga. Adapun Ling Ling yang semenjak kecil belum diberitahu oleh ibunya akan nama ayahnya, juga sama sekali tidak pernah mengira bahwa hakim itu adalah ayahnya sendiri.
Tadinya Sui Giok menanti dengan hati penuh harapan ketika ia melihat betapa hakim itu adalah suaminya sendiri, akan tetapi dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar dari Sian Lun bahwa suaminya yang kini telah menduduki pangkat tinggi itu ternyata telah menikah lagi dan telah mempunyai seorang putera. Ia menyembunyikan hal ini dari Ling Ling, karena ia maklum akan kekerasan hati puterinya ini. Ia tidak dapat menyalahkan pernikahan suaminya itu, karena sebagai seorang bijaksana, Sui Giok dapat mempertimbangkan keadaan suaminya yang tadinya seakan-akan menghidupkan jiwanya yang telah mati, kini api harapan itu padam lagi dan membuat ia merasa betapa kosongnya dunia ini. Sementara itu, ketika siuman kembali dari pingsannya, Kwee Siong memandang ke kanan kiri, kemudian terdengar ia mengeluh.
"Mana... mana mereka...??"
Bisiknya berkali-kali dengan tubuh terasa panas bagaikan dibakar. Seorang tinggi besar mendekatinya dan memegang tangannya.
"Saudara Kwee, kau kenapakah?"
Suara ini halus sekali sungguhpun terdengar besar dan dalam. Kwee Siong memandang kepada wajah Jenderal Li Goan, dan tiba-tiba ia bangun dan duduk.
"Goanswe... tolonglah... keluarkan mereka. Ah, mereka itu adalah isteriku dan puteriku! Sui Giok... isteriku ternyata masih hidup dengan anaknya... anakku... Ling Ling!"
Tentu saja Li Goan menjadi terharu dan menggeleng-gelengkan kepala, mengira bahwa hakim ini telah menjadi kacau pikirannya karena terserang demam.
"Beristirahatlah, saudara Kwee, kau terserang penyakit panas. Mungkin kau terlalu lelah,"
Katanya lemah lembut sambil mendorong perlahan pundak Kwee Siong supaya berbaring lagi. Akan tetapi, dengan mata terbelalak Kwee Siong memegang tangannya dan berkata,
"Tidak, Goanswe, tidak! Dua orang wanita itu... yang katanya menyerangmu, mereka itu benar-benar isteri dan puteriku yang kukira tewas belasan tahun yang lalu!"
Barulah Jenderal Li Goan terkejut mendengar ucapan ini. Ia lalu duduk di pinggir pembaringan Kwee Siong yang menceritakan riwayatnya ketika ia dibawa pergi oleh pasukan pengumpul tenaga rakyat untuk dipaksa bekerja. Ia menuturkan pula bahwa telah beberapa kali ia menyuruh orang menyelidiki keadaan isteri dan anaknya, dan mendengar bahwa mereka itu tidak kelihatan bekas-bekasnya lagi, kemungkinan besar sudah tewas di dalam hutan.
"Dan sekarang mereka muncul... mereka berada di sini! Ah, tolonglah Goanswe, bebaskan mereka, biar mereka datang ke sini!"
Li Goan terkejut sekali dan cepat ia pergi keluar untuk memberi kabar kepada Sian Lun. Akan tetapi ia mendengar dari pemuda ini bahwa kedua ibu dan anak itu telah pergi, entah ke mana. Pemuda ini menuturkan pengalamannya dan dengan wajah lesu jenderal ini lalu masuk kembali ke kamar di mana Kwee Siong berbaring dengan penuh harapan. Alangkah terkejut dan menyesalnya hati Kwee Siong ketika ia mendengar Li Goan berkata,
"Mereka sudah pergi, agaknya isterimu tidak mau bertemu dengan kau."
Ia lalu menuturkan kembali apa yang ia dengar dari Sian Lun tadi. Kwee Siong menutup mukanya dengan kedua tangan dan ia menangis terisak-isak seperti anak kecil.
"Ah, Sui Giok... Sui Giok... tentu kau marah dan membenciku... aku telah berdosa besar kepadamu! Sui Giok, mengapa kau tidak mau kembali kepadaku...?"
Dalam keadaan sakit keras Kwee Siong lalu diangkat pulang ke rumah sendiri. Atas permintaannya, peristiwa itu dirahasiakan, hanya Kwee Siong dan Li Goan sendiri yang mengetahuinya. Bahkan Sian Lun sendiri tidak diberi tahu bahwa ibu dan anak yang menyerang Li Goan itu sebenarnya adalah isteri dan puteri dari Kwee Siong.
Nyonya Kwee Siong dari keluarga Liok adalah seorang yang terpelajar. Melihat keadaan suaminya dan mendengar betapa di dalam sakitnya, suaminya mengingau dan memanggil-manggil nama Sui Giok, ia menjadi curiga. Ia telah diberitahu oleh suaminya bahwa suaminya dulu pernah menikah dengan orang yang bernama Sui Giok dan yang dikabarkan telah tewas, maka ketika ia melihat suaminya sudah menjadi agak sembuh, dengan halus ia mendesak dan membujuk kepada Kwee Siong untuk menceritakan keadaannya. Kwee Siong maklum akan kebaikan hati isterinya, maka ia lalu berterus terang, menceritakan apa yang telah terjadi. Nyonya Kwee menjadi sangat terharu dan dengan setulus hatinya ia mengucurkan air mata.
"Aduh, kasihan sekali mereka! Suamiku, mengapa pada saat kau bertemu dengan mereka, kau tidak mengajak mereka pulang ke sini? Mereka berhak duduk di sampingmu dan hidup bersama kita serumah. Dia adalah ibu dari anakmu yang sulung dan aku adalah ibu dari anakmu yang bungsu. Kami dapat menjadi enci-adik dan hidup rukun di sini."
Kwee Siong menghela napas berulang berkali dengan penuh kemenyesalan.
"Aku berdosa besar... aku berdosa besar kepada mereka..."
Hanya inilah yang diucapkan berkali-kali dan hatinya penuh dengan pertanyaan bagaimana Sui Giok yang lemah lembut itu kini telah menjelma menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan mengerikan. Akan tetapi siapakah dapat menjawab pertanyaan ini? Puterinya, Ling Ling yang dulu masih berada dalam kandungan Sui Giok ketika mereka terpaksa berpisah, ternyata demikian cantik jelita, demikian gagah berani, ah... Tiada habisnya penyesalan menggerogoti hati Kwee Siong sehingga dalam beberapa bulan saja rambut kepalanya banyak yang menjadi putih, sikapnya makin pendiam dan seringkali ia duduk melamun. Sungguhpun ia masih melakukan tugas pekerjaannya seperti biasa, namun ia tak pernah lagi nampak gembira seperti biasa. Tentu saja isterinya juga ikut menjadi sedih. Berkali-kali isteri yang bijaksana ini menghiburnya.
"Suamiku, kau tidak berdosa, sama sekali tidak berdosa. Kau bukan sengaja meninggalkan enci Sui Giok, dan kau menikah dengan aku karena mengira bahwa enci Sui Giok sudah meninggal dunia. Nasiblah yang menjadikan enci Sui Giok seperti itu dan yang telah merusakkan kebahagiaan rumah tanggamu bersama enci Sui Giok. Ada ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa perbuatan salah yang dilakukan tanpa disadarinya dan tanpa disengaja bukanlah perbuatan dosa. Lebih baik kita berusaha mencari mereka dan membawa mereka itu ke sini."
Terhibur jugalah jati Kwee Siong oleh ucapan isterinya yang bijaksana ini dan ia mulai menyuruh orang-orangnya untuk mencari di mana adanya ibu dan anak itu. Jenderal Li Goan ternyata adalah seorang yang tidak saja pandai mainkan senjata dan memimpin barisan, akan tetapi ternyata ia pandai pula menghatur pemerintahan. Ia mulai mengatur pemerintahan, mengangkat pembesar-pembesar, membagi-bagi tugas dan mulai mengatur pekerjaan, melanjutkan ketatanegaraan dengan adil dan baik. Disamping ini, ia masih mengerahkan pasukan-pasukannya untuk terus mengejar kaisar dan sisa balatentaranya. Sementara itu, di mana-mana masih saja berkobar api pemberontakan. Sebagian besar para pasukan pemberontak yang bergerak menyendiri, dapat dibujuk dan dapat digabungkan dengan barisan di bawah pimpinan Jenderal Li.
Akan tetapi ada pula pemberontak-pemberontak yang mempunyai cita-cita sendiri dan yang bahkan memerangi pasukan Jenderal Li, oleh karena ini dipimpin oleh orang-orang yang sesungguhnya menginginkan kedudukan kaisar. Oleh karena ini, di mana-mana terjadi pertempuran antara pasukan kaisar melawan para pemberontak dan antara pasukan-pasukan Jenderal Li melawan pemberontak-pemberontak yang tidak mau menggabungkan diri. Keadaan negara menjadi rusuh sekali, pertempuran kacau balau terjadi di mana-mana. Kedudukan Kaisar Yang Te makin lemah, sungguhpun kaisar ini masih melakukan perlawanan mati-matian. Pemberontak-pemberontak yang paling hebat menggempur
(Lanjut ke Jilid 07)
Wanita Iblis Pencabut Nyawa/Toat Beng Mo Li (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
barisan Kaisar Yang Te adalah sepasukan pemberontak baru yang terdiri dari pendeta-pendeta dan anak buah perkumpulan agama Pek-sim-kauw.
Mereka ini berjuang tanpa maksud untuk keuntungan diri sendiri. Mereka hanya bergerak untuk menumbangkan kekuasaan Kaisar Yang Te yang amat dibenci karena kelalimannya. Tadinya anggauta-anggauta Pek-sim-kauw ini bangun dan menggabungkan diri dengan para pemberontak setempat, tidak memilih pihak mana dan siapa yang memimpin pemberontakan itu. Akan tetapi, akhirnya terbuka mata mereka dan yang merasa bahwa barisan pemberontak di mana mereka menggabung diselewengkan pemimpinnya yang memberontak dengan maksud untuk menjadi kaisar, lalu keluar dari pasukan itu. Akhirnya para anggauta Pek-sim-kauw ini agaknya mendapatkan seorang pemimpin baru dan mereka bersatu merupakan sebuah pasukan Pek-sim-kauw yang luar biasa kuatnya.
Tiap kali terjadi pertempuran antara barisan Pek-sim-kauw melawan barisan pelindung kaisar banyaklah perwira-perwira gagah perkasa dari kaisar yang roboh tewas oleh pasukan yang kuat ini. Sesungguhnya pasukan Pek-sim-kauw ini tidak seberapa banyak jumlahnya, akan tetapi mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi pemimpin mereka yang baru, ternyata bahwa pemimpin ini amat tangguh dan tiap kali pasukan Pek-sim-kauw menghadapi perlawanan yang dipimpin oleh seorang perwira lihai selalu pemimpin Pek-sim-kauw inilah yang merobohkan perwira itu. Siapakah pemimpn Pek-sim-kauw yang lihai ini? Bukan lain adalah Ling Ling dan ibunya, Sui Giok. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ibu dan anak ini melarikan diri dari tempat tahanan setelah dilepaskan oleh Sian Lun.
Karena Sui Giok merasa hancur hatinya dan habis binasa pengharapannya ketika mendengar bahwa suaminya yang kini telah menjadi seorang pembesar tinggi ternyata telah menikah lagi dan telah mempunyai seorang putera. Kalau dulu di dalam setiap tindakan, Sui Giok selalu menjadi kemudi dan selalu mencegah puterinya berlaku ganas, adalah kini nyonya mempunyai sepak terjang mengerikan sekali. Di dalam setiap pertempuran, Sui Giok mengamuk bagaikan kerbau luka, menghancurkan tentara musuh yang berani menghadapinya. Ia berlaku nekad dan tidak memperdulikan lagi bahaya yang mengancamnya, seakan-akan ia tidak perduli lagi akan hidup matinya. Memang nyonya ini telah putus harapan dan di dalam dadanya terdapat kedukaan besar sekali yang selalu disembunyikan dari mata orang lain, bahkan dari mata puterinya sendiri.
Ling Ling dan Sui Giok diangkat menjadi pemimpin oleh pasukan Pek-sim-kauw, ketika pada suatu hari serombongan pendeta Pek-sim-kauw terdiri dari belasan orang telah dikurung oleh sepasukan tentara kaisar di dalam sebuah hutan. Belasan pendeta Pek-sim-kauw ini melawan mati-matian, akan tetapi karena pihak lawan amat banyak jumlahnya dan dipimpin oleh lima orang perwira kelas satu, agaknya rombongan pendeta Pek-sim-kauw itu tidak akan menang dan tidak mempunyai jalan keluar pula. Tiba-tiba terdengar bentakan merdu dan nyaring dan dua bayangan orang yang luar biasa sekali gerakannya menyerbu masuk, mengocar-ngacirkan barisan kaisar ini dan dalam beberapa jurus saja telah berhasil merobohkan lima orang perwira kaisar. Barisan kaisar menjadi kacau balau dan ketika melihat betapa pemimpin-pemimpin mereka gugur, mereka lalu melarikan diri.
"Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li!"
Tiba-tiba terdengar seruan heran dan ketika kedua orang wanita yang telah membantu mereka itu menengok, Ling Ling dan Sui Giok mengenal bahwa di antara para pendeta itu, terdapat dua orang pendeta yang mereka kenal baik, yakni Pek Hong Ji dan Pek Thian Ji dua orang di antara Pek-sim Ngo-lojin di Cengtu.
Demikianlah, Ling Ling dan ibunya lalu diangkat menjadi pemimpin mereka dan ketika ditanya, Pek Hong Ji dan adiknya memberitahukan bahwa tiga orang di antara kelima kakek gagah itu, yakni Pek Im Ji, Pek Yang Ji, dan Pek Te Ji, telah gugur di dalam pertempuran-pertempuran yang lalu. Dengan adanya pasukan Pek-sim-kauw ini, maka para anggauta dan pendeta Pek-sim-kauw yang tersebar di mana-mana lalu datang menggabungkan diri sehingga pasukan ini menjadi makin besar dan kuat. Pasukan ini bermarkas di dalam sebuah hutan di luar kota Yang-kouw di mana Kaisar Yang Te membangun benteng sebagai tempat pertahanan terakhir. Memang, karena dikejar-kejar dan sebagian besar barisannya telah dapat dipukul mundur hancur,
Kaisar Yang Te dengan para pengikut dan pasukannya yang masih bersetia kepadanya, lalu bersembunyi di dalam kota Yang-kouw. Sisa-sisa barisan dikumpulkan dan dipusatkan di tempat ini, membuat pertahanan yang cukup kuat. Beberapa kali pasukan-pasukan pemberontak datang menggempur, akan tetapi pertahanan kaisar ini berhasil memukul mundur barisan penyerang sehingga sampai hampir setahun kaisar itu masih hidup selamat di kota Yang-kouw ini. Pada suatu hari, ketika Ling Ling dan Sui Giok sedang duduk beristirahat di bawah sebatang pohon pek yang besar, datanglah seorang pendeta Pek-sim-kauw dan setelah dekat, ternyata bahwa yang datang itu adalah pendeta Pek Hong Ji. Napasnya terengah-engah tanda bahwa pendeta yang sudah tua ini telah berlari-lari dari tempat jauh dalam keadaan yang tegang.
"Ada apakah, totiang?"
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Ling Ling sambil bangun berdiri.
"Siocia, toanio, pertempuran besar telah dimulai! Penyerbuan besar-besaran telah terjadi, dilakukan oleh barisan Jenderal Li dari Tiang-an. Inilah saatnya benteng Yang-kouw dihancurkan."
Seakan-akan menjadi bukti dari laporan pendeta Pek Hong Ji ini, tiba-tiba terdengar sorak sorai yang riuh sekali dari jurusan kota Yang-kouw.
"Bagus, kita harus cepat menyerbu, membantu barisan Jenderal Li!"
Dengan sigap Ling Ling memberi perintah.
"Kumpulkan kawan-kawan kita dan kita menyerbu dari belakang kota. Biarkan barisan Tiang-an yang besar jumlahnya menggempur dari depan dan selagi para tentara kaisar mempertahankan dan mengumpulkan kekuatan di benteng depan, kita menyerbu dari belakang dan memasuki kota!"
Ketika pasukan mereka sudah berkumpul dan hendak berangkat, Sui Giok berkata kepada Ling Ling dan kepada kedua pendeta Pek-sim-kauw, yakni Pek Hong Ji dan Pek Thian Ji.
"Kalau kita sudah berhasil menyerbu masuk, jangan mengganggu kaisar, dia adalah bagianku dan pedang ini yang akan menamatkan riwayatnya!"
Pek Thian Ji tersenyum.
"Aduh, toanio bersemangat benar?! Jangan kuatir, toanio, kami takkan mendahului."
Berangkatlah pasukan istimewa ini keluar dari dalam hutan, berlari dengan cepat sekali tanpa mengeluarkan suara. Mereka ini rata-rata memiliki ilmu lari cepat yang cukup baik. Ketika mereka telah keluar dari hutan, suara sorak sorai peperangan makin terdengar ramai. Ternyata bahwa barisan dari Tiang-an telah mulai menyerbu dan peperangan telah terjadi dengan hebatnya. Pasukan dari Tiang-an ini mempergunakan anak panah yang menghujani tempat-tempat penjagaan di atas tembok benteng, sedangkan dari dalam benteng juga keluar anak panah dan batu dari atas tembok bagaikan hujan.
Ling Ling dan Sui Giok memimpin pasukan mereka ke belakang kota dan menghampiri tembok kota. Akan tetapi ternyata perhitungan mereka meleset. Serbuan balatentara dari Tiang-an yang amat besar jumlahnya dan amat kuat itu, membuat kaisar menjadi ketakutan sehingga kaisar ini bersiap-siap untuk lari mengungsi lagi. Oleh karena itu, ketika pasukan Pek-sim-kauw tiba di luar benteng sebelah belakang dan hendak mendobrak pintu itu, tiba-tiba dari atas tembok yang nampaknya tak terjaga itu turunlah batu-batu dan anak panah bagaikan hujan lebatnya. Dan selagi mereka menjadi terkejut dan kacau balau serta banyak anak buah yang menjadi korban hujan batu dan anak panah, tiba-tiba pintu benteng terbuka lebar-lebar dan sepasukan perwira istimewa, yakni barisan pelindung kaisar yang berkepandaian tinggi sekali, menerjang dan membabat mereka.
Ling Ling dan Sui Giok menjadi marah sekali. Dengan nekad kedua ibu dan anak ini lalu menyerbu dan menghadapi keroyokan para perwira dengan gagahnya. Akan tetapi, para perwira itu benar-benar tangguh sehingga ibu dan anak ini tidak dapat mencegah ketika kaisar dapat melarikan diri dengan sebuah kendaraan, dikawal oleh sepasukan pelindung yang nampak gagah dan kuat. Ling Ling dan Sui Giok tidak dapat mengejar, karena para pengeroyok mereka amat banyak dan amat tangguh. Adapun para pendeta Pek-sim-kauw juga sibuk menghadapi serbuan perajurit-perajurit bayangkari. Sui Giok menjadi sengit sekali. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga robohlah seorang lawan, kemudian ia berteriak keras,
"Tahan anjing-anjing ini! Aku hendak mengejar kaisar jahanam itu!"
Ia lalu melompat pergi, mengejar ke arah rombongan kaisar sambil menjerit-jerit.
"Kaisar lalim! Tunggulah pembalasanku! Kau telah menghancurkan hidupku, sekaranglah saatnya aku membalas dendam!!"
Jeritan ini disertai isak tangis sehingga Ling Ling menjadi terharu dan terkejut juga. Amat berbahayalah kalau ibunya menyerbu rombongan kaisar itu seorang diri. Ia maklum bahwa di antara rombongan kaisar itu terdapat banyak sekali pelindung yang ilmu silatnya tinggi. Maka ia lalu menyerbu cepat, merobohkan dua orang pengeroyok dan berkata kepada Pek Hong Ji.
"Totiang, aku hendak menyusul ibu."
Ia lalu melompat cepat, menyusul ibunya. Alangkah kagetnya ketika akhirnya ia dapat menyusul ibunya yang sedang dikeroyok oleh dua orang perwira yang amat gagah perkasa. Rombongan kaisar tidak kelihatan lagi, agaknya telah melarikan diri ke atas bukit yang nampak dari situ, dan ibunya telah dilawan oleh dua orang perwira yang berkepandaian tinggi.
"Kaisar jahanam, tunggu ku penggal lehermu!"
Sui Giok masih menjerit-jerit sambil memutar pedangnya.
"Perempuan gila, kau ingin mampus!"
Seru seorang di antara kedua perwira yang mengeroyok dan dengan sebuah sabetan hebat goloknya berhasil merobohkan Sui Giok.
"Ibu...!"
Ling Ling yang tak keburu mencegah peristiwa itu melompat menerjang dengan hebat dan begitu pedangnya berkelebat, ia telah membabat kepala perwira yang bergolok itu bersama goloknya yang juga terbabat putus. Tanpa dapat mengeluarkan suara, perwira itu roboh dengan kepala pecah.
Ling Ling menjadi marah sekali. Perwira kedua yang bersenjata tombak hendak lari melihat kehebatan sepak terjang gadis ini, akan tetapi belum sepuluh langkah ia lari, tiba-tiba ia merasa ada sambaran angin dari belakangnya. Cepat ia membalikkan tubuh dan memutar tombaknya, akan tetapi terdengar suara keras dan tombaknya terbabat putus oleh pedang Pek-hong-kiam di tangan Ling Ling. Sebuah tusukan dengan gerak tipu Burung Hong Mematuk Jantung dan robohlah perwira bertombak itu dengan dada tertembus pedang. Dalam kemarahannya, Ling Ling hendak mengejar terus ke atas bukit, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar keluhan ibunya yang memanggil namanya. Ia cepat menghampiri ibunya dan berlutut lalu memeluk kepala ibunya. Ternyata bahwa sebelum menerima bacokan golok tadi, Sui Giok telah menderita banyak luka dalam pertempurannya dengan dua orang perwira tadi.
"Ibu...!"
Sui Giok membuka matanya mendengar panggilan anaknya ini dan ia merangkul leher Ling Ling, menarik kepala puterinya itu, mendekat dan menciumi muka anaknya. Ketika ia melepaskan pelukannya, muka Ling Ling penuh darah, darah yang mengalir keluar dari jidat ibunya.
"Ling Ling... dengarlah, hakim itu... pembesar yang bernama Kwee Siong, hakim yang memeriksa kita itu... dia adalah suamiku, dia adalah ayahmu!"
"Ibu..."
"Dia benar ayahmu, Ling Ling, ayahmu yang dulu dipaksa berpisah dariku, sewaktu kau masih dalam kandunganku... sekarang dia telah menjadi pembesar tinggi..."
Wajah Sui Giok berseri sebentar.
"Dan... dia sudah menikah lagi, sudah berputera..."
"Aku hendak mencari dan membunuhnya, ibu! Dia telah menyakiti hatimu!"
"Jangan, Ling Ling, dia ayahmu..."
"Aku tidak perduli! Kalau dia ayahku, mengapa dia melupakan ibu? Mengapa dia kawin lagi dan membiarkan ibu hidup sengsara? Aku harus membunuhnya!"
Wajah Sui Giok yang sudah pucat itu menjadi makin pucat. Inilah yang ia takutkan selama ini.
"Ling Ling, dengar... aku terluka parah dan takkan lama lagi hidup..."
"Ibu, jangan kau berkata demikian. Akan kubawa kau kepada Pek Hong Ji Totiang. Dia bisa mengobatimu."
Ling Ling mengangkat tubuh ibunya, memondongnya dan hendak membawanya kembali ke tempat pertempuran tadi, di luar pintu belakang benteng.
"Ling Ling... aku tak kuat lagi, nak... perhatikanlah kata-kataku terakhir. Jangan kau membunuh ayahmu, dia tidak bersalah. Dia mengira aku telah mati, Ling-ji, bersumpahlah bahwa kau takkan membunuh ayahmu! Yang berdosa dan bersalah besar adalah kaisar..."
"Aku akan bunuh mereka... akan kubunuh mereka semua..."
Kata Ling Ling bagaikan mabok sambil membawa lari tubuh ibunya.
"Ling-ji..."
Suara ibunya melemah dan tiba-tiba bagaikan tersentak kaget, Ling Ling menahan kakinya dan berdiri bagaikan patung. Ia memandang ke depan, tidak berani memandang kepada ibunya, akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali. Ia merasa betapa di dalam pondongannya, tubuh ibunya menegang sebentar lalu tiba-tiba menjadi lemas dan dingin...!
"Ibu..."
Bisiknya perlahan tanpa berani memandang ke bawah.
"Ibu...!"
Panggilannya mengeras. Tiada jawaban.
"Ibu...!!"
Kini ia memandang kepada wajah ibunya yang masih berada di dalam pondongannya. Mata Ling Ling terbelalak, wajahnya makin pucat sekali, kedua kakinya menggigil sehingga ia jatuh berlutut dengan tubuh ibunya masih dipondongnya.
Ibu...!!!"
Ia menjerit keras sambil memeluk tubuh ibunya yang sudah menjadi mayat.
"Ibu, bicaralah, bukalah matamu, ibu..."
Bagaikan gila, Ling Ling membuka-buka pelupuk mata ibunya yang sudah tertutup, melihat betapa bola mata ibunya diam tak bergerak, menciumi mulut dan mata ibunya, memohon supaya ibunya hidup kembali. Akhirnya gadis yang malang ini roboh pingsan sambil memeluk tubuh ibunya. Ketika siuman kembali, ternyata Ling Ling telah ditolong Pek Hong Ji dan kawan-kawannya. Dengan penuh penghormatan jenazah Sui Giok lalu dikubur, diiringi tangis dan ratap Ling Ling yang memilukan. Dari Pek Hong Ji, Ling Ling mendengar betapa kota Yang-kouw telah terjatuh ke dalam tangan balatentara Jenderal Li Goan dan bahwa pasukan-pasukan kaisar telah dapat dihancurkan.
"Yang memimpin pasukan dari Tiang-an itu bukan lain adalah sute kami yang gagah perkasa!"
Pek Hong Ji menuturkan kepada Ling Ling dengan bangga.
"Memang benar-benar hebat sepak terjang sute kami Liem Sian Lun itu. Kegagahannya dapat disamakan dengan kau siocia."
Akan tetapi Ling Ling tidak tertarik. Di dalam kesedihannya ditinggal mati ibunya, yang teringat olehnya hanya balas dendam saja.
"Kumpulkan kawan-kawan, sekarang juga kita menyerbu ke bukit itu, menghabiskan sisa-sisa pengikut kaisar dan membunuh kaisar jahanam itu."
"Nona, kawan-kawan sudah lelah dan menurut Liem-sute, sudah disiapkan pasukan istimewa untuk menyerbu naik ke bukit dan menawan kaisar!"
Ling Ling memandang marah.
"Begitukah? Kalau demikian, biarlah aku sendiri naik ke atas dan melakukan penangkapan sendiri!"
Terpaksa Pek Hong Ji lalu menjawab,
"Baiklah, baiklah, tentu saja kami menurut perintahmu."
Maka dikumpulkanlah pasukan Pek-sim-kauw yang masih ada tiga puluh orang lebih jumlahnya itu dan menyerbulah mereka ke atas bukit. Benar seperti yang dikatakan Pek Hong Ji, dari lain jurusan yakni dari jurusan kota Yang-kouw, nampak barisan yang panjang sedang menuju ke bukit di mana Kaisar Yang Te mengungsi.
"Cepat, jangan sampai terdahului oleh mereka!"
Ling Ling memberi perintah dan mereka bergerak lebih cepat lagi untuk mendahului barisan yang dipimpin oleh Liem Sian Lun. Sementara itu, Liem Sian Lun yang memimpin pasukannya, juga melihat pasukan Pek-sim-kauw ini menaiki bukit. Ia telah mendengar dari Pek Hong Ji bahwa pasukan itu dipimpin oleh Toat-beng Mo-li, wanita yang dicari-cari oleh pamannya, Kwee Siong itu.
Ia tidak tahu mengapa pamannya mencari mereka, akan tetapi hatinya merasa gembira ketika mendengar bahwa dua orang wanita itu ternyata membantu perjuangan menumbangkan kekuasaan kaisar. Kini melihat pasukan Pek-sim-kauw mempercepat gerakannya, iapun lalu memberi aba-aba kepada pasukannya untuk bergerak lebih cepat lagi. Maka bergeraklah dua pasukan itu dari lain jurusan, bercepat-cepat dan agaknya berlomba untuk dulu mendului menerjang pertahanan akhir dari kaisar di puncak bukit itu. Bukan main sibuknya barisan pengawal kaisar menghadapi serbuan dua pasukan musuh ini. Betapapun juga, barisan pengawal terakhir ini adalah barisan terkuat, yang terdiri dari pada pengawal-pengawal yang setia dan gagah berani. Mereka melakukan perlawanan hebat sehingga tidak mudahlah bagi pasukan-pasukan penyerbu untuk membobolkannya.
Pertempuran hebat terjadi, di mana dari dua pihak jatuh korban-korban yang banyak sekali. Di dalam kehebatan pertempuran ini, Ling Ling lalu memisahkan diri dan dengan cepatnya ia lalu mendaki bukit itu, menuju perkemahan kaisar yang berada di pinggir sebuah anak sungai. Keadaan di puncak bukit itu indah sekali. Ketika Ling Ling sudah tiba di atas, ia sendiri terpesona oleh keindahan pemandangan alam di tempat itu. Suara pertempuran di lereng bukit hanya terdengar samar-samar saja dan keadaan di situ amat sunyi dan indah. Burung-burung berkicau, mengiringi desiran anak sungai, kadang-kadang dihembus angin gunung yang membuat daun-daun dan kembang-kembang menari-nari. Perkemahan yang dibuat di situ amat banyaknya. Adapun kemah di mana kaisar berada merupakan kemah terbesar dengan bendera naga terpancang di atasnya.
Di situ nampak kosong dan sunyi, karena para penjaga semua dikerahkan ke lereng bukit untuk membendung serbuan para musuh. Akan tetapi, ketika Ling Ling hendak menyerbu ke dalam kemah kaisar itu, tiba-tiba muncul lima orang perwira dengan pedang di tangan. Lima orang ini adalah pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah lima orang siwi (pengawal kaisar) yang berkepandaian tinggi, karena tingkat kepandaian mereka bahkan masih sedikit lebih tinggi dari pada kepandaian perwira-perwira kelas satu dari kerajaan. Mereka inilah yang menjadi perisai kaisar dan untuk dapat menawan atau membunuh kaisar, orang harus dapat merobohkan mereka terlebih dulu. Bagaikan patung-patung batu, kelima orang siwi itu berdiri dengan pedang di tangan, menghadang di depan kemah dengan mata memandang penuh kemarahan.
"Nona, sekarang bukan waktunya bersenang-senang. Kalau kau hendak mencumbu Hong-siang, lebih baik mencari kesempatan lain waktu,"
Kata seorang di antara mereka dengan senyum sindir.
"Keparat jahanam! Aku datang untuk memenggal leher kaisar lalim!"
"Oho, mudah benar kau membuka mulut!"
Seru siwi kedua. Akan tetapi Ling Ling tidak mau banyak bicara lagi, pedang Pek-hong-kiam diputar cepat dan berobah menjadi segunduk sinar putih yang menerjang kelima orang siwi itu.
"Bagus, kau dapat juga mainkan pedang!"
Seru seorang siwi dan kelimanya lalu menyambut serbuan Ling Ling. Gadis ini harus mengakui ketangguhan para lawannya, karena tangkisan pedang mereka membuat pedangnya terpental kembali, sedangkan kelimanya ternyata juga memiliki pedang pusaka yang kuat sekali. Pertempuran terjadilah dengan hebatnya di tempat sunyi itu. Dan betapapun Ling Ling mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, namun sukar sekali baginya untuk merobohkan seorang di antara kelima pengeroyoknya. Ilmu pedang para siwi itu amat kuatnya, karena mereka ini adalah murid-murid dari Bu-tong-pai yang sudah menamatkan pelajaran ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat.
Kalau saja mereka tidak maju berlima, agaknya Ling Ling masih akan dapat menang, karena sesungguhnya ilmu pedang Ling Ling yang luar biasa, yakni Kim-gan-liong-kiam-sut, masih lebih menang dan unggul daripada ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat. Akan tetapi dengan majunya lima orang yang ilmu kepandaiannya setingkat ini, mereka merupakan lawan yang amat tangguh. Mereka dapat bermain pedang dengan saling membela dan saling melindungi, dan melakukan serangan pembalasan yang tak kalah berbahayanya. Ditambah lagi oleh kelelahannya, Ling Ling mulai terdesak dan terkurung hebat. Akhirnya ia bermain pedang sambil mundur. Selalu menangkis dan harus mempergunakan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari bahaya maut yang disebarkan oleh pedang-pedang lawannya.
Ia menjadi marah dan penasaran sekali, Hanya keteguhan hati dan ketabahannya yang luar biasa saja membuat Ling Ling masih kuat bertahan selama itu. Pertempuran telah berjalan hampir seratus jurus, namun tetap saja kelima orang siwi itu tidak mampu merobohkan gadis pendekar ini. Bukan main kagum dan penasaran rasa hati para siwi ini. Mereka telah berlatih hebat, dan ilmu silat mereka untuk di kotaraja, telah amat terkenal dan sukar dicari tandingannya. Setelah melalui ujian yang amat berat dan mengalahkan banyak calon-calon, barulah mereka diterima sebagai yang terkuat dan diangkat menjadi pengawal-pengawal pribadi kaisar. Akan tetapi sekarang, menghadapi seorang gadis muda saja mereka tidak berdaya merobohkannya. Sungguh memalukan sekali.
"Kurang ajar!"
Seru seorang siwi yang berjenggot panjang.
"Rasakan hui-to (golok terbang) mautku!"
Setelah berseru demikian, ia melemparkan tiga batang golok kecil yang melayang cepat sekali ke arah tubuh gadis itu. Hui-to ini benar-benar berbahaya sekali karena selain cepat sekali datangnya, juga mengeluarkan bunyi melengking yang dapat mengacaukan semangat lawan. Tiga batang hui-to ini menyambar ke arah leher, dada, dan pusar Ling Ling. Dan pada saat itu, empat orang siwi lain sedang menyerang Ling Ling dari kanan kiri. Agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi gadis ini dan agaknya ia akan menjadi korban sambaran tiga buah hui-to tadi. Akan tetapi ternyata Ling Ling memiliki ketabahan dan ketenangan yang luar biasa sekali.
Begitu melihat serangan hui-to dari depan dan serangan pedang dari kanan kiri, tiba-tiba ia berseru nyaring dan ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang dangan gerak tipu Trenggiling Turun Dari Gunung. Dengan amat cepatnya setelah tubuhnya rebah telentang sehingga tiga batang hui-to itu menyambar lewat di atasnya, ia lalu menggulingkan tubuhnya ke depan dan pedangnya menyambar cepat sekali ke arah kaki siwi yang melepaskan hui-to tadi. Bukan main kagetnya siwi berjenggot panjang itu. Serangan balasan ini sama sekali tak pernah disangkanya, demikian cepat dan kontan datangnya. Ia cepat mengelak sambil melompat ke atas dan sebelum Ling Ling dapat melanjutkan serangannya, kawan-kawannya telah datang mengurung dan kembali Ling Ling dikeroyok lima. Pada saat yang amat berbahaya bagi gadis itu, tiba-tiba terdengar seruan keras,
"Jangan khawatir, nona, aku datang membantumu membinasakan lima anjing penjaga ini!"
Dan Liem Sian Lun telah memutar pedangnya yang bersinar kuning itu untuk menggempur para pengeroyok Ling Ling.
Memang, dalam tugasnya ini, Sian Lun diberi pinjam pedang Oei-hong-kiam dari Jenderal Li Goan. Biarpun tidak menjawab sesuatu dan berpura-pura tidak melihat Sian Lun, namun Ling Ling bertambah semangatnya ketika melihat pemuda yang pernah dikenal kelihaiannya ini. Pedang Pek-hong-kiam diputar makin cepat dan dengan sebuah sabetan kilat, ia berhasil membacok roboh seorang pengeroyok. Tadi ketika mengeroyok Ling Ling seorang saja, lima orang siwi itu masih belum dapat mengalahkannya dalam seratus jurus, apalagi setelah sekarang Ling Ling mendapat bantuan Sian Lun yang ilmu pedangnya bahkan lebih lihai dari pada nona itu. Tentu saja kedua orang muda ini bukanlah makanan empuk bagi empat orang siwi itu dan tak lama kemudian, terdengar teriakan-teriakan susul menyusul dan kelima orang siwi itu semua telah tewas di ujung pedang Sian Lun dan Ling Ling.
"Nona, dimanakah ibumu?"
Tanya Sian Lun yang tidak tahu apa yang harus dikatakan terhadap nona itu.
Akan tetapi matanya memandang dengan amat kagum sehingga Ling Ling menjadi cemberut. Ia menganggap pandang mata pemuda itu kurang sopan. Tanpa menjawab sesuatu, Ling Ling lalu melompat dan menyerbu ke dalam kemah kaisar. Akan tetapi, di dalamnya ternyata sunyi dan kosong. Ling Ling berjalan terus dan keluar dari pintu belakang kemah itu, diikuti oleh Sian Lun yang merasa penasaran melihat sikap nona yang seakan-akan membencinya itu. Ketika kedua orang muda itu sampai di belakang kemah itu, tiba-tiba mereka berhenti dan berdiri memandang ke depan dengan muka tertegun. Apakah yang mereka lihat? Kaisar Yang Te, masih nampak gagah dan berpakaian mewah, sedang berdiri di dekat anak sungai, dihadap oleh seorang kakek tua yang berpakaian sebagai pelayan. Terdengar suara kaisar itu berkata sambil tersenyum-senyum.
"Tidak betulkah kata-kataku tadi, Lao Kwang? Seorang kaisar harus menghadapi kebangkitan atau keruntuhannya dengan senyum di mulut. Semua orang memberontak, tidak ingat bahwa aku adalah kaisar yang harus mereka hormati, kaisar yang dipilih oleh Thian sendiri untuk memimpin rakyat seluruh negara. Ha, ha, ha! Dan sekarang mereka mengejar-ngejarku untuk membunuhku. Bukankah ini lucu sekali? Lihatlah, laksaan orang saling membunuh hanya karena aku seorang! Bukankah hal ini hebat sekali? Apakah artinya aku mengorbankan nyawaku untuk kebesaran seperti itu? Ha, ha, Lao Kwang, kau bilang apa tadi? Kaupun ingin pula memberontak?"
Kakek itu sambil bercucuran air mata lalu mencabut sebilah pedang pendek dan setelah berlutut ia lalu berkata,
"Hong-siang, junjunganku, juga anak yang kutimang-timang semenjak masih bayi! Mengapa tidak dulu-dulu paduka mendengar nasehat seorang rendah seperti hamba? Mengapa paduka, hanya menurutkan kata nafsu hati, menurutkan bujukan para pembesar buruk? Mengapa paduka ingin memuaskan hati tanpa memperdulikan pengorbanan rakyat jelata? Ah, apakah yang akan menimpa diri paduka?"
Kaisar itu tertawa bergelak.
"Lao Kwang, kau seorang yang setia dan bersikap selalu merendah. Alangkah bodohnya kau ini! Kalau aku bertindak sebagai seorang kaisar yang bodoh dan mengalah, tdak mau memeras tenaga rakyat untuk membuat bangunan-bangunan besar, untuk menyerang negara timur, akan jadi kaisar apakah aku ini? Betapapun juga, akhirnya aku toh mesti mati. Kalau aku membiarkan keadaan negara tanpa memperkuatnya, biarpun dengan menekan rakyat, aku akan mati sebagai seekor semut, rakyat yang gendut dan senang akan lupa kepadaku dan negara sebentar lagi akan dirampas oleh orang asing. Sekarang, biarpun aku mati, lihatlah saluran air yang megah, lihatlah tembok besar yang jaya, semua adalah bekas tanganku. Orang takkan melupakan selama sejarah berkembang. Mati? Ha, ha, ha, siapa yang takut mati? Di dunia aku menjadi kaisar, mustahil di alam baka aku tidak diberi pangkat dan kedudukan? Aku adalah kaisar, tahu? Dalam keadaan bagaimanapun juga, kaisar tetap dihormati, menjadi tawanan pun berbeda dengan perajurit biasa. Tetap menjadi tawanan besar dan penting, diperlakukan penuh penghormatan!"
Pada saat itu, mereka melihat dua orang muda yang berdiri dengan pedang di tangan.
"Hong-siang, musuh telah datang menyerbu!"
Bisik Lao Kwang
"Mereka itu?"
Kaisar membalikkan tubuhnya dan menudingkan telunjuknya ke arah Ling Ling dan Sian Lun.
"Hanya dua orang muda yang bodoh, yang menjadi alat dari pada keganasan perang! Apakah mereka ini akan dapat menggantikan kedudukanku? Ha, ha, ha!"
"Kaisar lalim, rasakan pembalasanku!"
Tiba-tiba Ling Ling berseru keras dan menyerbu. Akan tetapi, ia kalah dulu oleh Lao Kwang. Dari belakang, pelayan yang semenjak Yang Te masih kecil telah menjadi pelayannya itu, telah menusuk punggung Kaisar Yang Te dengan pedangnya. Kaisar itu mengeluh berat dan tubuhnya roboh telentang, tak bergerak lagi.
"Hamba ikut, tuanku!"
Kata Lao Kwang dan sebuah tusukan ke arah dadanya dengan pedang yang dipegangnya membuat ia roboh di samping Kaisar Yang Te.
Tertegunlah Ling Ling dan Sian Lun menyaksikan peristiwa ini. Untuk beberapa lama Ling Ling berdiri memandang ke arah tubuh kaisar itu. Inikah musuh besarnya? Inikah orang yang telah menghancurkan penghidupan ibunya? Yang telah menghancurkan penghidupan rakyat banyak? Sukar untuk dipercaya. Kaisar ini hanya memerintah dan memberi petunjuk. Yang menjadi pelaksana bukanlah dia sendiri dan mana kaisar ini bisa mengetahui cara pelaksanaan perintahnya? Tahukah kaisar ini bahwa tenaga rakyat yang dikerahkan itu diperoleh dengan jalan yang curang dan keji oleh para petugasnya? Siapakah yang salah? Kaisarnya, atau para petugas yang nyeleweng, ataukah jamannya yang salah? Setelah menarik napas panjang, Ling Ling lalu berpaling dan Sian Lun melihat betapa kedua mata gadis cantik itu basah oleh air mata. Ling Ling lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu.
"Nona, tunggu dulu!"
Ling Ling menahan tindakannya. Mereka telah berada jauh dari kemah kaisar itu.
"Kau mau apa?"
Tanyanya dengan tegas dan ketus. Sian Lun menggerakkan alisnya dan tersenyum pahit.
"Beginikah sikapmu kepada orang yang telah berusaha membantumu? Nona, kau agaknya benci kepadaku. Ada apakah dan apakah kesalahanku?"
"Tidak ada yang benci dan tidak ada yang salah! Aku hanya ingin tahu mengapa kau menyusulku?"
"Nona, aku hanya ingin menyatakan bahwa pamanku Kwee Siong telah mencari-cari dan menanti-nanti kau dan ibumu."
Berkerut kening Ling Ling mendengar nama Kwee Siong disebut-sebut.
"Aku tidak kenal pamanmu. Ada apa dia menanti-nanti kami?"
"Entahlah, hanya aku tahu bahwa paman sedang sakit dan seringkali menanyakan kau dan ibumu. Di manakah ibumu?"
"Ibu... ibu sudah meninggal dunia!"
Setelah berkata demikian Ling Ling melompat dan lari lagi dengan cepatnya.
"Nona, tunggu dulu...!"
Ling Ling berlari terus, akan tetapi Sian Lun mengejarnya dan karena ia sudah lelah sekali, Ling Ling terpaksa berhenti. Sian Lun melihat kini betapa air mata telah mengalir turun di kedua pipi gadis itu yang agak pucat.
"Mengapa kau mengejarku? Apakah kau menagih budimu ketika kau menolongku tadi? Nah, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu, dan sekarang pergilah!"
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo