Ceritasilat Novel Online

Wanita Iblis Pencabut Nyawa 8


Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Sian Lun memandang dengan penuh iba.

   "Nona, aku menyesal sekali, yakni... tentang ibumu..."

   "Jangan kau sebut-sebut akan hal ibuku. Ibu telah gugur dalam pertempuran, tidak ada hubungannya dengan kau."

   Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan dua orang perwira pembantu Sian Lun tiba di tempat itu.

   "Liem-ciangkun, musuh telah dipukul habis. Sebagian besar telah menyerah. Menanti perintah!"

   Demikian kata mereka sambil turun dan berdiri dengan sikap gagah.

   "Bawa semua tawanan dan kembalikan ke Tiang-an. Kau mewakili aku memimpin pasukan. Seperti biasa, berlakulah keras, jangan biarkan anak buah kita meninggalkan barisan,"

   Perintah Sian Lun dengan suara keren. Kedua pembantunya memberi hormat dan pergi lagi menunggang kuda.

   "Aku harus pergi sekarang, selamat tinggal!"

   Kata Ling Ling.

   "Nanti dulu, nona. Kau telah banyak berjasa dalam perjuangan kami, apakah kau tidak mau bersamaku kembali ke Tiang-an? Sungguh, nona, pamanku amat mengharap-harap kedatanganmu."

   "Memang aku mau ke Tiang-an, akan tetapi tidak bersama engkau!"

   Berseri wajah Sian Lun mendengar ini,

   "Bagus, kau tentu akan datang kepada pamanku Kwee Siong, bukan? Baik sekali."

   "Memang aku akan mencari orang she Kwee itu, untuk membunuhnya dengan pedangku!"

   Setelah berkata demikian, Ling Ling melompat dan berlari pergi. Untuk sejenak Sian Lun berdiri bagaikan sebuah patung batu. Ucapan yang dikeluarkan dengan sengit oleh gadis itu benar-benar telah membuatnya terheran-heran dan terkejut sekali. Ada apakah antara pamannya dan gadis ini serta ibunya yang telah gugur? Ah, ia harus mencegah maksud gadis itu. Setelah melihat bayangan Ling Ling lenyap dibalik pohon-pohon barulah Sian Lun menjadi terkejut dan cepat ia lalu melompat dan berlari cepat mengejar. Dengan hati yang amat berat karena masih berduka mengingat kematian ibunya, Ling Ling berlari dengan cepat sekali.

   Kakinya telah terasa lelah dan lemahlah seluruh tubuhnya. Ia telah bertempur melawan musuh-musuh yang tangguh dan telah sehari lamanya ia tidak makan. Akan tetapi ia tidak mau berhenti mengaso karena maklum bahwa pemuda she Liem itu tentu akan mengejarnya. Ketika ia tiba di sebuah dusun dan melihat, bahwa pemuda itu tidak dapat menyusulnya, ia lalu masuk ke sebuah restoran dan memesan makanan. Setelah makan dan beristirahat sejenak, pulihlah kembali kekuatannya dan ia merasa tubuhnya sehat. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dan alangkah mendongkolnya ketika tiba di luar dusun itu, pemuda she Liem itu telah menantinya sambil duduk di atas rumput seorang diri. Ling Ling berpura-pura tidak melihatnya dan hendak berlari terus, akan tetapi Sian Lun berkata.

   "Nona Ling Ling, mengapa tergesa-gesa? Akupun hendak menuju ke Tiang-an. Tidak sudikah kau melakukan perjalanan bersamaku?"

   "Kau melakukan perjalanan, apa hubungannya dengan aku? Aku tidak melarang orang menuju ke Tiang-an,"

   Jawab Ling Ling merasa marah kepada dirinya sendiri mengapa melihat pemuda ini hatinya berdebar girang. Sian Lun terpaksa mempercepat langkahnya agar dapat mengimbangi kecepatan lari gadis aneh ini.

   "Nona, bukankah kau adalah nona yang dulu pernah menerima pedang Pek-hong-kiam dari Liang Gi Cinjin, ketua dari Pek-sim-kauw?"

   "Memang akulah yang dimaksudkan oleh suhumu itu. Dia seorang yang baik hati, akan tetapi suhumu itu masih mempunyai hutang kepadaku yang harus dibayarnya!"

   Setelah berkata demikian, kembali Ling Ling berlari pergi tanpa memperdulikan kepada Sian Lun lagi. Pemuda ini segera mengejarnya. Ling Ling mengerahkan kepandaiannya berlari cepat yang disebut Couw-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput). Ia sengaja mengeluarkan kepandaiannya karena ia hendak mencoba apakah pemuda itu akan dapat mengejarnya. Sian Lun merasa penasaran sekali melihat betapa gadis itu berlari dengan amat cepatnya. Iapun lalu mengeluarkan ilmunya berlari cepat yang disebut Keng-sin-sut dan setelah berlari-larian beberapa belas li, akhirnya dapat juga ia mengejar gadis itu.

   "Nona, kau sungguh terlalu. Mengapa kita tidak berjalan perlahan saja menuju ke Tiang-an? Apakah yang membuat nona demikian terburu-buru?"

   Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi tiba-tiba lalu duduk di atas rumput di bawah sebatang pohon besar. Enak sekali duduk di situ, ditiup angin sambil mendengarkan gemersiknya daun-daun pohon tertiup angin. Peluhnya mengalir dari atas jidat, disapunya dengan sehelai saputangannya. Sian Lun juga duduk di depannya, agak jauh dari nona itu. Sungguhpun mereka duduk berhadapan, akan tetapi keduanya tidak berkata-kata dan bahkan tidak saling memandang. Sungguh keadaan yang amat lucu dan ganjil.

   "Mengapa kau mati-matian mengejarku dan hendak berjalan bersamaku?"

   Tanya Ling Ling tiba-tiba dan sepasang matanya yang indah dan tajam itu menatap wajah Sian Lun. Untuk sesaat, pemuda itu berusaha menahan serangan sinar mata ini, akan tetapi akhirnya ia menunduk karena pandangan mata gadis yang menyelidik ini benar-benar tajam sekali.

   "Nona, aku tidak mempunyai niat buruk terhadapmu. Aku kagum sekali akan kegagahanmu, hanya aku merasa tidak enak mendengar ucapanmu tadi yang hendak membunuh pamanku Kwee Siong. Ketahuilah bahwa paman Kwee bagiku sama dengan ayahku sendiri. Tidak boleh kau mengganggunya. Dia orang yang baik-baik, semulia-mulianya orang, mengapakah kau begitu membencinya dan hendak membunuhnya?"

   Ling Ling memandang tajam dengan kening berkerut. Ia amat benci kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang telah menyia-nyiakan ibunya. Ibunya menyatakan bahwa ayahnya itu tidak bersalah.

   Kalau memang ayahnya itu orang baik-baik, mengapa tidak dicarinya ibunya yang hidup seperti seorang "iblis"

   Di dalam hutan? Mengapa ayahnya yang sudah menjadi seorang pembesar itu bahkan lalu menikah lagi dan telah memperoleh seorang putera? Mengapa ketika bertemu di pengadilan dulu, ayahnya tidak menerima mereka sebagai isteri dan anak? Kalau dipikir-pikir, bukan kaisar yang menjadi biang keladi kesengsaraan ibunya, melainkan Kwee Siong itulah! Orang itu harus dibunuhnya, untuk membalas sakit hati ibunya. Kini melihat sikap Sian Lun yang hendak membela Kwee Siong, mendengar ucapan pemuda gagah ini yang memuji-muji Kwee Siong sebagai seorang yang berhati mulia, hatinya menjadi perih dan gemas sekali.

   "Paman Kwee amat baik kepadaku,"

   Terdengar lagi Sian Lun berkata.

   "Seakan-akan aku anaknya sendiri. Ia memperlakukan aku seperti anak sendiri, mengajarku membaca dan menulis, memberi nasehat-nasehat dan pelajaran filsafat dan budi pekerti. Orang sebaik dia tidak mungkin mempunyai musuh dan tak mungkin mengganggu orang lain. Mengapa kau hendak membunuhnya, nona?"

   "Kau tak perlu tahu, Liem-ciangkun. Urusan ini adalah urusanku sendiri, orang luar tak berhak tahu. Betapapun juga, aku akan mencarinya di Tiang-an dan akan membunuhnya dengan tanganku sendiri."

   Kata-kata ini diucapkan dengan tegas dan mengandung kemauan bulat.

   "Tidak mungkin, nona. Perbuatanmu itu sebelum dapat kau lakukan, kau akan menghadapi seluruh penduduk Tiang-an, seluruh barisan di bawah pimpinan Jenderal Li Goan sendiri. Kwee-susiok adalah seorang yang dihormati dan dipandang tinggi oleh semua orang. Takkan mungkin mengganggu, lebih sukar dari pada mengganggu kaisar sendiri."

   Makin tinggi orang memuji ayahnya makin banyak orang mengingatkan kepadanya akan kemuliaan ayahnya, makin teringatlah Ling Ling akan kesengsaraan ibunya dan makin panaslah hatinya. Ia tersenyum mengejek dan menjawab sambil berdiri dan mencabut pedangnya.

   "Kau kira aku takut menghadapi siapapun juga? Biarpun ada selaksa dewa hendak melindungi orang she Kwee itu, tetap aku hendak membunuhnya!"

   Mulai panas darah Sian Lun. Betapapun ia mengagumi gadis ini dan menaruh hati kasihan mendengar kematian ibu gadis ini, namun sikap gadis itu dianggapnya amat keterlaluan. Iapun bangkit berdiri dan berkata.

   "Dan dengarlah, nona. Orang pertama yang akan menghalangi kehendakmu yang kejam itu bukan lain orang adalah aku sendiri!"

   "Kau...?"

   Ling Ling memandang tajam sambil mengangkat alisnya yang berbentuk melengkung seperti bulan sabit itu.

   "Ya, aku sendiri! Aku yang telah diperlakukan dengan baik oleh Kwee-susiok, yang telah dianggap sebagai anak sendiri, aku takkan membiarkan siapapun juga mengganggunya!"

   "Manusia sombong! Siapa takut kepadamu? Apa kau kira dulu aku sudah kalah olehmu? Cabutlah pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran yang dulu!"

   Tantang Ling Ling.

   "Nona, haruskah kita bertempur lagi? Mengapa kau begitu berkeras hendak membunuh pamanku? Berilah penjelasan agar aku ikut pula mempertimbangkan apakah niatmu itu benar atau salah."

   "Bukan urusanmu, tak usah kau bertanya lagi. Pendeknya aku hendak membunuh Kwee Siong dan kalau kau menghalangiku boleh kau mencoba mengalahkanku!"

   Terpaksa Sian Lun mencabut pedangnya Oei-hong-kiam.

   "Menyesal sekali, nona. Aku tak ingin bertempur dengan kau..."

   "Awas pedang!"

   Teriak Ling Ling tanpa memperdulikan ucapan ini dan langsung menyerang dengan sebuah tusukan berbahaya. Sian Lun cepat menangkis dan berpijarlah bunga api ketika dua pedang pusaka itu bertemu.

   Ling Ling menyerang lagi dan mainkan pedangnya dengan hebat sehingga yang nampak hanyalah gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sian Lun terpaksa mengimbangi permainan pedang nona ini dan pedang Oei-hong-kiam segera diputarnya merupakan segulung sinar kuning yang tak kalah cepatnya. Demikianlah, kedua orang muda yang lihai itu kembali mengadu kepandaian di dalam hutan, ramai dan seru, tanpa ada seorangpun yang menjadi saksi. Sian Lun bertempur dengan hati-hati. Ia maklum bahwa gadis ini amat lihai. Ginkang dan lweekangnya berimbang dengan kepandaiannya sendiri dan ilmu pedang gadis itu luar biasa ganasnya. Betapapun juga, ia tidak tega untuk melukai gadis ini, dan bertempur hanya dengan maksud menguji kepandaian saja dan kalau ia mencari kemenangan juga, bukan dengan cara merobohkan gadis itu dalam keadaan terluka.

   Ia hanya akan merampas atau melepaskan pedang dari tangan nona itu. Akan tetapi ia maklum bahwa hal ini bukanlah mudah saja. Sebaliknya, Ling Ling yang sudah tahu pula akan kepandaian pemuda ini, kini berusaha untuk mengalahkan lawannya dan bertempur dengan amat sengitnya. Dalam keadaan demikian, maka sedikit kelebihan permainan pedang Sian Lun menjadi tertutup dan pertempuran itu menjadi berimbang dan luar biasa ramainya. Seratus jurus lewat tanpa terasa, dan belum juga di antara kedua orang muda ini ada yang kalah atau menang. Mereka saling serang dan saling desak, mengeluarkan gerak-gerak tipu yang terlihai. Betapapun juga, diam-diam Ling Ling harus mengakui keunggulan pemuda itu, karena setelah pertempuran berjalan seratus lima puluh jurus, ia mulai merasa lelah dan telapak tangan kanannya yang memegang pedang menjadi panas dan perih.

   Adapun Sian Lun lawannya masih nampak kuat dan gerakan serta kecepatannya tidak berkurang. Akhirnya Sian Lun merasa bahwa ia takkan dapat mengalahkan nona yang nekat ini tanpa melukainya. Akan tetapi bagaimana ia sampai hati untuk melukai nona yang dikagumi dan dikasihinya ini? Dan sedikit saja ia melamun, tiba-tiba ujung pedang Pek-hong-kiam di tangan Ling Ling sudah menyerangnya dengan gerak tipu Kim-gan-liong-hian-jiauw (Naga Bermata Emas Mengulur Kuku). Sedangkan pada saat itu pedangnya masih tersembunyi di balik lengan ketika ia tadi bergerak dengan gerak tipu Burung Walet Menyembunyikan Ekor. Melihat serangan maut ini, Sian Lun terkejut sekali dan cepat ia mempergunakan tenaga pergelangan tangan untuk memutar pedangnya yang segera meluncur ke depan melakukan tangkisan ke arah ujung pedang lawan yang menusuk ke arah dadanya.

   "Traaang!"

   Dua pedang itu beradu keras sekali.

   Saking hebatnya tenaga keduanya yang dikeluarkan pada saat genting itu, ujung pedang Ling Ling meleset dan meluncur cepat ke arah tenggorokan Sian Lun sedangkan pedang Sian Lun sebaliknya kena terpukul dan melesat menuju ke arah pundak gadis itu. Keduanya terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tiada waktu lagi. Dengan cepat tangan kiri mereka bergerak. Ling Ling melakukan gerakan Kwan-im-siu-kiam (Dewi Kwan-im Menyambut Pedang) sedangkan Sian Lun membuat gerakan Siauw-kin-na-jiu-hwat mencengkeram ke arah gagang pedang gadis itu. Gerakan mereka begitu kuat dan cepat sehingga pada saat itu juga, pedang mereka telah pindah tangan. Oei-hong-kiam telah terampas oleh Ling Ling sedangkan Pek-hong-kiam terampas oleh Sian Lun. Mereka terhindar dari bahaya maut, akan tetapi tetap saja mereka menjadi pucat dan mengeluarkan keringat dingin Sian Lun cepat melompat ke belakang dan menjura.

   "Nona, ilmu pedangmu benar-benar luar biasa sekali. Dan pedang inipun amat baiknya."

   "Pedang itu adalah pedang suhumu, Liang Gi Cinjin. Biarlah kau kembalikan kepadanya. Adapun pedang ini..."

   Ling Ling menggerak-gerakkan Oei-hong-kiam yang terasa lebih enak ditangannya, karena pedang ini gagangnya lebih kecil dan lebih cocok untuk jari-jari tangannya.

   "Pedang ini adalah pedang dari Panglima Kam Kok Han, dan aku sebagai ahli waris ilmu pedangnya,... aku berhak mendapatkan pedang ini!"

   Sambil berkata demikian, Ling Ling memandang kepada pemuda itu dengan sikap menantang. Sian Lun menjadi tertegun.

   "Kau..., kau hendak merampas pedang itu? Kembalikan, nona. Pedang itupun boleh kupinjam dari Jenderal Li!"

   "Bukankah kau dulu merampasnya dari seorang panglima kerajaan Sui? Pedang ini bukan pedangmu, bukan pula pedang Jenderal Li, akan tetapi adalah pedang dari mendiang Panglima Kam! Kalau kau ada kepandaian, boleh kau rampas kembali, pedang ini sekarang sudah berada di tanganku!"

   Kembali Ling Ling memandang dengan sikap menantang. Untuk sesaat teganglah semua urat dalam tubuh Sian Lun. Ia hendak bergerak menyerang nona itu untuk merampas kembali pedangnya, akan tetapi ia mengurungkan niatnya dan kemudian bahkan duduk di atas rumput sambil tersenyum.

   "Biarlah, ambillah... kalau kau kehendaki, asal saja kau jangan membunuh paman Kwee."

   "Kau perduli apa dengan segala niatku? Kalau masih penasaran, hayo kau berdiri dan mari kita lanjutkan pertempuran kita!"

   Akan tetapi Sian Lun menggelengkan kepalanya.

   "Kau serang dan bunuhlah aku kalau kau mau. Aku tiada nafsu untuk bertempur mati-matian seperti orang gila, tanpa ada alasannya. Aku tidak percaya kau tidak akan malu menyerang seorang yang tidak melawan."

   Karena iapun sudah merasa lelah sekali, Ling Ling lalu menyimpan pedangnya dan menjatuhkan diri di atas rumput dan bersandar pada pohon. Kembali kedua orang muda itu duduk berhadapan di atas rumput seperti tadi sebelum mereka bertempur mati-matian. Matahari telah mulai bersembunyi di balik pohon-pohon dan hawa mulai terasa dingin. Setelah melepaskan penat, Ling Ling bangkit kembali, dan Sian Lun menegurnya.

   "Hendak ke manakah, nona?"

   "Ke mana lagi? Tentu ke Tiang-an!"

   Jawaban ini terdengar penuh tantangan.

   "Kalau aku jadi engkau, aku takkan melewati daerah seribu rawa di malam hari."

   "Apa maksudmu?"

   "Kalau kau keluar dari hutan ini, kau akan tiba di daerah yang penuh dengan rawa-rawa yang amat berbahaya. Tidak saja banyak sekali rawa-rawa yang tertutup rumput dan merupakan perangkap maut yang mengerihkan, bahkan di situ juga banyak sekali terdapat binatang-binatang berbisa. Tak mungkin ada orang dapat melalui tempat itu di waktu malam!"

   Ling Ling adalah seorang gadis yang keras hati, keras kepala, dan bandel. Apalagi yang mengeluarkan kata-kata tadi adalah seorang pemuda yang menjadi musuhnya, pemuda yang "Dibencinya", tentu saja ia tidak sudi untuk mentaati nasehatnya. Ia teringat akan daerah berawa ini, karena dulu ia pernah lewat di daerah ini.

   "Aku tidak takut!"

   Katanya dan cepat ia berlari pergi. Ketika ia keluar dari hutan itu, tibalah ia di daerah penuh rawa itu, nampak gelap, sunyi dan menyeramkan. Matahari telah lenyap, terganti oleh malam yang remang-remang, dengan pohon-pohon besar menjulang dan jurang di sana-sini, seperti raksasa-raksasa setan menanti kedatangannya penuh ancaman. Tak terasa lagi Ling Ling merasa ngeri juga dan ia menengok ke belakang. Dari jauh, nampak sosok tubuh orang merupakan bayang-bayang yang bergerak ke arahnya. Ia terkejut, akan tetapi setelah bayangan itu mendekat, ia mengenal itu sebagai bayangan Sian Lun.

   Ling Ling merasa girang sekali, akan tetapi hanya untuk sebentar. Siapa orangnya yang takkan merasa girang kalau melihat seorang yang telah dikenalnya dalam malam yang menyeramkan di daerah yang mengerihkan itu, sungguhpun orang itu seperti Sian Lun sekalipun. Akan tetapi ia segera dapat mengusir rasa girangnya ini dan berganti merasa gemas. Ia ingin berlari secepatnya, akan tetapi tidak mungkin melakukan hal ini dalam daerah yang demikian berbahaya. Ia maklum bahwa tanah berlumpur yang membentang luas di depannya itu belum tentu tanah keras, dan kalau sekali kakinya terjeblos ke dalam rawa yang tertutup rumput, akan celakalah dia. Sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya dan mereka berdua berjalan tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, tanpa saling pandang, bagaikan dua bayangan setan berkeliaran di daerah menyeramkan itu.

   "Gadis bandel!"

   Tiba-tiba Sian Lun berkata perlahan. Ia marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya diam-diam tersenyum di dalam gelap. Telah berkali-kali ia dibikin mendongkol dan marah oleh pemuda ini, dan kali ini ia merasa girang dapat membalas dendam dan membuat Sian Lun marah dan mendongkol. Pemuda ini, sudah beberapa kali lewat di daerah ini, maka ia lebih hafal akan liku-liku jalan di situ, tahu di mana letaknya rawa-rawa yang berbahaya. Akan tetapi ia diam saja dan hanya menurut ke mana Ling Ling memilih jalan.

   Ia maklum bahwa gadis itu telah tersasar dan salah jalan, akan tetapi ia diam saja. Setelah berjalan tersaruk-saruk dan bulan telah muncul, menambah keseraman tempat itu, belum juga mereka dapat keluar dari daerah liar ini, bahkan tiba-tiba Ling Ling menahan kakinya dan melompat mundur. Hampir saja ia celaka, karena ketika kakinya menyentuh rumput di depannya, ternyata bahwa di bawah rumput itu terdapat lumpur. Baiknya ia berlaku hati-hati, kalau tidak tentu ia akan terjeblos ke dalam lumpur dan berbahaya. Ling Ling melompat ke belakang bagaikan diserang ular. Ia berjalan ke kanan, akan tetapi baru beberapa belas tindak kembali ia menghadapi lumpur berumput. Ke kiri tidak mungkin, karena di sana membentang jurang yang amat dalam. Untuk kembali? Ah, bagaimana ia harus kembali melalui jalan tadi yang demikian jauhnya? Ia berdiri termenung dengan bingung.

   "Kita telah salah jalan,"

   Kata Sian Lun dengan suara tenang, akan tetapi mengandung kegembiraan, karena diam-diam ia mentertawakan gadis itu. Ling Ling cemberut.

   "Kau sudah tahu dari tadi?"

   "Tentu saja aku tahu,"

   Jawab pemuda itu.

   "Kurang ajar! Kalau sudah tahu mengapa diam saja? Mengapa kau membiarkan kita tersesat ke jalan buntu ini?"

   "Kuberitahu juga kau takkan percaya omonganku, apa perlunya? Biarlah, gadis kepala batu seperti engkau perlu sewaktu-waktu mendapat hajaran."

   "Tutup mulutmu! Siapa suruh kau mengikuti perjalananku? Kau pergilah dan biarkan aku sendiri!"

   Suara yang marah ini mengandung isak yang ditahan. Akan tetapi Sian Lun tidak menjawab, bahkan ia lalu mengumpulkan daun-daun kering dan memanjat pohon untuk mengambil ranting-ranting kering. Ditumpuknya daun dan ranting itu di situ lalu ia membuat api unggun.

   "Pergi!"

   Seru Ling Ling.

   "Mengapa kau tidak mau pergi? Aku tidak ingin ditemani!"

   "Di sini bukan tempat milikmu, di sini daerah rawa, tiada pemiliknya. Siapa saja boleh bermalam di sini. Kau suruh aku pergi ke mana? Kembali ke jalan tadi, mungkin akan tersasar ke tempat yang lebih berbahaya lagi. Tahukah kau bahwa tak jauh dari sini terdapat daerah yang penuh dengan ular-ular kecil berbisa? Bagaimana kau dapat melawan ular-ular kecil yang tiba-tiba menyerang kakimu dari dalam gelap? Sekali saja kena gigitan seekor ular itu, tubuh kita akan menjadi kaku dan bengkak-bengkak, nyawa takkan tertolong lagi. Ke mana aku harus pergi? Aku akan bermalam di sini dan besok kalau sudah terang tanah, barulah dapat kita keluar dari neraka ini."

   Meremang bulu tengkuk Ling Ling mendengar cerita tentang ular-ular berbisa itu. Padahal cerita ini amat dilebih-lebihkan oleh Sian Lun. Dengan jengkel sekali Ling Ling duduk di bawah pohon di mana Sian Lun mengambil ranting-ranting tadi dan ia memandang kepada pemuda itu yang mengatur ranting dan daun yang mulai bernyala. Kemudian Sian Lun duduk menghadapi Ling Ling. Untuk beberapa lama mereka diam saja dan agaknya di dalam cahaya api unggun yang suram itu, Sian Lun lebih berani memandang dan menatap wajah gadis itu lebih lama. Karena di dalam keadaan yang agak gelap ini, sinar mata gadis itu yang luar biasa tajamnya tidak begitu menikam pandang matanya.

   "Jadi kau adalah ahli waris dari Panglima Besar Kam Kok Han?"

   Tanya Sian Lun kemudian.

   "Ya,"

   Jawab Ling Ling singkat.

   "Jadi kau she Kam?"

   "Bukan,"

   Kembali jawaban yang singkat sekali. Sunyi kembali sampai lama. Sian Lun merasa heran melihat keadaan gadis yang menarik perhatiannya ini. Seorang gadis yang keras hati dan galak, seakan-akan telah mengeras dalam rendaman air pengalaman yang pahit getir. Siapakah dia ini? Ada hubungan apakah dengan Kwee Siong? Betapapun juga, ia seorang gadis patriot yang gagah perkasa, dan seorang yang berpribudi tinggi. Buktinya, gadis yang pernah bermusuhan dengan Pek-sim-kauw ini, akhirnya di dalam perjuangan bahkan menjadi pemimpin pasukan Pek-sim-kauw yang amat terkenal dan ditakuti musuh.

   "Nona, aku telah mendengar bahwa namamu Ling Ling, akan tetapi siapakah she mu?"

   Hampir saja Ling Ling menjawab untuk mengaku terus terang, akan tetapi ia teringat bahwa pengakuannya ini akan membuka rahasianya bahwa ia adalah puteri Kwee Siong. Ia tidak mau pemuda ini mengetahui bahwa dia adalah puteri Kwee Siong, maka ia lalu menutup kembali bibinya yang sudah hampir digerakkan.

   "Nona, mengapa kau diam saja? Apakah terlalu kurang ajar pertanyaanku tadi?"

   Setelah menanti agak lama Sian Lun berkata lagi.

   "Sudahlah, jangan banyak tanya,"

   Akhirnya Ling Ling menjawab juga.

   "Aku lelah dan mengantuk, hendak tidur!"

   Sambil berkata demikian, gadis itu berdiri dan hendak pergi menjauhkan diri dari tempat itu.

   "Eh, nona, mengapa pergi? Mau tidur, tidurlah saja di sini, di bawah pohon dekat api unggun. Biarlah aku yang pergi menjauhkan diri kalau kau tidak ingin berdekatan dengan aku."

   Akan tetapi Ling Ling menoleh sambil berkata,

   "Aku tidak biasa tidur dalam terang api. Menyilaukan mata. Padamkanlah api unggunmu yang menyilaukan itu!"

   "Mana bisa dipadamkan? Api ini mengusir binatang-binatang kecil yang mengganggu kita. Dan pula, hawa malam begini dingin."

   Sian Lun membantah. Ling Ling membanting-banting kakinya.

   "Kalau begitu, mengapa kau menawarkan tempat itu kepadaku? Kau selalu membantah dan membawa kehendak sendiri. Keras kepala!"

   Gadis ini dengan marah lalu menjahui tempat itu, berjalan kembali ke jalan tadi, kemudian merebahkan diri di bawah pohon berikutnya, tak jauh dari tempat Sian Lun. Ia dapat melihat pemuda itu berdiri di dekat api unggun sambil memandang ke arahnya. Akan tetapi Ling Ling tidak perduli, membuka buntalan pakaiannya dan segera duduk bersandar ke pohon dan menyelimuti tubuhnya dengan sebuah mantelnya.

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Wanita Iblis Pencabut Nyawa/Toat Beng Mo Li (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   Gadis aneh, pikir Sian Lun sambil duduk bersandar pohon itu... aneh, galak, akan tetapi amat manis dan menarik hati... Pada keesokan harinya, Ling Ling bangun dari tidurnya dengan tubuh lemas. Ia hampir tak dapat tidur malam itu karena benar saja, banyak nyamuk yang mengganggunya. Ia telah menutupi seluruh tubuhnya, akan tetapi nyamuk di daerah rawa itu benar-benar bandel. Binatang-binatang kecil itu dapat menggigitnya melalui mantelnya dan mukanya menjadi sasaran. Bukan main marah dan mendongkolnya, akan tetapi ia merasa malu untuk membuat api unggun seperti Sian Lun. Ketika pada pagi hari itu ia hendak melanjutkan perjalanan dengan diam-diam tanpa memberi tahu kepada pemuda itu, ternyata bahwa Sian Lun telah mendahuluinya dan datang mendekatinya.

   "Enak tidur?"

   
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya pemuda ini sambil tersenyum. Panas hati Ling Ling mendengar pertanyaan ini yang dianggapnya seperti olok-olok karena tidak tahukah pemuda itu betapa ia menderita gangguan nyamuk? Ia sama sekali tidak tahu bahwa juga Sian Lun tidak tidur malam itu, sungguhpun bukan karena gangguan nyamuk, akan tetapi gangguan hati sendiri yang mulai jatuh cinta kepadanya."

   "Kau yang enak tidur!"

   Jawabnya mendongkol.

   "Bagaimana aku dapat tidur di tempat seperti neraka ini?"

   "Nona, harap kau jangan terlalu mencurigaiku. Kalau saja kau menurut kata-kataku, tentu kau tidak akan mengalami kekecewaan. Aku lebih hafal akan jalan-jalan di sini dan percayalah, aku akan membawamu ke Tiang-an, dan takkan kuhalangi segala tindakanmu kecuali kalau sudah sampai di kota itu."

   Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi ia tidak membantah dan mengikuti pemuda itu ketika Sian Lun mengajaknya keluar dari daerah rawa itu.

   Mereka berjalan kembali ke jalan yang kemaren kemudian membelok ke kanan dan selanjutnya Sian Lun yang menjadi penunjuk jalan. Mereka melakukan perjalanan bersama, merupakan pasangan yang amat sedap dipandang karena mereka sama-sama muda, gagah dan elok. Akan tetapi, di sepanjang jalan mereka tidak pernah, atau jarang sekali bicara. Ling Ling merasa betapa tubuhnya terasa tidak enak sekali dan kepalanya kadang-kadang pening. Akan tetapi tentu saja ia tidak sudi memperlihatkan keadaannya kepada Sian Lun. Ia mengira bahwa ia terlampau lelah dan kurang tidur, dan ia tidak mau menyatakan kelemahannya terhadap Sian Lun. Padahal sebetulnya ia telah terserang oleh bisa gigitan nyamuk-nyamuk malam tadi. Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah dusun dan Sian Lun yang melihat betapa gadis itu wajahnya pucat dan penuh keringat lalu berkata.

   "Kita beristirahat dulu dan mengisi perut."

   "Aku tidak ingin makan!"

   Bantah Ling Ling.

   "Ingat, nona. Aku yang menjadi penunjuk jalan dan sekarang aku merasa lapar dan lelah. Kau pun nampak lelah, mengapa berkeras kepala?"

   "Kau yang keras kepala!"

   Kata Ling Ling merengut, akan tetapi ia mengikuti pemuda itu yang melangkah masuk ke dalam sebuah restoran.

   "Dua bubur, bebek tim dan air teh."

   Sian Lun memesan kepada seorang pelayan yang menghampiri mereka. Pelayan itu mengangguk dan pergi ke belakang untuk menyediakan pesanannya.

   "Aku tidak suka bubur dan bebek tim, apalagi air teh!"

   Ling Ling membantah.

   "Aku ingin daging dan arak!"

   "Dalam keadaan seperti ini, tidak baik makan daging dan minum arak, nona. Kesehatanmu bisa terganggu."

   Ling Ling dengan mata melotot, akan tetapi dalam pandangan Sian Lun, ia nampak makin cantik dan menarik kalau sedang marah.

   "Kau kira aku anak kecil yang harus menurut segala omonganmu? Aku mau daging dan arak!"

   Kata Ling Ling.

   "Ssst, nona. Banyak orang di sini, tidak malukah kalau kita cekcok di sini?"

   Kata Sian Lun berbisik perlahan. Ling Ling mengerling ke kanan kiri dan melihat para tamu restoran yang duduk di meja lain memandang ke arah mereka sambil tersenyum-senyum. Mereka disangka sepasang suami isteri yang sedang bertengkar. Terpaksa Ling Ling mengalah, akan tetapi ia mendongkol sekali.

   "Aku tidak sudi makan pesananmu!"

   Bisiknya dengan gigi terkatup. Sian Lun tidak menjawab. Akan tetapi, ketika masakan yang dipesan tadi dihidangkan oleh pelayan, tanpa berkata sesuatu Ling Ling lalu makan bubur dan bebek tim itu, bahkan lebih lahap dari pada Sian Lun. Pemuda ini diam-diam merasa geli sekali, akan tetapi ia tidak memperlihatkan perasaannya, hanya diam-diam memberi tanda kepada pelayan untuk menambah bubur. Ling Ling tidak berkata dan makan sampai kenyang betul. Ia merasa tubuhnya menjadi segar kembali dan diam-diam ia merasa bersyukur atas pilihan makanan pemuda itu.

   Ia tahu bahwa permintaannya untuk makan daging dan arak tadi hanya timbul dari hatinya yang keras, karena sesungguhnya ia tidak begitu doyan minum arak yang membuatnya pening dan merasa muak. Ketika mereka keluar dari restoran itu, tiba di depan mereka, di luar restoran, berdiri seorang tosu yang bertubuh tinggi besar dan bermata bundar. Kedua orang muda itu memandang dengan mata curiga, akan tetapi tosu ini dengan tersenyum-senyum memandang kepada mereka, seakan-akan sedang menyelidik. Tiba-tiba matanya yang bundar itu memandang ke arah gagang pedang yang tergantung di pinggang Ling Ling dan senyumnya menghilang. Sinar matanya cepat dialihkan dan kini menatap wajah Ling Ling dengan pandang mata yang membuat gadis itu terkejut sekali, karena pandangan ini penuh dengan ancaman.

   "Di mana kau peroleh pedang itu?"

   Tanyanya kepada Ling Ling dengan suaranya yang mengguntur sehingga para tamu di dalam restoran itu memandang keluar dengan heran.

   "Mau apa kau banyak tanya?"

   Jawab Ling Ling dengan suara yang tak kalah keras dan nyaringnya. Memang, untuk membuat ia jangan sampai kalah muka, gadis ini telah mempergunakan khikangnya sehingga suaranya terdengar nyaring dan bergema keras. Tosu itu tertegun dan maklum akan demonstrasi khikang ini. Ia merobah sikapnya dan berkata,

   "Hm, kiranya kalian adalah orang-orang muda dari kang-ouw pula. Pinto bertanya bukan tiada alasan. Pedang itu tentu Oei-hong-kiam, bukan? Ketahuilah bahwa Oei-hong-kiam adalah pedangku, sudah sepuluh tahun berada di tanganku. Kemudian kuberikan kepada muridku dan kumendengar bahwa muridku telah tewas dan pedang itu telah terampas oleh lawannya. Karena itu, ku ulangi lagi, dari mana kau memperoleh pedang Oei-hong-kiam itu, nona?"

   "Akulah yang memberi pedang itu kepadanya, totiang,"

   Sian Lun mendahuluinya menjawab. Pemuda ini maklum akan kekerasan hati nona itu, maka sebelum Ling Ling mengeluarkan ucapan kasar, ia mendahuluinya. Mendengar ucapan ini, tosu itu lalu berpaling dan kini pandang matanya menatap wajah Sian Lun dengan tajam.

   "Kau? Siapa kau? Darimana kau peroleh pedang itu?"

   "Aku memperolehnya dari seorang lawanku yang tewas."

   "Aha, jadi kaulah yang telah membunuh muridku Kwan Sun Giok? Bagus, kau berani sekali mengganggu murid dari Liang Hwat Cinjin? Kau mencari mampus!"

   Bukan main kagetnya Sian Lun mendengar ucapan ini, apalagi ketika tiba-tiba sepasang tangan tosu itu yang tertutup oleh lengan baju yang panjang dan lebar, telah menyambarnya dengan kecepatan luar biasa sekali, melakukan totokan dengan ujung lengan baju ke arah jalan darahnya yang berbahaya. Sian Lun cepat membuang tubuhnya ke belakang, berjungkir balik di udara beberapa kali, baru ia turun dan kini ia berdiri agak jauh dari tosu itu.

   "Bagus, kau ternyata pandai juga. Pantas muridku kalah!"

   Sambil berkata demikian, kembali ia mengebutkan kedua tangannya ke depan, tanpa melangkah maju. Inilah pukulan Kim-kong-jiu yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh, sebuah pukulan yang dilakukan mengandalkan tenaga khikang yang amat tinggi. Sian Lun semenjak tadi telah merasa ragu-ragu dan khawatir sekali.

   Kalau benar keterangan Kwan Sun Giok dahulu, kakek ini sebetulnya masih supeknya (uwa gurunya) sendiri, maka bagaimana ia berani melawannya? Ia tidak mengelak dari sambaran pukulan Kim-kong-jiu itu. Sebaliknya ia lalu mengangkat kedua tangannya ke arah dada dengan telapak terbuka, mengerahkan khikang dan lweekang dan melakukan gerakan Raja Monyet Menyembah Buddha. Gerakan ini adalah pelajaran dari ilmu silat Pek-sim-kun-hoat yang ia terima dari Liang Gi Cinjin dan karena telah lama pemuda ini mendapat gemblengan ilmu lweekang dari Beng To Siansu, maka tenaga dalamnya sudah cukup kuat sehingga ia berhasil menolak kembali pukulan Kim-kong-jiu itu. Liang Hwat Cinjin terkejut bukan main, tidak hanya karena melihat pemuda itu dapat menolak pukulannya, akan tetapi terutama sekali melihat cara pemuda itu menolak pukulan tadi.

   "He, dari mana kau memperoleh gerakan See-ceng-pai-hud tadi? Ada hubungan apakah kau dengan suteku Liang Gi Cinjin?"

   Sian Lun adalah seorang pemuda yang terpelajar dan memegang keras peraturan kesopanan antara hubungan guru dan murid. Mendengar pertanyaan ini, terpaksa ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

   "Maaf, supek. Teecu adalah murid dari suhu Liang Gi Cinjin."

   Liang Hwat Cinjin tertegun.

   "Apa? Kau murid dari Liang Gi? Dan kau yang membunuh muridku Kwan Sun Giok dan yang merampas pedangnya?"

   "Teecu terpaksa, supek, karena dia menjadi panglima dari pasukan Sui, adapun teecu membantu perjuangan Jenderal Li Goan. Di dalam perang, tentu saja tidak ada hubungan antara saudara. Harap supek sudi mempertimbangkan dan memaafkan teecu."

   "Bedebah!"

   Tiba-tiba tosu itu memaki dengan kasar sekali sehingga mengejutkan semua orang yang mulai menonton pertengkaran itu.

   "Kau sudah berani membunuh suhengmu sendiri, hendak kulihat apakah kau berani pula melawan supekmu?"

   Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan hendak memukul Sian Lun yang tidak bergerak dari tempatnya berlutut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Tosu keparat! Sekarang kaulah yang harus menjawab dari mana kau mendapatkan pedang ini!"

   Karena Ling Ling mengeluarkan kata-kata ini sambil menggerakkan pedangnya di depan tosu itu untuk menghalanginya memukul Sian Lun, Liang Hwat Cinjin terpaksa menarik kembali tangannya dan ia memandang kepada Ling Ling dengan marah dan mendongkol sekali.

   "Gadis liar, siapakah kau? Berani sekali kau berlaku kurang ajar dihadapan Kim-kong Lo-koai (Setan Tua Sinar Mas)."

   Mendengar tosu itu menyebutkan julukannya yang menyeramkan, Ling Ling tersenyum mengejek dan berkata,

   "Aku adalah Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita Pencabut Nyawa), mengapa harus takut berhadapan dengan setan tua yang sudah hampir mampus. Kau bilang tadi bahwa pedang Oei-hong-kiam ini adalah pedangmu, ternyata kau telah berkata bohong besar."

   Sampai pucat wajah Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan yang disertai makian ini. Belum pernah selama hidupnya ada orang yang berani bersikap demikian kurang ajar kepadanya.

   "Bocah yang bosan hidup! Kau berani bilang aku membohong?"

   "Tentu saja kau bohong, karena setahuku, pedang Oei-hong-kiam adalah pedang pusaka milik Panglima Besar Kam Kok Han!"

   Berobahlah wajah Liang Hwat Cinjin mendengar nama ini disebut.

   "Hm, dari mana kau tahu akan hal ini? Memang benar, Kam Kok Han telah mampus ditanganku dalam pemberontakannya dan pedang ini terjatuh ke dalam tanganku, bukankah itu berarti bahwa pedang Oei-hong-kiam menjadi pedangku?"

   "Bagus, bangsat tua! Sudah lama aku mencari-cari kau untuk membalas dendam Sucouw (kakek guru)!"

   Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu menyerang dengan tusukan pedangnya.

   Liang Hwat Cinjin terheran mendengar ini, akan tetapi ia cepat mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya. Ketika ujung lengan baju itu mengenai pedang, terdengar suara gemericing nyaring dan tergetarlah tangan Ling Ling. Gadis ini terkejut sekali maklum bahwa kepandaian kakek ini benar-benar amat lihai dan masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi Ling Ling tentu saja tidak merasa takut sedikitpun juga, apalagi karena pada saat itu ia sedang merasa marah dan sakit hati sekali melihat orang yang dimaksudkan oleh pesanan Bu Lam Nio. Inilah pembunuh suami Bu Lam Nio, dan orang inilah yang harus ia tewaskan untuk membalas dendam Bu Lam Nio dan Kam Kok Han. Maka ia lalu menyerbu lagi dan mengeluarkan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut sebaik-baiknya.

   "Hoho! Jadi kau sudah mewarisi Kim-gan-liong Kiam-sut dari Kam Kok Han? Bagus, bagus, mari pinto antar kau menyusul Sucouwmu si pemberontak itu!"

   Setelah berkata demikian, Liang Hwat Cinjin lalu menggerakkan kedua lengan bajunya secara istimewa sekali.

   Dari kedua ujung lengan bajunya keluar angin pukulan yang dahsyat, yang membuat pakaian para penonton yang berada di tempat jauh ikut berkibar dan yang membuat Ling Ling merasa seakan-akan menghadapi serangan angin ribut. Biarpun gadis ini telah memiliki lweekang yang cukup tinggi sehingga ia tidak terpengaruh oleh hawa pukulan yang hebat ini, namun tetap saja kedua matanya terasa pedas dan hidungnya terasa sukar untuk bernapas ketika tertiup oleh hawa gerakan tosu yang lihai itu. Inilah ilmu silat Soan-hong-kim-ko-jiu yang amat lihai dari Liang Hwat Cinjin. Dulu ketika ia menghadapi Kam Kok Han di waktu mudanya, ia telah berhasil pula merobohkan panglima kosen itu.dengan Soan-hong-kim-ko-jiu ini. Dan sekarang dengan ilmu pukulan ini pula ia telah membuat Ling Ling menjadi bingung sekali dan terdesak hebat.

   "Supek, jangan celakakan dia!"

   Terdengar Sian Lun berseru berulang-ulang, dan ketika supeknya tidak memperdulikan teriakannya, dan melihat betapa Ling Ling nampak makin lama makin lemah gerakan pedangnya, Sian Lun lalu mencabut pedang Pek-hong-kiam dan melompat maju, menyerbu ke dalam kalangan pertempuran yang hebat itu.

   "Ha, ha, ha! Jadi kau membela gadis ini? Agaknya dia adalah kecintaanmu, baik... baik! Akan kuantar kalian berdua menjumpai Kwan Sun Giok muridku di alam baka!"

   Kini pertempuran menjadi makin hebat. Gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu benar-benar hebat. Biarpun ujung lengan baju itu hanya terbuat dari pada bahan kain yang tidak berapa tebalnya, namun karena digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi dan menurut aturan dari ilmu silat luar biasa Soan-hong-kim-ko-jiu, maka lengan baju itu merupakan senjata yang luar biasa berbahayanya. Biarpun, berkali-kali bertemu dengan pedang-pedang pusaka seperti Oei-hong-pokiam dan Pek-hong-pokiam, namun ujung lengan baju itu tidak menjadi putus bahkan tangan kedua orang muda itu terasa kesemutan seakan-akan pedang mereka bertemu dengan benda yang amat keras dan kuatnya.

   Makin lama makin banyak orang yang menonton pertempuran ini, dan semua orang tidak berani mendekat, menonton dari jarak jauh sambil menahan napas. Memang pertempuran itu amat indah dilihat. Pedang di tangan Sian Lun menjadi segulung sinar putih yang cepat dan kuat, sedangkan pedang di tangan Ling Ling berobah menjadi segulung sinar kuning yang amat ganas. Adapun lengan baju Liang Hwat Cinjin kadang-kadang terbuka lebar merupakan awan-awan putih yang bergulung-gulung tertiup angin, sehingga nampaknya karena tubuh ketiga orang itu tidak kelihatan lagi, seakan-akan yang bermain di situ adalah seekor naga kuning dan seekor naga putih yang bermain-main di antara mega-mega yang tertiup angin.

   Liang Hwat Cinjin merasa penasaran sekali dan diam-diam ia mengagumi ilmu pedang Sian Lun. Pantas saja Kwan Sun Giok, muridnya itu tidak dapat menang, tidak tahunya pemuda itu sudah hampir mewarisi seluruh kepandaian sutenya, Liang Gi Cinjin. Seratus jurus telah lewat dan tosu itu tetap belum dapat mengalahkan kedua orang lawan mudanya, sungguhpun kedua orang muda itu telah terdesak hebat oleh kedua lengan bajunya. Bahkan Ling Ling nampak pucat sekali dan keringat telah membasahi jidatnya. Gadis ini memang telah merasa tidak enak badan dan kini karena ia mengerahkan seluruh tenaganya, ia merasa kepalanya pening dan tubuhnya panas bagaikan terbakar. Hanya semangat dan keberaniannya yang luar biasa sajalah yang membuat ia masih kuat melakukan pertempuran hebat itu. Pada saat itu terdengar seruan.

   "Kim-kong Lo-koai, kau memang jahat sekali!"

   Dan tiba-tiba seorang tosu tua berkelebat datang dan menggunakan sebatang tongkat bambu menyerbu dan menyerang Liang Hwat Cinjin.

   "Beng Kui Tosu, kau mau ikut-ikut?"

   Liang Hwat berseru marah, akan tetapi diam-diam ia mengeluh karena dengan adanya tosu tua yang amat tangguh ini, ia merasa tak sanggup melawan terus.

   Tadipun menghadapi Ling Ling dan Sian Lun, biarpun ia selalu dapat mendesak, namun kegesitan tubuh kedua orang muda itu telah membuat kepalanya pening dan sukar baginya untuk merobohkan seorang di antara mereka. Kini tertambah pula oleh Beng Kui Tosu, tokoh dari Kun-lun-san yang kepandaiannya tinggi juga, tentu saja berat baginya menghadapi keroyokan ketiga orang ini. Biarpun tingkat kepandaian Beng Kui Tosu tidak lebih tinggi dari pada kepandaian Ling Ling atau Sian Lun, namun tosu ini telah banyak pengalaman dalam pertempuran dan oleh karenanya bambu di tangannya itu tidak kalah lihainya dari pada pedang pusaka di tangan Sian Lun atau Ling Ling. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di antara para penonton,

   "Dia Liem-ciangkun! Hayo keroyok tosu siluman itu!"

   Dan banyak orang datang dengan senjata di tangan, siap mengeroyok Liang Hwat Cinjin. Ternyata mereka itu adalah bekas pejuang-pejuang atau pemberontak-pemberontak yang mengenal Liem Sian Lun sebagai pemimpin mereka ketika dahulu menyerbu ke Tiang-an. Melihat gelagat tidak baik, Liang Hwat Cinjin tertawa bergelak dan tubuhnya melompat cepat sekali dan lenyap dari pandangan mata. Sian Lun lalu menghampiri Beng Kui Tosu dan berlutut.

   "Suhu, terima kasih atas pertolongan suhu."

   Akan tetapi Beng Kui Tosu setelah mengelus-elus kepala bekas muridnya ini lalu berkata.

   "Lihat, Sian Lun, nona ini agaknya sakit."

   Sian Lun terkejut sekali dan cepat menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Ling Ling berdiri sambil meramkan mata. Wajahnya pucat sekali dan tiba-tiba gadis itu menjadi limbung, pedangnya terlepas dari tangannya dan ia tentu sudah roboh kalau Sian Lun tidak cepat-cepat melompat dan memeluknya. Sementara itu, beberapa belas orang bekas anak buahnya sudah merubungnya dan di antaranya berkata,

   "Liem-ciangkun, marilah bawa nona itu ke rumahku untuk dirawat."

   Beramai-ramai mereka lalu menuju ke rumah orang she Thio yang peramah itu. Ling Ling dipondong oleh Sian Lun yang merasa amat gelisah karena tubuh gadis itu ternyata amat panas bagaikan api. Untung sekali bahwa pendeta Kun-lun-pai ini, yaitu Beng Kui Tosu, paham akan ilmu pengobatan. Setelah memeriksa nadi tangan Ling Ling dan merabah jidatnya, pendeta ini lalu berkata perlahan,

   "Ah, dia tidak terkena pukulan dan tidak terluka, hanya menderita demam akibat gigitan nyamuk berbisa!"

   "Memang malam tadi kami berdua bermalam di tepi rawa, suhu."

   Beng Kui Tosu mengangguk-angguk maklum.

   "Tidak apa, tak usah gelisah, ada obatnya untuk penyakit ini."

   Ia lalu menulis resep dan minta seorang di antara bekas anak buah Sian Lun untuk mencarikan obat itu di toko obat. Orang she Thio itu sendiri lalu pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli obat di toko obat.

   "Penyakitnya tidak berbahaya,"

   Kata tosu itu kepada Sian Lun.

   "Dengan rawatan dan istirahat, kau beri minum obat itu selama beberapa hari saja akan sembuh. Siapakah nona ini dan mengapa pula kau sampai bertempur melawan Kim-kong Lo-koai yang lihai?"

   Dengan singkat Sian Lun menuturkan pengalamannya. Tosu itu mengangguk-angguk lalu berkata,

   "Nona ini ilmu pedangnya hebat sekali. Agaknya cocok kalau bisa menjadi jodohmu, Sian Lun."

   Pemuda itu hanya menunduk dengan muka merah. Kemudian tosu itu lalu berpamit untuk melanjutkan perantauannya, karena tosu Kun-lun-pai ini memang seorang perantau yang tiada tentu tempat tinggalnya. Dengan amat teliti dan sabar, Sian Lun merawat Ling Ling hingga empat hari kemudian setelah sembuh, gadis ini merasa amat terharu dan berterima kasih. Akan tetapi, ia merasa malu untuk memperlihatkan perasaannya, hanya kini ia tidak marah-marah lagi kepada Sian Lun.

   "Kau baik sekali, Liem-ciangkun. Mengapa kau sebaik itu kepadaku?"

   Hanya inilah ucapannya ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri memberi obat minum kepadanya.

   "Nona, kau adalah seorang gagah yang berbudi tinggi dan telah berjasa dalam perjuangan. Kita boleh dibilang orang-orang segolongan dan kebetulan sekali kita melakukan perjalanan yang sama, mengalami bahaya yang sama serta bertemu dengan Liang Hwat Cinjin yang berbahaya. Mengapa aku tidak akan merawatmu? Tak usah bicara tentang kebaikan, karena kalau aku yang tertimpa malapetaka, aku percaya penuh bahwa kaupun takkan tega meninggalkan aku begitu saja."

   "Belum tentu,"

   Kata Ling Ling sambil menghindari pandang mata pemuda ini.

   "Aku,...aku keras hati dan keras kepala."

   Sian Lun tersenyum. Dia sendirilah yang menyebut keras hati dan keras kepala kepada gadis itu.

   "Apa kau kira aku tidak keras kepala? Kita sama saja, nona, dan... haruskah kita bersikap seperti orang yang belum saling mengenal? Tak enak sekali mendengar kau menyebut ciangkun kepadaku. Di dalam barisan mungkin aku seorang panglima, akan tetapi di luar barisan, aku hanyalah Liem Sian Lun, orang biasa saja."

   Akan tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya melengoskan muka untuk menyembunyikan mukanya, akan tetapi pemuda itu telah melihat betapa air mata mengucur deras dari sepasang mata gadis itu.

   "Nona... Ling Ling... kau mengapakah?"

   Bisiknya perlahan. Gadis ini dalam keadaan sakit teringat akan nasibnya, teringat akan ibunya yang sudah meninggal dunia, teringat pula akan ayahnya,

   Orang yang sesungguhnya akan menjadi orang satu-satunya yang dapat diminta tolong, menjadi tempat ia berlindung, akan tetapi, ayahnya telah menjadi ayah orang lain dan ia hanya akan menjadi anak tiri. Selama hidupnya, baru dua orang yang menaruh hati kasih sayang kepadanya, yang memperhatikan dan mengurusnya, yakni neneknya dan ibunya. Bu Lam Nio dan ibunya telah meninggalkannya. Dan sekarang, dalam keadaan sebatang kara, seorang diri tiada orang lain yang dapat dimintai tolong, ia jatuh sakit dan mendapatkan perawatan yang demikian baiknya dari seorang yang "Dibencinya"

   Mengingat akan hal ini dan mendengar pertanyaan pemuda itu yang diucapkan dengan penuh perhatian, tak terasa lagi Ling Ling menangis tersedu-sedu. Baru kali ini dia menangis terisak-isak dengan hati serasa diperas-peras.

   "Kau... kau terlalu baik padaku... Liem-ciangkun, keluarlah... keluarlah, tinggalkan aku sendiri..."

   Tangis Ling Ling menjadi-jadi.

   "Akan tetapi minumlah dulu obat ini, nona."

   Sian Lun mendekatinya sambil memegang mangkok berisi obat.

   "Biarkan saja, aku dapat minum sendiri. Keluarlah, Liem-ciangkun..."

   Sian Lun menarik napas panjang. Sungguh ia tidak dapat mengerti akan sikap gadis ini.

   "Kau masih lemah, nona. Tak dapat minum sendiri. Biarlah aku menyuruh enso Thio ke sini."

   Setelah meletakkan mangkok obat itu ke atas meja, Sian Lun lalu keluar dan memanggil nyonya Thio. Nyonya rumah ini amat peramah seperti suaminya, dan ia segera masuk ke dalam kamar gadis itu.

   "Nona, minumlah obat ini agar kau lekas sembuh."

   Dibantu oleh nyonya Thio, Ling Ling bangun duduk dan minum obat ini.

   "Terima kasih enci, kau benar-benar baik sekali. Aku berhutang budi kepadamu."

   "Hush, mengapa bicara tentang budi? Kalau mau bicara tentang budi, kau harus ingat kepada Liem-ciangkun. Dialah yang merawatmu selama ini, dia lupa makan, lupa tidur mengkhawatirkan keadaanmu."

   Ling Ling memandang kepada nyonya itu dengan air mata berlinang.

   "Benarkah, enci?"

   "Mengapa tidak benar? Liem-ciangkun setiap malam duduk di atas bangku di luar kamarmu, selalu menjagamu seperti seorang ayah menjaga anaknya. Ah, kau beruntung sekali mempunyai seorang calon suami seperti dia, nona."

   Tertegun hati Ling Ling mendengar sebutan ini. Ia hendak membantah akan tetapi cepat ditahannya. Apa gunanya membantah? Biarlah mereka mengira bahwa dia adalah calon isteri Sian Lun, apa salahnya? Hatinya merasa perih sekali, karena bagaimana ia bisa berjodoh dengan Sian Lun, dengan seorang pemuda yang dibencinya? Tak mungkin seorang pemuda yang telah menduduki pangkat sebagai panglima, seorang pemuda gagah perkasa, orang kepercayaan Jenderal Li, sudi berjodoh dengan gadis bodoh seperti dia.

   Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hatinya makin terasa perih, Sian Lun merawatnya tentu bukan karena cinta kasih, melainkan karena iba hati, terdorong oleh kebaikan budi pemuda itu. Ah, kalau saja Kwee Siong yang menjadi suami ibunya itu tidak berhati sekejam itu. Kalau saja Kwee Siong tidak melupakan ibunya, kalau saja ia bisa hidup sebagai puteri Kwee Siong, akan lain lagi halnya. Tentu ia takkan merasa lebih rendah dari pada pemuda itu. Pikiran ini membuat hatinya panas dan kemarahan serta kebenciannya terhadap Kwee Siong meluap. Dan pada malam hari yang gelap itu, tanpa diketahui oleh siapapun juga, tidak diketahui pula oleh Sian Lun yang telah tertidur saking lelahnya, diam-diam Ling Ling meninggalkan rumah keluarga Thio itu, meninggalkan Sian Lun menuju ke Tiang-an.

   Pada keesokan harinya, gegerlah dalam rumah itu. Sian Lun yang diberi tahu tentang larinya Ling Ling, tanpa pamit lagi lalu melompat keluar dan berlari mengejar. Akan tetapi, ia telah kalah dulu selama setengah malam, maka ia mempercepat larinya untuk menyusul gadis yang aneh, gadis yang berhati keras, yang manis dan yang dicintainya itu. Biarpun tubuhnya masih lemas, akan tetapi penyakit yang diderita oleh Ling Ling telah sembuh sama sekali. Aneh, ketika ia memaksa dirinya berlari pada malam hari itu, makin lama ia merasa makin sehat dan segar. Tahulah dia bahwa kelemasan tubuhnya itu sebagian besar karena terlampau lama berbaring dan kurang bergerak. Ia telah memiliki tubuh yang kuat, tubuh yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu silat tinggi, sehingga sebentar saja tenaganya telah pulih kembali, sungguhpun ia masih merasa lemah pada kaki dan punggungnya.

   Menjelang pagi, ia tiba di sebuah hutan dan beristirahat sambil mengatur pernapasannya dan melatih lweekangnya. Kalau teringat kepada Sian Lun, ia menjadi berduka. Entah mengapa, ia merasa sunyi dan sedih, berbeda sekali ketika ia mengadakan perjalanan bersama pemuda itu. Ketika pemuda itu selalu berada di sampingnya, ia selalu hendak marah kepada Sian Lun, akan tetapi setelah kini berpisah dan melakukan perjalanan seorang diri, ia merasa rindu dan ingin sekali melihat pemuda itu berada di sampingnya. Inikah yang disebut cinta?? Ia sendiri tidak mengerti, apakah ia merasa cinta atau benci kepada pemuda itu. Ia melanjutkan perjalanannya, sebentar-sebentar berhenti dan pada senja hari ia tiba di luar kota Tiang-an.

   Ia berhenti di sebuah dusun yang bersih dan nyaman hawanya, makan sedikit bubur dari sebuah warung nasi, lalu menuju ke Tiang-an. Akan tetapi, malam telah tiba dan kembali Ling Ling bermalam di sebuah hutan, di mana ia melihat sebuah kelenteng tua yang kosong. Pada kesokan harinya, ia melihat kelenteng itu ternyata indah sekali pemandangan sekitarnya, dikelilingi oleh tanaman-tanaman bunga liar yang beraneka warna dan di belakang kelenteng terdapat sebuah sungai kecil yang amat bening airnya. Tempat yang amat indah, pikirnya dengan hati senang. Akan senanglah ia kalau tinggal di tempat seperti ini, dekat dengan kota Tiang-an dan tak jauh dari hutan itu terdapat pula sebuah dusun yang bersih. Ketika ia hendak berangkat ke Tiang-an untuk mencari Kwee Siong dan melakukan niatnya membalas dendam, tiba-tiba terdengar suara halus memanggil namanya.

   "Ling Ling..."

   Ling Ling menengok dan tiba-tiba wajahnya berobah menjadi merah. Ia melihat Sian Lun berdiri di depan kelenteng dengan pandangan mata sayu.

   "Ling Ling, mengapa kau meninggalkan aku...?"

   Pemuda ini nampak pucat sekali karena memang ia amat gelisah. Ia telah mengejar Ling Ling dan tak dapat berjalan cepat-cepat karena ia harus mencari keterangan sepanjang jalan kalau-kalau ada orang yang melihat gadis itu. Ia tidak begitu yakin bahwa Ling Ling akan mengambil jalan langsung ke Tiang-an. Siapa tahu kalau gadis itu mengambil jalan lain? Karena itulah, maka ia baru dapat menyusul gadis itu pada pagi hari ini. Ia merasa amat khawatir kalau-kalau gadis yang baru saja sembuh dari sakit itu akan jatuh sakit pula di tengah jalan.

   "Liem-ciangkun, mengapa kau menyusulku?"

   Ling Ling menjawab dengan pertanyaan sambil menundukkan mukanya.

   "Ling Ling, mengapa kau lari dariku? Mengapa kau selalu hendak menjauhkan diri dari padaku? Sudah sembuh benarkah engkau? Kau nampak begitu kurus dan lemah..."

   Sian Lun melangkah maju mendekat dan tak terasa lagi ia memegang kedua tangan gadis itu. Berdebar jantung Ling Ling ketika merasa betapa tangan pemuda itu memegang tangannya dengan mesra. Debaran jantungnya membuat telapak tangannya dingin sekali.

   "Tanganmu dingin sekali, Ling Ling. Kau masih belum sehat benar. Mengapa kau memaksa melakukan perjalanan dan pergi di malam hari? Aku benar-benar gelisah..."

   "Liem-ciangkun, jangan kau perdulikan aku lagi! Aku... aku sebatangkara, pergi ke mana aku suka, bagaikan seekor burung di udara... jangan kau acuhkan aku lagi, Liem-ciangkun."

   Akan tetapi dorongan cinta kasih di dalam hati Sian Lun tak dapat ditahan lagi. Ia memegang kedua tangan Ling Ling makin erat dan berkata dengan bibir gemetar.

   "Ling Ling, tidak tahukah kau betapa aku menyintamu?"

   "Apa...?"

   Kedua mata Ling Ling terbelalak dan ia memandang tajam. Sungguhpun ia telah dapat mengira akan hal ini dan telah mendengar penuturan nyonya Thio tentang rawatan pemuda ini, namun mendengar pengakuan itu dari mulut pemuda itu sendiri, ia menjadi terkejut juga.

   "Memang, aku mencintamu, Ling Ling,"

   Kata Sian Lun dengan ketetapan seorang perajurit, biarpun mukanya menjadi sebentar pucat sebentar merah dan keringat mengalir dari jidatnya di pagi hari yang dingin itu.

   "Aku sendiri tadinya tidak mengira sama sekali, kukira hanya karena kagumku dan rasa iba hatiku kepadamu. Akan tetapi malam kemarin... pada pagi harinya ketika aku mendengar bahwa kau telah pergi meninggalkanku... aku yakin bahwa aku takkan dapat hidup bahagia tanpa kau disampingku!"

   

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini