Wanita Iblis Pencabut Nyawa 9
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Ling Ling tak dapat menjawab, hanya menundukkan mukanya makin dalam dan ia menangis terisak-isak.
"Ling Ling..."
Sian Lun menarik kedua tangan gadis itu dan hendak memeluknya, akan tetapi Ling Ling merenggutkan kedua tangannya sehingga terlepas dari pegangan Sian Lun dan gadis ini melangkah mundur tiga tindak.
"Tidak, tidak... jangan sentuh aku...!"
"Ling Ling..."
Kata Sian Lun dengan suara sedih.
"Kau bilang bahwa kau hidup sebatangkara... tidak maukah kau ikut dengan aku dan menjadi mantu ibuku? Dia orang baik, Ling Ling, ibuku amat baik dan tentu kau akan suka sekali kepadanya, akan kau anggap sebagai ibumu sendiri."
"Tidak! Tidak! Kau seorang panglima, seorang berkedudukan tinggi, sedangkan aku... aku seorang wanita kasar, bodoh, dan telah disebut orang sebagai... siluman, sebagai iblis wanita! Tahukah kau aku siapa?"
"Kau seorang gadis yang gagah perkasa, budiman, dan cantik jelita... dan..."
"Aku disebut Toat-beng Mo-li, Iblis Wanita Pencabut Nyawa, juga disebut Cialing Mo-li, Iblis Wanita Sungai Cialing! Aku seorang wanita jahat, kejam, dan tidak mengenal prikemanusiaan!"
"Mereka itu bohong!"
Kata Sian Lun dengan sengit.
"Akan kutampar mulut setiap orang yang berani menyebutmu demikian, Ling Ling. Tidak dapatkah kau menerima cintaku...?"
"Tidak, tidak mungkin..."
"Apakah kau membenciku? Dan... tidak ada sedikit jugapun rasa cinta kasih di dalam hatimu terhadapku?"
Pertanyaan ini terdengar amat mengharukan sehingga kini gadis itu menutupi mukanya dan tangisnya membuatnya tersedu-sedu. Ia tak dapat menjawab.
"Ling Ling, jawablah. Jawabanmu merupakan keputusan bagi kebahagiaan hidupku."
Setelah tangisnya mereda, gadis itu menatap wajah pemuda itu dengan pandangan yang berani, pandangan yang menyelidik dan tajam sekali sehingga kembali Sian Lun merasa betapa sinar mata gadis itu tajam dan runcing bagaikan ujung pedang yang menembus hatinya.
"Sian Lun, katakanlah, mengapa kau menyintaku? Mengapa?"
Berdebar jantung pemuda itu mendengar Ling Ling menyebut namanya begitu saja. Satu perobahan? Akan tetapi ia harus menjawab.
"Sukar sekali mengatakannya, Ling Ling,"
Ia menatap gadis itu dari kepala sampai ke kaki.
"Entah apamu yang membuat aku jatuh cinta. Mungkin rambutmu, matamu, hidung atau mulutmu, mungkin pula kakimu... ah, aku tidak tahu. Mungkin pula watakmu yang keras, atau kegagahanmu, entahlah. Kenyataannya, kalau kau sedang marah, kau nampak makin menarik dalam pandangan mataku."
Ucapan ini terdengar bagaikan lagu dari tujuh sorga di dalam telinga Ling Ling, membuatnya menutupkan kedua mata untuk beberapa lamanya. Alangkah merdu suara pemuda itu, ingin ia mendengar terus menerus ucapan itu, mendengar selama hidupnya. Akan tetapi ia memaksa diri merenggutkan semangatnya yang sudah terayun oleh gelombang rayuan ini.
"Sian Lun, lihatlah kenyataan! Bukalah matamu! Aku bukan gadis yang tepat untuk menjadi jodohmu. Lupakah kau bahwa aku sedang menuju ke Tiang-an untuk mencari dan membunuh Kwee Siong pamanmu?"
Bagaikan pisau berkarat ucapan ini menikam ulu hati Sian Lun dan membuatnya menjadi pucat seketika. Sakit rasa hati Ling Ling melihat keadaan pemuda itu. Sesungguhnya Sian Lun menjadi limbung ketika ia melangkah mundur tiga tindak. Kata-kata ini merupakan suara halilintar di siang hari yang menggugahnya dari mimpi indah. Bagaikan air dingin yang diguyurkan di atas kepala seorang yang mengantuk.
"Ling Ling... kasihanilah aku, kasihanilah pamanku...! Sakit hati apakah yang membuatmu demikian kejam terhadap paman? Katakanlah, urusan apakah yang menyakitkan hatimu, yang diperbuat oleh Kwee siokhu kepadamu?"
"Kau tak perlu tahu! Ini urusan pribadi. Cukup kalau kuberitahukan kepadamu bahwa aku harus membunuh orang she Kwee itu!"
Setelah berkata demikian, Ling Ling memutar tubuh dan berdiri membelakangi Sian Lun.
"Ling Ling, tak dapat dirobahkah niatmu ini? Demi Tuhan, sekali lagi aku mohon padamu, jangan lanjutkan niatmu ini. Biarlah aku berlutut di depan kakimu, Ling Ling, jangan kau mengganggu dia!"
Dan Sian Lun benar-benar berlutut di depan gadis itu.
"Bodoh! Lemah!"
Tiba-tiba Ling ling berseru sambil terisak dan ketika Sian Lun mengangkat kepalanya, ternyata gadis itu sudah tidak ada di depannya pula. Pemuda ini terkejut sekali dan cepat ia melompat dan mengejar. Karena memang tubuh Ling Ling masih lemah, sebentar saja Sian Lun dapat menyusulnya. Akan tetapi, Ling Ling telah mencabut pedangnya dan berkata menantang,
"Sian Lun, untuk satu hal ini, kalau terpaksa, aku akan menghadapimu dengan pedang!"
Bukan main bingung dan sedihnya hati Sian Lun.
"Ling Ling, aku tidak sampai hati untuk bertanding dengan engkau. Tidak lagi. Kalau kau mau, kau boleh penggal leherku, aku takkan melawan. Alan tetapi, jika aku melihat engkau mengganggu pamanku, terpaksa aku akan membelanya, biarpun aku harus mati di tanganmu."
Sambil berkata demikian, Sian Lun lalu berlari terus dengan amat cepatnya, mendahului gadis itu menuju Tiang-an. Ling Ling maklum bahwa pemuda itu tentu akan pergi ke rumah Kwee Siong dan akan menjaga keselamatan orang she Kwee itu. Akan tetapi ia tidak takut. Kalau perlu, ia akan menyerang pemuda itu dengan pedangnya. Sakit hati ibunya lebih penting untuk dibalaskan. Ia belum pernah berbakti terhadap ibunya, dan ia telah menyaksikan sendiri betapa ibunya hidup bersengsara, semenjak muda hidup di dalam hutan dan dijuluki iblis wanita, sama sekali tidak diperdulikan oleh ayahnya yang kini menduduki pangkat tinggi dan hidup bersenang-senang dengan isteri dan puteranya yang baru.
Dengan pikiran penuh nafsu dan dendam, gadis ini lalu berlari cepat menuju ke kota Tiang-an yang temboknya telah nampak di depan. Semenjak pertemuan dengan Sui Giok dan Ling Ling, Kwee Siong sembuh dari sakitnya dengan keadaan yang berobah sama sekali. Ia kini nampak tua, selalu berwajah muram dan seringkali termenung. Isterinya mencoba untuk menghiburnya, akan tetapi sia-sia. Kwee Siong terganggu oleh pikiran dan perasaannya sendiri. Ia merasa berdosa dan apabila ia teringat akan Sui Giok dan Ling Ling, ia menjadi amat terharu dan kasihan. Ia dapat membayangkan betapa hebatnya penderitaan dan kesengsaraan isterinya yang terpisah darinya di dalam hutan liar itu dalam keadaan mengandung tua.
Dulu ia merindukan isterinya dan telah berusaha mencari isterinya itu. Sampai lama, bertahun-tahun kemudian, baru ia mau menikah kembali atas bujukan saudara angkatnya, yakni Liem Siang Hong ayah Liem Sian Lun. Dan sekarang, setelah penghidupannya dengan keluarganya yang baru ini mulai bahagia, tiba-tiba saja muncul Sui Giok yang dikira telah tewas itu dengan puterinya. Alangkah malang nasibnya, alangkah hebat penderitaan ibu dan anak itu. Ia menyesal sekali mengapa Sui Giok dan Ling Ling telah pergi. Hiburan satu-satunya hanya Kwee Cun, puteranya yang telah berusia delapan tahun itu. Kwee Cun ternyata menjadi seorang anak laki-laki yang amat cerdik. Sukar bagi ibunya untuk menyembunyikan sesuatu dari anak ini karena Kwee Cun memiliki kecerdikan dan keluasan pandangan seperti orang dewasa.
"Ibu,"
Katanya setelah berkali-kali menanyakan keadaan ayahnya tanpa mendapat jawaban memuaskan dari ibunya.
"bagaimanapun juga ibu hendak menyembunyikan dariku, aku tahu bahwa tentu ada sesuatu yang menimpa diri ayah. Ia nampak begitu sedih. Ibu, ceritakanlah kepadaku, ibu."
"Cun-ji, kau masih kecil, tidak perlu mengetahui akan hal ini,"
Kata ibunya sambil mengelus-elus kepala anak itu.
"Ibu, kalau kau tidak mau menceritakan, aku akan selalu merasa sedih. Aku tidak mau belajar, tidak makan, tidak mau bermain-main. Ayah berduka sedangkan aku tahupun tidak urusannya. Ibu memperlakukan aku seperti orang luar saja."
Setiap hari Kwee Cun membujuk ibunya sehingga akhirnya ibunya merasa kewalahan dan diceritakannyalah tentang Sui Giok dan Ling Ling. Anak itu mengerutkan kening dan kontan berkata,
"Ayah tidak bersalah!"
Ibunya hanya memeluknya sambil mengalirkan air mata.
"Cun-ji, jangan kau ikut-ikut. Kau masih kecil, nak, belum tahu perasaan hati orang tua. Mari kita berdoa saja semoga ayahmu akan terhibur hatinya dan semoga ibu dan anak itu akhirnya akan dapat tinggal bersama kita dalam keadaan yang rukun dan damai."
Kwee Cun memandang kepada ibunya dengan mata penuh kasih sayang, lalu katanya,
"Ibu, kau seorang yang berhati mulia."
Demikianlah, anak kecil ini dengan cara pikiran dan pertimbangannya sendiri, telah dapat mengetahui keadaan ayahnya. Pada hari itu, menjelang senja, datanglah Sian Lun dengan wajah pucat dan lesu.
"Engko Sian Lun datang...!"
Kwee Cun berteriak berkali-kali dengan girang sekali. Sian Lun mengangkat anak itu ke atas lalu menurunkannya kembali. Ia menganggap Kwee Cun seperti adiknya sendiri. Ibunya, yakni nyonya Liem Siang Hong, yang semenjak Kwee Cun lahir telah tinggal menjadi satu di gedung itu, menyambut kedatangan puteranya dengan girang.
"Lun-ji, pasukanmu telah lama tiba, mengapa baru sekarang kau datang? Kau membuat kami merasa gelisah saja. Kemanakah kau pergi?"
"Aku... aku mengurus sebuah hal yang penting, ibu. Mana Kwee siokhu?"
Tanyanya menyimpangkan pertanyaan ibunya itu.
"Di ruang belakang. Ah, Sian Lun, pamanmu itu akhir-akhir ini nampak selalu bersedih saja. Jumpailah dia, siapa tahu kedatanganmu akan menghibur hatinya."
Sian Lun lalu menuju ke ruang belakang di mana ia disambut oleh pamannya dan bibinya.
"Kwee siokhu, aku membawa sebuah berita yang amat penting."
Melihat sikap pemuda itu, Kwee Siong lalu mengajaknya masuk ke dalam kamar kerja. Nyonya Kwee yang maklum bahwa sebagai seorang wanita ia tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan suaminya. Ketika melihat Kwee Cun hendak ikut ayahnya ke dalam kamar kerja, nyonya Kwee segera membetot tangannya dan mengajaknya ke belakang.
"Kau dan aku tidak boleh mengganggu ayahmu kalau sedang ada urusan pekerjaan,"
Katanya.
"Mengapa tidak boleh ibu?"
"Kita tidak dapat membantu, hanya akan merupakan gangguan saja. Kalau kakakmu Sian Lun ada pembicaraan penting dengan ayahmu, tentu mereka itu membicarakan tentang pekerjaan dan urusan negara."
Akan tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh dua orang itu sama sekali bukanlah urusan negara.
"Siokhu, mulai saat ini sampai malam nanti, harap siokhu sekeluarga jangan keluar dari kamar dan biar aku menjaga di sini, di dekat siokhu sampai bahaya itu datang."
"Apa maksudmu, Sian Lun?"
Tanya Kwee Siong terkejut.
"Siokhu, nanti akan ada orang yang datang dan berusaha menyerang untuk membunuh siokhu."
Pemuda ini sengaja tidak mau menyebut nama Ling Ling, agar orang tua ini jangan menjadi kaget dan berduka.
"Orang mau membunuhku? Siapakah dia dan bagaimana kau bisa tahu?"
Kwee Siong adalah seorang yang telah lama melakukan pekerjaan sebagai hakim, maka mendengar tentang ada orang hendak membunuhnya, bukan merupakan hal yang aneh karena tentu banyak penjahat merasa dendam kepadanya. Dan karena kebiasaan memeriksa pesakitan, kali inipun ia telah mendesak Sian Lun dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Siokhu, tak perlu kiranya aku beritahukan siapa orangnya yang hendak melakukan hal itu. Tiada gunanya siokhu mengetahui."
Pemuda ini menundukkan mukanya. Ia tidak bisa membohong dan juga bukan seorang ahli dalam memutar balikkan omongan, maka agar dapat bersembunyi dari pandangan mata pamannya yang luar biasa tajamnya, ia menundukkan mukanya. Berat sekali rasa hatinya untuk memberitahukan siapa orangnya yang hendak melakukan perbuatan jahat ini.
Ia tidak ingin orang lain, terutama sekali pamannya, tahu akan maksud jahat dari Ling Ling. Ia hendak menghadapi gadis yang dicintanya itu sendiri, hendak berusaha sedapat mungkin untuk mencegah gadis itu melanjutkan niatnya. Kalau perlu ia akan mengorbankan nyawanya. Untuk membiarkan Ling Ling membunuh pamannya, tak mungkin dapat ia lakukan. Dan untuk memberi keterangan sejelasnya kepada pamannya sehingga orang tua ini memandang rendah dan marah kepada Ling Ling atau lalu bertindak untuk menghadapi gadis itu dengan kekerasan sehingga Ling Ling akan mendapat bencana, juga tak dapat dilakukan olehnya. Ia menyinta dan berbakti kepada pamannya yang dianggap sebagai ayah sendiri, akan tetapi iapun amat menyinta Ling Ling. Hening sejenak, Kwee Siong menatap tajam sedangkan Sian Lun menunduk sambil menahan napas.
"Tentu dia yang akan datang, bukan? Dia... gadis yang bernama Ling Ling dan dijuluki orang Toat-beng Mo-li, gadis yang dulu hendak membunuh jenderal Li, bukan?"
Tiba-tiba Kwee Siong berkata. Serasa ambruk bangunan rumah di atas kepalanya ketika Sian Lun mendengar pertanyaan ini. Ia cepat mengangkat kepala memandang pamannya dan melihat sinar mata itu menembus dadanya dengan pandang menyelidik, ia tidak berani mencoba-coba untuk menyangkal lagi.
"Siokhu, bagaimana kau dapat menduga demikian tepat?"
Tanyanya kagum. Kwee Siong tersenyum pahit. Tentu saja ia dapat menduga. Kalau penjahat-penjahat biasa yang hendak mengarah nyawanya, tentu Sian Lun takkan menyembunyikan namanya. Sui Giok dan Ling Ling adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah meninggalkan ingatannya, dan ia maklum betapa gadis puterinya itu akan membencinya kalau mendengar dari ibunya betapa ia adalah ayahnya yang seakan-akan telah menyia-nyiakan kehidupan ibunya.
"Sian Lun, mengapa kau menyembunyikan namanya dariku?"
Kwee Siong menjawab pertanyaan pemuda itu dengan pertanyaan pula, pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara menuntut dan penuh selidik. Berdebar jantung Sian Lun. Tentu saja tak mungkin baginya untuk berkata terus terang bahwa ia menyinta gadis itu. Bahwa ia tidak ingin gadis itu tertangkap dan mendapat celaka, akan tetapi bahwa iapun tidak ingin melihat gadis itu membunuh pamannya.
"Dia... dia... adalah seorang dara perkasa, seorang pendekar wanita yang sudah berjasa, yang sudah membantu perjuangan kita, siokhu. Aku hendak mencegahnya melakukan perbuatan yang jahat ini. Siokhu, bolehkah aku mengetahui, mengapakah dia begitu benci kepadamu? Mengapa dia begitu berkeras hati hendak membunuhmu?"
Melihat wajah pemuda itu yang sedih dan ucapannya yang penuh penasaran dan kepedihan hati itu, mata Kwee Siong yang tajam sudah dapat menduga lebih mendalam lagi.
"Sian Lun,"
Katanya dengan lemah.
"jangan kau menghalanginya. Biarkan ia datang dan aku sendiri yang akan menghadapinya!"
"Siokhu! Dia... dia hendak membunuhmu!"
"Biarlah! Jangan kau ikut campur, Sian Lun. Dengarkah kau? Ini satu perintah dariku, mengerti? Jangan kau menghalangi dia dan biarkan dia turun menjumpaiku. Aku tidak mau dibantah oleh siapapun juga dalam hal ini. Tak seorangpun boleh mencampuri urusan ini, juga kau sendiri tidak!"
"Siokhu! Akan tetapi aku... bukankah kau kuanggap ayah sendiri? Bukankah aku sama dengan puteramu sendiri? Bagaimana aku dapat membiarkan orang mengancam keselamatanmu?"
Kwee Siong tersenyum sedih,
"Kau tahu bahwa kau lebih dari putera sendiri bagiku. Bahkan aku ingin sekali... mengambilmu sebagai mantuku!"
Bukan main herannya hati Sian Lun mendengar ini dan ia hendak bertanya, akan tetapi Kwee Siong mendahuluinya dengan kata-kata tegas,
"Sian Lun, kau malam ini keluarlah dari rumah ini. Ajak ibumu bermalam di rumah Jenderal Li. Biarkan aku sekeluargaku seorang diri di dalam gedung ini."
Ketika pemuda itu memandangnya dengan wajah pucat, ia menyambung cepat.
"Anakku yang baik, percayalah kau kepadaku. Aku hanya minta kau mentaati kata-kataku sekali ini. Jangan membantah, anakku..."
Dua titik air mata terlompat keluar dari mata pemuda ini. Sebutan "Anakku"
Membuatnya merasa terharu sekali.
Pamannya yang amat baik hati ini menghadapi bahaya maut, akan tetapi ia bahkan diminta keluar dari situ bersama ibunya. Ia tahu bahwa Ling Ling bukanlah seorang gadis yang boleh dibuat main-main. Ancaman yang keluar dari mulut gadis seperti Ling Ling adalah ancaman yang timbul dari dasar hatinya. Akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak pamannya yang tegas-tegas menyatakan bahwa ini adalah sebuah perintah, maka ia lalu mengajak ibunya keluar dari rumah gedung itu dan bermalam di rumah Jenderal Li Goan. Sesosok bayangan hitam yang gesit sekali melompat ke atas genteng rumah gedung Kwee Siong. Bayangan ini bukan lain adalah Ling Ling yang datang dengan maksud membunuh ayahnya sendiri. Ia merasa heran karena melihat keadaan di luar gedung dan di atas genteng sunyi saja. Benar-benar di luar dugaannya semula.
Di manakah Sian Lun? Apakah pemuda yang mendahuluinya itu tidak melakukan penjagaan untuk mencegahnya? Dan di mana pula para penjaga? Apakah Sian Lun telah memperingatkan ayahnya dan keluarga itu telah pergi bersembunyi di lain tempat? Ah, kalau rumah itu telah dikosongkan, tentu rumah itu merupakan perangkap baginya. Akan tetapi Ling Ling tidak merasa takut sedikitpun juga. Ia menganggap bahwa niatnya ini merupakan tugas terakhir. Biarlah ia tewas dalam melakukan tugas ini, karena apakah artinya hidup baginya? Ibunya tidak ada, ayahnya hendak ia bunuh, dan Sian Lun... ah, dia tidak mau memikirkan pemuda itu dalam saat seperti itu. Dengan amat ringannya ia melompat turun sambil mencabut pedang Oei-hong-kiam dari pinggangnya. Ia masuk ke dalam ruangan yang terang dan sunyi.
Masuk terus dengan tindakan kaki ringan, makin ke dalam. Sebuah pintu yang menuju ke ruang belakang tertutup, maka dibukanya perlahan. Matanya silau karena di ruang itu amat terang, banyak lilin dipasang di atas meja. Untuk beberapa lama Ling Ling menggosok matanya agar tidak begitu silau. Ketika ia membuka matanya, ia memandang ke depan dan... berdiri bengong seperti patung. Kwee Siong dengan tenangnya duduk di atas sebuah kursi sambil memandangnya dengan mata tajam, akan tetapi wajahnya muram dan berduka sekali. Seorang nyonya yang cantik duduk di sebelahnya, menundukkan muka dan wajahnya nampak amat pucat. Seorang anak laki-laki yang tadinya menangis sambil menyembunyikan mukanya di pangkuan ibunya, kini serentak bangun berdiri, memandang kepada Ling Ling dengan matanya yang lebar dan bening.
"Ling Ling, kau baru datang, nak?"
Terdengar Kwee Siong berkata dengan suara seakan-akan seorang ayah menegur puterinya yang baru kembali dari perjalanan jauh.
"Sudah semenjak tadi aku, ibu tirimu dan adikmu menanti kedatanganmu!"
Naik sedu sedan dari dada gadis itu menuju kerongkongannya, akan tetapi ia cepat menekan perasaan keharuan ini dan membentak marah.
"Siapa anakmu? Kau orang jahat, manusia kejam berhati binatang. Kau telah membiarkan ibu hidup sengsara sampai bertahun-tahun. Ibu hidup bagaikan seekor binatang buas di dalam hutan, menjadi seorang yang dijuluki iblis wanita oleh orang lain. Semua karena kau! Laki-laki tidak tahu kewajiban, kau masih berani menyebut aku sebagai anakmu?"
"Ling Ling, kau boleh memaki sesuka hatimu, akan tetapi katakanlah, mengapa ibumu tidak ikut datang? Mana Sui Giok? Mana isteriku itu?"
Tak tertahan lagi air mata menitik keluar dari sepasang mata Ling Ling. Kemudian ia mengangkat mukanya memandang wajah ayahnya dengan marah sekali. Dengan jari telunjuk tangan kirinya ia menuding ke arah muka Kwee Siong sambil berkata keras,
"Manusia rendah! Kenapa tidak dulu-dulu kau menanyakan ibu dan mencarinya? Mengapa sekarang setelah kau membunuh mati ibu, kau masih berpura-pura bertanya lagi?"
Muka yang sudah pucat dari pembesar itu kini menjadi makin pucat seperti mayat. Ucapan Ling Ling itu benar-benar menusuk hatinya dan membuatnya terkejut sekali.
"Ling Ling!"
Ia bangun dari kursinya dengan kedua kaki menggigil.
"Apa kau bilang? Mana ibumu...? Mana...??"
"Ibu telah mati, dan kau tidak berhak bertanya-tanya lagi!"
Seru gadis itu dengan ganas sambil melangkah maju dengan pedang siap di tangan.
"Ya, Tuhan...!"
Hanya itulah yang dapat diucapkan oleh Kwee Siong. Ia terjatuh kembali ke atas kursinya dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
"Sui Giok... Sui Giok... bagaimana dia mati...? Bagaimana? Ling Ling, katakanlah, bagaimana ibumu bisa mati...?"
"Tutup mulutmu yang palsu!"
Bentak gadis itu makin marah.
"Aku tidak kasihan kepadamu, seperti kau tidak kasihan kepada ibuku. Jangan pura-pura berduka atas kematian ibuku, karena sekarang aku datang hendak memaksa kau mati menyusul ibuku. Biar kau bisa bertemu dan minta ampun kepadanya!"
"Bunuhlah! Bunuhlah... ini dadaku, siapa takut mati? Aku akan merasa girang sekali dapat menyusul Sui Giok, aku merasa berdosa kepadanya, hanya... hanya aku merasa sayang sekali mengapa puteriku, puteri Sui Giok akan menjadi seorang anak durhaka yang membunuh ayah sendiri."
Lemaslah tangan Ling Ling mendengar ini, akan tetapi kekerasan hatinya membuat ia melompat maju dan mengangkat pedangnya, siap ditusukkan ke dada ayahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dan nyonya Kwee melompat maju, menghadang di depannya.
"Nona, suamiku tidak bersalah. Ayahmu tidak bersalah terhadap ibumu. Ketika ia mengawiniku, dia sudah putus asa dan menganggap bahwa ibumu telah meninggal dunia. Telah banyak usahanya untuk mencari ibumu, akan tetapi sia-sia. Jangan bunuh padanya, nona, bunuhlah aku kalau kau merasa bahwa aku yang merusak kehidupan ibumu!"
Dan nyonya ini lalu menangis terisak-isak, berlutut di depan Ling Ling. Tiba-tiba Kwee Cun berteriak marah.
"Tidak, ibu, tidak! Nona ini tidak boleh membunuhmu!"
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia lalu menghampiri Ling Ling dengan sikap mengancam, kedua tangannya yang kecil terkepal.
"Kau... kau ganas dan kejam! Kau orang durhaka, mau membunuh ayah sendiri? Kupukul kau!"
Dan anak kecil itu lalu menyerang Ling Ling dengan kedua tangannya memukul. Ling Ling tertegun melihat ini semua. Sebetulnya ia tidak tega untuk membunuh ayahnya, untuk melukai orang tua yang sama sekali tidak nampak jahat dan kejam ini. Ia tadi telah tertusuk oleh sikap dan kata-kata ayahnya, yang ternyata seorang laki-laki gagah dan budiman. Ketika nyonya itu menangis dan bermohon kepadanya, ia sudah merasa makin lemah semangatnya. Bagaimana ia bisa membunuh ayah sendiri dan membuat nyonya itu serta puteranya menjadi janda?
Kini melihat sikap Kwee Cun, ia makin pucat dan tak terasa pula ia melangkah mundur tiga tindak. Sebagai seorang yang mempelajari ilmu silat dan menjunjung tinggi kegagahan, sikap dan keberanian anak ini membela ibunya telah membuat Ling Ling kagum sekali. Ia tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Sedih dan girang tercampur aduk menjadi satu. Sedih mengingat nasib ibunya, dan girang mendapat kenyataan bahwa ayahnya dan isteri serta puteranya yang baru ternyata adalah orang-orang (Lanjut ke Jilid 09 - Tamat)
Wanita Iblis Pencabut Nyawa/Toat Beng Mo Li (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09 (Tamat)
yang patut dipuji. Kenyataan bahwa ayahnya seorang laki-laki gagah membuatnya bangga. Kalau seandainya ayahnya berlutut dan meminta-minta ampun, mungkin akan dilanjutkan niatnya membunuhnya. Akan tetapi ayahnya bahkan menantang, memberikan dadanya.
"Nona insyaflah akan kesesatanmu!"
Terdengar nyonya itu berkata di antara tangisnya.
"Tidak ada kedosaan yang lebih besar daripada membunuh ayah sendiri. Menyakiti hatinya saja sudah merupakan perbuatan terkutuk, apalagi membunuhnya. Aku bersumpah, ketika ayahmu melihat kau dan ibumu masih hidup, tidak ada pengharapan yang lebih besar dalam hati ayahmu, dalam hatiku dan dalam hati adikmu yang masih kecil ini, melainkan melihat kau dan ibumu tinggal di sini bersama kami, hidup sebagai keluarga yang besar dan penuh damai. Sekarang... kalau benar-benar ibumu telah meninggal dunia, kuminta kepadamu, tinggallah di sini. Jadilah anakku, anak ayahmu, enci adikmu ini... Ling Ling, pergunakanlah kesadaranmu..."
Kembali Ling Ling tertegun. Akan tetapi sambil mengeraskan hatinya, ia berkata,
"Kau kira akan dapat membujukku dengan omongan manis. Kau tidak tahu betapa rasanya kehilangan ibu. Biarlah anakmu yang akan merasakan betapa sengsaranya hati seorang anak terpisah dari ibunya."
Setelah berkata demikian, secepat kilat Ling Ling menyambar tubuh Kwee Cun, dipondongnya dan dibawanya melompat keluar, menghilang di dalam gelap.
"Cun-ji...!"
Nyonya itu berteriak-teriak sambil menangis.
"Ling Ling... kasihanilah dia, kembalikan anakku..."
Akan tetapi Kwee Siong segera memegang tangan isterinya yang hendak berlari mengejar.
"Sabarlah, tenanglah! Aku tidak percaya bahwa Ling Ling akan mencelakakan Cun-ji. Dia pasti akan kembali membawa Cun-ji dengan selamat. Percayalah kepadaku."
Nyonya itu lalu menubruk dan menangis di dada suaminya. Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Sian Lun sudah masuk ke dalam gedung keluarga Kwee. Ibunya masih berada di rumah Jenderal Li Goan.
Wajah pemuda ini muram dan pucat penuh kekhawatiran. Semalam suntuk ia tidak pernah tidur sedikitpun juga, penuh kegelisahan memikirkan keadaan pamannya dan juga memikirkan keadaan Ling Ling. Bagaimana kalau gadis itu membunuh Kwee siokhu, pikirnya. Ah, kalau hal itu terjadi, akan hancurlah dunianya. Ia harus mencari gadis itu dan membunuhnya, mungkin untuk mati bersama. Apa gunanya hidup lagi baginya? Akan tetapi ketika ia masuk ke ruang belakang, didapati paman dan bibinya masih duduk di atas kursi. Ia tidak tahu bahwa mereka itu duduk di situ semalaman, sama sekali tak pernah tidur seperti dia sendiri. Sian Lun menarik napas lega, merasa seakan-akan batu besar yang semalaman menindih isi dadanya kini terangkat, membangkitkan sedu sedan yang mengumpul di kerongkongannya.
"Siokhu...
"
Katanya sambil bertindak perlahan menghampiri kedua orang tua itu.
"Sian Lun, kau sudah datang?"
Kata Kwee Siong sambil tersenyum. Ada sesuatu tersembunyi dibalik senyum ini, pikir Sian Lun. Pasti ada apa-apa terjadi malam tadi.
"Syukur siokhu selamat,"
Katanya tanpa berani menyebut-nyebut tentang datang tidaknya Ling Ling.
"Ia datang,"
Kata pamannya.
"Dan ia membawa Cun-ji,"
Sambung bibinya dengan bibir gemetar menahan tangis. Terkejutlah Sian Lun mendengar ini.
"Ling Ling datang dan menculik adik Cun?"
Tanyanya tak sadar menyebut nama gadis itu. Pamannya mengangguk sunyi. Marahlah Sian Lun. Kelegaan hatinya terganti kekhawatiran dan penyesalan. Ling Ling terlalu sekali, pikirnya.
"Aku akan menyusul dan membawa pulang adik Cun!"
Katanya dan sebelum dua orang tua itu dapat menjawab, tubuhnya sudah melesat keluar dari gedung itu. Ia maklum ke mana harus mencari Ling Ling Kemana lagi kalau tidak di kelenteng dalam hutan, di luar kota Tiang-an itu? Matahari telah naik tinggi ketika Sian Lun tiba di kelenteng itu. Peluh membasahi jidat dan lehernya karena ia telah berlari cepat tiada hentinya dari kota. Di depan kelenteng itu sunyi saja. Apakah gadis itu tidak membawa Kwee Cun ke sini? Ia mulai gelisah dan cepat melompat masuk ke dalam kelenteng. Kosong! Ia terus keluar dari pintu belakang dan tiba-tiba ia berdiri bagaikan patung. Kerongkongannya terasa kering, penuh oleh hawa yang naik dari dalam dadanya. Hampir ia tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Ling Ling sedang duduk di atas rumput bersama Kwee Cun. Mereka tertawa-tawa. Terdengar anak laki-laki itu bicara gembira, seakan-akan sedang menceritakan sesuatu, kadang-kadang diseling oleh suara ketawanya yang bersih. Adapun Ling Ling mendengarkan sambil memegang pundak anak itu, juga gadis ini terdengar tertawa-tawa dengan geli dan gembira. Terdengar oleh Sian Lun bagaimana anak itu menyebut Ling Ling dengan sebutan "Enci Ling"
Yang mesra sekali, dan terlihat olehnya betapa seringkali tangan Ling Ling mengelus-elus kepala anak itu dengan penuh kasih sayang. Sian Lun tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Ia demikian terpesona oleh pemandangan ini sehingga tidak tahu harus berkata apa dan melakukan apa. Pada saat itu, kebetulan sekali Kwee Cun menengok dan begitu melihat pemuda ini, anak itu lalu melonjak girang.
"Sian Lun-ko...!! ia berlari-lari menyambut pemuda itu, memegang tangannya dan menariknya ke tempat Ling Ling yang sudah berdiri dan memandang kepada Sian Lun dengan wajah kemerah-merahan, nampaknya malu sekali.
"Engko Sian Lun, baik sekali kau datang. Kuperkenalkan kepada enciku Ling Ling!"
Kata Kwee Cun dengan girang sekali, kemudian ia berkata kepada Ling Ling setelah kedua orang muda itu berhadapan.
"Enci Ling, inilah engko Sian Lun yang seringkali kautanyakan tadi! Lun-ko, ini adalah enciku yang cantik dan gagah, namanya Ling Ling!"
Akan tetapi kedua orang muda itu seakan-akan tidak mendengar ucapan anak itu. Keduanya berdiri saling pandang dan sinar mata mereka bicara dengan seribu satu bahasa yang tidak terdengar atau dimengerti orang lain kecuali mereka berdua sendiri. Ucapan Kwee Cun itu sebenarnya sudah patut kalau menjadikan pemuda itu terheran, karena bagaimanakah tiba-tiba Kwee Cun mengaku gadis ini sebagai encinya? Akan tetapi hanya satu saja arti yang tertangkap oleh Sian Lun, yakni bahwa gadis itu banyak bertanya kepada anak itu tentang dia.
"Cun-te, benarkah encimu ini banyak bertanya tentang aku?"
"Benar, engko Sian Lun, dia bertanya tentang kepandaianmu, tentang pekerjaanmu, dan apakah engkau sudah menikah atau belum..."
"Hush, tutup mulutmu, Kwee Cun!"
Ling Ling membentak dengan muka merah, akan tetapi agaknya Kwee Cun sudah biasa bermain-main dengan gadis itu, buktinya ia tahu bahwa encinya itu tidak marah maka ia hanya tertawa-tawa gembira. Keduanya merasa malu-malu dan jengah sehingga tidak berani saling memandang. Bahkan Sian Lun yang merasa terharu, girang, dan terheran tak dapat mengeluarkan kata-kata terhadap gadis itu.
"Cun-te,"
Akhirnya ia berkata kepada anak itu.
"hayo pulang dengan aku. Ayah bundamu menanti-nanti di rumah."
"Tidak, aku tidak mau pulang. Aku tidak akan pulang kalau tidak bersama enci Ling!"
Jawab anak itu sambil memandang Ling Ling, seakan-akan ia sudah berjanji dengan itu, yang segera memeluknya, tanda girang hati. Sian Lun benar-benar merasa heran sekali.
"Nona, kalau begitu, mengapa kau tidak membawa adik Cun pulang...?"
"Liem-ciangkun, kau pulanglah sendiri. Aku dan adik Cun belum ingin... pulang."
Sian Lun hendak membantah, akan tetapi Kwee Cun yang nakal itu berkata,
"Pulanglah Lun-ko. Kalau kau membantah, enciku akan marah dan kalau dia marah kepadamu, aku takkan berani tanggung jawab. Kalau ayah yang datang, barulah enci mau pulang..."
"Hus, Kwee Cun..."
Kembali Ling Ling membentak adiknya.
Akan tetapi kata-kata itu sudah cukup bagi Sian Lun. Ia hampir berjingkrak dan menari-nari saking girangnya. Sungguhpun sampai pada saat itu ia masih belum mimpi bahwa gadis ini adalah puteri Kwee Siong sendiri, namun jelas baginya bahwa Ling Ling tidak marah lagi kepada pamannya. Tanpa banyak cakap lagi, ia membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Kembali ia berlari tiada hentinya ke Tiang-an, akan tetapi kali ini ia berlari cepat dengan hati girang, tidak seperti tadi ketika meninggalkan Tiang-an, ia berlari cepat dengan hati gelisah. Kwee Siong mendengarkan penuturan Sian Lun dengan mata basah dan kemudian dua titik air mata mengalir turun di sepanjang pipinya. Muka yang tadinya pucat itu perlahan-lahan menjadi merah kembali dan akhirnya ia memeluk isterinya yang sementara itu menangis di dekatnya, lalu berkata perlahan,
"Apa kataku? Tepat seperti yang kuduga!"
Dan isterinya hanya dapat menangis di antara senyumnya. Sian Lun benar-benar tidak mengerti dan memandang dengan melongo. Lebih-lebih ia merasa heran ketika pamannya berkata,
"Sian Lun, kuulangi lagi kata-kataku bahwa kau patut menjadi mantuku."
Ia menoleh kepada isterinya yang sudah duduk di atas kursi dengan wajah berseri, lalu berkata,
"Bukankah sudah cocok sekali Sian Lun menjadi jodoh anak kita?"
"Cocok sekali, dan aku akan senang sekali, melihat Sian Lun sebagai mantuku!"
Sian Lun memandang dengan bengong. Apakah kedua orang tua ini sudah gila? Mereka hanya mempunyai seorang putera, bagaimana bisa mengambil mantu padanya? Tiba-tiba ia teringat kepada Ling Ling. Apakah gadis itu puteri pamannya? Tak mungkin, akan tetapi... ia teringat bahwa suhunya, Liang Gi Cinjin juga menyatakan bahwa ia cocok sekali menjadi jodoh Toat-beng Mo-li. Usul suhunya ini lebih cocok baginya, karena yang dimaksudkan oleh suhunya sudah jelas, tentu Ling Ling yang juga ternyata adalah gadis yang membawa pedang suhunya, Pek-hong-kiam. Akan tetapi puteri pamannya? Bagaimana kalau bukan Ling Ling? Agaknya tidak mungkin kalau Ling Ling, karena bukankah gadis itu tadinya hendak membunuh pamannya ini?
"Maaf, siokhu. Akan tetapi... aku... aku sudah dijodohkan oleh suhu kepada seorang gadis lain..."
Kwee Siong nampak terkejut.
"Apa...? Mana bisa jadi? Kau tidak boleh menikah dengan gadis lain, kecuali dengan puteriku sendiri! Kebetulan suhumu berada di sini, aku bicarakan hal ini dengan dia."
"Suhu berada di sini, siokhu? Di mana dia...?"
"Ya, suhumu, Liang Gi Cinjin baru saja datang dan sekarang masih berada di rumah Li-goanswe."
Baru saja sampai di sini percakapan mereka datanglah penjaga yang melaporkan bahwa Jenderal Li Goan dan Liang Gi Cinjin sudah datang. Tergesa-gesa Kwee Siong dan Sian Lun menyambut. Pemuda ini segera memberi hormat kepada suhunya yang tertawa bergelak melihat Sian Lun.
"Aku mendengar dari Li-goanswe bahwa kau telah bertempur melawan Liang Hwat Cinjin suhengku? Ah, Sian Lun, masih untung kau dapat terlepas dari tangannya yang ganas."
Kemudian kakek berilmu ini lalu menuturkan sambil menarik napas panjang betapa suhengnya itu semenjak dulu telah menyeleweng dan berkali-kali melakukan pelanggaran.
"Aku sendiri tentu sudah lama ia celakakan, kalau saja aku tidak mempunyai semacam ilmu yang dapat mengimbangi dan melawan ilmu yang ia andalkan, yakni Kim-kong-kiu yang lihai itu. Ia seringkali mengganggu dan mengejek tentang Pek-sim-kauw."
"Ah, kalau saja teecu sudah mempelajari ilmu yang suhu maksudkan itu, tentu teecu takkan terdesak hebat."
Ia lalu menuturkan lagi dengan jelas, betapa tadinya ia tidak berani melawan supeknya itu, akan tetapi betapa ia didesak sehingga akhirnya ia melawan juga. Tentu saja ia merasa malu menuturkan bahwa sesungguhnya karena ingin melindungi Ling Ling saja maka ia memberanikan diri menghadapi supeknya.
"Itulah kalau orang masih belum banyak pengalaman,"
Mencela suhunya.
"Padahal kalau melihat kepandaianmu, kau takkan kalah olehnya. Hanya kau tidak tahu bagaimana harus menghadapi Kim-kong-jiu, bukan dengan ilmu silat lain, muridku, akan tetapi kau harus selalu menghadapinya dengan gerakan rendah. Ketahuilah bahwa tenaga Kim-kong-jiu yang dimainkan oleh sepasang ujung lengan bajunya itu hanya berbahaya bagi tubuh bagian atas saja dan selalu dipergunakan untuk menyerang dari pinggang ke atas. Kalau kau main dengan gerakan rendah, akan kacaulah permainan Kim-kong-jiu."
Girang sekali hati Sian Lun mendengar ini. Pada saat ia bicara dengan suhunya, ia melihat pamannya sedang asyik bicara dengan Li-goanswe, dan tiba-tiba terdengar suara Li-goanswe.
"Saudara Kwee Siong mempunyai keperluan penting sekali untuk menjemput anaknya, marilah kita beramai mengantarnya. Juga harap losuhu suka pula mengantarnya. Urusan lain boleh ditunda, karena urusan ini benar-benar amat pentingnya dan baru saja sekarang kudengar!"
Wajah Jenderal itu nampak berseri-seri dan gembira sekali, seakan-akan ia baru saja mendengar berita yang amat menggembirakan hatinya, Memang, sesungguhnya baru tadi Jenderal ini mendengar dari Kwee Siong bahwa sebetulnya Toat-beng Mo-li adalah puterinya sendiri. Kuda yang kuat lalu disediakan, empat ekor jumlahnya. Tak lama kemudian, Kwee Siong, Jenderal Li, Sian Lun, dan Liang Gi Cinjin lalu beramai-ramai berangkat dengan cepatnya menuju ke hutan di mana baru saja Sian Lun meninggalkan Ling Ling dan Kwee Cun. Matahari telah mulai condong ke barat ketika empat orang ini tiba di tempat yang dituju. Tidak seperti tadi ketika Sian Lun datang seorang diri, di depan kelenteng itu tidak sunyi, bahkan begitu mereka tiba semua menjadi terkejut melihat Ling Ling sedang bertempur hebat sekali melawan seorang kakek. Kwee Cun anak nakal itu berdiri menonton sambil memaki-maki keras,
"Kakek tua bangka kurang ajar! Jangan serang enciku!"
"Liang Hwat Cinjin!"
Berkata Sian Lun.
"Benar, dia adalah suhengku,"
Berkata pula Liang Gi Cinjin.
"Benar-benar tak tahu diri, menyerang seorang gadis muda."
Pertempuran itu hebat sekali. Pedang Oei-hong-kiam di tangan Ling Ling berkelebatan mengeluarkan cahaya kuning sehingga Jenderal Li Goan menjadi kagum sekali. Ia sudah mendengar dari Sian Lun akan penukaran pedang itu dan iapun tidak merasa keberatan, bahkan ia menyatakan bahwa kalau memang gadis itu keturunan atau ahli waris ilmu pedang dari Panglima Kam Kok Han, sudah sepatutnya pedang itu diberikan kepadanya. Akan tetapi jelaslah bahwa Ling Ling terdesak hebat oleh ilmu silat Kim-kong-jiu yang dilancarkan oleh sepasang lengan baju Liang Hwat Cinjin dengan hebatnya. Melihat rombongan orang yang datang, Liang Hwat Cinjin melompat keluar dari kalangan pertempuran. Ketika ia melihat Liang Gi Cinjin, ia tertawa menyindir dan membentak,
"Liang Gi, bagus sekali perbuatanmu! Muridmu itu telah berani melawan aku. Sudah demikian jauhkah kekurang-ajaranmu terhadap saudara tua?"
Liang Gi Cinjin memberi hormat dan menundukkan kepalanya.
"Suheng, kau sendirilah yang mencari penyakit, tidak dapat menjaga diri sehingga yang muda-muda berani menentangmu."
"Bangsat kurang ajar!"
Bentak Liang Hwat Cinjin hendak menyerang adik seperguruannya, akan tetapi Ling Ling membentak marah dan kembali gadis ini telah menyerangnya.
"Gadis liar, aku harus bunuh dulu padamu!"
Seru kakek itu dan sebuah kebutan hebat sekali dengan ujung lengan baju kanannya membuat Ling Ling terhuyung-huyung mundur. Bukan main hebatnya tenaga kebutan ini sehingga gadis itu tidak kuat menahannya dan kedudukan kuda-kudanya tergempur hebat. Liang Hwat Cinjin hendak mendesak, akan tetapi tiba-tiba Sian Lun membentak,
"Jangan kau mengganggu Ling Ling!"
Pedang Pek-hong-kiam ditangan berkelebat merupakan gulungan sinar putih dan cepat menyambar dan menyerang ke arah paha Liang Hwat Cinjin. Pemuda ini teringat akan nasehat suhunya, maka kini ia menyerang dengan merendah dan menujukan pedangnya ke bagian bawah dari kakek itu. Bukan main marahnya Liang Hwat Cinjin,
"Bagus, kaupun sudah bosan hidup?"
Sebentar saja, seperti juga dulu, kakek ini telah dikeroyok oleh Ling Ling dan Sian Lun. Gerakan pedang sepasang orang muda itu benar-benar hebat sehingga semua orang yang menonoton pertempuran itu, termasuk Jenderal Li Goan, menjadi kagum sekali.
Gerakan Ling Ling ganas dan cepat karena gadis ini yang menganggap Liang Hwat Cinjin sebagai musuh besarnya, pembunuh Kam Kok Han, melakukan serangan-serangan maut, sedangkan Sian Lun melakukan taktik serangan bawah yang benar saja membuat kakek itu menjadi kacau balau gerakannya. Sepasang lengan baju itu kalau dimainkan dengan tenaga Kim-kong-jiu dan diputar di bagian atas, merupakan sepasang senjata yang dahsyat sekali. Akan tetapi kalau kini terbagi harus mempertahankan bawah tubuh yang terbuka, maka daya serangnya menjadi banyak berkurang. Betapapun juga, sampai seratus jurus belum juga kedua orang muda itu dapat merobohkannya. Ling Ling menjadi penasaran sekali dan cepat ia mengubah gerakan pedangnya. Kini ia bersilat dengan ilmu pedang bagian terakhir dari Kim-gan-liong Kiam-sut, bagian yang amat sukar dimainkan, akan tetapi amat berbahaya sehingga jarang sekali dikeluarkan oleh Ling Ling dalam pertempuran.
Benar saja, kali ini Liang Hwat Cinjin merasa terkejut sekali. Gulungan sinar pedang kekuningan itu seakan-akan berpencar menjadi dua yang mengurungnya dari atas dan bawah. Liang Hwat Cinjin biarpun amat tangguh, namun ia sudah tua sekali dan pertempuran yang amat lama ini membuatnya lelah, dan tenaga serta kegesitannya banyak berkurang. Serangan yang hebat ini, ditambah pula oleh serangan-serangan Sian Lun yang tak kalah berbahayanya, membuat ia tak sanggup menangkis pula. Ujung pedang Oey-hong-kiam menusuk pahanya dan berbareng dengan itu, ujung lengan bajunya sebelah kanan juga terbabat putus oleh Pek-hong-kiam. Ia menjerit dan roboh di atas tanah. Ling Ling mengangkat pedangnya dan hendak memberi tusukan terakhir, akan tetapi tiba-tiba Liang Gi Cinjin berseru keras,
"Nona, jangan bunuh dia!"
Ling Ling menahan tusukannya, menghadapi Liang Gi Cinjin dan berkata,
"Totiang, dia ini adalah musuh besarku. Dialah yang telah membunuh Sucouw Kam Kok Han!"
Liang Gi Cinjin menggeleng-geleng kepalanya.
"Dia bohong, nona. Bukan dia yang membunuh Panglima Kam Kok Han, akan tetapi seorang jenderal she Gui yang sudah lama meninggal dunia. Suheng, mengapa kau tidak mau memberi penjelasan?"
Akan tetapi Liang Hwat Cinjin yang kini sudah dapat duduk dengan paha berlumur darah, tersenyum dan berkata,
"Hayo lekas bunuh aku! Aku sudah kalah oleh dua orang muda, sungguh memalukan. Tidak lekas menghabisi nyawaku mau tunggu apa lagi?"
"Liang Hwat Suheng, bukalah matamu baik-baik. Kau berhadapan dengan calon Kaisar, apakah kau masih bersikap jahat dan keras kepala? Inilah Jenderal Li Goan yang gagah perkasa, yang telah membebaskan kesengsaraan rakyat dari tindasan pemerintahan Sui. Apakah kau tidak tunduk?"
Liang Gi Cinjin maklum akan watak suhengnya ini. Betapapun jahatnya, Liang Hwat Cinjin adalah seorang yang berjiwa patriot. Sudah berkali-kali tosu ini dahulu mencoba untuk membunuh kaisar, akan tetapi selalu gagal. Bahkan, yang membunuh Jenderal she Gui, pembunuh dari Kam Kok Han, adalah Liang Hwat Cinjin sendiri. Hal ini baru diketahui oleh Ling Ling dan Sian Lun setelah mereka kelak mendengar penuturan Liang Gi Cinjin. Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan sutenya itu, lalu memandang kepada Jenderal Li Goan yang sudah menghampirinya. Jenderal ini memandangnya dengan tersenyum dan berkata,
"Liang Hwat Totiang, lupakah kau kepadaku? Lupakah kau ketika kita bahu membahu menghadapi serbuan tentara dari Mongol dahulu?"
Terbelalak mata Liang Hwat Cinjin. Tentu saja ia teringat kepada jenderal ini, yang amat dikagumi dan dipujinya. Saking menyesalnya atas kesesatannya sendiri dan saking terharunya melihat jenderal itu berhasil menumbangkan kekuasaan kaisar, tiba-tiba Liang Hwat Cinjin lalu menangis.
"Biarlah pinto pergi bersama suheng, karena kami berdua sudah terlalu tua untuk mencampuri urusan dunia. Sian Lun, aku telah meninggalkan urusan Pek-sim-kauw kepada seorang murid, dan kau supaya suka membantu pergerakan perkumpulan itu. Dan sekali lagi aku usulkan perjodohanmu dengan Toat-beng Mo-li. Nona, biarlah aku mempergunakan kesempatan ini untuk menjadi comblang melamarmu untuk menjadi jodoh muridku. Bagaimana jawabanmu?"
Akan tetapi, Ling Ling tidak menjawab, hanya memandang kepada Kwee Siong yang semenjak tadi juga sedang memandangnya dengan mata basah.
"Ling Ling..."
Bisiknya.
"Ayah...!"
Ling Ling menubruk kaki ayahnya sambil menangis tersedu-sedu. Kwee Cun juga lari kepadanya dan memeluk encinya sambil menangis penuh bahagia. Hanya Jenderal Li Goan saja yang tidak terkejut melihat pemandangan ini karena ia telah mendengar dari Kwee Siong. Yang paling merasa aneh sehingga berdiri melongo seperti patung adalah Sian Lun. Ia merasa seakan-akan sedang mimpi. Adapun Ling Ling yang merasa betapa ia tadi belum menjawab pinangan dan pertanyaan Liang Gi Cinjin, lalu berpaling kepada kakek itu dan berkata perlahan,
"Totiang, aku menyerahkan segala hal kepada ayahku."
Bukan main girangnya hati Kwee Siong, ia mengelus-elus kepala puterinya dan berkata,
"Ling Ling... anak baik..."
Dan di dalam tangisnya ia berkata kepada ketua dari Pek-sim-kauw itu,
"Totiang, sudah lama sekali aku telah tunangkan puteriku ini kepada keponakanku, Liem Sian Lun. Maka usulmu tadi hanya merupakan pengesahan belaka dari pertunangan mereka."
"Bagaimana, Sian Lun?"
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liang Gi Cinjin menggoda muridnya yang masih berdiri seperti patung. Merah wajah pemuda ini, merah karena malu dan girang. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Teecu hanya menerima titah dan... dan... berterima kasih."
Sambil tertawa-tawa Liang Gi Cinjin lalu membawa suhengnya, yang digandeng dan setengah diangkatnya, pergi dari tempat itu. Adapun Kwee Siong lalu duduk di atas rumput dikelilingi oleh Jenderal Li, Sian Lun, Ling Ling, dan Kwee Cun. Dia menceritakan tentang pengalamannya yang dulu, mengenai riwayat hidupnya betapa ia terpisah dari Sui Giok, isterinya. Mereka bergembira, pertemuan yang amat mengharukan. Pertemuan antara air mata dan tawa, karena disamping kegembiraan, Kwee Siong juga berduka mendengar tentang tewasnya isterinya, Sui Giok yang bernasib malang.
"Ia gugur sebagai seorang puteri tanah air yang gagah perkasa, mengapa terlalu disedihkan?"
Kata Jenderal Li Goan.
"Mati sebagai seorang patriot yang gagah adalah kematian terhormat, yang patut dibanggakan oleh anak cucu, karena biarpun andaikata namanya akan terlupakan orang, namun darah yang mengalir dari tubuhnya telah menyuburkan tanah air, telah mencuci rakyat jelata bersih daripada penindasan dan penghisapan kejam."
Demikianlah, ramai-ramai mereka lalu kembali ke Tiang-an dan tentu saja dapat diduga bahwa di antara mereka, yang merasa paling bahagia adalah Ling Ling dan Sian Lun. Sungguhpun keduanya tidak berani membuka mulut saking jengah dan malu digoda terus-terusan oleh Kwee Cun, namun senyum dan kerling mereka telah bicara banyak.
Demikianlah cerita ini ditutup dengan catatan bahwa setelah semua sisa-sisa pengikut kaisar Yang-te dapat dihancurkan, dibunuh atau ditawan, sebagian besar menyerah, maka dalam tahun 619 atas pilihan semua pembesar yang berpengaruh, Jenderal Li Goan naik tahta kerajaan dengan megahnya. Semenjak saat dia menduduki tahta kaisar inilah maka di Tiongkok dimulai dinasti kerajaan Tang yang akan menjadi sebuah kerajaan yang jaya dan kuat. Kwee Siong tetap menjabat pangkat tinggi dan selalu menjadi penasehatnya, adapun Liem Sian Lun diangkat menjadi panglima muda yang gagah dan banyak berjasa dalam penindasan kaum pemberontak yang dihasut oleh sisa-sisa orang yang masih bersetia kepada kerajaan Sui yang sudah musnah.
Hampir berbareng dengan pengangkatannya, yakni beberapa saat setelah penobatan Jenderal Li Goan sebagai Kaisar pemerintah Tang, dilangsungkan pernikahan antara Sian Lun dan Ling Ling, pesta pertama dalam kota raja yang baru sehingga amat menggembirakan penduduk di ibu kota.
T A M A T
andu, http://indozone.net/literatures/literature/224
21 Juli 2007 jam 9:07am
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo