Pendekar Dari Hoasan 4
Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Bwee Hiang memandang kepada Ong Su minta pertimbangan dan bantuan.
"Bagaimana, ji-suheng? Menurut pendapatmu, kita harus pergi memberi laporan dulu kapada suhu, ataukah langsung pergi membantu Sian Kim?"
Ong Su merasa serba bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, kemudian setelah batuk-batuk beberapa kali, terpaksa ia menjawab,
"Aku menjadi bingung... membantu orang memang perlu dan baik, akan tetapi melaporkan kepada suhu juga penting sekali..."
"Jawablah yang betul, sute, jangan bercabang dua! Kau setuju dengan keputusanku atau setuju dengan keputusan sumoi?"
Ketika Ong Su merasa ragu-ragu dan tidak dapat menjawab, hanya memandang mereka dengan bergantian, Bwee Hiang berkata gemas,
"Ji-suheng, kau benar-benar tidak mempunyai pendirian yang tetap!"
Ditegur dari kanan kiri, Ong Su makin gugup dan bingung. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata,
"Sudahlah... lebih baik aku pergi tidur saja. Kuserahkan kepada kalian berdua untuk mengambil keputusan dan aku akan menurut saja keputusan apa yang kalian ambil!"
Lalu ia pergi memasuki kamarnya untuk tidur! Bwee Hiang dan Ciauw In saling pandang.
"Sumoi, betapapun juga, aku harus menolong Sian Kim! Mengapakah kau agaknya demikian benci kepadanya?"
"Karena... karena pandang matamu kepadanya begitu... begitu... mesra! Dan sikapnya kepadamu itu... ah..."
Tiba-tiba Bwee Hiang menutupi kedua matanya dengan tangan untuk mencegah keluarnya air mata, akan tetapi tetap saja air matanya tak dapat dibendung dan mengalir di sepanjang kedua pipinya. Melihat sumoinya menangis, hati Ciauw In menjadi terharu. Pemuda ini maklum apa yang terasa dalam hati gadis ini, maka sambil memegang lengan Bwee Hiang, ia berkata dengan suara gemetar.
"Sumoi, kita telah semenjak kecil berkumpul, maka baiklah aku berterus terang saja kepadamu. Dengarlah bahwa selain merasa kasihan kepada Sian Kim, aku... aku mencinta padanya... entah mengapa, hatiku amat tertarik... belum pernah terasa seperti ini dalam hatiku... aku cinta padanya, sumoi."
Makin keraslah tangis Bwee Hiang mendengar pengakuan ini.
"Aah... twa-suheng, sudah kuduga... sudah kuduga hal ini akan terjadi... dan aku... aku yang bodoh... aku..."
Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya membuat kerongkongannya seakan-akan tersumbat.
"Aku tahu perasaan hatimu, sumoi. Maafkan aku... kau kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku harus menolong dan membantu Sian Kim membalas musuh-musuhnya, besok aku akan pergi bersama dia mencari Hopak Sam-eng..."
"Dan... dan aku bagaimana...?"
Pertanyaan ini keluar bagaikan seorang anak kecil yang hendak ditinggal pergi orang tuanya, dan hati Ciauw ln tertusuk sekali. Ia merasa kasihan kepada sumoinya ini, akan tetapi cinta yang mengamuk dalam hatinya itu lebih besar pengaruhnya.
"Kau dan sute boleh kembali ke Hoa-san, memberi laporan kepada suhu tentang pibu di Kui-san itu. Setelah aku berhasil membantu Sian Kim, aku akan menyusul ke Hoa-san dan mengaku terus terang kepada suhu tentang perasaanku terhadap Sian Kim."
Dengan wajah pucat sekali Bwee Hiang lalu bangkit berdiri dengan tubuh lemas, lalu berkata tetap.
"Baiklah, suheng, semoga kau berbahagia."
Kemudian dengan isak tangis tertahan, gadis yang malang ini lalu lari ke kamarnya, meninggalkan Ciauw In yang termenung seorang diri di ruang depan hotel itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bwee Hiang sudah keluar dari kamarnya, demikianpun Ciauw In karena sesungguhnya kedua orang muda ini semalam suntuk tidak tidur sama sekali. Ketika Ong Su bangun dan bertanya tentang keputusan mereka, Bwee Hiang menjawab dengan singkat.
"Twa-suheng akan pergi membantu Sian Kim, sedangkan kau dan aku kembali ke Hoa-san untuk memberi laporan kepada suhu."
"Ya, demikianlah keputusannya, sute. Kalau sudah selesai urusanku membantu nona Gu, aku akan menyusul cepat ke Hoa-san,"
Kata Ciauw In. Ong Su tidak mau banyak bicara karena dari sikap kedua orang ini, ia maklum tentu telah terjadi pertentangan. Terutama sekali ia melihat betapa wajah Bwee Hiang amat pucat dan masih nampak tanda-tanda bekas air mata di bawah pelupuk matanya yang merah. Setelah berpamit, kedua orang muda ini lalu pergi melanjutkan perjalanan menuju ke Hoa-san. Di tengah perjalanan, Ong Su berkata kepada sumoinya yang melakukan perjalanan tanpa bicara sedikitpun seperti sebuah patung hidup.
"Sumoi, agaknya terjadi perselisihan antara suheng dan kau!"
"Tidak ada perselisihan apa-apa. Twa-suheng memaksa untuk pergi membantu... perempuan itu!"
Ong Su menarik napas panjang.
"Sumoi, kau... agaknya amat membenci Sian Kim, berbeda sekali dengan suheng."
"Memang twa-suheng... cinta kepada perempaan itu!"
"Apa?"
Ong Su terheran juga karena hal ini belum pernah ia pikirkan.
"Twa-suheng mencinta Sian Kim."
Bwee Hiang mengulang.
"dan itulah sebabnya mengapa ia membantu perempuan itu. Malam tadi twa-suheng mengaku terus terang kepadaku."
Kembali gadis ini menahan isaknya. Tiba-tiba Ong Su menghentikan tindakan kakinya dan menarik napas panjang. Bwee Hiang juga berhenti dan memandang kepada pemuda itu,
"Kasihan sekali kau, sumoi..."
Katanya.
"Aku tahu akan keadaan hatimu. Kita memang senasib, menjatuhkan cinta kasih kepada orang yang tak dapat membalasnya!"
Untuk sesaat mereka saling berpandangan dan Bwee Hiang yang dapat menangkap maksud kata-kata suhengnya ini, mengulang ucapan Ciauw In yang diucapkan kepadanya malam tadi.
"Maafkan aku, suheng..."
Hanya itulah yang dapat ia ucapkan dan keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan membisu, tenggelam dalam lamunan masing-masing yang penuh kepahitan. Sementara itu, dengan hati berdebar dan tergesa-gesa, Lie Ciauw In meninggalkan hotel dan keluar menuju ke jurusan barat. Ketika tiba di pintu dusun, benar saja ia melihat bayangan Sian Kim dengan bentuk tubuhnya yang langsing itu telah menanti di situ. Gadis itu duduk di atas sebuash batu besar dan ketika melihat ia datang, segera melompat bangun dan lari menyambut. Mereka berdiri berhadapan, berseri gembira pada wajah mereka. Dari sepasang mata gadis yang indah itu kelihatan dua titik air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum girang.
"Ah, taihiap, kau betul-betul datang membantuku,"
Katanya dengan suara yang merdu dan gembira. Ciauw In tertegun memandang. Matanya menatap dengan kagum sekali. Pada pagi harl ini, Sian Kim nampak lebih cantik lagi, bagaikan bidadari fajar. Gadis jelita ini masih mengenakan pakaian berwarna hitam seluruhnya, akan tetapi pakaiannya terbuat daripada sutera halus dan yang amat menggiurkan hati Ciauw In ialah belahan baju pada bagian leher depan agak terlalu rendah hingga nampak membayang kemontokan dada gadis itu. Pita rambutnya berwarna merah muda, demikianpun ikat pinggangnya yang melambai-lambai ke bawah. Sepatunya juga berwarna hitam berkembang merah. Pada rambut kepala sebelah kiri terhias dengan setangkai bunga merah yang segar dan berbau harum!
"Maafkan bahwa sute dan sumoiku tak dapat ikut membantumu, nona, karena mereka itu harus segera kembali ke Hoa-san melaporkan hasil pibu itu kepada suhu."
"Tidak apa, taihiap, dengan dikawani oleh kau seorangpun sudah cukup bagiku! Seorang Hoa-san Taihiap lebih berharga bagiku dari pada seratus orang kawan yang membantu?"
"Ah, kau terlampau melebih-lebihkan, nona."
"Selama hidupku, aku takkan lupa akan budimu ini, taihiap."
"Nona, mengapa kau berkata demikian? Bantuan belum kuberikan, dan belum tentu pula aku akan berhasil mengalahkan musuh-musuhmu. Kemanakah sekarang kita harus pergi mencari mereka?"
"Mereka itu telah lama pindah dari kota kelahiranku dan kini mereka berada di Kiang-sun-ok, kota di sebelah barat yang letaknya kurang lebih seratus li dari sini."
Kedua orang ini lalu berangkat menuju ke barat. Sian Kim pandai sekali mengambil hati, mengajak kawannya bercakap-cakap dengan amat gembira hingga Ciauw In sebentar saja telah lupa kepada Bwee Hiang yang menimbulkan kasihan di dalam hatinya. Ia makin terpikat kepada gadis ini dan merasa bahwa selama ini belum pernah ia menikmati kebahagiaan dan kegembiraan hidup. Pohon-pohon dan kembang-kembang yang dilihatnya kini nampak berbeda dari biasanya, dan segala apa yang nampak mendatangkan kesedapan pada matanya. Ia merasa seakan-akan hidup baru disamping gadis jelita ini. Sian Kim sengaja melakukan perjalanan dengan lambat, akan tetapi hal ini tidak menjadikan keberatan bagi Ciauw In,
Bahkan pemuda inipun menghendaki agar ia dapat berkumpul selama mungkin dengan kekasih hatinya ini. Gadis baju hitam ini memang telah mempunyai banyak pengalaman dan tahu cara-cara memikat hati laki-laki. Sedikitpun Ciauw In tak pernah menyangka bahwa dara jelita yang kini melakukan perjalanan bersama dia ini adalah seorang manusia berbahaya, seorang wanita yang seperti seekor ular berbisa yang berbahaya sekali! la tak pernah mengira bahwa semua cerita gadis itu adalah cerita yang sengaja diputar-balikkan dari kenyataan. Memang Sian Kim mempunyai permusuhan besar dengan Hopak Sam-eng, akan tetapi sebab-sebab permusuhan bukanlah seperti yang diceritakannya pada malam hari itu. Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, mari kita menengok riwayat Sian Kim, gadis cantik yang menjadi ketua dari Hek-lian-pang itu.
Ayah Sian Kim, yakni Gu Ma Ong, semenjak masih muda telah menjadi seorang perampok yang ganas dan lihai. Berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi, ia malang-melintang dan melakukan banyak kejahatan sehingga namanya amat terkenal di kalangan liok-lim atau rimba raya, yakni dunia orang-orang yang melakukan pekerjaan sebagai perampok dan begal. Dalam kejahatannya, Gu Ma Ong berhasil menculik seorang gadis cantik puteri seorang pembesar dan memaksanya menjadi isterinya. Wanita ini diajak hidup di dalam hutan di mana Gu Ma Ong mempunyai banyak kawan-kawan atau anak buahnya dan biarpun tinggal di dalam hutan, namun ia hidup dengan mewah sekali. Akan tetapi, tentu saja isteri paksaan ini tidak dapat menikmati hidup bahagia dengan suaminya yang jahat itu,
Dan setahun kemudian, nyonya muda yang bernasib malang ini meninggal dunia pada saat ia melahirkan seorang anak perempuan. Anaknya ini kemudian dipelihara oleh Gu Ma Ong yang mengambil isteri lain lagi, dan anak inilah yang diberi nama Gu Sian Kim. Karena memang sifatnya jahat dan kejam, Gu Ma Ong tidak memperdulikan puterinya ini sehingga hidup Sian Kim semenjak kecil amat sengsara, di bawah asuhan seorang ibu tiri yang kejam dan galak. Kemudian ia terlihat oleh seorang pengemis tua yang bertubuh kurus kering. Ternyata bahwa pengemis ini adalah seorang luar biasa yang memiliki ilmu silat tinggi sekali. Melihat Sian Kim, pengemis sakti ini timbul rasa suka karena ia memang belum mempunyai murid. Dimintanya anak itu dari Gu Ma Ong, akan tetapi sudah tentu saja Gu Ma Ong yang menjadi kepala rampok kaya raya itu tidak suka anaknya diambil murid oleh seorang pengemis.
Ia merasa terhina dan diserangnya pengemis iru. Akan tetapi, biarpun semua anak buahnya maju mengeroyok, mereka tidak kuat menghadapi pengemis itu dan akhirnya Gu Ma Ong yang memang tidak begitu perduli lagi kepada puterinya, mengalah dan memberikan puterinya dibawa pergi oleh pengemis sakti yang berjuluk Pat-chiu-sian-kai atau Pengemis Dewa tangan Delapan itu! Sian Kim dibawa merantau oleh Pat-chiu-sian-kai sambil diberi latihan silat tinggi. Pada waktu itu, Sian Kim baru berusia enam tahun dan selama sepuluh tahun ia menjadi murid Pat-chiu-sian-kai yang berilmu tinggi, setelah ia menjadi dewasa, ternyata bahwa Sian Kim mewarisi kecantikan ibunya, bahkan ia lebih jelita dari pada ibunya! Akan tetapi sayang sekali bahwa ia memiliki watak seperti ayahnya, yakni jahat dan kejam!
Pat-chiu-sian-kai merasa kecewa dan berduka sekali melihat watak muridnya ini. Ia terlalu sayang dan cinta kepada muridnya yang cantik jelita, maka ia tidak tega untuk mencelakainya, sungguhpun ia merasa kuatir melihat tanda-tanda tentang kejahatan gadis itu. Karena sedihnya, maka pengemis tua ini jatuh sakit dan serangan sakit jantung mengantarkannya ke alam baka. Pada waktu itu, Sian Kim telah berusia enam belas tahun, bagaikan bunga mulai mekar, harum semerbak cantik jelita menggairahkan. Ia telah mendapat tahu dari suhunya bahwa ia adalah anak tunggal dari Gu Ma Ong, seorang kepala berandal yang ditakuti orang Sian Kim tidak tertarik hatinya mendengar keadaan ayahnya ini, maka setelah suhunya meninggal dunia, ia merupakan seekor kuda tanpa kendali! Mulailah ia melakukan perantauan sendiri dan ia menjadi binal benar-benar seperti seekor kuda liar!
Dengan kepandaiannya yang tinggi, ia merobohkan banyak orang gagah, dan seperti juga ayahnya, ia menganggap harta benda orang seperti milik sendiri saja. Setiap saat apabila ia membutuhkan uang untuk biaya perjalanan, ia merampas dari siapa saja yang dijumpainya! Ia merampok tanpa pilih bulu! Beberapa tahun ia merantau dan sementara itu, ia menjadi makin dewasa. Dan agaknya, sifat "mata keranjang"
Dari ayahnya menular pula kepada gadis yang makin cantik jelita ini, hingga tiap kali melihat seorang pemuda yang tampan dan cakap, hati Sian Kim merasa tertarik sekali! Ketika ia berusia tujuh belas tahun, ia tiba di kota Kiang-sun-ok, dan karena ia kekurangan uang untuk biaya karena uangnya hasil curian beberapa hari yang lalu telah habis diobral untuk membeli pakaian-pakaian indah dan mahal serta untuk hidup secara royal, maka ia lalu mencari kurban!
Ia mendengar nama Hopak Sam-eng yang selain terkenal hartawan juga sebagai tiga orang jago ternama, maka hati mudanya yang tidak mau kalah terhadap siapapun juga itu menjadi panas. Pada malam hari, didatangilah gedung Hopak Sam-eng ini untuk dicuri hartanya! Akan tetapi kali ini ia membentur batu karang! Hopak Sam-eng ternyata benar-benar gagah dan sungguhpun kalau melawan seorang demi seorang Sian Kim takkan kalah, akan tetapi setelah dikeroyok tiga, bahkan dikeroyok empat dengan seorang pemuda putera seorang diantara ketiga jago itu, ia menyerah dan tertangkap! Akan tetapi, ia tertolong oleh pemuda itu, yakni yang bernama Liok Seng, karena pemuda ini merasa tertarik sekali melihat kecantikan maling wanita ini! Juga Sian Kim yang mata keranjang itu jatuh hati kepadanya, sehingga akibat dari pada pertempuran ini bahkan membuat mereka menjadi sahabat baik!
Untuk berbulan-bulan Sian Kim tinggal di rumah gedung Hopak Sam-eng dan menjadi kekasih Liok Seng, hidup serba mewah dan senang, bercinta-cintaan dengan pemuda yang terkenal sebagai seorang pemuda hidung belang itu! Hopak Sam-eng selain kaya raya dan berpengaruh, juga disegani dan ditakuti oleh penduduk Kiang-sun-ok, oleh karena mereka ini memang terkenal berwatak keras dan tinggi. Juga mereka yang memiliki banyak tanah dan terkenal sebagai tuan-tuan tanah itu berlaku amat keras dan memeras para petani yang menjadi buruh tani mereka! Seperti juga watak ayahnya, setelah beberapa bulan hidup dengan penuh kasih sayang dengan Liok Seng, Sian Kim mulai menjadi bosan dan ia mulai sering meninggalkan rumah untuk mulai dengan perantauannya, bahkan berani bermain gila dengan pemuda-pemuda lain yang cukup ganteng.
Hal ini tentu saja amat menyakitkan hati Liok Seng, dan sungguhpun pemuda ini bukan menjadi suami yang sah, akan tetapi Liok Seng amat mencinta Sian Kim dan tidak suka melihat kekasihnya bermain gila dengan pemuda lain. Ia menegurnya, akan tetapi Sian Kim tidak ambil perduli hingga akhirnya keduanya bertempur! Akan tetapi, Liok Seng bukanlah lawan Sian Kim, di dalam beberapa jurus saja Liok Seng telah dilukai pundaknya oleh pedang Sian Kim yang meninggalkan pemuda itu sambil menghinanya dengan kata-kata pedas. Liok Seng adalah putera Liok Bu Tat, atau saudara termuda dari Hopak Sam-eng, maka tentu saja ketika mendengar hal ini, Liok Bu Tat menjadi marah sekali. Demikian pula kedua jago Hopak itu yang bernama Liok Sui dan Liok Ban,
Mereka ini merasa amat marah mendengar betapa keponakan mereka dilukai dan bahkan dihina oleh Sian Kim yang dianggap tak kenal budi. Ketiga Hopak Sam-eng lalu mengejar Sian Kim dan menyerangnya dengan hebat, Sian Kim membela diri dan mengadakan perlawanan mati-matian, akan tetapi akhirnya ia tidak dapat menghadapi ketiga jago tua itu dan segera melarikan diri. Ketika ketiga orang jago itu berhasil menyusulnya sehingga pertempuran itu terjadi, Sian Kim sedang berada berdua dengan seorang pemuda lain yang tampan sekali. Kini melihat Sian Kim dapat melarikan diri, Hopak Sam-eng segera menumpahkan kemarahannya kepada pemuda itu yang lalu dibunuhnya. Ketika Sian Kim mendengar berita bahwa kekasih barunya itu dibunuh oleh Hopak Sam-eng, ia menjadi sakit hati sekali dan menganggap ketiga orang jago tua itu sebagai musuh besar yang harus dibalas sewaktu-waktu.
Demikianlah sebetulnya peristiwa yang terjadi hingga menimbulkan permusuhan antara Sian Kim dan Hopak Sam-eng, akan tetapi yang diputar-balikkan ketika gadis ini menceritakannya kepada Ciauw In dan dua orang adik seperguruannya. Setelah menderita kekalahan dari Hopak Sam-eng, Sian Kim lalu mencari ayahnya. Gadis jelita yang kejam dan juga amat cerdik dan jahat ini, ketika melihat betapa ayahnya menjadi ketua dari Hek-lian-pang dan betapa ibu tirinya yang dulu amat bengis kepadanya, lalu menyerbu dan membunuh ibu tirinya! Ayahnya marah sekali dan menyerangnya, akan tetapi Gu Ma Ong tidak dapat mengalahkan puterinya sendiri, bahkan kena dirobohkan! Sian Kim lalu mengangkat diri sendiri sebagai kepala Hek-lian-pang yang baru dan menurunkan kedudukan ayahnya menjadi wakilnya!
Semua anak buah Hek-lian-pang tidak ada yang berani membantah oleh karena memang mereka telah menyaksikan sendiri bahwa gadis manis ini benar-benar lihai! Mereka bahkan merasa gembira mendapatkan seorang ketua vang demikian cantik jelitanya dan semenjak Sian Kim berada di situ, banyak diantara anak buahnya yang tampan menjadi teman baiknya. Gu Ma Ong yang melihat betapa puterinya bertukar-tukar kekasih dan hidup dengan hina sekali bagi seorang wanita, hanya dapat menarik napas panjang dan merasa menyesal sekali. Ayah manakah yang takkan merasa berduka melihat anak perempuannya hidup seperti seorang pelacur yang memalukan sekali? Gu Ma Ong tidak teringat akan perbuatannya sendiri dan tidak sadar bahwa anaknya itu ternyata mempunyai watak yang diwariskan olehnya.
Memang demikianlah sifat seorang manusia, betapapun jahatnya dia, akan tetapi ia tidak rela dan tidak suka melihat anaknya menjadi jahat pula. Namun Gu Ma Ong tidak berdaya, karena ilmu kepandaiannya kalah jauh dan ia tidak berkuasa terhadap puterinya itu. Semenjak Sian Kim menjadi ketua Hek-lian-pang, ia lalu bertukar pakaian dan selalu pakaiannya berwarna hitam. Nama perkumpulan ini yang berarti Teratai Hitam, terasa cocok sekali olehnya dan ia merasa seakan-akan ia merupakan setangkai bunga teratai hitam, maka ia selalu berpakaian serba hitam. Apalagi ketika para kekasihnya memuji-mujinya dan menyatakan bahwa gadis jelita ini pantas sekali mengenakan pakaian hitam hingga kulitnya yang putih bersih itu nampak makin menyolok, ia lalu tak pernah mengganti pakaiannya dengan warna lain!
Iapun lalu mengeluarkan para anggauta yang sudah tua dan mengganti anak buahnya dengan pemuda-pemuda yang tampan dan bahkan ia melatih silat kepada mereka! Namun, tetap saja ia merasa bosan dengan segala kemewahan dan kesenangan ini. Ia tidak tahu bahwa memang demikianlah sifat kesenangan duniawi, yakni membosankan! Tidak tahu bahwa kebahagiaan abadi tidak terletak di dalam kesenangan duniawi. Ia mulai merantau lagi dan hanya memimpin perkumpulannya selama setahun. Kemudian, setelah ia kembali ke tempat itu dan mendengar bahwa ayahnya terbunuh mati oleh tiga murid Hoa-san, bahkan betapa banyak anggauta perkumpulannya terbasmi pula, ia segera mengejar ketiga murid Hoa-san itu dan selanjutnya menggunakan siasat untuk menjebak hati Ciauw In yang amat lihai untuk dapat diperalatnya!
Demikianlah riwayat singkat dari Sian Kim, gadis cantik jelita yang telah bernasil menjatuhkan hati Ciauw In. Tentu orang akan bergidik kalau telah mengetahui riwayat gadis yang penuh kekotoran itu, akan tetapi siapa saja yang bertemu dengannya, memandang wajah yang ayu dan potongan tubuh yang menggiurkan, pasti takkan ada yang mengira bahwa dara jelita ini adalah seorang wanita yang jahat, kotor, dan kejam. Hanya Bwee Hiang saja yang mempunyai perasaan halus hingga dapat meragukannya, akan tetapi Ciauw In tak dapat disalahkan. Setiap orang laki-laki, baik ia masih muda maupun sudah tua, pasti tergiur melihat dara ini. Ciauw In adalah seorang pemuda yang baru saja keluar dari tempat perguruan dan baru saja turun gunung menceburkan diri dalam dunia ramai, maka ia dapat diumpamakan sebagai seekor anak burung yang baru saja turun dari sarang dan baru belajar terbang.
Ia amat bodoh dan tidak berpengalaman sama sekali, sehingga lebih mudahlah bagi Sian Kim untuk menjalankan tipu muslihatnya, walaupun terdapat pula kesukaran bagi gadis ini dalam siasatnya menghadapi Ciauw In. Kesukaran ini justeru timbul oleh kebodohan Ciauw In. Kalau saja pemuda ini tidak sehijau itu, tentu ia akan dapat mengerti segala pernyataan cinta kasih Sian Kim dan tentu akan menyambutnya dengan hati girang. Akan tetapi, Ciauw In terlalu bodoh dan malu-malu, demikianlah Sian Kim sering mengomel seorang diri, hingga biarpun pemuda itu memandangnya dengan mata kagum dan penuh perasaan cinta yang besar, namun belum pernah terlompat dari bibir pemuda ini tentang perasaannya yang nampak dari pandangan matanya itu. Sian Kim cukup cerdik untuk tidak mempergunakan sikap yang terlalu menyolok dan kasar dan ia tetap bersikap malu-malu pula bagaikan seorang gadis, baik-baik.
Dari gerak-gerik dan pandangan matanya, ia membayangkan sejelas-jelasnya akan perasaan hatinya terhadap Ciauw In, sungguhpun ia tidak berani pula berterus terang seperti layaknya dilakukan oleh seorang gadis sopan. Ia memang pandai bermain sandiwara sehingga Ciauw In betul-betul terpikat, menganggap bahwa Sian Kim adalah seorang gadis yatim piatu yang malang dan yang mencintainya seperti ia mencinta gadis itu hingga diam-diam Ciauw In merasa luar biasa gembira dan bahagianya. Ia mengambil keputusan di dalam hati untuk segera mengajukan hal ini kepada suhunya dan minta orang tua itu untuk mengajukan pinangan! Ia sendiri tidak kuasa membuka mulut menyatakan perasaan hatinya maka iapun diam saja dan hanya gerak bibir dan pandang matanya saja yang bicara dalam seribu bahasa dan yang dimengerti baik oleh Sian Kim.
Selama dalam perjalanan menuju ke Kiang-sun-ok tempat tinggal Hopak Sam-eng, Sian Kim menjaga dengan hati-hati hingga selalu tidak memperlihatkan sikap yang kurang sopan. Mereka bermalam di sebuah hotel terbesar dengan kamar berhadapan. Pada malam hari itu mereka bermalam di hotel "Lok-pin"
Di kota Siang-yu, sebelah timur Kiang-sun-ok. Setelah makan malam mereka bercakap-cakap di ruang depan sampai jauh malam, lalu masuk ke kamar masing-masing untuk tidur. Kira-kira menjelang tengah malam, Ciauw In yang masih belum tidur karena diam-diam memikirkan keadaan Sian Kim dengan hati amat beruntung, tiba-tiba mendengar suara kaki menginjak genteng hotel itu, tidak jauh di atas kamarnya. Ia cepat mengambil pedangnya dan melompat keluar kamar dari jendelanya dan langsung melompat ke atas genteng.
Dilihatnya bayangan hitam berkelebat cepat, maka segera ia mengejar dan mengintai dari belakang. Alangkah herannya ketika ia melihat bahwa bayangan itu adalah Sian Kim sendiri! Ia hendak memanggil, akan tetapi timbul keinginannya hendak mengetahui dengan diam-diam apakah yang hendak dilakukan oleh kawan baru ini, maka ia lalu mengikutinya dengan diam-diam tanpa diketahui oleh Sian Kim. Ciauw In terlalu memandang rendah kepada Sian Kim kalau ia menyangka bahwa gadis itu tidak tahu bahwa ia sedang mengikutinya, karena sesungguhnya Sian Kim sudah tahu bahwa Ciauw In berada tak jauh di belakangnya. Gadis ini diam-diam tersenyum manis seorang diri dan berlaku seakan-akan ia tidak melihatnya. Gadis ini terus menuju ke sebuah gedung besar, tempat seorang hartawan di kota itu.
Sesungguhnya, gadis ini telah kehabisan uang bekal dan seperti biasa hendak mencari uang dari gedung itu. Ia maklum bahwa hal ini dapat ia lakukan dengan hati tenang, oleh karena "meminjam uang"
Seorang hartawan memang sudah biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang kehabisan bekal di dalam perjalanan, hingga ia tak perlu merasa malu-malu kepada pemuda itu. Bahkan ia ingin melihat bagaimana sikap Ciauw In dalam hal ini. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa malam itu kebetulan sekali ia akan bertemu dengan seorang penjahat lain! Ketika ia berhenti di atas genteng rumah hartawan itu, tiba-tiba matanya yang tajam dapat melihat bayangan hitam berkelebat turun dari genteng dan menuju ke ruang dalam gedung itu. Ia segera mengejarnya dan mengintai, tahu bahwa di lain tempat tak jauh dari situ, Ciauw In juga sedang mengintai pula!
Bayangan hitam ini adalah bayangan seorang laki-laki tinggi besar yang mengenakan pakaian serba hitam dan orang itu dengan hati-hati sekali menghampiri jendela sebuah kamar, lalu dengan goloknya membuka daun jendela dengan gerakan cepat dan cermat, tanda bahwa ia memang ahli dalam hal membongkar jendela kamar orang! Setelah jendela terbuka, orang itu lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kuning yang panjang dari punggungnya. Ternyata bahwa di dalam bungkusan itu terdapat beberapa batang hio (dupa) dan setelah dibakarnya, ia menaruh hio itu di dalam jendela dan meniupkan asap hio ke dalam kamar! Ciauw In yang masih hijau itu, tidak tahu apakah maksud penjahat ini dengan perbuatannya itu, maka diam-diam iapun lalu mengintai ke dalam kamar.
Kamar itu indah dan mewah sekali, dan di dalamnya terdapat sebuah tempat tidur yang kelambunya tertutup, akan tetapi sepasang sepatu kain yang tersulam indah berwarna merah membuat ia dapat menduga bahwa di dalam kelambu itu tentu berbaring seorang gadis, puteri tuan rumah yang sedang tidur! Selain pembaringan ini, terdapat pula banyak barang-barang indah dan mahal serta yang menandakan bahwa penghuni kamar ini memang seorang wanita. Pemuda ini berpikir heran mengapa penjahat ini membakar hio yang asapnya ditiupkan ke dalam kamar. Kalau ia hendak mencuri, setelah membuka jendela, mengapa tidak langsung masuk saja dan mengambil barang-barang berharga? Akan tetapi, Sian Kim tahu dengan baik apa artinya perbuatan itu, karena dengan marah sekali ia lalu membentak halus.
"Penjahat cabul, jangan berani main gila di depan nonamu!"
Sambil berkata demikian, gadis ini melompat keluar dari tempatnya mengintai. Penjahat itu terkejut dan segera melompat ke atas genteng, ketika mendapat kenyataan bahwa perbuatannya ketahuan orang. Akan tetapi Sian Kim mengejar dengan lompatan yang jauh lebih cepat daripada penjahat itu hingga ia mendahuluinya mencegat di atas genteng. Sementara itu, Ciauw In juga menyusul dan mengintai dengan diam-diam. Sementara itu, bukan main terkejutnya penjahat tinggi besar itu ketika melihat betapa wanita yang menegurnya tadi kini tahu-tahu telah berada dihadapannya, dan kekagetannya ini berubah menjadi ketakutan setelah ia memandang kepada Sian Kim.
(Lanjut ke Jilid 04)
Pendekar Dari Hoasan/Hoasan Tayhiap (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
"Kau...? Kau... di... sini...?"
Tanyanya gagap.
"Penjahat cabul tukang petik bunga! Setelah bertemu dengan aku jangan harap mendapat ampun!"
Teriak Sian Kim memotong ucapannya dan langsung pedangnya menyerang. Penjahat itu dengan tubuh gemetar terpaksa menangkis dengan goloknya dan suaranya menggigil ketika ia berkata pula.
"Ampunkan aku... ampunkan... Hek..."
Akan tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, oleh karena pedang Sian Kim telah menyambar dan tepat sekali menabas batang lehernya hingga batang leher penjahat itu hampir putus! Ia tak sempat mengeluarkan teriakan dan tubuhnya roboh berdarah di atas genteng! Ciauw In merasa ngeri dan terkejut sekali, maka ia tak dapat pula menahan hatinya dan segera melompat keluar.
"Nona, mengapa kau tidak mau ampunkan dia?"
Sian Kim pura-pura baru melihat Ciauw In, maka dengan membuka mata lebar-lebar ia berkata,
"Eh, eh... taihiap, mengapa pula tahu-tahu kau telah berada di sini?"
Ditanya demikian Ciauw In menjadi malu sendiri dan menjawab sejujurnya,
"Aku tak dapat tidur dan melihat kau keluar, akupun menyusul karena ingin tahu apakah yang hendak kau lakukan pada waktu seperti ini. Mengapa kau bunuh penjahat ini sedangkan ia belum melakukan kejahatan apa-apa? Dan apakah yang ia lakukan dengan pembakaran hio itu?"
Diam-diam Sian Kim merasa geli hatinya melihat kebodohan Ciauw In dan tiba-tiba timbul keinginannya untuk mencoba keteguhan hati pemuda ini.
"Ia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga),"
Katanya. Ciauw In benar-benar belum pernah mendengar akan hal ini, maka ia bertanya,
"Jai-hwa-cat? Apakah maksudnya sebutan ini? Mengapa seorang penjahat memetik bunga? Bunga apakah?"
Merahlah muka Sian Kim mendengar pertanyaan ini dan ia lalu menundukkan kepala dengan bibir tersenyum malu-malu dan mengerling dengan matanya yang tajam, membuat aksi seakan-akan seorang gadis mendengar kata-kata yang membuatnya merasa malu sekali!
"Taihiap, benar-benarkah kau belum pernah mendengar tentang hal ini?"
Ciauw In menggeleng kepala.
"Kau jelaskanlah, nona. Kalau tidak, selamanya aku akan merasa menyesal mengapa kau begitu kejam membunuh seorang yang belum diketahui kedosaannya."
"Taihiap, ketahuilah, hio yang dibakarnya tadi mempunyai pengaruh memabokkan orang yang sedang tidur. Kalau hio itu asapnya memenuhi kamar, orang yang tidur di dalamnya takkan dapat mendengar sesuatu ataupun merasa sesuatu karena ia telah tidur pulas sekali bagaikan pingsan!"
Ciauw In mengangguk-angguk.
"Tentu saja seorang maling suka mempergunakan itu agar mudah baginya mengambil barang-barang penghuni kamar."
"Kau keliru, taihiap. Penjahat hina ini tidak bermaksud mengambil barang-barang berharga, akan tetapi bermaksud memetik bunga."
"Apa maksudmu?"
"Aduh, sukar sekali bagiku untuk memberitahukan hal ini, taihiap. Bagaimanakah aku harus menceritakannya?"
Kemudian gadis yang cantik ini menggigit-gigit bibir dan tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran bagus.
"Kau hendak tahu maksudnya? Baiklah, mari kau ikut aku taihiap!"
Setelah berkata demikian, Sian Kim lalu melompat turun dari genteng, diikuti oleh Ciauw In yang terheran-heran. Gadis itu melompat ke depan jendela kamar yang dibongkar penjahat tadi, dan setelah melihat Ciauw In melompat turun pula, ia lalu memberi tanda agar pemuda itu mengikutinya masuk ke dalam kamar melalui jendela. Ciauw Ia mencium bau harum sekali di dalam kamar itu hingga hatinya berdebar karena maklum bahwa ia telah memasuki kamar gadis. Ia merasa malu sekali, akan tetapi oleh karena hendak melihat apakah yang akan dilakukan oleh Sian Kim, ia mendekati gadis itu.
Sian Kim lalu menghampiri kelambu yang tertutup sambil memberi tanda kepada Ciauw ln yang mendekatinya pula. Sian Kim lalu mengunakan kedua tangannya membuka kelambu itu dengan serentak dan nampaklah tubuh seorang gadis rebah telentang di atas pembaringan dan dalam keadaan tidur nyenyak. Gadis yang sedang berbaring telentang itu cantik manis dan di dalam tidurnya tersenyum hingga menimbulkan pemandangan yang amat menggairahkan, apalagi karena dalam ketidaksadarannya, pakaiannya amat kusut dan tidak karuan letaknya. Ciauw In memandang kepada Sian Kim dengan terkejut dan heran, karena ia tidak mengerti apakah maksud gadis itu membuka kelambu orang. Ketika Sian Kim memandangnya dan melihat sinar kebodohan di wajah Ciauw In serta matanya yang mengandung penuh pertanyaan, lalu tertawa kecil dan berkata,
"Taihiap, inilah kembang yang kumaksudkan tadi."
Ciauw In menjadi bengong karena masih belum mengerti, maka sambil menahan geli hatinya, Sian Kim berkata lagi.
"Kembang yang begini indah mengharum, siapa yang tak ingin memetik? Apakah kau juga tak ingin memetiknya, taihiap?"
Barulah sekarang Ciauw In mengerti akan maksud sebutan penjahat pemetik bunga tadi, maka wajahnya tiba-tiba menjadi pucat dan tanpa berkata sesuatu ia lalu melesat dari kamar itu! Sian Kim juga keluar dari kamar setelah tangannya menyambar kantung uang emas yang berada di atas meja dekat pembaringan. Ia mengejar Ciauw In yang nampaknya marah.
"Taihiap, tunggu dulu,"
Katanya dan terpaksa Ciauw In menahan larinya yang cepat.
"Mengapa kau cemberut, apakah kau marah kepadaku?"
Ciauw In memandang dan di dalam hati ia mengaku bahwa ia tak dapat marah terhadap gadis ini, maka ia menggeleng kepala dan berkata,
"Aku merasa sebal mendengar kata-katamu tadi dan kalau kau tidak telah membunuh bajingan itu, tentu aku yang akan membunuhnya! Sekarang aku mengerti mengapa kau membunuh dia."
"Jadi kau tidak menganggap aku kejam lagi?"
"Tidak, tidak! Hukuman itu sudah pantas bagi seorang jahat seperti dia. Akan tetapi aku tidak mengerti mengapa penjahat itu agaknya kenal kepadamu dan apakah artinya sebutannya kepadamu tadi?"
"Sebutan bagaimana?"
Tanya Sian Kim dengan hati berdebar gelisah.
Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tadi mendengar ia hendak menyebutmu dengan sebuah kata-kata Hek (hitam). Apakah artinya itu?"
"Taihiap, kau benar-benar bermata tajam dan bertelinga tajam pula. Memang, sesungguhnya aku harus mengaku sejak kemarin kepadamu. Ketahuilah bahwa dalam perantauanku yang sudah-sudah. banyak aku membinasakan para penjahat sehingga namaku agak terkenal diantara mereka dan karena aku memang paling suka berpakaian serba hitam, maka mereka menyebutku Hek-lian-niocu (Nona Teratai Hitam)."
Ciauw In mengangguk-angguk dan tanpa disengaja mulutnya berkata perlahan.
"Memang kau... cantik sekali memakai pakaian hitam."
Sebetulnya Sian Kim sudah cukup mendengar ucapan ini, akan tetapi ia pura-pura tidak dengar dan bertanya mendesak.
"Apa katamu taihiap?"
Merahlah wajah Ciauw In mendengar pertanyaan ini dan ia lalu berkata lagi.
"Sesungguhnya kau... pantas mengenakan pakaian serba hitam."
"Benarkah...?"
Sambil tersenyum manis Sian Kim melirik.
"Nona, ada satu hal lagi yang masih belum kuketahui, yakni mengapakah kau malam-malam meninggalkan kamar dan pergi ke gedung itu?"
"Untuk mengambil ini!"
Kata Sian Kim dengan lagak centil dan tersenyum-senyum sambil mengangkat kantung yang tadi diambilnya dari kamar gadis itu.
"Apakah itu?"
Sian Kim tidak menjawab, hanya membuka kantung itu dan memperlihatkan isinya, yakni sejumlah uang perak dal emas.
"Eh, eh kau... kau mencuri uang itu?"
"Hush, jangan kau bilang mencuri, taihiap. Lebih baik kau menggunakan istilah kang-ouw, yakni meminjam untuk biaya perjalanan."
Ketika melihat Ciauw In agaknya kurang setuju, ia segera menyambung.
"Hal ini bukanlah hal yang amat penting dan tak perlu disusahkan, taihiap, lagi pula, bukankah aku telah menolong gadis itu dari satu bahaya yang melebihi hebatnya daripada maut? Sudah sepantasnya kalau ia memberi hadiah uang tak berapa banyaknya ini kepadaku!"
Ia lalu tertawa dan suara ketawanya demikian halus dan gembira sehingga mau tidak mau Ciauw In juga ikut tertawa.
"Kau benar-benar aneh dan... nakal, nona,"
Katanya. Pada saat itu mereka telah tiba di depan hotel dan keduanya lalu masuk kembali ke dalam hotel melalui genteng dan sebelum mereka kembali ke kamar masing-masing, Sian Kim memandang dengan mata penuh daya memikat. Akan tetapi Ciauw In hanya berkata.
"Nona, kuharap kau tidak menyebutku taihiap lagi. Kita telah menjadi sahabat baik dan tidak enak kalau kau memanggilku orang yang baru berkenalan saja, kau membuat aku menjadi sungkan."
Ucapan ini saja sudah merupakan kemenangan setindak bagi Sian Kim, maka sambil memandang dengan muka semanis-manisnya, ia berkata dan tersenyum,
"Baiklah, kalau begitu, biarlah aku menyebutmu twako (kakak) saja. Nah, selamat malam dan selamat bermimpi, Lie-twako!"
Setelah berkata demikian, sambil berlari-lari dan tertawa-tawa kecil ia memasuki kamarnya dan sebelum menutup pintu kamar, kembali ia mengerling ke arah Ciauw In dengan penuh arti. Ciauw la memasuki kamarnya sendiri dan setelah mengganti pakaian, ia merebahkan diri di atas pembaringan dan benar saja, malam itu ia bermimpi melihat kamar gadis hartawan yang dimasukinya tadi, akan tetapi yang rebah di atas pembaringan bukanlah gadis itu, melainkan Sian Kim!
Sian Kim dengan memakai baju pengantin dan ia sendiri memasuki kamar dalam pakaian mempelai laki-laki! Sama sekali ia tidak tahu bahwa penjahat yang mendatangi gedung itu dan yang telah dibunuh oleh Sian Kim, sebenarnya adalah seorang bekas anak buah Hek-lian-pang, bahkan pernah pula menjadi kekasih Sian Kim! Oleh karena inilah maka penjahat tadi merasa takut dan terkejut melihat Sian Kim muncul, karena gadis baju hitam ini selalu mengancam kepada setiap laki-laki kekasihnya untuk dibunuh apabila berani-bermain dengan wanita lain! Semenjak peristiwa malam itu, sikap Sian Kim terhadap Ciauw In makin berani dan makin menggiurkan hati Ciauw In. Gadis ini selalu menyebutnya "Lie-twako"
Dengan suara yang mempunyai nada istimewa halus dan merdunya, panggilan yang hanya dapat diucapkan oleh mulut seorang kekasih yang tercinta.
Perjalanan mereka pada keesokan harinya lebih menggembirakan dan kata-kata yang dikeluarkan di antara mereka makin mesra, juga lirikan mata masing-masing makin penuh arti dan perasaan. Ketika mereka tiba dl kota Kiang-sun-ok, dengan mudah saja mereka mencari gedung tempat tinggal Hopak Sam-eng. Untuk membuat Ciauw In percaya, dengan sengaja Sian Kim mencari keterangan kepada pelayan hotel di mana tempat tinggal Hopak Sam-eng, pada hal tentu saja ia tahu di mana letak gedung itu, oleh karena sudah berbulan-bulan ia tinggal di dalam gedung itu sebagai kekasih Liok Seng. Ciauw In mengajak Sian Kim untuk segera mendatangi musuh-musuh besar itu dan membuat perhitungan, akan tetapi Sian Kim menolak dan berkata,
"Lie-twako, tak perlu kita tergesa-gesa. Hopak Sam-eng merupakan tritunggal yang lihai sekali, ditambah pula dengan bangsat muda Liok Seng itu, mereka benar-benar merupakan lawan tangguh. Kalau kita datang terang-terangan waktu siang dan menghadapi mereka aku kuatir kalau-kalau kita akan gagal dan tak berhasil merobohkan mereka. Lebih baik kita datang menyerbu di waktu malam dan menyerang mereka selagi mereka tidak bersedia."
Ciauw In tidak setuju dengan pendapat ini dan sebetulnya Sian Kim hanya mengeluarkan ucapan ini untuk membakar hatinya saja,
"Nona, hal seperti itu tidak layak dilakukan oleh orang-orang gagah. Lebih baik kita datang secara berterang, dan betapapun juga, kau jangan kuatir. Aku akan membantumu sekuat tenaga, biarpun aku harus berkurban jiwa!"
"Terima kasih, Lie-twako, kau memang seorang yang berhati mulia. Kalau begitu, biarlah aku mengirim surat tantangan kepada mereka itu!"
Sebelum Ciauw In menjawab, Sian Kim lalu menulis sebuah surat dan memberikan itu kepada pelayan hotel sambil memberi hadiah beberapa potong uang perak.
"Berikan surat ini kepada Hopak Sam-eng!"
Perintahnya. Pelayan itu merasa gembira sekali oleh karena hadiah yang ia terima untuk tugas itu jumlahnya lebih besar daripada gajinya sebulan di hotel itu! Ia membungkuk-bungkuk menerima surat sambil menghaturkan terima kasihnya, lalu pergi dengan cepat untuk menyampaikan surat itu kepada Hopak Sam-eng yang tinggal di sebelah utara, di dalam sebuah gedung yang mempunyai pekarangan amat luasnya. Setelah beberapa lama, pelayan itu datang kembali dengan muka pucat dan datang-datang ia menuturkan pengalamannya dengan suara masih diliputi ketakutan.
"Aduh, siocia, hampir saja aku tak dapat pulang! Liok toaya yang menerima suratmu menjadi marah-marah dan memaki-maki kalang kabut. Bahkan hampir saja ia memukulku karena dikatakan berani membawa surat itu kepadanya, kalau saja tidak ada siauwya yang menghalangi kehendaknya. Ia terus memaki-maki dan akhirnya menyatakan bahwa besok jam delapan ia menanti siocia di depan rumahnya!"
Sian Kim tersenyum saja mendengar ini dan menyuruh pelayan itu pergi.
"Lie-twako, mereka telah bersiap sedia dan selanjutnya aku yang bodoh hanya mengharapkan bantuanmu."
"Jangan kuatir, nona. Aku akan membelamu terhadap mereka,"
Jawab Ciauw In dengan tenang. Pada keesokan harinya, setelah makan pagi, Ciauw In dan Sian Kim berangkat menuju ke rumah Hopak Sam-eng. Dari jauh mereka telah melihat empat orang berdiri di depan rumah besar itu sambil bertolak pinggang dan memandang ke arah Sian Kim dengan mata menyatakan kemarahan besar. Sian Kim dari jauh menunjuk mereka dan memperkernalkan mereka kepada Ciauw In.
"Twako, mereka itu adalah Liok Sui, Liok Ban dan Liok Bu Tat, Hopak Sam-eng yang lengkap. Sedangkan orang muda itu adalah bajingan yang telah menghinaku, yang bernama Liok Seng, putera dari Liok Bu Tat."
Ciauw In memandang dengan penuh perhatian. Ketiga jago dari Hopak itu semua bertubuh tinggi besar dan berwajah keren dan galak sekali. Jelas terlihat bahwa mereka itu memiliki tenaga yang amat kuat. Liok Sui dan Liok Ban memegang sebatang toya sedangkan Liok Bu Tat membawa pedang yang tergantung di pinggangnya. Liok Seng adalah seorang muda yang berwajah tampan dan berpakaian merah, sikapnya lemah lembut, akan tetapi sepasang matanya galak seperti ayahnya. Begitu mereka tiba di depan Hopak Sam-eng, Liok Bu Tat menuding kepada Sian Kim dan membentak sambil tersenyum sindir.
"Bagus, Gu Sian Kim! Kau datang mengantar nyawamu!"
Juga Liok Sui dan Liok Ban memandang dengan marah, bahkan Liok Sui, saudara tertua dari Hopak Sam-eng yang terkenal berwatak keras dan galak, segera memaki.
"Perempuan rendah! Agaknya bebarapa kali hajaran dari kami itu masih belum membuat kau kapok! Kini kau datang lagi hendak mengacau, maka sudah sepatutnya kali ini kau dibikin mampus!"
Sementara itu, Liok Seng ketika melihat betapa bekas kekasihnya ini nampak makin jelita saja, menjadi panas hati ketika melihat Sian Kim datang bersama seorang pemuda yang tampan. Ia mencabut pedangnya dengan marah berkata,
"Perempuan sundal! Kau datang membawa kekasihmu yang baru?"
Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan menudingkan pedangnya ke arah muka Ciauw In. Ciauw In semenjak tadi menahan-nahan marahnya, akan tetapi ketika mendengar ucapan Liok Seng ini, ia tidak tahan lagi dan segera membentak.
"Tutup mulutmu yang kotor!"
"Ha, ha, ha!"
Liok Seng tertawa.
"Bagus sekali, Sian Kim. Kekasihmu ini benar-benar berani membelamu dan bahkan agaknya seorarg yang sopan-santun sekali!"
"Ini adalah Lie twako atau Hoa-san Taihiap, seorang pemuda sopan dan mulia, tidak seperti kau, bajingan rendah Sian Kim balas memaki, akan tetapi Liok Seng yang dimakinya hanya tertawa bergelak dan berkata,
"Bagus, bagus! Kau memang pandai memilih kekasih, akan tetapi sebentar saja kau tentu akan merasa bosan pula kepada kekasih sopan ini!"
"Bangsat bermulut busuk! Kalau kau tidak berhenti memaki, akan kupukul mulutmu yang jahat!"
Kembali Ciauw In membentak dengan marah sekali. Kini Liok Seng maju dua langkah dan menghadapi Ciauw In sambil menggerak-gerakkan badannya,
"Kau disebut Hoa-san Taihiap? Ha, jangan kau menjadi sombong karena bisa menjadi kekasih perempuan sundal ini, sobat! Kau tahu, sebelum kau kenal padanya, akulah yang lebih dulu menjadi sahabatnya yang baik sekali. Bukan hanya kau yang dapat memiliki perempuan ini! Ha, ha, ha, karena itu jangan kau berlagak sombong."
"Bangsat bermulut keji!"
Sian Kim berteriak sambil mencabut pedangnya.
"Lie-twako, kau jagalah tiga orang tua bangka ini, biar aku memberi hajaran kepada anjing ini!"
Setelah berkata demikian, Sian Kim lalu melompat dengan pedangnya, menyerang Liok Seng yang segera menangkis. Hopak Sam-eng melihat betapa Liok Seng diserang oleh Sian Kim, maklum bahwa orang muda itu bukanlah tandingan Sian Kim, maka mereka segera menggerakkan senjata masing-masing dan melompat untuk menghadapi Sian kim, akan tetapi tiba-tiba mereka melihat cahaya pedang berkelebat dan tahu-tahu pemuda yang disebut Hoa-san Taihiap itu telah menghadang di depan mereka dengan pedang di tangan!
"Ha, ha, ha! Agaknya kaupun ingin mampus!"
Kata Liok Sui yang segera menyerang dengan toyanya. Serangan ini hebat sekali datangnya karena ia ingin sekali pukul membikin roboh lawan ini atau setidaknya ingin mendesaknya agar supaya kedua adiknya dapat membantu Liok Seng yang didesak oleh Sian Kim.
Serangan toya ini adalah gerak tipu Ouw-liong-chut-tong atau Naga Hitam Keluar Gua, sebuah gerakan dari cabang persilatan Siauw-lim-si. Toyanya menyabet pinggang dan ujung yang dipegangnya siap untuk dibalikkan dan memukul dada apabila sabetan itu dapat ditangkis atau dielakkan! Sementera itu, Liok Ban dan Liok Bu Tat maklum bahwa kakak mereka itu cukup kuat menghadapi pemuda itu, maka mereka tidak bantu mengeroyok, melainkan segera melompat untuk menerjang Sian Kim. Akan tetapi, baik Liok Sui, maupun kedua orang adiknya itu, menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba tubuh Ciauw In berkelebat dan lenyap dari depan Liok Sui dan sekaligus ia telah memutar pedangnya di depan Liok Ban dan Liok Bu Tat!
Gerakan Ciauw In ini cepat sekali hingga ketiga orang she Liok itu menjadi tercengang. Ternyata bahwa Ciauw In benar-benar memenuhi permintaan dan dapat menahan tiga jago Hopak itu! Mereka menjadi marah sekali dan maklum pula bahwa pemuda ini tidak boleh dipandang ringan, maka sekaligus mereka lalu maju menyerang dengan hebat dari tiga jurusan! Ketiga orang jago Hopak ini memang pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-si dan juga ilmu silat Bu-tong-pai, maka kepandaian mereka cukup tangguh dan kuat. Akan tetapi, menghadapi Ciauw In mereka kecele sekali karena ternyata bahwa setelah pemuda itu mainkan ilmu pedangnya, pedang di tangan pemuda itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang dan yang sekaligus dapat menghadapi mereka dengan ganasnya.
Inilah kehebatan Hoa-san kiam-hwat yang ketika dimainkan di puncak Kui-san telah membikin kagum banyak jago-jago silat dari seluruh cabang persilatan! Sementara itu, Liok Seng yang didesak hebat oleh Sian Kim, merasa sibuk sekali. Ia mencoba untuk mempertahankan diri dengan pedangnya sambil mengharap-harap datangnya ayah atau kedua adiknya untuk membantu. Akan tetapi, jangankan hendak membantunya, baru membela diri mereka tendiri dari sambaran-sambaran pedang Ciauw In saja mereka telah merasa repot sekali! Telah dua kali Liok Seng mendapat tusukan yang menyerempet pada pundak dan pahanya hingga pakaian di bagian itu telah penuh darah. Ia menjadi ketakutan dan gelisah sekali, maka tanpa malu-malu ia lalu berseru,
"Ayah... pek-hu... tolonglah...!"
Sian Kim tertawa bergelak yang tentu akan membuat Ciauw ln merasa serem sekali kalau saja ia tidak sedang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi tiga jago Hopak yang kosen itu.
"Liok Seng, kau boleh merengek-rengek minta tolong, ha, ha, ha, akan tetapi, sekarang pasti kau akan mampus di tanganku!"
Sambil berkata demikian, Sian Kim memperhebat gerakan pedangnya, melancarkan serangan-serangan maut ke arah Liok Seng!
"Sian Kim... ingatlah... kau tahu bahwa aku mencintaimu! Tegakah kau membunuhku yang pernah pula kau cinta...?"
Akan tetapi oleh karena kuatir kalau ucapan Liok Seng ini terdengar oleh Ciauw In, Sian Kim menjawab ucapan ini dengan tusukan-tusukan yang lebih hebat pula.
Tentu saja kepandaian Sian Kim yang jauh lebih tinggi ini, ditambah oleh nafsunya membunuh, membuat Liok Seng tak berdaya lagi dan ketika pedang di tangan Sian Kim dengan tepat sekali menusuk dan menembusi dadanya, ia memekik ngeri dan roboh, terus tewas pada saat itu juga! Ketiga jago Hopak mendengar pekik dan melihat betapa anak muda itu roboh dan tewas di tangan Sian Kim, menjadi marah dan segera mengerahkan seluruh tenaga untuk mengalahkan Ciauw In. Liok Sui dan Liok Ban mainkan toya mereka dengan cepat hingga kedua batang toya itu seakan-akan merupakan dua ekor ular besar yang hidup dan bergulung-gulung hendak menelan tubuh Ciauw In, sedangkan Liok Bu Tat yang merasa marah dan sedih melihat putera tunggalnya binasa, segera memutar-mutar pedangnya, mencari kesempatan untuk meninggalkan Ciauw In dan menerjang Sian Kim.
Akan tetapi, Ciauw In yang tahu akan hal lni, segera menjaga dengan pedangnya dan serangan-serangan balasannya yang cukup cepat itu membuat Liok Bu Tat tidak mempunyai kesempatan untuk menyerang Sian Kim. Kemudian, ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mendesak Ciauw In, oleh karena ia pikir lebih baik mengalahkan pemuda lihai ini dulu sebelum mengeroyok Sian Kim. Hopak Sam-eng adalah jago-jago golongan tua yang selain bertenaga besar dan berkepandaian tinggi, juga telah mempunyai banyak sekali pengalaman pertempuran, maka kini karena mereka bertempur secara nekad dan mati-matian, maka desakan mereka luar biasa hebatnya sehingga sibuk juga bagi Ciauw In untuk mengalahkan mereka.
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo