Ceritasilat Novel Online

Pendekar Dari Hoasan 7


Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Jadi kau... kau adalah anak..."

   "Ya, Gu Mo Ong yang dibinasakan oleh sumoimu itu adalah ayahku sendiri, walaupun... hanya ayah angkat saja!"

   Sian Kim membohong. Keduanya berdiam, dan tangan Ciauw In turun dari pundak Sian Kim. Gadis itu memandang dengan hati penuh kekuatiran, dan untuk beberapa lama mereka saling pandang. Akan tetapi, akhirnya Ciauw In kalah. Cintanya terhadap Sian Kim sudah terlalu mendalam hingga tak mungkin baginya untuk merobah perasaannya itu.

   "Bagaimana, twako? Apakah sekarang kau membenciku? Kalau kau membenci dan hendak membunuh, silakan, koko. Kau cabutlah pedangmu dan tusuk dadaku. Aku takkan melawan dan aku rela mati di dalam tanganmu."

   Ciauw In diam saja, kemudian dengan napas sesak ia berkata,

   "Sungguh tak kusangka sama sekali, moi-moi. Gu Ma Ong begitu jahat dan... karenanya aku membantu sumoiku untuk membunuhnya dan memukul hancur perkumpulannya."

   Sian Kim menarik napas lega. la maklum bahwa pemuda ini takkan berubah pendiriannya terhadap dirinya, maka ia berkata,

   "Karena mereka jahat maka aku meninggalkan perkumpulan itu. Harus kau ketahui bahwa setelah tamat belajar silat, baru aku kembali ke kota kelahiranku dan seperti telah kuceritakan dulu, ayahku tewas dalam tangan Hopak Sam-eng. Kemudian aku pergi ke Kiang-sin-ok untuk membalas dendam, akan tetapi aku dikalahkan dan di kota Ban-hong-cun aku bertemu dengan Gu Ma Ong dan perkumpulannya Hek-lian-pang. Mereka hendak menggangguku, akan tetapi aku dapat mengalahkannya, hingga aku diangkat sebagai ketua dan Gu Ma Ong sendiri mengangkat aku sebagai anak angkatnya. Akan tetapi, setelah kulihat bahwa perkumpulan itu kurang baik, aku lalu meninggalkan mereka dan datanglah kau dan kedua adik seperguruanmu yang membasmi mereka!"

   Untuk beberapa lama Ciauw In tak dapat mengeluarkan kata-kata. Hatinya menjadi bingurg sekali.

   "Kalau begitu... kau... kau menaruh dendam kepada sumoi dan suteku dan juga kepadaku yang telah menewaskan ayah angkatmu dan menghancurkan perkumpulanmu?"

   Sian Kim menjandarkan kepalanya pada dada Ciauw In dengan gaya memikat.

   "Koko, bagaimana kau bisa berkata demikian? Kalau aku menaruh dendam kepadamu, mungkinkah aku bisa mencintamu? Tidak, aku tidak dendam kepadamu!"

   "Dan juga tidak kepada sumoi dan suteku?"

   Sampai lama Sian Kim tak dapat menjawab.

   "Hal ini terus terang saja tak dapat kuputuskan sekarang. Kau tahu bahwa ayah angkatku itu amat baik terhadapku sehingga aku telah berhutang budi kepadanya. Kini ia dibunuh oleh sumoimu, maka... bagaimanakah aku harus bersikap kepadanya? Ah, koko, hal ini jangan kita sebut-sebut dulu dan kalau saja sumoi dan sutemu mau berlaku manis terhadapku, mungkin aku akan dapat melupakan urusan itu, oleh karena mereka itu adalah saudara-saudaramu, koko."

   Ciauw In menarik napas.

   "Mudah-mudahan kau dan mereka tidak akan bermusuhan. Kau maafkanlah mereka, moi-moi."

   Pada saat Bong Hin dan Gui Im Tojin telah datang dekat dan Bong Hin segera membentak.

   "Orang-orang tak tahu malu! Kalian telah bertemu dengan kami, hendak menyerah baik-baik atau harus dirobohkan dengan senjata?"

   Ciauw In dan Sian Kim melompat bangun dan melihat mereka berdua, Ciauw In terkejut sekali.

   "Saudara Bong Hin!"

   Ia berseru karena pernah bertanding kepandaian dengan jago muda dari Kun-lun-pai itu.

   "Apakah maksud kata-katamu?"

   Bong Hin tersenyum sindir.

   "Tak kusangka bahwa Hoa-san Taihiap hanyalah seorang pemuda hidung belang yang lemah! Kau masih hendak bertanya lagi? Kau dan perempuan tak tahu malu ini telah membunuh banyak orang gagah tanpa alasan-alasan kuat, bahkan kalian telah berani membunuh Hui Kok Losu dan Ma Sian Lo-enghiong. Lalu melarikan diri dan mengganggu gedung Ong Hwat Seng. Sungguh tak kusangka sama sekali."

   Sian Kim melangkah maju dan menuding dengan pedangnya yang tadi telah dicabut ketika melihat kedatangan mereka.

   "Orang sombong! Kau mengandalkan apamu maka berani membuka mulut secara sembarangan saja?"

   Sedangkan Ciauw In juga menjawab,

   "Saudara Bong Hin, aku sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, membantu Gu-siocia membasmi orang-orang jahat, apa kau mencela?"

   "Hm, bagus! Kalian telah membunuh ketua Kim-houw-bun dan juga Lui-cin-tong berani menyatakan membasmi orang-orang jahat!"

   "Orang Kun-lun-pai!"

   Sian Kim membentak.

   "Urusanku dengan Kim-houw-bun adalah urusan pribadi dan mereka itu mampus dalam sebuah pibu! Sudah layak seorang terluka atau mati dalam pertandingan silat, apa perlunya kau datang membuat ribut?"

   Kini Gui Im Tojin, Tosu (Pendeta To) yang tenang sikapnya itu berkata,

   "Hek-lian-niocu, memang sudah jamak orang terbunuh dalam sebuah pibu, akan tetapi kalian berdua telah menjatuhkan tangan kejam kepada orang-orang lain. Banyak anak buah Kim-houw-bun kau bunuh secara kejam. Apakah inipun termasuk pibu?"

   "Kami mempunyai permusuhan pribadi, apa hubungannya dengan kamu orang-orang Kun-lun-pai?"

   "Tidak hanya kami, akan tetapi semua orang gagah mencela kejahatan kalian berdua, terutama kau sebagai ketua Hek-lian-pang yang terkenal jahat. Maka kami sengaja turun gunung membantu pemerintah untuk menangkap kalian. Menyerahlah dengan baik-baik kalau kalian tidak mau merasakan kelihaian kami dari Kun-lun-pai!"

   Kata Bong Hin yang biarpun telah merasai kelihaian Ciauw In, akan tetapi dengan adanya paman gurunya, ia tidak merasa takut.

   "Bangsat hina dina! Kau kira aku takut padamu,"

   Sian Kim berseru dan menerkam dengan pedangnya yang segera ditangkis oleh pedang Bong Hin. Ciauw In tadinya ingin berdamai dengan orang-orang Kun-lun-pai itu, akan tetapi melihat betapa pertempuran telah terjadi, terpaksa iapun mencabut pedang untuk menjaga diri.

   "Siancai, siancai, sungguh sayang Hoa-san Taihiap harus menderita kesesatan sedemikian jauh!"

   Kata Gui lm Tojin sambil mengeluarkan tongkatnya yang berkepala naga. Inilah Liong-thouw-koai-tung atau Tongkat Iblis Kepala Naga yang membuat namanya tersohor untuk puluhan tahun lamanya.

   "Sekali lagi, kau menyerahlah saja, anak muda!"

   Katanya sambil menggerakkan tongkatnya. Akan tetapi Ciauw In tidak mau banyak bicara lagi dan segera maju sambil memutar pedangnya. Pertempuran segera terjadi dengan hebatnya, terpecah menjadi dua rombongan, yakni Sian Kim melawan Bong Hin, sedangkan Ciauw In menghadapi Gui Im Tojin yang lihai.

   Pertempuran antara Sian Kim dan Bong Hin berjalan luar biasa seru dan sengitnya oleh karena keduanya memang menggerakkan senjata dengan maksud membunuh. Bong Hin benci kepada Sian Kim setelah didengarnya tentang riwayat yang kotor dari gadis baju hitam ini, maka senjatanya bergerak mengarah bagian yang mematikan sedangkan Sian Kim memang memiliki ilmu pedang yang ganas dan setiap serangan mengandung hawa maut bagi lawannya. Ilmu kepandaian Bong Hin telah terbukti kelihaiannya ketika ia maju ke panggung luitai (panggung adu silat) menghadapi lawan-lawannya hingga akhirnya ia dikalahkan oleh Ciauw In dengan susah payah. Kalau saja ia bertanding melawan Sian Kim dengan tangan kosong, agaknya akan amat sukarlah bagi Sian Kim untuk mendapatkan kemenangan.

   Akan tetapi kini mereka bertempur dengan pedang dan biarpun Bong Hin sebagai murid kepala telah mewarisi ilmu pedang Kun-lun Kiam-hwat yang lihai, namun menghadapi ilmu pedang Sian Kim yang amat ganas dan hebat itu, akhirnya ia terdesak juga! Sian Kim tidak mau memberi hati kepada lawannya dan pada suatu saat ia menyerang dengan gerak tipu Coan-jiu-cion-kiam (Lonjorkan Tangan Sembunyikan Pedang) yakni serangan yang tadinya dilakukan dengan pukulan tangan kanan dengan pedang tersembunyi di bawah lengan, akan tetapi tiba-tiba dengan gerakan jari yang amat cepat dan kuat, pedang itu meluncur keluar dari tempat persembunyian dan tidak manyerang ke arah dada yang dipukul tangan, akan tetapi dengan tak tersangka-sangka meluncur ke bawah menusuk pusar!

   Bong Hin terkejut sekali melihat datangnya serangan yang ganas ini, dan karena kedua tangannya telah berada di atas dalam usaha menangkis pukulan tadi, maka tubuh bagian bawah menjadi kosong dan ia tidak sempat menangkis lagi. Hanya dengan gerakan Yo-cu-hoan-sin (Burung Elang Memutar Badan) barulah ia dapat menghindarkan serangan pedang. Tubuhnya berjungkir balik cepat sekali ke belakang dan ia cepat memasang kuda-kuda lagi untuk menghadapi lawannya yang amat lihai itu. Kini ia bertempur dengan amat hati-hati dan biarpun ia terus didesak, akan tetapi untuk sementara waktu ia dapat menjaga dirinya dengan baik sambil mengharapkan untuk segera mendapat bantuan dari susioknya. Akan tetapi, pertempuran yang terjadi antara Gui Im Tojin dan Ciauw In juga berjalan dengan amat serunya hingga Pendeta itu tidak mempunyai ketika sedikitpun juga untuk membantu murid keponakannya yang terdesak hebat.

   Tadinya ia dan Ciauw In hanya bertempur dengan maksud mengalahkan lawan saja tanpa maksud membunuh, akan tetapi setelah bertempur puluhan jurus, mereka maklum bahwa ilmu kepandaian mereka seimbang hingga tak mungkin akan mendapat kemenangan tanpa mengeluarkan serangan-serangan yang paling lihai dan berbahava. Kini mereka bertempur dengan sungguh-sungguh, sedikitpun tidak mau mengalah lagi. Karena merasa penasaran tidak dapat mengalahkan Hoa-san Taihiap yang biarpun berilmu tinggi akan tetapi setidaknya mempunyai tingkat yang lebih rendah dari padanya. Gui Im Tojin merasa malu kalau tidak dapat mengalahkan Ciauw In, maka ia lalu berseru keras dan tongkatnya berputar-putar mengeluarkan angin keras.

   Ia mengeluarkan ilmu silat Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi) yakni semacam ilmu pukulan yang menjadi kepandaian khusus dari ilmu tongkatnya dan yang hanya dimengerti dan dipelajari oleh tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat atas saja. Ciauw In merasa kagum dan terkejut melihat perubahan serangan ini dan ia segera terdesak mundur. Baiknya Hoa-san Kiam-hoat memang mempunyai gerakan yang cepat dan bagian pertahanannya amat kokoh kuat, maka ia dapat menjaga diri sungguhpun serangan lawan yang mainkan Hok-thian-hok-te ini membuat ia sukar untuk mengirim serangan balasan. Kalau tadi yang digunakan oleh Gui Im Tojin untuk menyerang hanya ujung tongkatnya saja, sedangkan bagian gagang yang berkepala naga hanya untuk menangkis,

   Adalah kini Pendeta itu memutar-mutar tongkatnya sedemikian rupa sehingga kedua ujung tongkat terputar dan bergantian melancarkan serangan kilat yang dilakukan dengan dorongan tenaga lweekang sepenuhnya hingga tiap kali ujung tongkat menyapu dekat tanah, debu mengebul ke atas karena sambaran angin tongkat! Ciauw In mempertahankan diri sedapat mungkin, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya amat lemas dan lemah dan timbul keinginan keras untuk mencium keharuman yang timbul dari saputangannya! Keinginan ini datangnya demikian tiba-tiba dan hebat dan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas dan semangat bertempur menjadi berkurang! Akan tetapi lawannya yang tangguh itu tidak memberi kesempatan padanya untuk mengeluarkan saputangan hijau dan menciumnya! Sementara itu, Sian Kim sudah dapat mendesak Bong Hin kesatu sudut di mana tumbuh banyak pohon.

   Dengan serangan yang ganas dan cepat, ia membuat pemuda itu kini hanya kuat menggerakkan pedang menangkis saja dan karena ia merasa sibuk sekali, gerakan kakinya tidak tetap. Tiba-tiba ia berseru keras karena kakinya ketika bergerak mundur itu tersandung sebuah akar pohon yang melintang di belakangnya. Pada saat itu pedang Sian Kim menyambar ke arah leher, maka terpaksa ia mendorong tubuh ke belakang hingga tak dapat dicegah lagi, karena kedua kakinya terganjal akar, ia roboh terguling ke belakang. Sebelum ia sempat melompat bangun, Sian Kim telah menerkam dengan pedangnya dan "cepp!"

   Pedang itu menembus ulu hati Bong Hin yang tewas pada saat itu juga! Setelah berhasil menewaskan Bong Hin, Sian Kim dengan mata beringas lalu berbalik dan melihat betapa Ciauw In didesak hebat dan agaknya pemuda itu menjadi bingung sekali, ia lalu berseru keras.

   "Jangan kuatir, koko! Aku akan membantumu membikin mampus Tosu siluman ini!"

   Ia lalu menerjang Gui Im Tojin sehingsa Ciauw In mendapat ketika untuk mencabut saputangan hijaunya dan menciuminya berulang-ulang!

   Aneh, tubuhrya yang lemah tadi tiba-tiba menjadi segar kembali dan kegembiraan serta semangatnya timbul. Ia maju lagi dan sebentar saja keadaan menjadi terbalik. Kini Gui Im Tojin yang terdesak hebat oleh kedua orang muda yang memiliki ilmu pedang luar biasa itu! Sian Kim ketika melihat keadaan Ciauw In, diam-diam merasa terkejut sekali. Tanda-tanda yang diperlihatkan oleh pemuda tadi menunjukkan bahwa racun yang keluar dari saputangannya itu telah mulai menyerang jantung dan paru-paru Ciauw In! Akan tetapi, ia tidak sempat memikirkan hal ini oleh karena perhatiannya harus dikerahkan untuk mendesak Tosu yang benar-benar tangguh itu. Keroyokan Ciauw In dan Sian Kim benar-benar tak boleh dipandang ringan dan kalau saja yang dikeroyok bukan Gui Im Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang besar, jarang ada orang dapat menghadapi mereka sampai demikian lama!

   Akan tetapi, setelah bertahan selama lima puluh jurus, perlahan-lahan Pendeta tua ini merasa lelah juga dan terdesak makin hebat. Pada saat Ciauw In menyerangnya dengan gerak tipu Angin Taufan Meniup Rumput dan pedang itu membabat dengan cepatnya dan berkali-kali ke arah kaki Pendeta itu, Sian Kim membarengi dengan gerak tipu Elang Sakti Menyambar Ular, yakni serangan yang dilakukan dengan lompatan tinggi dan pedangnya menyambar-nyambar arah kepala Gui Im Tojin. Diserang sekaligus dari atas dan bawah oleh pedang yang gerakannya demikian cepatnya, Gui Im Tojin merasa sibuk juga. Ia dapat menggunakan tongkatnya untuk memukul pedang Ciauw In sekerasnya hingga pedang pemuda itu terlepas dari pegangan, akan tetapi pedang Sian Kim berhasil membacok lehernya sampai hampir putus! Gui Im Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang ternama itu roboh tanpa dapat berteriak lagi dan tewas pada saat itu juga.

   Akan tetapi, berbareng dengan robohnya Gui Im Tojin, Ciauw In yang pedangnya telah terpental, juga terhuyung-huyung ke belakang dan segera ia mencabut saputangan hijau dan didekapnya di muka hidung lalu disedotnya keras-keras seakan-akan seorang yang tadinya tenggelam ke dalam air mendapat hawa udara baru! Kesehatannya kembali pula dan ia memungut pedangnya. Sian Kim menghampiri Ciauw In dan melihat betapa pucat wajah pemuda itu, tiba-tiba gadis ini merasa terharu dan amat berduka! Entah dari mana timbulnya perasaan ini, akan tetapi dia yang tadinya sengaja hendak meracun pemuda itu, dengan girang melihat betapa Ciauw In masuk ke dalam perangkapnya, akan tetapi sekarang setelah berkali-kali pemuda itu membelanya dan melihat betapa racun saputangan itu mulai bekerja, tiba-tiba ia merasa tidak tega, kasihan, dan takut ditinggal mati oleh Ciauw In! Ia menubruk Ciauw In, merangkulnya sambil menangis terisak! Ciauw In memandang dengan mata terbelalak heran.

   "Moi-moi, kau kenapakah? Apakah kau terluka?"

   Akan tetapi Sian Kim tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala dan tetap menangis di pundak pemuda itu.

   "Moi-moi, jangan kau kuatir,"

   Kata Ciauw In yang menyangka bahwa gadis itu merasa kuatir dimusuhi sekian banyak orang gagah.

   "selama aku masih hidup, aku takkan membiarkan siapapun juga menghinamu!"

   Mendengar ucapan ini, bagaikan diiris-iris jantung Sian Kim rasanya. Ia menjadi makin sedih dan didekapnya dada pemuda itu sambil mengeluh.

   "Koko... koko..."

   Ciauw In menggandeng tangan Sian Kim, diajak pergi dari tempat itu, meninggalkan mayat kedua orang tokoh Kun-lun-pai yang tewas dalam tangan mereka itu. Kita lihat keadaan Bwee Hiang dan Ong Su, kedua adik seperguruan Ciauw In yang kembali ke Hoa-san untuk melaporkan hasil pertemuan besar di Kui-san itu kepada Ho Sim Siansu, guru mereka. Bwee Hiang di sepanjang jalan nampak bermuram durja, tanda dari kemurungan hatinya yang benar-benar merasa sedih melihat keadaan Ciauw In, suheng yang ia cinta itu.

   Atas permintaan Bwee Hiang, keduanya berhenti dulu di Ban-hong-cun, tempat di mana dulu mereka berdua bersama Ciauw In mengobrak-abrik sarang Hek-lian-pang. Bwee Hiang masih merasa penasaran dan hendak mencari keterangan kalau-kalau ketua Hek-lian-pang yang baru sudah berada di situ untuk sekalian dibasmi. Mencabut pohon busuk harus dengan semua akar-akarnya, demikian pendiriannya. Dan di kota ini mereka berdua mendengar sesuatu yang membuat keduanya saling pandang dengan muka pucat. Ternyata dari penuturan penduduk kota Ban-hong-cun yang amat berterima kasih kepada mereka, bahwa yang menjadi ketua baru atau anak mendiang Gu Ma Ong yang mereka tewaskan, bukan lain adalah Gu Sian Kim!

   "Celaka! Kalau begitu siluman perempuan itu tentu tidak bermaksud baik terhadap suheng!"

   Kata Bwee Hiang dengan muka pucat.

   "Kita harus susul mereka!"

   Kota Ong Su yang merasa amat kuatir akan nasib suhengnya. Akan tetapi Bwee Hiang membantahnya.

   "Tak perlu! Kalau memang Sian Kim berniat buruk, mengapa kepada twa-suheng? seharusnya ia membalas kepadaku! Lagipula, sudah terbukti bahwa kepandaian suheng lebih tinggi daripadanya, maka ia akan dapat berbuat apakah?? Lebih baik memberi laporan kepada suhu lebih dulu, baru kita minta pendapat suhu tentang hal ini."

   Sesungguhnya Bwee Hiang merasa demikian kecewa hingga ia hendak membiarkan dulu Ciauw In kecele, yakni menjatuhkan cintanya kepada seorang gadis yang ternyata adalah seorang penjahat perempuan yang kejam dan ganas! Mereka melakukan perjalanan dengan cepat tanpa mampir dulu di lain tempat dan ketika mereka telah tiba di puncak Hoa-san dan menceritakan semua pengalaman mereka kepada Ho Sim Siansu, orang tua ini mengangguk-angguk senang, mendengar betapa Ciauw In berhasil menjunjung tinggi nama Hoa-san-pai.

   "Dan mengapa ia tidak ikut pulang ke sini?"

   Tanyanya. Bwee Hiang dengan bernafsu lalu menuturkan tentang munculnya Sian Kim dan setelah Ho Sim Siansu mendengar bahwa Sian Kim adalan Hek-lian-pangcu yang jahat dan menjadi musuh besar Bwee Hiang berkerutlah jidat orang tua itu.

   "Ciauw In adalah seorang laki-laki yang memiliki kekerasan hati, dan sekali ia menjatuhkan cintanya, sukarlah untuk mencabutnya kembali. Aku kuatir... benar-benar aku kuatir... Akan tetapi, dia adalah seorang laki-laki yang sudah dewasa dan segala perbuatannya harus ia pertanggung-jawabkan sendiri. Kalian tak perlu mencari dia dan biarlah dia insaf sendiri. Sekarang lebih baik kalian pulang ke tempat tinggal orang tuamu dan biar aku yang menanti kembalinya Ciauw In."

   Kemudian, sambil memandang kepada Bwee Hiang dengan sinar mata tajam, ia berkata,

   "Bwee Hiang, selanjutnya tentang keadaanmu, kau harus menurut segala petunjuk orang tuamu dan jangan membawa kehendak sendiri. Kau masih muda dan orang-orang muda selalu berpemandangan sempit dan mudah terjerumus."

   Kedua orang murid itu lalu mengundurkan diri dan pada keesokan harinya setelah beristirahat, mereka lalu kembali ke rumah orang tua masing-masing. Ong Su kembali ke dusun Kee-cin-bun dan membantu pekerjaan orang tuanya bertani, sedangkan Bwee Hiang menuju ke kota Kang-sin untuk tinggal bersama ibunya, yakni nyonya Gak Seng yang sudah menjadi janda.

   Beberapa hari setibanya Ong Su di dusun orang tuanya, kedua orang tuanya itu kembali mendesak kepada puteranya tentang perjodohan yang mereka rencanakan dengan Bwee Hiang, gadis cantik dan gagah yang mereka suka. Ong Su merasa serba salah, untuk menyetujui ke hendak orang tuanya, ia kuatir kalau-kalau pinangannya ditolak karena ia maklum bahwa sumoinya itu sebetulnya mencinta twa-suhengnya. Akan tetapi untuk menolak kehendak orang tuanya, iapun tidak tega dan tidak berani. Akhirnya, ayah ibunya berhasil membujuknya untuk bersama-sama pergi ke kota Kang-sin untuk mengunjungi Bwee Hiang dan ibunya, serta untuk membicarakan tentang perjodohan itu atau ringkasnya mengajukan pinangan.

   Dengan adanya perlindungan Ong Su yang gagah perkasa, perjalanan mereka tidak mendapat gangguan sesuatu dan mereka tiba di kota Kang-sin dengan selamat. Kedatangan mereka ini tentu saja mendapat sambutan hangat dari Bwee Hiang dan ibunya, akan tetapi Ong Su mendapat warta yang benar-benar mengagetkan hatinya. Ketika ia tiba di situ, ia melihat bahwa suhunya telah berada di situ pula! Dan ia merasa amat terkejut ketika mendengar dari suhunya yang menerima surat laporan dari Ong Hwat Seng tentang kesesatan suhengnya, yakni tentang segala perbuatan Ciauw In dan Sian Kim yang telah menewaskan banyak orang gagah, semata-mata untuk menuruti kehendak wanita jahat itu! Sementara itu, Ho Sim Siansu yang mendengar tentang maksud pinangan dari orang tua Ong Su kepada Bwee Hiang, sambil tersenyum berkata,

   "Kalau kedua fihak setuju, aku sendiri akan merasa gembira melihat kedua orang muridku ini terangkap jodoh! Bwee Hiang yang ditanya pendapatnya, menundukkan mukanya dan ia tak dapat menahan mengalirnya air matanya karena teringat kepada Ciauw In yang sekarang telah masuk dalam perangkap siluman wanita Gu Sian Kim itu. Dengan gemas ia lalu berkata perlahan.

   "Aku tak dapat memutuskan tentang perjodohan sebelum dapat mencari dan membunuh wanita iblis Gu Sian Kim itu!"

   Ho Sim Siansu yang waspada maklum bahwa muridnya ini mencinta Ciauw In, maka ia lalu berkata.

   "Bwee Hiang dan kau Ong Su. Kedatanganku ini sebenarnyapun hendak memberi tugas kepada kalian berdua. Sekarang telah tiba waktunya bagi kalian untuk menyusul dan mencari Ciauw In, dan memanggil dia untuk datang ke Hoa-san. Kukira ia akan suka mendengar kalian mengingat hubungan persaudaraan. Kalau kalian tak berhasil memanggilnya, terpaksa aku sendiri akan mencarinya dan turun tangan!"

   Setelah berkata demikian dengan suara sedih, kakek sakti itu lalu berpamit dan kembali ke Hoa-san. Maka diputuskanlah kepada kedua orang tua Ong Su untuk menunda urusan perjodohan itu untuk sementara waktu dan kedua orang muda itu segera berangkat mencari Ciauw In untuk memenuhl pesan suhu mereka.

   Kedua orang tua Ong Su menanti kembalinya putera mereka itu di rumah ibu Bwee Hiang. Menurut petunjuk Ho Sim Siansu, Ong Su dan Bwee Hiang menuju ke Ouwciu dalam usaha mereka mencari Ciauw In. Hati mereka makin menjadi gelisah lagi ketika mendengar berita terakhir betapa Clauw In telah menambah kesesatannya dengan membunuh Gui lm Tojin dan Bong Hin, dua tokoh Kun-lun-pai itu sehingga kini tokoh-tokoh Kun-lun-pai turun gunung untuk membalas sakit hati! Mereka berdua, terutama Bwee Hiang, ingin sekali bertemu dengan suheng mereka dan ingin sekali memberi hajaran kepada Sian Kim, ketua Hek-lian-pang yang agaknya telah membuat Ciauw In menjadi tergila-gila. Mereka bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang menceritakan riwayat kotor dari Gu Sian Kim hingga makin benci dan gemaslah hati Bwee Hiang.

   "Ong-suheng, ternyata apa-apa yang kukuatirkan dulu terbukti. Perempuan rendah itu ternyata bukanlah perempuan baik-baik seperti yang kusangka dulu."

   Ong Su menarik napas panjang.

   "Kasihan twa-suheng, kalau saja kami laki-laki mempunyai perasaan tajam seperti perempuan..."

   Mereka melanjutkan perjalanan, mencari jejak Ciauw In dan Sian Kim. Sian Kim merasa menyesal benar-benar ketika kini racun telah mulai mempengaruhi paru-paru dan jantung Ciauw In yang menyebabkan pemuda itu harus seringkali menyedot saputangannya.

   Pemuda ini sendiri merasa heran dan tidak mengerti mengapa seringkali ia terserang di bagian dadanya oleh perasaan yang membuatnya lemas dan lemah baik tubuh maupun semangatnya dan baru merasa segar kembali mencium bau harum kembang dari saputangan Sian Kim itu. Telah dua puluh hari lebih ia terserang racun yang hebat ini tanpa menyadarinya dan nyawanya hanya tinggal beberapa hari saja dapat bertahan. Akan tetapi hal ini ia tidak tahu, dan Sian Kim yang tahu dengan baik merasa tersiksa hatinya. Tanpa disengaja dan disadarinya, gadis ini ternyata telah mencintanya dengan sungguh-sungguh bukan cinta berdasarkan nafsu busuknya! Pemuda ini amat jauh bedanya dengan semua pemuda yang mencintanya, karena cinta pemuda ini kepadanya bukan berdasarkan nafsu, akan tetapi benar-benar cinta murni yang membuat pemuda itu rela berkurban nyawa untuknya.

   Dan ia menjadi terharu dan bersedih. Ia telah banyak ditolong oleh Ciauw In dan sekarang keadaannya telah terjepit, orang-orang gagah di kalangan kang-ouw memusuhi dan sedang mencari-carinya. Dengan Ciauw In disampingnya ia akan menghadapi semua itu dengan tabah, akan tetapi bagaimana kalau Ciauw In tewas karena racun itu? Dua hari lamanya mereka melarikan diri semenjak mereka berhasil merobohkan Gui Im Tojin dan Bong Hin, dan pada waktu itu mereka tiba di sebuah dusun dan bermalam di dalam hotel kecil. Kembali Ciauw In terserang oleh racun itu hingga ia rebah tak berdaya, sedangkan Sian Kim duduk menangis disampingnya sambil menggunakan saputangan baru yang masih keras bau kembangnya untuk membuat pemuda itu segar kembali.

   "Moi-moi, entah penyakit apa yang menyerang diriku, akan tetapi jangan kau bersedih. Aku akan sembuh kembali,"

   Kata pemuda itu sambil menggenggam tangan Sian Kim dengan hati terharu dan mencinta. Ia mengira bahwa Sian Kim menangis karena besarnya cinta kasih gadis itu kepadanya, tidak tahu bahwa gadis itu sedang menyesali perbuatannya sendiri. Akhirnya Ciauw In tertidur dengan Sian Kim masih duduk di pinggir pembaringan. Melihat wajah pemuda yang gagah perkasa itu, bukan main sedih dan terharunya hati Sian Kim.

   Ia sendiri tak dapat tidur, hanya menatap wajah Ciauw In dengan air mata berlinang-linang. Ciauw In, jangan kau tinggalkan aku... demikian hatinya bersambatan. Akan tetapi rintihan hatinya ini tak terdengar oleh siapapun juga. Setelah pemuda ini mendekati saat yang akan membuatnya menghembuskan nafas terakhir, baru ia tahu bahwa sebetulnya ia mencinta pemuda ini dengan sepenuh hatinya. Cinta yang belum pernah terasa olehnya, karena cintanya kepada sekian banyak kekasih yang dulu-dulu hanyalah cinta main-main belaka. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki menginjak genteng di atas kamarnya itu dan dengan cepat Sian Kim meniup padam api lilin yang bernyala di atas meja. Ia menggoyang-goyang tubuh Ciauw In dan ketika pemuda itu bangun, ia berbisik dengan suara penuh ketakutan.

   "Koko, ada orang di atas genteng..."

   Kini Ciauw In telah sehat kembali berkat saputangan hijau yang seringkali ditempelkan pada hidungnya oleh Sian Kim, maka cepat mereka mengambil pedang dan melompat keluar dari jendela kamar dan terus melompat ke atas genteng. Dengan hati terkejut mereka melihat banyak orang di atas genteng itu dan terdengar seorang di antara mereka berseru,

   "Penjahat-penjahat kejam, kalian hendak lari ke mana?"

   Dan setelah tangan orang yang berseru itu bergerak, melayanglah tiga batang piauw ke arah Ciauw In dan Sian Kim. Akan tetapi dengan mudah sekali Ciauw In dan Sian Kim memukul jatuh piauw itu dengan pedang mereka dan tak lama kemudian mereka telah dikeroyok oleh enam orang yang ternyata adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang datang hendak membalas dendam atas kematian Gui Im Tojin dan Bong Hin! Mereka ini adalah suheng dan sute dari Gui Im Tojin dan tingkat mereka di Kun-lun-pai telah menduduki tingkat kedua dan ketiga, maka tentu saja kepandaian mereka hebat dan tangguh. Ciauw In segera membetot tangan Sian Kim dan mengajak kekasihnya itu melompat turun dari genteng untuk melarikan diri.

   "Penjahat Hoa-san dan perempuan rendah! Kalian hendak lari ke mana?"

   Orang-orang Kun-lun-pai itu mengejar, akan tetapi tiba-tiba dari tempat gelap di mana kedua orang muda tadi berlari, menyambar segenggam Hok-lian-ciam (Jarum Teratai Hitam) ke arah mereka. Ternyata bahwa senjata senjata rahasia yang amat lembut ini dilepas oleh Sian Kim yang jarang mempergunakannya kalau tidak amat terdesak. Para pengejar itu cepat mengelak, akan tetapi dua orang telah kena terserang jarum yang amat berbahaya itu karena mengandung racun yang amat jahat hingga mereka berteriak keras dan roboh terguling. Ciauw In dan Sian Kim mempergunakan kesempatan ini untuk berlari terus di dalam gelap.

   "Jangan kuatir, Kim-moi, aku akan membelamu..."

   Demikianlah ucapan Ciauw In terdengar berkali-kali ketika keduanya berlari cepat, sedangkan jawaban Sian Kim hanyalah isak tangis tertahan.

   Mereka berlari terus, tidak berani menunda sebentarpun juga, karena maklum bahwa apabila mereka tersusul maka pertempuran hebat akan terjadi dan belum tentu mereka dapat mengalahkan imam-imam Kun-lun-pai yang kosen itu. Pada keesokan harinya, di waktu matahari mulai muncul, Ciauw In dan Sian Kim masih saja berlari-lari mengambil jalan kecil yang sunyi di pinggir sebuah hutan. Mereka merasa lelah sekali dan merasa agak lega karena tempat itu sunyi sehingga mereka akan dapat mengaso melepas lelah untuk beberapa lama. Akan tetapi mereka kecewa, karena dari depan tiba-tiba muncul sepasukan penjaga keamanan yang terdiri dari barisan tentara dikepalai oleh seorang perwira yang nampak gagah dan didampingi pula oleh beberapa orang gagah yang ketika telah dekat mereka kenal sebagai Lo Sun Kang dari Go-bi-pai dan Hwat Siu Hwesio dari Siauw-lim-pai!

   "Menyerahlah untuk menerima pengadilan!"

   Seru Lo Sun Kang dengan suara ketus.

   "Siapa takut kepadamu?"

   Bentak Sian Kim yang sudah mencabut keluar pedangnya dan diturut pula oleh Ciauw In.

   Segera kedua orang itu dikepung dan terjadi pertempuran mati-matian. Biarpun tadi merasa lelah sekali, akan tetapi melihat betapa keselamatan kekasihnya terancam bahaya, berkobar lagi semangat Ciauw In dan ia mengamuk bagaikan seekor naga terluka. Pedangnya berkelebatan cepat, didampingi oleh sinar pedang Sian Kim yang ganas hingga kembali kedua orang ini menjatuhkan beberapa kurban diantara para anggauta tentara yang kurang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi pemimpin barisan itu bersama Lo Sun Kang dan Hwat Sin Hwesio merupakan lawan yang benar-benar tangguh sehingga Ciauw In dan Sian Kim terpaksa melompat jauh dan melarikan diri ke dalam hutan. Para musuhnya mengejar dari belakang. Dengan bingung kedua orang muda yang sudah terkurung oleh banyak lawan itu melarikan diri ke dalam hutan yang amat luas itu, dan Sian Kim sambil memegang tangan Ciauw In mengeluh.

   "Koko, kau maafkan aku yang menyeretmu ke dalam keadaan yang demikian sengsara..."

   "Hush, jangan berkata demikian, moi-moi..."

   "Koko,kalau kau tidak membela aku, kalau saja kau tidak... tidak mencintaku... tentu kau akan hidup bahagia dan selamat..."

   Tak tertahan lagi Sian Kim menangis sambil masih berlari-lari.

   "Aku... aku tak berharga kau bela mati-matian, koko... aku... aku orang busuk dan kejam..."

   "Diamlah, moi-moi diamlah... kita masih ada harapan untuk melepaskan diri dari kepungan mereka... jangan kuatir, ada aku di sini yang akan membelamu!"

   Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun bayangan seorang tua dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang tua yang tinggi kurus dan berjubah kuning. Inilah Kim Kong Tojin, orang yang telah menduduki tingkat kelas satu dari Kun-lun-pai!

   "Hoa-san Taihiap dan Hek-lian Niocu! Dosa-dosa kalian telah terlalu besar maka terpaksa hari ini pinto akan melanggar pantangan membunuh, kecuali kalau kalian mau menyerah dengan baik-baik."

   "Siapakah totiang dan mengapa pula memusuhi kami?"

   Tanya Ciauw yang terkejut sekali melihat gerakan kakek ini ketika melompat turun, karena maklum bahwa itulah gerakan seorang yang memiliki ilmu ginkang yang lebih tinggi tingkatnya dari kepandaiannya sendiri!

   "Pinto adalah Kim Kong Tojin dari Kun-lun-pai dan tentu tak perlu pinto jelaskan lagi dosa apa yang telah kalian perbuat terhadap Kun-lun-pai."

   Sambil berkata demikian, Tosu itu mencabut pedangnya dari pinggang. Mendengar ini, Ciauw In maklum bahwa kali ini ia harus bertempur mati-matian untuk menentukan mati atau hidup, maka ia segera berkata kepada Sian Kim.

   "Kim-moi, kau larilah, biar aku yang menghadapi totiang ini. Kau masih mempunyai kesempatan, larilah secepatnya dari sini dan mintalah perlindungan kepada suhuku di Hoa-san. Beliau seorang yang berhati mulia, tentu akan menolong seorang yang telah insaf dari kesalah-kesalahannya. Larilah, kekasihku, jangan sampai kau menjadi korban pula."

   Bukannya menurut permintaan Ciauw In ini, Sian Kim bahkan tiba-tiba menangis terisak-isak dengan amat sedihnya. Hatinya hancur luluh mendengar ucapan ini dan sadarlah ia betapa ia membikin celaka pemuda ini, telah melakukan perbuatan yang amat jahat. Pemuda semulia ini telah ia seret ke dalam jurang kehinaan, dan cinta pemuda ini kepadanya benar-benar suci murni! Ah, ia menyesal sekali, akan tetapi telah terlambat. Maka ia lalu membentak Tosu itu sambil menyerang.

   "Tosu keparat! Jangan banyak cakap, kalau kau ada kepandaian, bunuhlah kami berdua."

   Tosu itu tersenyum mengejek dan menangkis dengan pedangnya. Tangkisan ini demikian kuatnya hingga tangan Sian Kim terasa bagaikan lumpuh hingga gadis itu merasa amat kaget dan buru-buru menarik kembali pedangnya lalu menyerang lagi dengan ganas akan tetapi hati-hati.

   Ciauw In maklum bahwa kekasihnya takkan dapat menangkan Tosu itu, maka iapun lalu maju menyerang. Biarpun dikeroyok dua, Tosu itu ternyata benar-benar lihai sekali. Ilmu pedang Kun-lun Kiam-hwat memang belum tentu dapat menandingi Hoa-san Kiam-hwat dalam hal kecepatan dan kelihaiannya. Akan tetapi dalam hal lweekang dan ginkang, Tosu ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian dua orang anak muda itu, maka pedangnya merupakan sinar yang bercahaya menyambar-nyambar dan mendesak Sian Kim dan Ciauw In! Sementara itu, teriakan-teriakan para pengejar makin lama makin terdengar jelas dari tempat pertempuran itu! Ciauw In merasa putus harapan mendengar itu. Untuk melarikan diri dari Tosu ini bukanlah hal yang mudah, maka ia lalu berkata kepada Sian Kim.

   
Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Moi-moi, mari kita mengadu jiwa dengan Tosu ini!"

   Sian Kim maklum akan maksud Ciauw In maka ia membarengi pemuda itu membuat serangan yang nekad kepada Tosu itu tanpa memperdulikan pertahanan sendiri! Diserang secara hebat oleh dua orang yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi, tentu saja Kim Kong Tojin merasa terkejut dan sibuk. Ia menangkis pedang Sian Kim dan rangsekan pedang Ciauw In ke arah pergelangan tangannya membuat ia terpaksa melepaskan pedangnya dan mengirim pukulan dengan tangan kiri ke arah Ciauw In, yang tentu akan tepat mengenai dada pemuda itu kalau tidak Sian Kim menolongnya dengan lemparan segenggam jarum teratai hitam ke arah Tosu itu!

   Kim Kong Tojin cepat menggulingkan diri ke atas tanah untuk mengelak sambaran senjata halus yang amat berbahaya ini dan saat itu digunakan oleh Sian Kim dan Ciauw In untuk melarikan diri ke dalam hutan! Melihat kenekadan dua orang yang tak segan-segan mengadu jiwa itu, dan mengingat pula akan bahayanya jarum-jarum beracun dari Sian Kim, Kim Kong Tojin merasa ragu-ragu untuk mengejar karena hutan itu memang liar dan penuh pohon-pohon hingga mudah bagi yang dikejar untuk melakukan serangan tiba-tiba. Ia memungut pedangnya dan menanti datangnya para pengejar lain, tiada hentinya mengagumi ilmu pedang kedua orang muda itu. Sementara itu, dengan napas tersengal-sengal, Ciauw In dan Sian Kim berlari terus dan ketika mereka tiba di sebuah padang rumput, tiba-tiba Ciauw In roboh terguling! Sian Kim menjerit dan menubruk pemuda itu.

   "Koko... kau kenapakah? Apakah kau terluka?"

   Ciauw In menggelengkan kepalanya.

   "Tidak... moi-moi, aku tidak terluka... akan tetapi... penyakit lama... isi dadaku terasa lemas... kosong..."

   Pemuda itu merebahkan kepalanya sambil memandang kepada Sian Kim yang menangis tersedu-sedu dan memeluki dadanya.

   "Koko... koko... ampunkan aku, koko... akulah yang membuatmu begini..."

   Ciauw In mengangkat tangannya yang lemas dan merangkul pinggang Sian Kim.

   "Hush... jangan berkata begitu, adikku... aku sayang padamu... kau... larilah cepat-cepat tinggalkan aku... kau masih terlampau muda dan... cantik untuk tewas di sini..."

   "Koko...!"

   Sian Kim tak dapat mengeluarkan kata-kata lain lagi karena ia merasa lehernya seakan-akan tercekik. Kemudian ia dapat menekan perasaannya dan berkata dengan mata penuh air mata.

   "Koko, dengarlah pengakuanku. Aku... akulah pembunuhmu, aku... aku tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir bagimu. Akulah yang menyebabkan kematianmu, koko, aku yang membunuhmu dengan ini..."

   Ia mengeluarkan saputangan hijau dari balik baju di bagian dadanya. Ciauw In tersenyum, mengulurkan tangan yang lemas dan mengambil saputangan itu yang terus ditempelkan pada hidungnya hingga ia menjadi agak kuat lagi.

   "Kau boleh bilang... sesuka hatimu, moi-moi... akan tetapi aku... aku tetap cinta padamu sampai nafas terakhir..."

   Saat itu merupakan saat yang paling sengsara dan menghancurkan hati bagi Sian Kim, perasaan yang belum pernah dirasai selama hidupnya. Ia menyesal sekali, menyesal bukan main. Kalau dulu-dulu ia dapat insaf dan menjadi orang baik-baik, ia tentu akan dapat hidup sebagai seorang isteri yang amat berbahagia di samping seorang suami seperti Ciauw In ini...! Ia dicinta sepenuh jiwa oleh pemuda ini dan ternyata... iapun mencinta Ciauw In diluar kemauan dan kesadarannya sendiri. Dan ia mengetahui hal ini setelah terlambat, setelah pemuda ini sekarang berada dalam cengkeraman maut dan tak dapat ditolong lagi! Sian Kim tak kuat menahan kesedihan hatinya dan makin hancur hatinya melihat betapa air muka Ciauw In makin lama makin membiru!

   "Koko, jangan kau tinggalkan aku...!!"

   Ia menjerit dan sambil mendekap kepala pemuda itu pada dadanva ia menangis keras. Pada saat itu, datanglah dua orang ke tempat itu dan memandang Sian Kim dengan muka penuh rasa benci.

   "Perempuan keparat! Akhirnya kami dapat bertemu dengan kau di sini!"

   Terdengar bentakan keras dan ketika Sian Kim manengok, ia melihat Bwee Hiang dan Ong Su berdiri di situ dengan senjata di tangan! Dua orang musuh besarnya, bahkan ketiga-tiganya dengan Ciauw In, telah berada di hadapannya! Juga Ciauw In mendengar dan mengenal bentakan Bwee Hiang tadi maka ia lalu menggerakkan kepalanya menengok. Biarpun ia tak dapat menggerakkan tubuhnya lagi, akan tetapi ia masih dapat menggerakkan leher untuk menengok dan ketika melihat kepada kedua adik seperguruannya, ia berkata dengan lemah kepada Sian Kim.

   "Kim-moi... kau larilah... jangan kau lawan mereka... jangan kau ganggu sumoi dan suteku... larilah kau, kekasihku... selamat... selamat..."

   Dan tiba-tiba leher Ciauw In lemas dan kedua matanya tertutup lalu kepalanya terkulai!

   "Koko...!!"

   Sian Kim menjerit ngeri dan menubruk Ciauw In yang telah menghembuskan nafas terakhir. Kemudian dengan muka pucat Sian Kim bangkit berdiri dengan pedang di tangan. Pada saat itu, para pengejar yang dipimpin oleh Kim Kong Tojin juga sudah tiba di tempat itu dan mereka semua lalu mengurung Sian Kim dengan senjata siap di tangan masing-masing. Sian Kim memandang kepada mereka semua dengan mata sayu dan muka pucat, kemudian ia menatap muka Bwee Hiang dan suaranya terdengar tak bernada ketika ia berkata.

   "Bwee Hiang, aku tahu bahwa kau dan semua orang datang hendak menangkap atau membunuhku! Sekarang, setelah terlambat, ku akui bahwa aku telah hidup sebagai seorang jahat! Kau telah membunuh ayahku dan sekarang terbuka mataku bahwa ayahku memang jahat pula! Kau semua berhak membunuhku dan memang orang seperti aku pantas dibunuh, akan tetapi... dia ini..."

   Ia menunjuk ke arah mayat Ciauw In yang menggeletak di bawah kakinya,

   "Dia ini seorang gagah... seorang yang melakukan kejahatan bukan atas kehendak sendiri... Dia mencintaku... dengarkah kalian semua? Dia mencintaku! Mencinta dengan tulus ikhlas dan suci murni! Dan aku... aku yang membunuhnya... aku yang meracuninya..."

   Air matanya jatuh berderai,

   "Akan tetapi aku cinta padanya...! Ya, aku cinta padanya dan aku ingin mati sebagai mempelainya...! Kalian jangan sia-siakan jenazahnya, jangan sla-siakan jenazah Hoa-san Taihiap, suamiku...! Kuburlah jenazahnya baik-baik, tentang mayatku, aku tak perduli. Aku seorang jahat, kalian boleh hancurkan mayatku kalau kalian kehendaki, aku beri makan kepada anjing, aku tak perduli!"

   Setelah berkata demikian, ia menggerakkan pedangnya dan Kim Kong Tojin berseru.

   "Tahan dia!"

   Akan tetapi terlambat, pedang di tangan Sian Kim telah membabat leher sendiri sehingga hampir putus dan tubuhnya terguling roboh di atas tubuh Ciauw In! Darah menyembur keluar dari lehernya, membasahi tubuhnya sendiri dan tubuh Ciauw In. Bwee Hiang menggunakan kedua tangan untuk menutupi matanya dan ia menangis terisak-isak, sedangkan Ong Su mengepal-ngepal tinjunya. Pikirannya tak keruan dan hatinya merasa gemas, marah, menyesal, dan juga kasihan dan bersedih. Bwee Hiang lalu mempergunakan saputangannya menyusuti air matanya lalu sambil menghadapi semua orang, terutama Kim Kong Tojin, ia menjura dan barkata.

   "Cuwi sekalian yang mulia! Kita sama-sama mendengar ucapan terakhir dari perempuan yang jahat dan biangkeladi semua malapetaka ini dan karenanya tentu cuwi sekalian maklum pula bahwa betapapun besarnya kesalahan yang telah dilakukan oleh suhengku yang kini telah tewas, namun sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan perguruan kami Hoa-san-pai! Orang yang berdosa telah menemui ajalnya dan kami berdua murid Hoa-san-pai mewakili suhu menghaturkan maaf sebanyaknya atas segala dosa yang telah dilakukan oleh mendiang suheng kami itu!"

   Kemudian, sambil menahan mengucurnya air mata, Bwee Hiang melanjutkan kata-katanya.

   "Dan kami mohon kepada cuwi sekalian untuk mengijinkan kami berdua mengurus kedua jenazah ini baik-baik."

   Kim Kong Tojin menarik napas panjang dan berkata.

   "Ah, memang orang-orang muda harus berhati-hati terhadap perasaan sendiri, terutama menjaga nafsu jahat yang selalu hendak menonjolkan diri, menguasai hati dan fikiran. Kalau iman kurang teguh dan kuat, maka beginilah jadinya, seperti Hoa-san Taihiap yang tadinya terkenal gagah perkasa dan budiman, ternyata runtuh imannya menghadapi seorang wanita cantik yang jahat! Anak-anak muda, tentu saja kami tidak menghubungkan kejadian ini dengan perguruan Hoa-san-pai hanya pinto merasa ikut menyesal atas kegagalan Ho Sim Siansu memilih murid..."

   Setelah berkata demikian, Tosu ini lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh semua tokoh Kun-lun-pai dan juga para tentara pemerintah yang melakukan pengejaran segera meninggalkan tempat itu untuk membuat laporan kepada atasan mereka.

   Ong Su dan Bwee Hiang lalu mengubur jenazah Sian Kim dan Ciauw In, dijadikan dua makam yang berdampingan. Diam-diam Ong Su makin kagum terhadap sumoinya yang selain gagah perkasa, juga berbudi mulia ini. Dan Bwee Hiang diam-diam juga mengakui bahwa apabila dibandingkan, biarpun Ong Su tidak segagah dan setampan Ciauw In, akan tetapi ji-suhengnya ini lebih jujur, sederhana, dan beriman teguh sehingga tak mungkin tersesat seperti Ciauw In! Mereka lalu kembali untuk membuat laporan kepada Ho Sim Siansu dan ketika pertapa tua itu mendengar peristiwa itu, ia memeramkan matanya untuk beberapa lama dan mempergunakan kekuatan batinnya untuk menahan gelora kedukaan yang menggelombang di dalam dadanya. Suaranya terdengar lemah ketika ia berkata.

   "Jadikanlah peristiwa suhengmu ini sebagai contoh, Bwee Hiang dan Ong Su. Memang tidak selamanya kepandaian itu mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, semua tergantung dari orang yang memiliki kepandaian itu. Lebih berguna seorang berkepandaian rendah yang berhati bersih daripada seribu orang berkepandaian tinggi yang berhati kotor, karena kepandaiannya itu hanya akan mendatangkan kejahatan dan malapetaka belaka. Oleh karena itu, kelak didiklah anak-anakmu agar menjadi orang yang beriman teguh dan berbatin bersih, kuat menghadapi segala macam godaan dunia yang akan menjerumuskan diri sendiri ke jurang kesesatan!"

   Setelah banyak menerima petuah dari Ho Sim Siansu, Bwee Hiang dan Ong Su lalu menuju ke kota Keng-sin untuk memberi keputusan tentang perjodohan mereka kepada orang tua masing-masing yang telah lama menanti-nanti di kota itu. Dan keputusan mereka itu menggirangkan ibu Bwee Hiang dan kedua orang tua Ong Su yang segera sibuk memilih hari baik dan bulan baik untuk melangsungkan pernikahan kedua orang muda itu.

   T A M A T

   andu, http://indozone.net/literatures/literature/542

   22 Maret 2009 jam 3:59pm

   


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini