Ceritasilat Novel Online

Rajawali Lembah Huai 10


Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Di waktu dia berusia lima enam tahun, dia pernah tinggal di kota itu dan masih ingat akan kebesaran dan keindahannya, dan oleh karena itulah maka kini dia menuju ke Nan-king. Seperti juga Cu Goan Ciang, di sepanjang perjalanan Shu Ta melihat kesengsaraan rakyat, terutama yang hidup di pedusunan dan dia merasa prihatin sekali. Agaknya pemerintah penjajah sama sekali tidak mau memperdulikan nasib rakyat dari negara yang dijajahnya. Para pejabat pemerintah penjajah hanya memikirkan kesenangan diri sendiri masing-masing, dari kaisarnya sampai pejabat paling kecil. Bukan saja mereka tidak memperdulikan nasib rakyatnya, tidak mengulurkan tangan untuk menolong, sebaliknya mereka bahkan melakukan pemerasan di sana-sini, demi untuk memenuhi kantung mereka yang sudah penuh. Pada suatu hari, tibalah dia di jalan yang melintasi sebuah bukit kecil, di sebelah utara kota Nan-king. Dari tempat itu, ke Nan king masih sejauh tiga puluh li lagi. Tengah hari itu amatlah teriknya.

   Tubuh Shu Ta sudah basah oleh keringat, maka diapun berhenti di tepi jalan, duduk di bawah pohon besar yang rindang. Jalan itu sepi sekali. Dia menurunkan buntalan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah guci yang terisi air jernih. Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda. Dia memegang guci dan tidak jadi membuka tutupnya karena dua ekor kuda yang berlari congklang ke tempat itu menimbulkan debu. Tidak sehat kalau dia minum pada saat itu, tentu banyak debu ikut memasuki mulutnya. Dia mengangkat muka memandang. Dua ekor kuda yang bagus, tinggi besar, jelas kuda-kuda pilihan yang mahal. Juga pakaian kudanya menunjukkan bahwa penunggangnya adalah orang-orang kaya. Dan memang benar. Pemuda dan gadis yang menunggang kuda itu jelas orang kaya, bahkan tentu bangsawan karena pakaian mereka yang indah. Dari model topi mereka, Shu Ta dapat menduga bahwa mereka yang berkedudukan tinggi dan kaya raya.

   Yang mengherankan hatinya, kalau mereka itu putera dan puteri bangsawan tinggi Mongol, kenapa berkeliaran berdua saja tanpa pengawal? Biasanya, para pembesar Mongol kalau keluar kota selalu dikawal ketat karena tentu saja ada kemungkinan mereka diserang oleh para pemberontak, yaitu patriot-patriot yang memusuhi penjajah Mongol. Kedua orang itu tiba-tiba menahan kuda mereka dan memandang kepada Shu Ta. Shu Ta yang tadi mengamati mereka, merasa canggung. Pemuda Mongol itu tampan dan gagah, akan tetapi gadis itu lebih hebat lagi. Begitu cantik jelita dan memiliki sepasang mata yang demikian tajam seperti sepasang bintang! Dia menjadi gugup dan menuangkan air jernih dari guci mulutnya. Dia mendengar suara wanita bicara kepada pemuda itu dan si pemuda bangsawan berseru.

   "Heii, sobat, jangan dihabiskan air itu!"

   Tentu saja dia terkejut dan heran, menunda minumnya dan menutupi lagi guci arinya dengan cepat agar tidak kemasukan debu yang masih mengepal. Kini dua orang muda bangsawan itu sudah turun dari kuda, membiarkan kuda mereka makan rumput dan mereka melangkah menghampirinya. Shu Ta tidak tahu harus berbuat apa, hanya memandang seperti orang kehilangan akal. Dia merasa heran mengapa tidak timbul kebencian dalam hatinya terhadap mereka, seperti yang dibayangkannya dahulu ketika dia masih berada di kuil.

   Kalau dia membayangkan orang Mongol, selalu timbul kebencian di hatinya karena mereka telah menjajah tanah air dan bangsanya. Akan tetapi, kini berhadapan dengan seorang pemuda dan seorang gadis Mongol, entah mengapa, dia tidak merasakan kebenciannya itu! Memang tidak mengherankan karena muda mudi itu sama sekali tidak mempunyai penampilan yang cukup untuk menimbulkan perasaan benci.. Mereka memiliki gerak-gerik yang lembut, sikap mereka halus dan pandang mata merekapun riang dan tidak mengandung kekerasan atau kesombongan seperti yang seringkali dia dengar.

   "Maafkan kami, sobat. Tadi adikku melihat engkau minum dan kami memang sedang kehausan. Dalam keadaan hampir mati kehausan ini, tidak ada yang lebih nikmat dari pada air jernih. Kalau engkau tidak keberatan, sobat. Bolehkah kami minta sedikit air minum dari gucimu itu?"

   Shu Ta memandang bengong. Dua orang muda bangsawan Mongol yang begitu kaya raya kini minta air minum darinya di tengah jalan yang sunyi? Dia sendiri tidak akan percaya kalau mendengar orang bercerita seperti itu. Biasanya, demikian yang sering didengarnya, orang-orang Mongol menganggap orang pribumi seperti binatang saja, memandang remeh dan rendah. Akan tetapi, pemuda bangsawan ini bersikap demikian ramah, sopan dan bersahabat. Minta air minum dari gucinya! Seperti dalam mimpi saja, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dia menyodorkan guci air minumnya yang masih tiga perempat penuh kepada pemuda bangsawan itu. Pemuda Mongol yang usianya sekitar dua puluh dua tahun itu menerima guci air dan menyerahkannya kepada gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu tanpa bicara pula.

   Gadis itu menerima guci, menoleh dan memandang kepada Shu Ta dengan mata bintangnya, kemudian membuka tutup guci dan menengadahkan mukanya, lalu menuangkan air jernih dari guci itu ke dalam mulutnya yang dibuka sedikit. Gerakannya luwes dan tidak tergesa-gesa, air yang dituangkannya pun mengalir kecil memasuki rongga mulutnya dan nampak lehernya bergerak-gerak lembut ketika ia minum dan menelan air itu. Agaknya ia memang haus sekali, ia tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi dan memberikan guci kepada kakaknya. Terdengar suaranya yang merdu dan sama sekali tidak terdengar asing, seolah ia seorang gadis Han aseli.

   "Bukan main nikmat dan lezatnya air ini!"

   Pemuda bangsawan itu tersenyum, lalu diapun minum beberapa teguk, kemudia menutup kembali guci itu dan menyerahkannya kepada Shu Ta yang masih tertegun.

   "Enak sekali! Engkau tahu, adikku, apa yang membuat air jernih ini demikian enaknya?"

   "Tentu saja aku tahu. Kehausan kita itulah yang menjadikan air apapun terasa enak, bukankah begitu?"

   "Ha-ha, engkau pintar. Memang, tidak ada minuman yang enak melebihi enaknya air biasa bagi seorang yang kehausan, dan tidak ada makanan seenak makanan bagi seorang yang kelaparan!"

   Shu Ta kagum. Dua orang kakak beradik bangsawan Mongol ini jelas bukan orang-orang sombong yang bodoh, mereka terpelajar.

   "Banyak terima kasih atas kebaikanmu memberi minuman kepada kami, sobat. Kami juga ingin beristirahat di sini. Sekalian membiarkan kedua ekor kuda kami beristirahat. Hari amat panasnya. Kami tidak mengganggumu, bukan?"

   Kata pemuda bangsawan itu.

   Shu Ta tidak menjawab, seperti tadi, dia tidak mengeluarkan suara, hanya menggeleng kepala tanda bahwa dia tidak berkeberatan. Pemuda dan gadis itupun duduk di atas batu. Pemuda itu langsung duduk, akan tetapi gadis itu meniup untuk membersihkan debu dari batu sebelum ia mendudukinya. Sejak tadi, Shu Ta memandang penuh perhatian karena dia benar-benar merasa heran bukan main. Mereka itu jelas anak-anak bangsawan Mongol, kaya-raya, pakaian mereka indah. Kuda mereka saja demikian hebat dan mahal harganya. Orang biasa bekerja beberapa tahun lamanya belum tentu dapat membeli seekor kuda seperti itu! Dan anehnya, mereka itu mau duduk-duduk di atas batu dengan dia, bahkan telah minum air jernih biasa dari guci airnya, minum tanpa cawan, dituang begitu saja ke mulut! Orang-orang apakah mereka ini? Dia memandang penuh perhatian.

   Pemuda Mongol itu berusiah dua puluh dua tahun, tampan dan gagah sekali, juga wajahnya cerah dan mulutnya selalu dihiasi senyum. Gerak-gerinya halus dan ketika bicara tadipun lembut dan kata-katanya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar. Adapun gadis Mongol yang menjadi adiknya itu berusia delapan belas tahun, juga cantik jelita, terutama sekali matanya yang lebar dan tajam sinarnya itu dan mulutnya yang menggairahkan. Pendeknya, banyak pemuda dan gadis tentu akan terpesona dan tergila-gila melihat mereka berdua! Agaknya sikap mereka yang lembut dan sama sekali tidak membayangkan kecongkakan sikap para bangsawan pada umumnyalah yang membuat Shu Ta sama sekali tidak merasa marah atau benci kepada mereka.

   Dia tahu bahwa andaikata kedua orang ini bersikap tinggi hati, pasti dia akan membenci mereka karena maklum bahwa mereka ini adalah orang-orang Mongol si penjajah! Kakak beradik bangsawan Mongol itupun beberapa kali memandang kepada Shu Ta dan akhirnya gadis itu tertawa, suara tawanya merdu dan agak bebas, tidak seperti tawanya gadis Han yang biasanya menahan suara tawa mereka bahkan menutupi mulut dengan ujung lengan baju. Gadis ini tertawa begitu saja tanpa menutupi mulutnya dan dia teringat kepada Ji Kui Hwa, puteri Hartawan Ji di dusun Cang-cin itu. Kui Hwa juga suka tertawa bebas, akan tetapi masih menundukkan mukanya seperti hendak menyembunyikan mulutnya. Gadis Mongol ini tidak menunuduk malah mengangkat muka memandang langit sehingga Shu Ta dapat melihat mulut yang agak terbuka itu dan sekilas dapat melihat rongga mulut yang merah dan deretan gigi yang putih mengkilap.

   "Heh-heh-heh, koko (kakak), sobat ini melihat kita seperti orang yang selamanya belum pernah melihat orang-orang seperti kita. Dipandang seperti itu, aku mempunyai perasaan aneh, seolah-olah mataku tiga, atau ada tanduk di atas kepalaku!"

   Pemuda itu tertawa pula dan memandang kepada Shu Ta.

   "Moi-moi (adik), pemuda mana yang tidak akan memandangmu dengan terpesona? Engkau terlalu cantik jelita bagi mata setiap orang pemuda."

   "Ihhh, koko! Jangan mengejekku. Engkaulah yang terlalu tampan sehingga banyak gadis tergila-gila kepadamu dan mengitarimu seperti sekelompok kupu-kupu menyerbu setangkai kembang."

   "Wah, itu terbalik namanya, Mimi! Akulah kupu-kupu atau kumbangnya, dan merekalah kembang-kembangnya, ha-ha-ha!"

   Pemuda itu tertawa dan dia kini menghadapi Shu Ta. Suaranya ramah bersahabat ketika dia bicara kepada Shu Ta.

   "Sobat, agar menenangkan dan meyakinkan hati adikku yang manja ini, maukah engkau mengaku sejujurnya, kenapa engkau memandangi kami seperti itu? Seperti orang terpesona dan terheran-heran?"

   Sejak tadi Shu Ta telah mampu menguasai perasaannya. Dia melihat betapa kakak beradik ini bicara dalam bahasa pribumi yang amat fasih sehingga mudah diduga bahwa mereka memang sehari-hari mempergunakan bahasa pribumi, bukan bahasa Mongol. Juga mereka saling menyebut koko dan moi-moi seperti kebiasaan orang pribumi, Sebuah kenyataan menambah kekaguman dan keheranannya, yaitu betapa kedua orang muda bangsawan ini berwatak jujur, terus terang dan suka pula bergurau.

   "Terus terang saja, aku memang terpesona dan terheran-heran, akan tetapi bukan karena keindahan wajah kalian, walaupun kalian tampan dan cantik seperti dewa dan dewi."jawab Shu Ta yang memang pandai bicara sambil tersenyum, siap untuk menyerang keturunan penjajah ini secara halus.

   "Ehh? Kalau begitu, apa yang kauherankan?"

   Gadis itu bertanya, ingin tahu sekali.

   "Jangan-jangan benar ada sesuatu yang aneh pada diriku! Apakah ada coreng moreng pada mukaku? Apakah ada pakaianku yang terbalik memakkainya, atau jangan-jangan tumbuh tanduk benar-benar di kepalaku!"

   Ia meraba-raba kepalanya yang tertutup topi bulu yang indah. Kakaknya tertawa mendengar kelakar adiknya dan Shu Ta juga tersenyum. Bagaimana mungkin dia dapat menyinggung perasaan hati seorang gadis yang begini polos dan lucu? Tapi ia seorang gadis Mongol, bantah pikirannya sendiri.

   "Yang membuat aku heran adalah keadaan dan sikap kalian. Kalau kalian ini kakak beradik dari dusun, orang-orang miskin yang tidak mempunyai sepeserpun uang di saku, yang mempunyai kaki dengan sepatu butut yang melakukan perjalanan, dengan pakaian butut, yang setiapsaat disiksa rasa lapar dan haus tanpa mampu membeli makanan dan minuman, maka aku tentu tidak akan merasa heran melihat kalian minta air minum padaku dan duduk di sini bersamaku. Akan tetapi kalian adalah dua orang bangsawan muda yang kaya-raya, berlebih-lebihan dan berlimpahan, dua ekor kuda kalian saja akan mampu memberi makan kepada orang sedusun yang kelaparan kalau dijual. Dan kalian minta air minum padaku dan duduk di atas batu. Ini aneh sekali!"

   Kakak beradik itu saling pandang dan tersenyum, akan tetapi senyum mereka senyum pahit. Pemuda itu menarik napas panjang.

   "Aihh, sejak kami masih kecil, betapa seringnya kami mendengar keluhan dan protes, walaupun belum pernah ada yang bicara sedemikian terang-terangan dan tanpa takut seperti engkau, sobat! Kami kakak beradik sejak mulai dapat berpikir, telah melihat keadaan rakyat jelata yang dilanda kemiskinan, akan tetapi apa yang dilakukan oleh dua orang kakak beradik seperti kami? Eh, kalau boleh kami mengetahui, engkau ini siapakah? Jelas bukan pemuda dusun. Cara bicaramu teratur dan berisi. Apakah engkau seorang pendekar?"

   Shu Ta menunduk, sikapnya acuh dan menggeleng kepala tanpa menjawab.

   Kembali kakak beradik itu saling pandang, kemudian si adik yang bicara.

   "Sobat, kami tidak ingin memaksakan kehendak untuk berkenalan. Akan tetapi, engkau boleh tahu bahwa namaku Bouw Mi, biasa dipanggil Mimi, dan ini kakakku bernama Bouw Ku Cin dan kami berdua adalah putera dan puteri Menteri Bayan yang tinggal di kota raja Peking. Kami sedang melakukan perjalanan tamasya dengan tujuan terakhir kota Nan-king. Nah, kami sudah memperkenalkan diri. Apakah engkau masih terlalu tinggi untuk berkenalan dengan kami, dua orang muda bangsa Mongol yang merasa bahwa kami sama sekali bukan orang?"

   Melihat Shu Ta masih bersikap acuh, walaupun di dalam hatinya Shu Ta terkejut setengah mati mendengar bahwa mereka ini putera Bayan, menteri yang amat berpengaruh dan besar kekuasaannya karena menjadi tangan kanan Kaisar Togan Timur, pemuda Mongol yang bernama Bouw Ku Cin itu menyambung kata-kata adiknya.

   "Sobat, engkau sungguh tidak adil. Engkau menggambarkan kami berdua seolah-olah kami ini bukan manusia dan tidak sama dengan engkau atau dengan rakyat jelata. Pada hal, apa sih bedanya? Yang berbeda kan hanya pakaian kita saja. Coba engkau yang mengenakan pakaian ini dan aku mengenakan pakaianmu, apa bedanya? Takkan ada yang tahu bahwa engkau adalah engkau dan aku adalah aku, kalau kita bertukar pakaian."

   Shu Ta tertegun.

   Wah, pemuda ini bukan seorang pemuda bangsawan kaya raya yang berkepala kosong! Juga gadis itu bicaranya sungguh lain, sedikitpun tidak mengandung sikap angkuh, bahkan begitu rendah hati untuk lebih dahulu memperkenalkan diri padanya. Pada hal, dilihat dari pakaiannya, mereka tentu mengira dia seorang pemuda dusun biasa! Sejak kecil Shu Ta tinggal di kuil dan selain ilmu silat, diapun dididik sastra dan tatasusila oleh para hwesio, maka melihat sikap kakak beradik itu, diappun merasa tidak enak. Maka, diapun bangkit dan memberi hormat kepada kakak beradik itu yang agaknya terkejut dan cepat merekapun membalas penghormatan itu dengan sikap yang sama, mengangkat kedua tangan depan dada.

   "Harap kalian memaafkan sikapku tadi. Sudah terlalu banyak aku mendapatkan gambaran para bangsawan yang hanya mementingkan diri sendiri, tidak memperdulikan nasib rakyat jelata, hidup bermewah-mewahan di atas tubuh rakyat jelata yang sekarat, dan biasanya berwatak sombong dan memandang rendah rakyat miskin. Aku tadinya tidak mengira bahwa kalian adalah dua orang muda yang terpelajar dan sopan, rendah hati dan tidak menghina rakyat kecil. Nah, namaku Shu Ta dan aku seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara di dunia ini, melihat banyak ketimpangan hidup dan ketidak adilan. Kalian memang memiliki sikap yang baik, otak yang cerdas, tidak sombong, namun sayang, kalian tergolong bangsawan tinggi yang kaya raya, keluarga penindas dan penjajah yang menyengsarakan rakyat."

   Dengan berani Shu Ta menentang pandang mata mereka. Dia berdiri dan siap menanti kemarahan (Lanjut ke Jilid 10)

   Rajawali Lembah Huai (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   kakak beradik itu. Akan tetapi, kakak beradik itu tidak menjadi marah, hanya mereka saling pandang dan muka mereka berubah agak kemerahan. Gadis itu sudah menjatuhkan diri duduk kembali ke atas batu, dan Bouw Ku Cin yang biasa dipanggil Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw) itu menghela napas, dan diapun duduk kembali.

   "Memang apa yang kaukatakan semua itu ada benarnya, saudara Shu Ta. Akan tetapi, urusan penjajahan itu apa sangkut-pautnya dengan kami berdua? Mengapa bangsa Mongol, bangsa nenek moyang kam i, telah menyerbu Cina dan menundukkannya, kemudia menjajahnya. Akan tetapi hal itu telah terjadi hampir tujuh tahun yang lalu dan kami sama sekali tidak tahu akan isi hati mendiang Temucin, pemimpin besar bangsa Mongol yang kemudian menjadi Jenghis Khan. Kami baru dilahirkan kurang lebih dua puluh tahun yang lalu dan ketika kami terlahir, keadaan sudah begini, penjajahan sudah berlaku selama puluhan tahun. Kami tidak ikut melakukan penyerbuan, tidak ikut menjajah dan ahh...., aku tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan. Hanya ini, kawan. Kalau ada nenek moyang kita melakukan kesalahan, apakah kita juga diharuskan mempertanggung jawabkan perbuatannya?"

   Shu Ta kembali tertegun dan diapun duduk kembali di atas batu, termenung memikirkan kata-kata itu.

   "Akan tetapi, kalian menikmati hasil penjajahan! Kalian hidup bermewah-mewahan sedangkan rakyat jelata hidup kelaparan. Apakah kalian tidak merasa malu, hidup senang di atas mayat rakyat jelata?"

   Kini gadis itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya mencorong menatap wajah Shu Ta.

   "Saudara Shu, jangan engkau sembarangan saja bicara, seenaknya saja menuduh kami! Kami dilahirkan dalam keluarga ayah kami dan sejak kami lahir, ayah kami sudah menjadi menteri. Dengan sendirinya kami hidup di istana ayah dan menikmati semua yang ada. Salahkah itu? Apakah kami, anak-anak ayah, harus meninggalkan keluarga ini dan hidup menderita kemiskinan bersama rakyat? Begitukah kehendakmu?"

   Kembali Shu Ta tertegun dan tidak mampu menjawab.

   "Saudara Shu Ta, kami mengerti benar perasaanmu. Kami tidak menyalahkanmu kalau engkau membenci pemerintah karena pemerintah adalah pemerintah penjajah. Memang orang-orang Monglo menjajah rakyat pribumi Cina. Dan percayalah, semenjak kami mampu berpikir, kami berdua sudah tidak setuju dengan keadaan ini. Buktinya, sampai sekarang aku tidak pernah memegang jabatan apapun, selalu menolak desakan ayah. Dan kami bergaul dengan rakyat, kami tidak menghina, tidak menindas, tidak memusuhi rakyat. Bahkan di manapun, kapanpun, kami selalu siap membantu rakyat dengan segala kemampuan kami. Jangan dikira bahwa seluruh bangsa Mongol merupakan orang-orang yang suka menindas dan menjajah. Yang menjajah itu adalah pemerintahannya, kerajaannya, bukan rakyat Mongol. Hal ini patut kauketahui, sobat! Nah, sekarang, maukah engkau bersahabat dengan kami?"

   Pemuda bangsawan itu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Akan tetapi Shu Ta pura-pura tidak melihat tangan itu.

   "Maafkan aku. Kalau aku bersahabat dengan putera puteri Menteri Mongol, tentu semua orang akan memandang rendah kepadaku dan menganggap aku pengkhianat bangsa!"

   Mimi marah sekali mendengar ucapan itu dan menolak pemuda dusun itu menolak uluran tangan kakaknya. Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Ingin ia mendamprat, akan tetapi kakaknya berkedip kepadanya dan dengan suara sungguh-sungguh akan tetapi mulutnya tetap tersenyum dia berkata.

   "Saudara Shu Ta, apakah kaukira kalau engkau sudah memusuhi semua orang Mongol lalu engkau menjadi pahlawan? Apa manfaatnya kalau engkau hanya membenci dan memusuhi semua orang Mongol, apa manfaatnya bagi rakyat yang menderita? Apakah kalau engkau memperlihatkan sikap bermusuhan dengan kami, bahkan andaikata engkau membunuh kami, hal itu dapat mengenyangkan perut rakyat yang lapar? Sobat, memusuhi dan membenci orang-orang Mongol, bukan satu-satunya cara untuk membela rakyat jelata. Lihat kami ini. Kami dimaki sebagai keturunan Mongol, dibenci oleh orang-orang yang berpikiran sempit sepertimu, akan tetapi kami dapat lebih bermanfaat bagi mereka. Sudah banyak rakyat yang kubantu, baik sandang maupun pangan, banyak yang kami selatkan dari ancaman para penjahat! Dan kau....apa yang telah kaulakukan untuk rakyat? Hanya membenci dan menghina orang Mongol. Itu saja?"

   "Koko, mari kita pergi. Dia orang yang sombong dan dungu, tidak perlu banyak bicara, takkan dia mengerti!"

   Kata gadis itu dan mereka berdua lalu melompat ke atas punggung kuda mereka.

   Cara mereka melompat ke punggung kuda, mengejutkan hati Shu Ta. Terutama gadis itu. Bagaimana mungkin seorang gadis bangsawan dapat melompat ke atas kuda yang tinggi itu dengan gerakan demikian ringannya? Tidak keliru lagi dugaannya, mereka itu tentulah dua orang muda yang pandai ilmu silat! Shu Ta mengikuti mereka yang menjalankan kuda perlahan-lahan menuju ke selatan dengan pandang matanya. Beberapa kali dia menghela napas panjang. Ucapan pemuda itu tadi seperti telah menamparnya dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Kalau dipikir-pikir, dia sendiri tidak tahu apa yang telah dia lakukan untuk rakyat semenjak dia meninggalkan kuil. Memang di dusun Cang-cin dia telah melakukan sesuatu untuk penduduk dusun itu, akan tetapi dia hanya membantu Cu Goan Ciang!

   Dia sendiri memang belum melakukan sesuatu yang bermanfaat, kecuali memperlihatkan kebenciannya kepada penjajah Mongol, kalau perasaan kebencian itu dapat dianggap sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat. Dia bangkit berdiri, menyambar buntalannya dan berjalan di jalan raya itu, ke selatan pula karena dia bermaksud pergi ke kota Nan-king. Belum lama dia berjalan, dia melihat suara gaduh di depan dan nampak debu mengebul. Dia segera lari ke depan dan segera melihat belasan orang mengeroyok kakak beradik Mongol tadi! Setelah dekat, Shu Ta berdiri bengong, tidak tahu harus berbuat apa. Sebetulnya, dia merasa heran kepada diri sendiri. Seharusnya dia mengeroyok pula dua orang Mongol itu, membantu belasan orang yang jelas merupakan orang-orang pribumi. Kenapa dia termangu dan meragu? Bukankah belasan orang itu adalah orang-orang pribumi, rakyat tertindas dan dua orang itu adalah bangsawan Mongol, sang penindas? Entah kenapa, dia diam saja dan memandang kagum.

   Tak salah dugaannya. Kakak beradik itu pandai silat, bukan hanya pandai bahkan lihai sekali! Mereka berdua sudah turun dari kuda mereka dan dengan pedang di tangan, mereka membela diri dan pengeroyokan enam belas orang yang memegang golok atau pedang, akan tetapi para pengeroyok itu sedikitpun tidak mampu mendesak kakak beradik itu! Gerakan pedang kedua orang Mongol itu cepat, kuat dan juga indah, dan Shu Ta dapat melihat bahkan gerakan pedang mereka mempunyai dasar gerakan pedang mereka untuk balas menyerang, dan Shu Ta maklum bahwa kalau mereka berdua membalas dengan pedang, tentu sudah ada pengeroyok yang roboh dan terluka parah atau tewas. Agaknya dua orang itu tidak mau melakukan pembunuhan!

   "Keroyok terus!"

   Teriak seorang yang bertubuh tinggi kurus.

   "Bunuh penjajah itu!"

   Teriak orang ke dua yang tinggi besar. Mereka berdua agaknya merupakan pimpinan karena kini mereka setelah mengeluarkan seruan itu, cepat meloncat dan menghampiri dua ekor kuda tunggangan kakak beradik itu, lalu melompat ke atas punggung dua ekor kuda yang besar, tinggi, dan kuat itu.

   "Jangan kau bawa kudaku!"

   Teriak Bouw Mimi.

   "Pencuri kuda berkedok pejuang!"

   Bentak pula Bouw Kongcu atau Bouw Ku Cin dan kedua kakak beradik ini telah meloncat dan mengejar dua ekor kuda yang akan dilarikan kedua orang pimpinan kelompok itu.

   Gerakan kakak beradik itu ternyata ringan dan cepat sekali. Mereka seperti dua ekor burung terbang saja dan sudah berada di atas punggung dua orang yang menunggang kuda. Sebelum dua orang itu dapat membela diri, kakak beradik itu telah menggerakkan tangan kiri mereka ke arah tengkuk dan dua orang perampas kuda itupun terpelanting roboh. Kakak beradik itu segera menangkap kembali kuda dan menenangkan kuda mereka. Ketika belasan orang itu melihat betapa dua orang pemimpin mereka dirobohkan, dan merekapun tadi sudah melihat betapa tangguhnya dua orang bangsawan Mongol itu, mereka lalu melarikan diri cerai berai, tidak memperdulikan lagi dua orang pemimpin mereka yang masih belum dapat bangun.

   Sambil menuntun kuda mereka, kakak beradik itu menghampiri dua orang korban mereka. Kini, si tinggi besar dan si tinggi kurasa sudah dapat merangkak bangkit duduk. Melihat semua anak buahnya melarikan diri dan dua orang muda Mongol itu sudah berada di dekat mereka, keduanya menjadi ketakutan dan menggigil. Mereka tahu bahwa orang yang berani melawan orang Mongol dan tertangkap tentu akan dihukum siksa sampai mati. Saking takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bouw Ku Cin dan Mimi.

   "Ampun...ampunkan kami, kongcu.....siocia.....ampunkan kami....."

   Mereka berdua meratap ketakutan. Kakak beradik itu saling pandang dan tersenyum. Mereka menyimpan kembali pedang mereka yang tidak bernoda darah.

   "Hemmm, katakan yang jujur, kalian tadi menghadang kami untuk melakukan perampokan, ataukah kalian ini orang-orang yang mengaku pejuang dan hendak membunuh kami karena kami adalah orang-orang Mongol?"

   "Mengaku yang jujur kalau kalian ingin hidup!"

   Mimi membentak dengan nada mengancam.

   "Ampun, kongcu dan siocia....kami....kami melihat dua ekor kuda ji-wi (kalian berdua) dan pakaian yang indah...kami....kami perampok...."

   Bouw Ku Cin mengangguk-angguk.

   "Hemm, sudah kami duga. Kalian hanyalah perampok-perampok kecil yang mengaku sebagai pejuang. Begitukah? Ataukah kalian ini pejuang-pejuang yang melakukan perampokan?"

   "Kami...kami hanya perampok...."

   "Dan mengaku pejuang?"

   "Be...benar..."

   "Manusia hina!"

   Bentak Mimi.

   "Orang macam kalian ini sebenarnya tidak pantas hidup. Kalian mengotorkan nama pejuang juga kalian mengacaukan keamanan dan mengganggu rakyat. Kalian hanya merugikan semua pihak."

   "Ampun, siocia....ampun kongcu...."

   Dua orang itu berlutut dan membentur-benturkan dahi ke atas tanah, ketakutan.

   "Pergilah! Sekali lagi kami melihat engkau merampok dan mengaku pejuang, kami tidak akan mengampunimu lagi. Pergi!"

   Dua orang perampok itu mengangguk-angguk, lalu bangkit berdiri dan melarikan diri dengan cepat meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, ketika mereka tiba di dekat semak belukar, nampak bayangan orang berkelebat dan sinar pedang berkilat menyambar. Dua orang perampok itupun roboh dan tewas seketika. Kakak beradik Mongol itu terkejut dan ketika mereka memandang penuh perhatian mereka mengenal Shu Ta yang sudah menyarungkan kembali pedangnya. Mereka saling memandang dengan pemuda yang telah mereka kenal itu.

   "Saudara Shu Ta, kami sudah mengampuni mereka berdua, kenapa engkau membunuh mereka?"

   Tegur Mimi dengan alis berkerut.

   "Orang-orang macamm mereka itu harus dibasmi. Mereka itulah yang mencemarkan nama baik para pejuang, membuat para pejuang dipandang rendah sebagai penjahat-penjahat rendah. Penjahat-penjahat seperti mereka mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat, memaksakan kehendak mereka, merampok dan membunuh."kata Shu Ta.

   Bouw Kongcu dan Mimi tidak berkata-kata lagi, dan Bouw Kongcu lalu mengambil sebatang golok besar milik para perampok yang tercecer, kemudian mempergunakan golok besar itu untuk menggali tanah. Shu Ta memandang dengan heran. Ketika melihat Bouw Siocia juga mengambil sebatang golok dan membantu kakaknya tanpa bicara, Shu Ta merasa semakin heran.

   "Eh, apa yang kalian lakukan?"

   Tanyanya menghampiri.

   Bouw Kongcu menghentikan pekerjaannya, mengangkat muka memandang kepada Shu Ta lalu berkata.

   "Menggali lubang untuk mengubur dua mayat itu, apa lagi kalau bukan untuk itu?"

   "Tapi....tapi....mereka itu penjahat yang tadi hendak merampok dan membunuh kalian!"

   Shu Ta berseru heran dan kaget.

   "Kalau begitu, mengapa?"

   Kata Bouw Siocia.

   "Mereka memang jahat, selagi masih hidup tadi! Kini, mayat mereka tidak dapat kita anggap jahat, dan kalau dibiarkan membusuk tanpa dikubur, hanya akan mengotorkan tempat ini dan akan mengganggu orang-orang hidup yang kebetulan lewat di sini."

   Kakak beradik itu sudah melanjutkan penggalian mereka. Shu Ta merasa kagum bukan main. Dalam keadaan biasa saja, mana ada dua orang muda bangsawan, putera dan puteri Menteri Besar Bayan, mau menggali lubang kuburan mempergunakan golok saja? Apa lagi sekarang mereka menggali lubang untuk mengubur mayat dua orang perampok yang tadi menyerang mereka untuk merampok dan membunuh! Diapun merasa malu kepada diri sendiri, dan tanpa banyak cakap lagi diapun mengambil sebatang golok dan ikut menggali membantu mereka! Setelah lubang cukup besar dan mereka mengubur dua sosok mayat itu, ketiganya duduk melepas lelah.

   Bouw Siocia atau Mimi menghapus keringat di lehernya dengan sehelai sapu tangan yang dibasahi ketika tadi ia dan kakaknya dan Shu Ta mencuci tangan di sumber air yang terdapat tak jauh dari situ. Ketika tadi ikut menggali lubang, diam-diam Shu Ta berpikir bahwa apa yang diucapkan kakak beradik bangsawan Mongol tadi benar. Perjuangan mempunyai lapangan yang luas sekali. Bukan sekadar membenci orang Mongol, bukan sekadar memberontak dengan kasar, atau lebih-lebih lagi bukan dengan cara merampok seperti yang dilakukan para perampok itu.

   Dia seorang diri saja, menggunakan tenaga dan kepandaiannya, bagaiman mungkin mampu berjuang, apa lagi kalau perjuangan itu bercita-cita mengusir penjajah dari tanah air? Menghimpun tenagapun tidak merupakan hal yang mudah. Setelah bertemu kakak beradik Mongol ini, timbul suatu gagasan yang dianggapnya baik dan merupakan satu cara untuk berjuang yang lebih banyak harapannya untuk berhasil. Perjuangan yang dilakukan secara halus, yaitu menyusup ke dalam sarang musuh! Dia dapat mencari kedudukan di pemerintahan Mongol sehingga banyak hal yang menguntungkan para pejuang akan dapat dilakukan.

   Kalau dia bisa mendapatkan kedudukan yang baik di pemerintahan Mongol, yang sudah jelas dia dapat mengatur agar rakyat tidak terlalu ditindas oleh peraturan-peraturan yang mencekik dan memeras rakyat. Selain itu, dia dapat mengetahui keadaan dan kekuatan pemerintah Mongol, dan kelak kalu terjadi penyerbuan para pejuang, dia dapat membantu dari dalam! Tentu saja keadaan itu jauh lebih baik dari pada ka lau dia berada di luar dan hanya mampu melakukan gangguan-gangguan kecil. Shu Ta memandang kepada mereka. Justeru pada saat itu, pemuda dan gadis bangsawan itu sedang memandang kepadanya, sehingga pandang mata mereka saling bertemu.

   "Sungguh aku merasa kagum kepada kalian berdua, Bouw Kongcu dan Bouw Siocia. Apa yang kalian lakukan tadi, mengubur dua jenazah itu, membuat aku sadar bahwa kalian, biarpun bangsawan-bangsawan muda Mongol, adalah orang-orang yang berbudi baik!"

   "Saudara Shu Ta, sesungguhnya tidak ada yang dinamakan manusia baik atau buruk itu, yang ada hanyalah manusia hamba nafsu dan manusia yang menjadi majikan diri dari nafsunya sendiri. Kami kakak beradik selalu akan berusaha agar tidak menjadi hamba nafsu, sehingga perasaan prikemanusiaan tidak akan luntur dari hati kami. Hanya nafsu yang membeda-bedakan antara agama, agama, bangsawan atau tidak, martabat tinggi atau rendah."

   "Ucapan-ucapan Bouw Kongcu seolah keluar dari mulut seorang pendeta saja, dan membuat aku merasa kagum. Sekarang agaknya sikap kalian mendatangkan perubahan dalam pandanganku. Aku tidak lagi berani memandang rendah manusia Mongol atau bangsawan apapun juga, karena pada hakekatnya manusianya sama. Maukan kalian membantuku mencarikan pekerjaan yang sesuai untukku di Nan-king? Tentu kalian mempunyai hubungan yang luas dan sekiranya dapat membantuku mencarikan pekerjaan, aku akan berterima kasih sekali."

   Kakak beradik itu saling pandang dan Mimi bertanya sambil mengerutkan alisnya.

   "Apa yang kudengar ini, saudara Shu Ta? Engkau yang tadinya membenci Mongol kini malah hendak mengabdikan diri kepada pemerintah Mongol, pemerintah penjajah yang tadinya kau kutuk?"

   Wajah Shu Ta menjadi kemerahan tetapi dia mengangkat muka, menatap wajah kakak beradik itu dengan berani.

   "Harap kalian tidak salah paham dan mengira bahwa aku tiba-tiba saja menjadi pengkhianat bangsaku. Baru saja aku membunuh dua orang perampok itu karena mereka adalah pengkhianat yang tidak segan merusak dan mencemarkan nama baik para pejuang. Tidak, Siocia, aku sama sekali bukan bermaksud mengkhianati para pejuang demi mencari kedudukan dan harta. Justeru niat ini timbul setelah aku menyadari kebenaran ucapan kalian tadi bahwa perjuangan bukan sekedar membenci pemerintah Mongol. Dengan menduduki jabatan di pemerintah penjajah, sedikit banyak aku akan dapat membantu agar rakyat tidak terlalu ditindas. Kalau dapat, aku ingin memperoleh kedudukan sebagai seorang perwira sehingga aku dapat mengawasi para pasukan Mongol agar tidak sewenang-wenang kepada rakyat jelata, dan akan kupergunakan kekuasaanku untuk menjaga ketenteraman dan membasmi para pengacau yang mengganggu rakyat."

   Kakak beradik itu mengangguk-angguk.

   "Hemm, keputusanmu ini bijaksana sekali, Saudara Shu Ta. Memang dengan jalan demikian, engkau dapat berbuat lebih banyak untuk rakyat dari pada sekadar membenci penjajah tanpa berbuat sesuatu. Akan tetapi, memasukkan engkau sebagai seorang pejabat pemerintah sama saja dengan memasukkan harimau ke dalam rumah kerajaan Goan (Mongol). Kalau sampai harimau itu membahayakan seisi rumah, bukankah berarti kami berdua yangbertanggungjawab?"

   "Terserah penilaian Bouw-kongcu. Aku hanya minta bantuan, tentu saja kalau engkau percaya kepadaku. Aku hanya ingin berbuat sesuatu untuk rakyat. Kalau hanya tenagaku seorang diri saja, aku dapat berbuat apa terhadap kerajaan Goan? Akan tetapi kalau kalian khawatir, akupun tidak akan memaksa."

   Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Bouw Kongcu berkata.

   "Saudara Shu Ta, engkau sudah minta bantuan kepada kami, hal itu saja menunjukkan bahwa engkau percaya kepada kami dan engkau beritikad baik. Kalau sebaliknya kami tidak percaya kepadamu, hal itu sungguh akan membuat kami merasa tidak enak sekali. Baiklah, kami akan mencoba membantumu, mencarikan pekerjaan untukmu. Akan tetapi, karena engkau menghendaki kedudukan sebagai perwira tentu saja kami harus melihat dulu kemampuanmu dalam ilmu silat."

   "Maksudmu, Bouw Kongcu?"

   "Tentu saja kami hendak mengujimu,"

   Kata Bouw Kongcu tenang.

   "Baiklah, mudah-mudahan aku tidak akan mengecewakan, karena aku melihat tadi bahwa kalian adalah murid-murid Butong-pai yang amat lihai."

   
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bagus, nah, mari kita bertanding pedang sejenak agar aku dapat menilai apakah engkau cukup baik untuk menduduki jabatan perwira di Nan-king."

   Berkata demikian, Bouw Kongcu sudah mencabut pedangnya. Shu Ta juga mencabut pedangnya. Dia tadi melihat betapa lihainya bangsawan muda ini, maka dia tidak berani memandang rendah dan setelah mencabut pedangnya, diapun sudah memasang kuda-kuda dengan teguh. Melihat gerakan Shu Ta membuka pasangan kuda-kuda, Bouw Kongcu berseru kagum.

   "Ah, kiranya engkau murid Siauw-lim-pai!"

   Diam-diam Shu Ta semakin kagum. Begitu melihat pasangan kuda-kudanya, pemuda Mongol itu mengenal ilmu silatnya. Inipun membuktikan bahwa Bouw Kongcu telah memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang ilmu silat.

   "Aku sudah siap, mulailah, kongcu!"

   Tantangnya.

   Bouw Ku Cin mengeluarkan teriakan nyaring dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menusuk dada. Shu Ta mengelak ke samping sambil menangkis, lalu balas menyerang. Bouw Kongcu juga dapat menangkis dengan baik dan keduanya segera saling menyerang dengan cepat dan kuat. Ternyata setelah beberapa kali mengadu pedang, keduanya maklum bahwa dalam hal tenaga, mereka sama kuat. Akan tetapi Shu Ta memiliki dasar yang lebih kuat dan matang. Hal ini tidaklah mengherankan.

   Shu Ta sejak kecil menjadi murid para pendeta Siauw-lim-pai dalam kuil, biasa hidup kekurangan dan diharuskan memiliki disiplin dan ketekunan yang luar biasa. Sejak kecil dia tidak pernah berani melalaikan latihat silatnya, maka gerakannya lebih matang. Berbeda dengan Bouw Kongcu, putera seorang menteri besar, seorang bangsawan yang kaya raya dan sejak kecil biasa dimanja. Tentu saja seringkali dia malas berlatih dan guru-gurunya sendiri, para jagoan istana tidak ada yang berani bersikap keras kepadanya. Maka tentu saja latihannya tidak setekun Shu Ta.

   Setelah lewat dua puluh lima jurus, mulai nampaklah bahwa Shu Ta lebih tangguh. Mulailah Bouw Kongcu terdesak oleh pedang Shu Ta yang makin lama makin kuat. Melihat kakaknya terdesak, Mimi merasa kagum sekali dan timbul kegembiraannya. Jarang ada pemuda yang mampu menandingi kakaknya dan ia sendiri memiliki kepandaian yang setingkat kakaknya. Iapun mencabut pedangnya dan berseru gembira.

   "Saudara Shu Ta, akupun ingin menguji kepandaianmu, menemani kakakku. Apakah engkau tidak keberatan?"

   Mendengar ucapan dengan suara ramah itu, bukan suara orang marah, Shu Ta menjawab,

   "Silahkan, nona!"

   Mimi menerjang maju dan kini kakak beradik itu mengeroyok Shu Ta. Setelah dikeroyok dua, terpaksa Shu Ta mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena dia mulai merasa betapa beratnya menandingi kakak beradik itu jika mereka maju berdua. Sekarang, barulah pertandingan berjalan seimbang, namun kalau itu merupakan perkelahian sungguh-sungguh, agaknya Shu Ta tidak akan mampu menang menghadapi pengeroyokan kedua orang bangsawan itu.

   Setelah lima puluh jurus lebih, Bouw Kongcu berseru.

   "Sudah cukup!"

   Dan diapun melompat ke belakang, diikuti adiknya. Kini kakak beradik itu dengan pedang di tangan, tersenyum memandang kepada Shu Ta penuh kagum, sebaliknya Shu Ta juga merasa kagum kepada mereka dan cepat dia memberi hormat.

   "Aku merasa kagum sekali dan mengaku kalah terhadap kalian!"

   "Aihh, saudara Shu Ta sungguh merendahkan diri. Kami berdua maju mengeroyokpun tidak mampu mendesakmu!" kata Bouw Kongcu.

   "Dengan kepandaian seperti yang kaumiliki itu, kami akan berani mintakan pekerjaan untukmu kepada komandan pasukan yang berada di Nan-king."

   Mereka lalu berangkat memasuki kota Nan-king yang tidak jauh lagi, dan karena kakak beradik itu hanya memiliki dua ekor kida, maka Shu Ta mempersilahkan mereka untuk pergi lebih dahulu memasuki kota Nan-king.

   "Harap kongcu suka lebih dahulu memintakan pekerjaan itu kepada komandan pasukan keamanan di Nan-king, aku akan menyusul belakangan dan kita bertemu nanti di sana."

   Kakak beradik itu mengangguk, kemudian mereka menunggang kuda mereka mendahului berangkat ke kota itu.

   Shu Ta juga segera menuju ke Nan-king, hatinya penuh kegembiraan dan harapan. Dia harus dapat melakukan sesuatu untuk perjuangan mengusir penjajah Mongol dari tanah air, pikirnya. Dan dia akan dapat melakukan hal yang lebih berarti kalau dia menyusup ke dalam, apa lagi kalau dia dapat memperoleh kedudukan dan kekuasaan. Setelah Shu Ta memasuki kota Nan-king, seregu pasukan yang agaknya sudah menunggu di pintu gerbagn, menghadangnya dan pemimpin regu itu bertanya dengan hormat apakah dia yang bernama Shu Ta. Tadinya, Shu Ta terkejut san meragu, takut kalau-kalau pasukan Mongol itu hendak menangkapnya. Akan tetapi melihat sikap mereka yang hormat dan lembut, diapun bertanya kembali.

   "Apakah maksud kalian menanyakan namaku?"

   Komandan regu itu tersenyum.

   "Kami diperintah oleh Bouw Kongcu untuk menjemput si-cu (orang gagah) di sini dan mengantar si-cu ke benteng di mana Bouw Kongcu dan Bouw Siocia telah menanti bersama komandan kami."

   Shu Ta merasa girang dan diapun segera mengikuti regu itu menuju ke markas besar atau perbentengan pasukan keamanan yang bertugas di Nan-king. Dan di kantor tempat markas itu, Bouw Kongcu dan Bouw Siocia telah menantinya, dan di situ terdapat pula dua orang panglima. Yang menjadi panglima di benteng itu bernama Yatucin, akan tetapi dia mempergunakan nama pribumi menjadi Yauw Tu Cin atau lebih terkenal disebut Yauw-Ciangkun (Panglima Yauw). Dia seorang Mongol asli, mukanya persegi penuh kejantanan, dengan brewok tebal dan matanya bersinar-sinar, hidungnyaa dan mulutnya besar dan bibirnya tebal. Tubuhnya tinggi agak kurus, namun penuh dengan otot melingkar-lingkar, nampak kokoh kuat.

   "Inilah saudara Shu Ta yang kami ceritakan tadi, Ciangkun,"

   Kata Bouw Kongcu, lalu dia memperkenalkan dua orang panglima itu kepada Shu Ta.

   "Saudara Shu Ta, Yauw-Ciangkun ini adalah panglima yang menjadi komandan benteng di Nan-king ini, dan yang ini adalah saudara misan kami, juga seorang panglima yang menjadi komandan di kota Wu-han dan sekarang sedang datang berkunjung ke sini, dia adalah Panglima Khabuli."

   Shu Ta memberi hormat kepada dua orang panglima itu. Orang yang diperkenalkan sebagai Yauw-Ciangkun yang menjadi komandan pasukan di Nan-king itu memang pantas menjadi seorang panglima, berwibawa dan pembawaannya memang sebagai seorang militer yang kokoh dan gagah perkasa, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Diam-diam Shu Ta kagum kepada panglima ini. Seorang seperti ini, berbangsa apapun juga, tentu memiliki watak yang keras, kasar dan jujur, tegas dan pemberani. Ketika dia memberi hormat dan memandang kepada panglima kedua yang diperkenalkan sebagai saudara misan dari kakak beradik itu, Shu Ta segera merasa kurang suka kepada panglima ini. Panglima Khabuli berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa dengan kulit hitam tebal.

   Dia memang nampak gagah dan menyeramkan, akan tetapi pembawaannya menunjukkan bahwa dia seorang tinggi hati, angkuh dan membanggakan kedudukan dan kekuasaannya. Juga matanya yang sipit itu ketika memandang kepada Bouw Siocia, bersinar dan mulutnya tersenyum menyeringai ceriwis, membayangkan bahwa dia seorang laki-laki yang mata keranjang, juga sambaran kerling matanya membayangkan kelicikan. Kalau Yauw-Ciangkun mengamati Shu Ta dengan penuh selidik, diam-diam merasa heran bahwa orang yang dipuji setinggi langit oleh kakak beradik itu, ternyata hanya seorang pemuda sederhana saja, dengan pakaian sederhana mendekati kasar, tubuhnya juga sedang saja, wajahnya tampan dan mulai tumbuh brewok di dagu dan pipinya, sebaliknya, Panglima Khabuli tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha, adik-adikku yang baik, bagaimana seorang pemuda dusun macam ini kalian usulkan agar menjadi seorang perwira? Ha-ha, jangan-jangan kalau dia melihat pertempuran, mukanya berubah pucat dan dia akan lari tunggang-langgang!"

   Khabuli tertawa-tawa dan pandang matanya mengejek dan merendahkan sekali. Dia bersikap berani karena Bouw Kongcu dan Bouw Siocia adalah adik-adik misannya. Dia sendiri adalah keponakan Menteri Bayan, maka hubungan keluarga ini membuat dia berani bersikap kasar terhadap kakak beradik itu, berbeda dengan Yauw-Ciangkun yang bersikap hormat, bukan saja mengingat bahwa mereka ini putera puteri menteri yang paling berkuasa sesudah kaisar, juga karena dia tahu bahwa kakak beradik ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri.

   "Panglima Khabuli, harap jangan menertawakan!"

   Tegur Yauw-Ciangkun.

   "Bukankah Bouw Kongcu dan Bouw Siocia sendiri yang telah menguji kepandaian saudara Shu Ta ini?"

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Kembali Khabuli tertawa bergelak. Sebetulnya, dalam hal kedudukan atau pangkat, dia masih kalah tinggi dibandingkan Yauw-Ciangkun.

   Akan tetapi karena mengandalkan pengaruh pamannya, yaitu Menteri Bayan, sudah terbiasa baginya untuk mengangkat diri sendiri dan bersikap angkuh. Dan para panglima yang biarpun memiliki kedudukan lebih tinggi darinya seperti Yauw-Ciangkun, terpaksa mengalah, mengingat akan Menteri Bayan.

   "Yauw-Ciangkun, apakah engkau mempercayai ujian yang diberikan kedua orang adikku itu? Ha ha, mereka masih amat muda, bagaimana mungkin akan mampu menilai tingkat kepandaian seseorang?"

   Melihat sikap kakak misan itu, apa lagi sejak tadi pandang mata Khabuli seperti menggerayangi seluruh tubuhnya, Bouw Siocia sudah menjadi marah sekali.

   "Kakak Khabuli, engkau terlalu memandang rendah orang!"

   Bentaknya.

   "Sekarang begini saja, Yauw-Ciangkun. Biar kakak Khabuli yang sombong itu menguji sendiri kepandaian Shu Ta! Kalau dia kalah, dia harus minta maaf kepada saudara Shu Ta! Tentu saja kalau dia berani, atau mungkin dia hanya pandai menghamburkan suara yang tidak ada gunanya saja!"

   Wajah yang kulitnya hitam dari muka Khabuli, menjadi semakin hitam, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.

   "Bagus! Dan bagaimana kalau pemuda dusun ini kalah olehku, Mimi yang manis? Mau engkau berjanji bahwa kalau dia kalah olehku, engkau harus menjamu makan minum padaku sampai mabok?"

   Ucapan ini mengandung kekurang ajaran, karena menjamu makan minum sampai mabok merupakan hal yang sma sekali tidak mungkin, mengingat bahwa Mimi adalah seorang gadis. Walaupun masih adik misannya sendiri. Akan tetapi ia sudah tahu akan tingkat kepandaian Khabuli yang tidak berselisih banyak dengan tingkatnya sendiri, maka tentu saja ia merasa yakin bahwa Shu Ta pasti akan mampu mengalahkannya.

   "Baik! Kita bertaruh. Kalau kau menang, akan kujamu makan minum, sebaliknya kalau kau kalah, jangan melanggar janji, engkau harus minta maaf kepada saudara Shu Ta karena kau telah memandang rendah kepadanya!"

   Kata Mimi.

   Bouw Kongcu sebaliknya merasa tidak enak. Diapun tahu bahwa kakak misannya yang sombong itu pasti tidak akan menang melawan Shu Ta, maka diapun mendekat dan berkata.

   "Kakak Khabuli, harap jangan lanjutkan adu kepandaian ini, karena aku yakin bahwa engkau tidak akan menang. Sudahlah, kita serahkan saja kebijaksanaan untuk menerima dan memberi pekerjaan kepada saudara Shu Ta ini kepada Yauw-Ciangkun saja."

   Akan tetapi, ucapan Bouw Kongcu yang sebetulnya menyayangkan kalau sampai kakak misannya itu nanti kalah dan mendapat malu, bahkan membuat Khabuli semakin penasaran dan marah, menganggap bahwa adik misannya itu terlalu memandang rendah kepadanya.

   "Adik Bouw Ku Cin, tanpa diuji, bagaimana kita dapat membuktikan kemampuan orang ini? Aku juga seorang panglima, sudah menjadi kewajibanku untuk ikut menguji agar pasukan kita tidak kemasukan orang yang tidak becus, agar Yauw-Ciangkun tidak menerima seseorang hanya karena orang itu kau usulkan untuk diterima. Nah, Shu Ta, majulah dan ingin kulihat kemampuanmu!"

   Tentu saja Shu Ta merasa tidak enak sekali. Orang ini masih kakak misan dari kakak beradik Bouw, dan seorang panglima. Karena dia akan bekerja di bawah perintah Yauw-Ciangkun, maka tidak akan baik kalau dia melayani Khabuli ini tanpa persetujuan dari Yauw-Ciangkun, calon atasannya. Maka, diapun menghadapi Yauw-Ciangkun dan berkata dengan sikap tenang.

   "Saya mohon petunjuk Ciangkun, apa yang harus saya lakukan."

   Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk.

   Dia sendiripun kurang senang kepada Khabuli yang biasa mempunyai watak angkuh itu. Sekarang, kakak beradik Bouw sendiri yang mengusulkan agar Khabuli menguji kepandaian Shu Ta ini. Dia percaya bahwa kakak beradik itu tidak akan sembarangan menyuruh orang yang mereka calonkan itu menandingi Khabuli kalau mereka tidak yakin akan kemampuan Shu Ta. Maka, diapun mengangguk.

   "Sebagai seorang calon perwira, engkau harus dapat membuktikan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh, oleh karena itu, setelah kini Khabuli-Ciangkun hendak mengujimu, tandingilah dia, saudara Shu Ta."

   Ruangan itu memang cukup luas dan dengan sikap tenang, setelah mendapatkan persetujuan Yauw-Ciangkun, Shu Ta lalu melangkah maju menghampiri Khabuli yang sudah berdiri di tengah ruangan dengan sikap bengis. Pria itu memang menyeramkan, tinggi besar hitam dan nampak kokoh kuat seperti sebongkah batu karang, namun, Shu Ta melihat titik kelemahan, yaitu pada pandang matanya. Pandang mata Khabuli jelas memperlihatkan ketinggian hati. Orang seperti ini akan memandang rendah lawan dan itulah kelemahannya, karena sikap memandang rendah lawan menimbulkan kelengahan. Kakak beradik Bouw tentu saja sudah yakin akan kemampuan Shu Ta, akan tetapi Yauw-Ciangkun memandang dengan khawatir. Ketika dua orang yang akan bertanding itu berdiri saling berhadapan, memang nampak jelas sekali perbedaannya, yaitu dalam penampilannya, Shu Ta kalah segala-galanya. Kalah tinggi besar, kalah kokoh dan agaknya sekali gebrakan saja pemuda sederhana itu akan roboh!

   "Ciangkun, aku sudah siap,"

   Kata Shu Ta.

   Sebelum kalimat ini habis diucapkan, Khabuli sudah mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah menerjang ke depan. Karena diapun dapat menduga bahwa orang sederhana ini tentu memiliki sedikit kepandaian maka diusulkan menjadi perwira oleh kakak beradik Bouw, biarpun dia memandang rendah, namun begitu menyerang dia sudah mengerahkan tenaganya sehingga terjangannya itu cepat dan kuat bukan main. Khabuli adalah seorang jagoan yang selain mempelajari ilmu silat, juga dia ahli ilmu gulat yang menjadi kebanggaan bangsa Mongol.

   Karena itu, terjangannya itu selain mengandung pukulan kedua tangan yang dahsyat, juga jari-jari tangannya siap untuk menangkap anggota tubuh lawan. Sekali bagian tubuh lawan dapat dicengkeram jari-jari tangan yang hitam panjang itu, akan celakalah lawan! Namun, Shu Ta yang sudah waspada dan tidak pernah memandang rendah lawan, menghadapi terjangan itu dengan gerakan lincah mengelak ke kanan sehingga tubuh tinggi besar itu bagaikan seekor gajah menyuruk ke depan. Shu Ta menggerakkan kakinya menendang ke arah tepi lutut kiri lawan, namun dalam keadaan tersaruk ke depan itu, Khabuli masih dapat mengangkat kaki mengelak dari tendangan.

   Dia membalik dan menyerang lagi dengan lebih ganas dari pada tadi. Serangannya bertubi-tubi, dan dia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Shu Ta untuk membalas. Dia menampar dari samping, menonjok dari depan, mencengkeram dari atas, dan kedua kakinya yang panjang dan besar itupun tidak tinggal diam, melengkapi hujan serangannya dengan tendangan-tendangan! Agaknya, Khabuli bernapsu besar untuk merobohkan lawan, maka dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghujankan serangan. Kakak beradik Bouw yang melihat kegarangan Khabuli ini, mau tidak mau merasa khawatir pula, apa lagi Yauw-Ciangkun yang maklum betapa besar bahayanya melawan seorang yang kokoh kuat seperti Khabuli. Namun, Shu Ta masih bersikap tenang saja walaupun dia dihujani serangan.

   Dengan elakan-elakan cepat, mempergunakan keringanan tubuhnya, juga kadang dia menangkis dari samping, dia dapat menghalau semua terjangan yang ganas itum dan sengaja dia mengeluarkan suara seperti orang menertawakan lawan. Hal ini membuat Khabuli menjadi semakin marah dan penasaran. Dia menyerang terus, terpancing kemarahannya dan tanpa memperhitungkan apa-apa lagi, diapun mengerahkan seluruh tenaga dan menyerang bertubi-tubi. Pengerahan tenaga yang terus menerus ini, membuat dia sebentar saja, setelah lewat dua puluh lima jurus, menjadi terengah-engah dan tubuhnya sudah mandi keringat. Namun, panglima raksasa ini memang seorang yang terlalu tinggi hati.

   Dia tidak dapat melihat betapa lawannya amat lincah dan memiliki gerakan yang amat cepat, melainkan dia menganggap bahwa lawan yang sama sekali belum membalasnya itu terdesak dan gentar terhadap serangan-serangannya yang bertubi-tubi. Setelah melihat lawan terengah-engah dan sambaran pukulan dan cengkeraman tangannya tidaklah seganas tadi, tanda bahwa tenaga lawan mulai berkurang, barulah Shu Ta mengirim serangan balasan. Ketika melihat lengan kanan lawan yang besar panjang itu menyambar lewat, secepat kilat dia menggunakan jari-jari tangan terbuka menghantam dari samping ke arah belakang siku lawan.

   "Dukk...!!"

   Tangannya tepat sekali mengenai otot yang berada di dekat siku dan seketika lengan kanan Khabuli tergetar hebat dan seperti lumpuh. Pada saat itu, kaki Shu Ta juga menyambar dan mengenai belakang lutut kiri lawan.

   

Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini