Rajawali Lembah Huai 6
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Hemm, saudara Cu, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan untuk dapat menikah dengan Nona Liu Bi secara terhormat?"
"Kwa-kauwsu yang perkasa, aku adalah kakak misannya, satu-satunya keluarganya yang lebih tua sehingga aku dapat mewakili kedua orang tuanya yang sudah tiada, dapat menjadi walinya. Aku berhak membicarakan urusan perjodohannya dengan terhormat. Kalau secara resmi engkau melamar Liu Bi kepadaku, lalu kuterima lamaran itu dan diadakan upacara dan pesta pernikahan secara resmi, maka pernikahan itu akan terhormat dan engkau akan mendapatkan seorang isteri yang baik dan penurut. Sebaliknya, kalau engkau menggunakan cara paksaan seperti ini, bukankah keselamatanmu akan terancam setiap saat? Engkau seperti mengawini seorang musuh besar yang tiap saat dapat saja membunuhmu."
Kwa-kauwsu terbelalak. Tadinya dia mengira bahwa setelah ketua Jang-kiang-pang itu menjadi isterinya, wanita itu akan tunduk kepadanya. Baru sekarang dia melihat kemungkinan terjadinya hal yang diucapkan tamunya itu.
"Saudara Cu, dan engkau nona Kim, mari kita bicara di dalam kamar tamu. Silahkan!"
Katanya dan sikapnya kini berubah ramah karena dia melihat bahwa tamunya ini agaknya akan dapat menolongnya dari keadaan yang gawat itu.
Tentu saja dia ingin memperisteri Liu Bi secara wajar. Dia bukan pula penjahat yang suka memperkosa wanita, apa lagi Liu Bi yang membuatnya tergila-gila dan dicintanya. Cu Goan Ciang dan Kim Lee Siang melihat betapa tuan rumah masih bersikap waspada ketika Kwa-kauwsu mengiringkan mereka masuk ke kamar tamu, sepuluh orang yang agaknya menjadi murid atau pembantu utamanya, mengiringkannya dan ikut masuk ke kamar tamu. Ketika Kwa-kauwsu mempersilahkan mereka berdua mengambil tempat duduk berhadapan dengan guru silat itu, sepuluh orang itu berdiri berkelompok di sudut ruangan, berjaga-jaga. Kalau mereka berdua menggunakan kekerasan terhadap tuan rumah, tentu sepuluh orang itu akan maju mengeroyok, dan sebentar saja seluruh penghuni dusun itu akan mengepung mereka. Setelah kedua orang tamunya duduk, Kwa-kauwsu berkata sambil mengamati wajah Cu Goan Ciang.
"Apa yang kaukatakan tadi memang ada benarnya dan aku sendiri menghendaki agar pernikahanku dengan Liu Bi dapat berlangsung secara wajar dan terhormat. Akan tetapi, bagaimana kalau ia menolak pinanganku yang resmi seperti yang pernah ia lakukan?"
Cu Goan Ciang tertawa.
"Aku mengenal betul watak adik misanku itu. Wataknya memang keras dan angkuh, tidak mudah tunduk. Karena, ketika engkau mengajukan lamaran, di pihaknya tidak ada walinya, maka ia merasa tersinggung dan menolak. Akan tetapi aku tahu bahwa adikku Liu Bi itu hanya mau berjodoh dengan laki-laki yang gagah perkasa dan mampu menandingi ilmu silatnya. Nah, kurasa engkau merupakan seorang pria yang cocok sekali dan memenuhi syarat untuk menjadi suaminya."
"Sebaiknya kalau engkau mengundan suci ke sini untuk bicara dengan kami, Kwa-kauwsu,"
Kata Kim Lee Siang yang sejak tadi diam saja. Guru silat itu memandang curiga kepada gadis manis itu.
"Hemm, aku meragukan apakah ia akan mau menerima pinanganku dengan baik."
Cu Goan Ciang cepat berkata.
"Kauwsu, kenapa engkau masih ragu? Aku yang menanggung bahwa adikku itu pasti akan mau menerimanya. Aku yang akan membujuknya. Sebaiknya kalai ia dipanggil ke sini agar dapat bicara denganku. Pula, kami bertiga berada di rumahmu, di tengah dusunmu, tidak ada yang perlu kau khawatirkan!"
Kwa-kauwsu mengangguk-angguk, benar juga, pikirnya. Andai kata Liu Bi dan adik seperguruannya ini mengamuk, dibantu oleh kakak misannya sekalipun, mereka bertiga tidak mungkin dapat lolos dari pengepungan para muridnya. Dan pemuda yang jangkung tegap ini agaknya bicara serius dan dapat dipercaya.
"Baiklah, akan kupanggil ia ke sini. Akan tetapi, kalau usaha kalian membujuknya tidak berhasil dan ia tetap hendak menolak, terpaksa kami akan menawan kalian semua!"
Kwa-kauwsu memberi isarat kepada seorang pengawal yang segera memberi hormat dan keluar dari ruangan itu. Dengan hati berdebar tegang, Goan Ciang dan Lee Siang menunggu dan untuk menenteramkan suasana, Goan Ciang berkata.
"Kwa-kauwsu, kenapa masih mencurigai kami? Kami datang dengan maksud baik, untuk mendamaikan perselisihan di antara adik misanku dan engkau sebagai calon suaminya."
Tak lama kemudian, pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka dan muncullah seorang wanita muda yang cantik sekali. Cu Goan Ciang sendiri sampai tertegun melihat betapa cantiknya gadis itu. Di belakang gadis itu, berjalan dua belas orang pengawal yang memegang golok. Wajah gadis itu agak pucat, namun pandang matanya bersinar-sinar penuh keberanian. Ia terbelalak heran melihat Lee Siang dan Goan Ciang.
"Suci! Aku dan Cu-toako datang untuk menolongmu!"
Lee Siang berseru dengan sikap gembira sekali melihat sucinya dalam keadaan selamat. Dengan sikap wajar dan wajah gembira, Cu Goan Ciang bangkit berdiri memandang gadis itu dan berseru.
"Piauw-moi (adik misan), agaknya engkau lupa kepadaku! Tidak aneh karena sudah lima tahun lebih kita tidak saling jumpa, piauw-moi, aku adalah Cu Goan Ciang, putera bibimu!"
"Suci, aku sendiri hampir tidak mengenal lagi kepada Cu-toako ketika dia datang kemarin!"
Kata Lee Siang dengan nada suara gembira.
Jang-kiang Sianli Liu Bi bukanlah seorang wanita bodoh. Sama sekali tidak. Ia seorang tokoh kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat cerdik. Kalau sampai ia dapat tertawan oleh Kwa-kauwsu adalah karena ia sama sekali tidak menduga bahwa guru silat itu demikian tergila-gila kepadanya sehingga tidak segan melakukan kecurangan dan mengeroyoknya untuk mendapatkan dirinya, secara halus maupun kasar! Kini, mendengar ucapan pemuda yang sama sekali tidak pernah dilihatnya itu dan ucapan sumoinya, iapun mengerti bahwa siapapun adanya pemuda itu, tentu dia datang diajak sumoinya untuk menolongnya. Ia lalu tersenyum, dan menghampiri Goan Ciang, memberi hormat dengan ramah.
"Aih, kiranya Cu-piauwko yang datang bersama sumoi? Akan tetapi, apa yang dapat kau lakukan piauw-ko? Aku telah menjadi tawanan Kwa-kauwsu!"
Ia menoleh ke arah guru silat itu dan memandang marah. Cu Goan Ciang memang sengaja hendak mengulur waktu sambil menunggu datangnya bala bantuan. Maka dia lalu memandang kepada Kwa-kauwsu.
"Kwa-kauwsu, kalau kami dibiarkan bertiga saja di sini, aku akan mencoba untuk membujuk dan mengingatkan, menyadarkan piauw-moiku ini agar ia menyadari bahwa kini ia telah menemukan jodohnya yang cocok dan serasi. Jangan khawatir, kami tidak akan membuat ulah macam-macam, pula, bukankah engkau dengan seluruh anak buahmu dapat mengepung tempat ini dan kami sama sekali tidak akan dapat melarikan diri?"
Kwa-kauwsu mengangguk-angguk, menganggap bahwa ucapan pemuda itu memang beralasan. Tentu saja dia akan merasa berbahagia sekali kalau Liu Bi dengan suka rela suka menjadi isterinya, bukan isteri paksaan yang kelak dapat membahayakan dirinya. Dia lalu memberi isarat kepada para murid dan anak buahnya dan merekapun lalu meninggalkan Goan Ciang, Lee Siang dan Liu Bi bertiga saja di dalam ruangan tamu itu. Tentu saja dia mengerahkan murid-muridnya untuk mengepung ruangan itu dengan ketat.
Cu Goan Ciang yang sudah mengatur siasat dengan Lee Siang, lalau mulai membujuk "piauwmoi"
Itu dengan kata-kata yang cukup lantang sehingga akan dapat terdengar oleh orang yang melakukan pengintaian, sedangkan Lee Siang dengan berbisik memberitahu sucinya, suaranya tertutup oleh ucapan Goan Ciang yang lantang, bahwa mereka bertiga harus menanti sampai datangnya para anggota Jang-kiang-pang yang akan datang menyerbu, barulah mereka bertiga akan mengamuk. Juga ia mengatakan dengan lirih bahwa pemuda itu adalah seorang kenalan baru yang menjadi pelarian karena membunuh seorang perwira dan kini hendak membalas budi karena telah ditolongnya ketika melarikan diri, memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Liu Bi yang cerdik melayani permainan sandiwara itu dan pura-pura menolak dengan suara keras.
"Dia telah mengeroyok dan menawanku, bahkan telah membunuh Ngo-liong Ci-moi yang menjadi pembantu utamaku, bagaimana mungkin aku dapat menjadi isterinya?"
Demikian antara lain dia berteriak.
"Piauw-moi, pikirkanlah baik-baik. Kesalahpahaman yang menimbulkan perkelahian itu adalah karena engkau menolak lamarannya dengan keras sehingga Kwa-kauwsu merasa terhina dan marah. Sudah wajar kalau dalam perkelahian jatuh korban. Bagaimanapun juga, engkau diperlakukan dengan sopan dan baik, bukan?"
"Itu memang benar, akan tetapi aku... aku belum ingin menikah."
"Piauw-moi, ingat bahwa arwah kedua orang tuamu tentu akan merasa tenteram kalau melihat engkau menikah. Usiamu juga tidak terlalu muda lagi, sudah sepantasnya kalau engkau menikah. Engkau dahulu selalu mengatakan kepadaku bahwa engkau hanya akan menikah dengan seorang pria yang mampu menandingimu. Sekarang, Kwa-kauwsu bahkan telah menawanmu. Dia memiliki kepandaian tinggi, juga perguruan silatnya besar, namanya cukup dikenal dan disegani, selain itu, walaupun dia seorang duda, dia belum mempunyai keturunan. Nah, mau apa lagi? Adapun tentang peristiwa perkelahian itu, aku yakin Kwa-kauwsu suka meminta maaf dan akan mengajukan pinangan dengan resmi kepada aku sebagai walimu."
Sengaja kedua orang ini berbantahan secara panjang lebar mengulur waktu. Tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar, dan tiga orang itu mendengar dengan jelas teriakan-teriakan bahwa orang-orang Jang-kiang-pang datang menyerbu, bahkan mulai terdengar teriakan-teriakan perkelahian yang riuh rendah. Inilah saatnya mereka bergerak. Lee Siang mencabut pedangnya. Ia sengaja membawa dua batang pedang dan ia menyerahkan sebatang kepada sucinya yang diterima dengan gembira. Adapun Cu Goan Ciang sendiri memang tidak membawa senjata.
Pada saat itu, pintu depan ruangan itu terbuka dan nampak Kwa-kauwsu dengan golok di tangan, bersama belasan orang muridnya berdiri di luar pintu dan dia berteriak.
"Liu Bi, Lee Siang, dan Cu Goan Ciang! Orang-orang Jang-kiang-pang datang menyerbu. Apa artinya ini?"
Sebelum Jang-kiang Sianli Liu Bi menjawab, Cu Goan Ciang mendahului dia dan dia berkata.
"Kwa-kauwsu, biarkan kami mencegah mereka. Ini tentu kesalahpahaman dari mereka yang mengira bahwa ketua mereka diperlakukan tidak baik!"
Guru silat itu meragu, akan tetapi karena keadaan gawat, diapun mengangguk dan memperingatkan.
"Cu Goan Ciang, kalau kalian menipu kami, kalian akan kami bunuh!" "Kita adalah antara calon keluarga sendiri, kenapa harus menipu?"
Katanya dan dia memberi isarat kepada Lee Siang dan Liu Bi untuk mengikutinya keluar. Guru silat itu bersama belasan orang muridnya lalu mengikuti dari belakang dan ternyata memang para anggota Jang-kiang-pang sudah mulai menyerbu sehingga terjadi perkelahian di pintu gerbang.
(Lanjut ke Jilid 06)
Rajawali Lembah Huai (Cerita Lepas)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Kini, Liu Bi yang berseru nyaring kepada anak buahnya.
"Tahan senjata!"
Melihat betapa ketua mereka dalam keadaan selamat, juga di situ terdapat pula Lee Siang, para anggota Jang-kiang-pang mundur dan berteriak-teriak dengan gembira. Mereka terdiri dari puluhan orang laki-laki dan wanita. Liu Bi sekarang memimpin dan di sebelahnya berdiri Lee Siang dan Cu Goan Ciang. Para anak buah Jang-kiang-pang berdiri di belakang mereka. Dengan mata berkilat kini Liu Bi berdiri tegak, pedang di tangan kanan dan telunjuk kirinya ditudingkan ke arah muka Kwa-kauwsu.
"Orang she Kwa, engkau manusia curang tak tahu malu. Sekarang tinggal engkau pilih, hendak mengadakan pertempuran mati-matian dan aku akan mengerahkan seluruh orangku untuk membakar dan membasmi perkampunganmu, atau kita mengadu kepandaian secara orang gagah tanpa ada pengeroyokan dan kecurangan lain!"
Sikap ketua Jang-kiang-pang itu gagah sekali. Kwa-kauwsu marah bukan main dan memandang kepada Cu Goan Ciang.
"Orang she Cu, kiranya engkau telah menipu kami! Keparat busuk, siapa engkau sebenarnya?"
Goan Ciang tersenyum.
"Kami tidak menipumu, Kwa-kauwsu, hanya mengimbangi siasatmu yang licik. Aku bernama Cu Goan Ciang dan sahabat dari nona Kim Lee Siang. Engkau menawan ketua Jang-kiang-pang dengan menggunakan kecurangan, melakukan pengeroyokan. Nah, sekarang kami menantangmu untuk mengadu kepandaian sebagai orang gagah, atau engkau lebih menginginkan diserang habis-habisan?"
Kini ketua Jang-kiang-pang baru tahu akan kecerdikan pemuda yang mengaku kakak misannya itu yang ternyata mempergunakan siasat yang nampaknya mengalah dan lunak, hanya untuk menanti datangnya bala bantuan.
"Cu-twako,"
Katanya dengan sikap manis dan tidak ragu-ragu menyebut pemuda itu twako.
"terima kasih atas bantuanmu. Akan tetapi tidak perlu twako terlibat, biar aku sendiri yang akan menghajar pengecut Kwa ini. Hayo, Kwa Teng, kita bertanding satu lawan satu! Orang macam engkau ingin memperisteri aku? Sungguh tidak tahu malu!"
Tentu saja Kwa-kauwsu marah bukan main. Dia telah dihina oleh Liu Bi di depan semua muridnya. Pada hal tadinya dia sudah mengumumkan bahwa ketua Jang-kiang-pang akan menjadi isterinya. Akan tetapi, ketika dia mengeroyok ketua itu dengan para murid andalannya, dia tahu bahwa Jang-kiang Sianli Liu Bi amat lihai dan kalau dia seorang diri menandinginya, belum tentu dia akan menang. Untuk mengadakan pertempuran, biarpun pihaknya memiliki anak buah yang lebih banyak, namun para anggota Jang-kiang-pang rata-rata lihai dan selain itu, yang amat berbahaya baginya adalah mengingat bahwa para pimpinan Jang-kiang-pang mempunyai hubungan baik sekali dengan para pejabat di Wu-han sehingga kalau terjadi pertempuran, tentu pasukan keamanan pemerintah akan berpihak kepada Liu Bi. Hal ini akan merupakan malapetaka baginya. Dia menjadi serba salah. Lalu dengan mata melotot dia menghadapi Cu Goan Ciang.
"Orang she Cu! Engkau yang menjadi biang keladi dengan menipuku sehingga terjadi pertentangan ini. Aku, Kwa Teng, menantang Cu Goan Ciang sebagai sama-sama laki-laki untuk mengadu ilmu di sini, disaksikan oleh semua anak buah kedua pihak!"
"Kwa Teng, manusia curang! Yang bermusuhan adalah engkau dan aku! Cu-twako ini adalah orang luar. Akulah yang akan menandingimu, bukan orang lain!"
Kata Liu Bi yang merasa khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan kalah karena ia tahu bahwa tingkat kepandaian guru silat itu sudah tinggi, bahkan tidak banyak selisihnya dengan ia sendiri. Akan tetapi, biarpun Lee Siang sendiri belum pernah menguji ilmu kepandaian Goan Ciang, gadis ini sudah melihat betapa pemuda itu dapat berlari cepat, bahkan memiliki tenaga lebih kuat dari padanya. Maka iapun berkata dengan senyum bangga.
"Suci, biarkan Cu-twako memberi hajaran kepada manusia sombong dan curang itu!"
Mendengar ucapan sumoinya, Liu Bi percaya bahwa pemuda itu agaknya boleh diandalkan, maka iapun tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, agaknya Kwa-kauwsu tidak berani menantang aku, maka menantang Cu-twako. Biar aku menjadi penonton saja atau menunggu siapa di antara pihak Yang-ce Bu-koan yang akan berani menantangku."
Cu Goan Ciang lalu maju menghadapi ketua atau guru dari Yang-ce Bu-koan yang marah itu. Guru silat itu memegang sebatang golok besar yang mengkilap saking tajamnya, akan tetapi Goan Ciang tidak memegang senjata.
Melihat ini, Lee Siang berkata.
"Twako, pakailah pedangku ini!"
Goan Ciang menoleh dan tersenyum kepadanya.
"Tidak perlu, Siang-moi, terima kasih. Aku tidak biasa menggunakan pedang atau senjata lain."
Tadinya dia dan Lee Siang saling menyebut twako dan siauwmoi hanya untuk bersandiwara dan bersiasat kepada Kwa-kauwsu, akan tetapi sekarang rasanya canggung kalau mengubah sebutan yang sudah akrab itu. Melihat betapa Cu Goan Ciang menghadapinya dengan tangan kosong, guru silat Kwa menjadi semakin marah, merasa dipandang rendah.
"Orang she Cu, keluarkan senjatamu!"
Tantangnya. Cu Goan Ciang memandang kepadanya dengan sikap tenang.
"Kwa-kauwsu, aku tidak perlu menggunakan senjata menghadapimu. Aku bukan orang yang suka mempergunakan senjata dan kekerasan untuk memaksakan kehendakku, apa lagi memaksa wanita yang tidak suka untuk menjadi isteriku. Biar kulawan engkau dengan tangan kosong saja."
"Manusia sombong! Keluarkan senjatamu atau jangan katakan aku curang kalau nanti tubuhmu lumat oleh golokku ini!"
Dia membentak sambil mengamangkan goloknya yang besar, berat dan mengkilap.
"Majulah, Kwa-kauwsu. Dalam suatu pertandingan, kalah atau menang adalah hal wajar, terluka atau matipun tidak perlu dibuat penasaran lagi. Aku sudah siap menghadapi golokmu dengan tangan kosong!"
Kata Cu Goan Ciang pula.
Memang pemuda ini, sejak menerima ilmu Sin-tiauw ciang-hoat (Silat Rajawali Sakti), ilmu yang khas dari Lauw In Hwesio, tidak perlu lagi mempergunakan senjata. Ilmu silat itu bahkan lebih cocok dimainkan dengan tangan kosong, karena seperti gerakan seekor rajawali, tangan itu bukan hanya dapat dipergunakan untuk memukul dan menotok, namun juga mencengkeram dan keampuhan tangan dari ilmu itu tidak kalah hebatnya dibandingkan senjata yang bagaimanapun. Kwa-kauwsu agaknya sekali ini ingin bersikap gagah. Dia memandang ke sekeliling dan berkata dengan suara lantang.
"Kalian semua menjadi saksi. Dia sendiri yang menantang golokku dengan tangan kosong, dia sendiri yang mencari mati, jangan ada yang menyalahkan aku nanti. Cu Goan Ciang, bersiaplah menyambut seranganku."
Kedua orang itu saling berdiri berhadapan dan dengan sendirinya semua orang kedua pihak membentuk lingkaran yang lebar dan bersikap di pihak masing-masing, menonton dengan hati tegang. Guru silat itu memasang kuda-kuda yang gagah, dengan golok melintang di atas kepala, siap untuk menyerang, sedangkan Cu Goan Ciang masih nampak santai saja, berdiri tegak dan mengikuti gerakan lawan yang mengitarinya dengan sudut matanya. Sikap Goan Ciang seperti seekor burung rajawali yang mengintai gerakan seekor ular yang mengitarinya dan yang mengancamnya, demikian tenang namun waspada dan setiap jaringan syaraf di tubuhnya menegang. Setelah mengitari lawan sampai dua kali putaran, tiba-tiba Kwa-kauwsu mengeluarkan bentakan nyaring,
"Hyaaaatttt...!!"
Dan goloknya menyambar dari samping kanan Goan Ciang, menyambar dari atas ke arah leher lawan. Terdengar bunyi berdesing diikuti sambaran angin saking tajam dan cepatnya golok itu menyambar. Golok itu lenyap berubah menjadi sinar terang yang menyambar, dan semua orang menahan napas karena agaknya akan sukar menghindarkan diri dari bacokan golok sehebat itu.
"Singg....!"
Golok itu mengenai tempat kosong karena dengan mudah dan ringannya tubuh Goan Ciang telah mengelak dengan menggesek kaki ke samping. Namun, Kwa-kauwsu sudah memutar pergelangan tangannya sehingga golok yang menyambar tempat kosong tadi kini membalik dan menyambar ke arah pinggang Goan Ciang. Kembali Goan Ciang mengelak dengan loncatan ke belakang dan sekali lagi golok itu menyambar, kini ke arah kedua kakinya seperti orang membabat ilalang saja. Goan Ciang melompat ke atas dan mengembangkan kedua tangannya seperti seekor burung rajawali terbang dan kini pemuda itu mulai memainkan ilmu andalannya, yaitu Sin-tiauw Ciang-hwai.
Bagaikan seekor burung rajawali saja, tubuhnya berkelebatan dan berloncatan seperti terbang, cepat bukan main dan dari atas, dari segala jurusan, dia membalas serangan lawan dengan tendangan, cengkeraman dan totokan, membuat Kwa-kauwsu menjadi sibuk sekali karena biarpun semua serangan balasan itu tidak mempergunakan senjata, namun bahanya tidak kalah dengan serangan senjata tajam. Kini, baik Lee Siang maupun Liu Bi sendiri tercengang. Mereka berdua adalah dua orang wanita gagah yang memiliki ilmu silat tinggi, sudah banyak pula melihat ilmu silat sehingga mereka tadi mengenal dasar gerakan ilmu silat Siauw-him-pai. Akan tetapi setelah Goan Ciang memainkan ilmu silat Sin-tiauw Ciang-hwat, mereka tercengang dan tidak mengenal ilmu yang amat cepat gerakannya dan aneh, mirip gerakan seekor burung rajawali yang menyambar-nyambar.
Sementara itu, Kwa-kauwsu dengan nekat dan membabi buta mencoba untuk membabat bayangan tubuh yang berloncatan itu dengan bacokan goloknya. Diam-diam dia terkejut dan menyesal mengapa dia tadi memandang rendah pemuda ini. Ternyata pemuda ini demikian lihainya, dan baginya akan lebih menguntungkan kalau dia menandingi Jang-kiang Siang-li Liu Bi sendiri dari pada melawan pemuda yang gerakannya lincah dan aneh ini. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia hanya dapat bertindak nekat, mempergunakan keuntungannya memegang golok sedangkan lawannya bertangan kosong, untuk menyerang dengan ganas dan dahsyat. Namun, semua bacokan dan tusukan golok itu tak pernah mengenai tubuh Goan Ciang, sebaliknya, dua kali Kwa-kauwsu terhuyung karena pundaknya terkena tamparan ketika tubuh Goan Ciang menyambar dari atas, kemudian punggungnya juga terkena tendangan.
Walaupun dua kali serangan itu membuat dia hanya terhuyung dan belum roboh, namun cukup membuat hati Kwa-kauwsu menjadi semakin penasaran. Dia adalah seorang ahli silat yang berpengalaman, bahkan di daerah itu dia dikenal sebagai guru silat yang pandai, mempunyai banyak murid. Kalau sekali ini, dengan golok di tangan, dia sampai kalah melawan seorang pemuda bertangan kosong, pada hal disaksikan oleh semua penghuni dusunnya dan oleh semua anggota Jang-kiang-pang, maka namanya akan jatuh dan tentu dia akan menjadi bahan ejekan orang di dunia persilatan.
"Mampuslah...!"
Dia berteriak lantang dan secara nekat dan membabi buta dia menyerangkan goloknya dengan bacokan kilat ke arah dada Goan Ciang. Melihat kenekatan lawan, Goan Ciang merendahkan tubuhnya dan ketika golok lewat di atas kepalanya, secepat kilat tangannya menotok ke atas, menggunakan jari telunjuk dan jari tengah, tepat menotok jalan darah di pergelangan tangan lawan.
"Tukk!"
Kwa-kauwsu mengeluh dan terpaksa dia melepaskan goloknya karena tangan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh oleh totokan itu. Dia terkejut sekali dan cepat menggulingkan tubuh agar jangan sampai tersusul serangan lawan. Tubuhnya bergulingan menjauh, kemudian dia meloncat berdiri dan biarpun kini dia sudah tidak memegang senjata lagi, dengan nekat dia lalu menerjang dan menyerang dengan tangan kosong! Menggunakan golok besar saja dia tidak mampu menang, apalagi kini bertangan kosong. Dia masih mencoba mengerahkan tenaga dan menyerang dengan dahsyat, namun tentu saja dengan mudah serangannya dapat dipatahkan Goan Ciang, sekali ini bukan mengelak melainkan menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk!"
Dua buah lengan bertemu dan akibatnya, Kwa-kauwsu terdorong mundur sampai beberapa langkah. Goan Ciang tidak memberi hati lagi, maju dan mengirim tendangan yang membuat tubuh guru silat itu terjengkang. Pada saat itu, sepuluh orang murid utamanya maju dengan golok di tangan mengeroyok Cu Goan Ciang. Melihat ini, Liu Bi dan Lee Siang juga berlompatan maju dan pedang mereka segera mengamuk di antara sepuluh orang itu. Guru silat Kwa sudah maju lagi, agak berbesar hati karena kini sepuluh orang murid utamanya sudah membantu, dan dia sudah menyambar sebatang golok dari tangan seorang muridnya.
Namun, Goan Ciang ang merasa marah melihat kecurangan lawan yang menggunakan pengeroyokan, sudah mendahuluinya dan sekali tangannya menyambar, tangannya sudah menghantam dada lawan, membuat guru silat itu terbanting dan terjengkang keras, muntah darah dan tidak dapat berdiri lagi, hanya bangkit duduk sambil mengerang kesakitan. Sementara itu, Lee Siang dan Liu Bi mengamuk dan dalam waktu singkat saja, kedua orang gadis cantik itu sudah merobohkan sepuluh orang pengeroyoknya, dan mereka yang roboh oleh pedang kedua wanita itu jelas tidak mampu bangun kembali karena mereka semua telah tewas. Mayat sepuluh orang itu malang melintang dan kedua orang gadis itu, dengan pedang di tangan siap untuk mengamuk atau mengerahkan anak buahnya.
"Orang she Kwa, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih hendak melanjutkan pertempuran ini? Liu Bi menantang.
Kwa-kauwsu maklum bahwa pihaknya telah kalah. Kalau dia mengerahkan semua muridnya untuk melawan, sama saja dengan menyuruh para murid itu membunuh diri. Dia sendiri sudah tidak mampu melawan. Sepuluh orang murid kepala yang diandalkan telah tewas. Sedangkan di pihak musuh terdapat pemuda yang amat lihai itu.
"Aku mengaku kalah."katanya dengan lirih dan menundukkan mukanya.
Cu Goan Ciang maklum bahwa kalau dia tidak cepat bertindak, kekalahan ini akan menimbulkan dendam yang berkelanjutang yang akhirnya hanya akan merugikan kedua pihak, maka dia lalu berkata kepada guru silat itu.
"Kwa-kauwsu, sebaiknya kalau permusuhan ini diakhiri sampai di sini. Perjodohan tidak mungkin dapat dipaksakan. Engkau telah membunuh empat orang pembantu utama pangcu dari Jang-kiang-pang di lain pihak, sepuluh orang muridmu juga tewas. Habisi saja permusuhan ini dan anggap saja bahwa Nona Liu Bi bukan jodohmu."
Guru silat itu dengan wajah lesu dan masih menunduk, mengangguk dan berkata lemah.
"Aku mengaku kalah...."
"Nanti dulu, terlalu enak kalau hanya bergitu.
"kata Liu Bi penasaran.
"Kalau dia masih tinggal di sini, aku tidak tanggung bahwa lain kali tidak akan terjadi bentrokan lagi karena kami tentu tidak mudah melupan begitu saja penghinaan yang telah dia lakukan terhadap kami." "Hemmm, lalu apa yang kau kehendaki, pangcu?"
Tanya Cu Goan Ciang.
"Dia harus pergi dari sini dan membubarkan Yang-ce Bu-koan dan tidak pernah lagi memperlihatkan mukanya di sini. Kalau hal itu tidak dia lakukan, terpaksa aku akan membunuhnya!"
Cu Goan Ciang, mengerutkan alisnya.
Memang harus dia akui bahwa guru silat itu telah membuat kesalahan, namun hukuman yang dideritanya sekarang sudah cukup hebat. Sepuluh orang muridnya tewas, niatnya memperisteri ketua Jang-kiang-pang gagal dan namanya pun jatuh. Akan tetapi, Liu Bi menuntut yang lebih keras lagi, menunjukkan bahwa watak ketua Jang-kiang-pang ini berwatak keras, tidak selembut watak Kim Lee Siang. Akan tetapi, dia hanya orang luar dan urusan itu adalah urusan pribadi antara Liu Bi dan Kwa-kauwsu, maka diapun tidak dapat mengambil keputusan.
"Bagaimana pendapatmu, Kwa-kauwsu?"
Guru silat itu mengangguk dengan wajah muram.
"Hemm, kau kira aku masih sudi tinggal di sini setelah aku kalah oleh bocah she Cu ini? Jangan khawatir, hari ini juga aku akan membubarkan Yang-ce Bu-koan dan akan meninggalkan tempat ini."
Legalah hati Goan Ciang. Kiranya guru silat ini sudah patah hati dan malu untuk tetap tinggal di situ sehingga memudahkan apa yang dikehendaki Liu Bi, maka tidak akan menimbulkan persoalan lagi. Ketika dengan sikap ramah, Liu Bi mempersilakan Goan Ciang untuk singgah di perkumpulannya untuk ikut merayakan kemenangan itu, dia hendak menolak, akan tetapi ketika Lee Siang juga ikut mengundangnya, dia tidak dapat lagi menolak. Bagaimanapun juga, dia tertarik sekali kepada Lee Siang dan dia ingin mengenal lebih dekat dua orang kakak beradik seperguruan itu. Mereka ini merupakan tenaga-tenaga yang kuat dan baik sekali kalau kelak dia membutuhkan persekutuan seperti yang dicita-citakannya.
Demikianlah, diapun ikut pulang bersama Liu Bi dan Lee Siang dan diperlakukan dengan sikap hormat oleh para anggota Jang-kiang-pang yang menganggapnya sebagai seorang yang telah menyelamatkan ketua mereka. Karena dia sendiri masih menjadi buronan pemerintah, maka Goan Ciang juga tidak menolak ketika Lee Siang menyarankan agar untuk semetara dia bersembunyi di perkumpulan itu. Setelah tinggal di perkumpulan Jang-kiang pang selam dua minggu, hubungan Goan Ciang dengan kedua orang kakak beradik seperguruan itu menjadi akrab dan kini dia mulai mengenal betul watak kedua orang gadis itu.
Dia semakin kagum kepada Lee Siang karenaa biarpun gadis ini menjadi wakil pimpinan perkumpulang Jang-kiang-pang yang mengutamakan kekerasan, namun pada hakekatnya Lee Siang adalah seorang wanita yang berwatak pendekar yang gagah perkasa, bahkan dalam percakapannya dengan gadis itu, Goan Ciang dapat menyelami watak Lee Siang yang sebetulnya patriotik karena gadis ini diam-diam membenci penjajah Mongol, cocok dengan wataknya sendiri. Akan tetapi sebaliknya, ketua Jang-kiang-pang, yaitu Jang-kiang Sian-li Liu Bi, adalah seorang wanita yang haus akan kekuasaan dan kemewahan sehingga dia tidak segan-segan untuk membantu pemerintah Mongol dan bersahabat baik dengan para pejabat tinggi.
Kedua orang gadis itu memang cantik. Bahkan kalau diukur tentang kecantikan, Liu Bi lebih cantik dari Lee Siang karena Liu Bi pandai berhias, genit dan pandai sekali memikat hati pria, pandai memainkan mata dan senyum memikat. Dan walau usianya sudah tiga puluh tahun, namun Liu Bi nampaknya sebaya dengan suaminya yang baru berusia delapan belas tahun itu. Namun, dalam hal ilmu kepandaian silat, ilmu mereka tidak banyak selisihnya, hanya ada satu kelebihan Liu Bi, yaitu bahwa ia selain ilmu silat, juga memiliki keahlian dalam hal penggunaan racun, ilmu yang tidak dipelajari oleh Lee Siang.
Betapapun juga, ada rasa kagum dalam hati Goan Ciang terhadap Liu Bi. Wanita itu memang genit dan bergaul akrab dengan para pejabat pemerintahan Mongol, akan tetapi ia bukan golongan wanita cabul. Ia bahkan angkuh terhadap pria, bukan wanita murahan. Itulah sebabnya pula mengapa sampai berusia tiga puluh tahun, ia belum mau menikah dan seperti yang telah dilakukan terhadap Kwa-kauwsu, kalau ada pria berani meminangnya, ia selalu menolak dengan cara yang kasar. Agaknya, di dunia ini tidak ada seorangpun pria yang cukup pantas untuk menjadi suaminya!
Setelah tinggal di tempat itu selama belasan hari dan setiap hari bergaul dengan Lee Siang, kalau bercakap-cakap selalu keduanya saling merasa cocok, kalau berlatih silat mereka saling mengagumi, maka bukan hal yang aneh kalau mulai timbul perasaan aneh dalam hati kedua orang muda ini. Perasaan yang dimulai pada saat pertama kali ketika mereka duduk berhimpitan dalam joli itu, kemudian dipupuk oleh saling pengertian dan kecocokan hati dan selera. Mulailah terdapat sesuatu yang lain dalam sikap mereka, dalam pandangan mereka, dalam suara mereka kalau mereka saling berhadapan.
Bahkan, tidak bertemu sebentar saja timbul perasaan rindu dalam hati Goan Ciang terhadap Lee Siang. Suatu senja yang indah di taman bunga belakang rumah besar Liu Bi yang juga menjadi tempat tinggal Lee Siang dan di mana Goan Ciang menjadi tamu, Goan Ciang duduk di atas bangku, berhadapan dengan Lee Siang, di dekat kolam ikan emas dan keduanya nampak bercakap-cakap dengan asyik. Di antara percakapan mereka, nampak tatapan mata yang mengandung sinar kemesraan, senyum yang membayangkan kebahagiaan hati.
"Engkau ingin tahu riwayatku, Siang moi. Ah, tidak ada apa-apanya yang menarik. Riwayatku hanya mendatangkan kenangan sedih saja,"
Kata Goan Ciang menjawab pertanyaan gadis itu.
"Aih, twako, kita sudah saling kenal dengan akrab, bahkan menurut perasaanku seolah kita telah menjadi sahabat baik selama bertahun-tahun. Tentu janggal sekali kalau aku tidak tahu riwayat hidupmu, siapa engkau dan dari mana engkau berasal. Aku ingin tahu sekali, twako. Akan tetapi kalau engkau berkeberatan menceritakan kepadaku, akupun tidak berani memaksamu."
"Siang-moi, terus terang saja, kepada siapapun juga aku tidak akan suka menceritakan riwayatku yang penuh lembaran hitam. Akan tetapi kepadamu lain lagi, Siang-moi, Aku tidak mau engkau menyangka aku tidak percaya kepadamu. Nah, dengarlah riwayat seorang yang hanya satu kali ini saja menceritakan riwayatnya pada orang lain"
"Cu twako...! Jangan memaksa diri, kalau engkau merasa keberatan dan hendak merahasiakan, akupun tidak suka memaksamu dan sunggu, aku tidak akan merasa kecewa..."
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Goan Ciang tersenyum. Betapa lembut dan mulia hati gadis ini.
"Aku tidak akan memaksa diri, Siang moi. Kepadamu, aku tidak mungkin dapat menyimpan rahasia. Nah, dengarlah. Aku adalah seorang yang berasal dari sebuah dusun Cang-sun, dusun yang terletak di lembah suang Huai. Aku sudah yatim piatu, ayah ibuku meninggal dunia karena bahaya kelaparan dan penyakit. Sejak kecil aku hidup miskin sampai makanpun tidak dapat kenyang setiap hari."
Dengan ringkas namun jelas dan tidak menyembunyikan rahasia, Goan Ciang menceritakan riwayatnya dengan perasaan seperti mencurahkan segala himpitan perasaan hatinya kepada seseorang yang dipercaya sepenuhnya, bahkan yang menjadi tempat yang dianggap paling aman untuk mencurahkan semua isi hatinya. Diceritakannya betapa dia pernah menjadi penggembala ternak, kemudian menjadi kacung di kuil, menerima banyak penghinaan, lalu belajar ilmu dari Lauw in Hwesio da n menjadi seorang gelandangan sampai dia tiba di Wu-han dan dalam perkelahian membunuh Bhong-Ciangkun dan bertemu dengan Lee Siang yang menolongnya.
"Nah, demikianlah riwayatku, Siang moi. Aku seorang pemuda dusun yang miskin dan hina..."
"Cukup, twako. Riwayatmu menarik sekali dan engkau adalah seorang yang digembleng oleh kehidupan sejak kecil. Pantas engkau kini menjadi seorang pemuda yang kuat lahir batin. Aku kagum sekali padamu."
Wajah Goan Ciang berubah merah karena di dalam hatinya, dia merasa gembira bukan main. Tadinya dia khawatir kalau riwayatnya akan membuat gadis itu memandang remeh kepadanya. Tidak tahunya gadis itu malah memujinya. Sungguh seorang gadis yang luar biasa.
"Sekarang giliranmu, Siang moi. Setelah aku menceritakan pengalamanku, sudah sepantasnya kalau engkaupun menceritakan riwayatmu kepadaku agar kita dapat lebih mengenal keadaan diri masing-masing. Tentu saja kalau engkau tidak berkeberatan."
Lee Siang tersenyum.
"Riwayatku juga tidak kalah suram dibanding riwayatmu, twako. Biarpun engkau yatim piatu, namun engkau mendapat kesempatan pernah mengenal dan melihat wajah ayah ibumu sebelum mereka meninggal. Aku lebih parah lagi dari itu karena aku tidak pernah mengetahui bagaimana wajah ayah dan ibu kanduku."
"Aduhh, kasihan sekali engkau, Siong moi!"kata Goan Ciang setulus hatinya. Gadis itu tersenyum manis.
"Tidak perlu dikasihani, twako. Aku sendiri sudah tidak mempunyai perasaan iba kepada diri sendiri. Sejak bayi aku telah dijual oleh orang tuaku kepada seorang keluarga kaya she Kim. Bahkan siapa nama keluarga ayahku yang asli, akupun tidak tahu. Oleh keluarga yang membeliku, aku diberi nama Kim Lee Siang dan kami tinggal di kota Nam-ki di selatan. Karena tidak tahu siapa nama keluarga ayah kandungku, mana akupun menerima namaku itu sebagai nama sendiri sampai sekarang. Tadinya aku tidak tahu bahwa aku bukan anak kandung keluarga Kim. Akan tetapi, setelah aku remaja, aku mendengar rahasia itu dari seorang pelayan keluarga Kim, mejelang kematiannya. Bukan aku saja yang mendengarnya, akan tetapi juga kakakku laki-laki, yaitu putera tunggal keluarga Kim. Dan sejak itu sikapnya terhadap diriku berubah sama sekali."
"Riwayatmu menarik sekali, Siang moi!"
"Ah, sebetulnya tidak ada yang menarik, hanya menyedihkan. Sejak kecil, aku dan kakak angkat yang tadinya kuanggap kakak kandung itu, mempelajari ilmu silat dan karena dia memang tidak berbakat, dia selalu kalah olehku. Setelah kami menjelang dewasa, ketika itu aku berusia enam belas tahun dan dia berusia dua puluh tahun, pada suatu malam dia mendengar bahwa aku bukan adik kandungnya, bahkan bukan apa-apanya, dia....dia mencoba merayuku. Ketika kutolak, dia lalu nekat hendak memperkosaku.
"Hemmm...."Goan Ciang mengerutkan alisnya, membayangkan betapa kakak itu seorang yang rendah wataknya.
"Aku melawan dan tanpa kusengaja, tahu-tahu aku telah membacoknya dengan pisau dan membunuhnya."
"Ahh...!"
Goan Ciang terkejut.
"Sungguh mati, aku tidak sengaja membunuhnya, twako. Karena dia hendak memaksa aku melawan dan aku menyambar sebatang pisau dan mengancamnya, untuk menakut-nakutinya agar dia sadar dan tidak nekat. Akan tetapi dia agaknya sudah gila. Dia nekat bahkan menyerangku, terpaksa aku melawan dan tanpa kusadari, pisau di tanganku sudah membacok lehernya dan diapun tewas!"
Gadis itu menghela napas panjang dan memejamkan mata, seolah hendak mengusir kenangan itu.
"Tidak perlu terlalu disesalkan dan diingat, Siang moi. Bagaimanapun juga, engkau tidak sengaja dan tidak bersalah. Dialah yang keterlaluan."
Goan Ciang menghibur. Gadis itu membuka matanya dan memandang kepada Goan Ciang dengan sinar mata berseri.
"Terima kasih, twako. Setelah peristiwa itu terjadi, ayah dan ibu angkatku menjadi marah dan bukan saja mereka tidak mengakuiku lagi dan mengusirku, bahkan hampir saja aku dikeroyok dan dibunuh. Aku melarikan diri dan sejak itu aku hidup sebatang kara. Akhirnya aku mendapatkan seorang guru silat yang sakti dan bersama suci Liu Bi aku memperdalam ilmu silat. Dan sekarang aku menjadi pembantu suci yang menjadi ketua Jang kiang-pang. Berkat pertolongan suci, maka aku seolah mendapatkan hidup baru karena ialah yang menolongku ketika aku terlunta-lunta, dan ia pula yang minta kepada guru kami untuk menerimaku sebagai murid. Ia melimpahkan kasih sayang kepadaku dan aku menganggap ia sebagai pengganti keluargaku. Demikianlah riwayatku, twako, riwayat yang sama sekali tidak menarik dan menyedihkan saja."
"Kita berdua mempunyai latar belakang dan nasib yang tak jauh berbeda, Siang moi. Berapa usiamu sekarang Siang moi?"
Gadis itu memandang kepada Goan Ciang sambil tersenyum.
"Delapan belas tahun lebih."
"Dan engkau belum mempunyai tunangan?"
"Apa, twako?"
Gadis itu terbelalak heran.
"Maksudku, apakah engkau belum mempunyai calon jodoh, calon suami?"
Wajah itu kemerahan, tersipu dan ia menggeleng kepala, lalu bertanya.
"Kenapa engkau bertanya tentang itu, twako?"
Goan Ciang juga tersenyum.
"Ah, hanya ingin tahu saja."
Kini gadis itu menatap wajah Goan Ciang dengan penuh selidik, wajahnya sendiri berseri dan senyumnya menggoda dan manis sekali.
"Dan bagaiman engkau sendiri, twako? Berapa usiamu dan apakah engkau belum menikah?"
Kini Goan Ciang yang tertegun dan mukanya berubah agak kemerahan.
"Usiaku dua puluh tahun lebih, Siang moi, dan aku belum...belum menikah dan belum mempunyai calon isteri. Akan tetapi, kenapa engkau bertanya tentang itu?"
"Mengapa? Hanya ingin tahu saja, twako, kata gadis itu, suaranya menirukan jawaban Goan Ciang tadi. Pemuda itu tertawa, gadis itupun tertawa dan merekapun tertawa karena merasa lucu. Akan tetapi, seperti permulaannya, tawa mereka itupun berhenti tiba-tiba dan mereka saling pandang, seperti terpesona.
"Twako, kenapa engkau memandang seperti itu?"
"Dan engkau mengapa pula memandang seperti itu? Sinar matamu seperti menembus jantungku rasanya."
"Entahlah, aku......."
Lee Siang tak dapat melanjutkan, mukanya berubah merah sekali dan iapun menundukkan mukanya. Goan Ciang bangkit berdiri, menghampiri dan berdiri di depan gadis yang masih duduk di bangku itu dan dia memegang kedua tangan gadis itu yang terasa dingin dan agak gemetar. Lee Siang mengangkat muka memandang, sinar matanya penuh keheranan, juga tersipu.
"Siang moi, kita berdua berasal dari tempat yang rendah, kita sebatang kara dan tidak berarti. Maukah engkau mengarungi samudera kehidupan yang buas ini bersamaku, mencari pantai bahagia untuk kita berdua?"
Sepasang mata yang jeli itu menyelidik. Apa.... maksudmu, twako?"
"Siang-moi, maukah engkau menjadi isteriku?"
Kini sepasang mata itu terbelalak kaget, akan tetapi Lee Siang tidak menarik kedua tangannya yang masih digenggam Goan Ciang.
"Kenapa, twako? Kenapa engkau melamarku untuk menjadi isterimu? Kenapa?"
Goan Ciang menatap tajam dan tersenyum.
"Siang moi, masih kau tanya lagi kenapa aku ingin engkau menjadi isteriku? Karena aku kagum padamu, karena aku cinta padamu, sejak kita duduk di dalam joli itu. Maukah engkau, Siang moi?"
Goan Ciang menarika kedua tangan itu sehingga Lee Siang juga bangkit berdiri, saling berhadapan, dekat, kedua tangan saling berpegang.
"Akupun kagum kepadamu, twako..."
Akhirnya gadis itu berbisik, mengaku sejujurnya.
"Dan cinta?"
Gadis itu harus mengangkat muka untuk menatap wajah Goan Ciang. Dua pasang mata saling tatap, bertaut seperti saling menyelidiki.
"Aku...aku tidak tahu...akan tetapi aku kagum dan suka padamu...bukan mustahil inilah perasaan cinta itu...."
"Siang moi, jadi engkau.. mau menjadi isteriku?"
Gadis itu mengangguk sambil tersenym dan saking girangnya Goan Ciang mendekap kepala gadis itu sehingga muka Lee Siang seperti hendak dia benamkan ke dalam dadanya.
Tiba-tiba terdengar bentakan lembut.
"Siang moi...!"
Bagaikan diserang seekor ular, Lee Siang melepaskan diri dari pelukan Goan Ciang dan mereka berdua memutar tubuh dan melihat Liu Bi telah berdiri di situ dengan alis berkerut dan sepasang mata memandang kepada mereka dengan tajam penuh selidik.
"Sumoi, apa yang kau lakukan ini?"
Kembali suara itu lembut menegur dan sinar mata itu berkilat menyambar ke arah muka Lee Siang.
"Suci, aku..."
Gadis itu tergagap dan tersipu. Sepasang alis yang indah bentuknya ditambah penghitam alis itu berkerut semakin dalam dan sinar matanya menatap wajah kedua orang muda itu bergantian, lalu terdengar berkata.
"Begitu mudahnya? Sumoi, lupakah engkau bahwa aku adalah pengganti gurumu, keluargamu, bahkan orang tuamu? Begitu saja engkau hendak menjadi isteri orang tanpa memperdulikan aku?"
Lee Siang terkejut dan baru menyadari bahwa ia memang terlalu lancang mengikat janji perjodohan dengan Goan Ciang tanpa memberi tahu kepada sucinya terlebih dahulu atau setidaknya minta persetujuannya.
"Suci, maafkan....aku.....kami.....semua terjadi begitu tiba-tiba dan...."
"Sumoi, masuklah. Aku mau bicara denganmu!"
Kata Liu Bi dan sumoinya mengangguk, mengerling kepada Goan Ciang lalu melangkah pergi meninggalkan taman, memasuki rumah dengan patuh.
Kini Liu Bi berdiri berhadapan dengan Goan Ciang. Pemuda ini memberi hormat dan berkata.
"Pangcu, harap engkau suka memaafkan Siang moi. Ia benar, cinta kami begitu tiba-tiba, dan..."
"Sudahlah, jangan bicarakan hal itu dahulu, Cu enghiong. Biarkan kami bicara dulu karena urusan perjodohan amatlah penting dan tidak dapat diambil keputusan sedemikian mudahnya. Engkau tentu mengerti apa yang kumaksudkan. Kami adalah wanita, harus memperhitungkan baik-baik tentang perjodohan agar tidak menyesal kemudian."
Goan Ciang mengangguk.
"Aku mengerti, pangcu."
"Nah, selamat malam, Cu-enghiong."
Ketua yang cantik itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan Goan Ciang yang masih berdiri terlongong sambil mengikuti langkah sang ketua. Langkah yang gontai dan indah, lenggang seperti menari, membuat pinggang yang ramping itu berlenggang-lenggok seperti batang pohon itu tertiup angin, dan pinggul yang menonjol seperti bukit itu menari-nari ke kanan kiri. Baru Goan Ciang menyadari bahwa senja telah berubah malam dan diapun perlahan-lahan kembali ke kamarnya di bagian belakang rumah besar itu.
"Sumoi, kenapa engkau begitu lancang, begitu mudah jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang belum kau kenal benar keadaannya?"
Di dalam kamarnya di mana ia memanggil sumoinya itu, Liu Bi menegur Lee Siang. Gadis itu duduk di atas kursi dengan muka tunduk dan merah tersipu.
"Suci, kami sudah saling mencinta dan aku kagum kepadanya. Dia gagah perkasa, ilmu silatnya tinggi."
"Sumoi, kau tahu berapa usiamu?"
"Delapan belas tahun lebih, suci."
"Dan kau tahu berapa usiaku?"
"Kalau.....kalau tidak salah, suci pernah mengatakan usia suci tiga puluh tahun, wlaupun aku tidak pernah dapat mempercayai karena suci kelihatan tidak lebih tua dari pada aku."
"Nah, aku yang sudah tiga puluh tahun usiaku belum menikah? Apakah engkau benar-benar sudah mencinta Cu Goan Ciang?"
"Sudah, suci."
"Dan setelah engkau menikah dengan dia, engkau lalu akan ikut pergi dengan dia?"
Gadis itu mengangguk.
"Cu-twako seorang yang hidup sebatang kara, kami berdua akan bertualang bersama, membangun kehidupan baru dalam sebuah rumah tangga yang berbahagia, suci."
Tiba-tiba sikap ketua Jang-kiang-pang itu berubah. Wajahnya berseri gembira dan senyumnya manis sekali. Ia merangkul sumoinya dan mencium kedua pipinya.
"Ah, aku ikut merasa gembira, sumoi! Aku senang sekali kalau engkau berbahagia."
Tentu saja Lee Siang yang tadinya merasa khawatir mendapat teguran dan kemarahan sucinya, kini menjadi girang bukan main, Ia balas merangkul dan kedua matanya basah.
"Terima kasih, suci. Engkau memang orang yang paling berbudi di dunia ini bagiku. Terima kasih."
"Aku harus memberi selamat kepadamu dan kita rayakan kebahagiaan ini dengan minum anggur!"
Liu Bi lalu pergi ke sebuah almari di mana tersimpan beberapa guci anggur yang tua dan baik. Lee Siang yang mengetahui bahwa sucinya seorang peminum yang kuat, tersenyum. Ia sendiri tidak begitu suka minum anggur keras seperti sucinya, akan tetapi sekali ini, untuk merayakan kebahagiaannya dan untuk menyenangkan hati sucinya yang telah menyetujui perjodohannya dengan Goan Ciang, ia siap untuk minum sampai mabok sekalipun. Tak lama kemudian, di dalam kamar yang mewah dan diterangi lampu gantung berwarna warni itu, dua orang pimpinan Jang-kiang pang sudah minum anggur dengan gembira. Dengan setulus hati Liu Bi berkali-kali memberi selamat kepada sumoinya dengan mengajaknya minum secawan anggur.
Karena merasa telah memiliki tenaga sin-kang yang kuat, maka mereka tidak mudah menjadi mabok. Biarpun demikian, tetap saja berkurang kewaspadaan Lee Siang, apa lagi ia merasa terlalu gembira melihat sikap sucinya sehingga ia tidak melihat ketika sucinya menaburkan bubuk putik dari dalam sebuah botol kecil ke dalam cawan anggurnya, ketika kembali sucinya mengajaknya minum. Begitu minum habis secawan anggur yang sudah diberi bubuk putik di luar tahunya itu, tiba-tiba Lee Siang merasa pening dan lemas. Ia terkejut sekali, memandang kepada cawannya, lalu kepada sucinya. Nampak tubuh sucinya, seperti berputaran, demikian pula seisi kamar itu.
"Suci, aku.....aku pulang...aneh sekali..."
Dan kini terjadi perubahan pada wajah Liu Bi. Ia tertawa dan suara tawanya amat mengejutkan hati Lee Siang. Gadis itu berusaha sekuat tenang untuk membelalakan matanya agar dapat melihat dengan jelas.
"Tidak aneh, sumoi, karena memang anggur yang kau minum tadi telah kuisi racun!"
"Suci.....! Kau....kau meracuni aku? Suci, mengapa? Mengapa kau lakukan ini, suci?"
Lee Siang terkejut bukan main, dan terheran. Ia memaksa diri agar tidak jatuh pingsan walaupun pusing di kepalanya semakin menghebat, pandang matanya berkunang dan tubuh terasa lemas dan berat.
"Hi-hi-hik,"
Ketua itu tertawa dan kini tawanya terdengar aneh dan mengerikan bagi Lee Siang.
"Aku selalu sayang padamu, sumoi, akan tetapi kalau engkau hendak merebut pria pilihanku, terpaksa engkau kusingkirkan!"
"Apa....? Maksudmu...engkau...engkau...."
"Ya, sejak semula aku telah jatuh cinta kepada Cu Goan Ciang dan aku sudah mengambil keputusan untuk menarik dia menjadi suamiku!"
"Tapi.....tapi..bukankah suci mencinta Perwira Khabuli....?"
"Huh, raksasa kasar itu? Itu hanya demi kedudukan, aku muak melihatnya. Aku mencinta Cu Goan Ciang, dan engkau tidak boleh merampasnya dariku, sumoi."
"Tapi suci, kalau benar demikian, tidak perlu suci meracuni aku. Aku suka mengalah, suci. Demi Tuhan, kalau aku tahu suci mencinta twako, aku akan mundur, aku akan rela mengalah karena aku sayang padamu, aku menghormatimu. Mengapa harus meracuni aku, suci?"
"Aku tahu dan aku percaya bahwa engkau akan mengalah kepadaku, akan tetapi aku meracunimu agar dia mau menjadi suamiku."
"Suami...."
Suara Lee Siang semakin lemah. Gadis ini terlalu heran melihat betapa sucinya yang saling sayang dengannya kini dapat berlaku sedemikian curang dan kejam kepadanya! Dalam keadaan hampir pingsan dan setengah sadar ia masih melihat sucinya tersenyum mengejek dan bicara dengan suara yang semakin lirih.
"Tenanglah, sumoi. Kalau dia sudah setuju menjadi suamiku, engkau pasti akan kuberi obat penawar. Akan tetapi kalau dia menolak, tidak ada jalan lain bagiku kecuali membiarkan engkau mati. Racun itu akan membunuhmu selama tiga hari, jadi dalam waktu tiga hari ini, mudah-mudahan Cu Goan Ciang akan suka menjadi suamiku.
"
Lee Siang tidak kuat menahan lagi dan iapun terkulai dan tentu akan roboh kalau tidak cepat sucinya merangkul kemudian memondong tubuhnya dan membawa Lee Siang ke dalam kamar gadis itu sendiri, merebahkan tubuh yang pingsan itu ke atas pembaringan, kemudia memanggil pelayan dan menyuruh pelayan menjaga dan merawat Lee Siang yang ia katakan sedang menderita sakit. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Goan Ciang sudah bangun dan setelah mandi dan berganti pakaian, dia segera pergi mengunjungi kamar Lee Siang. Akan tetapi, pintu kamar itu masih tertutup dan dia mengetuknya perlahan. Ketika daun pintu kamar terbuka, yang muncul adalah seorang gadis pelayan, yaitu seorang anggota Jang-kiang-pang.
"Ah, selamat pagi, Cu-enghiong,"
Kata pelayan itu dengan sikap hormat.
"Selamat pagi. Di mana Kim Siocia?"
Demikian sebutan bagi Lee Siang untuk para anggota perkumpulan itu.
"Kim Siocia belum bangun dari tidurnya, taihiap (pendekar besar),"
Kata lagi pelayan itu.
"Aneh sekali! Biasanya ia bangun pagi-pagi sekali, kenapa sekarang belum bangun? Ada apakah dengannya?"
"Kim Siocia sakit, taihiap. Malam tadi ia dipondong oleh pangcu masuk kamar ini dan tertidur atau pingsan, sampai sekarang belum terbangun. Keadaannya mengkhawatirkan, taihiap."
Mendengar ini, Goan Ciang terkejut bukan main dan dia cepat mendorong pelayan itu ke samping lalu menerobos masuk untuk memeriksa sendiri keadaan kekasihnya. Ketika dia melihat tubuh Lee Siang rebah telentang di atas pembaringan dan tertutup kelambu, tanpa ragu lagi dia menyingkap kelambu dan duduk di tepi pembaringan. Dia terkejut bukan main melihat wajah kekasihnya yang cantik manis itu, dengan rambut kusut akan tetapi tidak mengurangi kecantikannya, nampak membiru dan pucat sekali.
"Siang moi....!"
Dia berseru dan meraba tangan kekasihnya. Dia semakin terkejut. Tangan itu panas bukan main. Kekasihnya menderita demam! Kenapa? Pada hal semalam dalam keadaan sehat. Cepat dia memeriksa denyut nadi gadis itu. Denyut nadinya kacau sebentar cepat sebentar lambat. Setelah memeriksa leher, dada, membuka pelupuk matanya, tahulah Goan Ciang bahwa sumoinya keracunan. Keracunan hebat sekali! Pelayan tadi berdiri di belakangnya, memandang dengan wajah khawatir. Goan Ciang memandangnya penuh selidik.
"Katakan, apa yang terjadi semalam? Apakah Nona Kim berkelahi dengan seseorang?"
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya tidak tahu, taihiap. Setahu kami, semalam Kim Siocia dan pangcu bergembira di kamar pangcu, minum-minum anggur. Akan tetapi, tahu-tahu malam tadi pangcu memondong tubuh Kim Siocia memasuki kamar ini, merebahkannya dan menyuruh saya melakukan penjagaan dan merawatnya."
"Di mana pangcu?" "Pagi-pagi sekali ia sudah terbangun dan menjenguk ke sini, kemudian memesan agar saya menjaga di sini, karena ia hendak berjalan-jalan di taman."
Mendengar itu, cepat Goan Ciang berlari keluar kamar dan langsung dia lari ke dalam taman di mana semalam dia saling menyatakan cinta dengan Lee Siang. Seperti ada perasaan yang menuntunnya, dia langsung saja pergi ke dekat kolam ikan emas, tempat di mana dia bermesraan dengan Lee Siang semalam dan benar saja di atas bangku di mana semalam Lee Siang duduk, nampak Liu Bi duduk seorang diri, seolah-olah ia sedang melamun dan melihat ikan emas hilir mudik berenang dengan indahnya di dalam kolam yang airnya jernih. Ketua itu nampak cantik sekali, dengan wajah yang segar karena pagi itu telah mandi, rambutnya yang hitam halus berombak itu digelung rapi ke atas seperti gelung rambut puteri bangsawan, dihias permata indah.
Wajah itu segar dan cantik, dengan penghitam alis, pemerah bibir dan pipi, dan pakaiannyapun baru dan indah terbuat dari sutera mahal dan potongannya agak ketat membungkus tubuhnya yang langsing dan padat. Seorang wanita yang amat cantik menggairahkan. Goan Ciang dapat menduga bahwa wanita itu tentu pura-pura tidak tahu akan kedatangannya karena dengan ketajaman perasaan dan pendengarannya yang terlatih, mestinya ia tentu sudah mendengar langkah kakinya.
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo